Kenapa Energi KENAPA ENERGI NUK LIR? KL Nuklir? R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.
R. ANDHIKA PUTRA DWIJAYANTO, DWIJAYANTO S.T.
i
Diperkenankan untuk mengutip, mencetak dan memperbanyak salinan untuk tujuan pendidikan/non komersial.
ii
Daftar Isi Dunia Saat Ini – 1 Kenapa Harus Nuklir? – 6 Kenapa Tidak Energi Terbarukan? – 23 Bagaimana Reaktor Nuklir Menghasilkan Listrik? – 38 Berkenalan Dengan Molten Salt Reactor – 46 Daftar Pustaka – 74 Tentang Penulis – 78
iii
Dunia Saat Ini Populasi dunia diperkirakan akan berekspansi dari 6,7 miliar orang saat ini menjadi lebih dari 9 milyar orang pada tahun 2050, seluruhnya membutuhkan kualitas hidup yang lebih baik. Peningkatan populasi berimbas pada kenaikan permintaan energi dan manfaatnya: standar hidup yang meningkat, kesehatan yang lebih baik, ekspektasi hidup lebih panjang, literasi dan kesempatan kerja yang membaik, dan lainnya. Walau demikian, opsi produksi energi yang dominan saat ini tidak
mampu
menyinggung
masalah
perubahan
iklim
dan
pengurangan sumber daya energi fosil dengan memuaskan. Sumber energi utama yang digunakan saat ini, yaitu batubara dan minyak bumi, jumlahnya terbatas dan bisa habis. Data pada akhir 2014, rentang ketersediaan akumulatif minyak bumi yang sudah terbukti diperkirakan hanya cukup sampai 52 tahun lagi. Sementara, cadangan total batubara terbukti dunia diestimasikan bertahan hingga 110 tahun ke depan. Adapun cadangan gas alam terbukti di seluruh dunia diestimasikan bisa bertahan selama 54 tahun. Di Indonesia, batubara kemungkinan hanya akan bertahan 75 tahun ke depan. Gas alam hanya sekitar 33 tahun, dan minyak bumi paling buruk, hanya 12 tahun. Itupun sekarang Indonesia harus impor setengah dari kebutuhannya.
1
Selain itu, tentu saja, penggunaan sumber energi bahan bakar fosil dewasa ini telah diketahui meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfir yang mengakibatkan pemanasan global. Jika ekspansi energi fosil yang terjadi saat ini terus berlanjut, maka pada tahun 2100, kadar CO2 di atmosfer akan naik dua kali lipat dan menyebabkan kenaikan suhu permukaan bumi antara 1,9-5o C. Padahal, menurut para climate scientist, kenaikan suhu permukaan bumi maksimal untuk mencegah dampak pemanasan global katastropik adalah 2o C. Supaya bumi bisa mendukung populasi manusia seiring dengan memastikan keberlangsungan perkembangan manusia, diperlukan suplai energi yang bersih, aman, efisien dan bisa mendukung produksi listrik dasar maupun energi primer lain. Untuk itu, perlu dikembangkan sumber daya energi alternatif yang memenuhi syarat-syarat demikian. Sementara, sumber energi terbarukan diperkirakan hanya akan mampu menyuplai 20% dari kebutuhan energi total. Kendalanya klasik: kapasitas daya kecil, intermittent1 dan luar biasa mahal. Karena itu, alternatif yang lebih baik adalah menggunakan energi nuklir, yang selama ini telah terbukti menghasilkan daya secara lebih efisien. Saat ini, kapasitas daya nuklir yang beroperasi di dunia adalah 370 GW elektrik, memproduksi 2441 TWh per tahun, mencakup 10% produksi 1
Putus-putus, tidak bisa menyuplai daya secara kontinu akibat faktor alam seperti cuaca dan siang-malam
2
listrik dunia dan merupakan bauran terbesar dari sumber energi rendah karbon. Hal ini mengurangi dampak lingkungan yang diakibatkan
oleh
pembangkitan
listrik
masa
sekarang
dan
mengakomodasi diversitas pembangkitan listrik yang lebih besar, berimbas pada lebih kuatnya keamanan energi. World Nuclear Association (WNA) memperkirakan bahwa dibutuhkan tambahan kapasitas 1000 GW elektrik pada tahun 2050 untuk menekan laju pemanasan global. Artinya, banyak sekali PLTN baru yang seharusnya dibangun di seluruh dunia. Saat ini, Cina adalah yang paling banyak menambah jumlah PLTN. Selain untuk memenuhi kebutuhan energinya, juga untuk mereduksi tingkat polusi yang sudah luar biasa tinggi. Mereka memasang target untuk menambah kapasitas 58 GW elektrik dari PLTN pada tahun 2020, dengan 30 GW elektrik lain dalam konstruksi. Amerika Serikat berencana membangun 4 unit PLTN baru dan 1 unit lain yang selesai dibangun tahun ini telah menghasilkan listrik. Argentina telah mengoperasikan PLTN baru pada tahun 2015 dan masih membangun unit prototip PLTN desain mereka sendiri, CAREM. Brazil, sementara itu, masih dalam proses konstruksi satu unit PLTN. Eropa mengalami masalah dalam pembangunan PLTN mereka. Inggris Raya berencana membangun 2 unit PLTN di Hinkley Point C, ditambah perencanaan beberapa unit lainnya di Wylfa Newydd, Moorside, 3
Sizewell C, Oldbury dan Bradwell. Unit PLTN yang dibangun di Finlandia, Prancis dan Slovakia semua terlambat selesai dari jadwal seharusnya. Belarusia, yang banyak terkena dampak kecelakaan Chernobyl, sudah move on dan sekarang dalam proses membangun PLTN. Di Timur Tengah, Uni Emirat Arab sedang membangun 4 unit PLTN pertama mereka. Desain PLTN yang digunakan milik Korea Selatan, dan sedang dibangun juga di negara asalnya. India hampir selesai melakukan komisioning dua unit PLTN tambahan di negaranya, serta hampir selesai membangun satu prototip reaktor maju. Rusia berencana membangun 11 unit PLTN baru sampai tahun 2030, untuk mengompensasi unit lamanya yang sudah tua dan mesti ditutup. Dua unit PLTN juga telah selesai dibangun, salah satunya adalah BN-800 yang merupakan reaktor maju. Rusia juga mengekspor teknologinya ke luar negeri, salah satunya ke Turki, di mana 4 unit PLTN desain mereka sedang dibangun di sana. Indonesia? Sampai tulisan ini diselesaikan, sama sekali belum ada rencana untuk serius memanfaatkan energi nuklir dalam bauran energi nasional. Meski pemerintah memiliki target mengurangi emisi karbon sebesar 29%, nuklir, lucunya, masih ditempatkan sebagai opsi terakhir. Yang ada baru rencana Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) untuk membangun Reaktor Daya Eksperimental (RDE). Selain 4
itu, Martingale Inc. sedang melakukan assessment untuk desain reaktor maju mereka, ThorCon, untuk dibangun prototipnya di negeri ini pada awal dekade 2020-an. Sepertinya jalan masih panjang agar negeri ini mau sadar diri agar masuk ke era nuklir, tapi kita tidak boleh putus asa.
5
Kenapa Harus Nuklir? Di sebagian kalangan, kesadaran akan urgensitas teknologi energi nuklir (yang diwujudkan dalam bentuk PLTN) sudah mulai terbentuk. Dukungan dari kalangan muda agar negeri ini masuk ke era nuklir mulai menguat. Usaha yang mengarah ke sana pun mulai tampak, mulai dari rencana BATAN untuk membangun RDE berbasis High Temperature Reactor (HTR) sampai MoU antara Indonesia dan Martingale Inc. untuk membangun reaktor maju berbasis Molten Salt Reactor (MSR) mereka, ThorCon, di negeri ini. Tapi, untuk sebagian lainnya, kemungkinan besar masih bertanyatanya. Kenapa harus nuklir? Apa memang seurgen itu? Apa tidak ada alternatif energi lain yang bisa digunakan selain nuklir? Kan, kita masih punya batubara dan gas alam? Bagaimana kalau memanfaatkan energi terbarukan saja? Jawabannya tentu saja harus energi nuklir. Negeri ini, mau tidak mau, harus segera masuk ke era nuklir. Sebabnya, negeri ini butuh suplai listrik yang murah, bersih, aman dan reliabel.
1. Nuklir Itu Murah
6
Energi nuklir itu murah, karena densitas dayanya yang luar biasa tinggi. Satu pelet bahan bakar nuklir berdiameter 1 cm dan tinggi 1 cm memiliki daya setara dengan kurang lebih 807 kg batubara! Benar, biaya konstruksinya memang lebih mahal dibanding pembangkit listrik konvensional. Tapi itu dikompensasi dengan harga bahan bakar yang murah. Bahan bakar nuklir, uranium, merupakan komponen pembiayaan paling kecil di PLTN. Sehingga, harga uranium naik dua kali lipat pun, harga listriknya paling cuma naik beberapa persen. Tidak akan signifikan. Sementara, harga uranium sendiri relatif stabil, mungkin baru naik drastis puluhan tahun lagi. Itupun tidak akan lama. Di berbagai negara, harga listrik yang dibangkitkan oleh PLTN lebih rendah dibandingkan listrik dari pembangkit konvensional. Perhatikan tabel dari World Nuclear Association berikut!
7
Tabel 1. Proyeksi perbandingan biaya pembangkitan listrik dari berbagai moda pembangkit dalam satuan sen Dollar/kWh, discount rate 5% (WNA)
Ambil contoh di Amerika Serikat. Berdasarkan tabel, bisa dipahami kalau biaya produksi listrik dari PLTN sebesar US$ 4,9 sen/kWh, atau US$ 0,049/kWh (1 Dollar = 100 sen Dollar). Sementara, PLTU batubara menghasilkan listrik dengan biaya US$ 7,2 sen/kWh atau US$ 0,072/kWh. PLTN memiliki biaya konstruksi yang mahal, untuk pasar Asia kira-kira butuh dana tidak kurang dari Rp. 20 trilyun untuk PLTN berdaya 1000 8
MW elektrik. Hanya saja, biaya untuk bahan bakarnya sangat murah, hanya mencakup 14% dari pembiayaan total. Bandingkan dengan batubara dan gas yang mencapai 78-89%! Ditambah lagi, bahan bakar PLTN hanya butuh diganti setahun sampai 18 bulan sekali, itupun tidak seluruhnya.
Rendahnya
densitas
energi
batubara
dan
gas
menyebabkan PLTU dan PLTG butuh lebih banyak bahan bakar untuk menghasilkan daya setara, yang berimbas biaya produksi listriknya seringkali jadi lebih tinggi. Pasca kecelakaan Fukushima, terjadi penyesuaian regulasi dan sistem keselamatan yang membuat harga listrik dari PLTN sedikit naik. Mungkin sebagian orang akan menganggap bahwa nuklir tidak lagi murah karena itu. Hanya saja, beberapa reaktor Generasi III seperti VVER-1200 desain Rusia, APR-1400 desain Korea Selatan dan AP-1000 desain Westinghouse diproyeksikan tetap memiliki biaya konstruksi setara biaya konstruksi sebelum kemelut Chernobyl dan Fukushima terjadi, dengan fitur yang jauh lebih maju. Sehingga, listrik yang dihasilkan
tetap
murah.
