KEGAWATDARURATAN MATERNAL DAN NEONATAL
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba, seringkali merupakan kejadian yang berrbahaya (Dorlan, 2011).
Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna menyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).
Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya (Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999).
Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu janin dan bayi baru lahir. (Saifuddin, 2002)
Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( usia 28 hari) membutuhkan pengetahuan yang dalam mengenali perubahan psikologis dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff, Brousseau, 2006).
2. Prinsip Dasar Penanganan Kegawatdaruratan
Kasus kegawatdaruratan obstetri ialah kasus yang apabila tidak segera ditangani akan berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janinya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir. Secara umum terdapat 4 penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir dari sisi obstetri, yaitu (1) perdarahan; (2) infeksi sepsis; (3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia; dan (4) persalinan macet (distosia). Persalinan macet hanya terjadi pada saat persalinan berlangsung, sedangkan ketiga penyebab yang lain dapat terjadi dalam kehamilan, persalinan, dan masa nifas. Kasus perdarahan yang dimaksud di sini adalah perdarahan yang diakibatkan oleh perlukaan jalan lahir mencakup juga kasus ruptur uteri. Selain keempat penyebab kematian tersebut, masih banyak jenis kasus kegawatdaruratan obstetrik baik yang terkait langsung dengan kehamilan dan persalinan, misalnya emboli air ketuban, kehamilan ektopik, maupun yang tidak terkait langsung dengan kehamilan dan persalinan, misalnya luka bakar, syok anafilaktik karena obat dan cidera akbita kecelakaan lalulintas.
Manifestasi klinik kasus kegawatdaruratan tersebut berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas.
1. Kasus perdarahan, dapat bermanifestasi mulai dari perdarahan berwujud bercak merembes, profus, sampai syok.
2. Kasus infeksi dan sepsis, dapat bermanifestasi mulai dari pengeluaran cairan pervagianam yang berbau, air ketuban hijau, demam, sampai syok.
3. Kasus hipertensi dan preeklampsia/eklampsia,dapat bermanifestasi mulai dari keluhan sakit/ pusing kepala, bengkak, penglihatan kabur, kejang-kejang, sampai koma/pingsan/ tidak sadar.
4. Kasus persalinan macet, lebih mudah dikenal apabila kemajuan persalinan tidak berlangsung sesuai dengan batas waktu yang normal, tetapi kasus persalinan macet ini dapat merupakan manifestasi ruptur uteri.
5. Kasus kegawatdaruratan lain, bermanifestasi klinik sesuai dengan penyebabnya.
Mengenal kasus kegawatdaruratan obstetri secara dini sangat penting agar pertolongan yang cepat dan tepat dapat dilakukan. Mengingat manifestasi klinik kasus kegawatdaruratan obstetri yang berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas, mengenal kasus tersebut tidak selalu mudah dilakukan, bergantung pada pengetahuan, kemampuan daya pikir dan daya analisis, serta pengalaman tenaga penolong. Kesalahan ataupun kelambatan dalam menentukan kasus dapat berakibat fatal. Dalam prinsip, padad saat menerima setiap kasus yang dihadapi harus dianggap gawatdarurat atau setidak-tidaknya dianggap berpotensi gawatdarurat, sampai ternyata setelah pemeriksaan selesai kasus itu ternyata bukan kasus gawatdarurat.
Dalam menanagani kasus kegawatdaruratan, penentuan permasalahan utama (diagnosa) dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang tidak panik, walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungkin dalam kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat, dan terarah. Walaupun prosedur pemeriksaan dan pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan hubungan antara dokter-pasien dalam menerima dan menangani pasien harus tetap diperhatikan.
3. Kegawatdaruratan Maternal
3.1.Perdarahan Postpartum
3.1.1. Definisi Perdarahan Postpartum
Secara tradisional perdarahan postpartum didefinisikan sebagai kehilangan darah sebanyak 500 mL atau lebih setelah selesainya kala III. Oleh karena itu, wanita melahirkan secara pervaginam mengeluarkan darah sebanyak itu atau lebih, ketika diukur secara kuantitatif. Hal ini dibandingkan dengan kehilangan darah sebanyak 1000 mL pada sectio cesaria, 1400 mL pada histerektomi cesaria elektif, dan 3000 sampai 3500 mL untuk histerektomi cesaria emergensi (Chestnut dkk, 1985; Clark and colleagues, 1984).
Perdarahan postpartum merupakan suatu komplikasi potensial yang mengancam jiwa pada persalinan pervaginam dan sectio cesaria. Meskipun beberapa penelitian mengatakan persalinan normal seringkali menyebabkan perdarahan lebih dari 500 mL tanpa adanya suatu gangguan pada kondisi ibu. Hal ini mengakibatkan penerapan definisi yang lebih luas untuk perdarahan postpartum yang didefinisikan sebagai perdarahan yang mengakibatkan tanda-tanda dan gejala-gejala dari ketidakstabilan hemodinamik, atau perdarahan yang mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik jika tidak diterapi. Kehilangan darah lebih dari 1000 mL dengan persalinan pervaginam atau penurunan kadar hematokrit lebih dari 10% dari sebelum melahirkan juga dapat dianggap sebagai perdarahan post partum.
