KELAINAN PERKEMBANGAN EMBRIO MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah SPH II Yang dibina oleh Dra, Amy Tenzer, M.Si
Disusun oleh: Kelompok 6/ Offering H Achib Irmawati
150342605103
Rendhika Farah A.P 150342605471 Yasinta Swastika A
150342607572
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI MALANG JURUSAN BIOLOGI November 2016
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Kelainan Perkembangan Embrio” dengan sebaik mungkin. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1) Ibu Amy Tenzer, selaku dosen pembimbng mata kuliah Struktur Perkembangan Hewan II Universitas Negeri Malang yang telah membimbing penulis, 2) kedua orang tua penulis yang memberikan dukungan materi dan moril, 3) seluruh anggota kelompok 6 (enam) yang telah berpartisipasi dalam menuntaskan makalah ini, 4) seluruh teman S1 Biologi kelas H Tahun 2015 yang telah membantu penulis, 5) dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi terwujudnya maalah yang lebih baik. Penulis juga berarap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya di kalangan pendidikan.
Malang, 28 November 2016
Penulis
2
DAFTAR ISI Halaman .............................................................................................................. 1 Kata Pengantar .................................................................................................... 2 Daftar Isi.............................................................................................................. 3 Daftar Gambar..................................................................................................... 4 Daftar Tabel ........................................................................................................ 4 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 5 1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5 1.3 Tujuan ........................................................................................................... 5 BAB II. PEMBAHASAN 2.1 Macam-macam Kelainan Perkembangan Embrio......................................... 6 2.1.1 Patogenesis ................................................................................................. 6 2.1.2 Kelainan Kongenital Sistem Saraf Pusat.................................................... 8 2.1.3 Kelainan yang Berasal Gangguan Gastrulasi ........................................... 15 2.1.4 Kelainan Akibat Gangguan Neurulasi Sekunder ..................................... 17 2.1.5 Kelainan yang Berasal dari Gangguan Perkembangan Post Neurulasi .... 17 2.1.6 Kelainan Kongenital yang Lain ............................................................... 18 2.2 Faktor Penyebab Kelainan Perkembangan Embrio..................................... 20 2.2.1 Faktor Lingkungan ................................................................................... 20 2.2.2 Faktor Kromosom dan Genetic ................................................................ 22 BAB III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 27 3.2 Saran............................................................................................................ 27 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 28
3
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.Neural Tube ........................................................................................ 5 Gambar 2 Anensefalus ...................................................................................... 10 Gambar 3 Menunjukkan craniorachisis dengan pemanjangan cacat ke daerah serviks ............................................................................................................... 11 Gambar 4 Menunjukkan craniorachischisis dengan pemanjangan pada daerah cacat hingga daerah torak bagian bawah .......................................................... 11 Gambar 5. Labiopalatoskisis ............................................................................. 17 Gambar 6 Hidrosefalus...................................................................................... 18 Gambar 7 Omfalokel ......................................................................................... 19 Gambar 8 Hernia Umbilikalis ........................................................................... 19 Gambar 9 Amelia unilateral dan Meromalia ..................................................... 21 Gambar 10 Anak penderita sindrom down ....................................................... 22 Gambar 11 Anak penderita trisomy 18 ............................................................. 23 Gambar 12 Anak penderita trisomi 13-15 ......................................................... 23 Gambar 13 Anak penderita sindrom Turner ..................................................... 24
DAFTAR TABEL Tabel 1. Teratogen yang berkaitan dengan Malformasi Manusia ..................... 25
4
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Embriogenesis adalah proses pembentukan organ dari tahap embrio sampai menjadi organ yang dapat berfungsi. Embriogenesis normal merupakan proses yang sangat kompleks. Dalam kehidupan di alam, tidak ada satupun makhluk hidup yang sempurna, sering terlihat kekurangan atau kecacatan. Kekurangan tersebut secara umum dapat disebut kelainan. Kelainan sejak lahir atau cacat lahir dikarenakan proses terjadinya pada masa perkembangan embrio mengalami ketidaknormalan karena berbagai macam faktor genetik maupun non genetik. Setiap proses yang mengganggu embrio dapat menyebabkan gangguan bentuk (cacat). Setiap proses yang mengganggu janin dapat berakibat pertumbuhan organ yang salah misalnya otak, jantung atau seluruh janin. Kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam prose embriogenesis dapat menyebabkan terjadinya malformasi pada jaringan atau organ. Sifat dari kelainan yang timbul tergantung pada jaringan yang terkena, penyimpangan, mekanisme, perkembangan, dan waktu saat terjadinya. Pada makalah ini, penulis berusaha menjelaskan mengenai kelainan perkembangan embrio dari macam- macam kelainan perkembangan embrio sampai faktor-faktor penyebab kelainan perkembangan embrio. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa macam-macam kelainan perkembangan embrio? 2. Apa saja faktor penyebab kelainan perkembangan embrio?
