BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undangundang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain. Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive policies). Kebijakan yang bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering dalam perdagangan/distribusi pupuk sedangkan contoh peraturan yang sifatnya mengatur pembagian pendapatan adalah penentuan harga kopra minimum yang berlaku sejak tahun 1969 di daerah-daerah kopra di Sulawesi. Campur tangan pemerintah inilah disebut sebagai “politik pertanian” (agricultural policy) atau “kebijakan pertanian”. Campur tangan pemerintah ini diperlukan untuk memutus rantai
lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal, merupakan gambaran hubungan keterkaitan timbal-balik dari beberapa karakteristik negara berkembang (seperti Indonesia) berupa sumber daya yang ada belum dikelola sebagaimana mestinya, mata pencaharian penduduk yang mayoritas pertanian berlangsung dalam kondisi yang kurang produktif, adanya dualisme ekonomi ekonomi antara sektor modern yang mengikuti ekonomi pasar dan sektor tradisional yang mengikuti ekonomi subsistem, serta tingkat pertumbuhan yang tinggi dengan kualitas sumber daya manusianya yang masih relative rendah. Dalam sektor pertanian,perkebunan merupakan salah satu bidang yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia.Bahkan komoditas perkebunan merupakan penyumbang terbesar dalam surplus perdagangan di Indonesia.Oleh karena itu,kebijakan yang strategis sangat diperlukan untuk mencapai kemajuan – kemajuan kemajuan yang lebih baik lagi serta dapat menyelesaikan permasalahan – permasalahan yang terjadi di dalam lingkup perkebunan.Pemerintah dalam hal
ini mencakup Pemerintah Pusat,Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus mampu membuat regulasi yang dapat mengatur sekaligus memperbaiki kekurangan – kekurangan yang masih ada dalam bisang perkebunan.Pembagian kewenangan serta tanggung jawab terhadap penangan perkebunan antar komponen pemerintahan juga patut untuk diperhatikan dalam membuat dan melakanakan kebijkan.Pada intinya kebijakan yang dihasilkan baik dari kewenangan Pemerintah Pusat maupun kewenangan pemerintah daerah yaitu melalui otonomi daerah haruslah memihak dan mengarah pada perkembangan yang lebih baik.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kebijakan Pembangunan Perkebunan Secara Umum
Perkebunan merupakan salah satu sub sektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai UndangUndang nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, bahwa secara ekonomi perkebunan berfungsi meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional; sedangkan secara ekologi berfungsi meningkatkan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen dan penyangga kawasan lindung serta secara sosial budaya berfungsi sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Adapun karakteristik perkebunan dapat ditinjau dari berbagai aspek antara lain dari jenis komoditas, hasil produksi dan bentuk pengusahaannya. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebenarnya telah merinci mengenai pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah meskipun demikian undang-undang tersebut tidak memasukkan bidang pertanian (sub sektor perkebunan) sebagai urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Undangundang tersebut memasukkan bidang-bidang terkait seperti tata ruang, lingkungan hidup dan tanah khususnya yang berskala Kabupaten sebagai urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Pertanian (sub sektor perkebunan) dikategorikan sebagai urusan pemerintah bersifat pilihan yang secara nyata ada sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan dengan demikian, karena sifatnya khas untuk daerah tertentu, undangundang tersebut membuka peluang negosiasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menentukan pembagian kewenangan sub sektor perkebunan yang tepat. Peluang Pemerintah Daerah untuk memperoleh kewenangan di bidang sub sektor perkebunan sebenarnya cukup terbuka dalam Undang-undang tersebut, seperti yang tertuang dalam satu pasalnya yang mengatur hubungan kewenangan dalam pemanfaatan sumberdaya
