Isran Noor, Politik Otonomi Daerah Dalam Kerangka Penguatan NKRI, Seven Strategic Studies, Cetakan Kedua, November 2012, hal. 6.
Dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, ketentuan tentang obligasi daerah dapat kita temui pada bagian penjelasan Pasal 11.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 264.
Bryan A. Garner, Black's Law Dictionary, ST. Paul. Minn, West Group, Seventh Edition, 1999, hal. 1059.
Richard E. Speidel and Steven H. Nickles, Negotiable Instruments and Check Collection, west Publishing Company, 1993, hal. 42-72.
David Osborne and Ted Gaebler, Reinventing Government-How The Enterpreneurial Spirit is Transforming The Public Sector, dalam Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Focus Media, Bandung, 2003, hal. 40.
Peter F. Drucker, The Age of Discontinuity, dalam Sadu wasistiono, Ibid, hal. 40.
Isran Noor, Loc Cit, hal 53
Ibid, hal 53
Ibid, hal. 56
Rudi Prasetya dalam Makalah Seminar Nasional dengan judul Kedudukan Emiten dan Perusahaan Publik Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa "listing" atau pendaftaran memiliki makna agar Bapepam dapat melakukan pemeriksaan sampai seberapa jauh emiten telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku vide Pasal 75 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Iskandar Z. Alwi, Pasar Modal Teori dan Aplikasi, Yayasan Pancur Sirah, Jakarta, 2003, hal. 53.
Bismar Nasution, Pentingnya Keterbukaan Untuk Pengelolaan Perusahaan Yang Baik dalam UUPM, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, Jakarta, Juli 2001, hal. 38.
Lihat Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Nama : Sulistio Adiwinarto, S.H., M.H
Alamat : Jl. Karimata Gang Pajak No. 10 Jember, Jawa Timur, 68121.
Tempat/Tanggal lahir : Banyuwangi, 14 Desember 1967
Pekerjaan : Dosen
Nama Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Jember
Alamat Perguruan Tinggi : Jl. Karimata 49 Jember
Nomor HP : 08123485742
Alamat e-mail :
[email protected]
TEMA : OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)
SUB TEMA :
PENERBITAN OBLIGASI DAERAH WUJUD OPTIMALISASI TATAKELOLA
KEUANGAN DAERAH DALAM RANGKA
GOOD GOVERNANCE DAN CLEAN GOVERNMENT
Latar Belakang
Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945 secara konstitusional maupun legal diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Sebagaimana digariskan dalam Penjelasan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan keadilan, keistimewaaan dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian tujuan utama kebijakan otonomi daerah ialah mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat agar dapat lebih cepat, efektif, dan efisien dalam melakukan aktivitas ekonominya. Keberhasilan pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan tersebut akan diukur dan dibuktikan dengan adanya peningkatan aktivitas ekonomi penduduk dan banyaknya investasi masuk ke daerah.
Sejak otonomi daerah diberlakukan di Indonesia dengan diundangkannya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, selanjutnya diganti dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, selanjutnya disebut Undang-Undang Perimbangan Keuangan, dimana pemerintah daerah diberi keleluasaan dalam mengelola keuangannya, tidak sedikit pemerintah daerah yang mulai serius mencari alternatif sumber dana sebagaimana tertuang dalam undang-undang dimaksud.
Semangat pemerintah daerah untuk menggali sumber dana pembangunan di era otonomi tersebut sangat tinggi, tidak saja terbatas pada sumber-sumber baru dalam Pendapatan Asli Daerah seperti intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, namun juga telah berkembang ke arah penerbitan instrumen pasar modal. Peluang yang diberikan oleh undang-undang di bidang ini adalah penerbitan obligasi daerah, salah satu instrumen pasar modal yang disebutkan secara tegas dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004.
Pada prinsipnya Undang-Undang Perimbangan Keuangan mengatur kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola sumber-sumber penerimaan dan pembiayaan daerah. Pasal 5 Undang-Undang Perimbangan Keuangan menegaskan bahwa :
Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan.
Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari :
Pendapatan Asli Daerah;
Dana Perimbangan; dan
Lain-lain Pendapatan.
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari :
sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;
penerimaan Pinjaman Daerah;
Dana Cadangan Daerah; dan
hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan
Menarik untuk dikaji adalah jenis pembiayaan yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b yaitu Pinjaman daerah. Mengenai pinjaman daerah ini Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pasal 51 memberikan ketentuan sebagai berikut :
Pinjaman daerah bersumber dari :
pemerintah;
pemerintah daerah lain;
lembaga keuangan bank;
lembaga keuangan bukan bank; dan
masyarakat.
dst
pinjaman daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa obligasi daerah diterbitkan melalui pasar modal.
