Imas Qurhothul Ainiyah
1306383155
Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Kasus Nur Alam
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan izin usaha pertambangan (AJi, 2016). Menurut Syahrul - Pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Komidit Nikel, pada tahun 2011 Nur Alam dianggap telah menyalahgunakan kewenangannya dengan mengubah status kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi. Perubahan status itu diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 4/5 tahun 2011 yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan. Perubahan status kawasan hutan tersebut mempermudah aktivitas perusahaan-perusahaan tambang untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada di hutan.
Penurunan status kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi diikuti dengan penerbitan Surat Keputusan (SK) Izin Usaha Tambang (IUP) kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB). SK tersebut berisi izin bagi PT AHB untuk melakukan penambangan di lahan konsesi seluas 3.084 hektare (Aji, 2016). Oleh karena itu, area yang tadinya merupakan kawasan hutan lindung diubah menjadi area penambangan nikel. Kasus perubahan status hutan ini merupakan salah satu bukti telah terjadinya penyerobotan hutan lindung dan hutan konservasi untuk area pertambangan bagi perusahaan. Penyerobotan yang dilakukan oleh Nur Alam telah menyalahi aturan dan tidak sesuai dengan undang-undang.
Menurut Koordinator Sumber Daya Alam Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK - Dian Patria, terdapat sekitar 4,9 juta hektare hutan lindung dan 1,3 juta hektare hutan konservasi yang digunakan sebagai area pertambangan (Aji, 2016). Hal ini memperkuat dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Nur Alam dalam hal perubahan status hutan lindung dan hutan konservasi menjadi area pertambangan. Kasus alih fungsi lahan sendiri mulai terungkap setelah dilakukan pertukaran data antara Direktorat Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Juni 2014. Permasalahan alih fungsi lahan tersebut tak lepas dari campur tangan pemerintah daerah yang turut 'bermain' dalam pemberian izin tambang kepada perusahaan.
Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Nur Alam berupa pemberian tiga izin tambang kepada PT AHB di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Aji, 2016). PT AHB merupakan afiliasi dari PT Billy. Sedangkan PT Billy berperan sebagai pembeli nikel dari PT AHB yang kemudian dijual kepada Richcorp Internasional yang bermarkas di Hong Kong. Adapun surat keterangan yang diterbitkan oleh Nur Alam yaitu:
Surat Keterangan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan.
Surat Keterangan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi.
Surat Keterangan persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT AHB.
Saat mengeluarkan SK IUP kepada PT AHB, Nur Alam diduga mendapatkan imbalan atau kickback dalam jumlah besar dalam kurun waktu 2009-2014 (Aji, 2016). Berdasarkan Laporan Hasil Analisis dari Pusat Analisis Transaksi Keuangan ditemukan transaksi mencurigakan antara Richcorp Internasional dan Nur Alam. Transaksi tersebut mencapai 4,5 juta dolar AS atau senilai Rp 56,3 miliar. Uang tersebut berasal dari Richcorp Internasional yang dikirim ke bank di Hong Kong dan sebagian di antaranya dikirim kepada tiga polis AXA Mandiri. Namun, polis tersebut dibatalkan oleh Nur Alam dan dikirim ke beberapa rekening baru. Akibat hal itu, Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi bersama tiga orang lainnya yaitu Direktur PT Billy Indonesia Widi Aswindi, Pemilik PT Billy Indonesia Emi Sukiati Lasimon, dan Kepala Dinas (Kadis) Pertambangan dan Energi Pemprov Sulawesi Tenggara, Burhanuddin.
Perbuatan yang dilakuakan oleh Nur Alam telah melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP (Swasty, 2016). Di sisi lain, pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis berpendapat bahwa Nur Alam telah menerbitkan kebijakan yang dianggap melampaui kewenangan, kekeliruan menunjuk fakta, menyalahi wewenang, atau menggunakan dasar hukum yang tidak kuat (Priliawito, 2016). Hal tersebut merujuk pada subjek PTUN pasal 53 ayat 2 Undang-Undang 5 tahun 1986 tentang PTUN.
Sumber:
Aji, Wahyu. 31 Agustus 2016. Gubernur Sultra Nur Alam Diduga Ubah Status Hutan Lindung demi Perusahaan Tambang. http://www.tribunnews.com/nasional/2016/08/31/gubernur-sultra-nur-alam-diduga-ubah-status-hutan-lindung-demi-perusahaan-tambang. Diakses pada 13 September 2016.
Swasty, Renatha. 23 Aug 2016 Gubernur Sultra Nur Alam Jadi Tersangka KPK. http://news.metrotvnews.com/hukum/9K5GoY0b-kpk-tetapkan-gubernur-sulawesi-tenggara-nur-alam-jadi-tersangka. Diakses pada 13 September 2016.
Priliawito, Eko dan Eka Permadi. 8 September 2016. Pakar: Kasus Nur Alam Seharusnya Ditangani PTUN. http://nasional.news.viva.co.id/news/read/819621-pakar-kasus-nur-alam-seharusnya-ditangani-ptun. Diakses pada 13 September 2016.