MAKALAH INDIVIDUAL UJIAN TENGAH SEMESTER DINAMIKA DINAMIK A KAWASAN KAWASAN ASIA TENGAH TENGA H DAN ASIA SELAT SELATAN
Kemiskinan di Asia Selatan Kegagalan Peran Pemerintah sebagai Agen Pembangunan di Wilayah Asia Selatan
Disusun oleh: Erika 0706291243 Jurusan Hubungan Internasional
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2010 Page | 0
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seiring dengan berbagai kemajuan pertumbuhan ekonomi dunia, angka kemiskinan dunia pun meningkat. Dewasa ini, dunia semakin dihadapkan dengan masalah-masalah yang terkait dengan ketidakmampuan manusia untuk mencukup kebutuhan sehari-harinya. Mengenai hal ini, Asisten Sekjen PBB untuk Pembangunan Ekonomi, Jomo Kwame Sundaram mengatakan bahwa angka kemakmuran global memang meningkat, tetapi potret kemiskinan dunia semakin buram. Jutaan warga semakin miskin dan distribusi kemakmuran dunia semakin tidak merata, demikian menurut Sundaram.
1
Dari jutaan warga yang
tergolong sebagai warga miskin dunia, sekitar 1/3 penduduk miskin dunia berada di wilayah Asia Selatan, yaitu sekitar 400 juta orang.
2
Jumlah ini merupakan jumlah terbesar jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di wilayah lain. Perbaikan yang cukup baik dari sisi tingkat pertumbuhan ekonomi di wilayah Asia Selatan ternyata tidak lantas menurunkan angka kemiskinan di wilayah ini. Human poverty statistic menyatakan bahwa setiap tahun jumlah masyarakat yang
buta huruf meningkat, lebih dari setengah anak-anak menderita malnutrisi, dan sekitar 1/3 bagian dari kasus kematian ibu dunia terjadi di Asia Selatan.
3
Kemiskinan di Asia Selatan
juga ditunjukkan oleh peringkat negara-negara Asia Selatan dalam Indeks Pembangunan yang dikeluarkan United Nations Development Programme pada tahun 2001, di mana Maldives menempati peringkat 77 dari 162 negara, Sri Lanka pada peringkat 81, India pada peringkat 115, Pakistan pada peringkat 127, Nepal 129, Bhutan 130, dan Bangladesh menempati 4
peringkat 132. Berbagai data dari UN tersebut membuktikan bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah yang serius bagi wilayah wila yah Asia Asia Selatan. 1
Lihat Simon Saragih, “Musuh Kemiskinan Itu adalah Nurani” Nurani ” , Kompas, edisi Minggu, 07 Agustus 2005. Hafiz A. Pasha, “Pro“Pro -Poor Policies in South Asia”, dalam Ramesh Thakur dan Oddny Wiggen (eds.), South Asia in The World: Problem Solving Perspective on Security, Sustainable Development and Good Governance. (Japan: United Nation University Press, 2004), h. 131. 3 Ibid , h. 132. 4 Ibid. 2
Page | 1
Kendatipun telah menjadi masalah yang serius, pemerintah negara-negara Asia Selatan tampak belum begitu tertarik untuk menyelesaikan masalah ini. Pemerintah negara Asia Selatan tampak lebih sibuk mengatasi masalah-masalah high politics tanpa melihat kondisi kemiskinan yang sudah sedemikian parah di negaranya. Adapun satu-satunya respon dari pemerintah negara Asia Selatan sehubungan dengan pengurangan angka kemiskinan adalah melalui usaha mereka dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Meminjam logika kaum neoklasik yang mengatakan pertumbuhan ekonomi pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah negara Asia Selatan pun tampak sibuk melakukan berbagai perbenahan dari sisi ekonomi, mulai dari usaha liberalisasi perekonomian, kerja sama ekonomi regional, sampai pada usaha minimalisasi peran pemerintah dan perbesaran peran pasar. Namun seperti telah disebutkan sebelumnya, berbagai usaha peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak lantas menurunkan angka kemiskinan di wilayah ini. Berbagai faktor penyebab kemiskinan turut berperan dalam menciptakan sebuah kemiskinan yang bersifat struktural di wilayah Asia Selatan. Makalah ini kemudian akan membahas mengenai berbagai penyebab terciptanya kemiskinan struktural di wilayah Asia Selatan, dengan pertama-tama menjelaskan mengapa usaha peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak berhasil mengurangi angka kemiskinan di wilayah Asia Selatan.