Wanita dengan kehamilan normal yang mengakibatkan hipervolemia yang biasanya meningkatkan volume darah 30 – 60 %, dimana pada rata-rata wanita sebesar 1-2 L (Pitchard, 1965). Wanita tersebut akan mentoleransi kehilangan darah, tanpa ada perubahan kadar hematokrit postpartum, karena kehilangan darah pada saat melahirkan mendekati banyaknya volume darah yang ditambahkan saat kehamilan.
Saat ini perdarahan postpartum dibagi dalam 2 kategori yaitu :
a. Perdarahan post partum primer, bila perdarahan terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Perdarahan post partum sekunder, bila perdarahan terjadi setelah 24 jam pertama hingga 6 minggu setelah persalinan
3.1.2. Epidemiologi
3.1.2.1.Insiden
Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam yaitu 5-8 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk menggantikan darah yang hilang setelah persalinan.
3.1.2.2.Peningkatan Angka Kematian di Negara Berkembang
Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian maternal hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya layanan transfusi, kurangnya layanan operasi.
3.1.3. Etiologi
Kebanyakan penyebab perdarahan postpartum adalah atonia uteri, suatu kondisi dimana korpus uteri tidak berkontraksi dengan baik, mengakibatkan perdarahan yang terus menerus dari plasenta.
Faktor resiko dari atonia uteri adalah:
a) Uterus yang teregang berlebihan (misalnya pada multigravida, makrosomia, hidramnion)
b) Kelelahan uterus (misalnya pada percepatan atau persalinan yang lama, amnionitis)
c) Obstruksi uterus (misal pada retensio plasenta atau bagian dari janin, plasenta akreta)
Penyebab terbanyak kedua adalah trauma uterus, servik dan/atau vagina. Faktor resiko terjadinya trauma adalah.
a) Persalinan pada bayi besar
b) Instrumentasi atau manipulasi intrauterine (misalnya forsep, Vakum)
c) Persalinan pervaginam pada bekas operasi secsio cesarea.
d) Episiotomi
Gangguan koagulasi dan trombositopenia, yang terjadi sebelum atau pada saat kala II atau III, dapat berhubungan dengan perdarahan masif.
Trauma selama persalianan dapat mengakibatkan hematom pada perineum atau pelvis. Hematom ini dapat diraba dan seharusnya diduga bila tanda vital pasien tidak stabil dan sedikit atau tidak ada perdarahan luar.
Inversi uteri dapat dihubungkan dengan perdarahan kurang lebih sebanyak 2 L. Tidak ada penelitian yang menunjukkan hubungan antara tarikan pada tali pusat dan inverse urteri, meskipun banyak praktisi klinis mengindikasikan bahwa hubungan tersebut dapat terjadi.
Ruptur uteri dapat dihubungkan dengan perdarahan pervaginam yang sedikt tetapi harus dipertimbangkan bila terjadi nyeri abdomen yang hebat dan hemodinamik yang tidak stabil.
Faktor resiko lainnya perdarahan postpartum:
a) Preeklampsia
b) Riwayat perdarahan postpartum sebelumnya
c) Etnis Asia dan Hispanik
d) Nulipara atau multipara
Penyebab perdarahan postpartum disebabkan 4 T yaitu.
a. Tone (atonia uteri )
Atonia uteri dan kegagalan kontraksi dan relaksasi miometrium dapat mengakibatkan perdarahan yang cepat dan massif dan hipovolemik syok. Uterus yang terlalu meregang baik absolute maupun relative, adalah factor resiko mayor untuk atonia uteri. Uterus yang terlalu teregang dapat diakibatkan oleh gestasi multifetal, makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin ( misalnya hidrosefalus berat); suatu struktur uteri yang abnormal; atau gangguan persalinan plasenta atau distensi dengan perdarahan sebelum plasenta dilahirkan.
Kontraksi miometrium yang buruk dapat diakibatkan karena kelelahan akibat persalinan yang lama atau percepatan persalinan, khususnya jika distimulasi. Dapat juga merupakan hasil dari inhibisi kontraksi oleh obat seperti anestesi halogen, nitrat, AINS, MgSO4, beta-simpatomimetik, dan nifedipin. Penyebab lain plasenta letak rendah, toksin bakteri, hipoksia, dan hipotermia.
b. Trauma - Trauma Uteri, Servik, atau Vagina
Trauma dapat terjadi pada persalinan yang lama dan sulit, khususnya jika pasien memiliki CPD ( cefalopelvic disproportion) relatif atau absolute dan uterus telah distimulasi dengan oksitosin atau prostaglandin. Pengontrolan tekanan intrauterin dapat mengurangi risiko terjadinya trauma. Trauma juga dapat terjadi pada manipulasi janin intra maupun ekstra uterin. Risiko yang paling besar mungkin dihubungkan dengan versi internal dan ekstraksi pada kembar kedua; bagaimanapun, ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat versi eksternal. Akhirnya, trauma mengakibatkan usaha untuk mengeluarkan retensi plasenta secara manual atau dengan menggunakan instrument. Uterus harus selalu berada dalam kendali dengan cara meletakkan tangan di atas abdomen pada prosedur tersebut. Injeksi salin/oksitosin intravena umbilical dapat mengurangi kebutuhan teknik pengeluaran yang lebih invasif.