Cina
dan
Korea
Selatan
sudah
membuktikannya. Benar, biaya konstruksi PLTN itu bervariasi tergantung tempat. Di Eropa dan Amerika seringkali biayanya mahal karena berbagai faktor. Beda kasusnya dengan di Asia, yang terbilang paling murah di dunia. Dalam perkiraan BATAN pada tahun 2012, biaya konstruksi PLTN di Indonesia lebih murah dari di Jepang dan setara dengan Korea Selatan, 9
berkisar US$ 4,8 sen/kWh. Perhitungan lain pada tahun 2013 menyimpulkan bahwa biaya produksi listrik PLTN di Indonesia berkisar US$ 5,363 sen/kWh, dengan asumsi overnight cost sedikit lebih tinggi. Alternatif lain tidak bisa semurah nuklir. Energi terbarukan seperti energi matahari dan energi angin sangat mahal. Untuk menghasilkan daya setara dengan PLTN, biaya yang dibutuhkan untuk membangun instalasi PLTS dan PLTB jauh lebih tinggi, akibat sangat banyaknya komponen dan sangat luasnya lahan yang dibutuhkan. PLTN hanya membutuhkan lahan tidak sampai 300 hektar untuk daya 1000 MW elektrik, sementara PLTS dan PLTB butuh lahan puluhan ribu hektar untuk daya setara. Keduanya mustahil bersaing dengan nuklir secara harga, kecuali kalau dapat subsidi besar-besaran. Penggunaan reaktor nuklir Generasi IV atau reaktor maju bisa membuat harga listrik lebih murah lagi, karena biaya konstruksinya tidak sebesar reaktor nuklir konvensional akibat kebutuhan komponen lebih sedikit, lebih murah biaya operasi dan perawatannya karena sistemnya lebih sederhana, serta lebih optimal dalam memanfaatkan bahan bakar karena desain reaktornya dirancang untuk memanfaatkan hampir 100% potensi uranium dan thorium.
2. Nuklir Itu Bersih Energi nuklir itu bersih, karena secara esensial tidak mengeluarkan polusi. Pembakaran batubara dan gas alam menghasilkan jutaan ton 10
polutan yang dilepaskan ke udara tiap tahunnya. Yang paling besar jelas saja CO2. Gas yang paling bertanggungjawab atas terjadinya pemanasan global dan menambah buruk potensi perubahan iklim. Selain itu, batubara juga melepaskan SOX dan NOX yang berimbas pada hujan asam. Polusi dari bahan bakar fosil adalah mimpi buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Di sisi lain, ‘polusi’ yang dibuang oleh energi nuklir hanya uap air. Tidak ada gas CO2 ataupun komponen sulfur dan nitrogen yang dilepaskan ke atmosfer ketika beroperasi. Emisi CO2 dari energi nuklir hanya berasal dari sumber tidak langsung, yakni dalam proses konstruksi. Itupun kecil sekali. Ketika beroperasi, praktis tidak ada emisi CO2 lagi. Apa pasal? Tidak ada pembakaran apapun di dalam PLTN. Bahan bakar nuklir menghasilkan panas melalui reaksi inti, dan di dalam reaksi itu sama sekali tidak ada komponen karbon. Perhatikan persamaan berikut. +
→
+
+ 2~3
+ ~200
Sehingga, secara praktis, nuklir sangat bersih. Jauh lebih bersih dan sehat bagi lingkungan dan manusia dibanding energi fosil. Meski bedanya tipis, tapi nyatanya emisi CO2 yang dihasilkan energi angin dan matahari malah lebih tinggi! Hal ini tidak bisa dipungkiri,
11
mengingat komponen yang dibutuhkan untuk membangun PLTB dan PLTS jauh lebih banyak dari PLTN. Perhatikan grafik berikut.
Gambar 1. Perbandingan emisi CO2 spesifik pada tiap moda pembangkitan daya dalam satuan kg CO2/kWh (Energy Watch Group, 2007)
Tidak cukup sampai di sana, PLTN juga menghasilkan sangat sedikit limbah. Ya, ini tidak salah tulis. Limbahnya sangat sedikit. Tiap tahunnya, bahan bakar PLTN hanya menghasilkan limbah sebanyak 2030 ton, yang volumenya setara dengan dua unit mobil, dan semuanya disimpan selama puluhan tahun di dalam gedung reaktor. Kalau limbahnya diproses ulang, volumenya tinggal seperlima mobil. Sedikit sekali. Bandingkan dengan batubara yang tiap tahun membuang ribuan sampai jutaan ton limbah ke atmosfer dan lingkungan, baik dalam bentuk abu maupun gas beracun.
12
Apakah limbah PLTN berbahaya? Dalam taraf tertentu, memang berbahaya, tapi yang berbahaya itu sedikit sekali. Sisanya tidak lebih sulit ditangani dibanding limbah industri lain. Apa pasal? 93% limbah PLTN itu low level, yang penanganannya tidak merepotkan. 4% merupakan intermediate level, yang perlu penanganan agak lebih, tapi tidak terlalu sulit. Barulah 3% lainnya, yaitu limbah bahan bakar PLTN yang disebut di atas itu, yang mesti diperhatikan lebih. Apa komposisi limbah dari bahan bakar PLTN? Simak tabel berikut. Tabel 2. Persentase unsur penyusun limbah PLTN (WNA)
Jenis Limbah Uranium-238 Uranium-235 Plutonium Produk fisi
Persentase (%) 95 1 1 3
Uranium-235 dan uranium-238 tidak berbahaya pada lingkungan dan bisa dipakai lagi di reaktor nuklir setelah diproses ulang. Kalaupun mau langsung ‘dibuang’, menguburnya pun tidak begitu repot, mengingat kondisinya sama saja dengan ketika pertama ditambang. Tapi, dari perspektif pemanfaatan, agak sayang kalau harus langsung dibuang begitu saja. Begitu pula plutonium. Sebagian menganggap plutonium itu limbah berbahaya yang mesti disingkirkan, tapi penulis berbagi pandangan dengan sebagian besar nuclear engineer bahwa plutonium itu bahan 13
bakar berharga. Plutonium bisa diproses ulang untuk dipakai sebagai bahan bakar PLTN. Jadi, yang disebut ‘limbah’ ini sebenarnya berguna sekali sebagai bahan baku penyuplai listrik. Plutonium itu beracun, iya, tapi tidak lebih berbahaya daripada sianida. Yang agak sedikit menjadi masalah mungkin 3% sisanya, yaitu produk fisi, serta sejumlah kecil unsur transuranik2 yang sebenarnya berada di kategori ‘plutonium’. Sebagian produk fisi dan unsur transuranik ada yang waktu paruh3nya panjang sekali. Sehingga, supaya bisa sampai level yang sama amannya dengan uranium alam, mesti menunggu sekitar 10 ribu tahun. Sebagian lain sudah berada pada level aman setelah didiamkan puluhan tahun saja, jadi yang ini bukan masalah besar. Tapi itu bukan tanpa solusi. Meski mungkin sulit, tapi secara praktis bisa ditangani dengan aman. Kontainer buat menampung limbah sudah ada teknologinya dan sudah terbukti, salah satuya yang dirancang Dr. Yudiutomo. Begitu pula tempat yang dianggap cocok untuk menguburnya, saat ini diajukan di Amerika Serikat, Swedia, Finlandia, Jerman dan potensial di Swiss. Situs reaktor nuklir alam di Gabon juga mengindikasikan kalau limbah bahan bakar PLTN tidak 2
Unsur dengan nomor atom lebih tinggi dari 92, termasuk plutonium, americium, curium, berkelium dan californium 3 Waktu yang dibutuhkan agar kadar radioaktivitas suatu unsur radioaktif turun menjadi setengahnya. Asumsikan suatu unsur memiliki waktu paruh 30 tahun. Jika radioaktivitas awalnya 40 Giga Becquerel, maka 30 tahun kemudian radioaktivitasnya tinggal 20 Giga Becquerel, 30 tahun berikutnya 10 Giga Becquerel, dan seterusnya.
14
akan menyebar kemana-mana dan membahayakan orang. Sampai sekarang, setelah lebih dari 60 tahun operasi PLTN, tidak pernah ada kasusnya limbah PLTN membahayakan publik. Belum lagi, sekarang sedang dikembangkan reaktor nuklir pemusnah limbah radioaktif, sehingga bisa mengurangi limbah lebih jauh dan mereduksi ‘waktu tunggu’ limbah sampai tinggal ratusan tahun saja. Lebih praktis daripada harus dikungkung selama 10 ribu tahun. Dengan kata lain, limbah saat ini adalah bahan bakar untuk masa depan. Yang paling bikin susah soal pengelolaan limbah PLTN itu bukan karena teknologi, tapi karena politik yang super ruwet dan persepsi sesat di tengah masyarakat. Seolah-olah limbah PLTN adalah limbah paling berbahaya di planet ini saja, sembari mengabaikan bahwa merkuri dan arsenik bahayanya jauh lebih besar. Sesulit-sulitnya menangani limbah PLTN, tidak lebih sulit daripada menangani limbah industri kimia4, yang sampai sekarang belum ada teknologi untuk menanganinya dengan mumpuni. Begitu pula, sampai sekarang limbah PLTU batubara nyaris tak terurus dan malah mengotori permukaan bumi. Dari sudut manapun, PLTN jelas paling bersih dibandingkan pembangkit daya lain. 4
Limbah PLTN hanya berbahaya selama kadar radiasinya lebih tinggi dari uranium alam, tapi limbah industri kimia berbahaya sampai kiamat.
15
3. Nuklir Itu Aman Energi nuklir itu aman, karena tidak pernah ada orang yang tewas akibat PLTN kecuali pada kasus Chernobyl. Itupun korbannya maksimal ‘hanya’ 50 orang. Selain kasus yang sangat unik itu, sekitar 440 unit PLTN beroperasi selama puluhan tahun tanpa adanya satupun korban, baik sakit parah maupun meninggal. US Bureau of Labour Statistics bahkan menyatakan bahwa bekerja di PLTN itu lebih aman daripada bekerja di restoran fastfood atau toko grosir! Di sisi lain, batubara melepaskan partikulat ke atmosfer, yang kelak dihirup oleh manusia dan mengakibatkan gangguan dan penyakit pernapasan. Sekitar 30 ribu orang meninggal tiap tahunnya di Amerika Serikat karena penyakit pernapasan yang bersumber dari partikulat batubara. Di Eropa bisa mencapai 20 ribu orang, sementara Cina angkanya mencapai ratusan ribu. Saat ini saja, polusi udara di Shanghai sudah melewati batas yang tidak bisa ditolerir dan mengakibatkan gangguan kesehatan pada warganya. Energi nuklir menyelamatkan jutaan manusia dari potensi merusak partikulat bahan bakar fosil. Kenapa PLTN aman? Sistem keselamatan PLTN itu berlapis, yang satu tidak bisa ditembus sebelum yang di dalamnya kokoh. Perangkat keselamatan mulai dari yang dikendalikan operator (biasanya di PLTN generasi awal), yang bekerja otomatis karena hukum alam (gravitasi), 16
sampai sifat alami dari dalam reaktor nuklir itu sendiri. Batang kendali sampai sistem pendinginan cadangan tersedia di dalam teras reaktor, untuk mengantisipasi bahkan kondisi terburuk yang mungkin terjadi. Semuanya melalui pemeriksaan ketat oleh regulator sebelum diberi lisensi untuk beroperasi5. Safety first. Lalu bagaimana dengan kecelakaan Chernobyl? Seperti dinyatakan di atas, ini kejadian unik yang tidak akan pernah mungkin terjadi kedua kalinya di belahan dunia manapun. Desain reaktor nuklir Chernobyl sangat buruk dan dioperasikan oleh orang yang sama sekali tidak kompeten. Kedua hal itu secara virtual tidak ada sama sekali di negara selain Uni Sovyet, dan jelas saja tidak ada vendor reaktor nuklir maupun regulator nuklir yang cukup tidak waras untuk memproduksi atau mengizinkan reaktor dengan desain seburuk itu beroperasi. Sisasisa reaktor nuklir sejenis di Rusia sudah dimodifikasi habis-habisan sehingga standar keselamatannya setara dengan yang ada di tempat lain. Fukushima? Levelnya malah lebih rendah lagi: tidak ada korban jiwa maupun luka akibat kecelakaan ini. Tidak terjadi ledakan yang merusak bejana reaktor. Bahkan radiasi yang terlepas ke lingkungan pun tidak seburuk yang digembar-gemborkan dan saat ini sebenarnya sudah 5
Sebagai bukti, PLTN Shin Kori unit 3 dan 4 serta Flamanville terlambat beroperasi karena ditemukan flaw pada sistem keselamatan dan perkabelan di dalamnya, sehingga diperbaiki dulu sebelum diberi lisensi operasi
17
aman untuk kembali ditinggali.. Korban meninggal di Fukushima itu diakibatkan oleh tsunami atau stress di tempat relokasi, bukan karena kecelakaan Fukushima sendiri. Energi nuklir mengakibatkan sedikit sekali korban ketika terjadi kecelakaan, jauh lebih sedikit kit dari batubara, gas, atau katakanlah, kendaraan bermotor. Serius, nih, korban tewas akibat kecelakaan bermotor di Indonesia dalam sehari itu lebih banyak daripada korban tewas akibat kecelakaan Chernobyl. Dilihat dari sudut manapun, energi nuklir adalah moda pembangkitan daya paling selamat yang pernah ada hingga saat ini. Perhatikan grafik berikut!
