KAJIAN KEBERADAAN TEMPAT PEMROSESAN AKHIR ( TPA ) SAMPAH SEKOTO DALAM KONTEKS TATA RUANG
Teguh AS. Tarigan Program Studi Teknik Sanitasi Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
[email protected]
Tujuan Penulisan : Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Mata Kuliah Analisis Kebijakan Spasial
Abstrak : Kehadiran tempat pemrosesan akhir ( TPA ) seringkali menimbulkan dilema. TPA dibutuhkan, tetapi sekaligus tidak diinginkan kehadirannya diruang pandang. Tempat Pemrosesan Akhir ( TPA ) Sampah Sekoto Desa Sekoto, Kecamatan Badas, Kabupaten Kediri Provinsi Jawa Timur yang telah menerapkan sistem controlled landfill, pada kenyataannya masih memberikan dampak negatif pada lingkungan, sehingga secara operasional diperlukan penyempurnaan melalui proses monitoring dan evaluasi secara berkala. Untuk meminimalkan dampak negatif dari TPA dan hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, maka di dalam merencanakan lokasi yang akan dipergunakan sebagai Tempat Pemrosesan Akhir ( TPA ) sampah sebaiknya memperhatikan dan melakukan penilaian kelayakan dari calon lokasi TPA dengan menggunakan SNI No. 19-3241-1994 dan regulasi lainnya yang terkait dengan tata ruang. Lokasi TPA yang tepat, pengelolaan sampah yang tepat, dan sarana prasarana pendukung TPA yang memadai akan membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan, kesehatan, bernilai ekonomis dan memperpanjang umur pelayanan TPA.
A. PENDAHULUAN Kehadiran tempat pemrosesan akhir ( TPA ) seringkali menimbulkan dilema. TPA dibutuhkan, tetapi sekaligus tidak diinginkan kehadirannya diruang pandang. Kegiatan TPA juga menimbulkan dampak gangguan antara lain : kebisingan, ceceran sampah, debu, bau, dan binatang-binatang vektor. Belum terhitung ancaman bahaya yang tidak kasat mata, seperti kemungkinan ledakan gas akibat proses pengolahan yang tidak memadai. Lebih lanjut, sampah juga berpotensi menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat yang ada di sekitarnya akibat penguasaan lahan oleh kelompok orang yang hidup dari pemulungan. Konflik bisa memuncak pada protes dari masyarakat kepada pengelola TPA untuk menutupnya dan memindahkannya ke tempat yang lain. Untuk meminimalkan dampak negatif dari TPA dan hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, maka di dalam merencanakan lokasi yang akan dipergunakan sebagai Tempat Pemrosesan Akhir ( TPA ) sampah sebaiknya memperhatikan dan melakukan penilaian kelayakan dari calon lokasi TPA dengan menggunakan SNI No. 19-3241-1994 dan regulasi lainnya yang terkait dengan tata ruang. Lokasi TPA yang tepat, pengelolaan sampah yang tepat, dan sarana prasarana pendukung TPA yang memadai akan membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan, kesehatan, bernilai ekonomis dan memperpanjang umur pelayanan TPA. Tempat Pemrosesan Akhir ( TPA ) Sampah Sekoto Desa Sekoto, Kecamatan Badas, Kabupaten Kediri Provinsi Jawa Timur yang telah menerapkan sistem controlled landfill, pada kenyataannya masih memberikan dampak negatif pada lingkungan, sehingga secara operasional diperlukan penyempurnaan melalui proses monitoring dan evaluasi secara berkala. Dampak negatif yang perlu mendapat perhatian serius adalah terjadinya akumulasi berbagai bahan pencemar baik pada air, udara, dan tanah dan adanya kerusakan yang parah pada bangunan kolam pengolahan air lindi / leachate sehingga pengolahan sampah tidak maksimal dan menyebabkan masalah pencemaran lingkungan, lalat dan bau yang menyengat.
