Vol II. No 1. Maret 2014
ISSN : 2337-5310
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Terbit setiap Maret dan September PENGELOLA JURNAL DENTINO Pelindung : Prof. Dr. dr. H. Ruslan Muhyi, Sp. A (K) (Dekan Fakultas Kedokteran Unlam) Pembina : Dr. dr. H. Zairin NH, Sp.OT (K), MM, SPINE, FICS (Pembantu Dekan I - Fakultas Kedokteran Unlam) dr. H. Syamsul Arifin, M.Pd (Pembantu Dekan II - Fakultas Kedokteran Unlam) dr. H. Iwan Aflanie, Sp.F, M.Kes (Pembantu Dekan III - Fakultas Kedokteran Unlam) Penasehat : Dr. drg. H. RosihanAdhani, S.Sos., MS (Ketua Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam) Ketua : drg. Maharani Laillyza Apriasari, Sp.PM (Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam) Sekretaris : drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc (Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam) Penyunting : drg. Maharani L.A., Sp.PM (Oral Medicine - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Didit Aspriyanto (Pedodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Amy Nindia C. (Biologi Oral Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc. (Biologi Oral - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Deby Kania T.P. (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. M.Y. Ichrom N., Sp KG (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Bayu Indra Sukmana (Bedah Mulut - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Widodo (Ortodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Fajar D.K., Sp Orto (Ortodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam); Dr. drg. H. Rosihan Adhani, MS (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Cholil, M.Kes.M.M (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Debby Saputera, Sp. Prosto (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. I Wayan Arya K.F (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran Unlam) ; drg. Beta Widya Oktiani (Periodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam) Administratif : Hastin Atas Asih, AMKg (Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)
Vol II. No 1. Maret 2014
ISSN : 2337-5310
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI DAFTAR ISI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11. 12.
Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu (Morinda Citrifolia Liin) 100% Dan Povidone Iodine 1% Terhadap Streptococcus Mutans In Vitro Nur Rifdayani, Lia Yulia Budiarti, Amy Nindia Carabelly ……………………. Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru Ayu Asih P, Maharani L. Apriasari, Siti Kaidah ……………………………….. Perbedaan Indeks Karies Antara Maloklusi Ringan Dan Berat Pada Remaja Di Ponpes Darul Hijrah Martapura Rizal Hendra Kusuma, Rosihan Adhani, Widodo, Sapta Rianta ……………… Gambaran Indeks Kebersihan Mulut Berdasarkan Tingkat Pendidikan Masyarakat di Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar Basuni, Cholil, Deby Kania Tri Putri ………………………….…………….….. Perbandingan Efektivitas Mengunyah Buah Pir dan Bengkuang Terhadap Penurunan Indeks Plak Tinjauan Pada Siswa SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar Kasma Ernida Haida, Cholil, Didit Aspriyanto ………………………………… Perbandingan Efektivitas Berkumur Larutan Teh Putih (Camellia Sinensis l.) Seduh Konsentrasi 100 % Dengan 50 % Dalam Meningkatkan Ph Saliva Nida Amalia, Siti Kaidah, Widodo …………………………………………..….. Peranan Penyuluhan Demonstrasi Terhadap Rasa Takut Dan Cemas Anak Selama Perawatan Gigi Di Puskesmas Cempaka Putih Banjarmasin Noor Hamidah, Didit Aspriyanto, Cholil ………………….………………..…… Perbedaan Ph Saliva Menggosok Gigi Sebelum Dan Sesudah Mengkonsumsi Makanan Manis Dan Lengket Shandy Hidayat, Rosihan Adhani, I Wayan Arya ……………………..……….. Lebar Benih Gigi Anak Tikus Yang Dilahirkan Oleh Induk Tikus Pengidap Diabetes Mellitus Gestasional Nurdiana Dewi ………………………………….………………………………… Efek Pengunyahan Permen Karet Yang Mengandung Xylitol Terhadap Peningkatan Ph Saliva Nina Annisa Hidayati, Siti Kaidah, Bayu Indra Sukmana ………….………… Efektivitas Menyikat Gigi Disertai Dental Floss Terhadap Penurunan Indeks Plak Azizah Magfirah, Widodo, Priyawan Rachmadi ………………………….……. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus Sabdariffa l.) Terhadap Pertumbuhan Streptococcusmutansin Vitro Achmad Riwandy, Didit Aspriyanto, Lia Yulia Budiarti ..…………………….
1-6
7-12
13-17
18-23
24-28
29-33
34-38
39-45
46-50
51-55 56-59
60-64
13.
14.
15.
16. 17.
18.
19.
20.
Efek Penyemprotan Desinfektan Larutan Daun Sirih 80% Terhadap Stabilitas Dimensi Cetakan Alginat Nisa Yanuarti Hasanah, I Wayan Arya, Priyawan Rachmadi ……….……….. 65-69 Deskripsi Kasus Temporomandibular Disorder Pada Pasien Di Rsud Ulin Banjarmasin Bulan Juni– Agustus 2013 Najma Shofi, Cholil, Bayu Indra Sukmana ……………………………………. 70-73 Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Alginat Setelah Dilakukan Penyemprotan Infusa Daun Sirih Merah (Piper Crocatum Ruiz & Pav) 50% Sebagai Desinfektan Valdina Najifa Parimata, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya………………... 74-78 Indeks Kebersihan Rongga Mulut Pada Anak Retardasi Mental Nadya Nuryati Azzahra, Siti Wasilah, Didit Aspriyanto ………………………. 79-82 Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Bahan Cetak Elastomer Setelah Disemprot Menggunakan Sodium Hipoklorit Tommy Agustinus Ongo, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya ………………... 83-88 Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit Pada Dentin Dengan Sistem Adhesif Self Etch 1 Tahap (One Step) Dan 2 Tahap (Two Step) Dewi Puspitasari ………………………………………………..………………… 89-94 Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal Pada Wanita Hamil Trimester 3 di RSUD Ulin Banjarmasin Putri Dwi Andriyani, Maharani Lailyza Apriasari, Deby Kania Tri Putri …... 95-101 Hubungan Pelaksanaan Ukgs Dengan Status Kesehatan Gigi Dan Mulut Murid Sekolah Dasar Dan Sederajat Di Wilayah Kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin Ringga Setiawan, Rosihan Adhani, Bayu Indra Sukmana, Teguh Hadianto ………………………………………………………………….. 102-109
1
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian PERBANDINGAN EFEK BAKTERISIDAL EKSTRAK MENGKUDU (Morinda citrifolia Liin) 100% DAN Povidone Iodine 1% TERHADAP Streptococcus mutans IN VITRO Nur Rifdayani, Lia Yulia Budiarti, Amy Nindia Carabelly Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACT Background: Researches had shown that noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v had antibacterial effect against Streptococcus mutans because it contains flavonoid. These day, the therapies that have been given to reduce the colonies of Streptococcus mutans in oral cavity, one of that is Povidone iodine 1%. Purpose: The aim of this research was to prove the bactericidal effect of noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v equal to Povidone iodine 1% against Streptococcus mutans in vitro. Methods: This research was an experimental method laboratory (true experimental), with a post-test only design, using a completely randomized design, consisting of four treatments: noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v, Povidone iodine 1%, positive control (ethanol) and negative control (aquadest). Each treatment be repeated 7 times. The rated bactericidal effect of the inhibition zone formed on Muller Hinton media with diffusion method. Results: One Way ANOVA test showed that inhibition zone had a significant difference, noni extract (Morinda cirifolia Liin) 100% with a mean inhibition zone of 13,71 mm and Povidone iodine 1% with a mean inhibition zone of 9,71 mm. Conclusion: Noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% had bactericidal effect higher than Povidone iodine 1% against Streptococcus mutans in vitro. Keywords: Bacterisidal effect, noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100%, Povidone iodine 1%, Streptococcus mutans. ABSTRAK Latar Belakang: Penelitian telah membuktikan bahwa ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% berat/volume (b/v) memiliki efek bakterisidal terhadap Streptococcus mutans karena mengandung flavonoid. Terapi yang selama ini diberikan untuk mengurangi koloni Streptococcus mutans dalam rongga mulut, salah satunya adalah Povidone iodine 1%. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan efek bakterisidal ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v setara dengan Povidone iodine 1% dalam membunuh pertumbuhan Streptococcus mutans in vitro. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik murni (true experimental), dengan post-test only design, menggunakan rancangan acak lengkap terdiri dari 4 perlakuan, antara lain: ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v, Povidone iodine 1%, kontrol positif (etanol) dan kontrol negatif (akuades). Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 7 kali. Efek bakterisidal dinilai dari zona hambat yang terbentuk pada media Muller Hinton dengan metode difusi. Hasil: Uji One-Way ANOVA menunjukkan bahwa zona hambat memiliki perbedaan yang bermakna, ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% memiliki efek bakterisidal terhadap Streptococcus mutans dengan rata-rata zona hambat sebesar 13,71 mm dan Povidone iodine 1% dengan rata-rata zona hambat sebesar 9,71 mm. Kesimpulan: Ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% memiliki efek bakterisidal lebih tinggi dibandingkan Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans in vitro. Kata kunci: efek bakterisidal, ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%, Povidone iodine 1%, Streptococcus mutans. Korespondensi: Nur Rifdayani, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email:
[email protected]
Rifdayani : Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu PENDAHULUAN Karies gigi merupakan salah satu masalah kesehatan rongga mulut yang dapat menimbulkan rasa sakit dan mengganggu aktivitas serta mengurangi kualitas hidup penderita. Berdasarkan Riskesdas Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2007, menunjukkan prevalensi karies aktif sebesar 50,7% dan yang mempunyai pengalaman karies sebesar 83,4%.1 Salah satu bakteri utama penyebab karies gigi adalah Streptococcus mutans yang memproduksi enzim glucosyltransferase (GTF), sehingga bakteri ini dapat membentuk koloni yang melekat dengan erat pada permukaan gigi. Streptococcus mutans menghasilkan polisakarida ekstraseluler lengket dari karbohidrat makanan dan mampu memfermentasi karbohidrat menjadi asam. Jika kadar keasaman pada suatu gigi berada di bawah pH 5,5 dapat menimbulkan proses demineralisasi yaitu hilangnya sebagian atau seluruh mineral dari jaringan keras gigi yang diikuti oleh kerusakan bahan organik gigi karena terlarut dalam asam sehingga terjadi karies gigi.2,3 Ada banyak cara untuk mencegah karies gigi, salah satunya penggunaan obat kumur antiseptik. Tujuan berkumur dengan antiseptik yaitu menurunkan jumlah koloni bakteri patogen dalam rongga mulut, mengurangi terjadinya plak, dan karies gigi.4 Berbagai jenis obat kumur telah beredar di masyarakat, salah satu yang banyak digunakan yaitu obat kumur dengan kandungan Povidone iodine 1%.5 Hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa Povidone iodine memiliki kemampuan dalam membunuh mikroorganisme in vitro.6 Dilaporkan bahwa tingkat absorpsi yodium dari Povidone iodine 1% tidak baik untuk penggunaan jangka panjang dalam rongga mulut, karena dapat menyebabkan masalah sensitivitas yodium.7 Adapun efek samping yang dapat timbul setelah pemberian Povidone iodine antara lain berupa sensitivitas, eritema lokal, nyeri, erosi mukosa, dan risiko utama yang terkait dengan fungsi tiroid.8 Berbagai efek samping yang ditimbulkan dari pemakaian bahan kimia dalam obat kumur cukup banyak dan signifikan, sehingga diperlukan alternatif lain sebagai bahan baku pembuatan obat kumur dengan efek samping seminimal mungkin, ekonomis, dan berkhasiat. Alternatif yang memenuhi syarat tersebut adalah bahan dari herbal.9 Sementara ini banyak orang beranggapan bahwa penggunaan tanaman obat herbal relatif lebih aman dibandingkan obat sintesis. Pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Sudarsono Apt, menyatakan bahwa obat-obatan dari herbal terbukti berkhasiat. Kecenderungan peningkatan penggunaan herbal untuk pengobatan tidak lagi didasarkan atas pengalaman turun menurun tetapi dengan dukungan dasar ilmiah.10 Salah satu
2
tanaman obat yang banyak dimanfaatkan sebagai obat herbal adalah mengkudu.11 Berdasarkan hasil penelitian Sibi (2012), dilaporkan bahwa aktivitas antimikroba ekstrak mengkudu, mendukung penggunaan obat tradisional yang dihubungkan dengan kondisi mikroorganisme pada manusia dan sebagai dampaknya dapat melawan mikroba multi resisten.12 Menurut Rajarajan et al. (2009), ekstrak buah mengkudu matang memiliki aktivitas Minimal Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericidal Concentration (MBC) yaitu sebesar 0,375 µg/ml hingga 24 µg/ml.13 Demikian pula, dari hasil penelitian Dharmawati (2011) diketahui efek ekstrak mengkudu terhadap pertumbuhan Streptococcus mutans in vitro, ektrak mengkudu konsentrasi 100% b/v (berat/volume) mempunyai daya hambat lebih baik dari 50% b/v.14 Namun, belum diketahui apakah ekstrak mengkudu 100% b/v mempunyai efek bakterisidal setara dengan obat kumur Povidone iodine 1% dalam membunuh pertumbuhan Streptococcus mutans, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai perbandingan efek bakterisidal ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v dan Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans in vitro. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil suatu permasalahan yaitu apakah ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v mempunyai efek bakterisidal setara dengan Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans in vitro. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membuktikan efek bakterisidal ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v setara dengan Povidone iodine 1% dalam membunuh pertumbuhan Streptococcus mutans in vitro. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengukur zona hambat ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v dan zona hambat Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan bukti ilmiah tentang efek bakterisidal ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v setara dengan Povidone iodine 1% dalam membunuh pertumbuhan Streptococcus mutans in vitro, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu dasar penelitian lebih lanjut untuk menghasilkan antiseptik oral dengan bahan herbal mengkudu. BAHAN DAN METODE Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik murni (true experimental), dengan rancangan post-test only design berupa rancangan acak lengkap yang terdiri dari 4 perlakuan, meliputi ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v, Povidone iodine 1%, kontrol positif (etanol) dan kontrol negatif (akuades).