alam. Peluang tersebut semakin mendapat titik terang dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, mempertegas bahwa urusan sub sektor perkebunan merupakan urusan pemerintah pusat yang masuk dalam 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintah khususnya pada urusan pemerintah bidang pertanian dan ketahanan pangan, namun demikian semua urusan pemerintah terkecuali bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama dapat dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintah yang disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian. Ini artinya Pemerintah Daerah diberikan kesempatan untuk melakukan negosiasi dengan Pemerintah Pusat dalam hal pembagian kewenangan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Tentunya, selain urusan Pemerintah Pusat yang sepenuhnya menjadi kewenangannya. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, dalam salah satu pasalnya juga memberi porsi secara tersendiri bagi Pemerintah Daerah untuk mengelolah sub sektor perkebunan yang dalam peraturan tersebut dikategorikan menjadi urusan pilihan bagi Pemerintah Daerah. Urusan pilihan ini adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi kekhasan dan potensi unggulan daerah tersebut. Jika kehadiran Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 memberikan peluang kepada daerah untuk mengelolah sub sektor perkebunan meskipun hanya sebatas pada urusan pilihan, maka sangat menarik untuk melihat perspektif undang-undang perkebunan dalam bingkai kebijakan otonomi daerah. Apakah daerah diberi peluang untuk mengelolah sub sektor perkebunan atau justru pusat yang mendominasi pengelolaan sub sektor perkebunan menurut versi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004. Tentunya hal lain yang menarik untuk ditelitih dengan kehadiran Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 dalam perspektif otonomi daerah adalah bagaimana pembagian peran antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah khususnya mengenai kewenangan, apakah terjadi singkronisasi ataukah justru terjadi gap yang nantinya akan menimbulkan kesenjangan dalam hal pengelolaan sub sektor perkebunan.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan dalam hal pembagian kewenangan tidak hanya mengatur tentang pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tetapi juga mengatur kewenangan yang bersifat kolaboratif yaitu pengaturan yang dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota serta pihak-pihak lain yang ada sangkut pautnya dengan perkebunan. Pengaturan yang sifatnya kolaboratif ini dapat dijumpai dalam beberapa Pasal Undangundang Nomor 18 Tahun 2004, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa beberapa kebijakan perkebunan dalam konteks otonomi daerah dilihat dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tidak bertentangan, hanya perlu penyesuaian penapsiran terhadap beberapa pasal yang mengatur maslah kewenangan agar terdapat keselarasan antara kebijakan yang ada pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan kebijakan perkebunan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004. Namun demikian pengaturan mengenai kebijakan kolaboratif ini tidak bisa dikatakan sebagai gap yang terjadi antara kedua undang-undang tersebut sebab sebagaimana dikatakan dalam pembahasan di atas bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan peluang kepada daerah untuk melakukan negosiasi mengenai kewenangan mengurus apa yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Daerah juga diberikan peluang untuk melakukan pengurusan bersama tentunya berdasarkan tingkatan dan/atau susunan pemerintah yang disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian. Undang-undang ini juga mengatur mengenai kewenangan yang sifatnya mengurus berada di tingkat Pemerintah Pusat sementara kewenangan yang sifatnya teknis administratif berada di tingkat Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota atau sebaliknya. Mengenai peluang daerah dalam hal pengelolaan sub sektor perkebunan, UU No 18 Tahun 2004 menegaskan bahwa Perencanaan perkebunan terdiri dari perencanaan nasional, perencanaan provinsi, dan perencanaan kabupaten/kota. Perencanaan perkebunan sebagaimana dimaksud dilakukan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Perencanaan perkebunan untuk memberikan arah, pedoman, dan alat pengendali pencapaian tujuan penyelenggaraan perkebunan. Perencanaan perkebunan dilakukan berdasarkan rencana pembangunan nasional, rencana tata ruang wilayah, kesesuaian tanah dan
iklim serta ketersediaan tanah untuk usaha perkebunan, kinerja pembangunan perkebunan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial budaya, lingkungan hidup, kepentingan masyarakat, pasar, dan aspirasi daerah dengan tetap menjunjung tinggi keutuhan bangsa dan negara. Perencanaan perkebunan dimaksud mencakup, wilayah, tanaman perkebunan, sumber daya manusia, kelembagaan, keterkaitan dan keterpaduan hulu-hilir, sarana dan prasarana, dan pembiayaan. Selain itu UU No. 18 tahun 2004 tidak bisa terlepas dengan beberapa peraturan perundangan lain yang masih mempunyai korelasi atau hubungan baik secara langsung maupun tidak. Di antara peraturan perundang-undangan yang saling berhubungan diantaranya: 1.Peraturan perundangan yang berkaitan dengan sistem perencanaan pembangunan nasional. 2. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan tata ruang 3.
