DATABASE G O O D P R A C T I C E Initiatives for Governance Innovation merupakan wujud kepedulian civitas akademika terhadap upaya mewujudkan tata pemerintahan dan pelayanan publik yang lebih baik. Saat ini terdapat lima institusi yang tergabung yakni
Kemitraan Bidan dan Dukun di Kabupaten Takalar Takalar Sektor
Kesehatan
Sub-sektor
Persalinan Aman
Provinsi
Sulawesi Selatan
FISIPOL UGM, FISIP UNSYIAH, FISIP UNTAN, FISIP UNAIR, DAN FISIP UNHAS.
Kota/Kabupaten
Sekretriat
Institusi Institus i Pelaksana
Takalar Dinas Kesehatan dan Bidan Desa
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Kategori Institusi
Pemerintah Kabupaten Kabupaten
Universitas Gadjah Mada Jl. Sosio-Justisia Bulaksumur
Penghargaan
-
Yogyakarta 55281 email:
[email protected] [email protected]
Kontak
cgi.fisipol.ugm.ac.id Mitra Peneliti
Hj. Misma Silvana, S.KM Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Takalar Jln. Jendral Sudirman No.47 Takalar 92221 Telepon: (0418) Telepon: (0418) 21119 Bidan dan Dukun Harpiana Rahman Institusi: Akademi Institusi: Akademi Kebidanan Nusantara Jaya Makassar Email: Email:
[email protected]
Mengapa program/kebijakan tersebut muncul? Apa tujuan program/kebijakan program/kebijakan tersebut? tersebut? Bagaimana gagasan tersebut bekerja? Siapa inisiatornya? Siapa saja pihak-pihak utama yang terlibat? Apa perubahan perubahan utama utama yang dihasilkan? dihasilkan? Siapa yang paling memperoleh manfaat?
Deskripsi Ringkas Praktik ini dilatarbelakangi oleh ditemukannya enam kematian ibu saat melahirkan di Kabupaten Takalar pada tahun 2006. Dan keenam kematian ini disebabkan pertolongan persalinan yang dilakukan di rumah oleh tenaga kesehatan non medis. Keadaan ini dipersulit dengan tingginya jumlah dukun saat itu di banding tenaga kesehatan yang tersebar di desa. Yakni pada tahun 2006 jumlah dukun sebanyak 190 orang sementara bidan desa sebanyak 52 orang. Dengan berbekal pengetahuan setelah menghadiri pelatihan KBD di Subang pada Juni 2006, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Takalar dengan menggandeng UNICEF menerapkan praktik KBD di Takalar dengan mengujicobakan pada lima puskesmas di dua kecamatan. Yaitu Puskesmas Polongbangkeng Utara, Puskesmas Toata, dan Puskesmas Ko’mara. Lalu di Kecamatan Galesong Selatan yaitu Puskesmas Galesong dan Puskesmas Bontomarannu. Dan di tahun 2009, berubah menjadi tiga kecamatan sebab Kecamatan Galesong Selatan dimekarkan, sehingga Puskesmas Galesong berada di Kecamatan Galesong. Praktk KBD yang masih ini berlangsung di Kabupaten Takalar bertujuan untuk menekan angka kematian ibu melalui persalinan di fasilitas kesehatan dengan meningkatkan pelayanan antenatal, persalinan, pelayanan nifas dan rujukan oleh dukun ke tenaga kesehatan. Praktik ini juga bertujuan meningkatkan alih peran dukun dari penolong persalinan menjadi mitra bidan dalam merawat ibu. Gagasan ini bekerja dengan melibatkan kepala Puskesmas dan bikor sebagai pemantau pengelonaan KBD di Takalar. Secara garis besar penyelenggaraan KBD mencakup aktifitas berikut
1. Pemantauan cakupan ibu hamil secara berkala oleh bidan, didampingin dukun 2. Pendampingan spritual untuk ibu hamil yang dilkuakn oeh dukun 3. Pencatatan dukun
cakupan
kunjungan
oleh bidan
4. Penyuluhan kesehatan ibu dan anak oleh bidan dan dukun 5. Pendampingan oleh dukun dari masa kehamilan ibu hamil hingga masa nifas 6. Persalinan yang dilakuakn di fasilitas kesehatan oleh bidan 7. Pemberian insentif kepada dukun atas jasa pelayanan yang diberikannya kepada ibu hamil Dalam proses penerapan KBD, pihak utama yang pertama kali menjadi inisiator adalah kepala dinas kesehatan Kabupaten Takalar yang kemudian ditindaklanjuti dengan penugasan staf dinas kesehatan untuk belajar di Subang terkait praktik ini. Dan pihak yang paling terlibat adalah bidan dan dukun. Disamping ittu, peran kelompok pendukung juga tak kalah pentingnya sebagai pengontrol dari praktik ini seperti Kepala Desa, Puskesmas, Dinkes Kesehatan, Tim Penggerak PKK. Sejak KBD diterapkan di Kabupaten Takalar, terlihat kemajuan yang nyata. Di bidang kesehatan, angka kematian menurun hingga nol persen di tahun 2011, persalinan di nakes meningkat dari 81,52% di tahun 2006 menjadi 96,4% di tahun 2011. Pihak yang yang paling memperoleh manfaat dari praktik ini adalah ibu hamil, dan dukun. Ibu hamil lebih merasa aman saat bersalin, serta meningkatnya pengetahuan tentang perawatan KIA. Begitupu dengan dukun. Selain pengetahuan akan KIA meningkat, dukun juga mendapatkan insentif dari setiap pendampingan persalinan.