1.3 Tujuan 1. Mengetahui macam-macam kelainan perkembangan embrio 2. Mengetahui faktor-faktor penyebab kelainan perkembangan embrio
5
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Macam-macam Kelainan Perkembangan Embrio Setiap proses yang mengganggu embrio dapat menyebabkan gangguan bentuk atau kematian. Setiap proses yang menggangu janin dapat berakibat pertumbuhan organ yang salah misalnya otak, jantung atau seluruh janin. 2.1.1 Patogenesis Effendi
(2014)
mengklasifikasikan
kelainan
kongenital
berdasarkan
patogenesis, yakni sebagai berikut. 1) Malformasi Malformasi adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh kegagalan atau ketidaksempurnaan dari satu atau lebih proses embriogenesis. Perkembangan awal dari suatu jaringan atau organ tersebut berhenti, melambat atau menyimpang sehingga menyebabkan terjadinya suatu kelainan struktur yang menetap. Beberapa contoh malformasi misalnya bibir sumbing dengan atau tanpa celah langit-langit, defek penutupan tuba neural, stenosis pylorus, spina bifida, dan defek sekat jantung Malformasi dapat digolongkan menjadi malformasi mayor dan minor. Malformasi mayor adalah suatu kelainan yang apabila tidak dikoreksi akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh serta mengurangi angka harapan hidup. Sedangkan malformasi minor tidak akan menyebabkan problem kesehatan yang serius dan mungkin hanya berpengaruh pada segi kosmetik. Malformasi pada otak, jantung, ginjal, ekstrimitas, saluran cerna termasuk malformasi mayor, sedangkan kelainan daun telinga, lipatan pada kelopak mata, kelainan pada jari, lekukan pada kulit (dimple), ekstra putting susu adalah contoh dari malformasi minor. 2) Deformasi Deformasi didefinisikan sebagai bentuk, kondisi, atau posisi abnormal bagian tubuh yang disebabkan oleh gaya mekanik sesudah pembentukan normal terjadi, misalnya kaki bengkok atau mikrognatia (mandibula yang kecil). Tekanan ini dapat disebabkan oleh keterbatasan ruang dalam uterus ataupun faktor ibu yang
6
lain seperti primigravida, panggul sempit, abnormalitas uterus seperti uterus bikornus, kehamilan kembar. 3) Disrupsi Disrupsi adalah defek morfologik satu bagian tubuh atau lebih yang disebabkan oleh gangguan pada proses perkembangan yang mulanya normal. Ini biasanya terjadi sesudah embriogenesis. Berbeda dengan deformasi yang hanya disebabkan oleh tekanan mekanik, disrupsi dapat disebabkan oleh iskemia, perdarahan atau perlekatan. Misalnya helaian-helaian membrane amnion, yang disebut pita amnion, dapat terlepas dan melekat ke berbagai bagian tubuh, termasuk ekstrimitas, jari-jari, tengkorak, serta muka. 4) Displasia Patogenesis lain yang penting dalam terjadinya kelainan kongenital adalah displasia. Istilah displasia dimaksudkan dengan kerusakan (kelainan struktur) akibat fungsi atau organisasi sel abnormal, mengenai satu macam jaringan di seluruh tubuh. Sebagian kecil dari kelainan ini terdapat penyimpangan biokimia di dalam sel, biasanya mengenai kelainan produksi enzim atau sintesis protein. Sebagian besar disebabkan oleh mutasi gen. Karena jaringan itu sendiri abnormal secara intrinsik, efek klinisnya menetap atau semakin buruk. Ini berbeda dengan ketiga patogenesis terdahulu. Malformasi, deformasi, dan disrupsi menyebabkan efek dalam kurun waktu yang jelas, meskipun kelainan yang ditimbulkannya mungkin berlangsung lama, tetapi penyebabnya relatif berlangsung singkat. Displasia dapat terus-menerus menimbulkan perubahan kelainan seumur hidup. Pembagian lain kelainan kongenital adalah: kelainan kongenital mayor didefinisikan sebagai cacat struktural pada organ yang mempunyai risiko kesakitan dan kematian tinggi dan memerlukan intervensi medis, dan kelainan kongenital minor merupakan gangguan perkembangan yang kurang memberikan dampak medis operarif maupun kosmetik dan biasanya kurang mempengaruhi kelangsungan hidup penderita (Rodeck et al, 2001). 2.1.2 Kelainan Kongenital Sistem Saraf Pusat Kelainan kongenital menggambarkan defek morfogonesis pada organ maupun sistem organ pada kehidupan awal fetus. Istilah kelainan kongenital seharusnya
7
mengikat pada defek struktural saat bayi dilahirkan. Kelainan kongenital dapat terjadi sejak awal pertumbuhan primordial (dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik) atau terjadi kemudian selama pertumbuhan (dipengaruhi oleh faktorfaktor ekstrinsik) (Rodeck et al, 2001). Kelainan kongenital sistem saraf pusat mencakup seluruh bentuk kelainan struktural yang terjadi pada janin baik oleh faktor genetik maupun lingkungan, yang terjadi pada suatu bagian pada otak dan/atau sumsum tulang belakang (Josefa et al,2000).