1.2. Pertanyaan Permasalahan
Makalah ini akan berusaha menjawab dua pertanyaan:
Mengapa usaha
peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak mampu mengurangi angka kemiskinan di Asia Selatan? Serta Jika bukan karena masalah ekonomi, mengapa kemiskinan di Asia Selatan terjadi?
1.3. Kerangka Konsep 1.3.1. Konsep Kemiskinan
Kemiskinan merupakan konsep yang sulit didefinisikan. Dalam mendefinisikan konsep kemiskinan, terdapat berbagai pendapat. Salah satunya adalah pendapat Andre Bayo Ala, yang mengatakan bahwa kemiskinan itu bersifat multi dimensional; kebutuhan manusia yang bermacam – macam macam menjadikan konsep kemiskinan sebagai konsep yang terdiri dari Page | 2
banyak aspek, antara lain aspek primer (miskin aset, organisasi sosial politik, pengetahuan dan keterampilan), dan aspek sekunder (miskin jaringan sosial, sumber keuangan dan 5
informasi) . Senada dengan Andre Bayo Ala, John Friedman lebih melihat kemiskinan sebagai adanya ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi modal yang produktif, sumber keuangan, organisasi sosial dan politik. Sementara Bank Dunia lebih mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi pendapatan yang rendah, kekurangan gizi atau keadaan kesehatan yang buruk serta pendidikan yang rendah. Ada dua macam ukuran kemiskinan yang umum dan dikenal antara lain : 1.
Kemiskinan Absolut Konsep kemiskinan yang dikaitkan dengan pendapatan dan kebutuhan, di mana kebutuhan tersebut hanya terbatas pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar ( basic need ). ).
2.
Kemiskinan Relatif Pada konsep ini, ukuran kemiskinan dilihat dari besarnya ketimpangan hidup antara orang yang berpenghasilan tinggi dan orang yang berpenghasilan rendah. Menurut Kincaid, semakin besar ketimpangan antara tingkat hidup orang kaya dan miskin mengakibatkan mengakibatkan jumlah penduduk yang selalu miskin menjadi semakin besar.
6
1.3.2. Konsep Pembangunan
Isu pembangunan sendiri mulai muncul pada dunia internasional sekitar tahun 1700-an, 1700-an, ketika muncul wacana “ New world order ” yang disebabkan karena adanya gap antara major power dan negara-negara korban kolonialisme. Seiring perkembangan jaman, studi pembangunan semakin mendapat tempat dalam studi Hubungan Internasional. Fokus studi pembangunan sendiri lebih difokuskan pada negara-negara berkembang. Mengenai definisi pembangunan, sebagian ahli ekonomi mengartikan istilah ini sebagai berikut: economic development is growth plus change (pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan
ekonomi yang diikuti oleh perubahan-perubahan dalam struktur dan corak kegiatan 7
ekonomi ). Konsep perubahan di sini dimengerti sebagai proses menuju kematangan atau kemajuan yang mencakup:
perubahan sikap hidup,
perubahan kelembagaan, dan
perubahan struktural (produksi , pengeluaran, dan distribusi). Pelopor studi pembangunan adalah John Maynard Keynes yang terkenal dengan
5 6 7
Andre Bayo Ala, Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. (Yogyakarta: Liberty, 1981). J.C. Kincaid. Poverty and Equality in Britain . (Harmondsworth: Penguin, 1975). Sadono Sukirno, Makroekonomi: Teori Pengantar . (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 2004), h. 415. Page | 3
pikirannya mengenai ilmu ekonomi makro. Keynes pada dasarnya mengatakan bahwa peran negara dalam mengatur kegiatan perekonomian adalah krusial karena ada banyak persoalan-persoalan sosial seperti misalnya masalah pengangguran, kemiskinan dan lain-lain yang tidak bisa dipecahkan hanya lewat mekanisme pasar. Kehadiran institusi negara, karenanya, bersifat esensial dalam menyediakan jaminan terselenggaranya perjanjian 8
kontraktual dalam masa kini dan masa depan , untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Studi pembangunan umumnya mempercayai bahwa ekonomi adalah sebuah perubahan struktural, bukan hanya masalah pertumbuhan atau akumulasi kapital semata.
