BAB I
KATA DAN KALIMAT
1. Kata
Kata adalah satuan bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri dan
membentuk suatu makna bebas. Berdasarkan ciri dan karateristiknya, kata
dikelompokkan menjadi kata kerja, kata benda, kata sifat, kata bilangan,
kata keterangan, kata depan , kata ganti, kata sandang , kata sandang, kata
ulang, kata depan, kata sambung, dan kata seru.
1. Kata Kerja (Verba)
Kata kerja adalah kata yang menyatakan makna perbuatan, pekerjaan,
tidakan, proses, atau keadaan. Cirri-ciri kata kerja adalan sebagai
berikut.
a. Umumnya menempati fungsi predikat dalam kalimat.
Contoh :
Grup band Ungu membuat album baru.
S P O
Indira berbaju merah.
S P pel
b. Dapat didahului kata keterangan akan, sedang, dan sudah.
Contoh :
Yasmin sedangmenonton televisi.
S P O
Nino sudah makan tadi pagi.
S P ket
c. Dapat didahului kata ingkar tidak.
Contoh :
Indonesia tidak membuka hubungan diplomatic dengan Israel.
S P O
ket
d. Dapat dipakai dalam kalimat perintah, khusunya yang bermakna
perbuatan.
Contoh :
Kirimkan surat ini sekarag jua!
e. Tidak dapat didahului kata paling.
Contoh :
paling datang (?)
paling menulis (?)
Kata kerja dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam, yakni sebagai
berikut.
a. Ditinjau dari bentuknya, kata kerja dibedakan menjadi:
a) Kata kerja dasar bebas adalah kata kerja berupa morfem dasar bebas.
Contoh :
Makan, mandi, tidur, duduk, pulang, pergi.
b) Kata kerja turunan dalah kata kerja yang telah mengalami afikasi,
reduplikasi, atau pemajemukan.
Contoh :
Kehilangan, berpelukan, menari, tolong-menolong, makan-makan,
senyum-senyum, cuci mata, campur tangan, makan hati.
b. Ditinjau dari hubungan dengan unsur lain dalam kalimat, kata kerja
dibedakan menjadi.
a) Kata kerja transitif adalah kata kerja yang membutuhkan kehadiran
objek.
Berdasarkan jumlah objek yang mendampinginya, kata kerja
transitif terbagi menjadi:
Kata kerja eksransitif, adalah kata kerja yang diikuti oleh satu
objek.
Saya menulis surat
S P O
Contoh kata kerja ekstransitif adalah memwa, membuktikan,
mengerjakan, mengadili.
b) Kata kerja dwitransitif, adalah kata kerja yang mempunyai dua nomina,
satu sebagai objek dan satunya lagi sebagai pelengkap.
Contoh :
Ayah membeikan kakak motor baru
S P O pel
Contoh kata kerja dwitransitif adalah megusai, mengirimi,
mengambilkan, membawakan, menyebut, menuduh, memanggil.
c) Kata kerja semitransitif, adalah kata kerja yang objeknya boleh ada,
boleh juga tidak ada.
Contoh :
Paman sedang makan
S P
Paman sedang makan rujak
S P O
Contoh kata kerja semitransitif adalah makan, menulis, menonton,
menyimak, membaca.
d) Kata kerja intransitive adalah kata kerja yang tidak memiliki objek.
Jenis kata kerja intransitif dibagi menjadi 3 jenis berikut.
- Kata kerja intransitif tak berpelengkap. Kata kerja ini tidak
membutuhan pelengkap
Contoh kata kerja intrasitif tak berpelengkap adalah membaik,
pergi, membusuk, terkejut, membru, menghijau, timbul, dan
sebagainya.
- Kata kerja intransitive yang berpelengkap wajib, kehadiran pelengkap
pada kata kerja ini bersifat mutlak. Bila tidak ada pelengkap, kalimat
iti tidak berterima.
Contoh kata kerja intransitif yang berpelengkap wajib adalah
beratapkan, berdasarkan, berpendapat, kehilangan, kejatuhan,
dan sebagainya.
- Kata kerja intransitif berpelengkap manasuka. Ehadiran pelengkap pada
kerja jenis ini boleh ada, boleh juga tidak ada.
Contoh kata kerja intransitif berpelengkap manasuka adalah
beratap, berpakaian, berdinding, berpagar, ketahuan,
kecopetan, dan sebagainya.
c. Ditinjau dari hubungan kata kerja dengan kata benda dalam kalimat,
kata kerja dibedakan atas:
a) Kata kerja aktif, biasanya berawalan me-, ber-, atau tanpa awalan.
Contoh :
Menyanyi, menulis, mencintai, berdua, berkata, makan, pergi,
tidur.
b) Kata kerja pasif, biasanya di- atau ter.
Contoh:
Ditinju, dilamar, dimakan, ditembak, terlena, tertawa, tersiksa,
terbawa.
c) Kata kerja anti-aktif (ergatif) adalah kata kerja pasif yang tidak
dapat diubah menjadi kata kerja aktif. Subjek pada kata kerja ini
merupakan penanggap.
Contoh :
Tembus, terantuk, ecopetan, kena pukul, kena marah.
d) Kata kerja anti-pasif adalah kata kerja aktif yang tidak dapat diubah
menjadi kata kerja pasif.
Contoh:
Harus akan, benci terhadap, bertanam.
d. Ditinjau dari hubungan antara kata benda yang mendampinginya, kata
kerja dibedakan atas:
a) Kata kerja resiprokal adalah kata kerja yang menyatakan perbuatan yang
dilakukan oleh dua pihak secara berbalasan. Kedua belah pihak terlibat
perbuatan.
Contoh:
Berkelahi, bersentuhan, berpegangan, bermaaf-maafan, saling
member, dan sebagainya.
b) Kata kerja non resiprokal adalah kata kerja yang idak menyatakan
perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak dan tidak saling berbalasan.
Contoh:
Menulis, menari, menyanyi, memburu, dan sebagainya.
e. Ditinjau dari sudut refrensi argumennya, kata kerja dibedakan atas:
a) Kata kerja refleksi adalah kata kerja yang kedua refrennya sama.
Contoh:
Bercermin, bercukur, berdandan, berhias, berjemur, melarikan
diri, mengembangkan diri, dan sebagainya.
b) Kata kerja non refleksi adalah kata kerja yang kedua argumennya
mempunyai referen yang berlainan.
Contoh:
Mengantuk, menangis, berlari. (Waridah, 2009 : 264-269)
2. Kata Sifat (Adjektiva)
Kata sifat adalah yang menerangkan kata benda. Berikut ini cirri-ciri
kata sifat.
a. Dapat bergabung dengan partikel tidak, lebih, sangat, agak.
b. Dapat mendampingi kata benda
c. Dapat diulang dengan imbuhan se-nya
d. Dapat diawali imbuhan ter- yang bermaka paling.
Berdasarkan bentuknya, kata sifat dapat dibedakan atas
a. Kata sifat dasar
a) Kata sifat dasar yang dapat diikuti kata sangat dan lebih.
Contoh:
Adil, ajaib, ampuh, canggug.
b) Kata sifat dasar yang tidak dapat diikuti sangat dan lebih.
Contoh:
Buntu, genap, langsung, musnah, tentu.
b. Kata sifat turunan.
a) Kata sifat turunan berafiks.
Contoh:
Termiskin, tertegun, terkesan.
b) Kata sifat berduplikasi.
Contoh;
Cantik-cantik, marah-marah.
c) Kata sifat ke-R-an atau ke-an
Contoh:
Kemerah-merahan, kemalu-maluan, kegerahan.
d) Kata sifat berafiks –i (atau alomorfnya)
Contoh:
Alami, alamiah, duniawi, gerejani.
e) Kata sifat yang berasal dariberbagai kelas kata, melalui proses
berikut.
- Deverbalisasi
- Denominalisasi
- Deadverbialisasi
- Denumeralisasi
- Deinterjeksi
c. Kata sifat majemuk
a) Subordinatif
Contoh:
Besar mulut, besar huruf, buta warna, busuk hati, dan
sabagainya.
b) Koordinatif
Contoh:
Aman sentosa, besar kecil, gagah berani, lemah gemulai, letih
lesu.
(Waridah, 2009 : 269-271)
3. Kata Benda (Nomina)
Nomina atau kata benda adalah kata yang mengacu pada manusia, benda,
dan konsep atau pengertian. Dari segi sintaksisnya, nomina memiliki ciri-
ciri:
a. Dalam kalimat yang predikatnya berupa kata kerja (verba), nomina
cenderung menduduki fungsi subjek, objek, atau pelengkap.
Contoh: Ayah sedang mencari kunci inggris.
b. Nomina hanya dapat diingkarkan dengan kata bukan.
Contoh : Ayah saya bukan seorang guru
Berdasarkan bentuknya, kata dasar dikelompokkan menjadi beberapa jenis
berikut.
a. Kata benda dasar adalah kata benda yang hanya terdiri atas satu
morfem.
b. Kata benda urunan, terbagi atas:
a) Kata benda berimbuhan.
b) Kata benda bereduplikasi
c) Kata benda yang berasal dari berbagai kelas karena proses:
- Deverbalisasi
- Deadjektivalisasi
- Denumeralisasi
- Deadverbilisasi
d) Kata benda yang mengalami proses pemajemukan.
Berdasarkan wujudnya, kata benda dibedakan atas:
a. Kata benda konkret adalah kata benda yang dapat dilihat wujud
fisiknya.
Contoh:
Helena, ayah, dompet, botol, dan sebagainya.
b. Kata benda abstrak adalah kata benda yang tidak dapat dilihat wujud
fisikya.
Contoh:
Kebenaran, kemajuan, perbukuan, dan sebagainya.
(Waridah, 2009 : 271-273)
4. Kata Bilangan (Numeralia)
Kata bilangan adalah kata yang dipakai untuk menghitung banyaknya
benda (orang, binatang, atau barang) dan konsep. Kata bilangan dapat
dikelompokkan menjadi berikut:
a. Kata bilangan takrif, adalah kata bilangan yang menyatakan jumlah.
Kata bilangan takrif terbagi atas:
a) Kata bilangan utama (cardinal), terbagi atas:
- Kata bilangan penuh adalah kata utama yang menyatakan jumlah tertentu
dan dapat berdiri sendiri tanpa bantuan kata lain.