Berdasar uraian tersebut menunjukkan bahwa peluang penerbitan obligasi daerah di era otonomi daerah telah mendapatkan momentumnya dalam undang-undang di maksud. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah juga memperkuat dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah. Pasal 10 PP No. 30 Tahun 2011 menyatakan :
Pinjaman Daerah bersumber dari :
pemerintah;
Pemerintah daerah lain;
lembaga keuangan bank;
lembaga keuangan bukan bank;
masyarakat;
dst
dst
Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa Obligasi daerah yang diterbitkan melalui pasar modal
Selanjutnya Pasal 14 ayat (5) vide Pasal 42 PP tersebut menentukan pula bahwa pinjaman jangka panjang yang bersumber dari masyarakat (Obligasi daerah) hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana tersebut.
Dari beberapa ketentuan pasal-pasal tersebut di atas semakin mempertegas peluang bagi pemerintah daerah di era otonomi ini untuk mencari sumber penerimaan dan pembiayaan bagi pembagunan daerahnya melalui instrumen pasar modal yaitu obligasi.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
Bagaimanakah penerbitan obligasi daerah oleh Pemerintah Daerah ?
Apakah penerbitan obligasi daerah sebagai wujud optimalisasi tatakelola keuangan daerah dalam rangka good governance dan clean government ?
Metodologi
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan pendekatan yuridis teoritis. Pendekatan ini dipilih karena dalam penulisan karya ilmiah ini menelaah peraturan perundang-undangan, teori, serta konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan Pemerintahan Daerah.
Penulisan karya ilmiah ini juga menggunakan penalaran induktif yaitu diawali dengan menelusuri hukum positif tentang kewenangan Pemerintah Daerah melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, dan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011. Diharapkan berakhir pada penemuan asas-asas normatif dan doktrin.
Namun demikian di dalam penulisan karya ilmiah ini juga tidak mengabaikan penalaran deduktif, karena asas yang diperoleh secara induksi dapat digunakan untuk mengembangkan pemikiran deduksi agar menghasilkan kesimpulan yang dapat digunakan proses induksi berikutnya.
Kajian Pustaka
Obligasi adalah surat berharga tanda pengakuan hutang pada atau peminjaman uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga tahun dengan memberikan bunga yang jumlah dan saat pembayarannya telah ditentukan lebih dahulu oleh penerbitnya.
Mengenai surat berharga terdapat berbagai istilah yang sering digunakan baik dalam teori, praktik maupun perundang-undangan seperti Commercial Paper/CP, Negotiable Instrument, Waarde van Papieren. Istilah kertas berharga terjemahan dari bahasa Belanda "waarde van papieren", waarde berarti nilai dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) atau berharga, sedang papier berarti kertas, sehingga waarde van papieren berarti "kertas berharga".
Pengertian Negotiable Instrument dalam Black's Law Dictionary disebutkan sebagai berikut : " Negotiable instrument A Written instrument that (1) is signed by the maker or drawer, (2) includes an unconditional promise or order to pay a specified sum of money, (3) is payable on demand or at a difinite time, and (4) is payable to order or to bearer".
Sebagai suatu surat berharga maka harus memenuhi syarat-syarat, sebagaimana dikemukakan Richard E. Speidel and Steven H. Nickles, yaitu :
writting;
signed by the maker or drawer;
promise or order;
unconditional;
money;
fixed amount;
payable on demand or at a definite time;
payable to order or to bearer (words of negotiability);
no other undertaking or instruction.
KUHD tidak mengatur secara khusus mengenai persyaratan pokok suatu surat berharga, hanya saja mengatur tentang bentuk-bentuk surat berharga dan hal-hal yang harus dimuat dalam suatu surat berharga, seperti wesel, surat sanggup, cek, namun demikian dari beberapa ketentuan yang mengatur isi surat-surat berharga tersebut dapat dikemukakan secara garis besar bahwa suatu surat berharga yang dimaksud KUHD memuat hal-hal sebagai berikut :
nama surat berharga;
perintah/janji tak bersyarat;
nama orang yang harus membayar;
penunjukan hari gugur;
penunjukan tempat, dimana pembayaran harus dilakukan;
nama orang, kepada siapa atau kepada penggantinya pembayaran itu harus dilakukan;
penyebutan tanggal, tempat surat berharga diterbitkan;
tanda tangan penerbit.