Laserasi servikal sering dihubungkan dengan persalinan menggunakan forceps dan serviks harus diinspeksi pada persalinan tersebut. Persalinan per vaginam dengan bantuan (forceps atau vakum) tidak boleh dilakukan tanpa adanya pembukaan lengkap. Laserasi servikal dapat terjadi secara spontan. Pada kasus ini, ibu sering tidak dapat menahan untuk tidak mengedan sebelum terjadi dilatasi penuh dari serviks. Terkadang eksplorasi manual atau instrumentasi dari uterus dapat mengakibatkan kerusakan serviks. Sangat jarang, serviks sengaja diinsisi pada posisi jam 2 dan/atau jam 10 untuk mengeluarkan kepala bayi yang terjebak pada persalinan sungsang (insisi Dührssen).
Laserasi dinding vagina sering dijumpai pada persalinan pervaginam operatif, tetapi hal ini terjadi secara spontan, khususnya jika tangan janin bersamaan dengan kepala. Laserasi dapat terjadi pada saat manipulasi pada distosia bahu. Trauma vagina letak rendah terjadi baik secara spontan maupun karena episiotomi.
c. Tissue (Retensio Plasenta Atau Bekuan Darah)
Kontraksi dan retraksi uterus menyebabkan terlepasnya plasenta. Pelepasan plasenta yang lengkap mengakibatkan retraksi yang berkelanjutan dan oklusi pembuluh darah yang optimal.
Retensi plasenta lebih sering bila plasenta suksenturiata atau lobus aksesoris. Setelah plasenta dilahirkan dan dijumpai perdarahan minimal, plasenta harus diperiksa apakah plasenta lengkap dan tidak ada bagian yang terlepas.
Plasenta memiliki kecenderungan untuk menjadi retensi pada kondisi kehamilan preterm yang ekstrim (khususnya < 24 minggu), dan perdarahan yang hebat dapat terjadi. Ini harus dijadikan pertimbangan pada persalinan pada awal kehamilan, baik mereka spontan ataupun diinduksi. Penelitian terakhir menganjurkan penggunaan misoprostol pada terminasi kehamilan trimester kedua mengurangi risiko terjadinya retensio plasenta dibandingkan dengan penggunaan prostaglandin intrauterine atau saline hipertonik. Sebuah percobaan melaporkan retensio plasenta membutuhkan dilatasi dan kuretase dari 3.4 % misoprostol oral dibandingkan dengan 22.4 % yang menggunakan prostaglandin intra-amnion (Marquette, 2005).
Kegagalan pelepasan menyeluruh dari plasenta terjadi pada plasenta akreta dan variannya. Pada kondisi ini plasenta lebih masuk dan lebih lengket. Perdarahan signifikan yang terjadi dari tempat perlekatan dan pelepasan yang normal menandakan adanya akreta sebagian. Akreta lengkap dimana seluruh permukaan plasenta melekat abnormal, atau masuk lebih dalam (plasenta inkreta atau perkreta), muungkin tidak menyebabkan perdarahan masif secara langsung, tapi dapat mengakibatkan adanya usaha yang lebih agresif untuk melepaskan plasenta. Kondisi seperti ini harus dipertimbangkan jika plasenta terimplantasi pada jaringan parut di uterus sebelumya, khususnya jika dihubungkan dengan plasenta previa.
Semua pasien dengan plasenta previa harus diinformasikan risiko terjadinya perdarahan post partum yang berat, termasuk kemungkinan dibutuhkannya transfuse dan histerektomi. Darah mungkin dapat menahan uterus dan mencegah terjadinya kontraksi yang efektif.
Akhirnya, darah yang tertinggal dapat mengakibatnya distensi uterus dan menghambat kontraksi yang efektif.
d. Trombosis
Pada awal periode postpartum, gangguan koagulasi dan platelet biasanya tidak selalu mengakibatkan perdarahan yang massif, hal ini dikarenakan adanya kontraksi uterus yang mencegah terjadinya perdarahan (Baskett,1999). Fibrin pada plasenta dan bekuan darah pada pembuluh darah berperan pada awal masa postpartum, gangguan padahal ini dapat menyebabkan perdarahan postpartum tipe lambat atau eksaserbasi perdarahan karena sebab lain terutama paling sering disebabkan trauma.
Abnormalitas dapat terjadi sebelumnya atau didapat. Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit lain yang menyertai, seperti ITP atau HELLP sindrom (hemolisis, peningkatan enzim hati, dan penurunan platelet), abruptio plasenta, DIC, atau sepsis. Kebanyakan hal ini terjadi bersamaan meskipun tidak didiagnosa sebelumnya.
3.1.4. Patofisiologi
Dalam masa kehamilan, volume darah ibu meningkat kurang lebih 50% (dari 4 L menjadi 6 L). Volume plasma meningkat melebihi jumlah total sel darah merah, yang mengakibatkan penurunan konsentrasi hemoglobin dan hematokrit. Peningkatan volume darah digunakan untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari uteroplasenta dan persiapan terhadap hilangnya darah saat persalinan (Cunningham, 2001).