Peraturan perundangan yang berkaitadengan pertanahan diantaranya UU Pokok agraria, yang juga didalamnya mengatur mengenai Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai serta hak tanah ulayat.
4. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup 5. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan perindustrian 6. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan perdagangan. 7. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan penanaman modal
Untuk dapat mendukung pencapaian agenda pembangunan nasional dan tujuan pembangunan pertanian, tujuan pembangunan perkebunan ditetapkan sebagai berikut: 1. Meningkatkan produksi, produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing perkebunan; 2. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat perkebunan; 3. Meningkatkan penerimaan dan devisa negara dari subsektor perkebunan; 4. Mendukung penyediaan pangan di wilayah perkebunan;
5. Memenuhi kebutuhan konsumsi dan meningkatkan penyediaan bahan baku indutri dalam negeri; 6. Mendukung pengembangan bio-energi melalui peningkatkan peran subsektor perkebunan sebagai penyedia bahan bakar nabati; 7. Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya secara arif dan berkelanjutan serta mendorong pengembangan wilayah; 8. Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia perkebunan; 9. Meningkatkan peran subsektor perkebunan sebagai penyedia lapangan kerja; 10.
Meningkatkan pelayanan organisasi yang berkualitas.
Sasaran Pembangunan Perkebunan 1. Pertumbuhan PDB, Perkebunan 11,41 %
(berdasarkan harga berlaku) dan harga
konstan 3,14% 2. Keterlibatan tenaga kerja petani perkebunan 20,9 juta orang. 3. Peningkatan Pendapatan Pekebun menjadi US$1.780/KK/Thn/2 ha 4. Nilai Tukar Petani (NTP) 108,20 5. Penerimaan ekspor US $ 51,99 milyar 6. Kebutuhan inventasi perkebunan 62,9 triliun bersumber dari APBN 1,773 triliun (2,82%) dan sumber lain seperti APBD, perbankan dan swadaya masyarakat senilai 61,127 triliun (97,18%)
Dengan memperhatikan arah kebijakan nasional dan pembangunan pertanian periode 2010-2014, dalam menjalankan tugas pelaksanaan pembangunan perkebunan di Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan merumuskan kebijakan yang akan menjadi kerangka pembangunan perkebunan periode 2010-2014 yang dibedakan menjadi kebijakan umum dan kebijakan teknis pembangunan perkebunan Tahun 2010-2014. Kebijakan umum pembangunan perkebunan adalah: Mensinergikan seluruh sumberdaya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing usaha perkebunan, nilai tambah, produktivitas dan mutu produk perkebunan melalui partisipasi aktif masyarakat perkebunan, dan penerapan organisasi modern yang berlandaskan
kepada ilmu pengetahuan dan teknologi serta didukung dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Adapun kebijakan teknis pembangunan perkebunan yang merupakan penjabaran dari kebijakan umum pembangunan perkebunan adalah: Meningkatkan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan melalui pengembangan komoditas, SDM, kelembagaan dan kemitraan usaha, investasi usaha perkebunan sesuai kaidah pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dengan dukungan pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan.