Kemitraan Bidan dan Dukun di Kabupaten Takalar
2
http://cgi.fisipol.ugm.ac.id
Rincian Inovasi Latar Belakang: Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) Menurut Laporan Pertanggungjawaban Bidang Kesehatan Masyarakat, Program KIA, 2006-2012 Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, hingga tahun 2011, jumlah penduduk di Kabupaten Takalar mencapai 269.603 jiwa. Dengan jumlah ibu hamil sebanyak 5.960 jiwa. Di tahun yang sama, jumlah desa di Kabupaten Takalar sebanyak 93 desa, jumlah bidan mencapai 130 dan 93 diantaranya berada di desa. Sementara jumlah dukun yang tinggal di desa sebanyak 188 orang. Resiko persalinan di rumah oleh tenaga kesehatan non medis, dalam hal ini dukun, mempengaruhi tingkat kematian ibu di Kabupaten Takalar. Berdasarkan laporan dari Dinkes Kabupaten Takalar, pada tahun 2006 ditemukan enam kematian ibu saat melahirkan. Angka yang jika diterjemahkan menjadi sekitar 300 kematian ibu per 100.000 kelahiran. Indikator yang cukup mengkhwatirkan jika dilihat dari Millennium Development Goals (MDG’s) yang menargetkan 110 kematian ibu per 100.000 kelahiran di tahun 2015. Keenam kematian di Takalar pada tahun 2006 tersebut disebabkan yang pendarahan sebanyak 3 kematian, eklamsi sebanyak 2 kematian, dll sebanyak satu kematian. Dimana pertolongan persalinan dilakukan di rumah oleh tanaga non medis, dalam hal ini dukun. Takalar adalah daerah dengan tradisi perdukunan yang kental. Ini terlihat dari data Dinkes Kabupaten Takalar bahwa pada tahun 2006, jumlah dukun mencapai 190 orang. Saat itu masyarakat memiliki tradisi kepercayaan kuat terhadap dukun sebagai pemberi kekuatan spiritual bagi ibu melahirkan dan anak yang baru lahir. Walaupun demikian, dukun tidak memiliki kemampuan medis untuk menangani kasus-kasus yang dapat menyebabkan kematian ibu. Sebagian besar persalinan terjadi di rumah, dengan alasan kepercayaan, budaya, dan ekonomi. Karena itu, persalinan kebanyakan ditolong oleh dukun yang menyebabkan terjadinya komplikasi pendarahan dan infeksi yang amat sering terlambat untuk ditangani. Upaya untuk mengatasi hal tersebut telah dilakukan seperti melalui gerakan sayang ibu (GSI) di Takalar yang dilakukan dengan memberikan penyuluhan kepada ibu hamil. Namun, tingginya kepercayaan terhadap dukun, keberadaanya yang dekat dengan masyarakat, serta biaya persalian yang murah, menyebabkan masih tingginya persalinan di rumah
oleh tenaga kesehatan non medis. Menurut Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Kab. Takalar,salah satu masalah yang dihadapi oleh Kabupaten Takalar adalah jumlah tenaga kesehatan. Laporan Kesehatan Keluarga Bidang Bina Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kab. Takalar Tahun 2007-2011 menyebutkan bahwa sejak tahun 2009 hingga tahun 2011, jumlah dukun selalu berjumlah sama yakni 188 dukun. Jika dibandingkan dengan jumlah dukun yang mencapai 188, jumlah bidan pada tahun yang sama yakni 2009, jauh dibawahnya yakni hanya mencapai 82 bidan. Dan 52 di antaranya, adalah bidan desa. Sementara jumlah desa saat itu sebanyak 77 desa dan 14 puskesmas. Untuk mentaktisinya, Pemerintah Kabupaten Takalar menempatkan beberapa bidan yang menamatkan pendidikan kebidanan di beberapa kecamatan. Alih-alih mendapat sambutan yang baik, para bidan justru dipandang sebelah mata karena usia yang masih muda dan pengalaman yang minim. Tidak adanya simpati dari masyarakat terhadap tenaga bidan mengakibatkan tenaga bidan tidak tergunakan secara optimal. Sementara dukun yang selalu menjadi tenaga utama saat persalinan tidak dibekali pengetahuan medis dan cara penanganan persalinannya masih alakadar, tak sebanding dengan padatnya masalah kehamilan, yang mempengaruhi kondisi janin dari hari ke hari. Inisiasi : Pendekatan Budaya melalui Pemberdayaan Dukun Dalam upaya menekan AKI saat melahirkan, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Takalar melakukan program penyadaran dan peningkatan pengetahuan kepada masyarakat terkait pentingnya persalinan di fasilitas kesehatan oleh tenaga medis. Awalnya program ini di inisiasi oleh Kepala Dinas Kesehatan Kab. Takalar, lalu ditindaklannjuti dengan instuski kepada Kepala seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi untuk melakukan program penyehatan terkait persalinan aman. Diawal tahun 2007, Pemda Kabupaten Takalar dengan menggandeng United Nation Children’s Fund (UNICEF) mengupayakan program kesehatan ibu dan anak (KIA) dengan pendekatan yang berbeda. Yakni pendekatan budaya dengan menjadikan dukun dan bidan sebagai mitra kerja.
