MAKALAH REPRODUKSI TERNAK Kebuntingan
Disusun oleh: Kelas: D Kel: 9
Dedi Suranta Pandia
200110130332 200110130332
Etya Nurrimas G
200110130333 200110130333
Risa Gunawan
200110130334 200110130334
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN SUMEDANG 2014
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kebuntingan adalah keadaan dimana anak sedang berkembang didalam uterus seekor hewan betina. Suatu interval waktu, yang disebut periode kebuntingan (gestasi) terentang dari saat pembuahan (fertilisasi) ovum sampai lahirnya anak. Hal ini mencakup fertilisasi atau persatuan antara ovum dan sperma. Terjadinya fertilisasi adalah hal yang sangat penting. Sperma haruslah berada didalam saluaran reproduksi betina, uterus untuk suatu jangka waktu tertentu agar dapat membuahi ovum secara efektif. Hal ini disebut kapasitasi spermatozoa. Kapasitasi mencakup pemecahan parsial akrosom bagian luar dan membran plasma, sehoingga enzim akrosom dapat dilepaskan. Enzim-enzim tersebut selanjutnya dapat menimbulkan zona pelusida. Kapasitasi juga mengaktfkan metabolisme sel-sel sperma dengan menaikan laju glikolisis dalam sel dan penaikan metabolisme oksidatif. Kapasitasi dimuali didalam uterus dan berakhir didalam oviduk. Ketahanan kebuntingan pada hewan dan diakhirnya dengan kelahiran sebagian besar dipengaruhi oleh keseimbangan laju kerja hormon. Deteksi kebuntingan dini pada ternak sangat penting bagi sebuah manajemen reproduksi sebagaimana ditinjau dari segi ekonomi. Mengetahui bahwa ternaknya
bunting atau tidak mempunyai nilai ekonomis yang perlu
dipertimbangkan sebagai hal
penting bagi manajemen reproduksi yang harus
diterapkan. Pemilihan metoda tergantung pada spesies, umur kebuntingan, biaya, ketepatan dan kecepatan diagnosa. Pemeriksaan kebuntingan adalah salah satu cara dengan menggunakan metode khusus untuk menentukan keadaan hewan
bunting atau tidak. Maka dari itu penting untuk kita mengetahui bagaimana proses kebuntingan pada ternak. 1.2
1.3
Rumusan Masalah
1.
Apa itu kebuntingan?
2.
Bagaimanakah cara mendeteksi dan tanda ternak yang bunting?
3.
Bagaimanakah periode perkembangan embrio?
4.
Apa itu plasenta?
5.
Bagaimana perubahan organ reproduksi ternak saat bunting?
6.
Bagaimana penanganan pada ternak yang bunting?
7.
Apa saja hormon yang berperan dalam proses kebuntingan?
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui definisi kebuntingan.
2.
Mengetahui cara mendeteksi dan tanda ternak yang bunting.
3.
Mengetahui periode perkembangan embrio.
4.
Mengetahui apa itu plasenta.
5.
Mengetahui perubahan organ reproduksi ternak saat bunting.
6.
Mengetahui cara penanganan pada ternak yang bunting.
7.
Mengetahui kebuntingan.