9
Sehingga
studi pembangunan meyakini bahwa intervensi pemerintah dalam perekonomian negara miskin merupakan hal yang krusial.
10
Diperlukannya intervensi pemerintah dalam perekonomian negara miskin dan berkembang juga disampaikan oleh Robert Wade yang mengatakan kondisi saving yang rendah, ketergantungan pada produk ekspor, menurunnya harga produk ekspor dibanding produk impor, pasar domestik yang kecil, kemampuan masyarakat yang terbatas, sedikitnya entrepreneurs dan pengangguran yang masif jelas menunjukkan dibutuhkannya peran negara
yang semakin besar dalam perekonomian.
11
Dibutuhkannya peran negara yang kuat dan
memiliki strong vision juga disampaikan oleh Huntington dalam literaturnya mengenai konsep developmental state . Studi pembangunan, karenanya, menolak argumen kaum neoklasik akan pentingnya pengurangan intervensi negara untuk memajukan perekonomian. Sebaliknya, studi pembangunan melihat pemerintah sebagai aktor krusial dalam pemajuan perekonomian negara, serta dalam penciptaan kesejahteraan rakyat.
8
Paul Davidson, Post Keynesian Macroeconomic Theory. (Aldershot: Edward Elgar, 1994), h. 102.
9
Sylvia Maxfield, “International Development”, dalam Walter Carlsnaes, et.al. (eds.), Handbook of International Relations. (London: Sage Publications, 2002), h. 464. 10 Ibid . 11 Robert Wade, Governing the Market . (Princeton: Princeton University Press, 1990), h. 8. Page | 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Kemiskinan di Asia Selatan
Telah disebutkan sebelumnya pada bagian Pendahuluan bahwa kawasan Asia Selatan merupakan kawasan yang memiliki kurang lebih 400 juta masyarakat miskin. Adapun Asian Development Bank kemudian membagi wilayah Asia Selatan menjadi tiga kelompok
untuk menggambarkan tingkat kesuksesan dalam mengurangi angka kemiskinan selama 12
tahun 1990-an . Kelompok tersebut adalah: 1. Kelompok
pertama,
mencakup
negara-negara
yang
berhasil
mengutangi
angka
kemiskinan secara absolut, di samping meningkatnya angka populasi penduduknya. Kelompok ini hanya dihuni satu negara yaitu India, yang berhasil mengurangi angka kemiskinan dari yang tadinya 36% menjadi 26% pada periode 1990-an. 2. Kelompok kedua, mencakup negara-negara yang hanya berhasil mengurangi angka kemiskinan pada masyarakatnya sebanyak maksimal 5%. Negara yang termasuk dalam kelompok ini adalah Bangladesh (angka kemiskinan berkurang dari 48% menjadi 45%) dan Sri Lanka (angka kemiskinan berkurang dari 30% menjadi 27%). 3. Kelompok ketiga, mencakup negara-negara Asia Selatan yang tidak berhasil mengurangi angka kemiskinan, dan bahkan mengalami peningkatan dalam tingkat kemiskinannya. Contoh negara yang termasuk dalam kelompok ini adalah Pakistan, di mana tingkat kemiskinan mengalami peningkatan dari 23% menjadi 37%.