Klasifikasi Kelainan Kongenital Sistem Saraf Pusat
Menurut European Registration of Congenital Anomalies (2010), kelainan bawaan sistem saraf mayor didefinisikan sebagai berikut: a. Neural Tube Defects (NTD) Pada stadium dini pembentukan lempeng neural terbentuk celah neural yang kemudian membentuk tuba neuralis. Tuba neuralis inilah yang kemudian menjadi jaringan otak dan medula spinalis. Proses penutupan tuba neuralis ini berlangsung selama minggu ketiga hingga keempat kehidupan embrio dan biasanya sebelum wanita mengetahui kehamilannya (sadler, 2000). Proses neuralisasi mulai pada garis tengah dorsal dan berlanjut ke arah sefal dan kaudal. Penutupan yang paling posterior
akhir yaitu
terjadi pada
pada
ujung
hari
ke-28
(Lorenzo et al, 1999). Tepi lateral pelat neural membentuk lipatan neural yang bersatu kearah dorsal membentuk tuba neuralis, seperti tampak pada gambar 1. Kegagalan lipatan neural bersatu kearah dorsal Gambar 1: A. Tampak belakang dari embrio manusia pada hari ke-22. Seven distinct
berakibat disrafisme dan menyebabkan somites tampak jelas pada masing0masing anensefalus, ensefalomeningokel dan sisi tuba neuralis. B. Tampak belakang dari embrio manusia pada hari ke-23 (Elias,
meningokel, malformasi Arnold-Chiari 1985)
8
dengan rakhiskhisis spinal, serta keadaan lain. NTD terjadi karena kesalahan induksi oleh korda spinalis yang terletak dibawahnya atau karena pengaruh faktor-faktor lingkungan yang bersifat teratogen bagi sel-sel neuroepitel. Hipertermia, asam valproat, dan hipervitaminosis vitamin A juga merupakan faktor predisposisi terjadinya NTD. Sekitar 80% bayi yang lahir dengan bentuk defek ini masih dapat hidup selama periode baru dilahirkan, tetapi mayoritas terbesar (85%) dari bayi-bayi yang berhasil hidup akan memiliki kecacatan yang sedang atau berat seumur hidup mereka (Wim, 1997). Defek neural tube disini yang dimaksud adalah karena kegagalan pembentukan mesoderm dan neurorectoderm. Defek embriologi primer pada semua defek neural tube adalah kegagalan penutupan neural tube, mempengaruhi neural dan struktur kutaneus ectodermal. Hal ini terjadi pada hari ke 17 - 30 kehamilan. Selama kehamilan , otak, tulang belakang manusia bermula dari sel yang datar, yang kemudian membentuk silinder yang disebut neural tube. Jika bagian tersebut gagal menutup atau terdapat daerah yang terbuka yang disebut cacat neural tube terbuka. Daerah yang terbuka itu kemungkinan 80% terpapar atau 20% tertutup tulang atau kulit. 90% dari kasus yang terjadi bukanlah faktor genetik / keturunan tetapi sebagian besar terjadi dari kombinasi faktor lingkungan dan gen dari kedua orang tuanya (Sadler,2000). 1) Anensefalus Bayi yang lahir dengan anensefalus ditandai dengan tidak terbentuknya kubah tengkorak, sehingga otak yang mengalami malformasi menjadi terpapar. Kemudian, jaringan ini mengalami degenerasi dan meninggalkan massa jaringan nekrotik. Namun batang otak pada bayi dengan anensefalus tetap utuh. Keadaan ini terjadi akibat gagalnya penutupan bagian sefalik dari tuba neuralis. Anensefalus merupakan cacat lethal yang menimbulkan kematian janin di dalam rahim atau kematian segera sesudah bayi dilahirkan (Sadler,2000).
9
Anencephaly adalah adanya kelainan kongenital sebagian besar otak, tengkorak dan kulit kepala. Merupakan hasil dari proses neurulasi yang gagal, yang didefinisikan sebagai proses pembentukan jaringan syaraf dari ectoderm. Pada anencephaly kelainan yang terjadi pada neurulasi adalah pada bagian kranial (Frosch et al, 2004). Karena itu, jaringan saraf terbuka dan bagian otak tidak tertutupi dengan tengkorak. Pengembangan dari belahan otak juga tidak terbentuk (Hussain, 2012).
Gambar 2. Telinga yang terlipat, mata melotot dan lidah yang menjulur keluar (Rashmi et al, 2011)
Bayi dengan anencephaly yang lahir dengan keadaan hidup akan segera mati. Insiden anencephaly menunjukkan pola multifaktor gen, dengan interaksi beberapa faktor genetik dan lingkungan. Gen yang spesifik menyebabkan cacat pada tabung syaraf yang masih belum dapat di identifikasi. Salah satunya seperti gen metilena tetrahydrofolate reduktase yang telah menunjukkan adanya hubungan dengan munculnya Neural Tube Defects (Kurtoglu et al, 2004). Anencephaly dapat didiagnosis saat masa prenatal dengan tingkat kepastian yang tinggi. Skrining awal untuk anencephaly dan Cacat tabung saraf lain dapat dilakukan oleh pengujian dengan serum Alfa-fetoprotein pada trimester kedua kehamilan dan ultrasonografi pada trimester ketiga kehamilan (Kasai et al, 1982).
10
Dalam janin pria berumur 28 minggu, terlihat adanya cacat pada bagian kranial. Janin menunjukkan tidak adanya sebagian besar kulit kepala dan tengkorak, juga cacat yang memanjang ke vertebra serviks. Jaringan otak dan sumsum tulang belakang di daerah serviks terkena bagian eksterior(Gambar 3) (Rashmi et al, 2011).
Gambar 3. Menunjukkan craniorachisis dengan pemanjangan cacat ke daerah serviks (Rashmi et al, 2011).