Diperkirakan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 mL/menit, yang berarti 10-15% dari curah jantung. Kebanyakan dari aliran ini melewati plasenta yang memiliki resistensi yang rendah. Pembuluh darah uterus menyuplai sisi plasenta melewati serat miometrium. Ketika serat ini berkontraksi pada saat persalinan, terjadi retraksi miometrium. Retraksi merupakan karakteristik yang unik pada otot uterus untuk melakukan hal tersebut serat memendek mengikuti tiap kontraksi. Pembuluh darah terjepit pada proses kontraksi ini, dan normalnya perdarahan akan terhenti. Hal ini merupakan 'ligasi hidup' atau 'jahitan fisiologis' dari uterus (Baskett,1999).
Atonia uteri adalah kegagalan otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan beretraksi. Hal ini merupakan penyebab penting dari Perdarahan post partum dan biasanya terjadi segera setelah bayi dilahirkan hingga 4 jam setelah persalinan. Trauma traktus genitalia (uterus, serviks, vagina, labia, klitoris) pada persalinan mengakibatkan perdarahan yang lebih banyak dibandingkan pada wanita yang tidak hamil karena adanya peningkatan suplai darah terhadap jaringan ini. Trauma khususnya berhubungan dengan persalinan, baik persalinan pervaginam maupun persalinan sesar.
3.1.5. Gambaran Klinis
3.1.5.1.Anamnesa
Selain menanyakan hal umum tentang periode perinatal, tanyakan tentang episode perdarahan postpartum sebelumnya, riwayat seksio sesaria, paritas, dan riwayat fetus gandaatau polihidramnion.
a) Tentukan jika pasien atau keluarganya memiliki riwayat gangguan koagulasi atau perdarahan massif dengan prosedur operasi atau menstruasi.
b) Dapatkan informasi mengenai pengobatan, dengan pengobatan hipertensi (calcium-channel blocker) atau penyakit jantung ( missal digoxin, warfarin). Informasi ini penting jika koagulopati dan pasien memerlukan transfusi.
c) Tentukan jika plasenta sudah dilahirkan.
Tabel 1. Perdarahan Post Partum
Kehilangan Darah
Tekanan Darah (Sistolik)
Tanda dan Gejala
Derajat Syok
500-1000 mL
(10-15%)
Normal
Palpitasi, Takikardi, Gelisah
Terkompensasi
1000-1500 mL
(15-25%)
Menurun ringan
(80-100 mm Hg)
Lemah, Takikardi, Berkeringat
Ringan
1500-2000 mL
(25-35%)
menurun sedang (70-80 mm Hg)
Sangat lemah, Pucat, oliguria
Sedang
2000-3000 mL
(35-50%)
Sangat turun
(50-70 mm Hg)
Kolaps, Sesak nafas, Anuria
Berat
Pendeteksian dan pendiagnosisan yang cepat dari kasus perdarahan postpartum sangat penting untuk keberhasilan penatalaksanaan. Resusitasi dan pencarian penyebab harus dilaksanakan dengan cepat sebelum terjadi sekuele dari hipovolemia yang berat.
3.1.6. Pemeriksaan Penunjang
3.1.6.1.Laboratorium
a) Darah Lengkap
1) Untuk memeriksa kadar Hb dan hematokrit
2) Perhatikan adanya trombositopenia
b) PT dan aPTT diperiksa untuk menentukan adanya gangguan koagulasi.
c) Kadar fibrinogen diperiksa untuk menilai adanya konsumtif koagulopati. Kadarnya secara normal meningkat dari 300-600 pda kehamilan, pada kadar yang terlalu rendah atau dibawah normal mengindikasikan adanya konsumtif koagulopati.
3.1.6.2.Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu.
a) USG dapat membantu menemukan abnormalitas dalam kavum uteri dan adanya hematom.
b) Angiografi dapat digunakan pada kemungkinan embolisasi dari pembuluh darah.
3.1.6.3.Pemeriksaan Lain
Tes D-dimer (tes monoklonal antibodi) untuk menentukan jika kadar serum produk degradasi fibrin meningkat. Penemuan ini mengindikasikan gangguan koagulasi.
3.1.7. Manajemen
Tujuan utama pertrolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum adalah menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepa mungkin.
Terapi pada pasien dengan hemorraghe postpartum mempunyai 2 bagian pokok :
a) Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan
Pasien dengan hemorraghe postpartum memerlukan penggantian cairan dan pemeliharaan volume sirkulasi darah ke organ – organ penting. Pantau terus perdarahan, kesadaran dan tanda-tanda vital pasien.
Pastikan dua kateler intravena ukuran besar (16) untuk memudahkan pemberian cairan dan darah secara bersamaan apabila diperlukan resusitasi cairan cepat.
1. Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer lactate
2. Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell
3. Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urin (dikatakan perfusi cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin dalam 1jam 30 cc atau lebih)
b) Manajemen penyebab hemorraghe postpartum
Tentukan penyebab hemorraghe postpartum :
1) Atonia uteri
Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu tangan di fundus uteri dan lakukan massase untuk mengeluarkan bekuan darah di uterus dan vagina. Apabila terus teraba lembek dan tidak berkontraksi dengan baik perlu dilakukan massase yang lebih keras dan pemberian oxytocin. Pengosongan kandung kemih bisa mempermudah kontraksi uterus dan memudahkan tindakan selanjutnya. Lakukan kompres bimanual apabila perdarahan masih berlanjut, letakkan satu tangan di belakang fundus uteri dan tangan yang satunya dimasukkan lewat jalan lahir dan ditekankan pada fornix anterior. Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan apabila setelah pemberian oxytocin dan kompresi bimanual gagal menghentikan perdarahan, pilihan berikutnya adalah ergotamine.