2.2. Usaha Pemerintah Negara Asia Selatan untuk Mengurangi Kemiskinan Melalui Kebijakan-Kebijakan Kebijakan-Kebijakan yang Pro Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Pada periode 1980-an hingga 1990-an, dunia internasional sedang diwarnai tren liberalisasi perdagangan, tren di mana setiap negara dianjurkan melalui restrukturisasi ekonomi dengan menerapkan liberalisasi perdagangan, perdagangan, privatisasi, deregulasi, dan penguatan peran pasar. Kalangan ekonom neoklasik mengatakan kebijakan liberalisasi yang pro terhadap pertumbuhan ekonomi ini dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, di mana kemudian pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat mendatangkan berbagai dampak positif terhadap kesejahteraan rakyat termasuk dalam pengurangan angka kemiskinan. Menanggapi tren yang sedang berkembang kala itu, pemerintah negara-negara Asia Selatan pun kemudian mulai menerapkan berbagai kebijakan yang pro-liberalisasi. Restrukturisasi kebijakan ekonomi pun dilakukan dengan mengurangi intervensi negara
12
Haviz A. Pasha, loc. cit. Page | 5
sebagai agen pemimpin pembangunan dan mengeluarkan berbagai kebijakan yang mendukung integrasi perekonomian nasional dengan ekonomi global, melalui kebijakan 13
privatisasi, deregulasi, liberalisasi sektor finansial, dan konvertibilitas kapital . Berikut adalah contoh kebijakan pro-liberalisasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka.
Tabel 1. Kebijakan Impor Bangladesh, India, Nepal, Pakistan dan Sri Lanka
14
13
Haviz A. Pasha, op. cit., h. 137-138.
14
A. R. Kemal, et.al., ‘‘A Plan to Strengthen Regional Trade Cooperation in South Asia’’,dalam Asia’’, dalam T. N. Srinivasan Page | 6
Tabel 2. Kebijakan Ekspor Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, Sri Lanka
15
Dari kedua tabel di atas, dapat dilihat bahwa Bangladesh, India, Nepal, Pakistan dan Sri Lanka lebih memberikan kemudahan untuk masuknya produk-produk impor, sambil juga meng-encourage peningkatan produk ekspor. Sekilas kebijakan-kebijakan ini terlihat baik. Tetapi sebenarnya, berbagai macam kebijakan liberalisasi perekonomian yang diterapkan pemerintah negara-negara Asia Selatan tersebut pada akhirnya malah mendatangkan berbagai (ed.), Trade, Finance and Investment in South Asia . (New Delhi: Social Science Press, 2002), h. 277-278. 15
Ibid , h. 278. Page | 7
dampak negatif bagi kondisi domestik negara Asia Selatan, yang akan dijelaskan pada subbab berikut.
2.3. Dampak Buruk Akibat Liberalisasi Perdagangan Perdagangan 2.3.1. Ketidakmampuan Industri Domestik Tiap Negara untuk Bersaing dengan Produk Impor
Berbagai liberalisasi perdagangan yang dilakukan pemerintah negara Asia Selatan menyebabkan produk-produk impor dapat dengan mudah memasuki pasar domestik dalam negara-negara Asia Selatan. Hal ini memang memberikan manfaat positif bagi konsumer, akan tetapi sayangnya liberalisasi perdagangan yang terjadi tidak disertai dengan peningkatan daya saing dari industri domestik. Akibatnya, banyak industri domestik terpaksa gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan produk-produk impor yang masuk. Sebagai contoh di India, sektor kerajinan tangan dan kesenian yang mempekerjakan banyak tenaga kerja serta sektor-sektor home industry terpaksa harus gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan 16
produk asing yang terkadang harganya justru lebih murah . Hal yang sama terjadi di berbagai negara Asia Selatan lainnya. Liberalisasi perdagangan pada akhirnya malah menghasilkan sebuah kemunduran bagi perkembangan industri domestik.