- Kata bilangan pecahan, yatu kata bilangan yang terdiri atas bilangan
dan penyebut yang dibubuhi partikel per-.
- Kata bilangan gugus (sekelompok bilangan)
b) Kata bilagan tingkat adalah kata bilangan takrif yang melambangkan
urutan dalam jumlah berstruktur ke+Num.
- Kata bilangan tak takrif adalah kata bilangan yang menyatakan jumlah
yang tak tentu. (Waridah, 2009 : 274-275)
5. Kata Ganti (Pronomina)
Kata ganti adalah kata yang berfungsi menggantikan orang, benda, atau
sesuatu yang dibedakan. Kata ganti dibedakan atas:
a. Kata ganti orang
a) Kata ganti orang pertama, terbagi atas:
- Kata ganti orang pertama tunggal
- Kata ganti orang pertama jamak
b) Kata ganti orang kedua, terbagi atas:
- Kata ganti orang kedua tunggal
- Kata ganti orang kedua jamak
c) Kata ganti orang ketiga, terbagi atas:
- Kata ganti orang ketiga tunggal
- Kata ganti orang ketiga jamak
b. Kata ganti penunjuk
a) Kata ganti penunjuk umum
b) Kata ganti penunjuk tempat
c) Kata ganti penunju ihwal
d) Kata ganti penanya
- Kata ganti penanya benda atau orang
- Kata ganti penanya waktu
- Kata ganti penanya tempat
- Kata ganti penanya keadaan
- Kata ganti penanya jumlah
c. Kata ganti yang tidak menunjuk pada orang atau benda tertentu.
(Waridah, 2009 : 275-276)
6. Kata Keterangan (Adverbia)
Kata keterangan adalah kata yang memberi keterangan pada kata lainnya.
Kata keterangan dapat dibedakan atas:
a. Kata keterangan bentuk dasar
b. Kata keterangan turunan, terbagi atas:
a) Kata keterangan berimbuhan
b) Kata keterangan berduplikasi
c) Kata keterangan gabungan
Berdasarkan perilaku semantisnya, kata keterangan dibedakan atas:
a. Kata keterangan kualitatif adalah kata yang menggambarkan makna yang
berhubungan dengan tingkat, derajat, atau mutu.
b. Kata keterangan kuantitatif adalah kata yang maknanya berhubungan
dengan jumlah.
c. Kata keterangan limitatif adalah kata keterangan yang maknanya
berhubungan dengan pembatasan.
d. Kata keterangan frekuentatif adalah kata yang maknannya berhungan
dengan tingkat kekerapan terjadinya sesuatu yang diterapkan kata
keterangan itu.
e. Kata keterangan waktu adalah kata keterangan yang maknanya berhubungan
denga waktu terjadinya peristiwa.
f. Kata keterangan cara adalah kata keterangan yang berhubungan dengan
cara suatu peristiwa berlangsung atau terjadi.
g. Kata keterangan konstrastif adalah kata keterangan yang menggambarkan
pertentangan dengan makna atau hal yang dinyatakan sebelumnya.
h. Kata keterangan keniscayaan adalah kata keterangan yang berhubungan
dengan kepastian terjadinya suatu peristiwa. (Waridah, 2009 : 277-
279)
7. Kata tunjuk (Demonstrativa)
Kata tunjuk adalah kata yang dipakai untuk menunjuk atau menandai
orang atau benda secara khusus. Kata tunjuk dapat dibedakan atas:
a. Kata tunjuk dasar
b. Kata tunjuk turunan
c. Kata tunjuk gabungan
8. Kata Tanya (Interogativa)
Kata Tanya adalah kata yang digunakan untuk menanyakan sesuatu.
Berdasarkan jenis dan pemakaiannya, kata Tanya dibagi atas:
a. Apa, digunakan untuk:
a) Menanyakan kata benda bukan manusia
b) Menanyakan sesuatu yang jawabannya mungkin berlawanan
c) Mengkukuhkan apa yang telah diketahui pembicara
d) Digunakan dalam kalimat retoris (tidak memerlukan jawaban)
b. Bila digunakan untuk menanyakan waktu.
c. –kah digunakan untuk:
a) Mengukuhkan bagian kalimat yang diikuti oleh –kah
b) Menanyakan pilihan di antara bagian-bagian kalimat didahului oleh –kah
c) Melengkapi kata tanya.
d. Kapan, digunakan untuk menanyakan waktu.
e. Mana, digunakan untuk:
a) Menanyakan benda, seseorang, atau suatu hal
b) Menanyakan pilihan.
f. Bagaimana, digunakan untuk:
a) Menanyakan cara pembuatan.
b) Menanyakan akibat suatu tindakan
c) Meminta kesempatan dari lawan bicara.
d) Menanyakan kualifikasi atau evaluasi atas gagasan.
g. Bilamana digunakan untuk menanyakan waktu.
h. Di mana, digunakan untuk menerangkan tempat
i. Mengapa, digunakan untuk menanyakan sebab, alasan, atau perbuatan.
j. Siapa, digunakan untuk menanyakan nama orang
k. Beberapa, digunakan untuk menanyaan bilangan yang mewakili jumlah,
ukuran, taaran, nilai, harga, satuan, waktu.
l. Bukan, bukankah, digunakan untuk mengukuhkan proposisi dalam
pertanyaan.
m. Masa, masakan, digunakan untuk menanyakan ketidakpercayaan dan
bersifat retoris.
(Waridah, 2009 : 279-281)
9. Kata Sandang (Artikula)
Kata sandang adalah kata yang dipakai untuk membatasi kata benda. Kata
sandang dapat dikelompokkan menjadi berikut.
a. Kata sandang yang mendampingi kata benda dasar.
b. Kata sandang yang mendampingi ata benda yang dibentuk dari kata dasar
(nomina deverbal)
c. Kata sandang yang mendampingi kata ganti.
d. Kata sandang yang mendampingi kata kerja pasif.
Berikut ini jenis kata sandang dan fungsinya.
a. Kata sandang khusus kata benda tunggal.
a) si, digunakan untuk:
- bergabung dengan kata benda tunggal
- menyatakan ejekan, keakraban.
b) Sang, digunakan untuk:
- Meninggikan harkat kata yang mendampinginya
- Menyatakan maksud mengejak atau menghormati
- Sri, diguakan khusus bagi orang yang sangat dihormati
c) Kata sandang khusus kelompok.
- Para, digunakan khusus untuk kelompok
- Kaum, digunakan khusus untuk kelompok yang berideollogi sama
- Umat, digunakan khusus untuk kelompok yag memiliki latar belakang
agama yang sama atau memiliki konotasi keagamaan. (Waridah, 2009 : 282-
283)
10. Kata Depan (Preposisi)
Kata depan adalah kata tugas yang berfungsi sebagai unsur pembentuk
frasa proposional. Kata depan berdasarkan bentuknya adalah sebagai berikut.
a. Kata depan beebentuk kata.
b. Kata depan berbentuk gabungan kata.
Berikut ini jenis kata depan berdasarkan fungsinya.
a. Menandai hubungan peruntukan.
b. Menandai hubungan tempat berada.
c. Menanadai hubungan perkecualian.
d. Menandai hubungan kesertaan.
e. Menandai hubungan asal, arah dari suatu tempat, atau milik.
f. Menandai hubungan ihwal atau peristiwa.
g. Menandai hubungan tempat atau waktu.
h. Menandai hubungan kesertaan atau cara.
i. Menandai hubungan arah menuju sautu tempat.
j. Menandai hunungan pelaku.
k. Menandai hubungan waktu.
l. Menandai hubungan pemiripan.
m. Menandai hubungan perbandingan.
n. Menandai hubungan penyebaban.
o. Menandai hubungan batas waktu.
p. Menandai hubungan lingkup geografis atau waktu. (Waridah, 2009 : 283-
284)
11. Kata Seru (Injeksi)
Kata seru adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati manusia.
Secara garis besar, kata seru mengacu pada sikap berikut.
a. Bernada positif.
b. Bernada negative.
c. Bernada keheranan.
d. Bernada netral atau campuran. (Waridah, 2009 : 285)
12. Kata Penghubung (Konjungsi)
Kata penghubung adalah kata tugas yang menghubungkan dua klausa,
kalimat, atau paragraph. Kata penghubung dibagi ke dalam lima kelompok.
a. Kata penghubung koordinatif adalah kata penghubung yang menggabungkan
dua klausa yang memiliki kedudukan setara. Kata penghubung
koordinaatif digunakan untuk menandai:
a) Hubungan penambahan.
b) Hubunganpemilihan.
c) Hubungan perlawanan.
b. Kata penghubung subordinatif adalah kata penghubung yang menggabungkan
dua klausa atau lebih yang memiliki hubungan bertingkat. Kata
penghubung subkordinatif terdiri atas:
a) Hubungan waktu.
b) Hubungan syarat.
c) Hubungan pengandaian.
d) Hubungan tujuan.
e) Hubungan konsesif.
f) Hubungan pemiripan.
g) Hubungan penyebaban.
h) Hubungan pengakibatan.
i) Hubungan penjelasan.
j) Hubungan cara.
c. Kata penghubung korelatif adalah kata penghubung yang menghubungkan
dua kata, frasa, atau klausa, dan hubungan kedua unsur itu memiliki
derajat yang sama.
d. Kata penghubung antarkalimat.
e. Kata penghubung antarparagraf, terbagi atas:
a) Kata penghubung yang menyatakan tambahan pada sesuatu yang telah
disebutkan sebelumnya.
b) Kata penghubung yang menyatakan pertentangan dengan sesuatu yang telah
disebutkan sebelumnya.
c) Kata penghubung yang menyatakan pertentangan dengan sesuatu yang telah
disebutkan sebelumnya.
d) Kata penghubung yang menyatakan perbandingan.
e) Kata penghubung yang menyatakan akibat atau hasil.
f) Kata penghubng yang menyatakan tujuan.
g) Kata penghubung yang menyatakan intensifiaksi.
h) Kata penghubung yang menyatakan waktu.
i) Kata penghubung yang menyatakan tempat. (Waridah, 2009 : 285-288)
13. Kata Ulang (Reduplikasi)
Kata ulang adalah kata yang mengalami proses pengulangan. Kata ulang
terbagi ke dalam empat jenis, yakni sebagai berikut.
a. Kata ulang dasar disebut pula perulangan utuh.
b. Kata ulang berimbuhan adalah bentuk perulangan yang disertai proses
pengimbuhan.
c. Kata ulang berubah bunyi adalah bentuk perulangan yang disertai dengan
perubahan bunyi.
d. Kata ulang sebagian adalah bentuk perulangan yang terjadi hanya pada
sebagian bentuk dasar.
e. Kata ulang semu adalah kata yang bentuknya menyerupai imbuhan, tetapi
bukan kata ulang.