Gambar 2.. . Kematian per TWh energi, terlihat bahwa nuklir sangat sedikit sekali menyebabkan kematian dibandingkan sumber energi lain (credit: Talk Nuclear) Nuclear
4. Nuklir Itu Reliabel 18
Terakhir, nuklir itu reliabel. PLTN mampu beroperasi dalam waktu sangat lama dan menyuplai daya tinggi secara konstan. PLTN memiliki faktor kapasitas hingga 90%, jauh lebih tinggi daripada bahan bakar fosil yang hanya berkisar 60%! Artinya, PLTN bisa menyala selama 90% dari waktu operasionalnya. Penggantian bahan bakar hanya dilakukan setahun atau 18 bulan sekali. Beberapa jenis reaktor nuklir seperti Canadian Deuterium Uranium (CANDU) dan Advanced Gas-Cooled Reactor (AGR) malah tidak perlu mematikan reaktor untuk mengganti bahan bakar! Sementara energi matahari dan angin, mau dilihat dari segi manapun, mustahil untuk mencapai faktor kapasitas setinggi itu. Jangankan menyamai batubara, untuk bisa beroperasi 30% waktu saja sudah syukur. Itu angka optimis untuk energi angin. Energi matahari lebih buruk lagi, sekitar 20%. Bukan apa-apa, operasi keduanya jelas sangat tergantung cuaca; berangin atau tidak, cerah atau mendung, panas atau hujan, siang atau malam. Kalau tidak ada angin, PLTB tidak bisa beroperasi. Kalau malam hari, PLTS mau dapat sinar dari mana? Belum lagi perbandingan dayanya. PLTN jauh lebih bisa diandalkan, karena mampu menghasilkan daya lebih dari 1000 MW elektrik tiap unitnya. Bahkan, APR-1400 mampu mencapai 1400 MW elektrik! Suplai daya jauh lebih masif dan lebih banyak rumah yang bisa diterangi dengannya. Di masa depan, mungkin PLTN dengan daya lebih kecil akan lebih diminati, tapi tetap saja dayanya ratusan kali lebih 19
tinggi ketimbang PLTS dan PLTB. Sehingga, PLTN sangat reliabel dalam menyuplai daya tanpa henti ke lebih banyak masyarakat yang membutuhkan listrik. Karena memiliki faktor kapasitas yang sangat tinggi, rekam jejak minim gangguan dan daya tinggi, nuklir adalah moda pembangkitan listrik paling reliabel dibanding moda lain. Efeknya, yang namanya listirk byar-pet itu bisa diminimalisir sampai level sekecil mungkin, malah bisa dihilangkan sama sekali. Pembahasan di atas mengasumsikan bahwa sistem energi nuklir yang dipakai masih yang konvensional, alias yang banyak dipakai saat ini. Sementara, kalau menggunakan sistem energi nuklir yang lebih maju, yang kira-kira akan mulai muncul medio 2020-an, aspek-aspek keunggulan tersebut bisa lebih meningkat lagi. Tidak ada sumber energi yang sempurna, tentu saja. Semua sumber energi jelas memiliki perannya sendiri. Tapi menilik kebutuhan kita akan sumber energi yang murah, bersih, aman dan reliabel, maka nuklir jelas pilihan terbaik. Kalau ada pilihan terbaik seperti itu, lantas kenapa tidak kita ambil? Bahkan, kalau mau jujur, kita ini sudah terlambat puluhan tahun. Harusnya sejak tahun 60an kita sudah pakai energi nuklir. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan?
20
Kenapa Tidak Energi Terbarukan? Debat masalah opsi energi utama dari dulu tidak pernah berhenti. Apalagi kalau dikaitkan dengan isu iklim paling terkenal: pemanasan global. Hampir semua orang tahu masalahnya, tapi sulit sekali setuju akan bagaimana mengatasinya. Masalah jadi lebih rumit ketika kemudian, dalam usaha memerangi pemanasan global, energi terbarukan malah makin sering dibenturkan dengan nuklir. Menganggap seolah-olah energi terbarukan adalah panasea yang bisa membereskan pemanasan global begitu saja. Tidak, penulis tidak anti energi terbarukan. Penulis oke-oke saja dengan energi terbarukan macam energi bayu (angin) dan energi surya (matahari) dalam porsi tertentu. Yang disayangkan, kenapa mereka yang pro energi terbarukan banyak yang malah anti nuklir? Sampai ramai sekali menentang nuklir, tapi diam saja dengan batubara dan gas alam. Menganggap nuklir itu mahal lah, tidak selamat lah, rentan lah, macam-macam. Padahal, energi terbarukan itu tujuannya untuk memerangi pemanasan global, yang notabene malah disebabkan batubara dan gas alam itu, bukannya nuklir! Yang ada, nuklir merupakan penyumbang energi rendah karbon terbesar di dunia. Realitanya, desakan membabi buta terhadap energi terbarukan yang disertai penentangan terhadap nuklir malah bisa membuat usaha 21
mencegah pemanasan global menyimpang dan gagal. Di sisi lain, mengandalkan energi terbarukan saja tanpa sumber energi lain sama saja mengirim peradaban ke 100 tahun yang lalu. Apa pasal? Begini. Energi terbarukan itu kemampuannya terbatas. Contoh energi air. Untuk membangun PLTA, itu tidak bisa di sembarang tempat. Mesti di waduk atau sungai yang sangat deras, atau di manapun ada aliran air yang besar. Ketersediaan PLTA sangat bergantung ketersediaan sumber air di daratan yang melimpah. Okelah kalau misalnya di tempat seperti Norwegia, mungkin mayoritas bisa berasal dari air. Lha kalau di tempat lain? Belum tentu ada. Masalah kemudian akan muncul ketika musim kemarau/musim panas. Debit air pasti berkurang, yang berimbas ke daya yang dihasilkan ikut turun. Belum lagi ekosistem di sekitar PLTA yang terganggu karena pembendungan air. Meski begitu, energi air bisa dibilang yang paling reliabel dari opsi energi terbarukan yang ada. Apalagi, energi air bisa base load. Walau tentu saja, secara kapasitas tidak bisa diekspansi dari potensi yang sudah tersedia di alam. Panas bumi? Menurut beberapa sumber, Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia. Kedengarannya keren, kan, terbesar di dunia? Pertanyaannya, terbesar di dunia itu berapa? Nyatanya hanya
22
sekitar 27 GW. Realisasinya lebih rendah lagi. Itu juga mesti dinilai dulu, kira-kira panas buminya cukup sustainable atau tidak? Kalau panasnya cuma bisa bertahan 5 tahun, ya buat apa? Bagaimana dengan biofuel? Minyak yang dibuat dari tanaman seperti jagung atau singkong? Lebih bermasalah lagi. Pertama, luas lahan yang dibutuhkan untuk keperluan ini besar sekali. Kedua, penggunaannya akan mengganggu (baca: menaikkan) harga pangan. Padahal orang yang kelaparan di planet ini sangat banyak. Ketiga, secara ekonomis tidak logis untuk menggunakan biofuel untuk membangkitkan listrik, lebih logis untuk kendaraan bermotor. Sampailah kita pada dua model energi terbarukan yang paling dipujapuja abad 21: energi bayu dan surya. Sebagian penyeru energi terbarukan menganggap dua moda ini bisa mengatasi problematika pemanasan global dan kebutuhan energi dunia. Namun, mohon maaf, dilihat dari segi manapun, itu cuma utopia. Pasalnya, sifat-sifat asli dari energi bayu dan surya inilah yang justru menghalanginya untuk memangkas emisi karbon, apalagi memenuhi kebutuhan energi.
1. Energi Bayu dan Surya Tidak Reliabel Baik energi bayu maupun surya tidak cukup bisa diandalkan untuk skala besar, akibat sifatnya yang intermittent. Keduanya tidak bisa menyuplai daya secara kontinu 24 jam nonstop. Itu mustahil.
23
Yang namanya angin itu tidak mungkin berembus tiap saat. Pasti ada waktu ketika angin itu berembus kencang, ada kalanya berembus pelan dan ada waktunya tidak ada angin sama sekali. Fluktuasinya sulit diprediksi, sama sulitnya dengan memprediksi cuaca. Jadi, tentu saja, ada waktu ketika PLTB sama sekali tidak memproduksi listrik. Energi surya lebih parah lagi. Di musim kemarau mungkin cukup lumayan, tapi bagaimana di musim hujan? Lagipula, mendung sedikit saja bisa berimbas turunnya produksi listrik. Apalagi malam hari, sama sekali tidak ada produksi listrik. Padahal, kebutuhan listrik itu mesti 24 jam penuh, tidak boleh naik turun apalagi ada waktu kosong. Saat ini saja, pemadaman bergilir seringkali mengganggu aktivitas6 dan tentu saja mengurangi produktivitas. Apalagi industri, kebutuhannya akan listrik yang kontinu tidak bisa ditawar-tawar. Karena sifatnya intermittent, tentu faktor kapasitasnya pun tidak bisa diandalkan. Energi bayu kira-kira hanya bisa menghasilkan listrik 1530% dari waktu operasi. Energi surya lebih rendah, kira-kira hanya 1120%. Kecil sekali.
6
Misalnya mahasiswa/dosen yang sedang menjalankan simulasi kode yang butuh waktu berjam-jam, lalu di tengah jalan tahu-tahu mati listrik dan harus ulang simulasi dari awal. Menyebalkan sekali.
24
Sekadar perbandingan, PLTU batubara bisa menghasilkan listrik dalam 60% waktu operasi dan PLTN sampai 90%! Tidak ada yang mau, kan, listrik byar pet gara-gara tidak ada angin atau sedang hujan?