Craniorachischis diamati pada janin laki-laki berumur 29 minggu. Terdapat sebuah cacat dalam pembentukan kulit kepala dan tengkorak yang memanjang hingga toraks bagian bawah kolom vertebral (Gambar 4). Jaringan otak dan sumsum tulang hanya ditutupi dengan jaringan membran. Leher pendek, hidung adalah luas dan mata yang melotot (Gambar 5) (Rashmi et al, 2011).
Gambar 4. Menunjukkan craniorachischisis dengan pemanjangan pada daerah cacat hingga daerah torak bagian bawah (Rashmi et al, 2011)
Gambar 5. Menunjukkan omphalocele (Rashmi et al, 2011)
11
2) Ensefalokel Ensefalokel merupakan defek pada kranium yang biasanya terjadi pada daerah oksipital. Pada daerah ini, meningen beserta bagian dari korteks serebri atau batang otak atau serebelum menonjol keluar dan ditutupi oleh kulit. Gejala dari ensefalokel, antara lain berupa kelumpuhan keempat anggota gerak, gangguan perkembangan, gangguan penglihatan, keterbelakangan mental dan pertumbuhan, ataksia serta kejang. Ensefalokel seringkali disertai denga kelainan kraniofasial atau kelainan otak lainnya (Sadler,2000). Ensefalokel merupakan malformasi kongenital yang ditunjukkan dengan adanya protrusi dari meningens dan atau jaringan otak pada defek tulang kepala. Ensefalokel merupakan salah satu dari kelainan defek tuba neural selain anensefali dan spina bifida(Etster, 1989) . Bila yang menonjol adalah meningens dan cairan likuor maka dinamakan meningokel, sedangkan bila jaringan otak ikut keluar maka dinamakan sebagai ensefalomeningokel (Pollock, 1986). 3) Meningokel Meningokel adalah kelainan kongenital berupa penonjolan selaput otak dan cairan otak lewat defek (lubang) pada tulang kepala. Bila sebagian jaringan otak ikut menonjol, disebut meningoensefalokel atau ensefalokel (Martinez et al, 1996). Kelainan ini merupakan bagian dari gangguan yang dinamakan defek tabung saraf (neural tube defects, NTD’s). Secara embriologis ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan sebab kegagalan penutupan tabung saraf. Yang banyak dianut para peneliti adalah teori gangguan neurulasi, yaitu tetap bertahannya perlekatan antara ektoderm neural (saraf) dengan ektoderm permukaan (epidermis) pada garis tengah sewaktu proses organogenesis di awal kehamilan, sehingga terjadi hambatan migrasi sel-sel mesoderm pembentuk tulang di tempat adesi dua lapisan ektoderm itu. Keadaan ini menyebabkan di daerah itu tidak ada pembentukan tulang sehingga timbul defek. Teori ini disebut teori ‘non-separasi’ dari Sternberg (Hoving, 1993).
12
4) Spina bifida Pada spina bifida dijumpai kegagalan pada penutupan arkus vertebra dan lamina posterior pada satu atau beberapa level. Adanya bagian yang terbuka pada vertebra, yang mengelilingi dan melindungi korda spinalis, terjadi akibat jaringan yang membentuk pipa neural tidak menutup atau tidak tertutup secara sempurna (Jamous,2012).
Tidak ada kelainan medulla spinalis maupun
meninges. Keadaan ini ditandai oleh tonjolan meningen saja (meningokel) atau
tonjolan
meningen
bersama
jaringan
saraf
(myelomeningokel)
(Sadler,2000). Meningokel terbentuk saat meninges berherniasi melalui defek pada lengkung vertebra posterior. Sebagian besar meningokel tertutup dengan baik dengan kulit dan tidak mengancam penderita. Myelomeningokel merupakan bentuk disrafisme spinal terberat. 75% kasus myelomeningokel terjadi pada daerah lumbosakral. Luas dan tingkat defisit neurologis tergantung pada lokasi myelomeningokel (Sadler,2000). Gejala spina bifida bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda spinalis dan akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala, sedangkan yang lain mengalami kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis (Wim,1997). Ada berbagai jenis spina bifida. antara lain :
Spina bifida okulta Menunjukkan suatu cacat yang lengkung-lengkung vertebranya dibungkus oleh kulit yang biasanya tidak mengenai jaringan saraf yang ada di bawahnya. Cacat ini terjadi di daerah lumbosakral ( L4 – S1 ) dan biasanya ditandai dengan plak rambut yang yang menutupi daerah yang cacat. Kecacatan ini disebabkan karena tidak menyatunya lengkunglengkung vertebra ( defek terjadi hanya pada kolumna vertebralis ) dan terjadi pada sekitar 10% kelahiran.
Spina bifida kistika Adalah suatu defek neural tube berat dimana jaringan saraf dan atau meningens menonjol melewati sebuah cacat lengkung vertebra dan kulit sehingga membentuk sebuah kantong mirip kista. Kebanyakan terletak di
13
daerah lumbosakral dan mengakibatkan gangguan neurologis, tetapi biasanya tidak disertai dengan keterbelakangan mental.
Spina bifida dengan meningokel Pada beberapa kasus hanya meningens saja yang berisi cairan saja yang menonjol melalui daerah cacat. Meningokel merupakan bentuk spina bifida dimana cairan yang ada di kantong terlihat dari luar ( daerah belakang ), tetapi kantong tersebut tidak berisi spinal cord atau saraf.