1
B. KONSEP DASAR TEORI KONSEP KEBIJAKAN SPASIAL Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memiliki visi yaitu terwujudnya ruang nusantara yang mengandung unsur-unsur penting dalam menunjang kehidupan masyarakat, sebagai berikut : 1) Keamanan : masyarakat terlindungi dari berbagai ancaman dalam menjalankan aktifitasnya; 2) Kenyamanan : kesempatan luas bagi masyarakat untuk dapat menjalankan fungsi dan mengartikulasi nilai-nilai sosial budayanya dalam suasana tenang dan damai; 3) Produktivitas : proses dan distribusinya dapat berlangsung efisien serta mampu
menghasilkan
nilai
tambah
ekonomis
bagi
kesejahteraan
masyarakat dan meningkatkan daya saing; 4) Berkelanjutan : kualitas lingkungan dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan generasi mendatang. Untuk mendukung visi diatas, maka setiap wilayah harus selalu memperhatikan aspek sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti ditetapkan pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 pasal 3 yaitu bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dengan terwujudnya : 1) Keharmonisan antara lingkungan alami dan buatan; 2) Keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan 3) Perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Sementara
pasal
6
ayat
(1)
mempertegas
bahwa
penataan
ruang
diselenggarakan dengan memperhatikan potensi khusus sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan serta kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai suatu kesatuan. Peraturan Daerah Kabupaten Kediri No. 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kediri Tahun 2010 – 2030, pada pasal 7 mengenai Rencana Struktur Ruang diwujudkan berdasarkan arahan
2
pengembangan sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana wilayah, terdiri atas : 1) Sistem jaringan transportasi ; 2) Sistem jaringan energi ; 3) Sistem jaringan telekomunikasi ; 4) Sistem jaringan sumber daya air ; dan 5) Sistem jaringan prasarana lainnya. Pasal 20, mengenai Sistem jaringan prasarana lainnya terdiri atas : 1) Sistem pengelolaan sampah ; 2) Sistem sanitasi lingkungan ; dan 3) Jalur evakuasi bencana. Sistem pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 meliputi : 1) Optimalisasi pemanfaatan dan perluasan area Tempat Pemrosesan Akhir ( TPA ) sampah Sekoto berada di desa Sekoto Kecamatan Badas Kabupaten Kediri, serta rehabilitasi sistem menjadi controlled landfill. 2) Pembangunan TPA baru di Kecamatan Ngadiluwih berada di desa Branggahan, untuk melayani wilayah Selatan, di Kecamatan Papar untuk melayani wilayah Utara, dan Kecamatan Grogol untuk melayani wilayah Barat, dengan sistem controlled landfill / sanitary landfill. 3) Pengembangan Tempat Penampungan Sementara ( TPS ) sesuai standar pelayanan tersebar di seluruh Kecamatan. 4) Pengembangan sistem pengurangan masukan sampah ke TPA melalui pengurangan, penggunaan kembali, dan pengolahan di sumber sampah. Analisis penetapan lokasi TPA berdasarkan SNI No. 19-3241-1994, memiliki parameter penyaringan awal yang sering digunakan yaitu : 1) Geologi Batuan dasar pada area calon TPA menjadi sangat berarti peranannya dalam meminimalisasi penyebaran air lindi / leachate sampah secara alamiah, baik pada saat bergerak menuju muka air tanah maupun pada saat bergerak lateral bersama air tanah oleh karena itu diperlukan studi pemilihan area TPA yang tidak memiliki batuan dasar dengan formasi batu pasir, batu gamping atau batuan berongga. Daerah geologi lainnya yang penting untuk dievaluasi adalah potensi gempa, zona vulkanik yang aktif serta daerah longsoran. Daerah sekitar gunung berapi merupakan daerah rawan geologis sehingga tidak dianjurkan untuk
3
menjadi lokasi calon TPA. Gerakan tanah yang tinggi juga dinilai tidak cocok untuk dijadikan calon lokasi TPA. 2) Hidrogeologi Informasi hidrogeologi dibutuhkan untuk mengetahui keberadaan muka air tanah, mendeteksi impermiabilitas tanah, lokasi sungai atau waduk atau air permukaan dan sumber air minum yang digunakan oleh penduduk sekitar. Tanah dengan permeabilitas cepat dinilai memiliki nilai yang rendah untuk menjadi lokasi calon TPA karena memberikan perlindungan yang kecil terhadap air tanah dan membutuhkan teknologi tambahan yang khusus. Jenis tanah juga mempengaruhi permeabilitas terhadap air yang masuk ke tanah. Pada calon TPA dipilih daerah dengan jenis tanah yang tidak berpasir karena memiliki porositas yang tinggi sehingga angka kelulusan air dalam tanah akan relatif tinggi sehingga dapat mengganggu kualitas air tanah. Permeabilitas tanah cepat ( pasir kasar ) yaitu lebih besar dari 36 cm per jam ; permeabilitas tanah baik ( pasir halus ) yaitu 3,6-36 cm per jam ; permeabilitas sedang yaitu 2,0-3,6 cm per jam ; sedangkan permeabilitas lambat dibawah 2,0 cm per jam. 3) Hidrologi Fasilitas pengurukan limbah tidak diinginkan berada pada suatu lokasi dengan jarak antara dasar sampai lapisan air tanah tertinggi kurang dari 3 m. Potensi pencemaran juga berhubungan dengan intensitas hujan. 