2.3.2. Monopolisasi Sektor Publik yang Timbul Akibat Privatisasi dan Pengaruhnya Terhadap Tingkat Pengangguran
Salah satu kebijakan liberalisasi ekonomi adalah privatisasi, atau penyerahan suatu sektor usaha kepada pihak swasta. Dari segi positif, privatisasi menghasilkan sebuah efisiensi yang pada akhirnya dapat berdampak pada penurunan harga jual produk di pasaran. Akan 17
tetapi, privatisasi ternyata juga mampu menimbulkan fenomena quasi-monopolies , di mana monopolisasi yang terjadi dapat membahayakan masyarakat jika monopoli terjadi di sektor publik seperti misalnya sektor listrik dan air. Privatisasi yang terjadi pada sektor publik akibat kebijakan yang pro-liberalisme pada akhirnya membatasi akses masyarakat (terutama masyarakat miskin) pada sektor publik. Masyarakat miskin menjadi tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Masalah yang juga timbul akibat privatisasi adalah pembatasan lahan kerja yang terjadi atas alasan efisiensi. Sebagai pihak yang cenderung mencari keuntungan, pihak swasta 18
memang cenderung melakukan substantial downsizing of labour
untuk alasan efisiensi. Hal
ini pada akhirnya akan memperbesar jumlah pengangguran di masyarakat, dan semakin 16
Haviz A. Pasha, op. cit., h. 139.
17
Ibid , h. 138.
18
Ibid . Page | 8
menambah jumlah kemiskinan di negara-negara Asia Selatan.
2.3.3. Pemotongan Dana Investasi untuk Pembangunan Manusia
Selain mengakibatkan masalah ketidakmampuan bersaing bagi industri domestik dan masalah monopolisasi sektor publik akibat privatisasi yang dijalankan, liberalisasi perdagangan juga menimbulkan masalah baru, yaitu berkurangnya pemasukan negara dari sisi tarif impor. Negara-negara Asia Selatan umumnya bergantung pada tarif impor dari sisi 19
pemasukannya , sehingga pemotongan tarif impor tentunya akan mengurangi pemasukan negara. Berkurangnya pemasukan negara ini tidak diikuti dengan pertambahan pemasukan negara dari sektor lain, sehingga pemerintah negara Asia Selatan pun terpaksa memotong dana investasi yang ditujukan untuk pembangunan manusia, seperti misalnya dana 20
pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Masalah underinvestment in human development
yang terjadi di negara-negara Asia Selatan pada akhirnya semakin meningkatkan jumlah kasus kemiskinan di wilayah tersebut.
2.4. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan di Asia Selatan
Pada
subbab
sebelumnya,
telah
dijelaskan
bahwa
kebijakan
liberalisasi
perekonomian yang dijalankan pemerintah negara-negara Asia Selatan pada akhirny tidak berhasil mengurangi angka kemiskinan. Selain disebabkan karena kebijakan yang pro terhadap liberalisasi perekonomian tersebut, ketidakberhasilan pemerintah Asia Selatan dalam mengurangi jumlah kemiskinan juga disebabkan karena beberapa faktor berikut: 1. Pemilihan prioritas kebijakan yang kurang tepat Telah dijelaskan sebelumnya bahwa ternyata kebijakan pemerintah Asia Selatan yang pro terhadap liberalisasi perekonomian pada akhirnya tidak berhasil menghasilkan trickle-down effect seperti yang diilustrasikan oleh para ekonom neoklasik. Liberalisasi
perekonomian perekonomian yang terjadi pada akhirnya malah semakin memperparah kemiskinan yang ada di wilayah ini. Dalam hal ini, pemerintah Asia Selatan telah gagal dalam mengatur masalah pembangunan di Asia Selatan. Pemilihan prioritas yang kurang tepat, yaitu lebih memilih kebijakan yang pro-ekonomi daripada pro-kemiskinan (misalnya lewat pengadaan industri padat karya, pemberian subsidi pada rakyat miskin, dan lain-lain) bukan hanya tidak mengurangi angka kemiskinan di Asia Selatan, melainkan malah memperparah kemiskinan di wilayah tersebut. 2. Kurangnya peraturan dan hukum yang pro terhadap rakyat miskin Masalah kuasi-monopoli yang timbul akibat privatisasi sektor publik seharusnya dapat 19 20
Haviz A. Pasha, op. cit., h. 139-140. Ibid . Page | 9
