KERANGKA ACUAN KEGIATAN PROGRAM KESEHATAN INDERA PUSKESMAS RANCABALI TAHUN 2017 A. Pengahuluan Mata adalah indera yang menjadi garda terdepan alur jalur informasi utama dalam kehidupan seharihari sejak dilahirkan sampai usia tua. Mata yang terdiri dari kelopak mata, sistem lakrimal, jaringan lunak orbita, dan tulang orbita serta bola mata merupakan satu kesatuan fungsional yang saling berkaitan satu sama lainnya sehingga pelayanan kesehatan mata paripurna harus meliputi semua bagian dari organ mata tersebut. Berdasarkan data global mengenai gangguan penglihatan yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO), saat ini diperkirakan sebanyak 180 juta orang di dunia yang mengalami gangguan penglihatan, 40-45 juta diantaranya buta, 9 diantara 10 dari mereka yang mengalami gangguan penglihatan dan kebutaan tinggal di negara berkembang. Dari jumlah tersebut diperoleh fakta bahwa 80% penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan dapat dicegah atau ditangani, dan 50% dari kebutaan disebabkan oleh katarak. Di Indonesia, sesuai hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi severe low vision, kebutaan serta proporsi ketersediaan koreksi refraksi pada penduduk umur ≥ 6 tahun secara nasional tanpa atau dengan koreksi optimal berturut turut adalah 0,9 %, 0,4% dan 4,6 % dan prevalensi katarak adalah 1,8%. Berdasarkan data tersebut, dimungkinkan prevalensi angka kebutaan juga akan semakin meningkatdengan semakin bertambahnya usia harapan hidup rakyat Indonesia. Berdasarkan laporan Biro Pusat Statistik, jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia pada tahun 2025 akan mengalami peningkatan sebesar 414% dibandingkan keadaan pada tahun 1990. Untuk itu, perlu ditingkatkan upaya penanggulangan kebutaan secara aktif dan berkesinambungan karena kebutaan bukan hanya mengganggu produktivitas dan mobilitas penderitanya, tetapi juga menimbulkan dampak sosial ekonomi bagi lingkungan, keluarga, masyarakat, dan negara, terlebih dalam menghadapi era pasar bebas. Selain masalah kebutaan, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi juga menjadi masalah serius. Apabila keadaan ini tidak ditangani secara sungguh-sungguh, akan terus berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajaran yang selanjutnya akan berdampak mempengaruhi mutu, kreatifitas dan produktifitas individu. Pada akhirnya nanti, akan mengganggu laju pembangunan ekonomi nasional. Upaya untuk mengurangi dampak buruk gangguan penglihatan di Indonesia merupakan tanggung jawab semua pihak yang terkait dengan pelayanan kesehatan mata. Disamping itu, perkembangan di
era globalisasi dan informasi menyebabkan meningkatnya tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan mata yang bertanggung jawab, bermutu dan merata. Seiring dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), maka pelayanan kesehatan mata juga merupakan bagian tidak terpisahkan dalam pelayanan kesehatan di era JKN. Optimalisasi pelayanan kesehatan mata baik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat primer, sekunder, dan tersier mutlak diperlukan. Optimalisasi pelayanan kesehatan mata menjadi maksimal bila fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan mata mengacu pada pedoman penyelenggaraan pelayanan kesehatan mata dalam hal pemenuhan sumber daya manusia, sarana, prasana, dan peralatan kesehatan, disamping itu juga dilakukan penguatan pada sistem rujukan berjenjang sehingga pelayanan kesehatan bisa lebih terarah dan tidak lagi terjadi penumpukan pasien di salah satu fasilitas pelayanan kesehatan, dan pada akhirnya tercipta kendali mutu dan kendali biaya sesuai dengan falsafah JKN. B. Latar Belakang World Health Association (WHO) memperkirakan terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia, dimana sepertiganya berada di Asia tenggara. Diperkirakan 12 orang menjadi buta setiap menit di dunia, dan 4 orang diantaranya berasal dari Asia Tenggara. Sedangkan di Indonesia diperkirakan setiap menit ada 1 orang mengalami kebutaan. Sebagian besar tuna netra di Indonesia berada di daerah miskin dengan kondisi social ekonomi lemah. Survey kesehatan indera penglihatan dan pendengaran tahun 1993–1996, menunjukan angka kebutaan 1,5 %. Penyebab utama kebutaan adalah katarak (0,78 %), glaucoma (0,20 %), kelainan refraksi (0,14 %) dan penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan usia lanjut (0,38 %). Besarnya jumlah penderita katarak di Indonesia berbanding lurus dengan jumlah penduduk usia lanjut. Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) diperkirakan sejak tahun2010 akan terjadi ledakan penduduk usia lanjut. Hasil prediksi menunjukan bahwa 9,77 % jumlah penduduk diisi oleh usia lanjut dan mencapai 11,34 % pada tahun 2020. Penduduk usia lanjut mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2007 sebesar 18,96 juta jiwa dan meningkat menjadi 20.547.541 jiwa pada tahun 2009. (US Census Bureau International Data Base 2009). Jumlah ini merupakan terbesar keempat setelah China, India dan Jepang. Karena usia harapn hidup perempuan lebih panjang daripada laki-laki maka jumlah lanjut usia perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Oleh karena itu permasalahan usia lanjut di Indonesia didominasi oleh perempuan. Indonesia merupakan daerah tropis sehingga masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penderita di daerah subtropics. Sekitar 16-22 %
