KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI AGITASI
JONATHAN CHRISTOFER R.R. 2012.01.013
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WILLIAM BOOTH SURABAYA 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis yang berjudul “Keperawatan Gawat Darurat: Kegawatdaruratan Psikiatri Agitasi” dalam keadaan baik. Tujuan dari pembuatan karya tulis ini adalah untuk melengkapi penilaian dari mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat pada semester lima. Pada permulaan pembuatan karya tulis ini tidak sedikit hambatan-hambatan yang penulis alami karena keterbatasan kemampuan penulis. Namun semua itu dapat penulis pecahkan melalui dukungan dan bimbingan dari dosen pengajar, dan juga orang-orang yang telah membantu penulis dalam penulisan karya tulis ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih. ‘Tak ada Gading yang tak Retak’, penulis sadar akan ketidaksempurnaan karya tulis ini, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca, baik dosen maupun rekan-rekan sangat penulis harapkan agar di kemudian hari, penulis dapat membuat karya tulis dengan lebih baik lagi. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih
Surabaya, 11 Oktober 2014 Penulis
ii
DAFTAR ISI
JUDUL...................................................................................................................................i KATA PENGANTAR ...........................................................................................................ii DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB 1 TINJAUAN TEORI 1.1
Definisi Agitasi.............................................................................................................1
1.2
Gambaran Klinis dan Diagnosis ...................................................................................1
1.3
Pedoman Wawancara dan Psikoterapi..........................................................................1
1.4
Pemeriksaan dan Penatalaksanaan ...............................................................................3
1.5
Terapi Obat...................................................................................................................4
BAB 2 KASUS 2.1
Contoh Kasus Nyata dalam Masyarakat.......................................................................6
BAB 3 PEMBAHASAN 3.1
Analisa Kasus ...............................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................8
LAMPIRAN
iii
BAB 1 TINJAUAN TEORI
1.1
Definisi Agitasi Agitasi adalah keadaan meningkatnya luapan mental dan aktivitas motorik. Keadaan ini dapat terjadi pada berbagai gangguan mental. Keadaan ini dapat merupakan kegawatdaruratan karena agitasi seringkali mendahului penyerangan.
1.2
Gambaran Klinis dan Diagnosis Singkirkan adanya sindroma mental organik, seperti delirium atau demensia. Periksa tanda vital klien dengan segera. Tanda vital abnormal yang mengarahkan pada kelainan otonomik adalah merupakan petunjuk pertama ke arah gangguan organik, seperti intoksikasi atau putus obat atau alkohol (Tabel 1.2a). Apakah klien paranoid atau psikotik, dengan tes realitas yang terganggu? Jika klien adalah psikotik dan teragitasi, medikasi mungkin diindikasikan dengan segera. Apakah terdapat penyerangan yang baru dilakukan? Apakah klien impulsif, dengan pertimbangan yang buruk? Jika demikian dan jika agitasi menetap, dapat terjadi penyerangan lebih lanjut. Apakah terdapat penyebab medis yang dapat diobati? Banyak keadaan medis (sebagai contohnya, hipoksia, hipertiroidisme, asidosis) dan medikasi (sebagai contohnya, simpatomimetik, antikolinergik, digitalis) dapat mencetuskan episode agitasi. Apakah klien menderita gangguan kepribadian yang dapat menyebabkan klien rentan terhadap impulsivitas atau terhadap kecemasan yang berlebihan sebagai respon dari stres.