Spina bifida dengan meningomielokel Merupakan bentuk spina bifida dimana jaringan saraf ikut di dalam kantong tersebut. Bayi yang terkena akan mengalami paralisa di bagian bawah.
Spina bifida dengan mielokisis atau rakiskisis Merupakan bentuk spina bifida berat dimana lipatan-lipatan saraf gagal naik di sepanjang daerah torakal bawah dan lumbosakral dan tetap sebagai masa jaringan saraf yang pipih (Sadler,2000).
Kelainan-kelainan di atas biasanya timbul di daerah cervical dan atau lumbar dan dapat menyebabkan gangguan neurologis pada ekstremitas bawah dan gangguan kandung kemih. Defek neural tube ini dapat dideteksi melalui pemeriksaan kadar alfa feto protein ( AFP ) pada sirkulasi fetus setelah perkembangan empat minggu (Sadler,2000).
14
2.1.3 Kelainan yang Berasal Gangguan Gastrulasi Kelainan yang terpenting pada kelainan yang berasal dari gangguan gastrulasi adalah malformasi split cord. Malformasi ini diklasifikasikan menjadi diastematomyelia yaitu malformasi pada medulla spinalis yang terpisah menjadi 2 dan dyplomyelia yang menggambarkan duplikasi komplit dari medulla spinalis dimana setiap sisi memiliki 2 pasang ventral dan dorsal nerve roots. Malformasi split cord ini seringkali didapatkan berhubungan dengan beberapa anomali termasuk
kombinasi
spina
bifida
yaitu
hemimyelomeningocele,
myelomeningocele, cervical myelomeningocele, neuroenteric cyst. Neuroenteric cyst adalah suatu kelainan yang jarang, dimana kanalis neuroenteric tetap ada. Kelainan ini biasanya terjadi dalam minggu ke-3 masa embryogenesis. Seringkali ditemukan pada fossa posterior (Cerebellopontine angle, in anterior midline sampai ke brainstem, cisterna magna), kelainan ini juga ditemukan pada supratentorial lebih jarang lagi, dimana hanya ditemukan 15 kasus selama tahun 2004. Lokasi tersering dari neuroenteric cyst ini adalah upper thoracal dan lower cervical (Sedighah et al, 2007).
Gambar. Hasil x-ray dari Malformasi split cord (Prakash & Shashi, 2014)
15
Split Chord malformasi (SCM), juga disebut diastematomyelia, adalah anomali tulang belakang yang langka dan merujuk kepada Divisi sagital dari sumsum tulang ke dalam 2 hemicords simetris atau asimetris (Pang et al, 1992). SCM adalah anomali di mana tali terbagi atas sebagian dari panjangnya untuk membentuk neural tube ganda. diastematomyelia adalah pemisahan bawaan dari setiap bagian dari sumsum tulang belakang. SCM tipe I berisi dua hemicords yang masing-masing berbaring dalam kantung dural dan keduanya dipisahkan oleh garis tengah manset dura yang mengelilingi tulang. SCM tipe II berisi dia hemicord yang berbaring dalam satu kantung dural (Dias & Pang, 1995).
2.1.4 Kelainan Akibat Gangguan Neurilasi Sekunder Kelainan pada neurilasi sekunder biasanya diduga hanya berupa malformasi pada kulit penutup, sedangkan malformasi yang utama yaitu pemendekan fillum terminale dan myelocystocele terminal. Embryologi pemendekan fillum terminale sebenarnya belum terlalu jelas. Penebalan dari fillum terminal seringkali diinfiltrasi oleh jaringan adiposa. Terminal myelocystocele merupakan suatu kelainan yang jarang dimana canalis sentralis dari medulla spinalis bagian kaudal yang menjadi dilatasi dan berisi CSF atau glial. Malformasi dari organ yang lain sering ditemukan termasuk ekstrophy cloacal, anus imperforate.