dicegah melalui pengadaan dan penguatan aturan-aturan hukum yang pro-rakyat miskin. Berbagai macam peraturan yang ada seringkali malah mendiskreditkan rakyat miskin dan malah bersifat menguntungkan bagi para pemain bisnis dan pengusaha asing, karena kesalahan prioritas kebijakan pemerintah Asia Selatan yang pro pada liberalisasi ekonomi. 3. Masalah transparansi dan akuntabilitas Masalah transparansi dan akuntabilitas merupakan masalah yang sangat serius dalam pemerintahan negara-negara Asia Selatan. Prinsip good governance tampaknya masih belum benar-benar terwujud di wilayah ini. Tidak adanya transparansi dan akuntabilitas pada akhirnya menyebabkan sentralisasi pada proses pembuatan kebijakan di tangan para 21
stakeholders . Kurangnya transparansi dan akuntabilitas menyebabkan angka korupsi di
wilayah ini cenderung tinggi. APBN yang seharusnya bisa lebih difokuskan untuk pengurangan angka kemiskinan pun menjadi sering diselewengkan oleh para birokrat karena tidak adanya transparansi dan akuntabilitas ini. Untuk mengatasi masalah ini, Non-Governmental Organizations Organizations menjadi penting. peran masyarakat sipil lewat sebuah Non-Governmental
Adanya NGO independen yang bertugas mengawasi transparansi dan akuntabilitas pemerintah dapat memainkan peran yang penting untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat miskin sekaligus untuk memastikan pelayanan-pelayanan pelayanan-pelayanan bagi rakyat miskin dapat berjalan dengan tepat sasaran. s asaran. 4. Kurang representatifnya pemerintah Dalam pemerintahan negara-negara Asia Selatan, kedudukan para stakeholders mayoritas dikuasai oleh orang-orang dari partai politik yang berkuasa dan oleh para pengusaha yang juga terjun dalam dunia politik. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kebijakan yang dihasilkan seringkali tidak representatif dan hanya menguntungkan diri mereka sendiri. Adanya pemerintahan yang lebih representatif, karenanya, karenanya, merupakan faktor yang krusial untuk
mengurangi
angka
kemiskinan
di
Asia
Selatan.
Diwakilkannya
kelompok-kelompok minoritas seperti kelompok petani, buruh, perempuan, dan berbagai kelompok minoritas lain dalam pemerintah merupakan langkah yang penting untuk 22
mewujudkan formulasi dan implementasi kebijakan yang pro-kemiskinan .
2.5. Masalah Kemiskinan di Asia Selatan: Akumulasi Kegagalan Pemerintah dalam Mengatur Masalah Pembangunan di Asia Selatan
Berdasarkan berbagai penjelasan di subbab-subbab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kemiskinan di Asia Selatan terjadi karena kegagalan pemerintah Asia Selatan dalam 21 22
Haviz A. Pasha, op. cit., h. 142. Ibid . Page | 10
mengatur masalah pembangunan di negaranya masing-masing. Lemahnya peran pemerintah dan ketidakadaan strong vision pada diri pemerintah negara-negara Asia Selatan, menurut penulis, merupakan faktor utama penyebab terjadinya kemiskinan yang bersifat struktural di Asia Selatan. Menurut teori pembangunan, peran pemerintah merupakan hal yang krusial untuk memberikan akses sektor-sektor publik pada masyarakat, seperti misalnya sektor pendidikan, kesehatan, air bersih, pangan, dan sebagainya. Sektor-sektor publik yang sensitif bagi kehidupan rakyat miskin ini seharusnya tetap dikelola pemerintah, bukan malah diserahkan pada sektor swasta melalui privatisasi. Di sini penulis melihat, intervensi pemerintah dalam memastikan terciptanya kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang penting dan harus ada di perekonomian negara berkembang. Sebaliknya, kawasan Asia Selatan yang masih merupakan negara berkembang, malah cenderung mengurangi atau bahkan menghilangkan intervensi pemerintah dalam perekonomiannya. Hal ini dikarenakan pemerintah negara Asia Selatan masih menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai target kebijakannya, padahal menurut penulis, bagi negara berkembang seperti negara-negara di wilayah Asia Selatan, pembangunanlah yang seharusnya menjadi target utama kebijakan pemerintah. Kurangnya fokus pemerintah negara-negara Asia Selatan pada masalah pembangunan pembangunan mengakibatkan masalah kemiskinan di Asia Selatan masih belum terselesaikan hingga kini.