hormon
apa
saja
yang
berperan
dalam
proses
II PEMBAHASAN
2.1
Definisi Kebuntingan
Kebuntingan merupakan periode yang dimulai dengan fertilisasi dan diakhiri dengan kelahiran. Rata-rata lama periode kebuntingan pada babi adalah 114 hari, domba 148 hari, kambing 149 hari, sapi 281 hari, dan kuda 337 hari. Selama kebuntingan awal, embrio melayang bebas pertama di dalam uviduct dan kemudian di dalam uterus. Nutrisi embrio berasal dari dalam sitoplasmanya dan dengan penyerapan dari susu uterus (uterine milk). Setelah plasentasi terjadi (embrio melekat pada uterus), embrio memperoleh makanan dan membuang produk buangan melalui darah induk. Plasentasi setelah fertilisasi terjadi sekitar 12 – 20 hari pada babi, 18 – 20 hari pada domba, 30 – 35 hari pada sapi, dan 50 – 60 hari pada kuda. (Yusuf, 2012) 2.1.1
Periode Kebuntingan
Selama periode kebuntingan sel-sel tunggal membelah dan berkembang menjadi organisasi yang lebih tinggi yaitu individu. Tingkat kematian periode ini, yaitu ovum, embrio, maupun fetus lebih tinggi dibanding setelah individu lahir. Keluarnya fetus atau embrio yang mati dan yang ukurannya dapat dikenali disebut abortus. Keluarnya fetus yang hidup dan pada waktunya disebut lahir. Keluarnya fetus yang mati pada saat partus pada babi dan hewan lain disebut stillbirths. Lahirnya indiyidu baru sebelum waktunya disebut prematur. Berdasarkan ukuran individu dan perkembangan jaringan serta organ, periode kebuntingan dibedakan atas tiga bagian yaitu:
1) Periode ovum / Blastula Adalah periode yang dimulai dari fertilisasi sampai terjadinya implantasi. Segera setelah terjadi fertilisasi, ovum yang dibuahi akan mengalami pembelahan di ampullary - isthnic junction menjadi morula. Pada sapi, masuknya morula kedalam uterus terjadi pada hari ke 3-4 setelah fertilisasi, 5-8 pada anjing dan kucing dan 3 pada babi. Pada spesies politokus, tidak menutup kemungkinan adanya migrasi embrio diantara kornu. Pada unipara (sapi), jarang terjadi. Setelah hari ke 8, blastosit mengalami pembesaran secara pesat, misalnya embrio domba pada hari ke 12 panjangnya 1 cm, 3 cm pada hari ke 13 dan 10 cm pada hari ke 14. Pada babi, 33 cm pada hari ke 13. Lama periode ini pada sapi sampai 12 hari, kuda 12 hari, domba dan kambing 10 hari, babi 6 hari, anjing dan kucing 5 hari. Pada peniode ini, embnio yang defektifakan mati dan diserap oleh uterus. 2) Periode embrio / Organogenesis Adalah dimulai dari implantasi sampai saat dimulainya pembentukan organ tubuh bagian dalam. Pada sapi berkisar pada hari ke 12 - 45, domba 11 - 34, anjing dan kucing 6 - 24, dan kuda 12 - 50 atau 60 setelah fertilisasi.Selama periode ini terjadi pembentukan lamina germinativa, selaput ektraembrionik, dan organ-organ tubuh. 3) Periode Fetus/ pertumbuhan fetus Adalah dimulai dari terbentuknya alat-alat tubuh bagian dalam, terbentuknya ekstremitas, sampai lahir. Peniode ini dimulai kira-kira hari ke 34 kebuntingan pada domba dan anjing, 45 pada sapi dan 55 pada kuda. Selama periode ini terjadi perubahan dan defferensiasi organ, jaringan dan sistem tubuh. Sedangkan panjang badan fetus sesuai dengan tahapan kebuntingan dapat dilihat pada Tabel dibawah ini. Pada fetus jantan, testis akan mengalami descensus
testiculorum
melewati
canalis
inguinalis
ke
dalam
scrotum.
Descensus
testiculorum ini akan selesai menjelang pertengahan kebuntingan pada sapi, sedang pada kuda menjelang akhir kebuntingan. (Eli sa, 2011) Sedangkan Hafez (2000) dan beberapa ahli embriologi menjelaskan bahwa periode kebuntingan dibagi menjadi periode ovum (mulai ovum diovulasikan sampai fertilisasi),
periode embrio (sejak fertilisasi, implantasi
sampai terbentuknya alat-alat tubuh bagian dalam), dan periode fetus (setelah terbentuknya alat-alat tubuh bagian dalam sampai dilahirkan). 2.1.2
Lama kebuntingan
Lama kebuntingan ditentukan secara genetik walaupun dapat dimodifiser oleh faktor - faktor maternal, feotal dan lingkungan. a.
