Sumber-sumber Sejarah Revolusi Islam Baru Khomeini Roger Garaudy
Untuk dapat memahami Revolusi Islam yang dipelopori Ayatullah Khomeini dan konsepsi ‘modernitas’ yang mendasarinya, pertama kali kita harus menyadari karakteristikkarakteristik utamanya. Revolusi ini tidak sama dengan revolusi-revolusi lainnya, karena Revolusi Perancis adalah revolusi politik yang mengalihkan kekuasaan negara dari aristokrasi kepada sebuah hierarki baru dan yang didasarkan atas kemakmuran; demikian pula halnya dengan Revolusi Rusia yang mentransfer kekuatan ekonomi dari kaum borjuis kepada proletar. Revolusi Islam pada satu dan saat yang sama merupakan revolusi ekonomi sekaligus politik, dan dalam terminologi ini ia menyerupai revolusi-revolusi yang tadi disebutkan. Namun, apa yang secara radikal membedakannya dari revolusi-revolusi lain adalah bahwa ia diarahkan untuk melawan semua konsepsi DEMI KAUM TERTINDAS - 187
tentang manusia dan peradaban yang muncul di dunia Barat selama berabad-abad, dan yang dianggap sebagai satusatunya bentuk yang mungkin dari ‘modernitas’. Dalam literatur sejarah Barat, era modern bermula pada masa dari apa yang dikenal dengan “Renaisans”, yakni masa dimana kapitalisme dan kolonialisme lahir secara simultan. ‘Modernitas’ ini sejak awal menciptakan keretakan antara Barat dengan semua kebudayaan lain di dunia. Tahun 1492, dalam sudut pandang ini, memiliki sebuah signifikansi simbolik. Tahun tersebut menjadi saksi dari jatuhnya Granada, kerajaan Muslim terakhir di Eropa, dan pada saat yang sama, terjadinya invasiinvasi serta penghancuran terhadap kebudayaan penduduk asli Amerika setelah kedatangan Christopher Colombus di sana. Sepanjang lima abad berikutnya, gelombang invasi kolonial atas Afrika dan Asia datang dengan karakteristikkarakteristik yang sama: agresi militer, eksploitasi ekonomi, dan pengingkaran serta penghancuran terhadap kebudayaan penduduk asli berikut tradisi spiritualitas mereka. Dari sejak masa tersebut, Eropa memandang dirinya sebagai satusatunya kendaraan budaya, dan pencipta satu-satunya bentuk yang mungkin dari ‘modernitas’. Kita dapat menjelaskan modernitas ini lewat tiga postulat: 1.
Pretensi mengenai manusia yang mampu menguasai bumi dengan menyingkirkan segala aspek ketuhanan dan finalitas.
2.
Dominasi pasar sebagai satu-satunya pengatur segala relasi manusia, baik antar-individu maupun
188 - DEMI KAUM TERTINDAS
memecahkan problem-problem zaman kita dengan hanya mengulang apa yang ulama konservatif paksakan atas kita selama berabad-abad; mereka yang mengklaim telah menutup pintu ijtihad sementara memegang monopoli atasnya demi kepentingan mereka sendiri. Untuk menciptakan sebuah ‘modernitas’, yang semestinya bukan ‘modernitas Barat’, Sayid Jamaludin alAfghani menawarkan upaya kembali kepada Islam yang hidup, sesuatu yang akan mampu menciptakan sebuah fikih yang dinamis di atas dasar prinsip-prinsip universal dan abadi dari Syariat. Inilah jalan yang ditempuh al-Ghazali yang agung. Karya-karyanya, terutama Ihya Ulumuddin, menyadari dimensi-dimensi spiritual internal Islam, yang ditumbuhkan oleh sufi-sufi besar seperti Attar dan Rumi. Pasal 36 dari Ihya, mengenai ‘Cinta’, menunjukkan kedalamannya. Praktikpraktik ritual semata merupakan jalan ‘penyucian jiwa’ demi mempersiapkan diri untuk menunaikan tindakan-tindakan yang adil dalam pengabdian kepada Tuhan dan masyarakat. Prioritas tindakan seperti ini ditekankan oleh Islam. Sebagaimana ia kerap katakan bahwa Islam, seperdelapannya adalah ritual sedangkan tujuhperdelapannya merupakan aksi yang diarahkan kepada masyarakat sesuai dengan nilainilai Islam: sebuah ide yang telah di simpulkan sebagai ‘Kemerdekaan dan Keadilan’. Karya inilah dengan demikian adalah sebuah sintesis dari antara reformis-reformis pemikiran Islam, sejak Ihya-nya
194 - DEMI KAUM TERTINDAS