4) Topografi Tempat pengurukan limbah tidak boleh terletak pada suatu bukit dengan lereng yang tidak stabil. Suatu daerah dinilai lebih bila terletak di daerah landai dengan topografi tinggi. Daerah yang sangat curam dinilai memiliki nilai yang lebih kecil karena dikhawatirkan dapat menyebabkan kelongsoran yang berakibat fatal terutama saat terjadi hujan atau rembesan air yang tinggi. 5) Tata Guna Lahan Landfilling yang menerima limbah organik, dapat menarik kehadiran burung sehingga tidak boleh diletakkan dalam jarak 300 meter dari landasan lapangan terbang yang digunakan oleh penerbangan turbo jet atau dalam jarak 1500 meter dari landasan lapangan terbang yang digunakan oleh penerbangan jenis piston. Disamping itu, lokasi tersebut tidak boleh terletak di dalam wilayah yang diperuntukkan bagi daerah lindung perikanan, satwa
4
liar, dan pelestarian tanaman. Jenis penggunaan tanah lainnya yang biasanya dipertimbangkan kurang cocok adalah konservasi lokal dan daerah kehutanan. Pemilihan lokasi untuk pembuangan sampah ( TPA ) seharusnya tidak berbenturan dengan peruntukan lahan lainnya, oleh karena itu pada tahap terakhir peta tematik di-overlay-kan dengan peta Land Use Kabupaten Kediri. Hal ini untuk mencegah kemungkinan timbulnya pencemaran dan sisi negatif terhadap masyarakat di sekitar TPA. Kesulitan dalam pemilihan lokasi pembuangan sampah biasanya karena tidak dijumpai lahan yang memadai sesuai dengan peruntukan lahan atau kondisi geologi dari wilayah tersebut. Kawasan sekitar TPA adalah kawasan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh TPA. Kawasan sekitar TPA dibagi menjadi : 1) Zona penyangga Zona penyangga berfungsi untuk menunjang fungsi perlindungan bagi penduduk yang melakukan kegiatan sehari-hari di sekitar TPA. Berfungsi untuk mencegah dampak lindi / leachate terhadap kesehatan masyarakat, mencegah binatang vektor seperti lalat dan tikus merambah kawasan permukiman, menyerap debu yang beterbangan karena tiupan angin dan pengolahan sampah, mencegah dampak kebisingan dan pencemaran udara oleh pembakaran dalam pengolahan sampah. 2) Zona budi daya terbatas Zona yang berada di luar zona penyangga dengan fungsi yaitu memberikan ruang untuk kegiatan budi daya yang terbatas atau kegiatan budi daya yang berkaitan dengan TPA. Zona budi daya terbatas hanya dipersyaratkan untuk TPA dengan sistem selain pengurugan berlapis bersih ( sanitary landfill ). Ketentun Teknis untuk TPA Baru atau yang Direncanakan : Zona Penyangga ; 1) Zona
penyangga
sesuai
dengan
Pedoman
Pengoperasian
dan
Pemeliharaan Tempat Pemrosesan Akhir ( TPA ) dengan sistem Controlled Landfill dan Sanitary Landfill dengan jarak 0 – 500 meter. Pemanfaatan lahannya ditentukan sebagai berikut : a. 0 – 100 meter
: diharuskan berupa sabuk hijau ; dan
b. 101 – 500 meter : pertanian non pangan dan hutan.
5
2) Ketentuan pemanfaatan ruang : a. Sabuk hijau dengan tanaman keras yang boleh dipadukan denga tanaman perdu terutama tanaman yang dapat menyerap racun dengan ketentuan sebagai berikut :
Jenis tanaman adalah tanaman tinggi dikombinasi denga tanaman perdu yang mudah tumbuh dan rimbun terutama tanaman yang dapat menyerap bau ; dan
Kerapatan pohon adalah minimum 5 meter.
b. Pemrosesan sampah utama. c. Instalasi pengolahan
sampah
menjadi energy,
atau
instalasi
pembakaran ( incinerator ) bersama unit pengelolaan limbahnya. d. Kegiatan budi daya perumahan tidak diperbolehkan pada zona penyangga. 3) Kriteria teknis : a. Tidak menggunakan air tanah setempat dalam kegiatan pengolahan sampah ; b. Ketersediaan sistem drainase yang baik ; dan c. Ketersediaan fasilitas parkir dan bongkar muat sampah terpilah yang akan didaur ulang di lokasi lain. 4) Pengelolaan : a. Jalan masuk ke TPA, sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal Bina Marga, dipersyaratkan :
Dapat dilalui truk sampah dua arah dengan lebar badan jalan minimum 7 meter ; dan
Jalan kelas I dengan kemampuan memikul beban 10 ton dan kecepatan 30 Km/jam.
b. Drainase permanen terpadu dengan jalan dan bila diperlukan didukung oleh drainase local tak permanen. c. Sabuk hijau yang dimaksudkan untuk zona penyangga adalah ruang dengan kumpulan pohon dan bukan sekedar deretan pohon yang bila dimungkinkan mempunyai nilai ekonomi. d. Tanaman yang direkomendasikan adalah yang sesuai dengan kondisi alam setempat, termasuk iklim, rona fisik, dan kondisi lapisan tanah. Spesies yang direkomendasikan termasuk :
6
Callophyllum Inophyllum L. Nama lokal : Nyamplung, Bintangur laut. Famili : Guttiferae. Tinggi sampai 20 meter.