Faktor - faktor Maternal Umur induk mempengaruhi lama kebuntingan pada berbagai jenis hewan.
Suatu perpanjangan selama 2 hari dari lama kebuntingan normal terjadi pada domba berumur 8 tahun. Sapi-sapi dara yang bunting pada umur relatif muda akan mempunyai masa kebuntingan yang lebih pendek daripada induk sapi yang lebih tua. b.
Faktor - faktor Foetal Suatu hubungan terbalik antara lama kebuntingan dan besar ―litter‖
banyak dilaporkan pada beberapa sepecies kecuali pada babi. Foetus yang banyak pada jenis hewan monotocus juga mempunyai masa kebuntingan yang lebih singkat. Anak sapi kembar berada dalam kandungan 3 sampai 6 hari kurang dari anaksapi tunggal.
c.
Faktor - faktor Genetik Perbedaan - perbedaan kecil mengenai lama kebuntingan yang terdapat
dalam bangsa-bangsa ternak dapat disebabkan oleh pengaruh genetik, musim dan lokalitas. Genotype foetus diketahui memegang peranan dalam lama kebuntimgan pada sapi. Suatu gene sex-linked pada kuda arab betina atau foetus mempengaruhi kebuntinganya. d.
Lingkungan Fisik Ada beberapa bukti bahwa suhu yang tinggi dapat memperpanjang masa
kebuntingan pada rodensia, tetapi tidak ada informasi mengenai pengaruhnya pada ternak. Pada kuda dan domba tingkatan makanan mempengaruhi lama kebuntingan.tingkatan makanan rendah memperpanjang masa kebuntingan. (Toelihere, 1993) Lama kebuntingan pada spesies dan bangsa yang berbeda dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Lama kebuntingan pada ternak. (Yusuf, 2012)
Sedangkan menurut Elisa (2011), Ada beberapa fa ktor yang mempengaruhi lama kebuntingan yaitu: a.
Faktor induk. Sapi-sapi yang muda lebih pendek masa bunting dibanding sapi-sapi yang tua.
b.
Faktor fetus. Liter size, fetus kembar pada monotokosa lama bunting lebih pendek. Jenis kelamin, fetus jantan pada sapi dan kuda lama bunting lebih lama 1 - 2 hari daripada fetus betina. Fungsi adrenal dan pituitaria.
c.
Faktor genetik seperti spesies, bangsa, dan genotif fetus
d.
Faktor lingkungan seperti nutnisi, temperatur dan musim. Kebuntingan yang diperpendek dapat terjadi karena kembar, penyakit,
kurang gizi dan hormonal (PGF 2α). Sedangklan kebuntingan yang diperpanjang dapat karena defisiensi yodium pada anak babi dan defisiensi vitamin A, progesteron, dekapitasi fetus dan abnormalitas fetus. 2.2
Deteksi Kebuntingan
Pemeriksaan kebuntingan dapat dilakukan melalui palpasi rektal, cara ini merupakan cara pemeriksaan yang sederhana, namun membutuhkan ketrampilan dan latihan yang intensif sehingga mampu mendiagnosa kebuntingan, sekaligus menentukan umur kebuntingan, mengetahui posisi fetus dan memprediksikan kelahiran. Dengan demikian maka dapat di prediksikan kondisi kebuntingan sapi, sekaligus dapat mencegah kondisi gangguan reproduksi maupun gangguan kelahiran pada sapi saat melahirkan. Melaksanakan diagnosa kebuntingan secara dini pada suatu peternakan sangat dianjurkan dalam rangka manajemen peternakan. Pemeriksaan kebuntingan yang termurah dan praktis dapat dilakukan mulai 50 hari setelah perkawinan. Secara garis besar ada dua indikasi dalam menentukan kebuntingan yaitu indikasi