Kata ulang memiliki beberapa makna berikut.
a. Banyak tidak tertentu.
b. Banyak dan bermacam-macam.
c. Menyerupai dan bermacam-macam.
d. Agak atau melemahkan sesuatu yang disebut pada kata dasar.
e. Intensitas kualitatif.
f. Intensitas kuantitatif.
g. Makna kolektif.
h. Kesalingan. (Waridah, 2009 : 288-289)
2. Kalimat I
1. Pengertian Kalimat
Kalimat adalah bagian ujaran yang didahului dan diikuti oleh
kesenyapan, sedangkan intonasinya menunjukkan bahwa bagian ujaran itu sudah
lengkap. Telah dikemukakan di atas bahwa kalimat dapat terbentuk dari kata,
frasa, klausa, atau gabungan dari semua unsure itu. Konteks atau situasi
yang dimasuki akan memperjelas makna sebuah amanat.
Dengan memperhatikan batasan frasa dan klausa seperti dikemukakan maka
batas tradisional kalimat sebagai kumpulan kata yang terkecil yang
mengandung pikiran atau pengertian yang lengkap tidak dapat diterima lagi
karena baik frasa maupun klausa juga mengandung pengertian. Lebih jauh,
tata bahasa tradisional menjelaskan bahwa kalimat itu harus mengandung ide
yang sempurna, yang ditandai oleh ada tidaknya subjek dan objek termasuk
dalam analisa klausa.
Sekurang-kurangnya dalam kenyataan bentuk-bentuk dibawah ini diterima
sebagai kalimat, dam dalam konteks yang dimasukinya mengandung pengertian
yang lengkap.
Mari!
Pergi!
Rumah ayah.
Sakit hati.
Semua yang dikemukakan diatas adalah kalimatyang dapat ditangkap
maknanya dengan sempura sesuai dengan konteks yang dimasukinya. Berarti,
sebuah kalimat dapat dibentuk dari: sebuah kata, sebuah frasa, sebuah
klausa, atau gabungan dari ketiga unsur itu. Lalu, apa yang membedakannya
dari kata, frasa dan kalusa? Perbedaannya adalah bahwa dalam kalimat ada
sebuah unsur penting yang masuk dalam tataran segmental tadi, yaitu unsur
intonasi mengubah konstruksi-konstruksi segmental menjadi hidup dalam
fungsi bahasa yang sebulat-bulatnya.
Seperti sudah dikemukakan dalam bab mangenai fonologi, intonasi
dibentuk dari sebuah rangkaian nada, diwarnai oleh tekanan dan durasi,
didahului dan diakhiri oleh perhentian. Untuk kalimat, perhentian itu
secara khusus disebut kesenyapan (silence). Kata kesenyapan di sini dipakai
dengan pengertian yang lebih luas dari perhentian. Akan tetapi, sebelum
suatu proses berlangsung kita jugaberada dalam keadaan diam; tetapi bukan
berhenti. Kesenyapan mencakup kesenyapan awal (sebelum proses berlangsung),
kesenyapan antara (= perhentian antara), dan kesenyapan akhir (= pehentian
akhir).
Pembatasan bidang tutur antara kesenyapan dengan kesenyapan penting
sekali karena secara formal kesenyapan merupakan batas-batas yang tegas
terhadap dalam suatu arus ujaran. Ujaran yang diamanatkan direalisasikan
sebagai suatu continuum, sebagai suatu arus yang terus-menerus mengalir,
dengan diselang-selingi oleh kesenyapan-kesenyapan. Seandainya tidak ada
kesenyapan-kesenyapan itu maka sangatlah sulit untuk memahami dan
menganalisa sebuah amanat.
Klausa seperti adik makan nasi dapat diubah menjadi macam-macam
kalimat bergantung dari intonasinya:
Adik makan nasi berita biasa
Adik makan nasi? Kalimat tanya
Adik, makan nasi! Kalimat perintah
Adik makan nasi. Kalimat pementing (emphasis) dengan menempatkan
makanan keras entah pada adik , makan, nasi.
Jadi, subjek, predikat dan fungsi-fungsi lain seperti objek,
pelengkap, dan keteranga-keterangan bukan menjadi ukuran sebuah
kalimat,tetapi ukuran sebuah klausa. Sebaliknya, ukuran atau cirri utama
sebuah kalimat adalah intonasi. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas aka
kalimat dibatasi sebagai berikut.
Karena itu, amanat atau kalimat seseorang dengan sendirinya mencakup
beberapa segi berikut.
a. Bentuk ekspresi (= unsur-unsur segmental) terdiri atas kata, frasa,
klausa, atau gabungannya.
b. Intonasi (= unsur suprasesegmentalnya) meliputi bidang suprasemental
bahasa atau disebut cirri ciri prosodi.
c. Situasi yang dimasukinya, yaitu suasana yang menimbulkan tutur itu
timbul, atau merangsang (stimulus) terjadinya proses ujaran itu.
Situasi akan menentukan pilihan kata, intonasi mana yang dapat
dipakai.
d. Makna atau arti yang didukungnya. (Keraf, 1991 : 184-185)
2. Macam-Macam Kalimat
Kalimat dapat dibedakan berdasarkan bermacam-macam hal berikut.
a. Berdasarkan jumlah inti yang membentuk sebuah kalimat, dapat
dibedakan :
a) Kalimat minor
b) Kalimat mayor
b. Berdasarkan kontur yang ada pada sebuah kalimat, dapat dibedakan:
a) Kalimat minim
b) Kalimat panjang
c. Berdasarkan pola-pola dasar yang dimiliki sebuah kalimat, dapat
dibedakan:
a) Kalimat inti
b) Kalimat luas
c) Kalimat transformal
d. Berdasarkan ragam (diatesis)kalimat, dapat dibedakan:
a) Kalimat aktif
b) Kalimat pasif
e. Berdasarkan urutan katanya, kalimat dapat dibedakan:
a) Kalimat normal
b) Kalimat inverse
f. Berdasarkan jumlah pola dan hubungan antarpola dalam sebuah kalimat,
dapat dibedakan:
a) Kalimat tunggal
b) Kalimat majemuk:
- Majemuk setara
- Majemuk bertingkat
- Mejemuk campuran (kompleks)
g. Berdasarkan tujuan atau sasaran yang akan dicapai, kita dapat
membedakan kalimat atas:
a) Kalimat berita
b) Kalimat Tanya
c) Kalimat perintah
d) Kalimat harapan
e) Kalimat pengandaian
Beberapa macam kalimat akan diuraikan lebih lanjut, sementara
beberapa jenis kalimat lainnya akan diuraikan secara singkat karena dapat
dibatasi dan dipahami secara mudah. (Keraf, 1991 : 186)
1.2.3 Kalimat Minor versus Kalimat Mayor
Sudah ditegaskan bahwa sebuah kalimat tidak hanya terdiri atas
konstruksi yang mengandung subjek dan perdikat, tetapi juga meliputi kata
dan frasa. Dengan demikian, setiap kalimat akan memiliki unsur inti atau
unsure pusat yang membentuk konstruksi itu. Ada kalimat yang hanya terdiri
atas satu unsure inti, dan juga yang terdiri atas dua unsure inti atau
lebih. Dengan demikian, kita dapat membagi kalimat sebagai berikut.
a. Kalimat Minor, yaitu kalimat yang hanya mengandung satu unsur inti
atau unsure pusat, seperti:
a) Diam!
b) Pergi!
c) Amat mahal!
d) Yang baru!!
e) Sudah siap!
Kata-kata diam, pergi, mahal, baru, datang, siap merupakan inti dari
kaimat-kalimat itu.karena hanya terdapat satu inti kalimat, maka kalimat
itu disebut kalimat minor.
b. Kalimat Mayor, kalimat yang sekurang-kurangnya mengandung dua unsur
inti, misalnya:
a) Ia mengambil buku itu.
b) Dia ada didalam.
c) Kami pergi ke Bandung.
d) Adik sedang membaca buku itu ketika ayah pulang dari kantor.
e) Ibu segera berangkat kerumah sakit menengok Paman, tetapi Ayah
menunggu kami di rumah, karena kami masih berada di sekolah.
Kalimat-kalimat di atas mengandung dua inti kalimat atau lebih: ia
mengambil; dia ada; kami pergi; adik membaca; ibu berangkat-ayah
menunggu.karena terdapat dua kalimat inti atau lebih maka kalimat-
kalimat itu disebut kalimat mayor. (Keraf, 1991 : 186-187)
4. Kalimat Minim versus Kalimat panjang
Kalimat minim dan kalimat panjang didasarkan pada jumlah kontur yang
mungkin diturunkan dari sebuah kalimat. Yang dimaksud dengan kontur adalah
suatu bagian dari arus ujaran yang diapit oleh dua kesenyapan.
Untuk menjelaskan pengertian kontur, perhatikanlah kalimat-kalimat
berikut seperti sudah dikemukakan di atas:
a. Diam!
b. Pergi!
c. Amat mahal!
d. Yang baru!
e. Yang akan datang!
f. Sudah siap!
g. Ia mengambil buku itu.
h. Dia ada di dalam.
i. Kami pergi ke Bandung.
j. Adik sedang membaca buku itu ketika ayah pulang dari kantor.
k. Ibu segera berangkat kerumah sakit menengok Paman, tetapi ayah
menunggu kami di rumah, karena kami masih berada di sekolah.
Berbeda dengan pembagian pada c, dari segi kontur, kalimat a, b, c,
d, e tidak dapat dipecahkan atas dua kontur atau lebih karena kata amat,
yang, akan tidak dapat muncul sendirian dalam sebuah kalimat. Kata-kata itu
harus bergabung terlebih dahulu dengan kata lain, baru dapat muncul dalam
kalimat. Sebaliknya kalimat f dapat dipecahkan dalam dua kontur karena baik
kata sudah maupun siap masing-masing dapat muncul sendiri dalam kalimat.