3 Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 7 kali pengulangan. Jumlah pengulangan untuk setiap kelompok perlakuan, didapat dari hasil perhitungan rumus Federer. Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, meja Laminary flow, pisau (stainless), blender, cawan petri, lampu bunsen, ose steril, kapas lidi steril, kertas saring, corong, gelas beker, gelas Erlenmeyer, tabung reaksi kecil, rak tabung reaksi, pipet, pinset, rotary evaporator, autoclave, inkubator anaerob, batang pengaduk kaca dan calliper. Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak mengkudu 100% b/v, Povidone iodine 1%, akuades steril, etanol 96%, aluminium foil, kapas, isolat Streptococcus mutans, media agar Muller Hinton (MHA), media Brain Heart Infusion (BHI), media agar darah, paper disk kosong, larutan standar Mc Farland I sebesar 3.108 cfu/ml. Cara pembuatan ekstrak mengkudu 100% adalah menyiapkan buah mengkudu yang matang, putih, transparan, dan ukuran buahnya relatif besar. Ekstrak mengkudu dibuat dengan metode maserasi. Buah mengkudu sebanyak ± 5 kg dicuci bersih kemudian ditiriskan dan dipotong-potong tipis. Potongan buah selanjutnya dijemur di bawah sinar matahari, dengan naungan kain hitam. Penjemuran dilakukan beberapa hari, sampai potongan buah benar–benar kering, mudah dipatahkan dengan tangan. Potongan buah yang sudah kering, berbentuk kepingan, dipisahkan antara daging buah dengan bijinya. Daging buah yang sudah kering selanjutnya dibuat serbuk (simplisia) dengan cara dihancurkan dengan blender, simplisia yang dihasilkan ± 325 gram. Simplisia siap dimaserasi dengan merendam ke dalam pelarut etanol 96% sampai terendam seluruhnya selama ± 24 jam, kemudian disaring dengan kertas penyaring. Residu kembali dimaserasi lagi dengan cara yang sama, sampai tiga kali. Ekstrak atau filtrat hasil maserasi ditampung menjadi satu dan diuapkan untuk memisahkan pelarutnya. Penguapan dilakukan dengan menggunakan alat rotary evaporator pada suhu 45-50oC, sampai pelarut habis menguap, sehingga didapatkan ekstrak kental buah mengkudu. Ekstrak kental buah mengkudu dibuat konsentrasi 100% b/v dengan menggunakan etanol. Konsentrasi 100% b/v dibuat dengan memasukkan 100 gram ekstrak mengkudu dalam tabung ditambahkan etanol sampai volume 100 ml. Tahapan prosedur selanjutnya adalah sterilisasi alat. Alat-alat yang diperlukan dicuci bersih kemudian dikeringkan dan disterilisasikan dalam autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit. Melakukan persiapan bakteri dengan menggoreskan Streptococcus mutans pada media agar darah kemudian didiamkan dalam inkubator 37oC selama 24 jam. Setelah diinkubasi, dideteksi Streptococcus mutans akan berupa koloni bulat kecil dan
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 1- 6 berdiameter 1-2 µm. Koloni bakteri hasil pertumbuhan selama 24 jam disuspensikan ke dalam 0,5 ml BHI cair dan dilakukan inkubasi selama 5-8 jam pada suhu 37oC. Dilakukan penambahan akuades steril pada suspensi bakteri pada BHI, sehingga kekeruhan sesuai standar konsentrasi bakteri Mc Farland I sebesar 3x108 cfu/ml. Setelah itu dilakukan Persiapan larutan Povidone iodine. Larutan Povidone iodine 1% yang digunakan adalah obat kumur merek Betadine konsentrasi 1% dan diambil dengan menggunakan pipet sebanyak 1cc. Uji efek bakterisidal ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v dilakukan dengan mengambil suspensi bakteri yang telah distandarkan dengan Mc Farland I sebesar 3x108 cfu/ml dengan kapas lidi steril dan dioleskan pada media agar Muller Hinton. Kemudian meletakkan paper disk (kertas samir) yang telah direndam ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v selama 3 jam sebagai perlakuan 1, meletakkan paper disk yang telah direndam Povidone iodine 1% selama 3 jam sebagai perlakuan 2, meletakkan paper disk yang telah direndam etanol selama 3 jam sebagai perlakuan 3 (kontrol positif) dan meletakkan paper disk yang telah direndam akuades selama 3 jam sebagai perlakuan 4 (kontrol negatif). Proses selanjutnya, diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Pengujian efek bakterisidal dilakukan dengan pengamatan yang dilakukan setelah pengeraman 24 jam. Pengamatan efek bakterisidal dilakukan dengan mengukur diameter zona hambat di sekitar paper disk. Zona hambat yang terbentuk diukur dengan calliper (mm). HASIL PENELITIAN Penelitian dengan judul “Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% dan Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans in vitro” telah dilakukan dengan menggunakan 4 perlakuan, yaitu ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v, Povidone iodine 1%, kontrol positif (etanol), dan kontrol negatif (akuades). Masing-masing perlakuan diuji secara difusi, menggunakan paper disk dan dilakukan dalam 7 kali pengulangan. Hasil pengukuran zona hambat dari masing-masing perlakuan terhadap Streptococcus mutans dapat dilihat pada Gambar 1.
Rifdayani : Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu
4
PEMBAHASAN Zona Hambat (mm) dari Setiap Perlakuan Ekstrak Mengkudu 100%
4,85
0 13,71
Povidone iodine 1%
9,71 Kontrol (+)
Kontrol (-)
Gambar 1. Zona Hambat (mm) dari Setiap Perlakuan Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat variasi zona hambat yang terbentuk dari masingmasing kelompok perlakuan. Perlakuan ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v memperlihatkan rata-rata zona hambat sebesar 13,71 mm dan Povidone iodine 1% sebesar 9,71 mm. Kontrol positif (etanol) memiliki rata-rata zona hambat sebesar 4,85 mm dan kontrol negatif (akuades) sebesar 0 mm. Masing-masing perlakuan dilakukan uji normalitas Shapiro-Wilk karena jumlah data kurang dari 50 buah, untuk mengetahui sebaran data penelitian pada tingkat kepercayaan 95% (p > 0,05). Hasil uji normalitas memperlihatkan sebaran data yang normal, yaitu nilai signifikasi (p) pada kelompok perlakuan ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v adalah 0,064 dan Povidone iodine 1% adalah 0,099. Sedangkan nilai signifikasi (p) kontrol positif (etanol) adalah 0,099 dan kontrol negatif (akuades) adalah konstan. Data penelitian selanjutnya diuji homogenitas data menggunakan uji varians Levene’s test (α = 0,05). Hasil uji homogenitas menunjukkan varians data yang tidak homogen dengan nilai signifikasi sebesar 0,003 (Sig. < 0,05), sehingga perlu dilakukan transformasi data. Hasil transformasi data menunjukkan varians data homogen dengan nilai signifikasi sebesar 0,249 (Sig. > 0,05). Masing-masing perlakuan dilakukan uji One Way ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan penyebaran data. Syarat digunakannya uji One Way ANOVA adalah data yang terdistribusi normal dan homogen.30 Hasil uji One Way ANOVA didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05), yang berarti terdapat perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan.
Ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v memiliki efek bakterisidal terhadap Streptococcus mutans dengan rata-rata zona hambat sebesar 13,71 mm, sedangkan Povidone iodine 1% sebesar 9,71 mm. Zona hambat pada ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% lebih tinggi dibandingkan Povidone iodine 1% secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% lebih baik dibandingkan Povidone iodine 1% dalam membunuh pertumbuhan Streptococcus mutans. Perlakuan Povidone iodine 1% memberikan efek rata-rata zona hambat sebesar 9,71 mm terhadap Streptococcus mutans. Hal ini dapat membuktikan bahwa Povidone iodine 1% sebagai obat kumur mempunyai sifat bakterisidal terhadap Streptococcus mutans sebagai salah satu bakteri utama penyebab karies gigi. Povidone iodine dalam kedokteran gigi biasanya digunakan sebagai obat kumur yang mampu mengurangi jumlah mikroorganisme di dalam rongga mulut. Cara kerja Povidone iodine terkait dengan kandungan iodine yang mampu dengan cepat berkontak langsung terhadap permukaan sel bakteri yang mengakibatkan hilangnya materi sitoplasmik dan deaktivasi enzim sehingga terjadi kerusakan struktur dan fungsi sel bakteri.27 Povidone iodine bereaksi kuat dengan ikatan rangkap dari asam lemak tak jenuh dalam dinding sel bakteri dan membran organel bakteri yang menyebabkan pembentukan pori permanen dan lisisnya sel bakteri.24 Perlakuan ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v dalam penelitian ini menunjukkan efek bakterisidal terhadap Streptococcus mutans dengan menghasilkan ratarata zona hambat sebesar 13,71 mm. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dharmawati (2011), yaitu ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% memiliki daya hambat kuat terhadap pertumbuhan Streptococcus mutans.14 Mengkudu dikenal sebagai anti bakteri, anti virus, anti jamur, anti tumor, anti inflamasi, anthelmintic, memiliki efek anti TBC, analgesik, hipotensif, dan aktivitas imunologinya dapat meningkatkan kekebalan tubuh.16 Beberapa jenis senyawa fitokimia dalam buah mengkudu adalah acubin, alizarin, antraquinon. xeronine, proxeronine, saponin, minyak atsiri, dan alkaloid. Acubin, alizarin, dan antrakuinon terbukti mempunyai aktivitas anti bakteri terhadap P. aeruginosa, Proteus morgaii, Straphylococcus aerus, Bacillus subtilis, E. Coli, Salmonella, dan Shigela.15 Mengkudu terdiri dari berbagai zat nutrisi seperti protein, vitamin, dan mineral penting. Salah satunya adalah selenium yang memiliki efek anti oksidan. Kandungan lainnya, terpenoid
5 berguna untuk membantu proses sintesis organik dan pemulihan sel-sel tubuh. Asam Karbonat merupakan sumber vitamin C dan anti oksidan, juga berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap mikroorganisme. Mengkudu juga mengandung scolopetin yang efektif sebagai unsur anti peradangan dan anti alergi.14,15,31 Mengkudu mengandung senyawa fenolik, yaitu tannin dan flavonoid yang merupakan anti oksidan primer. Mekanisme tannin sebagai anti bakteri belum diketahui secara pasti, tapi diperkirakan berkaitan dengan kemampuannya menghentikan sintesis glukan oleh Streptococcus mutans.32 Ferrazano et al (2011), melaporkan bahwa anti bakteri tannin berinteraksi secara langsung dengan membran protein bakteri sehingga menghambat perlekatan sel bakteri pada permukaan gigi dan menghambat kerja enzim glukosiltranferase dan amilase yang dihasilkan oleh Streptococcus mutans.33 Berdasarkan penelitian Dewi (2010), dilaporkan bahwa aktivitas antibakteri flavonoid pada buah mengkudu cenderung lebih aktif membunuh bakteri Gram positif, seperti Streptococcus mutans. Kandungan senyawa aktif flavonoid pada ekstrak mengkudu bersifat polar sehingga lebih mudah menembus lapisan peptidoglikan yang juga bersifat polar pada bakteri Gram positif.18 Dinding sel bakteri Gram positif mengandung polisakarida (asam terikoat) merupakan polimer yang larut dalam air berfungsi sebagai transfor ion positif. Sifat larut inilah yang menunjukkan bahwa dinding sel bakteri Gram positif bersifat lebih polar. Mekanisme kerja flavonoid sebagai bakterisidal terhadap pertumbuhan Streptococcus mutans yaitu mengganggu fungsi dinding sel sebagai pelindung dari lisis osmotik sehingga berakibat pada kematian sel bakteri.18 Adapun keterbatasan penelitian ini, yaitu peneliti hanya menggunakan ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% dan belum mengetahui konsentrasi optimum ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) yang paling efektif membunuh Streptococcus mutans dibandingkan dengan Povidone iodine 1%. Peneliti menggunakan metode ekstraksi maserasi dengan pelarut etanol untuk menyaring zat aktif dari buah mengkudu dan belum mengetahui metode ektraksi lain yang dapat digunakan. Penelitian ini dilakukan secara in vitro, sehingga peneliti belum mengetahui efek samping dari penggunaan antiseptik oral dengan bahan herbal ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% terhadap rongga mulut. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% memiliki efek bakterisidal yang lebih tinggi dibandingkan Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans secara in vitro.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 1- 6 Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek bakterisidal ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) pada konsentrasi lain terhadap Streptococcus mutans dibandingkan dengan Povidone iodine 1%. Penelitian selanjutnya juga dapat diarahkan untuk mengetahui metode ekstraksi lain yang lebih sederhana dan dapat menyaring lebih banyak komponen zat aktif dari buah mengkudu untuk membunuh pertumbuhan Streptococcus mutans. Perlu dilakukan penelitian mengenai efek samping dari penggunaan ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% terhadap rongga mulut. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia; 2008. p. 142. Imaculata R, Tedjosasongko U, Cornelia S. Pemberian minyak wijen (Sesamum indicum, L) terhadap Streptococcus mutans (in vitro). Indonesian Pediatric Dental Journal 2010; 2(3): 2. Dharsono VA, Mooduto L, Prasetyo EP. Perbedaan jumlah koloni Streptococcus mutans pada saliva penderita pria dan wanita dengan karies tinggi. Conservative Dentistry Journal 2013; 3(1): 2. Sumono A, Wulan A. Kemampuan air rebusan daun salam (Eugenia polyantha W) dalam menurunkan jumlah koloni bakteri Streptococcus sp. Majalah Farmasi Indonesia 2009; 20(3): 112-113. Primalia DR, Yuliati A, Soebagio. Perlekatan Streptococcus mutans pada semen hibrid ionomer setelah direndam dalam larutan antiseptik. Material Dental Journal 2009; 1(1): 1. Apriasari ML. Uji bakteriosid ekstrak daun sirih 35% terhadap Streptococcus viridans pada stomatitis aftosa rekuren dan patch test dengan ekstrak daun sirih 35%. Karya Tulis Akhir. Surabaya: Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bidang Studi Ilmu Penyakit Mulut Universitas Airlangga; 2010. p. 15. Kumar S, Babu R, Reddy J, Uttam. Povidone iodine–revisited. Indian Journal of Dental Advancements 2011; 3(3): 617-619. Andini AR. Pengaruh pemberian Povidone iodine 1% sebagai oral hygiene terhadap jumlah bakteri orofaring pada penderita dengan ventilator mekanik. Jurnal Media Medika Muda 2012; 1(1): 13-14. Victor BC, Indrawati R, Sidarningsih. Perbedaan daya hambat obat kumur ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) dan metil
Rifdayani : Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
salisilat terhadap pertumbuhan bakteri rongga mulut. Oral Biology Dental Journal 2011; 3(2): 1. Harsini W. Penggunaan herbal di bidang kedokteran gigi. Majalah Kedokteran Gigi 2008; 15(1): 61. Purbaya RJ. Mengenal dan memanfaatkan khasiat buah mengkudu. Bandung: Penerbit Pionir Jaya; 2002. p. 19-22, 40. Sibi G, Chatly P, Adhikari S, Ravikumar KR. Phytoconstituents and their influence on antimicrobial properties of Morinda citrifolia L. Research Journal of Medicinal Plant 2012; 6(6): 445. Rajarajan S, John NK, Shanthi S. In vitro bacterisidal activities of extracts from ripe and unripe fruit of noni. P.G & Research Department of Microbiology & Biotechnology 2009; 1(1): 4. Dharmawati IGA. Efek ekstrak mengkudu menghambat pertumbuhan Sreptococcus mutans penyebab dental plak secara in vitro. Tesis. Denpasar: Program Studi Ilmu Biomedik Universitas UDAYANA; 2011. p. 12-16, 23-27, 38, 42-47. Singh DR. Morinda citrifolia L. (Noni) a review of the scientific validation for its nutritional and therapeutic properties. Journal of Diabetes and Endocrinology 2012; 3(6): 77-79. Nagalingam S, Sasikumar CS, Cherian KM. Extraction and preliminary phytochemical screening of active compounds in Morinda citrifolia fruit. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research 2012; 5(2): 179. Soenanto H. 100 resep sembuhkan hipertensi, asam urat, dan obesitas. Jakarta: Penerbit PT. Alex Media Komputindo Kelompok Gramedia; 2009. p. 82. Dewi FK. Aktivitas antibakteri ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia, L) terhadap bakteri pembusuk daging segar. Skripsi. Surakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret; 2010. p. 26. Harvey RA, Champe PC, Fisher BD. Microbiology. 2nd Ed. Philadelphia: Lippincott's Illustrated Reviews; 2007. p. 79. Deng DM, Urch JE, ten Cate JM, Rao VA, van Aalten DM, Crielaard W. Streptococcus mutans SMU.623c codes for a functional,
21.
22.
23.
24.
25. 26. 27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
6 metal-dependent polysaccharide deacetylase that modulates interactions with salivary agglutinin. American Society for Microbiology 2009; 191(1): 394. Lueckel HM, Paris S, Ekstrand KR. Caries management science and clinical practice. New York: Thieme Medical Publishers; 2013. p. 32. Putri MH, Herijulianti E, Nurjannah N. Ilmu pencegahan penyakit jaringan keras dan jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC; 2010. p. 74. Farah CS, Mclntosh L, McCullough MJ. Mouthwash. Australian Prescriber 2009; 32(6): 163. Bathla S. Periodontics revisited. Jaypee Brothers. New Delhi: Medical Publishers; 2011. p. 284. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Edisi 15. Jakarta: EGC; 1996. p. 859. Pratiwi, ST. Mikrobiologi farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008. p. 188. Sibbald RG, Leaoer DJ, Queen D. Iodine made easy. Wounds International 2011; 2(2): 1-6. Astawan M, Kasih AL. Khasiat warna-warni makanan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama; 2008. p. 31. Yunianita D, Carabelly AN, Apriasari ML. Perbandingan efek bakterisidal jus stroberi (Fragaria x ananassa) 50% dan Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans in vitro. Dentino Jurnal Kedokteran Gigi 2013; I(1): 40. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2012. p. 89. Sholehah DN. Pengukuran kandungan skopoletin pada beberapa tingkat kematangan buah mengkudu (Morinda citrifolia Liin) dengan metode KLT densitometri. Agrovigor 2010; 3(1): 4. Goyal D, Sharma S, Mahmood A. Inhibition of dextransucrase activity in Streptococcus mutans by plant phenolics. Indian Journal of Biochemistry and Biophysics 2013; 50(1): 53. Ferrazano GF, Amato I, Ingenito A, Zarrelli A, Pinto G, and Pollio A. Plant polyphenols and their anti cariogenic properties : A Review. Multidisciplinary Digital Publishing Institude 2011; 16: 1486.
8
7
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian GAMBARAN KLINIS KELAINAN MUKOSA RONGGA MULUT PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI SEJAHTERA BANJARBARU
Ayu Asih P, Maharani L. Apriasari, Siti Kaidah Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Indonesia ABSTRACT Background: The aging process decreased function of organs and other physical changes. One of the changes that occur in the elderly as a result of the decline in organ function and decreased cell function is a change in the oral mucosa such as the mucosa looks slick shiny (no stipling on the gingiva), pale, dry, easily irritated, bleeding and swelling. Purpose: The purpose of this study was to determine the clinical features of oral mucosal abnormalities in the elderly in Tresna Werdha Budi Sejahtera Nursing Home Banjarbaru. Methods: This study was descriptive observational with descriptive analysis. Samples were taken by using purposive sampling technique as many as 56 elderly. The data were obtained by direct interview and clinical examination using a dental mirror. Results: The results showed that the clinical features of oral mucosal abnormalities were found fissured tongue, coated tongue, xerostomia, geographic tongue, sublingual varikositis, angular chelitis, and denture hyperplasia. The most commonly clinical features of oral mucosal abnormalities were fissured tongue (51.78%) and coated tongue (48.21%). Conclusion: Based on the research conducted, it was concluded that the clinical features of oral mucosal abnormalities most commonly found in the elderly in Tresna Werdha Budi Sejahtera Nursing Home Banjarbaru was fissured tongue. Key words: clinical features of mucosal abnormalities, elderly, Tresna Werdha Budi Sejahtera Nursing Home Banjarbaru ABSTRAK Latar belakang : Pada proses penuaan terjadi penurunan fungsi organ tubuh dan berbagai perubahan fisik lainnya. Salah satu perubahan yang terjadi pada lansia akibat dari penurunan fungsi organ tubuh dan penurunan fungsi sel adalah perubahan pada rongga mulut seperti mukosa tampak licin mengkilap (tidak ada stipling pada gingiva), pucat, kering, mudah mengalami iritasi, perdarahan dan pembengkakan. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran klinis kelainan mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional. Sampel diambil dengan menggunakan metode purposive sampling sebanyak 56 lansia. Data diperoleh dengan cara melakukan wawancara langsung dan pemeriksaan klinis dengan menggunakan kaca mulut. Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran klinis kelainan mukosa rongga mulut yang ditemukan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah fissured tongue, coated tongue, xerostomia, geographic tongue, sublingual varikositis, angular chelitis, and denture hiperplasia. Gambaran klinis kelainan mukosa rongga mulut yang paling banyak ditemukan adalah fissured tongue (51,78%) dan coated tongue (48,21%). Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa gambaran klinis kelainan mukosa rongga mulut yang paling banyak ditemukan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah fissured tongue. Kata kunci: gambaran klinis kelainan mukosa, lansia, Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru Korespondensi : Ayu Asih P., Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat. Jalan Veteran Banjarmasinn 128 B Kalsel,
[email protected]