2. Energi Bayu dan Surya Itu Mahal Masalah ini tampaknya agak-agak lewat dari perhatian pendukung energi terbarukan. Harga listrik. Bukan apa-apa, untuk menunjang aktivitas ekonomi dan industri, listrik yang murah itu sudah jadi keharusan. Energi terbarukan, dari sisi manapun, tidak bisa memenuhi syarat ini. Oke, mungkin untuk energi air dan panas bumi bisa setara dengan energi fosil dan nuklir. Kalaupun lebih mahal, persentasenya tidak beda jauh. Tapi untuk energi bayu dan surya? Luar biasa sulit, kalau bukan mustahil, untuk bisa murah, kecuali disubsidi besar-besaran. Alasannya sederhana: densitas energi yang luar biasa kecil. Contoh energi bayu. Untuk menghasilkan energi yang sama dengan yang dihasilkan satu unit PLTN standar dengan daya 1000 MW elektrik, butuh kira-kira 1000-3000 unit kincir angin! Luas lahan yang ditelannya ratusan kali lebih besar. Bayangkan saja biaya pembebasan lahan dan biaya konstruksi kincir angin sebanyak itu. Kalau biaya konstruksi PLTN
25
saja sudah mahal, maka untuk menghasilkan daya setara, PLTB jauh lebih mahal lagi. Energi surya butuh lahan lebih sedikit dari energi bayu, tapi tetap saja jauh lebih besar daripada lahan untuk enegi nuklir. Kedua moda ini tidak pakai bahan bakar sama sekali (namanya juga energi terbarukan), tapi biaya konstruksinya saja cukup untuk membuatnya jadi sumber energi paling mahal. Berikut proyeksi Robert Hargraves untuk biaya produksi listrik di Amerika Serikat. Tabel 3. Proyeksi biaya produksi listrik dari berbagai sumber energi diAmerika Serikat. Tampak bahwa biaya produksi listrik energi bayu dan surya paling mahal. (Hargraves, 2012)
26
Terkait dengan sifat intermittent, ada solusi yang ditawarkan agar energi bayu dan surya bisa digunakan ketika angin tidak berembus atau sinar matahari tidak tampak: penyimpanan energi. Kadangkadang, ketika operasi sedang full power, energi yang dihasilkan oleh PLTB dan PLTS melebihi energi yang dibutuhkan. Nah, energi yang kelebihan ini bisa disimpan dalam beberapa moda penyimpanan, bisa berupa pump hydro atau mungkin baterai. Energi yang disimpan ini bisa dipakai lagi ketika tidak ada angin atau sinar matahari. Masalahnya? Moda penyimpanannya ini mahal sekali dan tidak benarbenar bisa diandalkan. Hargraves memperkirakan, moda penyimpanan baterai saja bisa menambah biaya produksi listrik minimal US$ 20 sen/kWh! Hampir setara dengan biaya produksi listriknya sendiri. Dengan kata lain, menggunakan asumsi pada Tabel 3, penggunaan moda penyimpanan ini menaikkan harga listrik jadi dua kali lipat! Sebagai perbandingan, biaya produksi listrik dari PLTN di Amerika Serikat saat ini adalah US$ 1-2 sen/kWh. Karena itulah, di luar sana, energi terbarukan itu dapat subsidi luar biasa tinggi, 17 sampai 140 kali lipat subsidi untuk energi nuklir! Saking mahalnya listrik dari energi bayu dan surya. Para pelaku industrinya juga mengakui, kalau tanpa subsidi besar-besaran, energi terbarukan tidak akan mampu bersaing dan mati dengan cepat. Di Australia Selatan, yang masif menggunakan energi bayu menggantikan batubara, biaya produksi listrik reratanya melonjak hingga mencapai 27
US$ 30 sen/kWh! Jerman, yang luar biasa ambisius dengan proyek Energiewende, harga listriknya paling mahal kedua di Eropa, setelah Denmark. Mungkin harga panel surya dan turbin angin sudah turun dibandingkan belasan tahun yang lalu, tapi tetap tidak cukup untuk membuat harga listriknya menjadi murah.
3. Energi Bayu dan Surya Itu Polutif Sepertinya yang ini akan jadi pertanyaan besar. Bagaimana bisa energi terbarukan, yang tidak menggunakan bahan bakar dan semata-mata memanfaatkan potensi alam, kok malah polutif? Jawabannya,
polusinya
memang
secara
tidak langsung,
tapi
diakibatkan oleh sifat alami energi terbarukan yang tidak reliabel. Begini. Sudah paham, kan, kalau energi surya dan bayu hanya menghasilkan listrik dalam persentase kecil dibanding waktu operasinya? Energi bayu 30% dan surya 20%. Artinya, masih ada kekurangan daya yang mesti dipenuhi, bukan? Perlu backup energi. Nah, backup-nya apa? Energi fosil! Di luar negeri, kekurangan daya dari energi surya dan bayu ditutupi oleh, kalau bukan batubara, ya gas alam. Di Indonesia, backup-nya sering menggunakan mesin diesel. Dengan kata lain, justru mayoritas
28
dayanya disuplai dari bahan bakar yang kotor dan polutif, walau namanya ‘energi terbarukan’. Kalau sudah begini, wajar saja emisi gas CO2 malah naik seiring dengan bertambahnya jumlah instalasi PLTS dan PLTB, karena keduanya tetap menggunakan energi kotor sebagai backup, meski kenyataannya, backup ini malah lebih banyak menghasilkan daya daripada energi terbarukannya. Untuk memerangi pemanasan global, malah jadi kontraproduktif.
4. Kegagalan Energiewende Politik energi Jerman, Energiewende (transisi energi), digadang-gadang merupakan langkah revolusioner untuk menggeser paradigma energi menuju energi bersih, reliabel dan affordable. Itu secara teori. Secara realita, energiewende itu bencana. Langkah kunci dalam Energiewende adalah penghapusan total energi nuklir pada tahun 2022, meski kemudian Kanselir Angela Merkel memundurkannya jadi 2035. Selain itu, energi terbarukan seperti energi bayu dan surya didorong untuk digunakan secara masif. Dilihat dari trennya, kapasitas daya dari energi terbarukan yang terpasang di Jerman meningkat cukup drastis sejak tahun 2000. Uniknya, rencana penghapusan PLTU batubara dan gas justru belum jelas. Bagaimana hasilnya? 29
Harga listrik di Jerman naik drastis. Tahun 2015, tarif listrik untuk perumahannya US$ 31 sen/kWh, jauh lebih tinggi dari rerata Eropa yang berkisar US$ 26 sen/kWh dan salah satu yang tertinggi di dunia. Pendapatan operator PLTU turun hingga 30%, karena mereka harus membeli listrik dengan harga mahal dari energi terbarukan dan menjualnya dengan harga murah. Subsidi energi di Jerman pada tahun 2014 mencapai US$ 16,8 milyar, dan makin tahun makin bertambah. Sementara, performa PLTB dan PLTS Jerman sendiri menyedihkan, hanya mampu menghasilkan listrik berkisar 19% dan 11% waktu operasi. Sisanya? Dari gas dan batubara, tentu saja. Lebih lucu lagi, Jerman berniat menutup PLTN, yang merupakan sumber energi rendah karbon terbaik, tapi malah membangun belasan PLTU batubara baru! Karena energi surya dan bayu itu keluaran dayanya tidak stabil, kalau disambungkan ke grid listrik dengan kapasitas tinggi, hasilnya bisa merepotkan. Ketidakstabilan keluaran daya jelas membuat grid listrik jadi tidak stabil dan rentan terjadinya gangguan bahkan kerusakan. Butuh banyak sekali intervensi untuk menstabilkan grid listrik itu. Repot. Lalu, apakah berhasil mengurangi emisi karbon? Jawabannya, gagal total. Emisi karbon per kapita di Jerman tetap menjadi salah satu
30
tertinggi di Eropa. Bahkan Inggris Raya yang dominan energi fosil saja emisi per kapitanya lebih rendah! Level emisinya relatif setara selama belasan tahun terakhir. Kalaupun turun, hanya sedikit, 5%. Padahal bauran energi terbarukan naik 13% dengan biaya yang tidak sebanding dengan hasil, alias super duper mahal. Listrik mahal, banyak terjadi luar biasa tinggi dan membebani anggaran negara, biaya integrasi ke grid listrik yang besar, tapi emisi karbon tetap saja tidak berhasil dikurangi. Usaha memerangi pemanasan global tinggal angan-angan tanpa realisasi. Dr. Kurt Gehrlert dari University of Bielefeld menyatakan bahwa Energiewende gagal total. Oscaragostino Mignone dari Politecnico di Milano menyatakan keputusan Jerman untuk menutup PLTN, sebagai langkah kunci Energiewende, adalah keputusan yang absurd serta miskin akan pandangan profesional dan ekonomi. Prancis, Swiss dan Swedia tidak banyak memfokuskan diri di energi terbarukan. Prancis itu dominan nuklir, sampai 78%. Swedia lebih dari 40% dan Swiss 39%. Baik Swedia maupun Swiss memang banyak didukung energi air, PLTA, sehingga kebutuhan nuklir mereka tidak terlalu banyak. Walau energi bayu dan surya yang mereka pakai sedikit sekali, nyatanya emisi CO2 per kapitanya sangat rendah. Bahkan emisi Swiss nyaris setengah dari Jerman! Perhatikan tabel berikut.
31
Tabel 4. Energy Trilemma Index 2015, emisi CO2 per kapita Jerman jauh lebih tinggi daripada Prancis, Swiss dan Swedia (WEC, 2015)
Bauran energi bayu dan surya di Jerman baru seperempat energi nasionalnya, dan komplikasi masalah sudah begitu akut. Sulit membayangkan kalau bauran energinya lebih tinggi lagi. Energiewende hanya bisa diambil sebagai contoh buruk dan sudah seharusnya dihindari. Mendorong penggunaan energi terbarukan sembari membuang nuklir itu blunder dahsyat terhadap usaha melawan pemanasan global. 32
5. Kesimpulan Tidak, sekali lagi penulis tidak anti energi terbarukan. Yang mesti menjadi perhatian adalah, energi terbarukan itu bukan panasea. Bukan “obat segala penyakit” seperti retorika tukang jualan herbal. Yang ada, masalahnya lebih banyak daripada opsi energi yang sudah ada. Baiknya, tempatkan energi terbarukan pada tempat yang seharusnya. Biar bagaimanapun, sifat-sifat alami energi terbarukan itu mustahil menjadikan mereka opsi energi utama. Sampai-sampai Bill Gates saja mengatakan kalau energi surya dan bayu itu bukan solusi untuk mengatasi persoalan energi dunia. Untuk energi utama, yang paling mumpuni dan paling layak itu kalau bukan energi fosil ya energi nuklir. Sementara, opsi energi utama yang paling bersih dan bisa membantu menangkal pemanasan global adalah energi nuklir. Menangkal pemanasan global itu lebih mudah kalau mengombinasikan energi nuklir dan energi terbarukan. Energi nuklir punya densitas daya yang luar biasa tinggi, sehingga lebih murah dan efektif untuk menyuplai energi rendah karbon. Energi air bisa juga menjadi opsi utama bersama nuklir, tapi sekali lagi, tidak bisa di semua tempat. Energi bayu dan surya bisa digunakan sebagai komplementer, bukan utama. Nuklir ada porsinya, energi terbarukan juga punya bagian
33
tersendiri. Terlalu pro-energi terbarukan sampai-sampai menganggap nuklir itu tidak diperlukan lagi sama saja mengundang masalah baru. Jadi, kalau mau serius menghasilkan energi yang murah, reliabel dan bersih untuk menangkal ancaman pemanasan global, yang paling mampu dan teruji kemampuannya memang nuklir. Kalau tersedia, bisa dikombinasikan dengan energi air. Sementara, kemampuan energi surya dan bayu itu terbatas, tidak bisa memenuhi ketiga syarat tadi. Sehingga, tidak cocok untuk digunakan dalam skala besar apalagi sumber energi utama, meski tentu bisa untuk komplementer.