Kemitraan Bidan dan Dukun di Kabupaten Takalar
3
http://cgi.fisipol.ugm.ac.id
Pendekatan yang berbeda ini terinspirasi dari kegiatan pelatihan kesehatan ibu dan anak yang diselenggarakan di Subang, Provinsi Jawa Barat pada bulan Juni 2006. Saat itu, Dinkes Kabupaten Takalar yang didelegasikan oleh Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi (Kasi Kesga dan Gizi) serta Sekertaris Dinkes Kabupaten Takalar ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Dinkes Provinsi Jawa Barat. Mengingat, Subang adalah daerah yang telah menerapkan praktik kemitraan bidan dan dukun dalam persalinan. Pelatihan tersebut memaparkan tentang kondisi kesehatan ibu dan anak yang mulai membaik sejak praktik Kemitraan Bidan dan Dukun (KBD) diselenggarakan. Pelatihan ini juga memperkenalkan program dengan menekankan pelayanan ibu hamil, ibu bersalin dan ibu nifas pada kemitraan dukun paraji dan bidan di Kabupaten Subang. Kedua delegasi saat itu yakni Kasi Kesga dan Gizi serta Sekertaris Dinkes Kabupaten Takalar, mendapat kesamaan masalah dengan Subang dan berinisiatif melakukan program yang sama di Kabupaten Takalar. Namun, dengan jangkauan yang lebih luas dan lebih persuasif. Lebih luas yakni, sebab di Kabupaten Subang praktek ini hanya berlangsung di satu wilayah kecamatan. Sementara Dinkes Kabupatem Takalar mencanangkan satu Kabupaten. Berawal dari pelatihan tersebut, bekal dari Subang dibawa ke daerah sendiri untuk diterapkan, yakni di Kabupaten Takalar.Mengingat jabatan kedua delegasi yakni Kasi Kesga dan Gizi serta Sekertaris Dinkes Kabupaten Takalar, maka konsolidasi gagasan di tingkat Pemda Takalar, bukanlah hal yang sulit.Penerapan praktik ini diawali dengan sidang atau konsolidasi di tingkat pemerintah Kabupaten Takalar sebagai pihak yang memilki andil dalam mengambl kebijakan. Saat itu konsolidasi awal dihadiri oleh segala perangkat pemerintah yakni Bupati, Wakil Bupati, Sekertaris Daerah, Ketua Bappeda, DPRD, Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Takalar, jajaran Kecamatan, Kepala Desa, Kepala Puskesmas, dan bidan kordinator (bikor) Dengan menekankan pentingnya peningkatan KIA melalui pelibatan dukun sebagai upaya menekan angka kematian ibu melahirkan, gagasan ini ternyata disambut baik oleh perangkat pemerintah di Kabupaten Takalar. Untuk memfasilitasi sambutan baik ini, Dinkes Kabupaten Takalar mulai menyadari untuk menerapakan sistem dengan
pendekatan yang berbeda seperti yang dilakukan di Subang. Yakni melalui perspektif budaya sipakatau sipainge (saling menghargai, mengetahui, dan mengingatkan) yang sangat dijunjung oleh masyarakat Sulawesi Selatan, termasuk masyarakat Takalar. Pendekatan sipakatau sipakainge diterapkan dengan menyandingkan kemampuan medis bidan dengan dukungan moral spiritual dari dukun. Ada pembagian peran yang jelas dimana dukun tidak perlu merasa khawatir peran mereka dimandulkan dan karenanya bersedia untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap para bidan. Pihak yang terlibat di dalam konsolidasi tersebut, baik bidan dan perangkat pemerintah menyepakti inisiasi praktik KBD di Kabupaten Takalar. Setelah melakukan konsolidasi dijajaran pemerintah Kabupaten Takalar, barulah tahap kedua dilakukan yakni sosialisasi kepada masyarakat Takalar, khususnya dukun yang akan dijadikan mitra kerja. Sebelum dilakukan sosialisasi, Dinkes membuat proposal yang ditujukan kepada UNICEF untuk ikut mendukung praktik KBD. Gagasan ini juga diterima dan difasilitasi oleh pihak UNICEF melalui bantuan dana. Pada tahun 2007, praktik uji coba kemitraan ini diterapkan terlebih dulu di Kecamatan Polombangkeng Utara dan Galesong. UNICEF memberikan bantuan dana dengan memfasilitasi lima puskesmas di dua kecamatan tersebut. Di kecamatan Polongbangkeng Utara terdapat tiga puskesmas, yakni puskesmas Polongbangkeng Utara, Puskesmas Toata, dan Puskesmas Ko’mara. Lalu di Kecamatan Galesong Selatan yaitu Puskesmas Galesong dan Puskesmas Bontomarannu. Namun di tahun 2009, Kecamatan Galesong Selatan dimekarkan, sehingga Puskesmas Galesong berada di Kecamatan Galesong. Jadi hingga tahun 2009, telah tercakup tiga kecamatan di Kabupten Takalar yang menerapkan praktik KBD. Adapun penunjukan Kecamatan Polongbangkeng Utara dan Kecamatan Galesong sebagai daerah uji coba prakek didasari pada data yang ditemukan bahwa terdapat 75% persalinan yang dilakukan di rumah pada kedua kecamtan tersebut. Konsolidasi gagasan ditingkat jajaran Pemda Kabupaten Takalar dan UNICEF tidak mendapati hambatan dan tantangan, namun lain halnya dengan sosialisasi di tingkatan dukun. Tantangan yang dimaksud adalah bagaimana menjaga agar dukun ataupun bidan bisa tidak saling mengusik eksistensi profesi masing-masing. Mengingat dukun
Kemitraan Bidan dan Dukun di Kabupaten Takalar
4
http://cgi.fisipol.ugm.ac.id
adalah tenaga non medis yang lahir, dan tumbuh di masyarakat. Untuk mengatasi hal ini, Kepala Puskesmas dan bikor puskesmas sebagai pihak yang lebih dekat dengan masyarakat di berikan wewenang untuk menyampaikan praktik ini dengan lebih persuasif. Dengan menjelaakan terlebih dahulu peran masingmasing profesi yakni bidan dan dukun dalam bermitra. Implemetasi : Penguatan KBD melalui Perda dan Praktik Magang di Puskesmas KBD di Kabupaten Takalar diawali di tingkat kecamatan dengan memaksimalkan fungsi puskesmas. Praktik ini dimulai di Puskesmas Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan dan Puskesmas Galesong di Kecamatan Galesong. Tahap awal implementasi ini adalah dengan mengundang dukun di wilayah kedua kecamatan tersebut untuk mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh dinas kesehatan. Bagian ini diambil alih oleh pihak puskesmas dan bikor, selaku pihak yang dianggap berkompeten untuk mengundang dukun secara persuasif. Sebab berada dekat dengan masyarakat. Dan saat itu, pihak puskesmas beserta jajarannya berhasil mengajak para dukun untuk mengiktui pelatihan KBD Pelatihan diisi dengan materi perawatan kesehatan ibu dan anak pra dan pasca bersalin. Pelatihan ini juga menegaskan bahwa KBD adalah suatu bentuk kerja sama bidan dengan dukun yang saling menguntungkan dengan prinsip sipakatau sipakainge yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Takalar. Prinsip ini dilaksanakan dengan menciptakan prinsip keterbukaan, kesetaraan, dan kepercayaan dalam upaya untuk menyelamatkan ibu dan bayi. Kemitraan ini menempatkan bidan sebagai penolong persalinan dan mengalihfungsikan dukun dari penolong persalinan menjadi mitra dalam merawat ibu dana bayi pada masa nifas. Untuk mengatasi kendala dalam penyampaian informasi kepada dukun yang sebagian besar tak bisa berbahasa Indonesia fasih, materi ini disampaikan dengan menggunakan bahasa daerah, bahasa Mangkasara. Penggunaan bahasa ini juga dimaksudkan sebagai upaya mendekatkan diri dengan para dukun. Tidak hanya itu, upaya pembangunan kedekatan antara dukun dan bidan ini dilakukan juga dengan menempatkan dua dukun dan satu bidan dalam satu kamar. Pelatihan ini diadakan selama tujuh hari di Hotel Metro Makassar.