Sedangkan dalam pembagian kalimat berdasarkan inti kalimat, kalimat (6) ini
dimasukkan dalam satu kelompok dengan kalimat (1) sampai (5) karena hanya
mengandung satu inti.
Kalimat (7),(8), (9), dan seterusnya dapat dipecahkan atas dua kontur
atau lebih karena semua atau hampir semua kata dalam kalimat-kalimat itu
dapat muncul sebagai kalimat. Kalimat (7) dapat di pecah atas 4 kontur,
kalimat (8) dan (9) masing-masing dapat dipecah atas 3 kontur, kalimat (10)
dapat di pecah atas 14 kontur. Dengan demikian, kalimat (6) sampai dengan
(11) disebut kalimat panjang karena dapat dipecah atas dua kontur atau
lebih.
Kalimat-kalimat yang diucapkan secara wajar (jadi, bukan dilihat dari
peluang untuk dipecahkan atas kontur-kontur karena adanya perhentian-
perhentian yang terdapat di tengah-tengah sebuah kaliamat. Berdasarkan
adanya perhentian-perhentian yang wajar dalam sebuah kalimat maka dapat
dibedakan beberapa macam kontur.
a. Kontur yang diapit oleh kesenyapan final seperti pada kalimat (1)
sampai (9).
b. Kontur yang diapit oleh kesenyapan awal dan kesenyapan nonfinal,
seperti pada bagian pertama kalimat (10) dan (11).
c. Kontur yang diapit oleh kesenyapan nonfinal dan kesenyapan final,
seperti pada bagian akhir kalimat (10) dan (11).
d. Kontur yang diapit oleh kesenyapan nonfinal dan kesenyapan nonfinal,
seperti terlihat pada bagian tengah kalimat (11). (Keraf, 1991 : 187-
188)
5. Kalimat Inti, Kalimat Luas, dan Kalimat Transformasi
a. Batasan pengertian
Dari sudut inti kalimat kita sudah membagii kalimat atas kalimat
minor dan kalimat mayor. Kalimat mayor dibatasi sebagai kalimat yang
terdiri dari dua inti atau lebih, berarti ia mencakup juga kalimat
majemuk dan kalimat tunggal yang terdiri atas tiga kata atau lebih.
Karena kalimat mayor ini bermacam-macam strukturnya maka perlu
diadakan analisa lebih lanjut.
Jenis kalimat mayor yang hanya terdiri atas dua kata dan
sekaligus menjadi inti kalimat itu disebut kalimat inti. Kalimat
inti di satu pihak depertentangkan dengan kalimat luas, tetapi di
pihak lain dipertentangkan dengan kalimat transformasi. Kalimat inti
adalah sebuah kalimat mayor, tetapi memiliki cirri-ciri berikut:
a) Kalimat inti hanya terdiri atas dua kata;
b) Kedua kata itu sekaligus menjadi inti kalimat;
c) Tata urutnya adalah subjek mendahului predikat; dan
d) Intonasinya adalah itonasi berita yang netral, artinya intonasinya
tidak boleh menyebabkan perubahan atau pergeseran makna leksikalnya.
Kalimat luas adalah kalimat inti yang sudah diperluas dengan
kata-kata baru, sehingga tidak hanya terdiri atas dua kata, tetapi
lebih. Sebaliknya, kalimat trasnformasi adalah kalimat inti yang
sudah mengalami perubahan atas keempat syarat diatas, yang berarti
mencakup juga kalimat luas. Namun, kalimat transformasi belum tentu
kalimat luas. Kalimat transformasi dapat dilakukan dengan menambah
jumlah kata yang membentuk kalimat itu (= kalimat luas), atau dapat
juga dilakukan dengan memperbanyak unsur inti. Kalimat transformasi
dapat juga dilakukan dengan mengubah tata urut dan intonasinya.
Misalnya, dari kalimat inti: Adik manangis. Dapat diperoleh kalimat-
kalimat transformasi di bawah ini.
a) Dengan penambahan jumlah kata; tanpa menambah jumlah inti, sekaligus
juga adalah kalimat luas:
Adik menangis tersedu-sedu kemarin pagi.
b) Dengan penambahan jumlah inti, sekaligus juga adalah kalimat luas:
Adik menangis dan merengek kepada ayah untuk dibelikan mobil.
c) Dengan perubahan tata urut kata:
Menangis adik.
d) Dengan perubahan intonasi:
Adik menangis.
Adik menangis ?
Jadi, seperti tampak dari contoh-contoh tersebut, sebuah
kalimat transformasi adalah kalimat yang sudah mengubah salah satu
atau semua prasyarat tersebut diatas, sebaliknya kalimat luas adalah
kalimat transformasi yang mengubah syarat jumlah kata dan/atau
jumlah inti kalimat.
b. Pola-Pola Kalimat
Berdasarkan jumlah inti sebuah kalimat, dapat ditentukan pula
pola-pola dasar sebuah kalimat. Sebuah kalimat luas selalu dapat
dipulangkan kepada pola-pola dasar yang dianggap menjadi dasar
pembentukan kalimat luas itu. Pertama-tama, dasar pembentukan
kalimat luas adalah kalimat inti. Akan tetapi, kita juga masih
memperhitungkan bahwa sebuah kalimat minor.
Pola-pola dasar sebuah kalimat bukan mempersoalkan masalah inti
kalimat, tetapi kelas kata mana yang membentuk kalimat inti itu.
Sudah dijelaskan bahwa berdasarkan hakikat kelas kata, kata bisa
dibagi atas empat kelas kata, yaitu: kata benda, kerja, kata sifat,
dan kata tugas. Sedangkan kata tugas fungsinya pertama-tama untuk
memperluas sebuah kalimat. Karena itu, pola dasar sebuah kalimat
terdiri atas ketiga kelas kata penuh, yaitu:
Pola Kalimat I : Kata Kerja- Kata Kerja
Adik menangis.
Anjing dipukul.
Pola Kalimat II : Kata Benda- Kata Sifat
Anak malas.
Gunung tinggi.
Pola Kalimat III : Kata Benda- Kata Benda
Bapak pengarang.
Paman puru
Kalimat pola I disebut juga kalimat verbal, kalimat pola II
disebut kalimat atribut, kalimat pola III disebut kalimat nominal
atau disebut juga kalimat ekuasional. Sebenarnya kalimat ekuasional
mencakup juga kalimat yang mengandung kata kerja bantu seperti
adalah, menjadi, merupakan.
Di samping pola utama di atas, dalam bahasa Indonesia terdapat
juga pola tambahan yang terdiri atas kata benda dan adverbial
(konstruksi partikel direktif).
Pola Kalimat IV : ibu ke pasar.
Kalimat Ola IV disebut kalimat adverbial. (Keraf, 1991 : 189-190)
6. Kalimat Aktif dan Pasif
Kalimat verbal lebih jauh dapat dibedakan atas kalimat verbal
intransitif, yaitu kalimat yang predikatnya adalah kata kerja intransitive
yang tidak menghendaki objek, dan kalimat verbal transitif, yaitu kalimat
yang predikatnya adalah kata kerja transitif yang menghendaki objek.
a. Contoh kalimat intransitif:
Saya bangun pukul tujuh.
Ia datang kemarin pagi.
Para wisatawan telah pulang ke negerinya masing-masing.
b. Contoh kalimat transitif:
Kami membaca buku itu hingga tamat.
Anak-anak menghabiskan nasi kuning itu.
Ayah membeli sebuah baju untuk adik.
Pemilik restoran menyuguh kami makanan yang lezat.
Kalimat transitif selanjutnya dapat dibedakan lagi atas kalimat aktif
dan kalimat pasif berdasarkan relasi antara subjek dan predikatnya.
a) Kalimat aktif
Sebuah kalimat disebut kalimat aktif kalau subjek kalimat
menjadi agens (pelaku) dari perbuatan yang menjadi predikat
kalimat. Misalnya:
Saya sudah membaca buku itu setahun yang lalu.
Pemuda itu menjalankan mobil itu dengan cepat.
Ayah membelikan adik sebuah baju.
Pimpinan menyerahkan pekerjaan yang berat pada kami.
Pimpinan menyerahi kami pekerjaan yang berat.
b) Kalimat Pasif
Sebuah kalimat disebut kalimat pasif kalau sub jek kalimat
menjadi patiens (penderita) akibat perbuatan yang menjadi predikat
kalimat. Semua kalimat aktif seperti dikemukakan di atas dapat di
ubah menjadi kalimat pasif sebagai berikut:
Buku itu telah saya baca setahun yang lalu.
Mobil itu dijalankan oleh pemuda itu dengan cepat.
Sebuah baju dibelikan ayah untuk adik.
Pekerjaan yang berat diserahkan oleh pimpinan kepada kami.
Kami diserahi pekerjaan yang berat oleh pimpinan.
(Keraf, 1991 : 191)
3. Kalimat II
1.3.1 Kelengkapan Unsur Sebuah Kalimat
Suatu kalimat yang baik memang harus mendukung unsur-unsur yang
lengkap. Dalam hal ini, kelengkapan unsur kalimat itu sekurang-kurangnya
harus memiliki dua hal, yaitu subjek dan predikat. Jika predikat kalimat
itu berupa kata kerja transitif, unsur kalimat yang di sebut objek juga
harus hadir. Unsur lain yakni keterangan, kehadirannya bersifat sekunder
atau tidak terlalu di pentingkan. Perhatikan contoh berikut .
a. Pembangunan itu untuk menyejahterakan masyarakat
Subjek Keterangan
b. Bagi para siswa yang akan mengikuti ujian
Keterangan
harus melunasi uang SPP lebih dahulu
Predikat Objek
Secara sekilas, kedua kalimat itu tidak menyiratkan adanya kekurangan.
