KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kita rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kita. Selawat beserta salam tak lupa pula penulis ucapkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan. Makalah ini penulis susun untuk melengkapi tugas yang berjudul “Kearifan Lokal Dalam Budaya Nasional Indonesia”. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan penyusunan makalah ini. Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun untuk perbaikan pada masa yang akan datang.
Matangglumpangdua,
Penulis
1
Januari 2017
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................
i
DAFTAR ISI ..............................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................ B. Rumusan Masalah............................................................................
1 2
BAB II PEMBAHASAN A. B.
Definisi Sistem Kearifan Lokal (Indigenous System)...................... System Kearifan Lokal di Pulau Lombok........................................
3 6
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................................... DAFTAR PUSTAKA
2
9
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakanbagian integral daripada kebudayaan Indonesia. Kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dengan segala keaneka- ragaman dan tidak bisa lepas dari ikatan-ikatan primordial, kesukuandan kedaerahan. Proses pembangunan yang sedang berlangsung menimbulkanperubahan dan pergeseran sistem nilai budaya sehingga mental manusiapun terkenapengaruhnya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan perubahankondisi kehidupan manusia. Maka dari itu diperlukan sebuah peranan budaya lokaluntuk mendukung ketahanan budaya nasional itu sendiri. Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat Wietoler dalam Akbar (2006) yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun. Secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsurunsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Dalam pelaksanaan pembangunanan berkelanjutan oleh adanya kemajuan teknologi membuat orang lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan seringkali tidak melibatkan masyarakat.
B.
Rumusan Masah
1
Dari latar belakang di atas maka dapat di rumuskan masalahnya antara lain: 1. 2. 3. 4.
Apakah definisi system kearifan lokal itu? Bagaimanakah cirri-ciri system kearifan lokal itu? Bagaimana jenis-jenis kearifan lokal di Indonesia ini? Seperti apa sistem kearifan likal di Pulau Lombok?
2
BAB II PEMBAHASAN A.
Definisi Sistem Kearifan Lokal (Indigenous System) Ada beberapa definisi system kearifan local menurut beberapa ahli, di
antaranya ialah: Kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam waktu yang cukup lama ( Sunaryo dan Laxman (2003). Menurut Keraf (2002), kearifan lokal atau kearifan tradisional yaitu semua bentuk keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Sistem kearifan lokal secara netral dan dinamik di kalangan dunia barat biasanya disebut dengan istilah Indigenous Knowledge (Warren, dalam Adimiharja, 2004). Konsep kearifan lokal atau kearifan tradisional atau sistem pengetahuan lokal (indigenous knowledge system) adalah pengetahuan yang khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal-balik antara masyarakat dengan lingkungannya (Marzali, dalam Mumfangati, dkk., 2004). Jadi, konsep sistem kearifan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Karena hubungan yang dekat dengan lingkungan dan sumber daya alam, masyarakat lokal, tradisional, atau asli, melalui “uji coba” telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi dimana mereka tinggal yang telah dianggap mempertahankan sumber daya alam, serta meninggalkan kegiatan-kegiatan yang dianggap merusak lingkungan (Mitchell, 2003). Pengetahuan lokal ternyata bisa menjadi salah satu solusi mengatasi dampak perubahan iklim disektor pertanian terutama dalam mengatasi krisis pangan ditingkat komunitas. Sebuah penelitian terbaru dari International Institute for Environment and Development (IIED) mengungkapkan kearifan lokal yang diajarkan turun temurun telah menuntun masyarakat tradisional yang terbelakang sekalipun mampu bertahan menghadapi perubahan iklim. Praktek-praktek tradisional itu disesuaikan dengan ketinggian tempat, jenis tanah, curah hujan dan sebagainya yang kesemuanya mendukung keberlanjutan lingkungan. Para petani