Setelah dilakukan pelatihan desain implementasi, praktik ini dilanjutkan dengan melakukan magang di puskesmas. Dukun yang telah mengikuti pelatihan, selanjutnya mengikuti magang di puskesmas wilayahnya. Hingga tahun 2012, Puskesmas Galesong masih menerapkan sistem magang untuk para dukun, dimana dukun diberi piket setiap harinya untuk memantau proses kunjungan ibu hamil di wilayahnya. Magang ini dimaksudkan agar terciptanya hubungan interpersonal antara bidan dengan dukun sehingga dukun bisa merujuk persalinan kepada bidan setempat. Magang ini juga bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dukun dalam perawatan ibu pra dan pasca melahirkan. Salah satu kekhawatiran dinas kesehatan saat penyelenggaraan pelatihan ini adalah mosi tidak percaya yang bisa terbangun oleh para dukun seperti penghilangan wilayah kerja yang akan mengurangi pendapatannya. Namun, kekhawatiran itu segera ditaktisi dengan mempertegas dan memberi keyakinan pada dukun bahwa praktik KBD tidak menghilangakan peran dukun dan profesi dukun. Dukun tetap diberi bayaran jasa. Begitupun dengan bidan pada setiap persalinan. Dan penegasan ini ternyata mampu meyakinkan para dukun dan bidan untuk saling bekerja sama. Dinkes Kabupaten Takalar juga melakukan sosialisasi ini dengan menggelar karnaval dimana setiap desa membuat simulasi persalinan. Pemahaman akan peran sosial yang setara dibangun dari serangkaian pertemuan formal seperti di antara para bidan dan dukun. Namun bukan hanya kesetaraan peran sosial yang membuat KBD di Takalar sukses. Manfaat ekonomi yang merata juga berperan penting dalam langgengnya KBD di daerah ini. Para dukun dan bidan bersepakat bahwa dari setiap kelahiran, jasa dukun dihargai sebear Rp 50.000 hingga Rp 100.000 dari pihak puskesmas. Pemberian insentif ini di ikat dalam MoU atau nota kesepaktan antara dukun dan bidan yang ditandatangni oleh kepala UPTD Pukesmas dan perwakilan dukun. Setelah merasakan manfaat dari KBD, dukungan masyarakat untuk KIA semakin meningkat. Masyarakat membuat jadwal piket desa dan berinisiatif menunjuk sarana transportasi tertentu (kendaraan umum maupun pribadi) sebagai ambulans desa untuk digunakan sebagai kendaraan antar jemput ibu hamil yang akan melahirkan. Secara ringkas penyelenggaraan KBD mencakup aktifitas berikut
Kemitraan Bidan dan Dukun di Kabupaten Takalar
5
http://cgi.fisipol.ugm.ac.id
1. Pemantauan cakupan ibu hamil secara berkala oleh bidan, didampingin dukun 2. Pendampingan spritual untuk ibu hamil yang dilkuakn oeh dukun 3. Pencatatan cakupan kunjungan oleh bidan dukun 4. Penyuluhan kesehatan ibu dan anak oleh bidan dan dukun 5. Pendampingan oleh dukun dari masa kehamilan ibu hamil hingga masa nifas 6. Persalinan yang dilakuakn di fasilitas kesehatan oleh bidan 7. Pemberian insentif kepada dukun atas jasa pelayanan yang diberikannya kepada ibu hamil Praktik ini tentu tak bisa berjalan tanpa anggaran. Pertama kali berjalan, yakin pada tahun 2007, praktik ini didanai oleh UNICEF, namun hanya mencakup lima puskesmas di tiga kecamatan (Puskesmas Polongbangkeng Utara, Puskesmas Toata, Puskesmas Ko’Mara, puskesmas Galesng, Puskesmas Bontomarannu). Keberhasilan uji coba praktik ini terlihat di bulan Juni tahun 2007. Dimana persalinan mulai beralih dari rumah ke fasilitas kesehatan. Sehingga Pemda Kabupaten Takalar merasa perlu menerapkan praktik ini di semua puskesmas yang berjumlah 14 unit. Untuk memfasilitasi ke sembilan puskesmas lainnya, dinas kesehatan melakukan kembali konsolidasi kepada perangkat kabupaten untuk menyediakan anggaran dalam praktik KBD. Meski Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk praktik KBD belum terwujudkan hingga tahun 2012, namun sejak pengajuan proposal dinas kesehatan tentang praktik KBD yang harus diterapkan secara menyeluruh, Pemda Kabupaten Takalar dalam hal ini jajaran Bupati dan DPRD memberi dukungan berupa penyususunan pembentukan Peraturan Daerah (Perda) untuk melegitimasi praktik. Hingga tahun 2012, 14 puskesmas di takalar telah menerapkan KBD. Menurut Ksi Kesga dan Gizi