Namun, jika di perhatikan secara cermat, tampaklah bahwa dalam kalimat (1)
tidak terdapat unsur predikat, sedangkan pada kalimat (2) tidak terdapat
unsur subjek. Kelompok kata pembangunan itu pada kalimat (1) merupakan
subjek, dan sisanya merupakan keterangan, sedangkan pada kalimat (2)
kelompok kata bagi para siswa yang akan mengikuti ujian merupakan
keterangan dan bagian lainnya berupa predikat dan objek. Berrdasarkan unsur-
unsurnya, kalimat (1) berpola S-Ket., sedangkan kalimat (2) tidak adanya
unsur subjek. Agar kalimat di atas menjadi lengkap, kalimat (1) dapat kita
tambah dengan unsur predikat, misalnya bertujuan, sehingga kalimat (1) itu
menjadi Pembangunan itu bertujuan (untuk) menyejahterakan masyarakat. Pada
kalimat (2), unsur keterangan, yaitu bagi para siswa yang akan mengikuti
ujian, sebenarnya dapat di ubah menjadi subjek dengan cara menghilangkan
kata bagi. Degan cara itu, kalimat (2) di atas dapat di perbaiki menjadi
Para siswa yang akan mengikuti ujian harus melunasi uang SPP lebih dahulu.
Berdasarkan perbaikan di atas, kalimat perbaikan (1) dan (2) dibagi
atas unsur-unsurnya sebagai berikut.
a. Pembangunan itu menyejahterakan masyarakat
Subjek Predikat Objek
b. Pembangunan itu bertujuan (untuk) menyejahterakan masyarakat
Subjek Predikat Pelengkap
c. Para siswa yang akan mengikuti ujian
Subjek
harus melunasi uang SPP lebih dahulu
Predikat Objek
Dengan demikian pola kalimat perbaikan (1a) adalah S-P-O. ; (1b)
adalah S-P-Pel., sedangkan pola kalimat perbaikan (2) adalah S-P-O.
(Sugono, 2005 : 85)
1.3.2 Kalimat Rancu
Kata rancu dalam bahasa Indonesia berarati "kacau". Sejalan dengan
itu, kalimat yang rancu berarti kalimat yang kacau atau kalimat yang
susunanya tidak teratur sehingga informasinya sulit di pahami. Jika di
lihat dari segi penataan gagasan, kerancuan kalimat dapat terjadi karena
dua gagasan di gabungkan dalam satu pengungkapan. Semantara itu, jika di
lihat dari segi strukturnya, kerancuan itu timbul karena penggabungan dua
struktur kalimat ke dalam satu struktur. Sebagai contoh, perhatikan kalimat
berikut .
a. Menurut para pakar sejarah mengatakan bahwa Candi Borobudur dibangun
pada masa Kerajaan Syailendra.
Kalimat itu termasuk kalimat yang rancu karena susunannya
terdiri atas dua struktur kalimat. Struktur yang pertama di mulai
dengan kata menurut, sedangkan yang kedua dimulai dengan subjek
'pelaku' (para pakar sejarah) yang di ikuti predikat mengatakan.
Karena berasal dari dua struktur, kalimat rancu itu dapat dikembalikan
pada struktur semula, yaitu a) dan b) beikut .
a) Menurut pakar sejarah, Candi Borobudur dibangun pada masa Kerajaan
Syailendra.
b) Pakar sejarah mengatakan bahwa Candi Borobudur dibangun pada masa
Kerajaan Syailendra.
Kalimat (1) di atas strukturnya tidak sesuai dengan kaidah bahsa
Indonesia. Oleh karena itu, kalimat (1) tersebut harus diperbaiki agar
strukturnya menjadi benar. Perbaikannya dapat di lakukan seperti
kalimat a) dan b) di atas.
Sehubungan dengan hal itu, satu hal yang perlu kita perhatikan
adalah bahwa kerancuan seperti itu dapat terjadi jika kalimat yang
kita susun diawali dengan kata menurut dan kemudian diikuti oleh
ungkapan sejenis mengatakan bahwa, menyebutkan bahwa, atau menyatakan
bahwa. Oleh sebab itu, agar kalimat yang kita susun tidak menjadi
rancu, ungkapan sejenis mengatakan bahwa, menyebutkan bahwa, atau
menyatakan bahwa tidak perlu digunakan jika kalimat yang kita susun di
mulai dengan kata menurut. Sebaliknya, jika kita akan menggunakan
ungkapan sejenis mengatakan bahwa, kata menurut tidak perlu digunakan
di awal kalimat.
Kerancuan kalimat yang lain dapat pula timbul karena penggunaan
kata penghubung meskipun atau walaupun pada awal kalimat yang kemudian
diikuti oleh kata penghubung tetapi, seperti yang tampak pada contoh
berikut.
b. Meskipun perusahaan itu belum terkenal, tetapi produksinya banyak di
butuhkan orang.
Kerancuan kalimat itu juga disebabkan oleh penggabungan dua
kalimat menjadi satu. Kalimat pertama, yang menggunakan kata
penghubung meskipun, berupa kalimat majemuk bertingkat, sedangkan
kalimat kedua, yang menggunakan kalimat penghubung tetapi, berupa anak
kalimat dalam kalimat majemuk setara. Dengan demikian, dapat di
katakan bahwa kerancuan kalimat (2) itu disebabkan oleh penggabungan
kalimat majemuk bertingkat dan kalimat majemuk setara ke dalam satu
kalimat. Karena berasal dari dua kalimat yang digabungkan menjadi
satu, perbaikan kalimat itu pun dapat di lakukan dengan mengembalikan
kalimat itu ke dalam struktur kalimat asalnya, seperti yang tampak
pada a) dan b) berikut.
a) Meskipun perusahaan itu belum terkenal, produksinya banyak dibutuhkan
orang.
b) Perusahaan itu belum terkenal, tetapi produksinya banyak dibutuhkan
orang.
Dari perbaikan kalimat tersebut dapat diketahui bahwa kerancuan
yang disebabkan oleh penggunaan kata penghubung meskipun atau
walaupun yang diikuti oleh kata penghubung tetapi, perbaikannya pun
dapat dilakukan dengan menghilangkan salah satu dari dua kata
penghubung tersebut. Dalam hal ini, jika kata meskipun/ walaupun sudah
digunakan, kata tetapi tidak perlu digunakan. Sebaliknya, jika kata
tetapi yang digunakan, kata penghubung meskipun/ walaupun tidak perlu
digunakan.
Kerancuan kalimat seperti yang terdapat pada contoh di atas
sebenarnya tidak perlu terjadi jika penyusun kalimat dapat
mengungkapkan gagasannya secar cermat dan teratur. Dengan menata
gagasan secara cermat dan teratur, kalimat yang tersusun akan
terhindar dari keracuan seperti itu.
c. "Di Sini Melayani Obat Generik "
Kalimat Di sini melayani obat generik yang tertulis pada rentang
(spanduk) dipakai untuk menyatakan bahwa di tempat itu di jual obat
generik. Akan tetapi, dalam kalimat itu terdapat dua kesalahan, yakni
(1) kesalahan pemakaian kata di sini dan (2) pemakain kata melayani.
Kelompok kata di sini dalam kalimat itu berfungsi sebagai
keterangan. Unsur-unsur kalimat tulis harus dinyatakan secara lengkap.
Setidak-tidaknya kalimat ragam tulis itu harus terdiri atas subjek dan
predikat.
Padahal, pada kalimat itu tidak terdapat subjek kalimat. Jika di
tambahkan unsur subjek kalimatnya menjadi " Di sini kami melayani obat
generik ", tetapi maknanya terasa tidak masuk akal karena predikatnya
dilesapkan. Oleh karena itu, kalimat itu masih perlu disempurnakan
menjadi sebagai berikut.
"Di sini kami melayani pembelian obat generik " atau "Disini
kami menjual obat generik ". (Sugono, 2005 :86-89)
1.3.6 Ungkapan/ Kata Penghubung Intrakalimat
Ungkapan atau kata penghubung intra kalimat dalah ungkapan/kata dalam
sebuah kalimat yang berfungsi menghubungkan unsur-unsur kalimat.
Ungkapan/kata penghubung intra kalimat itu tidak pernah di gunakan pada
awal sebuah kalimat, kecuali jika kata itu digunakan pada anak kalimat yang
mendahului induk kalimat, seperti karena. Oleh karena itu, kata-kata yang
tergolong ke dalam ungkapan/kata penghubung itu tidak pernah/tidak boleh di
tulis dengan huruf kapital. Contoh kata penghubung itu adalah
...dan... ...agar...
...yang... ...sehingga...
...bahwa... ...karena...
Selain, dalam bahasa Indonesia terdapat ungkapan/kata penghubung intra
kalimat yang penulisannya selalu didahului oleh tanda koma, seperti ...,
sedangkan..... ...,tetapi....
Contoh :
a. Ia dan adiknya pergi ke Surabaya.
b. Ia tidak masuk sekolah karena sakit.
c. Karena sakit, ia tidak masuk sekolah.
d. Ia sangat rajin belajar sehingga tidak pernah menemui kesulitan di
sekolah.
e. Ia selalu berusaha keras agar cita-citanya dapat tercapai.
f. Anak itu pandai, tetapi sayang teman bergaulnya terbatas.
g. Bagaimana aku dapat menolongmu, sedangkan aku sendiri kekurangan.
(Sugono, 2005 : 93-94)
1.3.7 Ungkapan/Kata Penghubung Antar Kalimat
Ungkapan penghubung antar kalimat berfungsi menghubungkan sebuah
kalimat dengan kalimat lain. Oleh karena itu, kata/ungkapan penghubung
jenis itu harus di tulis dengan huruf awal kapital dan diiringi tanda koma.
Posisinya dalam kalimat selalu berada di awal kalimat yang akan di
hubungkan dengan kalimat sebelumnya. Kata/ungkapan penghubung yang
tergolong jenis ini antar lain, sebagai berikut :
.... Akan tetapi, ....
....Berkaitan dengan hal itu, ....
....Meskipun demikian, ....
....Oleh karena itu, ....
....Sebaliknya, ....
....Sehubungan dengan itu, ....
....Sehubungan dengan hal itu, ....
....Sesuai dengan itu, ....
....Sesuai dengan uraian tersebut, ....
....Walaupun demikian, .... (Sugono, 2005 : 94)
4. Kalimat III
1.4.1 Pengertian Kalimat Tunggal
Berdasarkan inti kalimat, kalimat tunggal dan kalimat majemuk termasuk
dalam kalimat mayor, yaitu kalimat yang mengandung dua inti atau lebih.
Hanya, kriteria ini tidak dipakai untuk membedakan kalimat tunggal dan
majemuk karena kalimat majemuk bertingkat hanya memiliki dua inti. Kalimat
tunggal dapat berupa kalimat inti dan dapat juga berupa kalimat luas, atau
kalimat transformasi yang mengandung satu pola kalimat, sebaliknya kalimat
majemuk selalu berujud kalimat luas dan kalimat transformasi, tetapi
mengandung dua pola atau lebih. Sebab itu, krtiteria yang dapat digunakan
untuk membedakan kalimat tunggal dan kalimat majemuk adalah pola kalimat,
dengan unsur subjek dan predikat, tanpa mempersoalkan inti kalimat.