2.1.5 Kelainan yang Berasal dari Gangguan Perkembangan Post Neurilasi Encephalocele adalah penonjolan atau ekstensi dari struktur intrakranial keluar dari tempatnya didalam tengkorak. Berdasarkan pembagian oleh Suwanwela dan Suwanwela, encephalocele dibagi berdasarkan lokasinya, yaitu: 1. Occipital
: seringkali melibatkan struktur vaskular
2. Cranial vault
:-. Interfrontal -. Anterior fontanella -. Interparietal -. Temporal -. Posterior fontanella
3. Frontoethmoidal atau sincipital
: -. Nasofrontal
16
-. Nasoethmoidal -. Naso orbital 4. Basal
: -. Transethmoidal -. Sphenoethmoidal -. Transsphenoidal -. Frontosphenoidal
5. Posterior fossa
2.1.6 Kelainan Kongenital yang Lain Selain klasifikasi kelainan kongenital di atas, ada beberapa kelainan kongenital lainnya. Di antaranya adalah sebagai berikut. 1) Labiopalatoskisis (Celah Bibir dan Langit-langit) Labiopalatokisis adalah kelainanan kongenital pada bibir dan langit-langit yang dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan yang disebabkan oleh kegagalan atau penyatuan struktur fasial embrionik yang tidak lengkap. Kelainan ini cenderung bersifat diturunkan (hereditary), tetapi dapat terjadi akibat faktor non-genetik. Bibir sumbing merupakan suatu gangguan pada pertumbuhan wajah sejak embrio umur minggu ke kempat (Loho, 2013)
Gambar 5. Labiopalatoskisis (Loho, 2013)
2) Hidrosefalus Menurut Apriyanto et al., (2013) kata hidrosefalus diambil dari ahasa Yunani yaitu Hydro yang berarti air, dan cephalus yang berarti epala. Secara umum hidrosefalus dapat didefinisikan sebagai suatu gangguan
pembentukan,
aliran,
maupun
penyerapan
dari
cairan
serebrospinal pada susunan saraf pusat, kondisi ini juga dapat diartikan sebagai gangguan hidrodinamik cairan serebrospinal. Hidrosefalus adalah
17
Gambar 6. Hidrosefalus (Apriyanto et al., 2013)
kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intracranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel dan dapat diakibatkan oleh gangguan reabsorpsi LCS (hidrisefalus komunikans) atau diakibatkan oleh obstruksi aliran LCS melalui ventrikel dan masuk ke dalam rongga subaraknoid (hidrosefalus non komunikans). Hidrosefalus dapat timbul sebagai hidrosefalus kongenital dapat terlihat sebagai pembesaran kepala segera setelah bayi lahir, atau terlihat sebagai ukuran kepala normal tetapi tumbuh cepat sekali pada ulan pertama setelah lahir. 3) Omfalokel Omfalakel adalah kelainan yang berupa protusi isi rongga perut ke luar dinding perut sekitar umbilicus, benjolan terbungkus dalam suatu kantong. Omfalokel terjadi akibat hambatan kembalinya usus ke rongga perut dari posisi ekstra-abdominal di daerah umbilicus yang terjadi dalam minggu keenam sampai ke sepuluh kehidupan janin. Terkadang kelainan ini bersamaan dengan terjadinya kelainan ongenital lain, misalnya sindrom down. Pada omfalokel yang kecil, umumnya isi kantong terdiri atas usus saja sedangkan pada yang besar dapat pula berisi hati atau limpa (Darussalam dan Thaib, 2103).
18
Gambar 7. Omfalokel (Darussalam dan Thaib, 2013)
4) Hernia Umbilikalis Hernia umbilikalis berbeda dengan omfalokel, yaitu kulit dan jaringan subkutis menutupi benjolan herniasi pada defek tersebut, pada otot rektus abdominis ditemukan adanya celah. Hernia umbilikalis bukanlah kelainan kongenital yang memerlukan tindakan dini, kecuali bila hiatus hernia cukup lebar dan lebih dari 5 cm. hernia umbilikalis yang kecil tidak memerlukan penatalaksanaan khusus, umumnya akan menutuo sendiri dalam beberapa bulan sampai 3 tahun (Faradilla dan Israr, 2009).
Gambar 8. Hernia Umbilikalis (Faradilla dan Israr, 2009)
2.2 Faktor-faktor penyebab kelainan perkembangan 2.2.1 Faktor lingkungan Menurut Sadler (2000) agen-agen infektif yang dapat menyebabkan kelainan perkembangan pada embrio adalah sebegai berikut. 1) Virus herpes Biasanya infeksi dipindahkan menjelang saat kelahiran, dan kelainan-kelainan adalah mikrosefali, mikroftalmus, dysplasia retina, pembengkakan hati dan limpa, 19
dan kebelakangan jiwa. Gejala penyakit ini baru berkembang pada minggu pertama kehidupan. Ciri-ciri penyakit virus ini adalah reaksi-reaksi peradangan. 2) Varisela (cacar air) Sekitar 20% kesempatan kelainan kongenital yang terjadi kalau ibu terinfeksi varisela pada trimaster pertama kehamilan. Cacatnya antara lain hypoplasia tungkai, keterbelakangan jiwa, dan atrofi otot. 3) HIV Virus ini menyebabkan penyakit imunodefiensi akuista (AIDS) dan bisa ditularkan kepada janin. Virus ini bukan merupakan teratogen besar, meskipun telah dikaitkan dengan mikrosefali, keterbelakangan jiwa, dan wajah yang abnormal. 4) Toksoplasmosis Infeksi parasit protozoa Toxoplasma gondii pada ibu, yang didapatkan dari daging yang kurang matang, binatang peliharaan (kucing), dan tanah yang tercemar oleh tinja yang menimbulkan cacat kongenital. Anak yang terserang dapat mengalami kalsifikasi otak, hidrosefalus, atau keterbelakangan jiwa. Khorioretinitis, mikroftalmos dan cacat mata lainnya. 5) Radiasi Efek radiasi dapat menimbulkan mikrosefali, cacat tengkorak, spina bifida, kebutaan, celah palatum, dan cacat anggota badan lain (ex: karena pengobatan wanita hamil dengan sinar x atau radium dosis tinggi). Sifat kelainannya tergantung pada dosis radiasi dan tingkat perkembangan janin saat pemaparan radiasi 6) Zat-zat kimia Peranan