Dinkes Kabupaten Takalar, implemantasi KBD tetap berjalan tanpa APBD dari Pemda Takalar. Pendaanaan KBD sendiri berasal dari program pemerintah berupa Jampersal (jaminan persalinan), dimana setiap dukun yang memberi pendampingan ibu hamil hingga melahirkan, diberi insentif sebesar Rp 50.000,-. Tapi dengan syarat, persalinan harus dilakukan di fasilitas kesehatan. Mengingat program jampersal hanya bisa diberikan jika persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Pada tahun 2011, strategi ini menuai hasil, yakni terjadi peningkatan persalinan di pelayanan kesehatan (nakes) dari tahun 2007 yang hanya mencpai 81,52% hingga
96,4% di tahun 2011. Untuk tetap menerapkan program KBD kabupaten Takalar, perundingan legitimasi hukum tetap dijalankan. Perundingan ini melibatkan segenap jajaran Dinkes Kabupaten Takalar dan jajaran pemerintahan kabupaten. Berikut proses dukungan legitimasi hukum KBD di Takalar: 1. Pada 2 Januai 2008, Bupati Takalar mengeluarkan Keputusan Bupati Takalar Nomor: 01 tahun 2008 tentang KBD kabupaten Takalar 2. Pada 2009, pemerintah daerah kebupaten takalar membuat rancangan peraturan daerah tentang KBD kabupaten takalar 3. Pada tahun 2010, pemerintah daerah dalam hal ini Bupati bersama DPRD kabupaten takalar menyetujui mensahkan perda kabupaten takalar Nomor 02 tahun 2010 tentang KBD kabupaten Takalar yang mengatur peran, hak, kewajiban, masing-masing profesi dengan menjunjung adat sipakatau sipakainge. Untuk mengukur keberhasilan ini dilakukan monitoring dan evaluai (monev) yang diterapkan secara sistematis oleh pihak puskesmas. Untuk tingkat Provinsi Sulawesi Selatan ke Kabupaten Takalar, pemantauan dilakukan satu kali setahun. Sedangkan pemantauan Kabupaten ke PuskesmasDesa dilakukan sebanyak tiga bulan sekali. Monitoring ini dilakukan dengan melihat pencatatan kehamilan yang dilakukan oleh bidan dengan berdasar pada cakupan kunjungan kehamilan. Evaluasi dilakukan dengan berpatok pada indikator keberhasilan yang telah ditetapkan yakni jumlah dukun yang bermitra dari seluruh dukun yang ada di suatu daerah, cakupan antenatal care (ANC), persalinan di pelayanan kesehatan (linakes) di suatu wilayah, serta ada kebijakan kemitraan bidan dengan dukun yang terlegetimasi. Evaluasi ini dilakukan oleh pihak puskesmas yang kemudian dilaporkan ke dinas kesehatan melalui lokakayaa mini. Dan di tingkat desa yakni antara bidan, dukun, perangkat desa, dan pihak puskesmas melalui evalusi pertemuan bulanan. Mekanisme evalusi ini tidak hanya dilakukan pada jajaran pemerintah, tapi juga UNICEF selaku fasilitator awal dari praktik KBD di Takalar. Praktik KBD menunjukkan hasil memuaskan dengan terpenuhinya indikator keberhasilan saat evalusi di lakukan. Yakni pada tahun 2009 hingga tahun 2011, jumlah dukun yang bermitra atau terlatih sebanyak 188 orang, jumlah linakes tahun 2009 hingga 2011 berturut-turut sebesar 91,88%, lalu meningkat menjadi 92,88%,dan meningkat menjadi 96,4%, cakupan ANC di tahun 2011 rata-
Kemitraan Bidan dan Dukun di Kabupaten Takalar
6
http://cgi.fisipol.ugm.ac.id
rata mencapai 97,57%, serta terbitnya Perda KBD Kabupaten Takalar.
Praktik KBD di Kabupaten Takalar memberikan dampak yang positif dan konkrit untuk masyarakat Kabupaten Takalar.
Bagi kelompok sasaran, dampak terlihat nyata pada cakupan kuncungan ANC (K1, dan K4), serta jumlah linakes di Kabupaten Takalar. Hingga tahun 2011, cakupan kunjungan terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebelum KBD diterapkan yakni pada tahun 2006, jumlah kunjungan K1 hanya mencapai 23%. Sedangkan Pada tahun 2009, saat KBD diterapkan, kunjungan K1 sebesar 72,12%, , meningkat pada tahun 2010 sebesar 93,18%, dan tahun 2011 kunjungan K1 mencapai 98,37%. Sementara untuk kunjungan K4, pada tahun 2006 (sebelum KBD diterapkan), cakupan K4 sebesar 24,37%. Dan pada tahun 2009, kunjungan K4 mencapai 73,46%, meningkat di tahun 2010 menjadi 97,57%, dan di tahun 2011 sebesar 98,37%. Ini terlihat ahwa dari tahu ke tahun, sejak KBD diterapkan, pemantauan terhadap KIA lebih terkendali.