Bila sebuha kalimat hanya mengandung sebuha pola kalimat, apakah ia
merupakan kalimat inti atau kalimat luas, tetapi peruluasannya itu tidak
lagi membentuk pola kalimat yang baru maka kalimat semacam itu disebut
kalimat tunggal. Atau, dengan perumusan yang lain, kalimat tunggal adalah
kalimat yang hanya terdiri atas dua unsur inti dan boleh diperluas dengan
satu atau lebih unsur – unsur tambahan, asal unsur – unsur tambahn itu
tidak membentuk pola yang baru.
Dengan demikian, semmua kalimat inti termasuk dalam pengertian
kalimat tunggal, sementara itu ada juga kalimat luas atau kalimat
transformasi termasuk kalimat tunggal. Misalnya:
a. Adik menangis adalah kalimat mayor, kalimat inti, kalimat tunggal,
tapi bukan kalimat luas.
b. Menangis adik adalah kalimat mayor, bukan kalimat inti, kalimat
tunggal, dan bukan kalimat luas.
c. Kemarin saya belajar di rumah adalah kalimat mayor, bukan kalimat
inti, kalimat tunggal, dan kalimat luas. (Keraf, 1991 : 194)
1.4.2 Unsur – Unsur Kalimat Tunggal
Sebagai tindak lanjut dari unsur – unsur pembentuk kalimat inti yang
telah diuraikan perlu dibicarakan secara singkat mengenai unsur – unsur
pembentuk sebuah kalimat tunggal (yang juga menjadi dasar kalimat majemuk).
Mengenai uraian kalimat akan dibicarakan dalam bab ini.
Unsur – unsur inti kalimat sekaligus adalah unsur yangv membentuk
gagasan urama tiap kalimat. Relasi antara unsur gagasan utama itu secara
umum disebut sebagai subjek dan predikat kalimat. Namun, karena relasi
antara subjek dan predikat itu bermacam – macam maka perlu diberikan nama
yang lebih tepat. Di pihak lain, dapat terjadi bahwa subjek dan predikat
terdiri atas satu kata atau kumpulan kata. Kata atau kumpulan kata yang
mendukung fungsi subjek atau predikat disebut gatra.
Dengan demikian, sesuai denganb relasi antara subjek dan predikat
kalimat, kita membedakan gatra subjek dan gatra predikat atas:
a. Gatra pelaku dan gatra perbuatan untuk relasi dalam pola kalimat
verbal karena subjek melakukan suatu tindakan seperti yang disebut
dalam predikatnya;
b. Gatra diterangkan dan gatra menerangkan untuk relasi dalam pola
kalimat atributif karena subjek mreupakan sesuatu yang diterangkan
oleh predikat, yang bertindak sebagai penjelas;
c. Gatra digolongkan dan gatra penggolong untuk relasi dalam pola kalimat
nominal karena subjek merupakan sesuatu yang digolongkan oleh
predikatnya.
Disamping gatra – gatra utama ada juga gatra tambahan, baik yang tepat
maupun yang renggang, seperti: gatra pelaku, gatra pelengkap, gatra
pelengkap berkepentingan (benefaktif), gatra waktu, gatra sebab, gatra
tujuan, gatra tempat, dan gatra alat. (Keraf, 1991 : 194-195)
1.4.3 Transformasi Kalimat
Pada waktu berbicara kita dapat menghadapi ssuatu hal atau sejumlah
hal yanhg ingin dikomunikasikan kepada pihak lain. Bila tiap hal akan
disajikan secara terpisah satu dari yang lain maka kalimat kita akan
bersifat analitis, sebaliknya bila kuta mereangkaikan semua hal itu dalam
sebuah kalimat maka kalimat kita akan bersifat sintetis. Kalimat anak –
anak kecil biasanya bersifat analitis, sebaliknya kalimat – kalimat orang
dewasa cenderung bersifat sintetis. Dalam memilih cara yang kedua, kita
harus menggunakan suatu teknik atau metode yang disebut transformasi.
(Keraf, 1991 : 195-196)
1.4.4 Kalimat Majemuk
Di pihak lain, bila sebuah kalimat inti diperluas sedemikian rupa
hingga unsur - unsur perluasan itu membentuk satu pola baru atau lebih,
maka kalimat itu disebut kalimat majemuk. Jadi, dalam kal;imat majemuk
akan dijumpai paling kurang dua pola kalimat dan tiap – tiap pola boleh
diperluas lagi dengan satu atau lebih unsur – unsur tambahan. Misalnya:
a. Ali menyelesaikan tugasnya sesudah ia pulang dari berjalan-jalan.
b. Adik bermain di halaman, tetapi kakak melarangnya.
c. Kita patut bersyukur kepada Tuhan bahwa semua ketidakadilan akan
hancur.
Ketiga kalimat di atas berturut – turut mengandung dua pola sebagai
berikut:
a. Ali menyelesaikan, ia pulang.
b. Adik bermain, kakak melarang.
c. Kita bersyukur, ketidakadilan hancur.
Jadi, kalimat – kalimat di atas adalah kalimat majemuk karena terdiri
atas dua pola. Dengan demikian tunggal dan majemuknya suatu kalimat
haruslah dilihat dari banyaknya pola kalimat yang ada pada sebuah kalimat.
Kalau hanya ada satu pola kalimat maka itu adalah kalimat tunggal; kalau
kalimat itu mengandung dua pola kalimat atau lebih maka kalimat itu disebut
kalimat majemuk. Kalimat majemuk dibatasi sebagai kalimat yang mengandung
dua pola kalimat atau lebih.
Batasan ini diturunkan dari hasil tinjauan secara statis atau secara
deskriptif, yaitu melihat apa yang dihadapi sekarang atau apa yang sudah
jadi. Akan tetapi, kalimat majemuk dapat juga dilihat dari segi yang lebih
dinamis, yaitu dari sejarah terbentuknya kalimat tersebut. Kemungkinan yang
pertama adalah kita menggabungkan dua pola kalimat (atau lebih) yang sudah
ada menjadi satu kalimat baru. Kemungkinan yang kedua adalah kita
memperluas sebuah kalimat tunggal dengan teknik transformasi sehingga
terbentuklah sebuah kalimat baru yang mengandung dua pola atau lebih.
Dengan demikian, kita dapat membatasi kembali sebuah kalimat majemuk
sebagai berikut.
a. Kalimat majemuk adalah kalimat yang mengandung dua pola kalimat atau
lebih. Misalnya:
Waktu terjadi musibah pesawat udara di Medan, kami baru saja
mendarat dengan mulus di lapangan udara Polonia.
b. Kalimat majemuk adalah kalimat tunggal yang bagian – bagiannya
diperluas sedemikian rupa sehingga perluasannya itu membentuk satu
atau lebih pola yang baru di samping pola yang sudah ada. Misalnya:
Anak itu menendang bola. (˃ Anak, yang kau sebut kemarin itu,
menendang bola.
c. Kalimat majemuk adalah kalimat yang merupakan penggabungan dari dua
kalimat tunggal atau lebih, sehingga mengandung dua pola atau lebih.
Misalnya:
Ayah menulis surat.
Adik berdiri di samping ayah.
Maka menjadi:
Ayah menulis surat, sementara adik berdiri di sampingnya.
(Keraf, 1991 : 198-199)
1.4.5 Macam – Macam Kalimat Majemuk
Dengan memperhatikan hubungan antara pola kalimat yang ada dalam
sebuah kalimat maejemuk, kita dapat membedakan macam – mcam kalimat
majemuk. Bila sebuah kalimat tunggal mendapat perluasan atas bagian –
bagiannya sehingga terbentuk pola baru, maka pola perluasan tadi biasanya
berkedudukan lebih rendah dari pola dasar yang sudah ada. Akan tetapi, bila
kalimat majemuk itu terjadi karena penggabungan dua atau lebih kalimat
tunggal, maka sifat hubungannya bisa sederajat atau yang satu lebih rendah
kedudukannya dari yang lain.
Sebab itu, kita dapat membedakan kalimat majemuk atas:
a. Kalimat Majemuk Setara
Kalimat majemuk setara adalah kalimat majemuk yang pola – pola
kalimatnya memiliki kedudukan yang sederajat, tidak ada pola
kalimat yang menduduki suatu fungsi yang leb ih tinggi dari pola
yang ada. Hubungan yang setara ini dapat diperinci lagi atas:
a) Kalimat majemuk setara yang bersifat menggabungkan, yang dapat terjadi
dengan merangkaikan saja dua kalimat tunggal dengan diantarai
kesenyapan antara, atau dirangkaikan dengan kata – kata tugas seperti:
dan, lagi, sesudah itu, kareana itu. Misalnya:
Adik mmbaca buku, kami berlatih musik.
Kami menangkap ayam itu dan ibu memotongnya.
Ayah telah memanjat pohon mangga itu, sesudah itu dipetiknya
beberapa buah.
b) Kalimat majemuk setara yang bersifat memilih. Kata tgugas yang dipakai
untuk menyatakan hubungan ini adalah atau.
Engkau tinggal di sini atau engkau ikut dengan membawa barang
itu.
c) Kalimat majemuk setara yang mempertentangkan. Kata – kata tugas yang
dipakai untuk menyatakan hubungan ini adalah tetapi, melainkan, hanya.
Misalnya:
Adiknya rasjin, tetapi ia sendiri malas.
Ia tidak menjaga adiknya, melainkan membiarkannya saja.
Kalimat majemuk setara yang hanya memiliki satu subjek atau satu
predikat disebut kalimat majemuk rapatan. Misalnya:
Adik saya membeli dan membayar buku itu.
Ayah dan ibu pergi ke Bandung.
Ia tidak menjaga adiknya, melainkan membiarkannya saja.
b. Kalimat Majemuk Bertingkat
Kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat yang mengandung dua
pola kalimat atau lebih yang tidak sederajat. Salah satu pola
menduduki fungsi utama kalimat, yang lazimnya disebut sebagai induk
kalimat, sedangkan pola yang lain, yang lebih rendah kedudukannya,
disebut anak kalimat. Fungsi itu sekaligus menunjukkan relasi
antara induk kalimat dan anak kalimat.