Untuk mencapai sasaran, mewujudkan visi, misi dan tujuan, serta mengimplementasikan kebijakan pembangunan perkebunan selama periode 2010-2014, strategi pembangunan pertanian Tahun 2010-2014 yang dikenal dengan Tujuh Gema Revitalisasi menjadi strategi umum pembangunan perkebunan Tahun 2010-2014. Komponen tujuh gema revitalisasi dan penjelasannya secara garis besar adalah sebagai berikut : 1. Revitalisasi lahan 2. Revitalisasi perbenihan 3. Revitalisasi infrasruktur dan sarana 4. Revitalisasi sumberdaya manusia 5. Revitalisasi pembiayaan petani 6. Revitalisasi kelembagaan petani 7. Revitalisasi teknologi dan industri hilir Strategi umum pembangunan perkebunan Tahun 2010-2014 merupakan strategi yang mengacu pada target utama pembangunan pertanian sehingga sifatnya masih sektoral. Agar lebih sesuai dengan karakteristik khusus sub sektor perkebunan, strategi umum dimaksud diformulasikan ke dalam strategi khusus sebagai berikut: 1. Strategi peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan 2. Strategi pengembangan komoditas 3. Strategi peningkatan dukungan terhadap sistem ketahanan pangan
4. Strategi investasi usaha perkebunan 5. Strategi pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan 6. Strategi pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha 7. Strategi pengembangan dukungan terhadap pengelolaan SDA dan lingkunan hidup
2.2 Kebijakan Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit
Gencarnya isu negatif, masalah, dan tuntutan bagi industri sawit merupakan sebuah tantangan bagi perkembangan dunia persawitan. Tantangan tersebut akan terus mengalami eskalasi sehingga dapat mengganggu perkembangan perkelapasawitan di Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, dewasa ini di kalangan pemangku kepentingan perkebunan termasuk kelapa sawit Indonesia telah berkembang wacana dan bahkan telah dijabarkan dalam langkah kongkrit sebagai upaya agar Indonesia memiliki sistem sendiri tentang pembangunan kelapa sawit yang berpedoman pada prinsip berkelanjutan (sustainability) yang berwawasan lingkungan. Sistem yang dimaksud tentunya dikembangkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia dan dapat menjawab berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia serta dapat diterima oleh dunia Internasional. Proses penyusunan sistem tersebut tentu dipersiapkan sebaik-baiknya untuk kemudian terus dikomunikasikan dengan seluruh pemangku kepentingan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam kaitannya dengan tekad untuk mempunyai sistem pembangunan kelapa sawit berkelanjutan yang berwawasan lingkungan sendiri, di samping berpijak pada alasan Indonesia sebagai Negara produsen minyak kelapa sawit terbesar dunia, lebih penting lagi untuk menegaskan bahwa bangsa Indonesia sangat peduli dan tidak mungkin menutup mata dari persoalan global di bidang lingkungan hidup. Penetapan prinsip sustainability dalam pembangunan kelapa sawit Indonesia yang berwawasan lingkungan tentu berdasar pada 1) komitmen internasional; 2) UUD 1945; 3) UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; 4) referensi kepada tuntutan pembeli dan komitmen dari produsen; 5) Uni Eropa dan seluruh jaringannya di luar negeri hanya akan membeli minyak sawit yang sustainable pada tahun 2015. Di samping itu juga berpedoman pada Commitment
International di bawah UNCED Agenda 21 (Global Programme of Action on Sustainable Development) yaitu 1) Rio Earth Summit 1992; 2) Earth Summit +5 1997; 3) World Summit on Sustainable Development 2002 (Johannesburg); 4) International Conference on Financing Development (DOHA Round)-Monterey Consensus. Dimana Hasilnya organisasi PBB ini meminta semua negara sejumlah 178 menerapkan sustainable development principles. Penerapan prinsip sustainability tersebut selanjutnya dijabarkan dalam beberapa kebijakan Pemerintah Indonesia. Diantaranya 1) memberlakukan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
26/Permentan/OT.140/2/2007 tanggal 28 Februari 2007 tentang Pedoman Penilaian
Usaha Perkebunan; 2) memberlakukan secara resmi mulai Maret 2012 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 tanggal 29 Maret 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO); 3) membuat kebijakan bahwa kebun kelapa sawit yang sudah mendapat Kelas I, Kelas II, dan Kelas III dapat langsung mengajukan permohonan Sertifikasi ISPO; kebun kelapa sawit Kelas I, Kelas II, dan Kelas III harus menerapkan ISPO paling lambat 31 Desember 2014; dan 4) penerapan ISPO bersifat mandatory (harus/wajib) dalam artian semua ketentuan terkait yang berlaku di Indonesia wajib dipatuhi dan diterapkan oleh seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit serta akan ditindak bagi yang melanggar. Pelaksanaan pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) tentu tidak terlepas dari adanya tuntutan-tuntutan yang berkembang sebagaimana dikemukakan pada paragraf sebelumnya. Namun demikian, pada dasarnya penerapan Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO)bukan atas tekanan atau permintaan pihak manapun melainkan merupakan sikap dasar Bangsa Indonesia yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dimana dalam perjalanannya, peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan hidup yang sudah ada dipandang belum cukup sehingga ditingkatkan menjadi Amanat UUD 1945 melalui amandemen. Pada amandemen ke-empat tahun 2002 pasal 33 ditambahkan ayat (4) yang berbunyi: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Pengertian tentang pembangunan berkelanjutan sebagaimana termuat dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah “Upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke
dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.” Pelaksanaan pembangunan perkebunan berkelanjutan, di samping sebagai amanat UUD 1945 juga sudah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang menyatakan bahwa: “Perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan serta berkeadilan.”