kebuntingan secara ektemal dan indikasi kebuntingan secara internal. Indikasi kebuntingan secara ektemal, meliputi lewat dari catatan recording, adanya anestrus, pembesaran abdomen, berat badan meningkat, sdanya gerakan fetus, kelenjar air susu membesar, gerakan sapi lambat, dan bulunya mengkilat. Sedangkan indikasi kebuntingan secara internal diantaranya perubahan pada kornua uteri, adanya kantong amnion, adanya penggelinciran selaput janin, adanya fetus, dan adanya plasentom dan fremitus. Metode diagnosa kebuntingan dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah deteksi fetus dengan per-rektal (PKB) atau dengan USG, menentukan perubahan fisik tubuh induk dan menentukan perubahan endokrin terutama progesteron (P4). Pada sapi, umumnya dengan PKB (50 — 60 hari setelah perkawinan) atau dapat dengan assay P4 (hari ke 2 1 — 24 sesudah kawin). Pada kuda, umumnya dengan PKB atau dapat dengan bioassay (hari ke 40 — 120) atau dapat dengan assay kimia E (han ke 150 — 250). Pada babi, dapat dengan PKB, atau dengan teknik ultrasonik (gelombang suara) dan dikenal dengan efek doppler (dilakukan pada hari ke 30) atau dengan histologi vagina (95 % ketepatannya). Pada kambing dan domba, dapat dengan radiografi (setelah hari ke 55), ultrasonik (hari ke 60), laparatomi, pemenksaan abdomen dan perubahan fisik induk. (Elisa, 2011) 2.3
Periode Embrio
Periode Embrio / organogenesis merupakan suatu periode ketika sel-sel berada dalam proses pembentukan organ-organ spesifik dalam tubuh embrio. Merupakan periode dimulainya implantasi sampai saat dimulainya pembentukan organ tubuh bagian dalam. Pada sapi berkisar hari ke 12-45, kucing 6-24, dan kuda 12-50 setelah fertilisasi. Selama periode ini akan terbentuk lamina
germinativa selaput embrionik dan organ tubuh (Toelihere, 1993). Periode perkembangan embrio adalah sebagai berikut: a.
Periode Persiapan Kedua parent disiapkan untuk melakukan perkawinan. Gamet mengalami
proses pematangan sehingga mampu melakukan pembuahan. b.
Periode Pembuahan Kedua parent kawin, gamet melakukan perjalanan ke tempat pembuahan,
kemudian kedua jenis gamet pun melakukan pembuahan. c.
Periode Pertumbuhan Awal Pertumbuhan sejak zigot mengalami pembelahan berulang kali sampai saat
embrio memiliki bentuk primitif yaitu bentuk dan susunan tubuh embrio masih sederhana dan kasar. Periode ini terdiri dari empat tingkat: 1)
Tingkat Pembelahan
Cleavage atau disebut juga segmentasi terjadi setelah pembuahan. Zigot membelah berulang kali samapai terdiri dari berpuluh sel kecil yang disebut blastomere. Pembelahan itu bisa meliputi seluruh bagian, bisa pula hanya pada sebagian kecil zigot. Pada umumnya pembelahan itu secara mitosis. Pada akhir pembelahan akan terbentuk morula yang masif, dalamnya tidak berongga. 2)
Tingkat Blastula
Sementara
sel-sel
morula
mengalami
pembelahan
terus-menerus,
terbentuklah rongga di tengah, atau pada ayam di bawah germinal disc. Rongga ini makin lama makin besar, berisi cairan. Embrio yang memiliki rongga itu kini disebut blastula, rongganya disebut blastocoel. Pasa Eutheria ini blastula memiliki dua kelompok sel atau jaringan yang jelas dapat dibedakan menjadi embrioblast atau gumpalan sel dalam (inner cell