Sesuai dengan fungsi atau relasinya itu, anak – anak kalimat
dapat dibagi atas:
a) Anak – anak kalimat yang menduduki fungsi utama kalimat, yaitu anak
kalimat subjek dan anak kalimat predikat. Misalnya:
– Yang harus menyelesaikan pekerjaan itu telah pergi meninggalkan
tempat ini. (= anak kalimat subjek)
– Ayah saya yang telah menyelesaikan pembangunan itu. (= anak kalimat
prediktif)
b) Anak – anak kalimat yang menduduki salah satu fungsi pelengkap (fungsi
tambahan yang rapat), yaitu anak kalimat objek langsung, objek pelaku,
dan objek berkepentingan. Misalnya:
– Wali kelas telah mengumumkan bahwa kita semua harus hadir besok pagi
pukul tujuh. (= anak kalimat objek)
– Sumbangan – sumbangan itu telah diambil oleh yang membutuhkannya hari
ini. (= anak kalimat objek pelaku)
– Pemerintah telah menganugerahkan bintang satya lencana kepada yang
telah mengabdi negara selama 25 tahun. (= anak kalimat objek
berkepentingan)
c) Anak – anak kalimat yang menduduki salah satu fungsi tambahan yang
renggang, baik sebagai keterangan subjek dan objek maupun sebagai
keterangan predikat yang renggang, yaitu: anak kalimat keterangan
subjek, anak kalimat keterangan objek, anak kalimat keterangan waktu,
anak kalimat keterangan tempat, keterangan sebab, keterangan akibat,
dan sebagainya. Misalnya:
– Kemarin pelajar – pelajar yang telah menempuh ujian akhir, berkumpul
di sekolah untuk mendengar hasil ujian mereka. (= anak kalimat
keterangan subjek)
– Pimpinan perusahaan itu telah memecat seorang karyawannya karena
telah menggelapkan barang – barang di kantornya. (= anak kalimat
keterangan sebab)
– Ia mengajak orang – orang itu agar mereka bersama-sama membasmi hama
tanam-tanaman itu. (= anak kalimat keterangan tujuan)
Sifat hubungan antara induk kalimat dan anak kalimat dapat
dinyatakan secara eksplisit dan dapat pula dinyatakan secara
implisit. Hubungan secara implisit dapat menimbulkan lebih dari
satu macam tafsiran hubungan, bergantung dari situasi dan
hubungan kalimatnya. Hubungan secara eksplisit dinyatakan dengan
kata tugas, yang sekaligus menunjukkan jenis hubungan itu.
Misalnya, anak kalimat yang didahului oleh kata tugas supaya,
untuk dan agar menyatakan relasi tujuan; kata tugas ketika,
waktu, dan sesudah menyatakan relasi sebab, dan sebaginya.
Kadang – kadang perluasan itu sedemikian rupa sehingga hubungan
rangkaian itu sangat kompleks. Ada pola kalimat dalam rangkaian
yang kompleks itu dapat menduduki tingkat yang lebih rendah dari
anak kalimat. Bagian itu dapat disebut cucu kalimat. Misalnya:
Sepanjang jalan itu ditanamai pohon – pohon yang rindang, yang
dapat memberi keteduhan pada orang – orang deesa, yang setiap
hari berjalan hilir – mudik ke kota itu.
c. Kalimat Majemuk Campuran
Seperti telah dijelaskan di atas, kalimat majemuk campuran
(kompleks) dapat terdiri atas sebuah pola utama, dan sekurang –
kurangnya dua pola bawahan, atau sekurang – kurangnya dua pola
utama dan satu atau lebih pola bawahan. Misalnya:
a) Satu pola utama dan dua pola bawahan:
Kami telah menyelenggarakan sebuah malam kesenian, yang
dimeriahkan oleh para artis ibu kota, serta dihadiri oleh
para pembesar di kota itu.
b) Dua pola utama dan satu atau lebih pola bawahan:
Ayah menyelesaikan perbuatan itu, dan meminta agar kami
berjanji tidak akan mengulangi kesalahan – keslahan yang
sama, yang dapat merugikan nama baik keluraga dan
kedudukannya. (Keraf, 1991 : 199-202)
5. Kalimat IV
1. Kalimat Berita
Kalimat berita (deklaratif) adalah kalimat yang mengandung suatu
pengungkapan peristiwa atau kejadian. Kalimat semacam ini biasanya
mengandung suatu pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau
kesalahannya. Misalnya:
Ayah membeli sebidang tanah di daerah pinggir kota.
Ia pernah sekali datang kemari.
Saya bertemu dengan dia di depan Stasiun Gambir.
Kalimat yang mengandung pernyataan dapat bersifat ucapan langsung
atau ucapan tak langsung.
a. Contoh ucapan langsung
Ia mengatakan, "Saya tidak mau membayar utang itu."
"Dahulu orang yang masyhur itu berdiam di sini," katanya sejurus
kemudian.
b. Contoh ucapan tak langsung
Ia mengatakan bahwa ia tidak mau membayar utang itu.
Katanya sejurus kemudian bahwa dahulu orang yang masyhur itu berdiam
di situ.
Kalimat berita (deklaratif) biasanya mempergunakan intonasi netral dan
susuan kalimat yang normal. Bila ada bagian kalimat yang ingin ditonjolkan
atau dipentingkan dari bagian yang lain maka biasanya dipergunakan intonasi
pementing (emfasis) dengan atau tanpa alat kebahasaan yang lain, seperti:
inversi, penempatan bagian yang dipentingkan pada awal kalimat, penggunaan
partikel lah, pun, atau mempertentangkan gagasan itu dengan gagasan yang
berlawanan. Misalnya:
Pergilah mereka ke Pulau Seribu dengan rombongan pariwisata dari
Jepang.
Ketika kami tiba di sana, ia pun tiba di sana untuk menjemput kami.
Ia tidak memihak kepada kami, tetapi kepada kamu.
Tiap kata atau tiap gatra dalam kalimat terakhir dapat diberi
penekanan (emfasis) dengan aksen pementing. Dengan memberi penekanan pada
tiap kata, timbul suatu makna baru yang tidak ada dalam kalimat beritanya,
yaitu makna yang bertentangan dngan lawan kata itu. (Keraf, 1991 : 203-204)
2. Kalimat Tanya
Yang dimaksud dengan kalimat tanya adalah kalimat yang mengandung
suatu permintaan agar penanya diberi informasi mengenai suatu hal.
Dibandingkan dengan kalimat berita, kalimat tanya mengandung beberapa ciri
yang dapat membedakannya dengan kalimat berita, yaitu:
a. Intonasi yang digunakan adalah intonasi tanya;
b. Dapat pula mempergunakan partikel tanya –kah atau -apakah;
c. Sering mempergunakan kata tanya yang dapat digabung dengan partikel
–kah.
Ketiga ciri di atas dapat dikaitkan dengan jenis kalimat tanya
yang disebut pertanyaan total atau pertanyaan parsial.
a) Pertanyaan Total
Pertanyaan total adalah kalimat tanya yang meminta
informasi mengenai isi seluruh pertanyaan itu. Kalimat tanya
semacam ini biasanya dijawab dengan ya atau tidak, dan
biasanya mempergunakan intonasi tanya digabung dengan
partikel –kah atau apakah. Misalnya:
Pandaikah Saudara yang menghantar buku ini?
Apakah anda seorang dari rombongan itu?
Sudahkah saudara membaca buku ini?
b) Pertanyaan Parsial
Pertanyaan parsial adalah kalimat tanya yang hanya meminta
informasi mengenai salah satu bagian dari pertanyaan itu.
Kalimat tanya semacam ini biasanya mempergunakan kata-kata
tanya yang dapat dibedakan berdasarkan sifat dan objek yang
ditanyakan. Misalnya:
- Menanyakan tentang orang: siapa, dari siapa, untuk siapa, dan kepada
siapa.
- Menanyakan tentang benda atau hal: apa, dari apa, untuk apa, dan
dengan apa.
- Menanyakan tentang jumlah: berapa.
- Menanyakan tentang tempat: di mana, ke mana, dari mana.
- Menanyakan tentang waktu: bila, bilamana, kapan, apabila.
- Menanyakan tentang keadaan atau situasi: bagaimana, betapa.
- Menanyakan tentang sebab: mengapa dan apa sebab.
Karena kalimat tanya dimaksudkan untuk meminta informasi maka semua
kalimat tanya menghendaki jawaban. Akan tetapi, ada juga pertanyaan yang
sama sekali tidak membutuhkan jawaban karena semua orang sudah tahu
jawabnnya. Pertanyaan ini dinamakan pertanyaan retoris, dan dipakai sebagai
suatu cara dalam gaya bahasa. Pertanyaan retoris biasanya dipakai dalam
pidato – pidato atau percakapan – percakapan di mana pendengar sudah
mengetahui atau dianggap sudah mengetahui jawabannya. Misalnya:
Apakah seorang koruptor dapat menjadi pahlawan bangsa?
Apakah seorang ibu sampai hati membunuh anaknya sendiri?
Ada pula semacam pertanyaan lain yang sama nilainya dengan perintah
karena penanya tidak memerlukan informasi dari yang ditanyakan. Misalnya:
Apa ibu kota negara Republik Indonesia?
Di mana letak negara Republik Indonesia?
Jadi, perlu dicatat suatu hal mengenai kalimat tanya itu. Telah
dikemukakan bahwa salah satu ciri kalimat tanya adalah intonasi tanya.
Namun, dalam percakapan sehari – hari, sering terjadi bahwa dalam kalimat
tanya yang memakai kata tanya tidak terdengar intonasi tanya, sedangkan
kalimat tanya selalu memakai intonasi tanya. Jadi, ciri intonasi tanya dan
kata tanya merupakan ciri yang amat penting bagi kalimat tanya. Akan
tetapi, bila kalimat tanya mengandung kata tanya kita boleh memilih antara
dua kemungkinan: mempergunakan intonasi tanya, atau boleh juga
mempergunakan intonasi berita (netral). (Keraf, 1991 : 204-206)
3. Kalimat Perintah
Yang disebut kalimat perintah adalah kalimat yang mengandung perintah
atau permintaan agar orang lain melakukan suatu hal yang diinginkan oleh
orang yang memerintah. Oleh karena itu, perintah meliputi suruhan yang
keras hingga ke permintaan yang sangat halus. Begitu pula suatu perintah
dapat ditafsirkan sebagai hal mengizinkan seseorang untuk mengerjakan
sesuatu, atau menyatakan syarat untuk terjadinya sesuatu, malahan sampai
kepada tafsiran (konotasi) ejekan atau sindiran. Perintah dapat pula
berbalik dari menyuruh berbuat sesuatu menjadi mencegah atau melarang
berbuat sesuatu. Makna mana yang didukung oleh kalimat perintah tersebut,
tergantung pula dari situasi yang dimasukinya.