2) Sisa plasenta
Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah kompresi bimanual ataupun massase dihentikan, bersamaan pemberian uterotonica lakukan eksplorasi. Beberapa ahli menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini sulit dilakukan tanpa general anestesi kecuali pasien jatuh dalam syok. Jangan hentikan pemberian uterotonica selama dilakukan eksplorasi. Setelah eksplorasi lakukan massase dan kompresi bimanual ulang tanpa menghentikan pemberian uterotonica.
Pemberian antibiotic spectrum luas setelah tindakan ekslorasi dan manual removal.
Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus tidak baik bisa dipertimbangkan untuk dilakukan laparatomi. Pemasangan tamponade uterrovaginal juga cukup berguna untuk menghentikan perdarahan selama persiapan operas
3) Trauma jalan lahir
Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila uterus sudah berkontraksi dengan baik tapi perdarahan terus berlanjut. Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk mencari perlukaan jalan lahir dengan penerangan yang cukup. Lakukan reparasi penjahitan setelah diketahui sumber perdarahan, pastikan penjahitan dimulai diatas puncak luka dan berakhir dibawah dasar luka. Lakukan evaluasi perdarahan setelah penjahitan selesai.
Hematom jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila terjadi laserasi pembuluh darah dibawah mukosa, penetalaksanaannya bisa dilakukan incise dan drainase.Apabila hematom sangat besar curigai sumber hematom karena pecahnya arteri, cari dan lakukan ligasi untuk menghentikan perdarahan.
4) Gangguan Pembekuan Darah
Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture uteri, sisa plasenta dan perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang baik mak kecurigaan penyebab perdarahan adalah gangguan pembekuan darah. Lanjutkan dengan pemberian produk darah pengganti ( trombosit,fibrinogen).
4. Kegawatdaruratan Neonatal
Salah satu kegawatdaruratan neonatal adalah hipotermi.
4.1.Hipotermia pada Bayi Baru Lahir
4.1.1. Definisi
Hipotermia adalah suatu kondisi di mana mekanisme tubuh mengatasi tekanan suhu dingin. Hipotermia juga dapat didefinisikan sebagai suhu bagian dalam tubuh di bawah 35 °C. Tubuh manusia mampu mengatur suhu pada zona termonetral , yaitu antara 36,5-37,5 °C. Di luar suhu tersebut, respon tubuh untuk mengatur suhu akan aktif menyeimbangkan produksi panas dan kehilangan panas dalam tubuh. (Rukiyah dkk, 2010:283 ).
Bayi Hipotermi adalah bayi dengan suhu badan di bawah normal. Adapun suhu normal bayi adalah 36,5-37,5 ºC (Suhu axila). Gejala awal hipotermi apabila suhu awal <36 ºC atau kedua kaki dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka bayi sudah mengalami hipotermi sedang (suhu 32-36ºC). Disebut hipotermi berat bila suhu <32 ºC, diperlukan termometer ukuran rendah (low reading thermometer ) yang dapat mengukur sampai 25 ºC.
Hipotermia dapat terjadi dengan cepat pada bayi yang sangat kecil atau bayi yang diresusitasi atau dipisahkan dari ibu, dalam kasus-kasus ini suhu dapat cepat turun <35˚C ( Sarwono, 2006 : 288).
Hipotermi pada BBL adalah suhu di bawah 36,5 ºC, yang terbagi atas : hipotermi ringan (cold stres) yaitu suhu antara 36-36,5 ºC, hipotermi sedang yaitu antara 32-36ºC, dan hipotermi berat yaitu suhu tubuh <32 ºC. (Yunanto, 2008:40).
4.1.2. Klasifikasi Hipotermi pada Bayi Baru Lahir
Menurut (Yunanto, 2008:42) penurunan suhu tubuh dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Anamnesa
Pemeriksaan
Klasifikasi
a. Bayi terpapar suhu lingkungan yang rendah
b. Waktu timbulnya kurang dari 2 hari
a. Suhu tubuh 32˚ C – 36,4˚ C
b. Gangguan napas
c. Denyut jantung <100 kali permenit
d. Malas minum
e. letargi
Hipotermia sedang
a. bayi terpapar suhu lingkungan yang rendah
b. waktu timbulnya kurang dari 2 jam
a. Suhu tubuh < 32˚ C
b. Tanda hipotermia sedang
c. Kulit teraba keras
d. Napas pelan dan dalam
Hipotermia berat
4.1.3. Diagnosis
Menurut (Yunanto,2008:41) diagnosis hipotermi dapat ditegakkan dengan pengukuran suhu baik suhu tubuh atau kulit bayi. Pengukuran suhu ini sangat bermanfaat sebagai salah satu petunjuk penting untuk deteksi awal adanya suatu penyakit, dan pengukuranya dapat dilakukan melalui aksila, rektal atau kulit. Melalui aksila merupakan prosedur pengukuran suhu bayi yang dianjurkan, oleh karena mudah, sederhana dan aman. Tetapi pengukuran melalui rektal sangat dianjurkan untuk dilakukan pertama kali pada semua BBL, oleh karena sekaligus sebagai tes skrining untuk kemungkinan adanya anus imperforatus. Pengukuran suhu rektal tidak dilakukan sebagai prosedur pemeriksaan yang rutin kecuali pada bayi-bayi sakit.