penggunaan
zat–zat
kima
dan
obat-obatan farmasi
dalam
menimbulkan masalah kelainan ini sangat luas, relatif sedikit saja dari sekian banyak obat-obatan yang digunakan selama kehamilan benar benar diketahui bersifat teratogenik. Contoh yaitu tali talidomid, sejenis pil anti muntah dan obat tidur, cacat yang ditimbulkan adalah tidak terbentuknya atau kelanan yang nyata pada tulang panjang, atresia usus dan kelainan-kelainan jantung. obat lain yang berbahaya adalah aminopterin merupakan suatu antagonis asam folat, cacat yang ditimbulkan adalah anensefali, meningokel, hidrosefalus dan bibir sumbing. Dan
20
juga asam valproate menimbulkan cacat tuba neuralis dan jantung, cacat kraniofasial, dan tungkai (sindrom trimetadion)
Gambar 9. A. Amelia unilateral, B. Meromalia. Tangan menempel dibatang tubuh melalui sebuah tulang yang tidak beraturan. Kedua bayi ini dilahirkan oleh ibu yang minum talidomide Sumber: (Sadler, 2000)
Senyawa lain yang dapat merusak mudigah atau janin. Yang paling menonjol adalah propiltiourasil dan kalium jodida (pembesaran kelenjar gondok) dan keterbelakangan jiwa, streptomisin (tuli), sulfonamide (kernikterus), antidepresan imipramine (cacat anggota badan), tetrasiklin (kelainan tulang dan gigi), amfetamin (celah pada mulut dan kelainan jantung), dan kinin (tuli) 2.2.2 Faktor kromosom dan genetic Menurut Hardisman (2014) kecacatan lahir akibat kelainan gen atau kromosom dapat disebabkan oleh dua hal, pertama adanya bawaan sifat atau kelainan dari salah satu atau kedua orang tua. Kedua adanya kelainan akibat perubahan materi pembawa sifat (mutasi) yang tidak normal pada gen atau kromosom saat setelah terjadinya konsepsi. Kelainan akibat adanya mutasi abnormal adalah akibat terjadinya gangguan informasi pada pembentukan protein pada pembelahan sel dalam pertumbuhan. Gangguan tersrbut dapat berupa terhambatnya informasi genetic atau berlebihnya informasi yang diberikan, sehingga menghasilkan sel dengan gen yang berbeda. Pada sebagian besar proses mutasi menimbulkan gangguan atau kecacatan individu yang akan dilahirkan. Mutasi dapat terjadi pada tingkat gen atau pun pada kromosom (Hardisman, 2014). Kelainan kromosom bisa merupakan kelainan jumlah atau kelainan susunan dan merupakan penyebab penting malforasi kongenital dan abortus spontan (Sadler, 2000). Beberapa contoh kelainan bawaan akibat adanya mutasi gen 21
adalah (1) kelainan yang bersifat autosom dominan missal Marfan’s sindrom dan kelainan neurofibromatosis, (2) kelainan yang bersifat autosom resesif, missal hemokromatosis, fibrosa sistika, dan sickle cell anemia, (3) kelainan yang terikat kromosom X Duchenne’s muscular dystrophy, hemofili A dan B, dan buta warna hijau (Hardisman, 2014). Menurut Sadler (2000) beberapa contoh malformasi kongenital akibat kelainan jumlah kromosom antara lain sebagai berikut. 1) Trisomi 21 (sindrom down) Sindrom down biasanya disebabkan oleh adanya satu kopi ekstra kromosom 21 (trisomi 21). Secara klinis, ciri-ciri penderita sindrom down antara lain keterbelakangan pertumbuhan , kelainan kraniofasial, termasuk mata miring keatas , wajah mendatar, dan telinga kecil, cacat jantung dan hipotonia.
Gambar 10. A. B. dan C. Anak penderita sindrom down Sumber: (Sadler, 2000)
2) Trisomi 18 Penderita susunan kromosom ini memperlihatkan ciri-ciri antara lain keterbelakngan jiwa, cacat jantung kongenital, telinga yang letaknya rendah dan fleksi jari-jari dan tangan. Selain itu, penderita seringkali memperlihatkan rahang kecil (mikronagtia), anomaly ginjal, jari jari yang saling melekat dan malformasi susunan rangka. Bayi ini umumnya meninggal pada usia 2 bulan.
22
Gambar 11. Anak penderita trisomi 18. Bagian kepala belakang menonjol, bibir sumbing, mikronagtia, telinga letak rendah, dan satu atau beberapa jari dalam posisi fleksi. Sumber: (Sadler, 2000)
3) Trisomi 13 Kelainan sindrom ini adalah keterbelakangan jiwa, cacat jantung kongenital, tuli, bibir sumbing dan palatoskisis, dan cacat-cacat mata misalnya mikroftalmia, anoftalmia, dan koloboma. Pada umumnya bayi-bayi ini meninggal menjelang usia 3 bulan.
Gambar 12. A. Anak penderita trisomi 13-15. Bibir sumbing, celah langit-angit, dahi landau, dan mikroftalmia. B. Seringkali sindrom ini disertai dengan polidaktili Sumber: (Sadler, 2000)
4) Sindrom klinefelter Gambaran klinis, yang hanya ditemukan pada pria dan biasanya diketahui saat pubertas, adalah kemandulan, atrofi testis, hialinasi tubuli seminiferi, dan kebanyakan mengalami ginekomastia. Penyebab paling sering adalah tidak berpisahnya anggota pasangan homolog xx. Kadang-kadang penderita sindrom ini mempunyai 48 kromosom, yakni 44 otosom dan 4 kromosom seks (XXXY)
23
5) Sindrom turner Sindrom turner yang ditemukan pada wanita ditandai dengan tidak adanya ovarium (disgenesis gonad) dan tubuh yang pendek. Kelainan lain yang sering ditemukan adalah leher berselaput, limfedema anggota badan, cacat rangka, dan dada lebar dengan puting susu lebar.