1.3
Pedoman Wawancara dan Psikoterapi Jika wawancara dimungkinkan, cobalah untuk menenangkan klien. Adalah penting untuk tidak menampakkan kemarahan atau permusuhan yang jelas. Jangan bersikap menghukum. Adalah juga penitng untuk tetap tidak menunjukkan konfrontasi dan untuk membiarkan klien mengetahui bahwa anda akan mendengarkan secara empatik terhadap keluhan kemarahan dan masalah dan anda akan jujur kepada klien mengenai batas-batas dan pengobatan. Tenangkan klien dan katakan bahwa ia berada di dalam tempat yang aman dan tiap orang yang berada di situ berusaha untuk menolong. Tetaplah setenang dan selangsung mungkin. Jika pembicaraan tidak efektif, isolasilah 1
Tabel 1.2a
Gangguan Mental Organik Akibat Zat Lawan Gangguan Fungsional pada Klien dengan Tingkah Laku Teragitasi
Pemeriksaan fisik Agitasi dengan Peningkatan tekanan darah pandangan kosong, dan kecepatan denyut kecemasan, stupor jantung, nistagmus agresi, panik, tingkah vertikal dan horizontal, laku kacau analgesia terhadap tusukan kecil, rigiditas otot, salivasi, muntah
Kemungkinan penyebab Phencyclidine (PCP)
Pengobatan Intervensi minimal (tidak berbicara) Penurunan sensoris dengan observasi dari kejauhan Diazepam untuk intoksikasi Haloperidol untuk psikosis Tanpa phenothiazine Diazepam untuk kejang Penghambat-alfa atau diazoxide untuk hipertensi berat
Agitasi dengan waham penyiksaan atau euforia dengan iritabilitas
Tanda simpatik: peningkatan tekanan darah, takikardia, takipnea, midriasis, diaforesis, kegelisahan motorik, tremor
Amphetamine atau kokain atau simpatomimetik lainnya
Lingkungan yang terkontrol Pengasaman urin Kontrol hiperpireksia, kejang (diazepam), tingkah laku (haloperidol) Tanpa sedatif
Tanpa tanda simpatik
Pertimbangan skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan paranoid, gangguan bipolar, psikosis reaktif singkat, psikosis atipikal
Distorsi sensoris, hipersensitivitas dari semua sensasi, euforia, halusinasi, pseudo-halusinasi
Kelebihan simpatik
Halusinogen tipe-epinefrin; STP, mescaline, pala Halusinogen tipe-indoline; LSD, psilocybin
Lingkungan terkontrol, suportif dan keyakinan (tidak berbicara); haloperidol untuk kontrol tingkah laku
Delirium akut yang tidak dapat dibedakan
Blokade muskarinik: pupil yang berdilatasi dan bereaksi lambat, penglihatan kabur, muka kemerahan, ileus paralitik, konstipasi, retensi urin, demam, dan hiperrefleksia Tanpa blokade muskarinik
Pilocardpine atau methacholine
Physostigmine
Klasifikasi ulang klien dengan pemeriksaan fisik; jika temuan adalah tidak jelas, pertimbangkan presentasi campuran atau yang tidak umum; pertimbangkan ingesti atau poli-obat jika presentasi psikologis dan fisik adalah kontradiksi atau membingungkan
Konservatif, dengan observasi dan proteksi sesuai keperluan
Perubahan minimal
Tabel dari E.L. Bassuk, A.E. Skodol: The First few minutes; Identifiying and managing life-threatening emergencies, In Emergency Psychiatry: Concepts; Methods, and Practices, E.L. Bassuk, A.W. Birk, editor, p 26. Plenum, New York, 1984. dikutip dalam buku Kusuma, Widjaja. 1997. Kedaruratan Psikiatrik dalam Praktik. Jakarta: Professional Books; Hal.93
2
klien, dan hindari stimulasi yang berlebihan dari anggota staf atau klien lain. Jika klien tampak berada pada risiko untuk kehilangan kendali, biarkan klien mengetahui bahwa staf akan memertahankan kendali secara meyakinkan dan secara empatis. Bahkan jika klien membutuhkan medikasi untuk sedasi, cobalah untuk menentukan masalah psikologis yang terlibat dalam agitasi. Jika mungkin, koreksilah distorsi dan hilangkan rasa takut yang abnormal untuk menurunkan panik, kecemasan, dan agitasi. Klien yang menggunakan phencyclidine (PCP) tidak dapat ditenangkan atau ditenteramkan dan harus diisolasi segera.