Asih P : Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia PENDAHULUAN Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan usia harapan hidup. Kondisi demikian memungkinkan penduduk untuk menikmati usia lebih panjang.1 Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang berhasil dalam pembangunan khususnya pembangunan bidang kependudukan, keluarga berencana dan kesehatan. Salah satu yang menonjol adalah semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia.2 Jumlah lansia pada tahun 1970 diperkirakan hanya sekitar 2 juta, sedangkan pada tahun 1990 telah mengalami peningkatan hampir 6 kali lipat atau berkisar 11,3 juta dari jumlah penduduk yang ada. Tahun 2000 jumlah lansia mengalami peningkat lagi menjadi 15,3 juta, dan pada tahun 2010 yang lalu jumlah lansia diperkirakan telah sama dengan jumlah anak balita, yaitu sekitar 24 juta atau hampir 10 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Menurut perkiraan badan kesehatan dunia WHO, tahun 2020 jumlah penduduk lansia di Indonesia akan mengalami kenaikan yang sangat besar, sehingga pada tahun tersebut jumlah lansia di Indonesia diperkirakan mencapai 11,34 persen dari jumlah pendudukan yang ada, atau sekitar 28,8 juta (2). Populasi lansia di Provinsi Kalimantan Selatan seluruhnya mencapai 53.880 orang tersebar di 13 kabupaten/kota.3 Bersamaan dengan bertambahnya usia terjadi pula penurunan fungsi organ tubuh dan berbagai perubahan fisik. Penurunan ini terjadi pada semua tingkat seluler, organ, dan sistem. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan kejadian penyakit pada lansia, baik akut maupun kronik. Meningkatnya gangguan penyakit pada lansia dapat menyebabkan perubahan pada kualitas hidup.4 Penelitian yang dilakukan oleh Mozafari, dkk terhadap 237 lansia di Mashhad Iran menemukan bahwa pada 98% lansia memiliki satu lesi mukosa, yang paling umum terjadi adalah fissured tongue 66,5%, atrophic glossitis 48,8%, sublingual varicosity 42% dan xerostomia 38%. Xerostomia lebih banyak mengenai usia 70-79 tahun di bandingkan usia 60-69 tahun.5 Penelitian Mayvira S terhadap 100 lansia di Medan menunjukan seluruh lansia mengalami lesi-lesi mukosa mulut. Lesi mukosa mulut yang terbanyak ditemukan pada lansia adalah pigmentasi sebesar 77%, sublingual varikositis 76%, coated tongue 69%, fissured tongue 55%, keratosis 17%, granula fordyce 14%, atropi papila lidah 10 %, traumatic ulcer 7 %, angular cheilitis 4 %, stomatitis 4 %, median rhomboid glossitis 1 %, black hairy tongue 1 % dan fibroma 1 %.6 Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera adalah panti sosial untuk lansia yang berada di
8
bawah naungan pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Sampai saat ini belum ada penelitian tentang kelainan mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Berdasarkan survei lapangan, seminggu sekali para lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru hanya diperiksa kesehatannya saja bukan kesehatan mulut, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui kelainan mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran klinis kelainan mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif observasional yang diperoleh dari anamnesa dan pemeriksaan klinis pada rongga mulut lansia. Populasi pada penelitian ini adalah semua lansia yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Sampel pada penelitian ini diambil dengan purposive sampling. Sampel adalah populasi di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi : Usia ( ≥ 60 tahun), bersedia menandatangani informed consent, sehat berdasarkan anamnesis. Kriteria eksklusi : Lansia yang tidak kooperatif, mengalami kesulitan dalam membuka mulut, hanya bisa berbaring ditempat tidur. Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah kelainan mukosa rongga mulut pada lansia. Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Peneliti datang ke Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru dan memberikan penjelasan tentang manfaat dan prosedur penelitian yang akan dilakukan. Peneliti memberikan lembar persetujuan (informed consent) sebagai tanda persetujuan menjadi subyek penelitian. Kemudian dilakukan anamnesa dan pemeriksaan klinis pada rongga mulut lansia dengan menggunakan kaca mulut. Kelainan mukosa rongga yang ditemukan di catat di formulir penilaian. Data yang sudah terkumpul kemudian ditabulasi dan analisis data dilakukan dengan cara perhitungan persentase setiap lesi-lesi mukosa mulut yang terlihat pada lansia. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian gambaran klinis kelainan mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru, pada bulan Juni dan Juli 2013. Diperoleh subjek penelitian sebanyak 56 orang lansia, berdasarkan jenis kelamin, subjek penelitian yang berjenis
kelamin laki-laki berjumlah 24 orang dan perempuan berjumlah 32 orang. Kelompok usia berdasarkan WHO adalah lansia (elderly) berjumlah 38 orang yaitu 20 orang laki-laki dan 18 orang perempuan, kelompok usia tua (old) 15 orang, 4 orang laki-laki dan 11 orang perempuan, sedangkan untuk kelompok usia sangat tua (very old) berjumlah 3 orang semuanya perempuan. Pada penelitian ini, didapatkan dari 56 orang lansia yang diperiksa 47 orang diantaranya (83,92%) memiliki kelainan mukosa rongga mulut. Kelainan mukosa rongga mulut pada lansia yang terbanyak terjadi pada lidah, yaitu fissured tongue dialami 29 orang (51,78%), diikuti coated tongue dialami 27 orang (48,21%) dan yang paling sedikit ditemukan kelainan mukosa rongga mulut pada lansia adalah denture hyperplasia dialami 1 orang (1,78%).
Dentino (Jur.Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 7- 12
Jumlah
9
35 30 25 20 15 10 5 0
29
27
6
3
3
3
1
Kelainan Mukosa Rongga Mulut Gambar 3. Diagram gambaran klinis kelainan mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial Tresna Werda Budi Sejahtera Banjarbaru PEMBAHASAN
Gambar 1. Gambaran klinis fissured tongue
Gambar 2. Gambaran klinis coated tongue
Seiring dengan menurunnya fungsi sistem imun terjadi peningkatan respon autoimun tubuh.7 Berat dan ukuran kelenjar timus mengalami penurunan dengan bertambahnya usia, seperti halnya kemampuan diferensiasi sel T. Hilangnya proses diferensiasi sel T menyebabkan tubuh salah mengenali sel yang tua dan tidak beraturan sebagai benda asing sehingga tubuh menyerang sel tersebut. Penuaan menyebabkan sel limfosit T kurang merespon terhadap adanya antigen sehingga jumlah sel limfosit sitotoksik yang melawan suatu infeksi lebih sedikit.8,9 Pertahanan tubuh pada lansia terhadap organisme asing akan mengalami penurunan, seiring dengan bertambahnya usia baik dari fungsi organ tubuh maupun dari perubahan fisik. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan kejadian penyakit yang dapat menyertai lansia. Penyakit sistemik ini dapat menjadi salah satu faktor predisposisi timbulnya kelainan mukosa rongga mulut. 4,7 Mukosa mulut manusia dilapisi oleh sel epitel yang memiliki fungsi utama sebagai barier terhadap pengaruh-pengaruh lingkungan baik dalam maupun luar mulut. Saliva pada orang tua mengandung total protein dalam jumlah lebih sedikit dan protein kualitatif serta elektrolit yang berbeda, dengan pH dan kemampuan serta bufer yang lebih kecil dibandingkan orang yang lebih muda. Pertambahan usia menyebabkan sel epitel pada mukosa mulut mulai mengalami penipisan, berkurangnya keratinasi, berkurangnya kapiler dan suplai darah serta penebalan serabut kolagen pada lamina propia. Hal ini dapat menyebabkan perubahan secara klinis pada mukosa dan dapat menyebabkan
Asih P : Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia penurunan senstivitas mukosa rongga mulut terhadap iritasi.10 Menurut Cebeci, dkk prevalensi kelainan mukosa rongga mulut lebih banyak ditemukan pada lansia dibandingkan dengan orang yang lebih muda, meskipun usia bukan merupakan faktor utama penyebab terjadinya kelainan mukosa rongga mulut.12 Adanya kebiasan seperti merokok, dan menyirih juga dapat berpengaruh dalam timbulnya kelainan mukosa rongga mulut. Kebiasaan merokok yang sering dilakukan lansia dimasa lalunya dapat mempengaruhi fungsi aliran saliva sehingga menyebabkan xerostomia, hal ini terjadi karena interaksi antara asap rokok dan aliran saliva sehingga aliran saliva menjadi berkurang.13 Kelainan mukosa rongga mulut yang terbanyak ditemukan adalah fissured tongue (51,78%) dan coated tongue (48,21%). Jumlah kelainan mukosa rongga mulut yang banyak ditemukan pada lansia berjumlah 1 kelainan mukosa rongga mulut, ditemukan pada 27 orang lansia atau (48,21%). Hasil penelitian ini berbeda bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mayvira S di Medan yang menemukan bahwa dari 100 orang lansia yang diperiksa seluruhnya menunjukan adanya kelainan mukosa rongga mulut, dan kelainan mukosa rongga mulut yang paling banyak dijumpai pada lansia adalah pigmentasi sebesar 77% dan sublingual varikositis sebesar 76%.6 Diduga perbedaan ini karena kebiasaan dari lansia di panti jompo tersebut yang memiliki kebiasaan merokok cukup tinggi yang dapat menyebabkan persentase pigmentasi jauh lebih tinggi. Penyebab banyaknya fissured tongue yang di alami oleh lansia selain di duga dikarenakan pertambahnya usia, termasuk juga adanya faktor hiposalivasi, diabetes melitus, kandidiasis dan kekurangan vitamin B, yang dapat berkontribusi dalam perkembangan fissured tongue. Fissured tongue umumnya terjadi pada penderita sindrom down, acromegaly, psoriasis, sindrom sjögren dan sindrom Melkersson - Rosenthal yang ditandai oleh fissuring parah, edema orofacial dan kelumpuhan saraf wajah. Sebagian besar penderita fissured tongue tidak mengalami gejala, namun gejala seperti nyeri saat makan asam dan minum dapat terjadi jika celah fissured dalam. Celah tersebut dapat berperan sebagai tempat penumpukan partikel makanan dan bakteri yang dapat menyebabkan peradangan di lidah.15,16 Lokasi kelainan mukosa rongga mulut yang terbanyak dijumpai adanya kelainan pada penelitian ini adalah di lidah sebesar 78,57%. Hasil ini sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Mayvira S di Medan yang menemukan bahwa lokasi terbanyak dari kelainan mukosa rongga mulut adalah pada lidah.6 Pada dasarnya lidah adalah organ kompleks, otot yang ditutupi oleh epitel dan melakukan banyak fungsi seperti berbicara, menelan,
10
menyusui, persepsi sensasi rasa, termasuk perubahan termal, rangsangan rasa sakit, serta membantu dalam perkembangan rahang.16 Kelainan pada lidah memiliki proporsi yang cukup besar dari kelainan mukosa yang lain. Penelitian epidemiologi telah menunjukkan tingkat prevalensi yang bervariasi di berbagai belahan dunia. Diduga perbedaan dalam tingkat prevalensi berhubungan dengan etnis atau faktor ras, kebiasaan merokok dan perbedaan gender antara populasi yang diteliti, di samping status kesehatan umum dan kriteria diagnostik yang digunakan di setiap penelitian. Lesi pada lidah dilaporkkan lebih umum terjadi pada orang yang memiliki penyakit hematologis, diabetes mellitus, dermatologis dan beberapa penyakit gastrointestinal.16,17 Berdasarkan penelitian ini didapat bahwa perempuan lebih banyak memiliki jumlah kelainan mukosa rongga mulut dibandingkan dengan lakilaki, dan jenis kelainan mukosa rongga mulut yang banyak dialami oleh perempuan adalah fissured tongue. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil yang diperoleh Cebeci et al yang menyatakan bahwa fissured tongue lebih banyak dialami oleh perempuan dibandingkan laki-laki.12 Dari berbagai penelitian ada yang menyebutkan bahwa fissured tongue banyak di alami oleh laki-laki dan ada juga yang menyebutkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami kelainan tersebut. Contohnya penelitian yang dilakukan oleh Jainkittivong tentang lesi pada lidah yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih banyak mengalami fissured tongue dan kelainan lidah lain nya di bandingkan perempuan, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Al Mobeeriek dan Aldosari menemukan bahwa fissured tongue lebih banyak pada wanita. Sebenarnya untuk kasus fissured tongue tidak ada perbedaan jenis kelamin yang signifikan, untuk kemungkinan terjadi kelainan tersebut.18,19,20 Kasus keganasan tidak dijumpai dalam penelitian ini, karena penelitian ini hanya dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan klinis saja. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Cebeci dan Mujica yang menemukan lesi-lesi keganasan seperti squamous sel karsinoma, adenokarsinoma dan leukoplakia dengan prevalensi yang cukup rendah.12,14 Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa pada 9 orang lansia atau (16,07%) tidak ditemukan adanya kelainan mukosa rongga mulut. Hal ini disebabkan karena penuaan bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab terjadinya kelainan mukosa rongga mulut, tetapi ada faktor lain yang dapat mempengaruhi timbulnya kelainan mukosa rongga mulut seperti trauma, efek obat, kebersihan rongga mulut, budaya, sosial ekonomi, dan tingkat pengetahuan.14 Fissured tongue adalah suatu keadaan variasi dari anatomi lidah normal yang terdiri atas fisura garis tengah, fisura ganda atau multiple pada permukaan lidah yang membujur dari depan ke
11
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 7- 12
belakang dan memiliki berbagai pola. Adanya celah fisur tersebut dapat menyebabkan peradangan sekunder dan halitosis sebagai akibat dari penumpukan makanan, sehingga dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan lidah.11 Coated tongue adalah suatu keadaan dimana permukaan lidah terlihat berwarna putih atau berwarna lain yang merupakan tumpukan dari debris, sisa-sisa makanan dan mikroorganisme yang terdapat pada permukaan dorsal lidah.12 Dari hasil penelitian ini ditemukan beberapa kelainan rongga mulut yang persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Cebeci di Turki terutama untuk kelainan pada lidah yaitu coated tongue sebesar 2,1%, fissured tongue 1%, geographic tongue 0,3%.12 Dari perbandingan ini dapat terlihat bahwa angka kejadian kelainan mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya menjaga kebersihan rongga mulut dan kurangnya pengetahuan mengenai cara menjaga kesehatan rongga mulut. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gambaran klinis kelainan mukosa rongga mulut yang didapat di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah fissured tongue, coated tongue, xerostomia, geographic tongue, sublingual varikositis, angular chelitis, dan denture hiperplasia. Kelainan mukosa rongga mulut yang paling banyak ditemukan adalah fissured tongue (51,78%) dan coated tongue (48,21%). Data penelitian ini hendaknya memotivasi pengurus Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru agar dapat menghimbau para penghuni panti untuk lebih menjaga dan memperhatikan kesehatan gigi dan mulut, serta diharapkan dapat bekerjasama dengan dokter gigi atau tenaga medis daerah setempat dalam rangka meningkatkan kesehatan rongga mulut lansia. Hal ini diharapkan dapat menurunkan terjadinya kelainan mukosa rongga mulut pada lansia.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
Hendrizal. Lansia dan agenda ke depan. Harian umum pelita [internet]. 2008 [akses 2013 Mar 8]; Available from: http://www.pelita.or.id/baca.php/id=45106 Prawirno MD. Usia harapan hidup bertambah panjang. Ed 137. Jakarta: Gemari; 2012. p. 56. Sumarno S, Naenggolan T, Gunawan, Mumi R. Evaluasi program jaminan sosial lanjut usia (JSLU). Jakarta: P3KS Press (Anggota IKAPI); 2011. p. 16 – 27. Wangsarahardja K, Olly VD, Eddy K. Hubungan status kesehatan mulut dan
5.