4.1.4. Etiologi
Perinatal adalah bayi yang baru mengalami proses kelahiran dan harus menyesuaikan diri dari kehidupan intera uterin ke kehidupan ekstra uterin selama 28 hari. Empat aspek transisi pada bayi baru lahir dimasa perinatal yang cepat berlangsung adalah sistem pernapasan, sirkulasi, dan kemampuan menghasilkan sumber glukosa. (Rukiyah dkk, 2010:2).
Penyebab terjadinya hipotermi pada BBL di masa perinatal yaitu:
a. jaringan lemak subkutan tipis,
b. perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan besar,
c. bayi baru lahir tidak mempunyai respon shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan,
d. asfiksia yang hebat,
e. resusitasi yang ekstensif,
f. lambat sewaktu mengeringkan bayi,
g. distress pernapasan,
h. sepsis
i. pada bayi prematur atau bayi kecil memiliki cadangan glukosa yang sedikit.
Neonatus mudah sekali terkena hipotermi yang disebabkan oleh:
a) Pusat pengaturan suhu tubuh pada bayi belum berfungsi dengan sempurna
b) Permukaan tubuh bayi relatif lebih luas
c) Tubuh bayi terlalu kecil untuk memproduksi dan menyimpan panas
d) Bayi belum mampu mengatur posisi tubuh dan pakainnya agar dia tidak kedinginan
e) Keadaan yang menimbulkan kehilangan panas yang berlebihan, seperti lingkungan dingin, basah, atau bayi yang telanjang,cold linen, selama perjalanan dan beberapa keadaan seperti mandi, pengambilan sampel darah, pemberian infus, serta pembedahan. Juga peningkatan aliran udara dan penguapan.
f) Ketidaksanggupan menahan panas, seperti pada permukaan tubuh yang relatif luas, kurang lemak, ketidaksanggupan mengurangi permukaan tubuh, yaitu dengan memfleksikan tubuh dan tonus otot yang lemah yang mengakibatkan hilangnya panas yang lebih besar pada BBLR.
g) Kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti defisiensi brown fat, misalnya bayi preterm, kecil masa kelahiran, kerusakan sistem syaraf pusat sehubungan dengan anoksia, hemoragi intra kranial, hipoksia, dan hipoglikemia.
Hipotermi dapat terjadi setiap saat apabila suhu disekelilingi bayi rendah dan upaya mempertahankan suhu tubuh tidak di terapkan secara tepat,terutama pada masa stabilisasi yaitu:6-12 jam pertama setelah lahir.
Untuk memfungsikan otak memerlukan glukosa dalam jumlah tertentu. Pada BBL jumlah glukosa akan turun dalam waktu cepat. BBL yang tidak dapat mencerna glukosa dari glikogen dalam hal ini terjadi bila bayi mempunyai persediaan glikogen cukup yang disimpan dalam hati. Koreksi penurunan kadar gula darah dapat dilakukan dengan 3 cara : (1) melalui penggunaan ASI, (2) melalui penggunaan cadangan glikogen, (3) melalui pembuatan glukosa dari sumber lain terutama lemak. (Rukiyah dkk, 2010:283).
4.1.5. Mekanisme Hilangnya Panas pada Bayi Baru Lahir
Menurut ( Yunanto, 2008:44 ) BBL dapat mengalami dapat mengalami hipotermi melalui beberapa mekanisme, yang berkaitan dengan kemampuan tubuh untuk menjaga keseimbanganantara produksi panas dan kehilangan panas yaitu:
1. Penurunan produksi panas.
Hal ini dapat disebabkan kegagalan dalam sistem endokrin dan terjadi penurunan basal metabolisme tubuh, sehingga timbul proses penurunan produksi panas, misalnya pada keadaan disfungsi kelenjar tiroid, adrenal ataupun pituitari.
2. Peningkatan panas yang hilang
Terjadi bila panas tubuh berpindah ke lingkungan sekitar, dan tubuh kehilangan panas. Adapun mekanisme tubuh kehilangan panas dapat terjadi secara:
1) Konduksi
Perpindahan panas yang terjadi sebagai akibat perbedan suhu antara kedua obyek. Kehilangan panas terjadi saat terjadi kontak langsung antara kulit BBL dengan permukaan yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas terjadipada BBL yang berada pada permukaan/alas yang dingin, seperti pada waktu proses penimbangan.
2) Konveksi
Transfer panas terjadi secara sederhana dari selisih suhu antara permukaankulit bayi dan aliran udara yang dingin di permukaan tubuh bayi. Sumber kehilangan panas disini dapat berupa: inkubator dengan jendela yang terbuka,atau pada waktu proses transportasi BBL ke rumah sakit.
3) Radiasi
Perpindahan suhu dari suatu objek yang dingin, misalnya dari bayi dengan suhu yang hangat dikelilingi lingkungan yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas dapat berupa suhu lingkungan yang dingin atau suhu inkubator yang dingin.
4) Evaporasi
Panas terbuang akibat penguapan, melalui permukaan kulit dan traktus repiratoris. Sumber kehilangan panas dapat berupa BBL yang basah setelah lahir,atau pada waktu dimandikan.