Dalbergia Latifotia Roxb. Nama lokal : Sonokeling. Famili : Leguminosae. Bentuk mahkota bulat dan letaknya kurang dari 5 meter.
Michelia Champaca L. Nama lokal : Cempaka kuning. Famili : Magnoliaceae. Berbunga kuning dan wangi sehingga cocok untuk TPA yang terletak pada lokasi padat atau pada bagian dari lokasi pariwisata.
Mimusop Elengi L. Nama lokal : Tanjung. Famili : Sapotaceae. Tinggi kira-kira 13-27 meter.
Schleichera Trijuga Willd. Nama lokal : Kesambi. Famili : Sapindaceae. Tinggi kira-kira 25 meter. Mahkota berbentuk bulat dan letaknya kurang dari 5 meter.
Swietenia Mahagoni Jacq. Nama lokal : Mahoni. Tinggi 10-30 meter.
Zona Budi Daya Terbatas ; 1) Zona budi daya terbatas untuk TPA baru dengan sistem pengurugan berlapis bersih ( sanitary landfill ) tidak diperlukan. 2) Zona budi daya terbatas untuk sistem pengurugan berlapis terkendali ( controlled landfill ) ditentukan sejauh 0 – 300 meter dari batas terluar zona inti. Pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut : a. Rekreasi dan RTH ; b. Industri
terkait
pengolahan
sampah
:
pengolahan
kompos,
pendaurulangan sampah, dan lain-lain ; c. Pertanian non pangan ; d. Permukiman di arah hulu TPA bersangkutan diperbolehkan denga persyaratan tertentu untuk menghindari dampak pencemaran lindi / leachate pada daerah hilir TPA. Persyaratan tersebut termasuk sistem drainase yang baik, penyediaan air bersih yang tidak bersumber dari air tanah setempat ; e. Fasilitas pemilahan, pengemasan, dan penyimpanan sementara. 3) Kriteria teknis : a. Tersedia akses dan jaringan jalan yang baik ; b. Tersedia drainase yang memadai ;
7
c. Tersedia sistem pembuangan limbah cair yang baik untuk fasilitasfasilitas pengolahan sampah yang menghasilkan limbah ; d. Tersedia pasokan air dan tidak menggunakan air tanah setempat dalam proses produksi dan kegiatan penunjang lain di dalam kawasan ; e. Tersedia parkir dan bongkar muatan sampah dan muat sampah terpilah yang akan didaur ulang di lokasi lain ; f.
Lebar jalan dan ruang terbuka memungkinkan manuver kendaraan pengangkut sampah dua arah, baik yang sedang bergerak, maupun yang sedang membongkar muatan ;
g. Penggunaan lahan pada zona budi daya terbatas selain pada ketentuan di atas ditentukan denga melakukan kajian lingkungan sesuai dengan yang tersebut dalam ketentuan umum. Ketentun Teknis untuk TPA Lama atau yang Sedang Dioperasikan : Zona Penyangga ; 1) Zona penyangga telah tersedia dalam TPA. 2) Pada TPA yang belum memiliki zona penyangga ditetapkan zona penyangga pada area 0 – 500 meter sekeliling TPA dengan pemanfaatan sebagai berikut : a. 0 – 100 meter diharuskan berupa sabuk hijau ; b. 101 – 500 meter pertanian non pangan, hutan. Zona Budi daya Terbatas ; 1) Zona budi daya terbatas tidak diperlukan pada TPA lama yang menggunakan sistem pengurugan berlapis bersih ( sanitary landfill ). 2) Zona budi daya terbatas ditentukan pada TPA lama yang menggunakan sistem pengurugan berlapis terkendali ( controlled landfill ) pada jarak 501 – 800 meter dari batas terluar tapak TPA. Pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut : a. Rekreasi dan RTH ; b. Industri terkait sampah ; c. Pertanian non pangan ; dan d. Permukiman di arah hilir bersyarat. e. Permukiman yang telah ada sebelumnya harus memperhatikan persyaratan-persyaratan teknis dalam penggunaan air tanah. Khusus untuk air minum disarankan untuk tidak menggunakan air tanah.