Dari berbagai persyaratan umum surat berharga sebagaimana tersebut di atas pada dasarnya memiliki kesamaan persyaratan umum yang harus ada pada suatu surat berharga yaitu :
harus berbentuk tertulis;
harus punya nama;
tanda tangan;
jumlah tertentu;
perintah/janji tanpa syarat;
ada kata perintah atau janji membayar;
nama orang yang harus membayar
hari pembayaran.
Pembahasan
5.1 Penerbitan Obligasi Daerah Oleh Pemerintah Daerah.
Pada uraian terdahulu telah disinggung ketentuan normatif tentang kewenangan Pemerintah Daerah dalam penerbitan obligasi daerah, baik dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah. Berikut akan diuraikan bagaimana ketentuan penerbitan obligasi daerah tersebut oleh Pemerintah Daerah.
Pada hakekatnya obligasi daerah tidak banyak perbedaannya dengan obligasi pemerintah maupun obligasi korporasi. Sebagaimana obligasi lainnya, obligasi daerah adalah surat berharga atau sertifikat berisi kontrak antara pemberi pinjaman (dalam hal ini investor) dengan yang diberi pinjaman (emiten). Yang membedakannya ialah bahwa dalam obligasi korporasi yang menjadi emiten adalah perusahaan, dalam obligasi pemerintah yang menjadi emiten adalah pemerintah pusat, sedangkan dalam obligasi daerah yang menjadi emiten adalah pemerintah daerah.
Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam penerbitan obligasi daerah ini bisa Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota, yang kesemuanya itu dengan ketentuan telah mendapatkan persetujuan dari DPRD dan harus memperhatikan kemampuan daerah dalam memenuhi segala kewajibannya. Demikian setidaknya ketentuan tersebut tercermin baik dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 169 ayat (2) maupun Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, Pasal 58, serta PP No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah Pasal 44.
Pasal 169 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan : "Pemerintah Daerah dengan persetujuan DPRD dapat menerbitkan obligasi daerah untuk membiayai investasi yang menghasilkan penerimaan daerah".
Pasal 58 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 menyatakan :
dalam hal pemerintah daerah menerbitkan obligasi daerah, Kepala Daerah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPRD dan Pemerintah;
penerbitan obligasi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas nilai bersih maksimal obligasi daerah yang diterbitkan pada saat penetapan APBD.
Persetujuan DPRD sangat penting bukan saja karena dalam pelaksanaan otonomi daerah suatu daerah wajib memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat, tetapi juga dalam pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
Menjadi suatu ketentuan pula, utamanya bagi pemerintah daerah bahwa peluang penerbitan dan penjualan obligasi daerah ini menjadi lebih terbuka manakala ada kepercayaan publik dari masyarakat terhadap daerah. Untuk mewujudkan hal itu salah satu cara yang ditempuh adalah meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintah daerah, suatu paradigma baru di era otonomi daerah.
Dengan kata lain, untuk menjalankan otonomi daerah diperlukan manajemen baru yang sesuai dengan dinamika persoalan yang dihadapi. Manajemen menjadi faktor yang sangat penting bagi implementasi otonomi daerah di Indonesia.
Apabila sampai saat ini banyak daerah otonom tidak mengalami kemajuan, dan bahkan menjadi sangat tergantung pada pemerintah pusat, tentu ada penyebab-penyebab utamanya (causa prima). Salah satu yang utama atau bahkan yang terutama adalah kemampuan manajerial dari kesatuan masyarakat hukum tersebut, termasuk pemerintah daerahnya untuk menggunakan hak dan menjalankan kewenangan yang telah dimilikinya.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) yang mengatakan bahwa : Persoalan utama yang dihadapi oleh pemerintah dewasa ini bukan terletak pada apa yang dikerjakan tetapi terletak pada bagaimana mengerjakannya.
Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Peter F. Drucker (1995), yang menolak penggunaan istilah "underdeveloped country" untuk negara-negara tertinggal. Drucker menyarankan penggunaan istilah "undermanaged country", karena ketertinggalan negara-negara terbelakang terutama disebabkan oleh ketertinggalan dalam manajemennya. Dengan kata lain, kemajuan suatu negara akan sangat ditentukan oleh kualitas manajemennya. Hal yang secara mutatis mutandis berlaku juga untuk daerah otonom di indonesia.