Gambar 13. Anak penderita sindrom Turner. Ciri-ciri utamanya adalah leher berselaput, tubuh pendek, dada lebar, dan tidak terjadi maturasi seksual. Sumber: (Sadler, 2000)
6) Sindrom tripel x Penderita sindrom tripel x selalu infatil, dengan menstruasi yang sedikit sekali dan sedikit keterbelakangan jiwa. Mempunyai dua badan kromatin seks didalam selnya (Sadler, 2000)
24
Tabel: Teratogen yang berkaitan dengan Malformasi Manusia Sumber: (Sadler, 2000)
Tabel 1. Teratogen yang berkaitan dengan Malformasi Manusia Sumber: (Sadler, 2000)
25
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Kesimpulan yang bisa diambil dari perkembangan embrio ini adalah sebagai berikut. 1.
2.
makalah
tentang
kelainan
Berdasarkan patogenesis, kelainan kongenital diklasifikasikan sebagai malformasi, deformasi, disrupsi dan displasia. Neural Tube Defects (NTD) dapat dibagi menjadi Anensefalus, Ensefalokel, Meningokel, Spina bifida. Selain itu juga terdapat kelainan yang berasal dari gangguan gastrulasi, kelainan akibat gangguan neurulasi sekunder dan kelainan yang berasal dari gangguan perkembangan Post Neurulasi. Beberapa kelainan kongenital yang lain adalah Labiopalatoskisis, hidrosefalus, omfalokel dan hernia umbilikalis. Faktor penyebab kelainan perkembangan terbagi menjadi faktor lingkungan, di antaranya disebabkan arena virus herpes, varisela, HIV, Toksoplasmosis, Radiasi dan Zat kimia. Selain faktor lingkungan, juga dipengaruhi oleh faktor kromosom dan genetic.
3.2 Saran Mempelajari mengenai Kelainan Perkembangan Embrio seharusnya bisa membuka wawasan kita terutama para akademisi untuk mengetahui dan mempelajarinya, sehingga dapat menjadi bekal penelitian lebih lanjut khususnya untuk menangani kelainan perkembangan embrio.
26
DAFTAR PUSTAKA Apriyanto, Agung, R.P. dan Sari, F. 2013. Hidrosefalus Pada Anak. JMJ, 1(1):61—67. Deopujari Rashmi, Mangalgiri Ashutosh, Longia Asha Dixit , G.S. 2011. Neural Tube Defect Spectrum - Study of Craniorachischisis. People’s Journal of Scientific Research. Vol. 4(1) Dias MS. Pang D. 1995. Split Cord Malformations. Neurosurg Clin North Am 1995:6:339-358. Effendi, S.H. 2014. Penanganan Bayi dengan Kelainan Kongenital dan Konseling Genetik. Simposium Building Golden Generation Dies Natalis ke-57 Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Bandung, 20-21 September 2014. Etster AD, Branch CL. Transalar Sphenoidal Encephaloceles: Clinical and Radiologic Findings. Radiology 1989; 170:245-247 Faradilla, N. dan israr, Y.A. 2009. Hernia. Riau: Universitas Riau Frosch MP, Anthony DC, Girolami UD. The central nervous system. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, editors. Robbins and Cotran, Pathological Basis of Disease. 7th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Elsevier; 2004. p. 1353-4. Hardisman.2014. Pengantar Kesehatan Reproduksi Seksual Dan Embriologi. Yogyakarta: Gosyen Publishing Hoving EW. Frontoethmoidal Encephalocele, a Study of Their Pathogenesis. [Disertasi]. Groningen: Rijk Universiteit. 1993. Hussain SS. Anencephaly. J Pharm Sci Res 2012;4:1755. Kasai K, Nakayama S, Shik SS, Yoshida Y. Sex selection and recurrence of anencephaly. Int J Biol Res Pregnancy 1982;3:21-4 Kurtoglu Z, Uluutku MH, Yeginoglu G, Aktekin M, Camdeviren H. Morphometric evaluation of the cardiac ventricular capacity of anencephalic fetuses. Clin Anat 2004;17:487-91. Loho, J.N. 2013. Prevalensi Labioschisis di RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari 2011 – Oktober 2012. Jurnal e-Biomedik (eBM), 1(1):396-401. Martinez-Lage JF, Poza M, Sola M, Soler CL, Montalvo CG, et al. The Child with a Cephalocele: Etiology, Neuroimaging, and Outcome. Child’s Nerv. Syst; 1996; 12: 540-550. Pang D, Dias MS, Ahab-Barmada M. Split cord malformation. I. A unified theory of embryogenesis for double spinal cord malformations. Neurosurgery 1992;31:451–80
27
Pollock JA, Newton TH, Hoyt WF. Transsphenoidal and Transethmoidal Encephaloceles. Radiology I 968; 90:442-453.
28