3
telah terbiasa menggunakan tanaman lokal untuk mengendalikan hama dengan cara memilih varietas tanaman yang mampu mentolerir kondisi ekstrim seperti kekeringan dan banjir, menanam beragam tanaman untuk menghadapi ketidakpastian di masa depan. Pemuliaan varietas jenis baru secara lokal ini dilakukan berdasarkan ciri-ciri kualitas yang melindungi keanekaragaman hayati. Metode pertanian yang dipraktekkan oleh nenek moyang diberbagai komunitas masyarakat adat termasuk di Indonesia hanya berfokus pada apa yang diberikan alam pada mereka berupa berbagai jenis tanaman seperti kopi, kayu manis dan berbagai tumbuhan liar lainnya sudah cukup untuk kebutuhan masyarakat saat itu. Contoh lain yang dilakukan oleh masyarakat dalam mempertahan kearifan lokal antara lain: 1. Penggunaan Ruang dalam Masyarakat Baduy Penggunaan ruang dalam masyarakat Baduy secara umum dibagi kedalam tiga zona, yaitu: Zona Bawah sebagai pemukiman, Zona Tengah digunakan untuk bercocok tanam dan Zona Atas digunakan sebagai hutan belantara dan tempat pemujaan (Syarif Muis, 2010) 2. Sistem Perladangan Masyarakat Baduy Menurut orang baduy atau orang Kanekes, sistem berladang mereka adalah dengan tidak melakukan perubahan besar-besaran terhadap alam, tetapi mengikuti alam yang ada. Sistem pengairan tidak menggunakan irigasi tetapi mengandalkan air hujan, karena dalam kepercayaan mereka ada larangan penggunaan air sungai untuk keperluan penanaman tanaman diladang. (Syarif Muis, 2010) 3. Pelestarian hutan mangrove Hutan mangrove yang tumbuh dipinggiran pantai (laut) sangat bermanfaat untuk terus dikembangkan dan dilestarikan karena tanaman ini dapat menyimpan carbon dan juga dapat menahan ketinggian air laut. Secara umum, kearifan lokal (dalam situs Departemen Sosial RI) dianggap pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dengan pengertianpengertian tersebut, kearifan lokal bukan sekedar nilai tradisi atau ciri lokalitas semata melainkan nilai tradisi yang mempunyai daya-guna untuk untuk 4
mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga secara universal yang didamba-damba oleh manusia. Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat. Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Cirri cirri kearifan local antara lain: 1. 2. 3.
Mampu bertahan terhadap budaya luar, Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, Memunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya
4. 5.
asli, Memunyai kemampuan mengendalikan, Mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Adapun Jenis-jenis kearifan local, antara lain; 1. Tata kelola,berkaitan dengan kemasyarakatan yang mengatur kelompok sosial (kades). 2. Nilai-nilai adat, tata nilai yang dikembangkan masyarakat tradisional yang mengatur etika. 3. Tata cara dan prosedur, bercocok tanam sesuai dengan waktunya untuk melestarikan alam. 4. Pemilihan tempat dan ruang. Kearifan lokal yang berwujud nyata, antara lain; 1. Tekstual, contohnya yang ada tertuang dalam kitab kono (primbon), kalinder. 2. Tangible, contohnya bangunan yang mencerminkan kearifan lokal. 3. Candi borobodur, batik. Fungsi kearifan lokal, yaitu;
1. 2. 3.
Pelestarian alam,seperti bercocok tanam. Pengembangan pengetahuan. Mengembangkan SDM.
5
B.
System Kearifan Lokal di Pulau Lombok Dipulau Lombok banyak dijumpai kearifan local dalam mengatur system
social kemasyarakatan, seperti pengaturan pemerintahan desa dengan berbagai lembaga adat, persubakan, keamanan, ekonomi, dan begitu pula kearifan local yang berkaitan dengan perlakuan terhadap lingkungan alam, seperti embung sebagai penyimpan cadangan air, pengaturan system tanam, penggunaan pupuk alam dan pemberantasan hama. Seperti misalnya system tanam padi gogo rancah (GORA) sekitar 1978, oleh karena pada saat masyarakat mengalami kondisi kekurangan bahan makanan berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya kelaparanpada setiap musim dengan tingkat kematian yang begitu besar, maka secara tiba-tiba timbul upaya yang brillian dari masyarakat sendiri untuk mengatasi hal tersebut. Pada masyarakat sasak, kearifan local merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Karenanya denyut nadi kehidupan masyarakat sasak memerlukan cara-cara yang