Sikap birokrat yang cenderung lamban dan berbelit-belit perlu dibersihkan dan diganti tindakan kreatif serta inovatif. Itu penting karena perlu disadari bahwa seorang investor yang akan membeli sekuritas pada dasarnya membeli sebuah prospek. Makin baik prospek kemajuan pembangunan suatu daerah maka animo investor untuk menanamkan uangnya akan semakin tinggi. Jika berbagai peluang itu dapat dimunculkan, maka obligasi daerah akan menjadi instrumen efektif untuk mengembangkan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki. Dengan demikian kedudukan Kepala Daerah dalam kaitannya dengan penerbitan obligasi Daerah tersebut sangat menentukan.
Sebagai acuan prosedur penerbitan Obligasi Daerah oleh Pemerintah Daerah di Indonesia secara lengkap telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah. Bab 2 tentang Penerbitan mengatur prosedur secara rinci yang diawali dari Perencanaan penerbitan obligasi daerah oleh Pemerintah Daerah (Pasal 7); Pengajuan usulan rencana penerbitan obligasi daerah dari Pemerintah Daerah kepada Menteri Keuangan c.q Dirjen Perimbangan Keuangan (Pasal 8); Penilaian dan Persetujuan oleh Menteri Keuangan c.q Dirjen Perimbangan Keuangan (Pasal 9); Pengajuan pernyataan pendaftaran penawaran umum obligasi daerah oleh Pemerintah Daerah kepada Bappepam-LK (Pasal 11), selanjutnya tentu dilakukan penerbitan Obligasi Daerah di Pasar Modal domestik yang dituangkan dalam Peraturan Daerah (Pasal 12).
Penerbitan Obligasi Daerah Sebagai Wujud Optimalisasi Tatakelola Keuangan
Daerah Dalam Rangka Good Governance dan Clean Government.
Reformasi tata kelola keuangan daerah yang berorientasi pada perwujudan good governance secara bertahap sudah mencapai kemajuan signifikan, baik dari segi kelengkapan regulasi, arahan kebijakan, penataan kinerja perencanaan, penganggaran serta pengelolaan keuangan daerah. Perundang-undangan Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah antara lain Peraturan Pemerintah No. 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan,Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah serta arahan-arahan dari Menteri Dalam Negeri telah membantu pemerintah daerah untuk tidak sekadar menjalankan administrasi keuangan (financial administration), akan tetapi juga tata kelola keuangan (financial management).
Keseluruhan perundang-undangan serta regulasi dan kebijakan terkait tata kelola keuangan daerah dimplementasikan dengan berbekal komitmen Kepala Daerah dan DPRD untuk membangun tata kelola keuangan yang memenuhi kriteria-kriteria good governance maupun clean government.
Dalam rangka penyelenggaraan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), terutama prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas, pengelolaan keuangan harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan serta dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Berkait dengan penerbitan obligasi daerah, pemerintah daerah tentunya harus memperhatikan segala ketentuan yang berkaitan dengan surat-surat berharga serta ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal agar obligasi daerah tersebut siap untuk memasuki pasar, baik melalui mekanisme Initial Public Offering (IPO) yaitu langsung kepada masyarakat investor dalam pasar perdana, maupun melalui mekanisme pasar sekunder, lewat bursa efek dimana efek tersebut sebelumnya telah dicatat (listing),yang pada akhirnya dapat dipergunakan untuk membiayai pembangunan daerah.
Untuk sampai ke arah dimaksud penting diperhatikan oleh pemerintah daerah sebagai penerbit obligasi daerah antara lain mengenai kewajiban disclosure (keterbukaan) baik aspek legalitas, akuntansi, keuangan, dan manajemen. Ketentuan keterbukaan ini berfungsi untuk memelihara kepercayaan publik terhadap pasar, menciptakan pasar yang efisien, dan mencegah penipuan (fraud).Di sisi lain hal itu juga sekaligus sebagai upaya pemerintah daerah dalam rangka menarik kepercayaan masyarakat investor terhadap surat berharga (obligasi daerah) yang diterbitkan.
Transparansi dalam pasar modal berarti keharusan emiten, perusahaan publik, dan pihak lain yang tunduk kepada undang-undang pasar modal untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh informasi material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap efek yang dimaksud dan atau harga dari efek tersebut.
Informasi atau fakta material adalah informasi ataupun fakta penting yang relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek pada bursa dan atau keputusan pemodal/calon pemodal atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi ataupun fakta tersebut.
Searah dengan prinsip transparancy itu pula, maka bagi daerah yang akan memasuki pasar modal diwajibkan untuk menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) yang secara normatif dibakukan pengaturannya dalam undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, sebagaimana tersurat dalam Pasal 101, 102, dan 103.