3. Kegagalan Termoregulasi
Kegagalan termoregulasi secara umum disebabkan kegagalan hipotalamus dalam menjalankan fungsinya dikarenakan berbagai penyebab. Keadaan hipoksia intrauterin/saat persalinan/post partum, defek neurologik dan paparan obat prenatal (analgesik/anestesi) dapat menekan respons neurologik bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi sepsis akan mengalami masalah dalam pengaturan suhu dapat menjadi hipotermi atau hipertermi.
4.1.6. Akibat yang dapat Ditimbulkan Hipotermi
Akibat yang ditimbulkan antara lain.
a. Hipoglikemia-sidosis metabolik
b. Karena vasokontriksi perifer dengan metabolisme anaerob
c. Kebutuhan oksigen yang meningkat
d. Metabolisme meningkat sehingga metabolisme terganggu
e. Gangguan pembekuan darah sehingga meningkatkan pulmonal yang menyertai hipotermi berat
f. Shock
g. Apnea
h. Perdarahan Intra Ventrikuler
i. Hipoksemia, dan berlanjut dengan kematian
4.1.7. Ciri-ciri Hipotermi pada Bayi Baru Lahir Normal
Menurut (Rukiyah dkk, 2010:287) beberapa ciri jika seorang bayi terkena hipotermi antara lain :
a. Bayi menggigil (walau biasanya ciri ini tidak mudah terlihat pada bayi kecil)
b. Kulit anak terlihat belang-belang, merah campur putih atau timbul bercak-bercak.
c. Anak terlihat apatis atau diam saja.
d. Gerakan bayi kurang dari normal.
e. Lebih parah lagi jika anak menjadi biru yang bisa dilihat pada bibir dan ujung-ujung jarinya.
4.1.8. Penanganan Hipotermia Secara Umum untuk Bayi Baru Lahir
Ada prinsip dasar untuk mempertahankan suhu tubuh bayi baru lahir,yaitu.
a) Mengeringkan bayi segera setelah lahir
Bayi lahir dengan tubuh basah oleh air ketuban. Aliran udara melalui jendela/pintu yang terbuka akan mempercepat terjadinya penguapan dan bayi lebih cepat kehilangan panas tubuh. Akibatnya dapat timbul serangan dingin (cold stress) yang merupakan gejala awal hipotermia. Bayi kedinginan biasanya tidak memperlihatkan gejala menggigil oleh karena kontrol suhunya masih belum sempurna. Hal ini menyebabkan gejala awal hipotermia seringkali tidak terdeteksi oleh ibu atau keluarga bayi atau penolong persalinan.
Untuk mencengah terjadinya serangan dingin setiap bayi lahir harus segera dikeringkan dengan handuk yang kering dan bersih (sebaiknya handuk tersebut dihangatkan terlebih dahulu). Mengeringkan tubuh bayi harus dilakukan dengan cepat.dimulai dari kepala kemudian seluruh tubuh bayi. Handuk yang basah harus diganti dengan handuk lain yang kering dan hangat.
b) Setelah tubuh bayi kering segera dibungkus dengan selimut,diberi tepi atau tutup kepala,kaos tangan dan kaki. Selanjutnya bayi diletakkan telungkup di atas dada ibu untuk mendapatkan kehangatan dari dekapan ibu.
c) Memberi ASI sedini mungkin segera setelah melahirkan agar dapat merangsang rooting refleks dan bayi mendapat kalori.
d) Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu merujuk.
e) Memberikan penghangatan pada bayi baru lahir secara mandiri.
f) Melatih semua orang yang terlibat dalam pertolongan persalinan.
g) Menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh bayi stabil.
Menurut (Yunanto, 2008:45) kesempatan untuk bertahan hidup pada BBL ditandai dengan keberhasilan usahanya dalam mencegah hilangnya panas dari tubuh.Untuk itu, BBL haruslah dirawat dalam lingkungan suhu netral.
Menurut (Rukiyah dkk, 2010:290) bayi yang mengalami hipotermia biasanya mudah sekali meninggal. Tindakan yang harus dilakukan adalah segera menghangatkan bayi di dalam incubator atau melalui penyinaran lampu. Cara lain yang sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh setiap ibu adalah menghangatkan bayi melalui panas tubuh ibu. Bayi diletakkan telungkup di dada ibu agar terjadi kontak kulit langsung ibu dan bayi. Untuk menjaga agar bayi tetap hangat, tubuh ibu dan bayi harus berada di dalam satu pakaian (merupakan teknologi tepat guna baru) disebut sebagai metoda kangguru. Sebaiknya ibu menggunakan pakaian longgar berkancing depan. Bila tubuh bayi masih dingin, gunakan selimut atau kain hangat yang disetrika terlebih dahulu, yang digunakan untuk menutupi tubuh bayi dan ibu.Lakukanlah berulang kali sampai tubuh bayi hangat. Biasanya bayi hipotermia menderita hipoglikemia , sehingga bayi harus diberi ASI sedikit-sedikit sesering mungkin. Bila bayi tidak menghisap, diberi infus glukosa 10% sebanyak 60-80 ml/kgper hari.