34
Bagaimana Reaktor Nuklir Menghasilkan Listrik? Sampai tahun 2015, nuklir menyumbangkan sekitar 2.441 TWh listrik di seluruh dunia, dari 439 unit reaktor nuklir yang beroperasi. Sementara, 66 unit reaktor nuklir sedang dalam pembangunan, 8 diantaranya mulai dibangun pada tahun 2015 dan 158 unit lain dalam perancangan. Total, nuklir menyumbang 10% dari produksi listrik dunia. Di beberapa negara, misalnya Prancis, nuklir menjadi sumber energi utama, menyumbang 78% produksi listrik mereka. Di Swedia, 10 unit PLTN mereka menyumbang hampir setengah kebutuhan listrik negara. Jepang, yang menutup seluruh reaktor nuklirnya pasca kecelakaan Fukushima tahun 2011, mulai tahun kemarin menyalakan kembali reaktor nuklirnya secara bertahap. Karena Jepang sadar, nuklir memang opsi terbaik mereka. Biar bagaimanapun, tidak bisa dipungkiri bahwa nuklir adalah sumber energi rendah karbon termurah yang tersedia saat ini. Mungkin akan timbul pertanyaan: Apa, sih, bedanya PLTN dengan PLT lainnya? Kok, bisa menghasilkan listrik murah rendah karbon begitu? Realitanya, tidak ada misteri sama sekali. PLTN hanya sebuah instalasi yang menghasilkan listrik menggunakan reaktor nuklir, turbin dan
35
generator listrik. Uranium mengandung energi nuklir, dan energi ini bisa dilepaskan di dalam reaktor. Energi itu kemudian dikonversi menjadi panas, lalu panasnya digunakan untuk memanaskan air dan membuat uap. Terakhir, uap itu digunakan untuk menggerakkan turbin, yang terpasang pada koil kabel tembaga di dalam magnet (yang kita sebut sebagai generator). Nah, listriknya dihasilkan ketika kabel tadi berputar di dalam magnet. Ya, prinsip umumnya sesederhana itu. Lantas, bedanya di mana? Jika jeli mengamati penjelasan di atas, mudah sekali ditemukan bahwa bedanya ada di pembangkitan panas. Iya, di situ saja. Sisanya kurang lebih sama dengan PLT lain, PLTU batubara, misalnya. Reaktor nuklir, inti dari PLTN, menghasilkan dan mengendalikan energi melalui pembelahan atom uranium. Atau, dalam kasus lebih kecil, plutonium. Itulah yang akan dibahas di sini. Sebenarnya reaktor nuklir bukan hanya satu jenis, melainkan belasan. Tapi, kali ini akan dibahas mekanisme dalam reaktor nuklir paling umum saja, yaitu Light Water Reactor (LWR/Reaktor Air Ringan). LWR ada dua jenis, yaitu Pressurised Water Reactor (PWR/Reaktor Air Bertekanan) dan Boiling Water Reactor (BWR/Reaktor Air Didih).
36
Komponen utama dari PLTN adalah teras7 reaktor. Teras di sini adalah inti dari reaktor nuklir itu sendiri. Di tempat inilah pembangkitan panas berlangsung. Teras reaktor nuklir pada umumnya terdiri dari empat bagian: uranium (dan plutonium, dalam taraf lebih kecil), air, perangkat kendali, dan perisai radiasi. Yang akan dibahas adalah dua bagian awal saja. Uranium dan plutonium, tentu saja, berfungsi sebagai bahan bakar. Uranium-235 adalah bahan bakar fisil satu-satunya yang berada di alam, kadarnya 0,7% dari uranium alam (sisanya uranium-238 yang tidak fisil). Dalam reaktor PWR dan BWR, uranium dan plutonium dibentuk dalam bentuk pelet keramik uranium oksida dan plutonium oksida. Pelet ini berdiameter dan tinggi kurang lebih satu senti. Satu pelet ini cukup untuk menghasilkan listrik untuk 8000 rumah selama kira-kira sebulan. Yep, dahsyat. Pelet-pelet ini kemudian disusun vertikal dalam kelongsong (biasanya terbuat dari zirkonium) yang kita sebut ‘batang bakar’, lalu kemudian disusun di dalam teras reaktor. Biasanya, dalam satu reaktor nuklir, ada ribuan susunan batang bakar. Untuk reaktor berdaya 1000 MW elektrik, terasnya kira-kira berisi 75 ton uranium diperkaya. Bagaimana kemudian uranium ini menghasilkan panas? Ketika atom uranium-235 ditembak netron, dia akan membelah (istilahnya berfisi). Reaksi fisi ini menghasilkan panas yang dahsyat melalui reaksi yang 7
Huruf e di sini dibaca seperti keras, bukan e dalam pena.
37
disebut ‘reaksi fisi berantai’. Proses ini bergantung pada kehadiran moderator dan sepenuhnya terkendali. Apa fungsi moderator? Medium ini tugasnya melambatkan netron yang dihasilkan oleh reaksi fisi uranium-235. Netron yang diperlambat inilah yang mampu membelah atom uranium-235 dan melanjutkan reaksi fisi berantai. Kalau tidak diperlambat, netron melaju terlalu cepat (sekitar 40 juta mil per jam) dan sebagian besarnya melewati atom uranium-235 begitu saja, tidak mampu membelah, lalu hilang.
Gambar 3. Reaksi fisi nuklir
Di reaktor PWR dan BWR, moderatornya berupa air. Selain bertugas memperlambat netron, air ini juga berfungsi mengalirkan panas yang dihasilkan oleh reaksi fisi tadi. Ada sedikit perbedaan pada detail dari kedua reaktor, yang akan dijelaskan kemudian.
38
Masih mengenai bahan bakar, yaitu uranium, sebagian uranium-238 dalam teras reaktor akan menangkap netron dan bertransmutasi menjadi plutonium. Seperti uranium-235, atom ini bisa berfisi juga. Sekitar setengah dari plutonium yang dihasilkan ini turut berfisi, menghasilkan kurang lebih sepertiga dari daya panas yang dihasilkan reaktor. Sementara, produk fisi lain yang terbentuk akan tetap berada di dalam pelet dan mengalami peluruhan radioaktif. Peluruhan ini juga melepaskan sedikit panas. Biar begitu, pada dasarnya produk fisi ini adalah limbah. Selain uranium-235 dan plutonium, ada bahan bakar fisil lain, yaitu uranium-233. Tapi saat ini keberadaannya sangat jarang, mengingat bahan bakar ini, seperti plutonium, tidak ada secara alami. Uranium233 berasal dari transmutasi thorium, yang sampai sekarang belum banyak diaplikasikan di reaktor nuklir. Bagian yang kedua adalah air. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa moderator dari PWR dan BWR adalah air, sekaligus berfungsi sebagai penghantar panas. Air ini dijaga pada suhu diatas 320 oC dalam bejana bertekanan tinggi. Bedanya, PWR memiliki tekanan bejana lebih tinggi, untuk menjaga agar air tidak mendidih di dalam teras. Uapnya dihasilkan di luar teras reaktor, dengan mengalirkan air panas bertekanan tinggi ke heat exchanger. Air panas melewati heat exchanger, memanaskan air di perpipaan air sekunder dan barulah menghasilkan uap. Sementara itu, BWR memiliki tekanan reaktor 39
relatif lebih rendah, sehingga memungkinkan terjadinya penguapan di atas teras reaktor. Uap panas inilah yang langsung dialirkan dialir ke turbin. Setelah menggerakkan turbin, uapnya dikondensasi dan dialirkan kembali, entah ke sistem perpipaan air sekunder ataupun ke dalam teras reaktor.
Gambar 4. Skema Pressurised Water Reactor (PWR)
Gambar 5. Skema Boiling Water Reactor (BWR)
40
Bejana bertekanan dan pembangkit uap dilindungi di dalam struktur pengungkung dari beton setebal 1,2 meter, untuk melindungi lingkungan jika ada masalah dalam reaktor dan untuk mencegah reaktor dari serangan eksternal atau sabotase, termasuk dari pesawat sekalipun. Mengingat panas juga dihasilkan oleh peluruhan radioaktif, bukan hanya reaksi fisi, bahkan setelah reaktor shutdown, maka digunakan sistem pendinginan untuk membuang panas tersebut. Termasuk untuk membuang panas reaktor yang tidak termanfaatkan. Untuk reaktor nuklir generasi awal, sistem pembuangan panasnya masih aktif, menggunakan pompa elektrik, sehingga butuh campur tangan operator. Di reaktor nuklir generasi baru, sistem pembuangan panasnya
pasif,
tidak
butuh
campur
tangan
operator
dan
mengandalkan hukum gravitasi. Sistem pasif lebih selamat dari sistem aktif, karena mengeliminasi peluang human error.
41
Berkenalan Dengan Molten Salt Reactor Secara filosofis, PLTN adalah moda energi paling murah, aman, bersih dan reliabel dalam menghasilkan listrik. Selama puluhan tahun, PLTN memberi kontribusi terbesar dalam menyuplai listrik rendah karbon, menyuplai 10% kebutuhan listrik dunia. Persentase ini kelak harus meningkat, demi meningkatkan kesejahteraan dan menangkal ancaman pemanasan global. Apakah berarti sudah sempurna? Tidak, tentu saja tidak. Tidak ada seorangpun yang bisa mengklaim bahwa PLTN itu sempurna. Pilihan terbaik, iya, tapi tidak sempurna. Masih ada masalah yang dialamatkan oleh para nuclear engineer dan saintis pada teknologi PLTN yang ada saat ini. Contohnya biaya konstruksi yang terlampau tinggi, kompleksitas sistem keselamatan, ancaman proliferasi8, rendahnya pemanfaatan potensi bahan bakar, serta limbah radioaktif berumur panjang. Hal-hal ini terus memacu riset PLTN agar masalah-masalah tersebut bisa ditanggulangi. Dalam hemat penulis, sebenarnya sebagian masalah tersebut tidak sepenuhnya adalah masalah. Dianggap sebagai masalah besar sematamata karena overkomplikasi regulasi dan delusi publik akan ‘risiko’ 8
Penyalahgunaan bahan bakar nuklir untuk keperluan pembuatan senjata nuklir
42
yang sebenarnya tidak pernah ada realisasinya. Walau demikian, penulis sepakat bahwa yang namanya teknologi harus terus disempurnakan, supaya kemaslahatan manusia lebih tinggi lagi. Dari sudut pandang penyempurnaan, aspek-aspek tadi memang benar bisa dan tentu saja perlu disempurnakan. Reaktor nuklir generasi terbaru sudah berusaha mengatasi sebagian masalah tadi, dengan menerapkan sistem keselamatan pasif, pemanfaatan bahan bakar lebih tinggi dan penghematan komponen untuk memangkas biaya konstruksi. Namun, semuanya masih berbasis desain yang sama: PLTN berbahan bakar padat dan berpendingin air. Belum merupakan perubahan radikal. Di sisi lain, ada teknologi reaktor nuklir dari era 1960an yang agak terlupakan, tapi dianggap bisa menyempurnakan aspek-aspek yang ada dalam PLTN konvensional. Sekarang, teknologi reaktor ini mulai banyak dilirik kembali. Perkenalkan, Molten Salt Reactor. Molten Salt Reactor (MSR), sebagaimana namanya, adalah reaktor nuklir yang menggunakan bahan bakar dan pendingin berupa senyawa garam dalam bentuk leburan/cair. Jadi, bukan menggunakan bahan bakar padat seperti PLTN konvensional. Reaktor nuklir ini pertama dikembangkan di Oak Ridge National Laboratory (ORNL), Amerika
43
Serikat, di bawah pengawasan Dr. Alvin Weinberg. MSR pertama yang berhasil dibangun adalah Molten Salt Reactor Experiment (MSRE). Reaktor ini menggunakan bahan bakar LiF-BeF2-ZrF4-UF4, dan berhasil beroperasi dengan sukses selama empat tahun.