Berbeda dengan kalimat deklaratif dan kalimat tanya, kalimat perintah
mengandung ciri – ciri:
a. Menggunakan intonasi keras, terutama perintah biasa dan larangan;
b. Kata kerja yang mendukung isi perintah itu biasanya kata dasar;
c. Mempergunakan partikel pengeras –lah.
Kalimat perintah dapat dibedakan atas:
a) Perintah Biasa
Perintah biasa bervariasi, dari perintah yang lunak sampai
perintah yang sangat keras, dengan mempergunakan intonasi yang
bervariasi. Mislanya:
Usir anjing itu!
Pergilah dari sini!
Kerjakanlah soal – soal ini sebaik – baiknya!
b) Permintaan
Permintaan adalah semacam perintah yang halus, di mana sikap
orang yang menyuruh lebih merendah dari perintah biasa. Ada
bermacam – macam tingkat permintaan yang dapat dibedakan dengan
sejumlah kata atau ungkapan. Misalnya:
Coba dengarkan baik – baik!
Tolong bawa buku itu ke sini!
Harap tutup pintu itu!
c) Perintah Mengizinkan
Sebenarnya perintah mengizinkan adalah perintah biasa, hanya ada
bagian yang ditambahkan yang menyatakan izin itu. Misalnya:
Ambillah buku itu, seberapa kau suka!
Masuklah ke dalam, kalau Tuan perlu!
d) Perintah Ajakan
Perintah yang menyatakan ajakan biasanya didahului oleh kata –
kata ajakan seperti marilah, baiklah. Misalnya:
Marilah kta istirahat sebentar!
Baiklah kamu menyusuli dia ke sana!
e) Perintah Bersyarat
Perintah bersyarat adalah semacam perintah yang mengandung
syarat untuk terpenuhinya sesuatu hal. Misalnya:
Tanyakanlah kepadanya, tentu ia akan menerangkan kepadamu!
Bantulah dia, pasti pekerjaan itu akan segera selesai!
f) Perintah Sindiran
Perintah sindiran atau ejekan adalah perintah yang mengandung
ejekan karena kita yakin bahwa yang diperintah tidak mampu
melaksanakan hal yang diperintahkan. Misalnya:
Kerjakanlah itu sendiri, kalau memang kamu ahli!
Pukullah dia, kalau kamu berani
g) Perintah Larangan
Larangan adalah perintah yang bersifat negatif, yaitu melarang
seseorang melakukan sesuatu hal. Bila larangan itu bersifat umum
atau resmi, digunakan kata dilarang, dan bila larangan itu
bersifat khusus atau tidak resmi, digunakan kata jangan.
Misalnya:
Dilarang merokok!
Jangan membawa makanan dari luar!
(Keraf, 1991 : 206-208)
1.5.4 Kalimat Harapan
Kalimat harapan atau kalimat optatif adalah kalimat yang menyatakan
keinginan terjadinya sesuatu. Kalimat ini biasanya didahului oleh kata atau
ungkapan seperti saya harap, saya berharap, mudah-mudahan, moga-moga,
semoga, insya Allah. Misalnya:
Saya harap Anda sampai dengan selamat.
Mudah-mudahan kita tidak mendapat halangan di jalan.
Moga-moga Saudara lekas sembuh dari sakit ini.
Semoga Anda sekalian selalu dilindungi oleh Tuhan.
Insya Allah kita dapat berjumpa lagi di lain kesempatan.
(Keraf, 1991 : 206)
1.5.5 Kalimat Seru
Kalimat seru adalah kalimat yang menyatakan perasaan hati, kekaguman,
atau keheranan terhadap suatu hal. Kalimat ini biasanya ditandai oleh kata-
kata atau ungkapan-ungkapan tertentu: sungguh, alangkah, betapa, dan dapat
juga dinyatakan dengan intonasi yang lebih tinggi dari kalimat inversi.
Misalnya:
a. Kalimat berita :
Gunung itu tinggi sekali.
Mereka bekerja dengan lambat.
Perkataannya itu membingungkan.
Perbuatan pemuda itu melampaui batas kesopanan.
b. Kalimat Seru :
Tinggi sekali gunung itu!
Sungguh tinggi gunung itu!
Betapa tinggi gunung itu!
Alangkah tingginya gunung itu!
Lambat sekali mereka bekerja!
Betapa lambat(nya) mereka bekerja!
Alangkah lambatnya mereka bekerja!
Membingungkan sekali perkataannya itu!
Sungguh membingungkan perkataannya itu!
Betapa membingungkan perkataanya itu! (Keraf, 1991 : 206-207)
6. Uraian Kalimat
1. Uraian Fungsi Kalimat
Waktu membicarakan pola kalimat sudah disinggung bermacam-macam gatra
yang yang membentuk sebuah kalimat inti. Gatra adalah satuan fungsional
yang membentuk sebuah kalimat tidak perlu diperinci sampai sekecil-kecilnya
hingga ke tahap kata, tetapi cukup sampai ketingkat gatra, dengan
pengertian bahwa gatra-gatra inti (subyek, predikat) dan beberapa gatra
pelengkap dapat terdiri atas satu kata. Gatra-gatra yang secaraa potensial
membentuk sebuat kalimat :
a. Gatra Inti adalah gatra yang membentuk inti kalimat, atau yang menjadi
pola dasar sebuah kalimat, baik kalimat tunggal maupun kalimat
majemuk. Dengan demikian, gatra inti terdiri atas :
a) Gatra Subjek, dapat diperinci lagi atas gatra pelaku, gatra
diterangkan dan gatra dibatasi (digolongkan).
b) Gatra Predikat, dapat diperinci lagi atas gatra perbuatan, gatra
menerangkan dan gatra pembatas (penggolong).
c) Gatra Objek, kata atau kelompok kata yang berfungsi melengkapi kata
kerja kinerja.
b. Gatra Pelengkap adalah gatra yang melengkapi predikat verbal, namun
hubungannya lebih longgar bila dibandingkan dengan gatra objek. Gatra
ini dapat diperinci atas gatra pelengkap penyerta (benefaktif) dan
gatra pelengkap pelaku (pada kalimat pasif).
c. Keterangan Predikat adalah fungsi-fungsi yang renggang, yang memberi
penjelasan mengenai predikat verbal. Disebut keterangan karena kata-
kata itu sebenarnya merupakan bagian dari gatra predikat (verbal)
dalam arti luas. Keterangan ini dapat diperinci atas :
a) Keterangan Tempat, yaitu yang menerangkan di mana suatu peristiwa
berlangsung.
b) Keterangan Waktu, yaitu menjelaskan bilamana suatu peristiwa
berlangsung biasanya dinyatakan dengan adverbial temporal.
c) Keterangan Alat, yaitu yang menjelaskan dengan alat manakah perbuatan
itu dilaksanakan.
d) Keterangan Kesertaan, yaitu keterangan yang menjelaskan keikutsertaan
seseorang dalam suatu tidakan.
e) Keterangan Sebab, yaitu yang menjelaskan mengapa suatu perbuatan atau
tindakan dilakukan.
f) Keterangan Akibat, yaitu yang menjelaskan hasil atau akibat yang
terjadi karena suatu perbuatan.
g) Keterangan Tujuan, yaitu yang menjelaskan hasil suatu perbuatan yang
dengan sengaja dikehendaki atau ingin dicapai.
h) Keterangan Pembenaran, yaitu yang menjelaskan berlakunya suatu
perbuatan berlawanan atau bertentangan dengan keadaan atau kehendak
pembicara.
i) Keterangan Pembatasan, yaitu yang menjelaskan dalam batas-batas mana
suatu perbuatan boleh dikerjakan dan mana yang tidak boleh.
j) Keterangan Suasana, yaitu keterangan yang menjelaskan bagaimana atau
dalam suasana mana suatu perbuatan dilakasanakan.
k) Keterangan Kualitatif, yaitu keterangan yang menjelaskan dengan cara
mana atau bagaimana suatu peristiwa dilaksanakan.
l) Keterangan Kuantitatif, yaitu yang menjelaskan berapa kali suatu
proses berlangsung.
m) Keterangan Perbandingan, yaitu menjelaskan bagaimana suatu perbuatan
yang lain.
n) Keterangan Modalitas, yaitu yang menjelaskan bahwa suatu proses
berlaku secara subjektif, yaitu seperti dikehendaki atau ditafsirkan
oleh pembicara.
o) Keterangan Aspek, yaitu keterangan yang menjelaskan terjadinya suatu
proses secara objektif. Keterangan ini sering dikacaukan dengan dua
hal lain yaitu keterangan waktu dan kala. Keterangan waktu terbatas
pada penunjuk waktu seperti kemarin, besok dan lusa. Sebaliknya, kala
adalah kategori gramatikal kata-kata yang menyatakan berlangsungnya
suatu perbuatan dalam waktu tertentu.
d. Keterangan Gatra Inti Kata Benda adalah semua keterangan yang
menjelaskan sebuah kata benda yang menduduki salah satu fungsi inti
kalimat.
e. Keterangan Gatra Inti Kata Sifat adalah keterangan atas sebuah kata
sifat yang menduduki gatra inti kalimat dalam hal ini gatra
menerangkan. Keterangan ini biasanya menunjukkan dalam derajat manakah
gatra itu berada. Kata-kata yang menyatakan keterangan ini adalah
amat, sangat, lebih, kurang dan hampir. Namun, sesuai dengan
penjelasan terdahulu, uraian fungsi kata-kata semacam ini lebih baik
disebut saja sebagai keterangan gatra menerangkan, daripada
memperincinya sebagai keterangan derajat, karena istilah ini juga
dipakai untuk menjelaskan sebuah predikat kerja.
(Keraf, 1991 : 210-217)