6.
7.
8.
9. 10. 11. 12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
kualitas hidup pada lanjut usia. Jakarta: FK Universitas Trisakti; 2007;26(4): 188. Mozafari PM, Dalirsani Z, Delavarian Z, Amirchaghmaghi M, Shakeri, Esfandyari A, et al. Prevalence of oral mucosal lesion in institutionalized elderly people in Mashhad Northeast Iran. Gerodontology. 2011;1-3. Mayvira S. Prevalensi dan distribusi lesi-lesi mukosa mulut pada manusia lanjut usia di Panti Jompo Abdi Darma Asih Binjai Sumatera Utara [skripsi]. Medan: FKG Universitas Sumatera Utara; 2009. Stanley M, Beare P G. Buku ajar keperawatan gerontik. 2th ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 11-17. Sue E M. Gerontologic nursing founth edition. 4th ed. America: Elseviar Mosby; 2011. p.19. Arina YMD. Pengaruh aging terhadap sistem imun. JKM. 2003;3(1): 54-56. Barnes IE, Angus W. Perawatan gigi terpadu untuk lansia. Jakarta: EGC; 2006. p. 43-53. Pindborg J.J. Atlas penyakit mukosa mulut. Jakarta: Binarupa Aksara; 2009. p. 58 – 222. Cebeci ARI, Gulsahi A, Kamburoglu K, Orhan BK, Oztas B. Prevalence and distribution of oral mucosal lesions in an adult Turkish population. Med Oral Pato. 2009;1;14 (6):E272-7. Thomson WM, Lawrence HP, Broadbent JM, Poulton R. The impact of xerostomia on oral health–related quality of life among younger adults. Health Qual Life Outcomes. 2006;4:86. Mujica V, Rivera H, Carrero M. Prevalence of oral soft tissue lesion in an elderly Venezuelan population. Med Oral Pato. 2008;1;3(5):E270-4. Patil S, Kaswan S, Rahman F, Doni B. Prevalence of tongue lesions in the Indian population. J Clin Exp Dent. 2013;5(3):E 128-32. Byahati SM, Ingafou MS. The prevalence of tongue lesions in Libyan adult patients. J Clin Exp Dent. 2010;2(4):E 163-8. Darwazeh AM, Almelaih AA. Tongue lesion in a Jordanian population. Prevalence, symptoms, subject’s knowledge and tretment provided. Med Oral Pato. 2011;16(6):E 745-9. Gaphor SM, Abdullah MJ. Prevalence sex distribution of oral lesions in patients attending an oral diagnosis clinic in Sulaimani University. J Bagh College Den. 2011;23(3):67-69. Jainkittivong A, Aneksuk V, Langlais RP. Tongue lesions: prevalence and association with gender, age and health-affected behaviors. Cu Dent J. 2007;30:269-78.
Asih P : Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia 20.
Al-Mobeeriek A, Aldosari AM. Prevalence of oral lesions among Saudi dental patients. Ann Saudi Med [internet]. 2009 [cited 2014 Feb 5]; 29(5);365-8. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/P MC3290046/
12
13
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian PERBEDAAN INDEKS KARIES ANTARA MALOKLUSI RINGAN DAN BERAT PADA REMAJA DI PONPES DARUL HIJRAH MARTAPURA
Rosihan Adhani, Rizal Hendra Kusuma, Widodo, Sapta Rianta Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACK Background: Malocclusion is a big problem in oral health and taking of third position after dental caries and periodontal disease. Malocclusion is deviation in dento-facial growth that may interfere chewing process, swallowing, speech, and facial harmony. The data shows malocclusion prevalence at adolescences was still high, which is in the age group 10-14 years by 29,9 % and the age group 15-24 years by 30,6 %. According to some studies there is a relationship between dental caries and malocclusion especially in teeth crowding. Purpose: The purpose of this study was to determine differences in caries index between mild malocclusion and severe malocclusion. Methods: This research was descriptive study with cross sectional analytic. Samples were adolescents (13-17 years old) in Ponpes Darul Hijrah Martapura and randomly selected. The sample were 100 students consisting of 50 adolescents with mild malocclusion and 50 adolescents with heavy malocclusion. Results: The results showed that adolescents with mild malocclusionin in very low category of caries index had the largest score 1,7 whereas adolescents with severe malocclusions in very high category of caries index had the largest score 36. Conclusion: The conclusion, there was difference of caries index between mild malocclusion and severe malocclusion in adolescents at Darul Hijrah Boarding School Martapura. Keywords: malocclusion, dental caries, DMF-T index ABSTRAK Latar Belakang: Maloklusi merupakan masalah yang cukup besar dalam kesehatan gigi dan mulut, maloklusi berada pada urutan ketiga setelah karies gigi, serta penyakit periodontal. Maloklusi adalah suatu penyimpangan dalam pertumbuhan dento-fasial yang dapat mengganggu fungsi pengunyahan, penelanan, bicara, dan keserasian wajah. Data menunjukan angka remaja yang bermasalah dengan gigi dan mulut masih tinggi, yaitu pada kelompok umur 10-14 tahun sebanyak 29,9% dan 15-24 tahun sebanyak 30,6%. Menurut beberapa penelitian terdapat hubungan antara karies gigi dengan maloklusi khususnya pada gigi berjejal. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan indeks karies antara maloklusi ringan dan maloklusi berat. Metode: Jenis penelitian adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel adalah remaja dengan usia 13-17 tahun dari Ponpes Darul Hijrah Martapura yang diambil secara acak. Sampel penelitian ini berjumlah 100 orang siswa-siswi yang terdiri dari 50 remaja dengan maloklusi ringan dan 50 remaja dengan maloklusi berat. Hasil: Hasil penelitian indeks karies terbanyak pada remaja dengan maloklusi ringan adalah kategori sangat rendah 17 orang, sedangkan indeks karies terbanyak pada remaja dengan maloklusi berat adalah kategori sangat tinggi 36 orang. Kesimpulan: Terdapat perbedaan indeks karies gigi antara maloklusi ringan dan maloklusi berat pada remaja di Ponpes Darul Hijrah Martapura. Kata-kata kunci: maloklusi, karies gigi, indeks DMF-T Korespondensi: Rizal Hendra Kusuma, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
[email protected]
Kusuma : Perbedaan Indeks Karies Antara Maloklusi Ringan Dan Berat
14
PENDAHULUAN
BAHAN DAN METODE
Ortodontik merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran gigi yang mempelajari pertumbuhan wajah, perkembangan gigi, dan oklusi, serta mempelajari diagnosis, pencegahan, dan perawatan anomali oklusi1. Oklusi merupakan hubungan antara permukaan oklusal gigi-geligi atas dan bawah. Penyimpangan terhadap oklusi normal disebut maloklusi2. Maloklusi merupakan suatu penyimpangan dalam pertumbuhan dento-fasial yang dapat mengganggu fungsi pengunyahan, penelanan, bicara, dan keserasian wajah3. Maloklusi merupakan masalah yang cukup besar dalam kesehatan gigi dan mulut, maloklusi berada pada urutan ke tiga setelah karies gigi, serta penyakit periodontal. Beberapa peneliti di bidang ortodonti mengatakan bahwa maloklusi pada remaja Indonesia usia sekolah menunjukkan angka yang tinggi3. Prevalensi maloklusi remaja Indonesia mulai tahun 1983 sebesar 90% dan pada tahun 2006 sebesar 89%4. Persentase penduduk bermasalah gigi dan mulut di Kalimantan Selatan adalah sebesar 29,2%. Kabupaten Banjar merupakan daerah yang memiliki persentase cukup besar dalam kasus kesehatan gigi dan mulut (31,6%). Data menunjukan angka remaja bermasalah gigi-mulut pada kelompok umur 10-14 tahun sebanyak 29,9% dan 15-24 tahun sebanyak 30,6%, dengan penduduk umur 12 tahun ke atas yang memiliki fungsi gigi tidak normal sebanyak 16,6%. Karies atau gigi berlubang merupakan salah satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang cukup tinggi di Kalimantan Selatan, hal ini dapat dilihat dengan tingginya angka karies aktif remaja di Kalimantan Selatan pada umur 12 tahun (39,6%), 15 tahun (52,3%), dan 18 tahun (62,9%). Salah satu cara menentukan angka pengalaman karies gigi seseorang adalah dengan indeks Decayed Missing Filled-Tooth (DMF-T). Angka indeks DMF-T Kabupaten Banjar cukup tinggi dibandingkan daerah lainnya di Kalimantan Selatan yaitu sebanyak 7,85. Prevalensi maloklusi pada anak-anak pedesaan menurut penelitian Agusni (2007) sedikit lebih tinggi dibandingkan anak-anak di kota. Tingginya prevalensi maloklusi tersebut dikarenakan sulitnya mendapatkan informasi mengenai kesehatan dan kurangnya pengawasan dari orang tua atau pengasuh terhadap kesehatan anak asuhnya3. Menurut Margherita (2009), karies gigi dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Maloklusi merupakan salah satu faktor internal yang dapat menyebabkan terjadinya karies gigi, seperti pada hasil penelitian Gabris (2006), beberapa anomali gigi seperti gigi berjejal menyebabkan retensi plak dan memicu terjadinya karies6.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Bahan yang digunakan adalah air mineral, pasta gigi, alginat dan gips stone/ gypsum tipe III. Alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain indeks HMAR, indeks DMF-T, kaca mulut, sonde, masker, sarung tangan, alat tulis, formulir, sliding caliver, sikat gigi, sendok cetak, spatula, dan bowl. Populasi penelitian ini adalah semua remaja yang berstatus pelajar di Ponpes Darul Hijrah Martapura dengan rentang usia 13 – 17 tahun. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling. Jumlah sampel yang diambil pada penelitian ini adalah 100 dengan rincian 50 sampel pada kategori maloklusi ringan dan 50 sampel pada kategori maloklusi berat dengan kriteria inklusi: menyetujui informed consent, sehat, tidak terdapat kelainan sistemik saat anamnesa, dan terdapat maloklusi ringan atau berat. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah remaja yang masih terdapat gigi desidui atau gigi susu, remaja dengan oklusi normal, dan sedang menggunakan peranti ortodonti. Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah indeks karies antara maloklusi ringan dan berat remaja Ponpes Darul Hijrah Martapura. Pengambilan sampel dari populasi dengan cara acak. Sampel diperiksa maloklusinya secara observasi, kemudian dilakukan pencetakan rahang atas dan bawah. Selanjutnya dilakukan pengisian cetakan dengan gips stone/stone tipe III dengan segera, untuk menentukan maloklusi ringan atau berat model gigi-geligi sampel di hitung menggunakan indeks HMAR. Berikutnya dilakukan pemeriksaan DMF-T untuk menentukan indeks karies. Hasil pemeriksaan dicatat dalam lembar perhitungan dan dilanjutkan pengumpulan data. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan analisis deskriptif. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian perbedaan indeks karies antara maloklusi ringan dan berat pada remaja di Ponpes Darul Hijrah Martapura dapat dilihat pada Gambar 1., Gambar 2., dan Gambar 3.