1. Dampak langsung secara statistik Sejak parktik KBD diterapkan, secara statistik AKI menurun drastis. Bahkan hingga tahun 2012 bulan Juni, Kabupaten Takalar berhasil menekan jumlah kematian ibu dari enam kematian pada tahun 2006 atau setara dengan 300 kematian per 100.000 kelahiran menjadi 0 persen di tahun 2011.
Sebelum praktik KBD diterapkan, masih didapatkan masyarakat Takalar yang melakukan persalinan di rumah dan dibantu oleh dukun. Bahkan 6 kematian ibu saat melahirkan di tahun 2006, terjadi akibat persalinan di rumah. Ini disebabkan masih tingginya kepercayaan masyarakat kepada dukun. Persalinan di rumah oleh dukun dengan fasilitas dan
Sebagai tindak lanjut evaluasi KBD, pihak Dinkes Kabupaten Takalar tengah berusaha agar praktik ini mendapat APBD dari pemerintah daerah. Disamping menunggu hasilnya, dinas kesehatan juga menyempurnakan strategi ini dengan penggunaan buku pedoman program perencanaan persalinan dan pencegahan komlikasi (P4K) dengan menempelkan stiker pada rumah yang ditinggali oleh ibu hamil. Program ini tetap melibatkan keikutsertaan dukun sebagai mitra kerja bidan. Dampak substantif : Penurunan Signifikan AKI
Tabel dan Grafik 1.1. cakupan K1 dan K4 Tahun 2006 dan 2011 kabupaten Takalar
120,00% 100,00% 80,00% 60,00%
K1
40,00%
K4
20,00% 0,00% 2006
Indikator K1 K4 Persalinan nakes
2007
2008
2009
2006 (sebelum KBD) 23,10% 24,37% 81,52%
2010
2011
2011(KBD diterapkan) 98,37 % 97,57% 96,4%
Data sekunder : Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan,Program KIA
Kemitraan Bidan dan Dukun di Kabupaten Takalar
7
http://cgi.fisipol.ugm.ac.id
pengetahuan ala kadarnya, tentu berakibat pada keselamatan ibu saat melahirkan. Keterbatasan itu bisa memicu keterlambatan penanganan bahaya persalinan seperti pendarahan dan eklamsi sehingga dapat menyebabkan kematian ibu saat melahirkan. Berangkat dari asumsi ini, sejak KBD diterapkan, dukun sebagai pihak yang dipercaya oleh masyarakat diberi pemahaman agar ibu yang ditanganinya bersalin di fasilitas kesehatan. Hasil dari metode ini terlihat pada tahun 2007, dimana jumlah kematian ibu dari 6 di tahun 2006 menurun menjadi 3 kematian ibu. Pada tahun 2008, menurun menjadi satu kematian ibu, pada tahun 2009, 2010,2011,hingga tahun 2012, tidak ditemukan lagi kematian ibu di Kabupaten Takalar. 2. Dampak Kelembagaan Bukan hanya pada ibu hamil, praktik KBD juga berdampak positif pada penguatan kelembagaan. Dimana kemitraan ini diperkuat terbitnya perda Kabupaten Takalar No.2 tahun 2010 yang terdiri dari 12 pasal . Sehingga pihak yang terlibat seperti puskesmas, dukun, dan bidan terlindungi secara hukum. 3. Dampak Lingkuungan Sosial Praktik KBD Kabupaten Takalar yang dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip kemitraan yakni kesetaraan (saling menghargai kekuasaa dan keahlian mitranya), keterbukaan, dan saling menguntungkan. Merasakan kesetaraan peran dan manfaat ekonomi yang layak, para dukun mulai bersemangat mengidentifikasi ibu hamil, membawa
mereka ke bidan, dan mengajak ibu hamil menjalani pemantauan kesehatan berkala di Puskesmas. Sementara para bidan yang mulai mendapat kepercayaan dari masyarakat semakin percaya diri dalam melaksanakan pemeriksaan medis dan membantu kelahiran. Melalui praktik ini para dukun juga memiliki penghasilan dengan jasa pelayanan yang diberikan kepada ibu hamil sebesar Rp 50.000,- pada setiap persalinan yang didampinginya. Selain bidang sosial, praktik KBD juga memberikan peningkatan pengetahuan kepada para ibu dan dukun tentang perawatan kesehatan ibu dan anak. Institusional dan Tantangan : Proses Pelembagaan KBD Praktik KBD Kabupaten Takalar mendapat dukungan yang terlegitimasi oleh Pemda Kabupaten Takalar. Upaya pelembagaan ini hadir dalam bentuk Perda No.02 Tahun 2010 tentang KBD Kabupaten Takalar. Pelembagaan ini tidak lahir begitu saja. Tetapi melalui proses yang panjang selama empat tahun, dari tahun 2007 hingga 2011. Pengupayaan ini diawali dengan melakukan konsolidasi di tingkat Dinkes Kabupaten Takalar setelah menghadiri pelatihan kemitraan bidan dan dukun paraji yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat pada Juni tahun 2006. Hanya saja Dinkes Kabupaten Takalar, menginovasi praktik KBD di Subang dengan memperluas wilayah cakupan. Yaitu hingga satu wilayah kabupaten.
