KLASIFIKASI FRAKTUR Berikut ini terdapat beberapa klasifikasi klasifikasi Fraktur sebagaimana sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli: A. Menurut Depkes RI (1995), berdasarkan luas dan garis traktur meliputi: 1) Fraktur komplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya menyeberang menyeberang dari satu sisi ke sisi lain serta mengenai seluruh korteks. 2) Fraktur inkomplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah tidak menyeberang, menyeberang, sehingga tidak mengenai seluruh korteks (masih ada korteks yang utuh). B. Menurut Black dan Matassarin (1993) yaitu fraktur berdasarkan hubungan dengan dunia l uar, meliputi: 1) Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak keluar melewati kulit. 2) Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka potensial t erjadi infeksi. Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 grade yaitu: a) Grade I : Robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot. b) Grade II : Seperti grade I dengan memar memar kulit dan otot. c) Grade III : Luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh pembuluh darah, syaraf, otot dan kulit. C. Long (1996) membagi fraktur berdasarkan garis patah tulang, yaitu: 1) Green Stick yaitu pada sebelah sisi dari t ulang ( retak dibawah lapisan periosteum) / tidak mengenai seluruh kortek, sering terjadi pada anak-anak dengan tulang lembek. 2) Transverse yaitu patah melintang ( yang sering terjadi ). 3) Longitudinal yaitu patah memanjang. memanjang. 4) Oblique yaitu garis patah miring. 5) Spiral yaitu patah melingkar. 6) Communited yaitu patah menjadi beberapa fragmen fragmen kecil D. Black dan Matassarin Matassarin (1993) mengklasifikasi mengklasifikasi lagi fraktur berdasarkan berdasarkan kedudukan fragmen yaitu: 1) Tidak ada dislokasi. 2) Adanya dislokasi, yang dibedakan di bedakan menjadi: a. Disklokasi at axim yaitu membentuk sudut. b. Dislokasi at lotus yaitu fragmen fragmen tulang menjauh. menjauh. c. Dislokasi at longitudinal yaitu berjauhan memanjang. d. Dislokasi at lotuscum controltinicum yaitu fragmen tulang menjauh dan over lapp ( memendek ). 5. GAMBARAN KLINIK Lewis (2006) menyampaikan manifestasi manifestasi klinik fraktur adalah sebagai berikut: A. Nyeri Nyeri dirasakan dirasakan langsung setelah setelah terjadi trauma. Hal Hal ini dikarenakan adanya adanya spasme spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan kerusakan jaringan sekitarnya. B. Bengkak / edema. Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa (protein plasma) yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya. C. Memar / ekimosis Merupakan perubahan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya. D. Spame otot Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur. E. Penurunan sensasi Terjadi karena kerusakan syaraf, tertekannya syaraf karena edema. F. Gangguan fungsi Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot, paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf. G. Mobilitas abnormal Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang. panjang.
H. Krepitasi Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan. I. Deformitas Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya. J. Gambaran X-ray menentukan fraktur Gambaran ini akan menentukan lokasi dan tipe fraktur Fraktur Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing. b Patah Tulang Tertutup Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992). c Patah Tulang Humerus Adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus yang terbagi atas : 1) Fraktur Suprakondilar Humerus 2) Fraktur Interkondiler Humerus 3) Fraktur Batang Humerus 4) Fraktur Kolum Humerus Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur : 1) Tipe Ekstensi Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi. 2) Tipe Fleksi Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi. (Mansjoer, Arif, et al, 2000)
5. Klasifikasi Fraktur Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: a. Berdasarkan sifat fraktur. 1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. 2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit. b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur. 1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto. 2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti: a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut) b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya. c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang. c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma. 1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung. 2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga. 3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain. 5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang. d. Berdasarkan jumlah garis patah. 1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan. 2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan. 3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama. e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang. 1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh. 2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang j uga disebut lokasi fragmen, terbagi atas: a) Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping). b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut). c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh). f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang. g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu: a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya. b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan. c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan. d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartemen Latar Belakang: Syok hemoragik adalah suatu kondisi dimana perfusi jaringan menurun dan menyebabkan inadekuatnya hantaran oksigen dan nutrisi yang di perlukan sel. Keadaan apapun yang menyebabkan kurangnya oksigenasi sel, maka sel dan organ akan berada dalam keadaan syok. Ditingkat multiseluler syok lebih sulit untuk dijelaskan karena tidak semua jaringan dan organ secara klinis terganggu akibat kurangnya oksigen ini. Dekade terakhir ini para klinisi berusaha menjelaskan dan memonitor utilisasi oksigen tingkat intraseluler, yang bermanfaat secara fisiologis dalam menegakkan klinis dan pemeriksaan penunjang apa yang harus dilakukan. Ada 4 kelas syok (dikemukakan oleh Alfred Blalock tahun 1934), sebagai berikut: Hipovolemik Vasogenik (septik) Kardiogenik Neurogenik