8
Dengan tabel pemanfaatan lahan kawasan sekitar TPA dapat diuraikan sebagai berikut :
9
10
11
12
PENGOLAHAN CAIRAN AIR LINDI / LEACHATE DI TPA Pengolahan air lindi / leachate merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan pengelolaan sampah secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Air lindi / leachate merupakan air dengan konsentrasi kandungan organik yang tinggi yang terbentuk dalam landfill akibat adanya air hujan yang masuk ke dalam landfill. Air lindi / leachate merupakan cairan yang sangat berbahaya karena selain kandungan organiknya tinggi, juga dapat mengandung unsur logam ( seperti Zn, Hg ). Jika tidak ditangani dengan baik, air lindi / leachate dapat menyerap dalam tanah sekitar landfill kemudian dapat mencemari air tanah di sekitar landfill. Lindi / leachate adalah limbah cair sebagai akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan limbah / sampah kemudian membilas dan melarutkan materi yang ada dalam timbunan tersebut, sehingga memiliki variasi kandungan polutan organik dan anorganik. Saat air hujan kontak dengan lahan sampah, sebagian air hilang menjadi limpasan dan mengalami evapotranspirasi. Sisa dari air tersebut masuk ( infiltrasi ) ke dalam timbunan sampah. Lindi / leachate akan timbul ketika kemampuan maksimum sampah menyerap air ( field capacity ). Pengolahan air lindi / leachate dapat dilakukan dengan berbagai alternatif seperti : 1) Resirkulasi air lindi / leachate kembali ke dalam
landfill. Hal ini dapat
meningkatkan laju dekomposisi kandungan organik menjadi biogas hingga sekitar 70%. Resirkulasi air lindi / leachate dapat dilakukan pada musim kemarau, sedangkan pada musim hujan, air lindi / leachate harus diolah untuk mengurangi volumenya. 2) Pengolahan air lindi / leachate dengan menggunakan pengolahan limbah secara biologis. Pengolahan ini biasa dilakukan dengan menggunakan lumpur aktif yang berfungsi mendegradasi kandungan organik yang terdapat
13
dalam air lindi / leachate. Setelah kandungan organik dalam air lindi / leachate turun drastis, kemudian dapat dilakukan pemurnian kembali dengan menggunakan alat filtrasi. Air keluaran yang diharapkan dari pengolahan semacam ini dapat langsung dibuang ke lingkungan karena tidak berbahaya bagi lingkungan. 3) Pengolahan air lindi / leachate dengan menggunakan pengolahan limbah secara kimiawi. Pengolahan air lindi / leachate denga menggunakan membran. Selain untuk mengurangi kekeruhan atau turbiditas, pengolahan dengan membran dimaksudkan untuk mengurangi kadar COD, BOD serta kandungan logam pada air lindi / leachate. Umumnya diperlukan pengolahan bertahap untuk menghasilkan limbah yang memenuhi syarat baku mutu limbah seperti bioreaktor dengan membran ( membrane bioreactor ) atau integrasi antara ultrafiltrasi dan karbon aktif. Metode landfill relatif mudah dilakukan dan bisa menampung sampah dalam jumlah besar. Akan tetapi, anggapan ini kurang tepat karena jika tidak dilakukan secara benar, landfill dapat menimbulkan masalah yang berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan. Masalah utama yang sering timbul adalah bau dan pencemaran air lindi / leachate yang dihasilkan. Selain itu, gas metana yang dihasilkan oleh landfill dan tidak dimanfaatkan akan menyebabkan efek pemanasan global. Jika termampatkan di dalam tanah, gas metana bisa meledak. Oleh sebab itu, dalam sistem landfill yang baik diperlukan adanya unit pengolahan air lindi / leachate dan unit pengolahan biogas. Lindi / leachate sangat potensial menjadi masalah, karena aliran lindi / leachate bergerak secara lateral maupun vertikal bergantung pada karakteristik dari material yang berada disekitarnya. Air permukaan yang telah tercemar oleh lindi / leachate dapat menyebabkan matinya ikan, hilangnya nilai estetik dan perubahan keseimbangan hidup flora dan fauna di dalam air. Pada kasus pencemaran air tanah, kontaminasi akan berjalan terus menerus dalam periode yang lama. Untuk menanggulangi dan mencegah pencemaran ini tentunya akan menghabiskan dana yang sangat besar dan khusus untuk kasus pencemaran air tanah, untuk mengembalikan kondisi air ke keadaan semula ( tidak tercemar ) dibutuhkan waktu puluhan atau bahkan ratusan tahun. Komposisi lindi / leachate sangat bervariasi dari waktu ke waktu bergantung pada aktifitas secara fisik, kimia dan biologis yang terjadi dalam