15
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 13 - 17
Persentase (%)
60
Usia 13 Tahun
40
14 Tahun 15 Tahun
20
16 Tahun
0
17 Tahun
Mal Ringan Mal Berat Maloklusi Maloklusi Ringan
Berat
Gambar 1. Data Insidensi Maloklusi Ringan dan Berat pada Remaja di Ponpes Darul Hijrah Martapura Berdasarkan Usia
Persentase (%)
80
Jenis Kelamin
60
Laki-laki
40
Perempuan
besar mengalami maloklusi ringan (56%). Hasil penelitian menunjukkan dari 100 sampel, remaja laki-laki lebih sering mengalami maloklusi. Remaja laki-laki yang mengalami maloklusi sebanyak 58 orang dan remaja perempuan sebanyak 42 orang. Gambar 3 menunjukkan dari 100 sampel yang diperiksa. Frekuensi untuk kelompok maloklusi ringan dengan kategori indeks karies sangat rendah sebanyak 17 orang, kategori rendah sebanyak 13 orang, kategori sedang sebanyak 11 orang, kategori tinggi sebanyak 7 orang, dan kategori sangat tinggi sebanyak 2 orang. Frekuensi untuk kelompok maloklusi berat dengan kategori indeks karies sangat rendah sebanyak 2 orang, kategori rendah sebanyak 2 orang, kategori sedang sebanyak 2 orang, kategori tinggi sebanyaak 10 orang, dan kategori sangat tinggi sebanyak 34.
20 0 Maloklusi Maloklusi Mal Ringan Mal Berat Ringan
Berat
Gambar 2. Data Insidensi Maloklusi berdasarkan Jenis Kelamin pada Remaja di Ponpes Darul Hijrah Martapura Gambar 4. Salah satu pemeriksaan maloklusi pada sampel penelitian
Jumah (orang)
40
Indeks DMF-T
Sangat Rendah
30
Rendah
20
Moderat
10
Tinggi
0
Sangat Tinggi
Maloklusi Mal Ringan Maloklusi Mal Berat Ringan Berat
Gambar 3. Hubungan Karies Gigi pada Remaja yang Mengalami Maloklusi di Ponpes Darul Hijrah Martapura Gambar 5. Pemeriksaan indeks karies pada sampel penelitian
Gambar 1 diketahui bahwa usia 13 tahun merupakan usia dengan jumlah sampel paling banyak pada kelompok maloklusi ringan sebanyak 21 orang (42 %). Usia 14 tahun merupakan usia dengan jumlah sampel paling banyak pada kelompok maloklusi berat sebanyak 24 orang (48 %). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa maloklusi lebih banyak terjadi pada remaja dengan usia 13-14 tahun. Data pada Gambar 2 menunjukkan remaja laki-laki lebih sering mengalami maloklusi berat (72%), sedangkan remaja perempuan sebagian
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan laki-laki sedikit lebih banyak mengalami maloklusi. Salah satu penyebabnya adalah remaja perempuan lebih memperhatikan penampilan mereka dibandingkan dengan remaja laki-laki. Hal ini berkaitan dengan pentingnya penampilan mereka saat bersosialisasi dengan teman sebaya. Selain itu, anak laki-laki juga acuh atau kurang memperhatikan penampilan mereka7.
Kusuma : Perbedaan Indeks Karies Antara Maloklusi Ringan Dan Berat Seperti penelitian Ahangar (2007) yang meneliti prevalensi maloklusi pada anak umur 6-18 tahun, prevalensi maloklusi pada usia 12-14 tahun cukup tinggi yaitu 83,4 %. Remaja adalah usia yang dalam tahapan perkembangan baik fisik maupun psikologinya. Semakin dewasa seseorang, kesadarannya terhadap kesehatan dan penampilan saat bersosialisasi akan bertambah8. Menurut Rochadi (2001), ada dua konsep yang mendasar dalam hal ini yaitu konsep kebutuhan yang dirasakan. Konsep ini menjelaskan bahwa seseorang melakukan perawatan karena adanya kesadaran dan perubahan psikososial pada diri remaja yang menginginkan penampilan yang lebih menarik. Konsep yang kedua adalah konsep komparatif. Konsep ini menjelaskan perilaku kesehatan seseorang berdasarkan pernah tidaknya mendapatkan promosi atau pengetahuan yang mendalam tentang kesehatan gigi secara umum9. Berdasarkan hasil penelitian Oktavia Dewi (2007), diketahui terdapat hubungan antara jenis kelamin dan kualitas hidup. Perbedaan ini disebabkan remaja perempuan lebih sensitif terhadap perubahan hidupnya, mereka akan lebih mudah mengeluh dibandingkan remaja laki-laki. Remaja perempuan lebih memperhatikan masalah yang menyangkut estetis termasuk kesehatan gigi, ini dibuktikan dengan banyaknya perempuan yang melakukan perawatan keadaan maloklusinya, dibandingkan laki-laki karena merasa tidak nyaman dengan bentuk wajahnya7. Salah satu faktor yang menyebabkan remaja perempuan lebih sedikit mengalami maloklusi adalah orang tua. Orang tua cenderung lebih memperhatikan kesehatan gigi dan mulut anak perempuan mereka dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Yaghma (2013), disebutkan bahwa orangtua lebih banyak mencari perawatan ortodontik untuk anak perempuan mereka dibandingkan dengan anak laki-laki9. Beberapa karakteristik maloklusi khususnya gigi berjejal berpengaruh dalam terjadinya karies gigi permanen. Kondisi gigi-geligi yang berjejal mengakibatkan makanan terselip disela-sela gigi dan menyebabkan kesulitan dalam pembersihan gigi, hal ini terus berlanjut hingga sisa makan tersebut diakumulasikan oleh bakteri menjadi plak yang lebih sulit dibersihkan. Plak yang tidak dibersihkan pada permukaan gigi akan menyebabkan terbentuknya karies atau gigi berlubang10. Beberapa kasus anterior open bite juga dapat menyebabkan karies gigi. Remaja dengan kondisi ini cenderung bernafas lewat mulut dan menyebabkan penurunan aliran saliva. Keadaan mulut yang kering akibat penurunan aliran jumlah saliva memudahkan mikroorganisme kariogenik penyebab karies gigi berkembang biak9. Beberapa sampel juga mengeluhkan gangguan sendi rahang. Gangguan sendi rahang dapat menyebabkan kelainan mengunyah pada satu sisi
16
rahang yang memicu terjadinya karies gigi di sisi yang tidak melakukan pengunyahan. Gigi geligi pada sisi rahang yang tidak melakukan aktivitas pengunyahan makanan terjadi penurunan aliran jumlah saliva yang akan menyebabkan gigi-geligi rentan terjadi karies11. Maloklusi juga berkaitan erat dengan penyakit periodontal. Kelainan hubungan vertikal dan horizontal gigi-geligi anterior rahang atas dan bawah, pergeseran gigi, serta kelainan oklusi gigi-geligi posterior dapat menyebabkan kerusakan jaringan periodontal, sehingga dapat menyebabkan karies gigi pada daerah servikal gigigeligi12. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan terdapat perbedaan indeks karies antara maloklusi ringan dan berat. Indeks karies terbanyak pada maloklusi ringan termasuk dalam kategori sangat rendah. Indeks karies terbanyak pada maloklusi berat termasuk dalam kategori sangat tinggi. DAFTAR PUSTAKA 1. Dolce, C. Orthodontics: a review. Florida: American Dental Association Chemistry Education Research and Practice. 2012. p. 2-3. 2. Koesoemahardja H, Indrawati A, Jenie I. Tumbuh Kembang Kraniodentofasial. Jakarta: Fakutas Kedokteran Gigi Trisakti. 2009. p. 2939. 3. Adzimah FS. Gambaran Derajat Keparahan Maloklusi Menggunakan Handicapping Malocclusion Assessment Record pada Siswa SMPN 1 Paciran Kabupaten Lamongan. Orthodontic Dental Journal. 2011; 2(2): 19-24. 4. Dinatal G, Djajasaputra W, Koesoemahardja H. Studi Epidemiologis Tingkat Keparahan Maloklusi pada Anak-Anak Sekolah Usia 12-15 Tahun di DKI Jakarta. Majalah Kedokteran Gigi. 2002; 39: 381-387. 5. Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi Kalimantan Selatan. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2007. p 119-133. 6. Stahl F, Grabowski R. Malocclusion and caries prevalence: is there a connection in the primary and mixed dentitions? Clinical Oral Investig. 2004; 8(2): 86–90. 7. Dewi O. Analisis Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007. Skripsi. Medan. Indonesia. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. 2007. p.73. 8. Ahangar A. Prevalence of Malocclusion in 1315 Year-old Adolescents in Tabriz. Iran: Journal of Dental Research. 2007. p. 14. 9. Sandhi A. Multidisciplinary Approach in Treating Undiagnosed Severe Temporo
17 Mandibular Joint Ankylosis : A Case Report. Jakarta. Jurnal Plastik Rekonstruksi. 2012. p.315. 10. Alexander, KN. Genetic and Phenotypic Evaluation of The Class III Dentofacial Deformity: Comparisons of Three Populations. Thesis. Carolina. Georgia. University of North Carolina. 2007; 14. 11. Marquezan M, Feldens CA. Association Between Occlusal Anomalies and Dental Caries
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 13 - 17 In 3-5 Years Old Brazilian Children. Journal of Orthodontics 2011; 38(1): 8-14. 12. Mtaya M, Prongsi B. Prevalence of Malocclusion and Its Relationship With Sociodemographic Factors, Dental Caries, and Oral Hygiene In 12-14 Years Old Tanzanian Schoolchildren. European Journal of Orthodontics. 2009; 31(5): 474-475.
18
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian GAMBARAN INDEKS KEBERSIHAN MULUT BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN MASYARAKAT DI DESA GUNTUNG UJUNG KABUPATEN BANJAR Basuni, Cholil, Deby Kania Tri Putri Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACT Background: Education is the socio-economic factors that influence health status. The level of education is very influential on the knowledge, attitudes and healthy behavior. A person with a higher education degree would have good knowledge and attitudes about health that would affect behavior for a healthy life. Purpose: This research aimed to determine the relationship of education level on oral hygiene index of community at Guntung Ujung village in Banjar District. Methods: This study used a descriptive survey research methods. To determine the level of education used interview method and oral hygene index performed by measuring the level of oral hygiene and scoring. Results: Respondents who had good oral hygiene index criterian were 30 peoples (33.3%). Respondents who had medium oral hygiene index criterian were 54 peoples (60.0%). While respondents who had poor oral hygiene index criterian were only 6 peoples (6.7%). Conclusion: Senior high school was level of education that had best criterian of oral hygiene index, while no school education was level of education that had worst criterian of oral hygiene index, and medium criterian was the most criterian of oral hygiene index in Guntung Ujung village in Banjar District. Key words: Level of education, oral hygiene index, oral health ABSTRAK Latar belakang: Pendidikan adalah faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi status kesehatan. Tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku hidup sehat. Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang kesehatan yang akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup sehat. Tujuan: Penelitian ini untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan terhadap indeks kebersihan mulut masyarakat di Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar. Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei deskriptif. Untuk mengetahui tingkat pendidikan menggunakan metode wawancara dan untuk indeks kebersihan mulut dilakukan dengan mengukur tingkat kebersihan mulut dan dilakukan penilaian (scoring). Hasil: Responden yang memiliki kriteria indeks kebersihan mulut yang baik yaitu sebanyak 30 orang (33,3%). Responden memiliki kriteria indeks kebersihan mulut yang sedang yaitu sebanyak 54 orang (60,0%), sedangkan responden memiliki kriteria indeks kebersihan mulut yang buruk hanya sebanyak 6 orang (6,7%). Kesimpulan: Tingkat pendidikan lulus SMA adalah tingkat pendidikan yang memiliki kriteria indeks kebersihan mulut paling baik, sedangkan tingkat pendidikan tidak sekolah adalah tingkat pendidikan yang memiliki kriteria indeks kebersihan mulut paling buruk, dan indeks kebersihan mulut dengan kriteria sedang adalah indeks kebersihan mulut yang paling banyak di Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar. Kata-kata kunci : Tingkat pendidikan, indeks kebersihan mulut, kesehatan rongga mulut Korespondensi : Basuni, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email:
[email protected].