Hipovolemik syok sering dijumpai dalam klinis, secara etiologi adalah akibat hilangnya volum sirkulasi, misal: pasien luka tusuk dan trauma tumpul, perdarahan saluran cerna dan perdarahan saat kehamilan. Tubuh sebenarnya punya mekanisme kompensasi terhadap kehilangan ini dalam batas tertentu melalui mekanisme neuronal dan humoral. Dengan pengetahuan tatalaksana trauma terkini memungkinkan pasien bisa diselamatkan disaat mekanisme kompensasi tubuh tidak memadai. Patofisiologi: Telah diketahui dengan baik respon tubuh saat kehilangan volum sirkulasi. Tubuh secara logis akan segera memindahkan volum sirkulasinya dari organ non vital dan dengan demikian fungsi organ vital terjaga karena cukup menerima aliran darah. Saat terjadi perdarahan akut, Cardiac output dan denyut nadi akan turun akibat rangsang „baroreseptor‟ di aortik arch dan atrium. Volum sirkulasi turun dan syaraf simpatik ke jantung dan ke organ lain akan teraktivasi. Akibatnya denyut jantung meningkat, terjadi vasokontrisksi dan redistribusi darah dari nonvital organ, seperti: di kulit, saluran cerna, dan ginjal. Secara bersamaan sistem hormonal juga teraktivasi akibat perdarahan akut ini. Dimana akan
terjadi pelepasan hormon kortikotropin. Yang akan merangsang pelepasan glukokortikoiid dan betaendorphin. Kelenjar pituitari posterior akan melepas vasopresin, yang akan meretensi air di tubulus distalis ginjal. Kompleks-Jukstamedulari akan melepas renin, menurunkan „mean arterial pressure‟, meningkatkan pelepasan aldosteron dimana air dan natium akan diresorbsi kembali. Hiperglisemia sering terjadi saat perdarahan akut, karena proses glukoneogenesis dan glikogenolisis yang meningkat akibat pelepasan aldosteron dan growth hormon. Katekolamin dilepas kesirkulasi yang akan menghambat aktifitas dan produksi insulin sehingga gula darah meningkat. Secara keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik mengikuti kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang luar biasa di otak dimana aliran darah akan dipertahankan secara konstan melalui systemic mean-aliran darah arterial arterial dipertahankan dalam range yang cukup luas. Ginjal j uga mentoleransi penurunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan aliran darah pada intestinal akan turun karena mekanisme vasokonstriksi dari splansnik. Pada kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat waktu bisa mencegah kerusakan organ tubuh tertentu akibat kompensasinya dalam pertahanan tubuh.
A. Prinsip Dasar 1. Pengertian Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana t erjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik). Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen. Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas.
2.
Patofisiologi Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem neuroendokrin. Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain it u, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna. Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal. Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle. Patofisiologi dari syok hipovolemik itu telah tercakup pada apa yang ditulis sebelumnya. Referensi untuk bacaan selanjutnya dapat ditemukan pada bibliografi. Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam memenuhi perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi. B. Tanda dan gejala syok Perdarahan Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan volume yang cukp besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat. Apabila syok telah terjadi, tandatandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit. Adalah penting untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu: 1. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan. 2. Takhikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan. 3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mmHg. 4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam. Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti: a. Turunnya turgor jaringan; b. Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering c. Bola mata cekung. C. Penilaian Syok Perdarahan Curigai atau antisipasi syok jika terdapat satu atau lebih kondisi berikut ini : 1. Perdarahan pada awal kehamilan (seperti abortus, kehamilan ektopik, atau mola) 2. Perdarahan pada akhir kehamilan atau persalinan (seperti plasenta previa, solusio plasenta, dan rupture uteri) 3. Perdarahan setelah melahirkan (seperti rupture uteri, atonia uteri, robekan jalan lahir, plasenta yang tertinggal) 4. Infeksi (seperti pada abortus yang tidak aman, amnionitis, metritis, pielonefritis) 5. Trauma (seperti perlukaan pada uterus atau usus selama proses abortus, rupture uteri, robekan jalan lahir) D. Penanganan Awal Syok Perdarahan 1. Tujuan utama pengobatan syok ialah melakukan penanganan awal dan khusus untuk : a. Menstabilkan kondisi pasien b. Memperbaiki volume cairan sirkulasi darah c. Mengefisisensikan system sirkulasi darah d. Setelah pasien stabil tentukan penyebab syok 2. Penanganan Awal Jika perdarahan hebat dicurigai sebagai penyebab syok :
a.