mass), akan tumbuh menjadi embrio, tropoblast akan menyalurkan makanan dari uterus induk. Ada pula yang memberi nama dua daerah utama blastula, yaitu: Epiblast , bagi blastomere yang terletak sebelah atas atau daerah kutub animalus. Sebagian besar akan menumbuhkan ectoderm. Hypoblast , bagi blastomere yang terletak sebelah bawah atau daerah kutub vegetativus. Sebagian besar menumbuhkan endoderm. Blastula memiliki daerah-daerah sel yang akan menjadi bakal pembentuk alat. Pada embryogenesis berikutnya daerah-daerah itu akan bergerak menyusun diri untuk menjadi lapisan-lapisan atau jejeran sel tersendiri. Dikenal lima daerah bakal pembentuk alat, yaitu bakal ectoderm epidermis, bakal ectoderm saraf, bakal notochord, bakal mesoderm, dan bakal endoderm (entoderm). 3)
Tingkat Gastrula
Pada gastrula akan terbentuk tiga lapisan: ectoderm, endoderm, dan mesoderm. Dalam proses gastrulasi disamping terus terjadi pembelahan dan perbanyakan sel terjadi pula berbagai macam gerakan sel dalam usaha untuk mengatur dan menderetkan sesuai dengan bentuk dan susunan tubuh individu dari spesies yang bersangkutan. Ada dua kelompok gerakan, yaiu: a.
Epiboli Gerakan melingkup, terjadi di sebelah luar embrio. Berlangsung pada
bakal ectoderm epidermis dan saraf. Sementara bakal endoderm dan mesoderm bergerak, epiboli menyesuaikan diri sehinggak ectoderm terus menyelaputi seluruh embrio. b.
Emboli Gerakan menyusup, terjadi di sebelah dalam embrio. Berlangsung pada
daerah-daerah bakal mesoderm, notochord, pre-chorda, dan endoderm. Daerah-
daerah itu bergerak kea rah blastocoel. Dibagi atas tujuh macam, yaitu involusi, gerakan membelok ke dalam, konvergensi, gerakan menyempit, invaginasi, gerakan melipat suatu lapisan, evaginasi, gerakan menjulur suatu lapisan, delaminasi, gerakan memisahkan diri sekelmpok sel dari kelompok utama atau lapiasan asal, divergensi, gerakan memencar, dan extensi, gerakan meluas. 4) a)
Tingkat Tubulasi
Pertumbuhan panjang dan lebar di bagian kepala, sehingga terangkat dari bagian bawahnya,
b)
Pertumbuhan panjang dan besar bagian badan embrio,
c)
Pertumbuhan bagian ekor,
d)
Pertumbuhan melengkung bagian dorsal embrio, sehingga terangkat dari bawahnya,
e)
Periode antara (transisi) Perantara periode awal dan akhir. Di sini embrio mengalami transformasi bentuk dan susunan tubuh secara berangsur sehingga akhirnya mencapai bentuk efinitive yaitu embrio sudah seperti bentuk dewasa, bentuk dan susunan tubuh merupakan efinitiv setiap spesies hewan. Bagian-bagian tubuh embrio dari bentuk efinitiv mengalami deferensiasi terperinci dan lengkap.
f)
Periode pertumbuhan akhir Pertumbuhan penyempurnaan bentuk efinitive sampai kelahiran. Bagi hewan yang tidak berberudu sukar membuat batas antara periode antara dengan periode akhir sehingga digabung menjadi tingkat organogenesis, yakni proses pembentukan alat tubuh serat mengkoordinasikannya dalam berbagai sistem (Yatim, 1990).