Angka Kematian Ibu Tahun 2006-2012
7 6 5 4 3
angka kematian ibu
2 1 0 2006 2007 2008 2009
2010 2011
Data sekunder : Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan,Program KIA
Kemitraan Bidan dan Dukun di Kabupaten Takalar
8
http://cgi.fisipol.ugm.ac.id
Dinkes Kabupaten Takalar yang saat itu di wakili oleh Kasi Kesga dan Gizi Dinkes Kabupaten Takalar serta Sekertaris Dinkes Kabupaten Takalar berhasil mengkonsolidasikan gagasan ini di tingkatan dinas kesehatan. Setelah itu, dilakukan pertemuan dengan jajaran pemerintahan setempat. Pertemuan tersebut di hadiri oleh Bupati, Wakil Bupati, Ketua Bappeda, Sekertaris Daerah, Anggota DPRD, Ketua Panggerak PKK, Kepala Camat, Kepala Desa, dan Bikor. Pertemuan ini dijadikan sebagai media konsolidasi kedua untuk menyebarkan gagasan praktik KBD Kabupaten Takalar. Gagasan ini diterima baik oleh pemerintah daerah. Setelah gagasan ini diketahui oleh pihak pemda, tahun 2007, Dinkes Kabupaten Takalar memberikan proposal gagasan praktik KBD kepada lembaga PBB yakni UNICEF untuk diterapkan di Kabupaten Takalar. Gagasan ini juga disambut baik oleh UNICEF. Di awal tahun 2007, dengan menggandeng UNICEF, praktik KBD mulai diterapkan di lima puskemas di Kabupaten Takalar. Pertengahan tahun 2007, praktik KBD menuai hasil yang memuaskan. Angka persalinan di rumah dan AKI mulai terlihat menurun yakni menjadi tiga kematian ibu saat melahirkan yang awalnya berjumalah 6 kematian di tahun 2006. Sejak saat itu, Pemda Kabupaten Takalar mulai merumuskan legitimasi hukum agar praktik KBD di terapkan di seluruh wilayah Kabupaten Takalar. Pada tahun 2008, Pemda dalam hal ini Bupati Kabupaten Takalar mengeluarkan Keputusan Bupati Takalar No.01 Tahun 2008 tentang KBD Kabupaten Takalar. Surat Keputusan Bupati yang lahir ditindaklanjuti dengan perundingan pembuatan Perda terkait KBD Kabupaten Takalar. Pada tahun 2009, Pemda mengeluarkan Rancangan Perda Kabupaten Takalar tentang KBD kabupaten Takalar. Rancangan ini berisi 12 pasal yang mengatur segala hak, kewajiban, tugas, wewenang, sanksi, dalam proses KBD Kabupaten Takalar dalam hal ini bidan dan dukun. Selama proses penyempurnaan Perda, kemitraan yang terbangun antara bidan dan dukun diikat dalam MoU atau nota kesepakatan yang di tandatangani oleh dukun dan pihak puskesmas. Nota kesepakatan tersebut berisi tentang batasan tugas bidan dan dukun dalam bermitra, dana insentif yang diterima dukun setiap persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan, dan sanksi. Nota kesepakatan ini dipegang oleh pihak puskesmas dan dukun.
Penyempuraan rancangan perda lahir di tahun 2010. Bersama DPRD, pemerintah derah dalam hal ini Bupati Takalar menyetujui dan mensahkan Perda Kabupaten Takalar No.02 tahun 2010 tentang KBD di Kabupaten Takalar. Perda ini kemudian dipublikasikan melalui pembagian brosur yang sebar ke segala instansi terkait dan pihak yang terlibat di dalam KBD termasuk dukun. Sosialisasi KBD juga diselenggaran melalui karnaval, dimana setiap desa dan kecamatan melakukan simulasi melahirkan yang melibatkan dukun dan bidan. Pelembagaan dalam pengembangan ini mendapat dua tantangan yakni dukungan masyarakat dan dukungan anggaran. Menghadapi masyarakat pedesaan di Kabupaten Takalar yang masih kental adat perdukunannya, adalah tantangan besar dalam praktik ini. Hanya saja, masalah ini tertaktisi dengan pendekatan budaya yang dilakukan oleh bikor dan pihak puskemas. Tantangan kedua adalah dukungan anggaran dari pemerintah. Hingga saat ini, Pemda belum menetapkan APBD untuk praktik KBD di Kabupaten Takalar. Sumber pendanaan praktik KBD hanya diatur dalam SK Bupati Takalar No.01 Tahun 2008 tentang KBD yang menyatakan bahwa biaya yang timbul dengan ditetapkannya keputusan ini bersumber dari bantuan dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Sehingga untuk pendanaan KBD di Kabupaten Takalar yakni pembayaran insentif atau jasa kepada dukun diambil dari BOK dan Jampersal. Meski strategi ini tidak menghambat program Jampersal, namun keberadaan APBD untuk praktik KBD sangat diharapkan dalam pengembangan inovasi ini. Poin Pembelajaran Dari proses pengembangan praktik KBD di Kabupaten Takalar, dapat di tarik beberapa poin pembelajaran 1. Pentingnya pendekatan budaya Pendekatan budaya yang diterapkan dalam praktik KBD adalah kunci keberhasilan inovasi ini. Kabupaten Takalar adalah daerah yang masih kental tradisi perdukunannya. Dukun yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat mendapat kepercayaan yang lebih dari masyarakat ketimbang tenaga kesehatan terampil, dalam hal ini bidan yang selalu dianggap sebelah mata dan tak berpengalaman olah masyarakat Takalar, khususnya yang berada di pedesaan. Sementara seperti yang diketahui sebelumnya, bahwa potensi terbesar terjadinya kematian ibu terdapat di
Kemitraan Bidan dan Dukun di Kabupaten Takalar
9
http://cgi.fisipol.ugm.ac.id
pedesaan. Celah inilah yanng dimanfaatkan dan diberdayakan oleh Dinkes Kabupaten Takalar untuk mengatasi AKI yang cukup tinggi di tahun 2006. Dengan melatih dukun untuk mengetahui perawatan KIA pra dan pasca persalinan. Sebagai tokoh yang didengarkan oleh masayarakat, dukun memiliki kemampuan untuk menggerakkan dan memobilisasi masyarakat sekitarnya. Metode pendekatan budaya ini dilakukan dengan mengajak dukun sebagai mitra kerja bidan. Sehingga keberadaan bidan sebagai tenaga medis serta dukun yang bertindak sebagai pendamping bisa saling bekerja sama. Program kesehatan berjalan dengan tidak meningglakan budaya setempat. Membangun kerja sama tim antara pengambil kebijakan Keberhasilan KBD terlihat pada lahirnya Perda Kabupaten Takalar Tahun 2009, tentang KBD di Kabupaten Takalar. Kemajuan ini tidak terlepas dari adanya penciptaan kerja sama koperatif antara Dinas Kesehatan Kabupaten Takalar sebagai inisiator dan konseptor praktik KBD,dengan pihak Pemda kabupaten Takalar, DPRD, sebagai legimator dalam pelembagaan praktik KBD di Kabupaten Takalar.