19 PENDAHULUAN Pengetahuan, kesadaran, dan perilaku masyarakat terhadap pemeliharaan kesehatan gigi masih kurang dan dipengaruhi oleh berbagai faktorfaktor sosial demografi, antara lain faktor pendidikan, lingkungan, tingkat pendidikan, ekonomi, tradisi, dan kehadiran sarana pelayanan kesehatan gigi.1 Pendidikan seseorang dapat mempengaruhi tingkat kebersihan gigi dan mulutnya, seseorang yang pendidikannya rendah mempunyai pengetahuan yang kurang dalam memelihara kebersihan gigi dan mulutnya. Orang yang memiliki pendidikan tinggi akan mampu menjaga kebersihan gigi dan mulutnya lebih tinggi karena mereka lebih memperhatikan kondisi mulutnya. Pendidikan tidak menjadi faktor yang utama tetapi cukup mempengaruhi kebersihan gigi dan mulut seseorang.1 Kebersihan mulut adalah salah satu masalah penting yang perlu mendapat perhatian dalam rongga mulut selain masalah karies. Kebersihan mulut yang baik menggambarkan keadaan kesehatan umum yang baik, sebaliknya Kebersihan mulut yang buruk menggambarkan kondisi kesehatan yang buruk pula.2 Tingkat sosial ekonomi mempengaruhi kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan gizi, pemilihan macam makanan tambahan, kebiasaan hidup sehat, dan kualitas sanitasi lingkungan, oleh karena itu gizi buruk merupakan masalah yang mengancam masyarakat berstatus ekonomi rendah.2 Pendidikan merupakan faktor ke dua terbesar dari faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi status kesehatan seseorang.3 Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku hidup sehat. Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan dan sikap yang lebih baik tentang kesehatan yang akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup sehat. Perbedaan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kecenderungan orang menggunakan pelayanan kesehatan sehubungan dengan variasi mereka dalam pengetahuan mengenai kesehatan gigi. Kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan gigi dan ketidaktahuan akan bahaya penyakit gigi karena rendahnya tingkat pendidikan akan menyebabkan masyarakat tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi yang ada. Rendahnya tingkat pemanfaatan terhadap pelayanan kesehatan gigi ini akan memberikan kontribusi terhadap buruknya status kesehatan gigi masyarakat.3 Hasil Riset Kesehatan Dasar/RISKESDAS tahun 2007, ada lima provinsi dengan prevalensi masalah gigi-mulut tertinggi, yaitu Gorontalo (33,1%), Sulawesi Tengah (31,2%), Aceh (30,5%), Sulawesi Utara (29,8%) dan Kalimantan Selatan (29,2%).4 Riskesdas 2007 juga melaporkan indeks
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 18 - 23 DMF-T provinsi Kalimantan Selatan sebesar 6,83 meliputi komponen D-T 1,31, komponen M-T 5,52 dan komponen F-T 0,12. Hal ini berarti rerata jumlah kerusakan gigi per orang (tingkat keparahan gigi per orang) adalah 6,83 gigi meliputi 1,31 gigi yang berlubang, 5,52 gigi yang dicabut dan 0,12 gigi yang ditumpat. Ada lima kabupaten di Kalimantan Selatan dengan tingkat keparahan gigi (indeks DMF-T) di atas rerata adalah Hulu Sungai Utara, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Banjar, dan Hulu Sungai Selatan. Kabupaten Banjar adalah kabupaten yang termasuk memiliki tingkat keparahan gigi yang tinggi sebesar 7,80 meliputi 5,88 gigi yang dicabut/indikasi pencabutan, 1,62 gigi karies/berlubang, dan 0,34 gigi ditumpat. 5 Kebersihan mulut yang tidak dipelihara dengan baik akan menimbulkan penyakit di rongga mulut. Penyakit periodontal (seperti gingivitis dan periodontitis) dan karies gigi merupakan akibat kebersihan mulut yang buruk. Penyakit periodontal dan karies gigi merupakan penyakit di rongga mulut yang dapat menyebabkan hilangnya gigi secara patologis.10 Kebersihan mulut mempunyai peran penting di bidang kesehatan gigi, karena kebersihan mulut yang buruk dapat mengakibatkan timbulnya berbagai penyakit baik lokal maupun sistemik.6 Pengukuran kebersihan gigi dan mulut merupakan upaya untuk menentukan keadaan kebersihan gigi dan mulut seseorang. Umumnya untuk mengukur kebersihan gigi dan mulut digunakan suatu indeks. Indeks adalah suatu angka yang menunjukan keadaan klinis yang didapat pada waktu dilakukan pemeriksaan, dengan cara mengukur luas dari permukaan gigi yang ditutupi oleh plak maupun kalkulus.12 Secara klinis tingkat kebersihan mulut dinilai dengan kriteria Oral Hygiene Index Simplified (OHI-S). Kriteria ini dinilai berdasarkan keadaan endapan lunak atau debris dan karang gigi atau kalkulus.6 Kebanyakan debris makanan akan segera mengalami liquifikasi oleh enzim bakteri dan bersih 5-30 menit setelah makan, tetapi ada kemungkinan sebagian masih tertinggal pada permukaan gigi dan membran mukosa. Aliran saliva, aksi mekanisme lidah, pipi, dan bibir serta bentuk dan susunan gigi dan rahang akan mempengaruhi kecepatan pembersihan sisa makanan. Pembersihan ini dipercepat oleh proses pengunyahan dan viskositas ludah yang rendah.13 Kalkulus merupakan suatu masa yang mengalami kalsifikasi yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi, misalnya restorasi dan gigi-geligi tiruan. Berdasarkan hubungannya terhadap margin gingiva, kalkulus dikelompokkan menjadi supragingiva dan subgingiva.13 Kalkulus supragingiva adalah kalkulus yang melekat pada permukaan mahkota gigi mulai puncak margin gingiva dan dapat dilihat. Kalkulus ini berwarna putih kekuning-kuningan, konsentasinya keras seperti batu tanah liat dan mudah dilepaskan dari
Basuni : Gambaran Indeks Kebersihan Mulut Berdasarkan Tingkat Pendidikan Masyarakat permukaan gigi dengan skeler. Warna kalkulus dapat dipengaruhi oleh pigmen sisa makanan atau dari merokok. Kalkulus subgingiva adalah kalkulus yang berada dibawah batas margin gingiva, biasanya pada daerah saku gusi dan tidak dapat terlihat pada waktu pemeriksaan. Untuk menentukan lokasi dan perluasan yang harus dilakukan probing dengan eksplorer. Biasanya padat dan keras, warnanya coklat tua atau hijau kehitam-hitaman, konsistensinya seperti kepala korek api, dan melekat erat ke permukaan gigi.13 Penyakit jaringan pendukung gigi diawali dari rendahnya kualitas kebersihan gigi dan mulut yang dapat menyebabkan radang gusi pada bagian margin gingiva. Proses ini berlanjut ke dalam jaringan penyangga gigi di bawahnya menjadi periodontitis marginalis.9 Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar mempunyai fasilitas pendidikan yang kurang memadai sehingga berdampak pada sosial ekonomi masyarakat termasuk tingkat pendidikan masyarakat di desa tersebut. Desa Guntung Ujung dengan luas 1.231,130 Ha/m2 hanya mempunyai 2 buah fasilitas pendidikan SD dan 1 buah fasilitas pendidikan SMP. Pekerjaan yang paling dominan di desa ini adalah petani dan buruh. Angkatan kerja usia 18-56 tahun pada tahun 2011 di Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar adalah buta aksara 75 orang, tidak tamat SD 158 orang, tamat SD 162 orang, tamat SLTP 142 orang, tamat SLTA 61 orang, tamat Perguruan tinggi 20 orang. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang gambaran indeks kebersihan mulut berdasarkan tingkat pendidikan masyarakat di Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah gambaran indeks kebersihan mulut berdasarkan tingkat pendidikan masyarakat di Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar.
20
peneliti. Tingkat pendidikan diketahui melalui wawancara. Index kebersihan mulut diketahui dengan mengukur tingkat kebersihan mulut dan dilakukan penilaian (scoring). Hasil penelitian dicatat pada lembar pemeriksaan OHI-S. Tingkat kebersihan rongga mulut dinilai dalam suatu kriteria penilaian khusus yaitu Oral Hygiene Indeks Simplified (OHI-S). Kriteria ini dinilai berdasarkan keadaan endapan lunak atau debris dan karang gigi kalkulus (11). Pemeriksaan pada 6 gigi yaitu gigi 16, 11, 26, 36, 31, dan 46. Pada gigi 16, 11, 26, 31 yang dilihat permukaan bukalnya sedangkan gigi 36 dan 46 permukaan lingualnya. Indeks debris yang dipakai adalah Debris Indeks (D.I) Greene dan Vermillion (1964) dengan kriteria 0= 1= 2=
3=
tidak ada debris lunak terdapat selapis debris lunak menutupi tidak lebih dari1/3 permukaan gigi terdapat selapis debris lunak menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi tetapi tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi terdapat selapis debris lunak menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi
Kriteria penilaian debris mengikuti ketentuan sebagai berikut.
Penilaian debris indeks adalah sebagai berikut: Baik (good), apabila nilai berada diantara 0-0,6; Sedang (fair), apabila nilai berada diantara 0,7-1,8; Buruk (poor), apabila nilai berada diantara 1,9-3,0. Sedangkan indeks kalkulus yang digunakan adalah Calculus Indeks (C.I) Greene dan Vermillion (1964) yaitu:
BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei deskriptif dengan pendekatan Cross Sectional yaitu suatu penelitian dengan cara pengamatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat atau point time approach. Proses pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar pada bulan Juli 2013. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kaca mulut, sonde, pinset, ekskavator, probe periodontal, nierbeken, informed consent, tisu, kalkulator, alat tulis, lap putih, handuk kecil, alkohol 70%, kapas, aqua gelas, cholorine, dan detergen. Penelitian dilakukan dari rumah ke rumah. Peneliti membagikan surat persetujuan menjadi subjek penelitian (informed consent) yang akan ditanda tangani subjek penelitian didampingi
0=
tidak ada kalkulus
1=
kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari ⅓ permukaan gigi kalkulus supragingiva menutupi lebih dari ⅓ permukaan gigi tetapi tidak lebih dari ⅔ permukaan gigi atau kalkulus subgingival berupa bercak hitam di sekitar leher gigi atau terdapat keduanya kalkulus supragingiva menutupi lebih dari ⅔ permukaan gigi atau kalkulus subgingiva berupa cincin hitam di sekitar leher gigi atau terdapat keduanya
2=
3=
21
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 18 - 23
Kriteria penilaian ketentuan sebagai berikut.
kalkulus
mengikuti
60
Penilaian kalkulus indeks adalah sebagai berikut: Baik (good), apabila nilai berada diantara 0-0,6; Sedang (fair), apabila nilai berada diantara 0,7-1,8; Buruk (poor), apabila nilai berada diantara 1,9-3,0. Kriteria penilaian OHI-S mengikuti ketentuan sebagai berikut.
Jumlah Responen
50 40 30 20 10 0 Baik
Sedang
Buruk
Indeks Kebersihan Mulut (OHI-S)
OHI-S = Nilai D.I + Nilai C.I
Kriteria skor OHI-S adalah sebagai berikut: Baik (good), apabila nilai berada diantara 0-1,2; Sedang (fair), apabila nilai berada diantara 1,3-3,0; Buruk (poor), apabila nilai berada diantara 3,1–6,0.
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1
Gambar 1.2 Distribusi Frekuensi Menurut Kriteria Indeks Kebersihan Mulut (OHI-S) Berdasarkan Gambar 1.2 didapatkan data bahwa sebagian besar responden memiliki kriteria indeks kebersihan mulut yang baik yaitu sebanyak 30 orang (33,3%). Responden memiliki kriteria indeks kebersihan mulut yang sedang yaitu sebanyak 54 orang (60,0%). Sedangkan responden memiliki kriteria indeks kebersihan mulut yang buruk hanya sebanyak 6 orang (6,7%).