2.4
Plasenta
Pada permulaan periode embrio, kantong kuning telur dan korion-amniotik berfungsi sebagai plasenta primitif, dimana zat-zat makanan diabsorbsi dan sekresi uterus. Selama bulan pertama/ lebih kebuntingan blastosyt bertaut dengan endometnium, selaput fetus berkembang, terjadi penonjolan villi formis dan kripta endometrium. Pada akhir bulan ketiga kebuntingan Terjadi pertautan anatomik plasenta induk dengan fetus secara komplek. Plasenta terdiri dari bagian, yaitu plasenta
fetus
(korio-alantois)
disebut
juga
kotiledon,
plasenta
induk
(endometrium) disebut juga karunkula, dan penggabungan karunkula dengan kotiledon disebut plasentom. Peranan / fungsi plasenta adalah mensintesis zat-zat yang diperlukan fetus, menghasilkan enzimdan hormon (P4 dan E) dan menyimpan dan mengkatabolisir zat-zat lain. Menurut bentuknya, secara anatomik plasenta digolongkan 4 tipe, yaitu: 1)
Tipe Difusa
Pada hewan kuda dan babi. Seluruh permukaan korio-allantois dipenuhi baik mikro kotiledon, villi, dan mikro villi masuk ke dalam kripta endometrium (plasentasi) kecuali muara kelenjar uterin. Struktur ini komplek dan terbentuk setelah 150 hari usia kebuntinga. Pada babi tipe plasentanya difusa inkomplete (karena dibagian kutub tidak ada plasentasi). 2)
Tipe kotiledonaria
Pada hewan ruminansia. Hanya sebagian karunkula dan kotiledon yang membentuk plasentom. Lebih komplek dibanding tipe difusa. Plasentom tersusu empat bans, dua ventral dan dua dorsal sepanjang komu. Pada sapi, mempunyai 75-120 plasentom sedang kambing 80-90. Bentuk plasentom sapi cembung, kambing cekung.
3)
Tipe Zonaria
Pada hewan anjing dan kucing (karnivora). Bentuknya melingkar seperti sabuk dengan lebar 2,5-7,5 cm 4)
Tipe diskoidalis
Pada primata dan rodensia. Pertautannya paling erat. Bentuknya melingkar seperti cakram. (Elisa, 2011) 2.5
Perubahan Organ Reproduksi
Menurut Partodiharjo (1982) hewan yang mengalami masa kebuntingan akan menunjukan perubahan bagian-bagian tertentu sebagai berikut: 1) Vulva dan vagina Setelah kebuntingan berumur 6 sampai 7 bualan pada sapi dara akan terlihat adanya edema pada vulvanya. Semakin tua buntingnya semakin jelas edema vulva ini. Pada sapi yang telah beranak, edema vulva baru akan terlihat setelah kebuntingan mencapai 8,5 sampai 9 bulan. 2)
Serviks
Segera setelah terjadi fertilisasi perubahan terjadi pada kelenjar-kelenjar serviks. Kripta - kripta menghasilkan lendir yang kental semalin tua umur kebuntingan maka semakin kental lendir tersebut. 3)
Uterus
Perubahan pada uterus yang pertama terjadinya vaskularisasi pada endomertium, terbentuk lebih banyak kelenjar endometrium, sedangkan kelenjar yang telah ada tumbuh lebih panjang dan berkelok-kelok seperti spiral.
4)
Ovarium
Setelah ovulasi, terjadilah kawah bekas folikel. Kawah ini segera dipenuhi oleh darah yang dengan cepat membeku yang disebut corpus hemorrhagicum. Pada hari ke 5 sampai ke-6 korpus luteum telah terbentuk. 2.6
Penanganan Ternak yang Bunting
Pada saat diketahui seekor/sekelompok ternak bunting segera tempatkan pada kandang yang mendukung perkembangan fetus diantaranya dengan beberapa cara seperti berikut. a.
Pisahkan pejantan dari kelompok betina bunting.
b.
Pelihara betina bunting dengan hati-hati (hindari penggunaan feed
aditive/obat yang dapat
mengganggu pertumbuhan fetus, vaksinasi, tindakan
pembedahan/operasi, sediakan tempat exercise dan jalan-jalan). c.