Takalar. Peluang Replikasi Praktik KBD di Kabupaten Takalar sangat berpeluang untuk direplikasi di daerah lain. Pasalnya, hampir semua daerah khususnya daerah terpencil memiliki dukun bayi. Keberhasilan Kabupaten Takalar mengawal praktik KBD berupa upaya program magang dukun di Puskesmas serta penerbitan perda KBD, menarik perhatian beberapa daerah di Indonesia. Hingga tahun 2011, terdapat tujuh daerah yang melakukan studi banding. Yakni Dinkes tangerang, Monokwari, Sulawesi Barat, Kab. Sukabumi, Dinkes Kab. Morowali, Pemerintah Kab. Lebak, dan Prov. Banten.
2.
Kerja sama tim ini juga terbangun dalam jajaran staf Dinkes Kabupaten Takalar. Dimana pra staf ini bertugas dalam penuyususnan tata laksanaa proses implementasi. Di lapangan, keberhasilan KBD di Kabupaten Takalar tidak lepas dari peranan dukun dan bidan yang telah menjalin kerja sama dengan menghargai kedudukan dan fungsi masing-masing melalui adat sipakatau sipakainge. 3. Penguatan jaringan Praktik KBD yang diterima oleh masyarakat tidak lepas dari penguatan jaringan yang dibangun Dinkes Kabupaten Takalar melalui optimalisasi peran pukesmas, Ketua Penggerak PKK, dan Kepala Desa dalam memobilisasi dukun di wilayah setempat. 4. Pemberdayaan NGO Kurangnya dukungan pemerintah dalam KBD Kabupaten Takalar seperti APBD untuk praktik ini, disebabkan kurangnya dukungan dari lembagalambaga Non Goverment Organitation (NGO), seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) di wilatah Takalar. Padahal pemberdayaan LSM sangat penting sebagai kekuatan untuk mendukung praktik KBD. Mengingat NGO dan LSM adalah organisasi masyarakat yang bisa ikut mengadvokasi pengadaan APBD untuk praktik KBD di Kabupaten
Dalam pelaksanaan pratik KBD kebutuhan dasar yang harus terpenuhi adalah terdapatnya dukun yang bersedia bermitra dengan bidan, Kepala desa, Ketua Tim Penggerak PKK, serta tenaga kesehatan puskesmas. Kelompok pendukung ini memegang peranan vital, mengingat basis praktik KBD berada dalam masyarakat, sehingga keberadaan kelompok pendukung seperti pemerintah desa, tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM, tim PKK, mampu memperkuat kelangsungan praktik KBD. Selanjutnya keberadaan lembaga internasional seperti UNICEF adalah pihak yang bisa memfasilitasi jalannya prktik KBD. Di kabupaten Takalar, UNICEF adalah pihak pertama yang digandeng oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Takalar untuk menjalankan praktik KBD. Lembaga bantuan internasional bisa dijadikan sebagai salah satu sumber pendanaan KBD. Instrumen lainnya dalam praktik KBD adalah tenaga kesehatan, serta fasilitas kesehatan. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah bidan desa, kepala puskesmas serta bikor yang akan bertangung jawab dalam pengelolaan praktik KBD, tenaga kesehatan sebagai pelatih yang memberikan pengarahan akan peningkatan pengetahuan dukun terkait KIA. Ketersedian fasilitas kesehatan yang dimaksud adalah puskesmas, polindes, atau posyandu sebagai tempat magang dukun yang bermitra dengan bidan desa. Untuk menjaga kelangsungan praktik ini, diperlukan legitimasi hukum berupa MoU antara dukun dan bidan yang ditandatangi oleh dukun dan pihak puskesmas, SK Bupati serta perda tentang KBD seperti di Kabupaten Takalar.
Kemitraan Bidan dan Dukun di Kabupaten Takalar
10
http://cgi.fisipol.ugm.ac.id
Referensi Data Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi, 20062007, Dinas Kesehatan Kabupaten Takalar
Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 02 Tahun 2010 tentang Kemitaraan Bidan dan Dukun Bayi di Kabupaten Takalar
Laporan Pertanggungjawaban Bidang Kesehatan Masyarakat, Program KIA, 2006-2012, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan
Narasumber Hj. Misma Silvana, S.KM , Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Takalar, (Wawancara pukul 13:00, tanggal 22 Juni 2012)
Legitimasi Kemitraan Bidan dan Dukun, Dinas Kesehatan Kabupaten Takalar, Tahun 2010 Pedoman Pelayanan Ibu Hamil, Ibu Bersalin Dan Ibu Nifas Pada Kemitraan Dukun Paraji Dan Bidan, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, tahun 2001
Dr. Grace V. Dumalang, M.Kes, Kepala Dinas Kesehatan kabupaten Takalar, (Wawancara pukul 11.30, tanggal 13 Agustus 2012)
Kemitraan Bidan dan Dukun di Kabupaten Takalar
11
http://cgi.fisipol.ugm.ac.id