penderita katarak yang diopreasi berusia dibawah 55 tahun. Hal ini diduga berkaitan erat dengan faktor degeratif akibat masalah gizi. Dibandingkan dengan angka kebutaan Negara-negara regional di Asia Tenggara, angka kebutaan di Indonesia adalah yang tertinggi (Bangladesh 1 %, India 0,7 %, Thailand 0,3 %). Insiden katarak 0,1 % (210 ribu orang) per tahun sedangkan yang dioperasi baru lebih kurang 80 ribu orang pertahun. Akibatnya timbul backlog (penumpukan penderita) katarak yang cukup tinggi yang disebabkan oleh daya jangkau pelayanan operasi masih rendah, kurangnya pengetahuan masyarakat, tingginya biaya operasi, serta ketersediaan tenaga dan fasilitas pelayanan kesehatan mata yang masih terbatas. Upaya kesehatan mata yang berujung terhadap pencegahan kebutaan di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1967 ketika kebutaan dinyakatan sebagai bencana nasional. Sejak tahun 1984 upaya kesehatan mata / pencegahan kebutaan (UKM/PK) sudah diintegrasikan ke dalam kegiatan pokok Puskesmas. Sedangkan program penanggulangan kebutaan katarak paripurna (PKKP) dimulai sejak 1987 melalui Rumah Sakit (RS) dan Balai Kesehatan Mata (BKMM). Tetapi hasil survey tahun 19931996 menunjukan bahwa angka kebutaan meningkat dari 1,2 % (1982) menjadi 1,5 % (1993-1996) padahal 90 % kebutaan dapat ditanggulangi dengan pencegahan dan pengobatan. Disamping masalah kebutaan, gangguan penglihatan akibat gangguan refraksi sebesar 22,1 % juga menjadi masalah serius. Sementara 10 % dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi. Sampai saat ini angka pemakaian kacamata koreksi masih rendah yaitu 12,5 % dari prevalensi. Apabila keadaan ini tidak ditangani dengn baik maka akan berdampak negative terhadap perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajarannya yang selanjutnya juga mempengaruhi mutu, kreatifitas dan produktifitas angkatan kerja (15-55 tahun) yang diperkirakan berjumlah 95 juta orang (BPS, 2000). Kondisi-kondisi tersebut sudah menjadai masalah social yang tidak mungkin ditangani sendiri oleh Departemen Kesehatan, tetapi harus ditanggulangi secara terpadu oleh pemerintah, seluruh masyarakat luas dan lintas sector terkait (Departemen Agama, Departemen Pendidikan, Departemen Sosial, Departemen Dalam Negreri) diharapkan dapat berperan aktif. Menyadari dengan kondisi seperti ini pada tanggal 15 Januari 2000 Pemerintah mencanangkan program WHO Vision 2020 The Right to Sight di Indonesia. Program ini merupakan inisiatif global untuk menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan yang sebenarnya dapat dicegah / direhabilitasi. Program ini dicanangkan di wilayah Asia Tenggara oleh Direktur Regional WHO daerah Asia Tenggara pada tanggal 30 september 1999. Pencangan ini berarti hak bagi setiap warga Negara Indonesia untuk mendapatkan penglihatan optimal.
Sesuai dengan Visi mata sehat 2020 setiap penduduk Indonesia pada tahun 2020 memperoleh kesempatan/hak untuk melihat secara optimal. Untuk mewujudkan visi ini dilakukan serangkaian kegiatan yang melibatkan Pemerintah, organisasi profesi kesehatan terkait seperti Perdami, Iropin dan PPNI, Lembaga Swadaya Masyarkat terkait seperi KUIS, HKI, CBM, JAICA dll dan lembaga lain yang concent terhadap kesehatan mata. C. Tujuan 1. Tujuan Umum Memberikan acuan pelaksanaan program kesehatan mata secara umum di Puskesmas Rancabali, Puskesmas Ciwidey, Puskesmas Pasirjambu dan Puskesmas Katapang. 2. Tujuan Khusus Dapat melakukan kegiatan-kegiatan pelaksanaan program kesehatan mata di semua wilayah Kecamatan a. Dapat melakukan advokasi/sosialisasi kepada Lintas Sektor terkait dan Lintas Program. b. Dapat melakukan screening penyakit mata terutama penyakit mata yang menyebabkan kebutaan. c. Dapat melaksanakan pelatihan petugas kesehatan pemegang program mata. d. Dapat melaksanakan pelatihan kader kesehatan mata. e. Dapat melakukan pelatihan guru UKS SD/SMP dalam penjaringan murid yang mengalami kelainan refraksi atau kelainan mata lainnya. f.
Mengusulkan terselenggaranya operasi katarak di Puskesmas.
g. Dapat melakukan eye camp dalam penangulangan kasus kebutaan katarak. h. Dapat melakukan follow up post operasi katarak. i.
Dapat melakukan koreksi kaca mata sederhana pada kelainan refraksi.
j.
Dapat melakukan rujukan kasus-kasus mata.
D. Kegiatan Pokok dan Rincian Kegiatan E. Cara Melaksanakan Kegiatan F. Sasaran G. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan H. Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan dan Pelaporan I.
Pencatatan, Pelaporan dan Evaluasi Kegiatan