Selanjutnya dalam Pasal 4 UU Perkebunan dinyatakan bahwa perkebunan mempunyai fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya. ISPO
merupakan
tuntunan/guidance
pengembangan
perkebunan
kelapa
sawit
berkelanjutan Indonesia yang didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesiadan merespons tuntutan pasar global. Adapun tujuan ditetapkannya ISPO adalah meningkatkan kesadaran tentang pentingnya memproduksi minyak sawit lestari; meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar internasional; mendukung komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi GRK; mendukung komitmen unilateral pemerintah Indonesia di Kopenhagen (2009) dan Program Based Line on LOI Indonesia dan Norwegia (2010).Dengan demikian ISPO merupakan mandatory/kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Tujuan lainnya adalah untuk memposisikan pembangunan kelapa sawit sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi Indonesia; memantapkan sikap dasar bangsa Indonesia untuk
memproduksi minyak kelapa sawit berkelanjutan sesuai tuntutan masyarakat
global;mendukung komitmen Indonesia dalam pelestarian Sumber Daya Alam dan fungsi lingkungan hidup. Pelaksanaan sertifikasi ISPO mengacu pada ketentuan nasional (Komite Akreditasi Nasional) dan internasional (ISO). Persyaratan dalam ISPO meliputi 7 prinsip, 39 (41) kriteria
dan 128 indikator. Dimana kewajiban yang harus dipenuhi pelaku usaha pengembangan kelapa sawit berkelanjutan meliputi 7 prinsip yaitu 1) Sistem Perizinan dan Manajemen Perkebunan,2) Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit, 3) Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan; 4) Tanggung Jawab Terhadap Pekerja, 5) Tanggung Jawab Sosial dan Komunitas, 6) Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat, dan 7) Peningkatan Usaha Secara Berkelanjutan.
Para pelaku usaha perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit Indonesia, dalam perjalanananya tentu menyambut baik
gagasan penerapan pengembangan
perkebunan
berkelanjutan. Baik pada konsep Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan utamanya konsep Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Meskipun dalam perjalanannya tentu akan menghadapi beberapa permasalahan yang menyangkut aspek kepemerintahan, kelembagaan, dan pelaksanaannya
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Kebijakan pembangunan perkebunan kita adalah memajukan perkebunan, mengusahakan agar perkebunan menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-undang, Peraturan peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain. Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive policies). Kebijakan yang bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering dalam perdagangan/distribusi pupuk. Politik pertanian merupakan sikap dan tindakan pemerintah atau kebijaksanaan pemerintah dalam kehidupan pertanian. Kebijaksanaan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu , seperti memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efesien produksi naik, tingkat hidup petani lebih tinggi, dan kesejahteraan menjadi merata. Politik pertanian dalah campur tangan pemerintah di sektor pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan efesiensi yang menyangkut alokasi sumber daya untuk dapat menghasilkan output nasional yang maksimal dan memeratakan pendapatan, yaitu mengalokasikan keuntungan pertanian antargolongan dan antardaerah, keamanan persediaan jangka panjang. 3.2
Saran Diharapkan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan bisa lebih dimengerti dan memahami lebih dalam tentang kebijakan pembangunan perkebunan seperti yang telah di jelaskan dalam makalah ini.
MAKALAH EKONOMI PERTANIAN
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN DI INDONESIA
Disusun oleh : Kelompok
: 4 / Perkebunan
Anggota
: 1.Mochammad Deni S. (13089) 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8.
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA 2014