Ambil langkah-langkah secara berurutan untuk menghentikan perdarahan (seperti oksitosin, masase, kompresi bimanual, kompresi aorta, persiapan untuk tindakan pembedahan) b. Transfuse sesegera mungkin untuk mengganti kehilangan darah. Pada kasus syok karena perdarahan, transfuse darah dibutuhkan jika Hb < 8 gram%. Biasanya darah yang diberikan ialah darah sgar yang baru diambil dari donor darah c. Tentukan penyebab perdarahan dan tatalaksana 1) Jika perdarahan terjadi pada 22 minggu pertama kehamilan, curigai adanya abortus, KET, dan mola 2) Jika perdarahan terjadi setelah 22 minggu atau pada saat persalinan tetapi sebelum melahirkan, curigai plasenta previa, solusio plasenta, atau rupture uteri 3) Jika perdarahan terjai setelah melahirkan, curigai robekan dinding uterus, atonia uteri, robekan jalan lahir, dan plasenta yang tertinggal d. Nilai ulang keadaan ibu : dalam waktu 20-30 menit setelah pemberian cairan, nilai ulang keadaan ibu tersebut untuk melihat adanya tanda-tanda perbaikan e. Tanda-tanda bahwa kondisi pasien sudah stabil atau sudah ada perbaikan sebagai berikut 1) Tekanan darah mulai naik, sistolik mencapai 100mmHg 2) Denyut jantung stabil 3) Kondisi mental pasien membaik, ekspresi ketakutan berkurang 4) Produksi urin bertambah. Diharapkan produksi urin paling sedikit 100 ml/4 jam atau 30 ml/1 jam. E. Prinsip Dasar Dalam Proses Rujukan Setelah kondisi pasien stabil, penanganan terhadap penyebab syok perdarahan maupun septic harus dilakukan. jika penyakit yang menjadi dasar penyebab syok septic tidak dapat ditangani di tempat itu, pasien harus dirujuk ke fasilitas yang l ebih mampu menangani. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merujuk kasus gawat darurat antara lain : 1. Stabilisasi pasien dengan : a. Pemberian oksigen b. Pemberian cairan IV dan transfuse darah c. Pemberian obat-obatan (antibiotika, analgetika, dan toksoid tetanus) 2. Transportasi 3. Pasien harus didampingi oleh tenakes yang terlatih dan keluarganya 4. Ringkasan kasus harus disertakan 5. Komunikasi dengan keluarga F. 1.
2. 3.
1.
2. a. c. e.
Pemberian Obat Pemberian intra vena dipilih untuk kondisi syok, kondisi gawat darurat yang mungkin membutuhkan tindakan pembedahan segera, setiap infeksi yang serius termasuk sepsis dan syok septic Pemberian IM dipilih apabila pemberian IV tidak mungkin dilakukan dan apabila obat yang terpilih dapat diberikan melalui cara ini Pemberian per oral hanya dapat diberikan pada kasus yang stabil kondisinya dan mampu menelan obat per oral. Jangan memberikan obat per oral pada kasus syok, cedera abdominal, perforasi uterus, KET, atau kondisi lainnya yang memerlukan tindakan bedah segera Obat Pengurang Rasa Nyeri Dalam mamilih obat pengurang rasa nyeri yang tepat, harus dipertimbangkan kondisi pasien pada saat itu, saat dan cara pemberian obat, dan beberapa hal khusus yang harus diperhatikan untuk setiap jenis obat yang dipilih. Penderita dalam syok atau akan mengalalmi pembedahan segera, hanya boleh mendapat obat IV dan IM. Hindari sedasi berlebihan, sebab sedasi berlebihan dapat menyembunyikan gejala yang penting untuk membuat diagnosis. Setiap narkotika dapat menekan pernafasan yang mungkin fatal, oleh sebab itu pasien yang mendapatkan narkotika harus dalam pengamatan yang ketat dan cermat. Obat anti radang nonsteroid dan aspirin dapat mengganggu pembekuan darah. Kombinasi obat pengurang rasa nyeri dengan obat penenang seperti diazepam meningkatkan risiko depresi pernafasan. Obat analgetika yang direkomendasikan Morfin 10-15 mg IM atau 15 mg IV b. Petidin 50-100 mg IM Parasetamol 500 mg per oral d. Parasetamol dan codein 30 mg per oral Tramadol oral atau IM 50 mg atau supossitoria 100 mg Prioritas ketiga adalah perbaikan sirkulasi agar memadai.