14
sampah. Sangat sulit untuk menyimpulkan atau mendefinisikan karakteristik lindi / leachate di TPA. Variasi penggambaran kontaminan dari lindi / leachate telah ada dalam berbagai macam literature untuk beberapa kondisi di lokasi yang berbeda. Rentang jumlah kontaminan yang cukup jauh menunjukkan sulitnya mendefinisikan atau memprediksikan komposisi tipikal dari berbagai macam kontaminan yang ada dalam lindi / leachate. Variasi komposisi lindi / leachate ini disebabkan oleh berbagai macam sebab antara lain interaksi antara komposisi sampah, umur dari sampah, kondisi hidrogeologi dari lahan, iklim, musim dan air yang melalui timbunan. Selain itu penentuan tinggi setiap sel, kedalaman keseluruhan timbunan, tanah penutup dan kompaksi sampah juga turut berpengaruh. Setelah lindi / leachate keluar dari timbunan sampah, komposisi lindi / leachate di pengaruhi oleh jenis tanah dan pengenceran oleh air tanah. Pada sebuah lahan urug yang baik biasanya dibutuhkan sistem Pelapis Dasar ( Liner ), yang bersasaran mengurangi mobilitas lindi / leachate ke dalam air tanah. Sebuah liner yang efektif akan mencegah migrasi cemaran ke lingkungan, khususnya ke dalam air tanah. Namun pada kenyataannya belum didapat sistem liner yang efektif 100%. Karena timbulan lindi / leachate tidak terelakkan, maka disamping sistem liner dibutuhkan sistem pengumpulan lindi / leachate. Oleh karenanya, dasar sebuah lahan urug akan terdiri dari : 1) Lapisan-lapisan bahan liner untuk mencegah migrasi cemaran keluar lahan urug. 2) Sistem pengumpulan lindi / leachate. Sistem pelapis tersebut dapat berupa bahan alami (seperti : tanah liat, bentonite) maupun sintetis. Penggunaan bahan liner tersebut bisa secara tunggal maupun kombinasi antara keduanya yang dikenal sebagai geokomposit, tergantung fungsi yang dibutuhkan. Formasi lapisan dan jenis bahan liner ini bermacammacam tergantung pada karakteristik buangan padat yang ditimbun. Untuk jenis sampah kota, cukup mengaplikasikan sistem singled liner dengan jenis bahan liner berupa clay. Pelapis dasar yang dianjurkan adalah dengan geosintetis atau dikenal sebagai flexible membrane liner ( FML ). Jenis geosintetis yang biasa digunakan sebagai pelapis dasar adalah :
Geotextile sebagai filter
15
Geonet sebagai sarana drainase
Geomembrane dan Geokomposit sebagai lapisan penghalang. Sistem pengumpul lindi / leachate yang umum digunakan adalah :
1) Menggunakan pipa berlubang yang ditempatkan dalam saluran, kemudian diselubungi batuan. Cara ini paling banyak digunakan pada landfill. 2) Membuat saluran kemudian saluran tersebut diberi pelapis dan di dalamnya disusun batu kali kosong. Fasilitas-fasilitas pengumpulan lindi / leachate dengan menggunakan pipa secara umum adalah sebagai berikut : 1) Slope Teras Untuk mencegah akumulasi lindi / leachate didasar suatu lahan urug, dasar lahan urug ditata menjadi susunan teras-teras dengan kemiringan tertentu ( 1 – 5 % ) sehingga lindi / leachate akan mengalir ke saluran pengumpul ( 0,50 – 1% ). Untuk mengalirkan lindi / leachate ke unit pengolahan atau resirkulasi setiap saluran pengumpul dilengkapi dengan pipa berlubang. Kemiringan
dan
panjang
maksimum
saluran
pengumpul
dirancang
berdasarkan kapasitas fasilitas saluran pengumpul. Untuk memperkirakan kapasitas fasilitas saluran pengumpul dipergunakan persamaan Manning. 2) Piped Bottom Dasar lahan urug dibagi menjadi beberapa persegi panjang yang dipisahkan oleh pemisah tanah liat. Lebar pemisah tersebut tergantung dari lebar sel. Pipa-pipa pengumpul lindi / leachate ditempatkan sejajar dengan panjang sel dan diletakkan langsung pada geomembran. Beberapa fungsi dari sistem penutup akhir adalah : 1) Meminimalisasi infiltrasi air hujan ke dalam tumpukan sampah setelah lahan urug selesai dipakai. 2) Mengontrol emisi gas dari lahan urug ke lingkungan. 3) Mengontrol binatang dan vektor-vektor penyakit yang dapat menyebabkan penyakit pada ekosistem. 4) Mengurangi resiko kebakaran. 5) Menyediakan permukaan yang cocok untuk berbagai kegunaan setelah lahan urug selesai digunakan, seperti untuk taman rekreasi dan lain-lain. 6) Elemen utama dalam reklamasi lahan. 7)
Mencegah kemungkinan erosi.
8) Memperbaiki tampilan lahan urug dari segi estetika.