Gambar 6. Desain skematik MSR (GIF)
Walau demikian, karena politik Amerika Serikat dalam Perang Dingin yang lebih fokus pada produksi plutonium untuk senjata nuklir, pengembangan MSR dihentikan pada awal 1970. Rancangan Molten Salt Breeder Reactor (MSBR) milik ORNL tidak pernah terwujud. Dari tahun itu sampai awal abad 21, riset mengenai MSR terbilang minim
44
dan tidak pernah ada lagi MSR yang dibangun. Sejak tahun 2001, ketika MSR dimasukkan dalam konsep reaktor Generasi IV, barulah konsep ini mulai dilirik lagi.
1. Karakteristik MSR Seperti ditekankan sebelumnya, MSR menggunakan bahan bakar dalam bentuk cair alih-alih padat. Garamnya bisa berupa garam fluorida maupun klorida, tapi yang umum dikenal saat ini dalam bentuk fluorida. Biasanya, komposisi garam bahan bakar yang digunakan adalah LiF-BeF2-ThF4-UF4. Bisa juga menggunakan garam lain seperti NaF, KF, RbF4, ZrF, PuF3 atau menggunakan kombinasi garam berbeda-beda, tergantung kebutuhan dan pertimbangan lainnya. FItur menarik dari MSR adalah kemampuan untuk memanfaatkan bahan bakar fertil, yaitu thorium. Hal ini tidak ditemukan di LWR konvensional, yang cenderung hanya memanfaatkan uranium saja. Karena itulah, MSR seringkali diasosiasikan dengan siklus bahan bakar thorium. Walau begitu, secara prinsip, MSR bisa menggunakan bahan bakar apa saja. Uranium-233, uranium-235 bahkan plutonium dari bahan bakar bekas sekalipun. Karena menggunakan garam cair, MSR beroperasi di suhu tinggi. Rentangnya berkisar 600o C hingga 1000o C. Sebabnya, garam itu baru mencair di suhu sekitar 350-500o C. Titik didih senyawa garam ini juga 45
sangat tinggi, 1200o C atau lebih. Sehingga, secara praktis, MSR beroperasi dengan tekanan atmosfer, mengeliminasi kemungkinan ledakan akibat tekanan terlalu tinggi. Tidak seperti LWR, MSR tidak menggunakan air sebagai moderator. Fungsi itu digantikan dengan grafit. Sehingga, di teras reaktornya tidak ada air sama sekali. Fasa materialnya jadi terbalik dengan LWR; bahan bakar cair dengan moderator padat. Penggunaan bahan bakar cair juga meniscayakan tidak perlunya kelongsong untuk membungkus bahan bakar. Sebagai gantinya, dibuat kanal-kanal dalam grafit untuk tempat mengalirnya bahan bakar. MSR sendiri punya beberapa varian. Dari segi zonasi bahan bakar, MSR bisa dibagi menjadi one fluid dan two fluid. One fluid berarti bahan bakar fisil (uranium) dan fertil (thorium) dicampur dalam satu garam bahan bakar. Contohnya jadi LiF-BeF2-ThF4-UF4. Biar begitu, terasnya sendiri bisa saja dibuat dua zona; zona core dengan ukuran kanal lebih kecil untuk memaksimalkan reaksi fisi uranium dan zona blanket dengan ukuran kanal lebih besar untuk memaksimalkan reaksi tangkapan thorium. Tipe one fluid secara desain lebih simpel dan lebih mudah diaplikasikan, tapi pemanfaatan bahan bakarnya tidak sebaik two fluid.
46
Gambar 7. Contoh sketsa melintang one fluid MSR (bahan bakar tunggal berwarna biru), Kanal tengah berfungsi sebagai core dan kanal yang mengelilinginya berfungsi sebagai blanket. (Dwijayanto, 2016)
Tipe two fluid, sementara itu, garam bahan bakarnya dipisah; bahan bakar fisil (misalnya LiF-BeF2-UF4) di zona core dan bahan bakar fertil (misalnya LiF-BeF2-ThF4) di zona blanket. Varian ini lebih baik dalam pemanfaatan bahan bakar dan keselamatannya lebih tinggi, tapi sistemnya rumit dan usia pakai grafitnya lebih pendek akibat densitas daya yang sangat tinggi.
47
Gambar 8. Contoh sketsa melintang two fluid MSR. Bahan bakar fisil berada di zona core (ungu muda) dan bahan bakar fertil di zona blanket (biru). (Adi Putra, 2015)
Dari spektrum netronnya, MSR secara umum bisa dibagi menjadi MSR termal dan MSR cepat. Sebagian besar MSR yang didesain saat ini merupakan MSR termal. Varian ini menggunakan moderator grafit untuk memperlambat kecepatan netron sampai kecepatan netron termal. Karena itu, supaya bisa beroperasi, lebih sedikit bahan bakar awal yang dibutuhkan. MSR cepat tidak menggunakan moderator sama sekali, sehingga yang dimanfaatkan adalah netron cepat. Konsekuensinya, butuh lebih banyak bahan bakar fisil untuk bisa beroperasi. Hanya saja, varian ini punya keunggulan untuk ‘memusnahkan’ limbah nuklir level tinggi.
2. Keunggulan MSR
48
Dilihat dari kronologi, MSR memang konsep lama. Namun, secara fitur, justru MSR menawarkan keunggulan dibandingkan LWR konvensional. Ada banyak sekali kelebihan, tapi untuk mempermudah pembahasan, kita kategorikan dari segi sustainabilitas, pemanfaatan eksternal, limbah, keselamatan, keamanan dan tentu saja, biaya. -
Sustainabilitas
Kalau dikaitkan dengan pemanfaatan bahan bakar, bahan bakar cair jelas superior dibandingkan bahan bakar padat. Apa pasal? Ada beberapa alasan. Pertama, bahan bakar cair tidak butuh fabrikasi dan kelongsong. Sehingga, nilai ekonomi netronnya tinggi. Kalau di bahan bakar padat, adanya berbagai komponen dalam teras mengganggu ekonomi netron, sebab seringkali netron malah terserap oleh bahan-bahan itu alih-alih diserap oleh bahan bakar.
Istilahnya,
banyak
netron
yang
‘hilang’
alih-alih
termanfaatkan. Selain itu, di LWR, beberapa produk fisi berbentuk gas seperti xenon-135 dan xenon-133 juga bisa ‘menghilangkan’ netron itu, akibat kemampuan menangkap netronnya yang tinggi. Padahal kedua unsur ini tidak berguna dalam reaktor nuklir, cuma racun terhadap netron. Sialnya, karena terjebak dalam kelongsong bahan bakar, racun netron ini tidak bisa begitu saja dikeluarkan dari teras reaktor. Karena MSR bentuknya cair, gas-gas ini bisa 49
dikeluarkan dari teras dengan mudah, membuat netron bisa termanfaatkan dengan jauh lebih baik di bahan bakar. Efeknya, penggunaan bahan bakar bisa lebih hemat dari LWR. Karena berbentuk cair dan ekonomi netronnya tinggi, nilai burnup bahan bakar juga lebih baik. Kalau LWR cuma bisa memanfaatkan sekitar 2-3% bahan bakarnya, maka MSR bisa memanfaatkan sampai 90%! Sangat efisien dan hemat bahan bakar. MSR diproyeksikan supaya menggunakan bahan bakar thorium. Dibanding uranium, kelimpahan thorium di alam 4 kali lipat lebih tinggi. Di dalam reaktor, thorium diubah menjadi uranium-233, bahan bakar fisil yang paling superior dan tentu saja paling efisien. Untuk mengoperasikan MSR berdaya 1 GW elektrik, selama setahun, cuma dibutuhkan sekitar 800 kg thorium! Dalam kalkulasi Dr. Andang Widi Harto, MSR yang didesainnya butuh 780 kg thorium. Artinya memang tidak jauh dari segitu. Bandingkan dengan LWR yang butuh setidaknya 250 ton uranium alam untuk daya yang sama. Menurut perkiraan, ada sekitar 170 ribu ton thorium di Indonesia. Maka, kalau 100 unit MSR berdaya 1 GW dioperasikan di negeri ini, bahan bakarnya bisa bertahan selama sekitar 1000 tahun!
50
Yang lebih menarik, MSR memiliki kemampuan pembiakan. Maksudnya adalah menghasilkan bahan bakar lebih banyak daripada yang dikonsumsi. Kalau misalnya satu unit MSR mengonsumsi 1 ton uranium-233 per tahunnya, maka jumlah uranium-233 yang diproduksi dari thorium sebesar 1,06 ton. Dengan kata lain, surplus 60 kg. Surplus ini bisa diakumulasikan untuk kemudian digunakan di MSR lain untuk bahan bakar startup. Belum lagi kemampuan MSR untuk mengonsumsi bahan bakar bekas LWR, dalam hal ini plutonium dan limbah transuranik. Selain mengurangi jumlah limbah, juga meningkatkan level pemanfaatan bahan bakar. Penggunaan
MSR
sangat
signifikan
untuk
meningkatkan
sustainabilitas energi selama ribuan tahun ke depan. -
Pemanfaatan Eksternal
Secara teoretis, MSR bisa beroperasi bahkan mencapai lebih dari 1100o C, kalau bukan dihalangi oleh kekuatan material konstruksi. Angka konservatif untuk operasi MSR itu sekitar 700-800o C. Ini berimbas pada setidaknya dua hal. Pertama, efisiensi konversi daya yang lebih tinggi ketimbang LWR. Saat ini, LWR hanya bisa beroperasi dengan efisiensi 33%, karena suhu maksimalnya hanya 320o C. Itu saja perlu bejana bertekanan sangat tinggi supaya bisa
51
beroperasi di suhu itu. Sementara, semakin tinggi suhu, efisiensi konversi daya semakin tinggi. Karenanya, MSR dapat beroperasi dengan efisiensi antara 45-52%. Artinya, untuk menghasilkan daya 1000 MW elektrik, MSR hanya perlu menghasilkan panas sekitar 2250 MW termal. Bandingkan dengan LWR yang butuh setidaknya 3000 MW termal! Efeknya ke efisiensi bahan bakar sebagaimana poin sebelumnya. Kedua, suhu tinggi meniscayakan MSR bisa digunakan untuk keperluan termal lain. Panas buangan MSR tidak hanya sekadar dilepas saja ke lingkungan, tapi bisa dipakai untuk keperluan termal lain. Istilahnya adalah kogenerasi. Untuk sekadar desalinasi air laut, pemanasan ruang dan sterilisasi bahan, LWR juga bisa. Tapi untuk keperluan lain seperti enhanced oil recovery, gasifikasi batubara, distilasi minyak bumi, pencairan batubara,
produksi
hidrogen
dan
sintetis
bahan
bakar
hidrokarbon, butuh suhu lebih tinggi daripada yang bisa dicapai LWR. Dan itu bisa dicapai oleh MSR. Produksi hidrogen dan sintetis bahan bakar hidrokarbon ini menarik, karena keduanya bisa digunakan untuk substitusi bahan bakar minyak di kendaraan bermotor. Di alam, hidrogen hanya ada dalam bentuk senyawa, dan memisahkannya susah. Butuh suhu tinggi, 900-1000o C. Karena MSR bisa beroperasi dalam rentang 52
suhu itu, radiolisis hidrogen dari air bisa dilakukan. Makin tinggi suhunya, efisiensi produksi makin tinggi. Sintetis bahan bakar hidrokarbon lebih menarik, karena karbonnya sendiri didapatkan dari udara. Melalui serangkaian proses kimiawi, CO2 ditangkap oleh reaktor nuklir dan dikonversi menjadi bahan bakar identik dengan bensin. Di sisi lain, penangkapan karbon ini berperan mengurangi polusi CO2 di udara, sehingga membantu mengurangi efek gas rumah kaca dan mungkin membantu mengurangi potensi pemanasan global.