‘Syok’ adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada pasien trauma keadaan ini paling sering disebabkan oleh hipovolemia. Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis : Hipotensi, takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin, melambatnya pengisian kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi urine. (lihat Appendix-3) Jenis-jenis syok : Syok hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada trauma tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Ingat bahwa : • Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan pleura. • Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2 (dua) liter. • Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 liter Langkah-langkah resusitasi sirkulasi Tujuan akhirnya adalah menormalkan kembali oksigenasi jaringan. Karena penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka resusitasi cairan merupakan prioritas 1. Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang. Gunakan kanula besar (14 - 16 G). Dalam keadaan khusus mungkin perlu vena sectie 2. Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu tubuh karena hipotermia dapat menyababkan gangguan pembekuan darah. 3. Hindari cairan yang mengandung glukose. 4. Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji silang golongan darah. Urine Produksi urine menggambarkan normal atau tidaknya fungsi sirkulasi jumlah seharusnya adalah > 0.5 ml/kg/jam. Jika pasien tidak sadar dengan syok lama sebaiknya dipasang kateter urine. Transfusi darah Penyediaan darah donor mungkin sukar, disamping besarnya risiko ketidak sesuaian golongan darah, hepatitis B dan C, HIV / AIDS. Risiko penularan penyakit juga ada meski donornya adalah keluarga sendiri. Transfusi harus dipertimbangkan jika sirkulasi pasien tidak stabil meskipun telah mendapat cukup koloid / kristaloid. Jika golongan darah donor yang sesuai tidak tersedia, dapat digunakan darah golongan O (sebaiknya pack red cel dan Rhesus negatif. Transfusi harus diberikan jika Hb dibawah 7g / dl jika pasien masih terus berdarah. Prioritas pertama : hentikan perdarahan • Cedera pada anggota gerak : Torniket tidak berguna. Disamping itu torniket menyebabkan sindroma reperfusi dan menambah berat kerusakan primer. Alternatif yang disebut “bebat tekan” itu sering disalah mengerti. Perdarahan hebat karena luka tusuk dan luka amputasi dapat dihentikan dengan pemasangan kasa padat subfascial ditambah tekanan manual pada arteri disebelah proksimal ditambah bebat kompresif (tekan merata) diseluruh bagian anggota gerak tersebut. Sumber perdarahan dari dinding dada umumnya adalah arteri. Pemasangan chest tube / pipa drain harus sedini mungkin. Hal ini jika di tambah dengan penghisapan berkala, ditambah analgesia yang efisien, memungkinkan paru berkembang kembali sekaligus menyumbat sumber perdarahan. Untuk analgesia digunakan ketamin I.V. • Cedera abdomen Damage control laparatomy harus segera dilakukan sedini mungkin bila resusitasi cairan tidak dapat mempertahankan tekanan sistolik antara 80-90 mmHg. Pada waktu DC laparatomy, dilakukan pemasangan kasa besar untuk menekan dan menyumbat sumber perdarahan dari organ perut (abdominal packing). Insisi pada garis tengah hendaknya sudah ditutup kembali dalam waktu 30 menit dengan menggunakan penjepit (towel clamps). Tindakan resusitasi ini hendaknya dikerjakan dengan anestesia ketamin oleh dokter yang terlatih (atau mungkin oleh perawat untuk rumah sakit yang lebih kecil). Jelas bahwa teknik ini harus dipelajari lebih dahulu namun
jika dikerjakan cukup baik pasti akan menyelamatkan nyawa. Prioritas kedua: Penggantian cairan, penghangatan, analgesia dengan ketamin . • Infus cairan pengganti harus dihangatkan karena proses pembekuan darah berlangsung paling baik pada suuh 38,5 C. Hemostasis sukar berlangsung baik pada suhu dibawah 35 C. Hipotermia pada pasien trauma sering terjadi jika evakuasi pra rumah sakit berlangsung terlalu lama (bahkan j uga di cuaca tropis). Pasien mudah menjadi dingin tetapi sukar untuk dihangatkan kembali, karena itu pencegahan hipotermia sangat penting. Cairan oral maupun intravena harus dipanaskan 40-42 C. Cairan pada suku ruangan sama dengan pendinginan. • Resusitasi cairan hipotensif : Pada kasus-kasus dimana penghentian perdarahan tidak definitive atau tidak meyakinkan volume diberikan dengan menjaga tekanan sistolik antara 80 - 90 mmHg selama evakuasi. • Cairan koloid keluar, cairan elektrolit masuk ! Hasil penelitian t erbaru dengan kelompok kontrol menemukan sedikit efek negatif dari penggunaan koloid dibandingkan elektrolit untuk resusitasi cairan. • Resusitasi cairan lewat mulut (per -oral) cukup aman dan efisien jika pasien masih memiliki gag reflex dan tidak ada cedera perut. Cairan yang diminum harus rendah gula dan garam. Cairan yang pekat akan menyebabkan penarikan osmotik dari mukosa usus sehingga timbullah efek negatif. Diluted cereal porridges yang menggunakan bahan dasar lokal/setempat sangat dianjurkan. • Analgesia untuk pasien trauma dapat menggunakan ketamin dosis berulang 0,2 mg/kg. Obat ini mempunyai efek inotropik positif dan tidak mengurangi gag reflex, sehingga sesuai untuk evakuasi pasien trauma berat.