Page | 11
BAB III KESIMPULAN
Meningkatnya Meningkatnya jumlah masyarakat yang buta huruf setiap tahunnya, t ahunnya, banyaknya banyaknya kasus kematian ibu, serta banyaknya jumlah anak-anak yang menderita malnutrisi setiap tahunnya adalah bukti bahwa kemiskinan di Asia Selatan merupakan masalah serius yang harus segera ditangani. Tingginya kasus kemiskinan di kawasan ini, yaitu menimpa setidaknya 400 juta orang, menarik perhatian dari dunia internasional untuk ikut “memperbaiki” kawasan ini. Salah satu perbaikan yang ditawarkan untuk mengurangi kasus kemiskinan di Asia Selatan ini adalah melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, dengan harapan pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan Asia Selatan. Berbagai upaya liberalisasi perekonomian pun dilakukan oleh pemerintah Asia Selatan. Akan tetapi ternyata liberalisasi perekonomian yang diterapkan tidak lantas mengurangi angka kemiskinan di kawasan ini. Liberalisasi perekonomian yang terjadi malah semakin memperparah kondisi kemiskinan di Asia Selatan. Hal tersebut dikarenakan, penyebab utama terjadinya kemiskinan di Asia Selatan bukanlah karena ketidakmampuan negara-negara Asia Selatan untuk beradaptasi dengan ekonomi global, melainkan karena terdapat kesalahan prioritas dalam pemerintahan negara-negara Asia Selatan. Prioritas pemerintah negara-negara negara-negara Asia Selatan hingga kini masih terfokus pada pengadaan kebijakan yang pro-ekonomi, padahal kondisi kemiskinan di wilayah tersebut sudah sangat parah. Pemerintah Asia Selatan juga masih berfokus pada masalah-masalah konflik politik yang memang marak terjadi di kawasan ini, sehingga masalah kemiskinan kemiskinan dan kesejahteraan rakyat seakan menjadi prioritas kedua dalam agenda pemerintahannya. Kesalahan prioritas pemerintah ini lantas diperparah dengan kebobrokan dalam sistem pemerintahan negara-negara Asia Selatan itu sendiri, yang ditandai dengan absennya unsur transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan negara-negara Asia Selatan. Minimnya peran pemerintah sebagai agen ekonomi yang seharusnya dapat paling berperan dalam mewujudkan pembangunan di Asia Selatan, pada akhirnya, menyebabkan masalah kemiskinan di Asia Selatan masih sangat sulit diselesaikan.
Page | 12
DAFTAR PUSTAKA Ala, Andre Bayo. 1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan . Yogyakarta: Liberty. Davidson, Paul. 1994. Post Keynesian Macroeconomic Theory . Aldershot: Edward Elgar. Kemal, A. R., et.al. 2002. „„A Plan to Strengthen Regional Trade Cooperation in South Asia‟‟, dalam Srinivasan, T. N. (ed.), Trade, Finance and Investment in South Asia . New Delhi: Social Science Press Kincaid, J. C. 1975. Poverty and Equality in Britain . Harmondsworth: Penguin. Maxfield, Sylvia. 2002. “International Development”, dalam Carlsnaes, Walter, et.al. (eds.), Handbook of International Relations. London: Sage Publications
“Pro -Poor Policies in South Asia”, dalam Thakur, Ramesh dan Oddny Pasha, Hafiz A. A. 2004. “ProWiggen (eds.), South Asia in The World: Problem Solving Perspective on Security, Sustainable Development and Good Governance . Japan: United Nation University Press
Saragih, Simon. 2005. “Musuh Kemiskinan Itu Adalah Nurani”. Nurani”. Kompas, 07 Agustus 2005. Sukirno, Sadono. 2004. Makroekonomi: Teori Pengantar . Jakarta: Lembaga Lembaga Penerbit FEUI. Wade, Robert. 1990. Governing the Market . Princeton: Princeton University Press
Page | 13