4.1.9. Metode Kanguru untuk Merawat Bayi Hipotermi
Menurut Agustinayanto (2008) metode kanguru atau perawatan bayi lekat ditemukan sejak tahun 1983, sangat bermanfaat untuk merawat bayi yang lahir dengan hipotermi baik selama perawatan di rumah sakit ataupun di rumah. Perawatan bayi dengan metode kanguru bisa digunakan sebagai pengganti perawatan dengan inkubator. Caranya, dengan mengenakan popok dan tutup kepala pada bayi yang baru lahir. Kemudian, bayi diletakkan di antara payudara ibu dan ditutupi baju ibu yang berfungsi sebagai kantung kanguru. Posisi bayi tegak ketika ibu berdiri atau duduk,dan tengkurap atau miring ketika ibu berbaring. Hal ini dilakukan sepanjang hari oleh ibu atau pengganti ibu (ayah atau anggota keluarga lain). Suhu optimal didapat lewat kontak langsung kulit ibu dengan kulit bayi (skin to skin contact). Suhu ibu merupakan sumber panas yang efisien dan murah. Kontak erat dan interaksi ibu-bayi akan membuat bayi merasa nyaman dan aman, serta meningkatkan perkembanganpsikomotor bayi sebagai reaksi rangsangan sensoris dari ibu ke bayi.
Keuntungan yang di dapat dari metode kanguru bagi perawatan bayi yaitu.
a. Meningkatkan hubungan emosi ibu anak
b. Menstabilkan suhu tubuh, denyut jantung, dan pernafasan bayi.
c. Meningkatkan pertumbuhan dan berat badan bayi dengan lebih baik.
d. Mengurangi stres pada ibu dan bayi. Mengurangi lama menangis pada bayi.
e. Memperbaiki keadaan emosi ibu dan bayi.
f. Meningkatkan produksi asi.
g. Menurunkan resiko terinfeksi selama perawatan di rumah sakit.
h. Mempersingkat masa rawat di rumah sakit
Kriteria bayi untuk metode kanguru:
a. Bayi dengan berat badan 2000 g
b. Tidak ada kelainan atau penyakit yang menyertai.
c. Refleks dan kordinasi isap dan menelan yang baik.
d. Perkembangan selama di inkubator baik.
e. Kesiapan dan keikutsertaan orang tua, sangat mendukung dalam keberhasilan.
Cara Melakukan Metode Kanguru
a. Beri bayi pakaian, topi, popok dan kaus kaki yang telah dihangatkan lebih dahulu.
b. Letakkan bayi di dada ibu, dengan posisi tegak langsung ke kulit ibu dan pastikan kepala bayi sudah terfiksasi pada dada ibu. Posisikan bayi dengan siku dan tungkai tertekuk, kepala dan dada bayi terletak di dada ibu dengan kepala agak sedikit mendongak.
c. Dapat pula memakai baju dengan ukuran lebih besar dari badan ibu,dan bayi diletakkan di antara payudara ibu, baju ditangkupkan, kemudian ibu memakai selendang yang dililitkan di perut ibu agar bayi tidak terjatuh.
d. Bila baju ibu tidak dapat menyokong bayi , dapat digunakan handuk atau kain lebar yang elastik atau kantong yang dibuat sedemikian untuk menjaga tubuh bayi.
e. Ibu dapat beraktivitas dengan bebas, dapat bebas bergerak walau berdiri,duduk, jalan, makan dan mengobrol. Pada waktu tidur, posisi ibu setengah duduk atau dengan jalan meletakkan beberapa bantal dibelakang punggung ibu
f. Bila ibu perlu istirahat, dapat digantikan oleh ayah atau orang lain.
g. Dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan persiapan ibu, bayi, posisi bayi,pemantauan bayi, cara pamberian asi, dan kebersihan ibu dan bayi.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya (Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999).
Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( usia 28 hari) membutuhkan pengetahuan yang dalam mengenali perubahan psikologis dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff, Brousseau, 2006).
Kasus kegawatdaruratan obstetri dan noenatal apabila tidak segera ditangani akan berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janinya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir. Secara umum terdapat 4 penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir dari sisi obstetri, yaitu (1) perdarahan; (2) infeksi sepsis; (3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia; dan (4) persalinan macet (distosia). Terdapat lebih dari ¾ ( tiga perempat) kematian noenatal disebabkan kesulitan bernapas saat lahir ( asfiksia), infeksi, komplikasi lahir, dan berat badan lahir yang rendah.
B. Saran
Kasus kegawatdaruratan merupakan hal yang saat ini mendapat perhatian yang begitu besar. Oleh karena itu, diharapkan seluruh pihak memberikan kontribusinya dalam merespon kasus kegawatdaruratan ini. Bagi mahasiswa, sudah seyogyanya memberikan peran dengan mempelajari dengan sungguh-sunggu kasus-kasus kegawatadaruratan dan memaksimalkan keterampilan dalam melakukan penanganan kegawatdaruratan yang berada dalam koridor wewenang bidan.
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, F.Gary, Norman F. Gant, et all. Williams Obstetrics international
edition. 21 st edition. Page 619-663.
Bobak, Lowdermilk, & Jensen. (2005). Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi
4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wiknjosastro Hanifa, Ilmu Kebidanan. 2009. Jakarta : PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardo.
Murray, Sharon Smith & Emily Slone McKinney. (2007). Foundations of
Maternal-Newborn Nursing 4th Edition. Singapore: Saunders.
Ambarwati, 2008. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Mitra Cendikia.
http://nurramayanti.blogspot.com/2013/04/kegawatdaruratan-maternal-dan-neonatal.html