Penghentian pemerahan (kering kandang) sapi minimal 2 bulan sebelum
melahirkan, kegunaannya adalah untuk mempersiapkan perbaikan metabolisme untuk pertumbuhan fetus dan mempersiapkan k elenjar ambing untuk memulai involusi dan
acini secretoris ambing untuk berfungsi kembali. (Darodjah, 2011) 2.7
Hormon yang Berperan Dalam Proses Kebuntingan Hormon yang berperan dalam pengaturan kebuntingan berasal dari korpus
luteum, plasenta dan hipofisa anterior, yaitu: a.
Progesteron
(P4)
pertumbuhan
disebut
kelenjar
juga
hormon
endometrium,
kebuntingan,
sekresi
susu
diperlukan
uterus,
untuk
pertumbuhan
endometrium, pertautan plasenta dan menghambat motilitas uterus. b.
Estrogen
(E)
perkembangan
diperlukan ambing,
untuk relaksasi
menambah ligamentum
mensensitifican uterus terhadap oksitoksin.
pengaruh pelvis
kerja dan
P4
servik
untuk serta
c.
LH, diperlukan untuk memelihara korpus luteum, pada kuda (PMSG atau ECG) diproduksi oleh endometrium cups, sedang pada wanita (HCG) diproduksi oleh korion.
d.
Relaksin, dihasilkan oleh korpus luteum dan plasenta, konsentrasinya meningkat sesuai usia kebuntingan, menyebabkan terjadinya pelunakan jaringan ikat, sehingga otot uterus meregang sehingga fetus dapat berkembang. (Suharyati, 2003)
III KESIMPULAN
1.
Kebuntingan merupakan periode yang dimulai dengan fertilisasi dan diakhiri dengan kelahiran.
2.
Metode diagnosa kebuntingan dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah deteksi fetus dengan per-rektal (PKB) atau dengan USG, menentukan perubahan fisik tubuh induk dan menentukan perubahan endokrin terutama progesteron (P4). Proses ini penting karena dapat memprediksikan kondisi kebuntingan sapi sekaligus dapat mencegah kondisi gangguan reproduksi maupun gangguan kelahiran pada sapi saat melahirkan.
3.
Periode Embrio / organogenesis merupakan suatu periode ketika sel-sel berada dalam proses pembentukan organ-organ spesifik dalam tubuh embrio. Periode ini meliputi periode persiapan, periode pembuahan, dan periode pertumbuhan awal (tingkat pembelahan, tingkat blastula, tingkat gastrula, dan tingkat tubulasi).
4.
Peranan / fungsi plasenta adalah mensintesis zat-zat yang diperlukan fetus, menghasilkan enzimdan hormon (P4 dan E) dan menyimpan dan mengkatabolisir zat-zat lain. Menurut bentuknya, secara anatomik plasenta digolongkan 4 tipe, yaitu tipe difusa, tipe kotiledonaria, tipe zonaria dan tipe diskoidalis.
5.
Perubahan organ reproduksi saat bunting adalah terletak pada bagian ovarium, uterus, serviks, vulva dan vagina.
6.
Penanganan pada ternak bunting dapat dilakukan dengan cara memisahkan pejantan dari kelompok betina bunting, memelihara betina bunting dengan hati-hati, dan penghentian pemerahan (kering kandang) pada sapi laktasi.
7.
Hormon yang berperan dalam kebuntingan yaitu progesteron (P4), estrogen (E), LH, dan relaksin.
DAFTAR PUSTAKA
Darodjah, Siti. 2011. Kebuntingan. Laboratorium Reproduksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Sumedang. Elisa. 2011. Faal Kebuntingan. UGM Press, Yogyakarta. Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals 7th. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong, Sidney, Tokyo. Partodihardjo. 1982. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Jakarta. Suharyati, Sri dkk. 2003. Buku Ajar Ilmu Reproduksi. Jurusan Reproduksi Ternak FP Unila, Bandar Lampung. Toelihere, Mozes R. 1993. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa : Bandung. Yatim, W. 1990. Biologi Modern : Histologi. Jakarta : EGC. Yusuf, muhammad. 2012. Ilmu Reproduksi Ternak . Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan Universitas Hasanudin.