16
Sistem penutup akhir lahan urug terdiri dari beberapa bagian. Bagian atas biasanya beberapa tanah yang berfungsi sebagai pelindung dan media pendukung tanaman ( Top Soil ). Apabila tanah yang terdapat di lokasi tidak memenuhi persyaratan maka diperlukan perbaikan. Perbaikan ini dilakukan dengan cara mencampur atau mengganti tanah tersebut dengan tanah dari lokasi lain. Tebal lapisan top soil ini adalah 60 cm. Lapisan dibawah top soil berfungsi sebagai sistem drainase. Lapisan ini menyalurkan sebanyak mungkin presipitasi yang masuk sehingga tidak mengalir ke lapisan di bawahnya. Materi yang biasa digunakan berupa materi berpori, seperti : pasir, kerikil, dan bahan sintetis, seperti geonet. Tebal lapisan ini sekitar 30 cm. Berikutnya adalah lapisan penahan. Materi yang biasa digunakan adalah geokomposit ( geomembrane dan tanah liat yang dipadatkan ). Ketebalan geomembrane yang dianjurkan adalah lebih besar dari 2,50 mm, sedangkan untuk tanah liat adalah lebih besar dari 50 cm. Di bawah lapisan penahan terdapat lapisan sistem ventilasi gas. Sistem ini mutlak diperlukan untuk sampah kota, karena sebagian besar sampah tersebut merupakan bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis. Dalam kondisi aerob, gas yang dihasilkan sebagian besar berupa karbon dioksida dan metan, oleh karena itu pemanfaatan gas bio tersebut dapat dijadikan suatu alternatif sumber energi. Lapisan sistem ventilasi gas terdiri dari media berpori seperti seperti pasir, kerikil, atau berupa sistem perpipaan. Lapisan terbawah dari sistem penutup akhir adalah lapisan subgrade. Lapisan ini dibutuhkan untuk meningkatkan kestabilan permukaan lahan urug. Selain itu lapisan ini membantu pembentukan kemiringan yang diinginkan guna mempercepat drainase lateral dan mengurangi tinggi hidrolis. Ketebalan lapisan ini biasanya 30 cm. Selain sistem penutup akhir tersebut, untuk mengurangi limpasan air yang masuk ke dalam lahan urug, dilakukan pengaturan kemiringan, juga dilengkapi dengan drainase permukaan dan penanaman tanaman. Dari segi komponen, kandungan pada lindi / leachate tidak berbeda dengan air buangan domestik. Namun zat organik yang terkandung pada lindi / leachate dari timbunan sampah domestik sangat tinggi konsentrasinya. Hal ini ditunjukkan dari sangat tingginya kadar BOD 5 pada lindi / leachate yaitu sekitar
17
2.000 – 30.000. Sistem pengolahan lindi / leachate dibagi menjadi dua tingkat, yaitu pengolahan sekunder dan pengolahan tersier. Untuk pengolahan sekunder menggunakan unit kolam stabilisasi ( fakultatif dan anaerob ) dan kolam aerasi. Adapun pengolahan tersier menggunakan Land Treatment dan Intermitten Sand Filter.
C. DESKRIPSI TPA SEKOTO Tempat Pemrosesan Akhir ( TPA ) sampah Sekoto berada di Dusun Genukwatu, Desa Sekoto, Kecamatan Badas, Kabupaten Kediri. TPA Sekoto dibangun sejak tahun 1995 diatas lahan seluas 3,5 hektar dan menerapkan sistem controlled landfill. TPA Sekoto merupakan satu-satunya TPA yang ada di Kabupaten Kediri sehingga menjadi muara dari pembuangan sampah seKabupaten Kediri. Perkiraan volume sampah yang masuk TPA Sekoto antara 85.000 – 90.000 m3 per tahun. Kondisi TPA Sekoto saat ini kurang memenuhi kriteria dan kelayakan karena gunungan sampah sudah hampir setinggi pagar, pagar tembok TPA banyak yang retak-retak dan di beberapa sisi ada yang sudah ambruk. Kondisi bangunan kolam pengolahan air lindi / leachate di TPA Sekoto beberapa kali mengalami kerusakan sehingga pengolahan air lindi / leachate tidak maksimal dan menyebabkan masalah pencemaran air dan tanah, vektor, dan bau yang menyengat. D. FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT Faktor Pendukung : 1) TPA Sekoto saat ini sudah mulai menggunakan sistem controlled landfill walaupun masih belum maksimal ; 2) Adanya kegiatan pengomposan sampah organik di TPA ; 3) Adanya keterlibatan dunia pendidikan dalam pengelolaan sampah. Faktor Penghambat : 1) Daya tampung TPA Sekoto hampir habis ; 2) Kondisi sarana pengelolaan sampah ( alat berat dan kendaraan angkutan sampah ) tidak optimal karena sudah tua ; 3) Metode pengelolaan sampah di TPA masih belum dikembangkan ke arah sanitary landfill ; 4) Budaya dan kesadaran masyarakat kurang mendukung upaya pengelolaan sampah ;