SIKD ini merupakan fasilitas yang diselenggarakan untuk mengumpulkan data, mengolah, melakukan validasi dan analisis data, serta menyajikan informasi keuangan daerah. SIKD ini selain bermanfaat membantu daerah dalam menetapkan kebijakan keuangan daerah dan penyusunan RAPBD, juga dirancang agar dapat diakses oleh masyarakat guna menilai kinerja keuangan daerah.
Sejalan dengan hal tersebut Pasal 18 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah menentukan : "Kepala Daerah wajib mempublikasikan secara berkala mengenai data Obligasi Daerah dan/atau informasi lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal".
Selain itu pada pasal sebelumnya yakni Pasal 16 diatur bahwa Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk wajib menyampaikan laporan penerbitan, penggunaan dana dan pembayaran kupon dan/atau pokok Obligasi Daerah setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri Keuangan. Selanjutnya dalam Pasal 17 ditentukan bahwa Menteri Keuangan c.q Dirjen Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas: Penerbitan Obligasi Daerah; Penggunaan dana Obligasi Daerah; Kinerja pelaksanaan kegiatan; dan Realisasi pembayaran kupon dan/atau Pokok Obligasi Daerah. Hasil pemantauan dan evaluasi tersebut dilaporkan oleh Dirjen Perimbangan Keuangan kepada Menteri Keuangan dan dapat merekomendasikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk menghentikan penerbitan Obligasi Daerah.
Berdasar pasal-pasal tersebut di atas semakin jelas bahwa upaya penerbitan Obligasi Daerah oleh Pemerintah Daerah harus dilakukan secara serius dan profesional dalam arti harus mengindahkan berlakunya ketentuan-ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, baik Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, maupun Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, serta peraturan-peraturan yang ada di bawahnya, yang sekaligus membuktikan bahwa kemampuan suatu daerah dalam menerbitkan Obligasi daerah sebagai wujud optimalisasi tatakelola keuangan daerah dalam rangka Good Governance dan Clean Government.
Sebagai penutup, tentu sangat diharapkan keseriusan Pemerintah Daerah dalam upaya menerbitkan Obligasi Daerah seiring telah dikeluarkannya seperangkat peraturan perundangan yang berkait dengan Obligasi Daerah. Pada era otonomi daerah sekarang inilah kesempatan itu seharusnya dapat dimanfaatkan oleh para Kepala Daerah jika ingin mewujudkan peningkatan kesejahteraan hidup rakyat di daerah.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1). Bahwa penerbitan Obligasi Daerah oleh Pemerintah Daerah sesungguhnya terletak pada kemampuan manajerial Kepala Daerah dalam mengupayakannya, dimana secara teknis pengaturan penerbitan Obligasi Daerah tersebut secara rinci dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah.
2). Bahwa penerbitan Obligasi Daerah oleh Pemerintah Daerah harus dilakukan secara serius dan profesional, dalam arti harus mengindahkan berlakunya ketentuan-ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, baik Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, maupun Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, serta peraturan-peraturan yang ada di bawahnya, yang sekaligus membuktikan bahwa kemampuan suatu daerah dalam menerbitkan Obligasi daerah sebagai wujud optimalisasi tatakelola keuangan daerah dalam rangka Good Governance dan Clean Government.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003.
Bryan A. Garner, Black's Law Dictionary, ST. Paul. Minn, West Group, Seventh Edition,
1999.
Iskandar Z. Alwi, Pasar Modal Teori dan Aplikasi, Yayasan Pancur Sirah, Jakarta, 2003.
Isran Noor, Politik Otonomi Daerah Dalam Kerangka Penguatan NKRI, Seven Strategic
Studies, Cetakan Kedua, November 2012.
Richard E. Speidel and Steven H. Nickles, Negotiable Instruments and Check
Collection, west Publishing Company, 1993.
Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Focus
Media, Bandung, 2003.
Jurnal, Makalah.
Bismar Nasution, Pentingnya Keterbukaan Untuk Pengelolaan Perusahaan Yang Baik
dalam UUPM, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, Jakarta, Juli 2001.
Rudi Prasetya, Kedudukan Emiten dan Perusahaan Publik Dalam Undang - Undang
No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Undang-Undang No. 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas, Makalah Seminar Nasional tentang
Pasar Modal, Surabaya, 20 Januari 1996.
Peraturan Perundangan.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah.
Peraturan Menteri Keuangan No. 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan,
Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah.
9