1.4
Pemeriksaan dan Penatalaksanaan a. Lindungi diri anda dan staf. Jangan menempatkan diri dalam situasi di mana anda dapat diserang. Sediakan jumlah anggota staf yang mencukupo untuk mengikat klien jika diperlukan. b. Pengikatan (fiksasi) harus digunakan jika medikasi tidak efektif dan jika terdapat kemungkinan penyerangan atau perkelahian. Pastikanlah mempunyai anggota staf yang cukup dan terlatih dalam pengikatan fisik. Faktor yang memperberat: jika klien dicurigai intoksikasi phencyclidine (PCP), hindari pengikatan jika mungkin; sebaiknya isolasi klien di dalam lingkungan yang tidak menimbulkan stimulasi. Jika pengikatan mutlah diperlukan, jangan menggunakan pengikatan pada tungkai, karena PCP mempunyai efek anestetik, dan klien mungkin melukai dirinya sendiri dengan melawan ikatan tanpa merasakan sakit (Tabel 1.4a). Tabel 1.4a Penatalaksanaan Fisik 1. Kembangkan protokol spesifik, jelaskan metoda pengikatan 2. Tentukan susunan tim (optimalnya, enam orang, walaupun lima biasanya cukup aman) a. Satu orang langsung melakukan prosedur pengikatan dan mengendalikan kepala klien b. Satu oranag menahan satu anggota gerak (empat orang semuanya) c. Satu orang memberikan medikasi 3. Tinjau kembali rencana spesifik untuk pengikatan, termasuk penentuan peranannya 4. Persiapkan peralatan dan medikasi yang diperlukan 5. Jelaskan pada klien mengenai pilihan pengobatan 6. Mintalah klien untuk berbaring sehingga anda dapat memasang pengikat 7. Pasanglah pengikat dan, kemungkinan, berikan medikasi pada klien 8. Lanjutkan berbicara dengan klien mengenai perasaan dan masalah prosedural 9. Jangan meninggalkan klien sendiri 10. Lakukan pertemuan dengan petugas untuk mendiskusikan observasi klien terus menerus dan rencana selanjutnya, termasuk melepaskan ikatan, medikasi, dan disposisi 11. Lepaskan ikatan, satu tungkai pada satu waktu Tabel dari E.L. Bassuk: Management of the acutely ill psychiatric patient. In Textbook of General Medicine and Primary Care, J Noble, editor, p.27, Little, Brown, Boston, 1984. dikutip dalam buku Kusuma, Widjaja. 1997. Kedaruratan Psikiatrik dalam Praktik. Jakarta: Professional Books; Hal.95
3
c. Perhatikan tiap petunjuk adanya ancaman penyerangan. Khususnya, pertahankan kewaspadaan terhadap adanya perubahan tingkah laku, mood, bicara, atau afek – yang mungkin menandai kemungkinan hilangnya kendali kendali. d. Pertahankan konsistensi di antara anggota staf mengenai rencana pengobatan. Berikan klien pesan yang jelas dan tidak bertentangan mengenai tindakan apa yang dapat ditoleransi dan yang tidak dapat ditoleransi di dalam ruang gawat darurat atau tempat periksa anda; tetapi pertama kali anggota staf harus mempunyai kesepakatan di antara mereka. e. Jika klien memaksa untuk keluar dari rumah sakit melawan nasehat medis (against medical advice), dokter harus memutuskan apakah klien mampu untuk membuat keputusan tersebut dan apakah meninggalkan rumah sakit akan mempunyai bahaya yang mengancam kehidupan klien. Kemampuan klien adalah tergantung pada apakah terdapat proses psikotk, demensia, atau proses yang memburuk. Jika kemampuan klien dianggap terganggu secara bermakna dan jika terdapat peningkatan risiko, klien harus ditahan supaya tidak meninggalkan rumah sakit. Diperlukan dokumentasi yang lengkap. Konsultasi dengan penasehat rumah sakit mungkin membantu dalam kasus yang sulit (borderline). Jika kemampuan klien tidak terganggu tetapi terdapat risiko medis yang serius, dokter harus melakukan setiap usaha untuk mencoba menahan klien untuk tinggal di rumah sakit. Keadaan yang tidak menimbulkan konfrontasi, dan simpatik, yang membantu klien merasa dalam pengendalian biasanya adalah pendekatan yang paling efektif.