18
5) Kondisi geologi lokasi TPA kurang sesuai kriteria. E. IMPLIKASI TEORI KEBIJAKAN SPASIAL TERHADAP KEBERADAAN TEMPAT TPA SEKOTO Kajian keberadaan Tempat Pemrosesan Akhir ( TPA ) Sekoto berdasarkan parameter penyaringan awal dan analisis penetapan lokasi TPA, sebagai berikut : 1) Geologi Menurut daerah geologi, TPA Sekoto tidak berada di daerah potensi gempa, tidak berada di daerah longsoran dan jarak dengan gunung api Kelud kurang lebih 25 Km. Namun lokasi TPA berada di zona gerakan tanah menengah sehingga gerakan tanah relatif kurang stabil dan mengakibatkan tembok pagar TPA Sekoto retak-retak dan beberapa bagian ada yang ambruk, juga menyebabkan kolam-kolam air lindi / leachate mengalami kerusakan. 2) Hidrogeologi Menurut daerah hidrogeologi, TPA Sekoto berada cukup jauh dari sungai, waduk, dan sumber air minum yang digunakan oleh penduduk sekitar. Namun memiliki tanah dengan permeabilitas menengah sehingga memiliki kemampuan menyerap air yang cukup baik. Sedangkan kondisi yang baik untuk dijadikan lokasi TPA adalah kondisi tanah dengan permeabilitas yang lambat. 3) Hidrologi Menurut daerah hidrologi, TPA Sekoto berada di daerah yang memiliki kedalaman air tanah cukup dalam ( lebih dari 3 meter ), sehingga sudah memenuhi kriteria untuk lokasi TPA. 4) Topografi Menurut topografi, TPA Sekoto berada di daerah landai dengan topografi tinggi sehingga memenuhi kriteria untuk lokasi TPA. 5) Tata Guna Lahan Menurut tata guna lahan, TPA Sekoto sangat jauh dari landasan lapangan terbang, wilayah tidak diperuntukkan bagi daerah lindung perikanan, satwa liar, dan pelestarian tanaman, sehingga sudah memenuhi kriteria untuk lokasi TPA. Kajian keberadaan Tempat Pemrosesan Akhir ( TPA ) Sekoto berdasarkan pembagian zona sekitar TPA, sebagai berikut :
19
1) Zona Penyangga Penetapan zona penyangga pada area 0 – 500 meter sekeliling TPA sudah terpenuhi walaupun pola ruangnya masih perlu perbaikan, sabuk hijau pada area 0 – 100 meter yang berisi tanaman keras dengan kerapatan 5 meter masih belum terpenuhi. 2) Zona Budi Daya Terbatas Penetapan zona budi daya terbatas pada area 501 – 800 meter dengan pola ruang untuk industri terkait pengolahan sampah, fasilitas pemilahan, rekreasi dan
ruang
terbuka
hijau
masih
belum
sepenuhnya
dimanfaatkan
sebagaimana mestinya. Pada zona ini permukiman yang diperkenankan di arah hulu dengan bersyarat, namun hal ini juga belum terpenuhi. F. PELAJARAN YANG BISA DIAMBIL ( LESSON LEARNED ) Pelajaran yang dapat diambil hikmahnya dari pembahasan diatas adalah sebagai berikut : 1) Di dalam merencanakan lokasi yang akan dipergunakan sebagai Tempat Pemrosesan Akhir ( TPA ) sampah sebaiknya memperhatikan dan melakukan penilaian kelayakan dari calon lokasi TPA dengan menggunakan SNI No. 19-3241-1994 dan regulasi lainnya yang terkait dengan tata ruang. 2) Penentuan lokasi Tempat Pemrosesan Akhir ( TPA ) sampah yang tidak memperhatikan ketentuan dan persyaratan
teknis, ekonomis, dan
berwawasan lingkungan di kemudian hari akan membawa dampak negatif bagi lingkungan, kesehatan dan besarnya biaya perawatan sarana prasarana pendukung TPA. 3) Lokasi TPA yang tepat, pengelolaan sampah yang tepat, dan sarana prasarana pendukung TPA yang memadai akan membawa dampak positif terhadap
pelestarian
lingkungan,
kesehatan,
bernilai ekonomis dan
memperpanjang umur pelayanan TPA. DAFTAR PUSTAKA Anonim. Undang-undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Anonim. Undang-undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2008 tentang Pegelolaan Sampah.
20
Anonim. Peraturan Daerah Kabupaten Kediri No. 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kediri Tahun 2010 - 2030. Anonim. SNI 19-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Dinas Pekerjaan Umum.
21