arif lagi bijaksana. Karena itu sikap yang etik yang dikembangkan masyarakat sasak setidaknya juga tercermin dari petuah para orang tua yang dapat disimpulkan dalam ungkapan-ungkapan berikut : Solah mum gaweq, solah eam daet, bayoq mum gaweq bayoq eam daet (baik yang dikerjakan maka akan mendapat kebaikan dan buruk yang dikerjakan maka akan mendapatkan keburukan), piliq buku ngawan, semet bulu mauq banteng, empak bau, aik meneng, tunjung tilah. Masyarakat memahami bahwa seluruh alam raya diciptakan untuk digunakan oleh manusia dalam melanjutkan evolusinya, hingga mencapai tujuan penciptaan. Kehidupan mahluk-mahluk Tuhan saling terkait. Bila terjadi gangguan yang luar biasa terhadap salah satunya, maka mahluk yang berada dalam lingkungan hidup akan ikut terganggu pula. Hubungan antara manusia dan alam atau hubungan manusia dan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan atau antara tuan dan hamba, namun lebih merupakan hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Tuhan. Karena kemampuan manusia dalam mengelola bukanlah akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat anugrah Tuhan. Setelah menyadari pandangan agama tentang makna kekhalifahan manusia yang menjadi tujuan penciptaan di muka bumi, maka tidak heran bila puluhan bahkan ratusan
6
ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi saw yang dijadikan landasan dalam berpijak guna tercapainya kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pola kehidupan yang relative tetap memiliki aturan dasar yang turun temurun dan menjadi norma hidup dari komunitas masyarakat sasak. Aturan norma ini disimbulkan dengan “”bukungawan karena kehidupan itu mesti teratur dan memiliki aturan seperti halnya alam semesta. Dari mana memulai membangun “bale-langgak” (rumah dan kelengkapannya), berugaq-sekepat, alang-sambi, leah-lambur, jebak, pengorong, kemudian menjadi pemukiman dengan istilah “gubug-gempeng” dan seterusnya sehingga terbentuklah “dise-dasan”. Secara harmonis kehidupan “dise-dasan” sangat
erat
hubungannya
dengan
lingkungan
alam
sekitar,
khususnya
berhubungan dengan istilah “epe-aik” yang menjadi sumber dari segala sumber hidup dan kehidupan komunitas masyarakat sasak. Berdasarkan aturan adat budaya ini, maka muncul budaya tradisional masyarakat sasak yang tidak lepas dari pola trinitaris dasar yakni : pertama, “epeaik” sebagai pemilik yang maha kuasa atas segala asal kejadian alam dan manusia. Kedua, “gumi-paer” sebagai tanah tempat berpijak di situ langit dijunjung, karena di “gumi-paer” ini masyarakat sasak dilahirkan. Diberi kehidupan dan selanjutnya diwafatkan. Ketiga, “budi-kaye” yang merupakan kekayaan pribadi dari kesadaran akan “budi-daye” Sang Hyang Sukseme yang menurunkan “akal-budi” pada setiap diri manusia untuk mendapatkan kemuliaan hidup yang akan dibawa sampai meninggal dunia. Ketiga hal inilah yang akan mewarnai setiap pandangan, ucapan dan perbuatan masyarakat sasak menjadi adab budaya yang tidak hanya diukur dengan hasil karya secara material namun yang lebih penting adalah nilainilai yang diperoleh selama hidup yang tercermin dari pelaksanaan adat istiadat mereka. Barangkali hal inilah yang perlu digali lebih luas dan mendalam, tentang pemahaman akan kearifan local terpadu yang dimiliki oleh masyarakat sasak dalam hidup bermasyarakat tanpa konflik yang melibatkan kearifan budaya local dapat bersinergi, harmonis dan menguntungkan manusia dan lingkungnnya.
7
BABA III PENUTUP A. Kesimpulan Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Pada masyarakat sasak, kearifan local merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Karenanya denyut nadi kehidupan masyarakat sasak memerlukan cara-cara yang arif lagi bijaksana. Hal inilah yang perlu digali lebih luas dan mendalam, tentang pemahaman akan kearifan local terpadu yang dimiliki oleh masyarakat sasak dalam hidup bermasyarakat tanpa konflik yang melibatkan kearifan budaya local dapat bersinergi, harmonis dan menguntungkan manusia dan lingkungnnya.
8
DAFTAR PUSTAKA Jojo.
“kearifan lokal”. http://merdekaahmad.blogspot.com/2012/11/kearifanlokal.html. (diakses 3 November 2013)
Johan Iskandar, “Mitigasi Bencana Lewat Kearifan Lokal”, Kompas, 6 Oktober 2009. http://manaf25.blogspot.co.id/2015/12/makalah-sistem-kearifan-lokalindonesia.html