1.5
Terapi Obat Untuk menghilangkan agitasi yang berat, mungkin diperlukan transkuiliasi. Biasanya, dipergunakan sedatif-hipnotik (sebagai contohnya, benzodiazepine atau barbiturate) atau anti psikotik. Pertama kali, periksalah tanda vital klien jika mungkin. Antipsikotik dengan potensi rendah (sebagai contohnya, chlorpromazine[Thorazine]) harus dihindari jika klien adalah hipotensif. Jika terdapat demam, hindari antipsikotik, karena akan menyebabkan poikilotermia dan dapat menggangu pemeriksaan terhadap demam. Jika dicurigai intoksikasi atau putus dari alkohol atau sedatif-hipnotik, benzodiazepine adalah obat yang terpilih, karena antipsikotik dapat mencetuskan kejang putus. Jika dicurigai intoksikasi stimulan, benzodiazephine adalah diidikasikan. 4
Jika klien tidak psikotik, benzodiazephine adalah diindikasikan untuk menghindari risiko efek samping antipsikotik. Jika klien adalah psikotik, pertimbangkan antipsikotik. Walaupun klien psikotik dapat diberikan transkuilisasi dengan benzodiazephine, hal ini tidak dianggap sebagai pengobatan yang definitif untuk psikosis. Tetapi, menggunakan benzodiazephine untuk menimbulkan transkuilisasi pada klien psikotik di ruang gawat darurat atau tempat periksa anda adalah mempunyai manfaat untuk memungkinkan tim pengobatan rawat inap rumah sakit untuk memeriksa klien bebas dari antipsikotik di hari berikutnya.
5
BAB 2 KASUS
2.1
Contoh Kasus Nyata dalam Masyarakat
6
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1
Analisa Kasus Pada kasus diatas, seorang Calon Jamaah Haji yang berinisial AWW tiba-tiba berteriakteriak dengan keras. Menurut pengakuan anak dan tetangga AWW, AWW tidak pernah bersikap seperti itu. Sehingga oleh panitia penyelenggara ibadah haji, AWW dibawa ke Rumah Sakit Haji Surabaya. Pemeriksaan di Rumah Sakit Haji Surabaya menyatakan bahwa AWW menderita gangguan jiwa, sehingga dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa Menur. Melakukan suatu tindakan secara tiba-tiba, dan tidak seperti biasanya, merupakan salah satu gejala dari agitasi, dimana agitasi sendiri merupakan keadaan dimana meningkatnya luapan mental dan aktivitas motorik pada seseorang, yang dapat berlanjut pada tindakan penyerangan. Stres dan kecemasan merupakan beberapa pencetus terjadinya agitasi. Pada kasus diatas, luapan mental tersebut dipresentasikan dalam bentuk teriakan-teriakan keras yang tiba-tiba. Penyebab luapan mental yang tibatiba tersebut bisa karena proses pembelajaran, persiapan, serta karantina calon jamaah haji. Persiapan untuk menjalani ibadah haji dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh calon jamaah haji membuat calon jamaah haji menjadi stres, terlebih calon jamaah haji harus menjalani karantina selama proses tersebut berlangsung, yang juga dapat menyebabkan stres akibat jarang bertemu dengan keluarga. Suasana yang beda dari biasanya sebelum calon jamaah haji mengikuti karantina juga dapat menjadi stressor yang membebani calon jamaah haji. Sehingga dari akumulasi stressor-stressor tersebut, apabila kondisi kejiwaan seseorang tersebut lemah, maka dapat timbul gangguan jiwa seperti yang dialami calon jamaah haji AWW. Penanganan psikoterapi yang tepat dan sesuai untuk calon jamaah haji AWW adalah (1)Menenangkan klien dengan dibantu oleh anggota keluarga; (2)Menganalisa dan melakukan pemeriksaan lewat wawancara kepada klien dengan tenang apabila memungkinkan. Mendengarkan secara empatik mungkin dapat membuat klien percaya dan mau mengungkapkan masalah dan kecemasan yang dialami selama menjalani karantina, dan masalah-masalah lain yang membuat klien merasa stres dan terbebani.
7
DAFTAR PUSTAKA
Kusuma, Widjaja. 1997. Kedaruratan Psikiatrik dalam Praktik. Jakarta: Professional Books. Uus. 2014. “Calon Haji Dirujuk ke RSJ Menur” dalam Surya. 6 September 2014. Hal 11. Surabaya.
8
LAMPIRAN
9