al-Ghazali hingga ‘Reconstruction of Religious Thought in Islam’-nya Muhammad Iqbal. Islamlah menyajikan karya nyata dari pesan fundamental mengenai ‘Islam yang hidup’, yang mampu menampilkan sebuah alternatif terhadap modernitas semu Barat. ‘Modernitas’ Barat pada dasarnya adalah ‘agama’ yang tidak berani menyebut dirinya ‘agama’: monoteisme pasar’, atau seperti yang dikatakan ideolog kapitalisme Amerika, Luttwark, dengan ‘hukum tuhan tentang pasar, yang mendominasi relasi-relasi sosial dan internasional. Praktik ini memecah dunia menjadi utara dan selatan; dan apa yang disebut dengan negara ‘maju’ dan negara ‘berkembang’; serta ‘yang berpunya’ (the haves) dengan yang ‘tidak berpunya’ (the have-nots). Ia selalu memberikan jalan ‘kebebasan’ bagi yang terkuat untuk memangsa dengan rakus yang paling lemah, di bawah dalih ‘liberalisme ekonomi’. Modernitas seperti itu, jika secara paripurna berkuasa, akan mengarahkan seluruh kemanusiaan kepada bunuh-diri global, entah melalui ledakan kekacauan oleh para pemimpin ‘monoteisme pasar’ yang melahirkan kelaparan dan kematian; atau bunuh-diri global lainnya karena polusi, keausan, dan kehancuran alam. Sejak permulaan Abad yang lalu, reformis besar seperti Jamaluddin al-Afghani teleh mendeteksi sumber-sumber kejahatan, dan mengecam perilaku-perilaku menyesatkan dari para wakil mereka. Dalam edisi 10 dari jurnalnya, alUrwatul Wustqa, ia meminta Muslim untuk tidak menerima DEMI KAUM TERTINDAS - 195
ilmu palsu yang telah dielaborasi oleh ulama konservatif selama berabad-abad. Dalam edisi 17, ketika membedakan antara prinsipprinsip abadi dari Syariat dengan aplikasi dalam sebuah fikih yang partikular yang mungkin berbeda menurut periode dan manusianya, ia menyeru seluruh Muslim untuk menemukan kembali dinamisme kreatif dari Islam sebagaimana halnya Islam pada masa kelahiran dan kesempurnaannya. Jamaluddin al-Afghani menunjukkan bahwa sebuah Islam yang hidup dan kreatif, seperti yang disampaikan dalam al-Quran, tidak mengakomodasi baik itu imitasi dunia Barat maupun upaya mundur ke masa lalu. Sejarah Abad ke-20 telah membuktikan kebenaran visinya. Peniruan dunia Barat menghadirkan contoh paling tipikal dan tragisnya dalam apa yang dilakukan Mustafa Kemal di Turki. Ia ingin menjadikan Turki anggota Eropa dengan mengimpor seluruh pandangan Barat tentang rasionalisme dan nasionalisme, seperti yang telah dimutilasi oleh Auguste Comte, musuh paling mematikan dan kejam bagi seluruh agama. Mundur ke masa lalu dan menyerahkan segalanya kepada para ‘fuqaha penguasa’ diilustrasikan dalam sebuah perilaku ganjil Syeikh al-Azhar, yang pada awalnya menyatakan ‘suci’ terhadap perang melawan Israel, tetapi tak lama berselang menghadiahi fatwa kepada Anwar Sadat dengan menyatakan adalah sebuah tugas suci untuk membuat perjanjian damai terpisah dengan Israel. Inilah oportunisme yang dikecam secara ironis oleh Islam terhadap ‘para teolog penguasa’
196 - DEMI KAUM TERTINDAS
yang mengisolasi diri mereka dari tradisi agung yang diinspirasi Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Dengan beranjak dari konsepsi-konsepsi tentang Islam seperti itulah, titik ini menggerakkan sebuah Revolusi Islam yang autentik dalam makna, yang menurut Abu Dzar, telah diindikasikan Nabi saw: “Ada tiga perkara yang menjadi milik masyarakat secara keseluruhan dan tidak bisa dimiliki oleh individu mana pun: api, tanah, dan air”; istilah-istilah yang dalam idiom modern bermakna industri dan bahanbahan kebutuhan pokok. Dari sinilah, seseorang dapat mendefinisikan sebuah modernitas autentik yang beroposisi, satu demi satu, terhadap tiga postulat yang dengannya kita mengarakterisasi modernitas Barat. 1.
Tauhid: ini bukan hanya pengakuan akan keesaan Tuhan dan kesatuan dari dunia yang Dia ciptakan; tetapi juga secara konkret berbicara bahwa setiap individu dan setiap masyarakat mempunyai kewajiban untuk berserah diri kepada Tuhan melalui pengabdian kepada komunitas global dari umat manusia.
2.
Kebalikan dari individualisme: sebagai oposisi terhadap individualisme yang menjadikan individu sebagai pusat dan ukuran dari segala sesuatu, dan karenanya melahirkan sebuah rimba merkantilisme di mana setiap manusia adalah rival bagi yang lainnya, seseorang harus mengontraskannya DEMI KAUM TERTINDAS - 197
dengan sebuah komunitas universal yang sejati, di mana setiap anggotanya memiliki kesadaran untuk secara personal bertanggung jawab bagi nasib seluruh anggota lainnya. (QS. al-Baqarah: 213: ‘Manusia adalah komunitas yang satu’.) 3.
Tentang alam: alam tidak bisa dipandang sebagai sebuah kekayaan dan wadah yang statis, tetapi sebagai koleksi dari tanda-tanda (ayat), atau sebuah bahasa yang dengannya Tuhan berbicara kepada kita, menuntut pertanggungjawaban kita untuk menjaga dan menghargai alam serta membiarkannya untuk berkembang.
Dalam cara seperti ini, seseorang mungkin bisa menyimpulkan makna esensial dari pesan tersebut , yang di atasnya sebuah modernitas baru nan autentik dapat dibangun.
198 - DEMI KAUM TERTINDAS