53
Gambar 9. Skema penangkapan karbon untuk sintetis bahan bakar (Harto, 2013)
Suhu operasi MSR yang tinggi memberikan keuntungan yang luar biasa bermanfaat untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
54
-
Limbah
Masalah ini paling sering dilemparkan oleh banyak kalangan akan kekhawatirannya terhadap energi nuklir, utamanya kaum antinuklir. Meski memang perlu diperhatikan, sebenarnya masalah ini tidak perlu terlalu dilebih-lebihkan, mengingat realitanya limbah nuklir saat ini adalah bahan bakar di masa depan. Perhatian lebih khusus diarahkan pada limbah radioaktif dengan umur paruh panjang. Masalahnya, limbah ini baru akan mencapai level ‘aman’ ketika lewat dari 10 ribu tahun. Yang dilupakan sebagian besar orang adalah limbah radioaktif level tinggi ini jumlahnya sedikit. Tidak sampai 1% dari limbah keseluruhan. Teknologi untuk mengamankannya pun sudah ada dan terbukti. Yang bikin susah itu politik dan persepsi sesat di tengah masyarakat. Kalau menggunakan MSR, seharusnya kekhawatiran (yang pada dasarnya tidak sepenuhnya logis) ini tidak perlu muncul lagi. Apa pasal? MSR menghasilkan limbah yang jauh lebih sedikit dibandingkan LWR. Limbah radioaktif level tinggi yang sering jadi perhatian jumlahnya sangat sedikit, tidak signifikan. Tiap tahun, MSR hanya menghasilkan kurang dari 1 ton limbah, yang kalau dipadatkan,
tidak
lebih
besar
55
dari
bola
sepak.
Unsur
transuraniknya sangat sedikit dan bisa diabaikan, mengingat atom thorium butuh jalan lebih panjang supaya bisa berubah menjadi transuranik. Itupun sebagian besar sudah termanfaatkan duluan saat di tengah jalan. Tidak cukup sampai di situ, limbah paling berbahaya hanya sekitar 17%. Itupun tidak perlu disimpan sampai 10 ribu tahun, sekitar 300 tahun sudah aman. Mengelolanya jadi lebih mudah. Biaya pengolahan limbahnya pun jauh lebih murah. Sehingga, tidak ada alasan untuk mempersoalkan limbah dari MSR. -
Keselamatan
Secara alami, MSR memiliki fitur-fitur keselamatan yang menjaga reaktor dalam kondisi stabil ketika beroperasi. Istilahnya keselamatan melekat. Bahan bakar MSR sudah dalam bentuk cair, lelehan. Karena itu, potensi kecelakaan akibat bahan bakar meleleh seperti di PLTN konvensional jadi sama sekali tidak relevan. Reaktivitas suhu dan void pada MSR umumnya negatif. Penjelasannya begini. Bahan bakar cair akan berekspansi ketika terjadi kenaikan suhu. Ekspansi ini akan memicu efek Doppler yang meningkatkan tangkapan netron oleh bahan bakar fertil, thorium. Karena lebih banyak netron yang ditangkap oleh thorium daripada 56
yang ditangkap uranium untuk berfisi, maka reaksi berantai akan menurun. Penurunan reaksi berantai ini menurunkan daya, yang secara otomatis turut menurunkan suhu. Akibatnya, reaktor kembali ke suhu semula tanpa perlu campur tangan operator. Tentu saja, ekspansi bahan bakar cair juga akan mengeluarkan uranium dari teras reaktor, sehingga mengurangi laju reaksi fisi. Ini juga
membantu
dalam
memberikan
reaktivitas
negatif.
Konsekuensinya, tidak perlu batang kendali pada MSR. Dengan bahan bakar cair, MSR bisa melakukan refuelling ketika reaktor sedang beroperasi. Tidak perlu dimatikan dulu. Karenanya, tidak butuh reaktivitas berlebih dalam teras seperti pada LWR. Ketiadaan reaktivitas berlebih ini turut menjamin keselamatan lebih baik lagi, karena mengeliminasi kondisi prompt jump9 yang tidak diharapkan. Selain itu, MSR beroperasi dengan tekanan atmosfer. Praktis, tidak butuh bejana bertekanan tinggi untuk mengungkung teras reaktor. Bandingkan dengan bejana LWR yang butuh tekanan ratusan atmosfer!
Sehingga,
kalau
terjadi
kecelakaan,
tidak
ada
kemungkinan bahan bakar nuklir berhamburan kesana kemari seperti di Chernobyl.
9
Lonjakan reaktivitas
57
Saat terjadi kecelakaan (overheat), bahan bakar akan melelehkan katup di bawah teras, lalu secara otomatis bahan bakar itu ‘jatuh’ ke kolam pendingin, secara cepat membekukan bahan bakar kembali menjadi padat. Tidak ada bahan bakar di teras, tidak ada reaksi fisi, reaktor pun mati. Aman. -
Keamanan
Yang ditakutkan sebagian kalangan adalah kalau bahan bakar nuklir disimpangkan menjadi senjata nuklir. LWR menghasilkan plutonium dalam jumlah lumayan. Tiap tahunnya, ada sekitar 300 kg plutonium dari bahan bakar bekas LWR. Kemurniannya memang rendah, sehingga sama sekali tidak layak digunakan sebagai
senjata
nuklir.
Walau
begitu,
IAEA
tetap
saja
memasukkannya dalam proliferation concern dan transportasinya diawasi ketat. Di sisi lain, dalam setahun, bahan bakar bekas MSR hanya menghasilkan 1 kg plutonium dengan kemurnian sangat rendah. Kenapa bisa begitu? Untuk menghasilkan plutonium, uranium hanya butuh sekali menangkap netron, sementara thorium butuh tujuh kali. Sudah begitu, peluangnya kecil pula. Makanya sedikit sekali plutonium yang dihasilkan. Tidak ada kemungkinan sama sekali untuk dipakai jadi senjata nuklir.
58
Bagaimana dengan uranium-233, yang notabene bahan bakar utama MSR? Mustahil juga. Masalahnya, uranium-233 bisa dibilang tidak ada yang cukup murni untuk digunakan sebagai senjata nuklir. Produksi uranium-233 dari thorium selalu didampingi dengan sejumlah kecil uranium-232. Uranium-232 inilah masalahnya, karena dia meluruh dengan cepat menjadi thallium-228 yang memancarkan radiasi gamma energi tinggi. Radiasi gamma ini membuat handling material jadi sangat sulit, berbahaya, mematikan. Mesti dilengkapi dengan perisai radiasi dan kendali jarak jauh dan sebagainya yang luar biasa merepotkan. Itu, dengan asumsi tidak terdeteksi duluan oleh regulator. Pancaran gamma dari thallium-228 sangat kuat dan mudah sekali terdeteksi, mungkin dari satelit sekalipun. Pernah, sekali, uranium-233 dicoba sebagai senjata nuklir. Hasilnya? Gagal total. Pakai uranium-235 yang diperkaya atau plutonium kemurnian tinggi lebih mudah. Mungkin tidak kalau uranium-232 dipisahkan saja dari uranium233? Secara esensial tidak bisa. Kalaupun memang ada metode pemisahan kedua isotop itu, prosesnya sangat sulit dan berbahaya. Bikin repot dan buang-buang tenaga serta dana. Tidak ada yang mau pakai cara ini, mending pakai cara konvensional saja. 59
Bisa dibilang, MSR adalah reaktor nuklir paling bebas potensi proliferasi. -
Biaya
Keunggulan-keunggulan MSR di atas tentunya cukup menjanjikan. Tapi, apa gunanya kalau harganya malah lebih mahal daripada LWR? Untungnya, proyeksi harga MSR lebih murah daripada LWR. Dari segi konstruksi, MSR butuh biaya lebih rendah daripada LWR. Bukan apa-apa, komponennya lebih sedikit dan desainnya lebih sederhana. MSR tidak butuh bejana bertekanan tinggi, batang kendali, serta sistem keselamatan redundan yang rumit dan mahal. Sehingga, biaya konstruksi bisa dipangkas. Dari ukuran, MSR bisa dibuat dengan daya fleksibel, dari ratusan MW sampai GW. Daya lebih kecil tentu mengurangi biaya konstruksi. MSR juga bisa dibuat secara modular. Dengan begitu, komponen-komponen reaktor (termasuk teras) dibuat di pabrik, lalu dikirim ke tempat instalasi. Perakitan komponen di pabrik akan memangkas ongkos produksi dan waktu pembangunan. Dari bahan bakar, MSR dominan menggunakan thorium. Unsur ini melimpah di alam dan harganya murah. Lebih dari itu,
60
penggunaannya juga sedikit, tidak sampai 1 ton per tahunnya. Hasilnya, biaya bahan bakarnya pun sangat murah. Sebagai perbandingan, untuk pasar Amerika Serikat, overnight cost PLTN tipe LWR saat ini berkisar US$ 4000-5000/kW. Sementara, MSR yang didesain oleh Martingale Inc., ThorCon, diproyeksikan memiliki overnight cost sekitar US$1200/kW. Tiga kali lipat lebih murah. Untuk MSR desain Moltex, overnight cost diproyeksikan US$1950/kW, kurang dari setengah LWR standar. Efeknya, harga listrik yang dihasilkannya pun lebih rendah, bahkan dibandingkan gas alam dan batubara sekalipun. Rerata harga listrik dari PLTN konvensional bervariasi, tergantung negara. Salah satu yang paling murah adalah Korea Selatan, dengan kisaran harga US$ 4,5 sen/kWh. Kalau dibandingkan, proyeksi harga listrik dari ThorCon hanya sebesar US$ 3,3 sen/kWh! Padahal, teknologi yang dipakai ThorCon bukan teknologi MSR ideal, dan itu untuk pasar Amerika Serikat yang relatif mahal. Kalau menggunakan kondisi MSR ideal, harganya lebih rendah lagi, mungkin dibawah US$ 2 sen/kWh. Begitu pula MSR Moltex, harga listrik berkisar US$ 4,64 sen/kWh untuk pasar Inggris Raya yang bisa dibilang paling mahal di dunia. Sangat murah.
61
Mengingat biaya konstruksi MSR lebih rendah daripada LWR, ini lebih affordable bagi negara-negara berkembang yang secara ekonomi tidak terlalu bagus. Efek positifnya, negara-negara berkembang bisa mendapatkan suplai listrik murah dan rendah karbon tanpa terlalu kesulitan.
3. Pengembangan MSR Saat ini, belum ada unit MSR yang beroperasi. Paling cepat baru beroperasi medio 2020-an, dengan model MSR ideal baru akan beroperasi komersial kemungkinan medio 2030-an. Bukan apa-apa, masih ada beberapa kendala yang mesti diatasi, seperti ketersediaan turbin Brayton atau CO2 superkritis, instalasi pengayaan lithium, usia pakai grafit, ketahanan material di suhu tinggi dan lainnya. Jadi, memang mesti bersabar. Yang pertama beroperasi pun bukan MSR ideal, walau tentu saja masih memilki sebagian besar keunggulan MSR ideal. Dan tentunya lebih murah dari LWR. Semenjak dihentikannya riset di ORNL, riset MSR oleh negara di Amerika Serikat praktis stagnan. Saat ini, justru Cina yang sedang masif melakukan riset MSR, dengan proyek Thorium-based Molten Salt Reactor (TMSR) mereka. Rusia mengembangkan Molten salt Actinide Recycler
and
Transmuter
(MOSART),
walau
fungsinya
diproyeksikan sebagai pengonsumsi limbah radioaktif.
62
lebih
Walau begitu, ada beberapa perusahaan startup yang turut melakukan riset MSR dan telah memiliki desain sendiri. Diantaranya adalah Flibe Energy, Martingale Inc., Terrestrial Energy, Transatomic Power Reactor, Moltex Energy dan Seaborg Technologies. Keenamnya memiliki desain yang berbeda cukup signifikan.
Gambar 10. Logo enam perusahaan yang membuat desain MSR (EPD, 2015)
Flibe Energy (Amerika Serikat) menggunakan desain MSR ideal, yang diberi nama Liquid Fluoride Thorium Reactor (LFTR, dibaca lifter). Desain dasarnya adalah two fluid MSR, menggunakan garam bahan bakar Flibe (LiF dan BeF2) dan memiliki kemampuan membiak. Karena desainnya paling kompleks dan ideal, LFTR Flibe Energy kemungkinan masih agak lama dari bisa terwujud. Martingale Inc. (Amerika Serikat) menawarkan desain ThorCon. Desain ini mengandalkan desain MSR yang pertama dibangun oleh ORNL, hanya saja dayanya lebih besar, 250 MW elektrik, dan menggunakan thorium di bahan bakarnya. Tidak seperti LFTR Flibe Energy, ThorCon tidak bersifat membiak dan menggunakan garam Fnabe (NaF dan BeF2), yang walaupun secara performa kalah dari Flibe, tapi lebih 63
mudah diakses. Martingale Inc. sudah meneken MoU dengan Indonesia untuk membangun unit ThorCon pertama di negeri ini pada tahun 2020. Terrestrial Energy (Kanada) merancang desain Integral Molten Salt Reactor (IMSR). Berbeda dengan LFTR dan ThorCon, IMSR tidak menggunakan thorium, melainkan hanya uranium saja. Alasannya untuk mempermudah lisensi karena tidak perlu membuat regulasi baru karena penggunaan thorium. Selayaknya LFTR, IMSR juga menggunakan garam Flibe. Waste-Annihilating Molten Salt Reactor (WA-MSR) milik Transatomic Power (Amerika Serikat), seperti IMSR, juga hanya menggunakan uranium, meski tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan thorium
di
masa
depan.
Sebagaimana
namanya,
WA-MSR
diproyeksikan untuk ‘memusnahkan’ limbah PLTN konvensional, selain tentu saja menghasilkan listrik. Garam bahan bakarnya hanya menggunakan LiF tanpa BeF2, dengan alasan menghindari potensi toksisitas beryllium. Moltex Energy (Inggris Raya), sementara itu, menggunakan desain yang keluar dari pakem MSR standar. Desain mereka, Stable Salt Reactor (SSR) menggunakan bahan bakar cair dalam kelongsong statis, mirip LWR konvensional. Garam yang digunakan pun berupa garam klorida alih-alih fluorida (NaCl alias garam dapur). Yang lebih 64
membedakan lagi, SSR beroperasi dalam spektrum netron cepat, bukan netron termal sebagaimana lima desain lain. Karena itu, SSR beroperasi menggunakan siklus uranium dan plutonium, serta berguna untuk mengonsumsi stockpile plutonium yang berlebih. Walau begitu, secara esensial, SSR tetap bisa menggunakan thorium. Seaborg Technologies (Denmark) mengajukan desain yang diberi nama Seaborg Waste Burner (SWaB). Seperti WA-MSR, SWaB juga diproyeksikan untuk mengonsumsi limbah PLTN konvensional. Bedanya, SWaB menggunakan thorium alih-alih uranium, sehingga ada kemungkinan bisa bersifat membiak seperti LFTR. Garam bahan bakarnya hanya LiF, seperti WA-MSR. Pelet bahan bakar bekas LWR dapat langsung dicairkan di dalam SWaB tanpa perlu reprosesing dulu. Di Jepang, ada usaha panjang untuk mempromosikan teknologi MSR yang dilakukan oleh Dr. Kazuo Furukawa (sebelum kematiannya di tahun 2011). Tim Dr. Furukawa mendesain MSR bertajuk FUJI, yang berbasis MSBR dengan beberapa inovasi. Jepang masih menunjukkan dedikasi terhadap MSR dan di masa depan kemungkinan akan berlanjut. Riset di Indonesia? Wah, belum bisa diharapkan. Walau begitu, Dr. Andang telah mengonsep desain MSR sendiri, bernama Passive Compact Molten Salt Reactor (PCMSR). Namun, karena dukungan
65
pemerintah yang sama sekali tidak ada, sepertinya sulit sekali untuk menyempurnakan konsep ini.
4. Kesimpulan MSR menawarkan banyak kelebihan jika dikomparasi dengan LWR konvensional yang dominan saat ini. Harga listrik lebih murah, biaya konstruksi lebih rendah, keselamatan dan keamanan jauh lebih baik, serta bisa digunakan dalam sistem kogenerasi suhu tinggi. Fitur-fitur ini menyempurnakan kekurangan dari sistem yang bekerja di LWR. Tapi selayaknya teknologi yang baru dibangunkan dari koma, perlu waktu agar MSR bisa beroperasi dengan kondisi ideal. Tapi kemungkinan kita tidak perlu menunggu puluhan tahun untuk itu. Sementara, MSR tidak ideal bisa beroperasi dalam jangka waktu lebih pendek dengan membawa sebagian besar keunggulan MSR ideal di dalamnya. Mengingat Indonesia memiliki kandungan thorium yang cukup banyak, teknologi ini harusnya turut dilirik juga, selain PLTN konvensional yang memang sudah terbukti teknologinya. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan listrik yang murah, bersih, aman dan reliabel. Pemanfaatan MSR bisa membantu terwujudnya kedaulatan energi yang selama ini lebih sering terdengar sebagai retorika kosong tanpa realisasi. Dan jujur saja, rakyat sudah bosan dengan listrik mahal dan sering byar pet tidak karuan. 66
Daftar Pustaka Andang Widi Harto, Kusnanto. 2013. Advanced Reactor Technology. Yogyakarta: Program Studi Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada. Andang Widi Harto. 2009. Fuel Burp Up Calculation of Passive Compact Molten Salt Reactor (PCMSR) With on Line Fuel Reprocessing for Very Long Time Operation. Bandung: Proceedings of The 3rd Asian Physics Symposium (APS 2009), 22-23 Juli 2009. Andang Widi Harto. 2014. Passive Compact Molten Salt Reactor – General Overview. Yogyakarta: Program Studi Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada. Badan Tenaga Nuklir Nasional. Keekonomian Operasional PLTN: Studi
Kasus
di
Beberapa
Negara.
Diakses
dari
http://www.batan.go.id/index.php/id/publikasi/artikelnuklir/120keekonomian-operasional-pltn-studi-kasus-di-beberapa-negara Bahman Zohuri, Patrick McDaniel. 2015. Thermodynamics In Nuclear Power Plant Systems. Swiss: Springer International Publishing. Bob S. Effendi. Energi Terbarukan dan Permasalahannya. Diakses dari
http://www.kompasiana.com/bob911/energi-terbarukan-dan-
permasalahannya_559d42dbf69273d30cdb9c08 Bob S. Effendi. Pelajaran Dari Kebijakan Hijau Jerman Bagi Indonesia. Diakses dari
67
http://www.kompasiana.com/bob911/pelajaran-dari-kebijakan-hijaujerman-bagi-indonesia_5737560bcf7a61b80b563536 BP Statistical Review of World Energy. BP Statistical Review of World Energy June 2015. London: BP. BPPT. 2014. OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2014: Pengembangan Energi dalam Mendukung Program Substitusi BBM. Serpong: PTPSEBPPT. C. Y. Zhou dkk. 2014. Optimization of temperature coeffici-ent and breeding ratio for a graphite-moderated molten salt reactor. Nuclear Engineering and Design, 281: 114-120. David LeBlanc. 2010. Molten salt reactors: A new beginning for an old idea. Nuclear Engineering and Design, 240:1644-1656. Energy Process Developments Ltd. 2015. MSR Review, Feasibility of Developing a Pilot Scale Molten Salt Reactor in the UK. London: EPD. Jack Devanney dkk. 2015. ThorConTM the Do-able Molten Salt Reactor: Executive Summary. Tavernier: Martingale Inc. Jérôme Serp dkk. 2014. The molten salt reactor (MSR) in generation IV: Overview and perspectives. Progress in Nuclear Energy, xxx:1-12. Jirí Krepel dkk. 2014. Fuel cycle advantages and dynamics features of liquid fueled MSR. Annals of Nuclear Energy, 64:380-397. Max Carbon. 2006. Nuclear Power: Villain or Victim? Our Most Misunderstood Source of Electricity, 2nd Edition. Madison: Pebble Beach Publisher. 68
Mochammad Nasrullah, Nuryanti. 2013. Studi Perbandingan Biaya Pembangkitan Listrik Teraras Pada Pembangkit Energi Terbarukan Dan PLTN. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir PTNBR – BATAN. Bandung, 4 Juli 2013 Muhammad Yayan Adi Putra. 2015. Optimasi Desain Teras Molten Salt Reactor (MSR) Dual Fuel Dengan Bahan Bakar Teras UF47
LiF dan Blanket
232
ThF4-7LiF. Yogyakarta: Departemen Teknik Nuklir
dan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada. Nuclear Energy Insider. Moltex Energy sees UK, Canada SMR licensing
as
springboard
to
Asia.
Diakses
dari
http://analysis.nuclearenergyinsider.com/moltex-energy-sees-ukcanada-licensing-springboard-asia R. Andhika Putra Dwijayanto. 2016. Analisis Netronik Teras One Fluid Molten Salt Reactor (OF-MSR) Berbasis Bahan Bakar LiF-238UF4235
UF4-ThF4. Yogyakarta: Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika
Universitas Gadjah Mada. Robert Hargraves, Ralph Moir. 2010. Liquid Fluoride Thorium Reactors, an old idea in nuclear power gets revisited. American Scientist vol. 98, pp. 304-313. Juli-Agustus 2010. Robert Hargraves. 2012. Thorium Energy Cheaper Than Coal. Hanover: CreateSpace Independent Publishing Platform. W. R. Grimes. 1970. Molten Salt Reactor Chemistry. Nucl-ear Application Technology, 8:137–155.
69
World Nuclear Association. How a Nuclear Reactor Makes Electricity.
Diakses
dari
http://www.world-nuclear.org/nuclear-
basics/how-does-a-nuclear-reactor-make-electricity.aspx World Nuclear Association, Nuclear Process Heat. Diakses dari http://www.world-nuclear.org/information-library/non-powernuclear-applications/industry/nuclear-process-heat-for-industry.aspx World Nuclear Association. Radioactive Waste Management. Diakses
dari
http://www.world-nuclear.org/information-
library/nuclear-fuel-cycle/nuclear-wastes/radioactive-wastemanagement.aspx World Nuclear Association, The Economics of Nuclear Power. Diakses
dari
http://www.world-nuclear.org/information-
library/economic-aspects/economics-of-nuclear-power.aspx World Nuclear Association. 2016. World Nuclear Performance Report 2016. London: WNA.
70
Tentang Penulis R. Andhika Putra Dwijayanto menyelesaikan jenjang S1 di program studi Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, lulus pada Februari 2016. Sejak kuliah, Andhika sering menulis artikel untuk memahamkan teknologi nuklir pada publik, utamanya di sektor energi. Saat ini, Andhika aktif di Departemen Multimedia Komunitas Muda Nuklir Nasional (Kommun) dan tergabung dalam Tim Kajian Nuklir – Perhimpunan Pelajar Indonesia Se-Dunia (TKN-PPI). Andhika bisa dihubungi via surel di
[email protected] atau Telegram di @andhikathorium.
71