30
20
25
18
20 15 10 5 0 Tidak Tidak Sekolah Lulus SD
SD
SMP
SMA
Indeks Kebersihan Mulut
Jumlah Responden
35
16 baik
14 12
sedang
10 8
buruk
6 4 2 0
Tingkat Pendidikan
Gambar 1.1 Distribusi Frekuensi Menurut Tingkat Pendidikan. Berdasarkan Gambar 1.1 didapatkan responden yang tidak sekolah yaitu sebanyak 6 orang (6,7%). Responden yang tidak lulus SD sebanyak 16 orang (17,8%). Responden yang lulus SD sebanyak 31 orang (34,4%) dan responden yang lulus SMP sebanyak 26 orang (28,9%), serta responden yang lulus SMA sebanyak 11 orang (12,2%).
Tingkat Pendidikan
Gambar 1.3 Indeks Kebersihan Mulut Berdasarkan Tingkat Pendidikan.
Basuni : Gambaran Indeks Kebersihan Mulut Berdasarkan Tingkat Pendidikan Masyarakat Berdasarkan Gambar 1.3 didapatkan data bahwa pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tidak sekolah ada 6 orang (6,7%) yang terdiri dari 5 orang memiliki indeks kebersihan mulut sedang dan 1 orang memiliki indeks kebersihan mulut buruk. Masyarakat dengan tingkat pendidikan tidak lulus SD ada 16 orang (17,8%) yang terdiri dari 4 orang memiliki indeks kebersihan mulut baik, 11 orang memiliki indeks kebersihan mulut sedang, dan 1 orang memiliki indeks kebersihan mulut buruk. Masyarakat dengan tingkat pendidikan lulus SD ada 31 orang (34,4%) yang terdiri dari 9 orang memiliki indeks kebersihan mulut baik, 19 orang memiliki indeks kebersihan mulut sedang, dan 3 orang memiliki indeks kebersihan mulut buruk. Masyarakat dengan tingkat pendidikan lulus SMP ada 26 orang (28,9%) yang terdiri dari 10 orang memiliki indeks kebersihan mulut baik dan 16 orang memiliki indeks kebersihan mulut sedang. Pada masyarakat dengan tingkat pendidikan lulus SMA ada 11 orang (12,2%) yang terdiri dari 7 orang memiliki indeks kebersihan mulut baik, 3 orang memiliki indeks kebersihan mulut sedang, dan 1 orang memiliki indeks kebersihan mulut buruk. PEMBAHASAN Pada hasil penelitian didapatkan tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap indeks kebersihan mulut, karena pada penelitian ini diketahui indeks kebersihan mulut paling baik terdapat pada tingkat pendidikan SMA dan indeks kebersihan mulut paling buruk terdapat pada tingkat pendidikan tidak sekolah. Hal ini sesuai dengan Penelitian Pintauli, yaitu seseorang yang memiliki tingkat pendidikan rendah kemungkinan akan memiliki pengetahuan yang kurang mengenai kesehatan gigi dan mulut. Pendidikan sebagai sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu, pemahaman yang baik dan buruk, boleh atau tidak boleh dilakukan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka orang tersebut akan memiliki pemahaman yang lebih baik sehingga akan berpengaruh terhadap sikap.3 Pendidikan adalah faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi status kesehatan. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku hidup sehat. Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang kesehatan yang akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup sehat. Perbedaan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kecenderungan orang menggunakan pelayanan kesehatan sehubungan dengan variasi mereka dalam pengetahuan mengenai kesehatan gigi. Kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan gigi dan ketidaktahuan akan
22
bahaya penyakit gigi karena rendahnya tingkat pendidikan akan menyebabkan masyarakat tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi yang ada.3 Menurut Sariningrum (2009) tingkat pendidikan merepresentasikan tingkat kemampuan seseorang dalam memperoleh dan memahami informasi kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang diasumsikan semakin baik tingkat pemahamannya terhadap informasi kesehatan yang diperolehnya.8 Menurut Said (2011), pendidikan seseorang dapat mempengaruhi tingkat kebersihan gigi dan mulutnya, seseorang yang pendidikannya rendah mempunyai pengetahuan yang kurang dalam memelihara kebersihan gigi dan mulutnya. Berbeda dengan orang yang lebih tinggi kemampuan dalam menjaga kebersihan gigi dan mulutnya lebih tinggi karena mereka lebih memperhatikan kondisi mulutnya. Pendidikan tidak menjadi faktor yang utama tetapi cukup mempengaruhi kebersihan gigi dan mulut seseorang.1 Menurut Sayuti (2010) kebersihan mulut sangat ditentukan oleh perilaku. Pemeliharaan kebersihan mulut yang tidak benar akan menyebabkan mudahnya penumpukan plak, material alba, dan kalkulus yang pada akhirnya akan merugikan kesehatan periodontal.7 Kebersihan mulut yang jelek dapat menyebabkan terjadinya komplikasi seperti tonsilitis, gingivitis, halitosis, xerostomia, pembentukan plak dan karies gigi. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara infeksi pada rongga toraks dengan kebersihan mulut yang jelek.11 Kesehatan rongga mulut memegang peranan yang penting untuk masalah satu komponen hidup sehat yang penting. Kebersihan mulut yang tidak dipelihara dengan baik akan menimbulkan penyakit di rongga mulut. Penyakit periodontal (seperti gingivitis dan periodontitis) dan karies gigi merupakan akibat dari kebersihan mulut yang buruk. Penyakit periodontal dan karies gigi merupakan penyakit di rongga mulut yang dapat menyebabkan hilangnya gigi secara patologis.10 Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap indeks kebersihan mulut. Tingkat pendidikan lulus SMA adalah tingkat pendidikan yang memiliki kriteria indeks kebersihan mulut paling baik, sedangkan tingkat pendidikan tidak sekolah adalah tingkat pendidikan yang memiliki kriteria indeks kebersihan mulut paling buruk, dan indeks kebersihan mulut dengan kriteria sedang adalah indeks kebersihan mulut yang paling banyak di Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar. DAFTAR PUSTAKA 1.
Said F, Ida R, Sri H, Rina H. Hubungan perilaku memelihara gigi dengan penyakit pulpa pada pasien di poliklinik gigi puskesmas
23
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 18 - 23 Sungkai Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Kesehatan Gigi Poltekkes Kemenkes Banjarmasin. 2011; 4(1): 5-7. Nurlindah H dan Mughny R. Perbandingan status gizi dan karies pada murid SD Islam Athirah dan SD Bangkala III Makassar. Skripsi. Makassar: Fakultas Kedokteran gigi. Universitas Hasanuddin. 2009; 8(1): 27-34. Pintauli S, Melur T. Hubungan tingkat pendidikan dan skor DMF-T pada ibu-ibu rumah tangga berusia 20-45 tahun di Kecamatan Medan Tuntungan. Dentika dent J. 2004; 9(2): 78-83. Soendoro T. Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan. 2009: 131132. Soendoro T. Riset kesehatan dasar 2007. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan. 2009:116-118. Santoso O, Wildam ASR, Dwi R. Hubungan kebersihan mulut dan gingivitis ibu hamil terhadap kejadian bayi berat badan lahir rendah kurang bulan di RSUP Dr. Kariadi Semarang dan Jejaringnya. Semarang: Media Medika Indosiana. 2009; 43(6): 288-290. Sayuti M. Hubungan faktor sosial ekonomi perilaku, dan oral hygiene terhadap karies gigi pada anak usia remaja umur 15-16 tahun di SMA Negeri 1 Galesong Utara. Jurnal ilmiah media kesehatan gigi. Makassar: Politeknik
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Kesehatan Makassar Jurusan Kesehatan Gigi. 2010; 1(1): 32-42. Sariningrum E, dan Irdawati. Hubungan tingkat pendidikan, sikap dan pengetahuan orang tua tentang kebersihan gigi dan mulut pada anak balita 3–5 tahun dengan tingkat kejadian karies di Paud Jatipurno.Surakarta: Berita Ilmu Keperawatan. 2009; 2(3): 119-124. Mumpuni WP. Kebersihan rongga mulut dan gigi pasien stroke. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia. 2011;182: 37-40. Mitra M. Hubungan status karies dan gingivitis dengan oral hygiene pada anak usia 6-12 tahun di Desa Ujung Rambung Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai. Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. 2010: 7-15. Satku K. Nursing Management of Oral Hygiene : Guidelines and Recommendations. MOH Nursing Clinical Practice Guidelines 1/2004. Singapura: Ministry of Health. 2004: 14 – 24. Paavola M, Vartiainen, Erkki, and Haukkala, Ari. Smoking From Adolescence to Adulthood, the Effects of Parental and Own Socioeconomic Status. Finland: European Journal of Public Health. 2004; 14(4): 417-420. Putri MH, Herijulianti E dan Nurjanah N. Ilmu pencegahan penyakit jaringan keras dan jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC. 2010: 85-87.
24
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian PERBANDINGAN EFEKTIVITAS MENGUNYAH BUAH PIR DAN BENGKUANG TERHADAP PENURUNAN INDEKS PLAK Tinjauan pada Siswa SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar
Kasma Ernida Haida, Cholil, Didit Aspriyanto Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACT Background: Oral health has been improved in the 21 st century, but the prevalence of dental caries in children remains as significant clinical problem. Oral health goal is to remove plaque regularly. One of method to clean plaque is chewing the fruits such as pear and jicama. Pear and jicama have a pulp which are rough, dense, and hard, as well as fiber and high enough of water. Chewing these fruit will mechanically stimulate the teeth to erode and destroy it, so it can clean the dental plaque naturally. Purpose: To find out the comparison of chewing effectiveness of pear fruit and jicama to reduced dental plaque index at student of SDN Gambut 9 in Banjar District. Methods: It was a quasi experimental study with pre and post-test group design and used purposive sampling with 80 peoples sample and consisted of two treatment groups. Group 1 was given the treatment to chewed pear and group 2 to chewed jicama. Each fruit weigths were 100 grams and it were chewed with both sides of the jaw about 32 times. Results: An average of plaque index before and after chewing a pear reduced by 1.3831 and chewing a jicama reduced by 1.1076. Paired T test analysis results showed the value of p = 0.000 (p < 0.05) between before and after treatment in each treatment groups. Unpaired T test analysis results showed the value of p = 0.104 (p > 0.05) between the treatment groups. Conclusion: Pear and jicama could significantly reduce dental plaque index score, but there was no significant differences in effectiveness between the two. Keywords: pear, jicama, reduce of dental plaque index ABSTRAK Latar belakang: Kesehatan gigi dan mulut telah mengalami peningkatan pada abad ke-21, tetapi prevalensi karies gigi pada anak tetap merupakan masalah klinis yang signifikan. Tujuan kesehatan gigi dan mulut adalah menghilangkan plak secara teratur. Salah satu cara membersihkan plak adalah mengunyah buah seperti pir dan bengkuang. Buah pir dan bengkuang memiliki daging buah yang kasar, padat, keras, serat dan kadar air yang cukup tinggi. Mengunyah kedua buah ini secara mekanis akan merangsang geligi untuk menggerus dan menghancurkannya, sehingga dapat membersihkan gigi dari plak secara alami. Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas mengunyah buah pir dan bengkuang terhadap penurunan indeks plak gigi pada siswa SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar. Metode: Penelitian ini merupakan quasi experiment dengan pre and post-test group design yang menggunakan purposive sampling dengan jumlah sampel 80 orang dan terdiri dari 2 kelompok perlakuan. Kelompok 1 diberikan perlakuan mengunyah buah pir dan kelompok 2 mengunyah buah bengkuang. Masing-masing buah memiliki berat 100 gram dan dikunyah dengan kedua sisi rahang sebanyak 32 kali. Hasil: Rata-rata indeks plak sebelum dan sesudah mengunyah buah pir mengalami penurunan sebesar 1,3831 dan mengunyah buah bengkuang mengalami penurunan sebesar 1,1076. Hasil analisis uji T berpasangan menunjukkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) antara sebelum dan sesudah perlakuan pada masingmasing kelompok perlakuan. Pada uji T tidak berpasangan menunjukkan nilai p = 0,104 (p > 0,05) antar kelompok perlakuan. Kesimpulan: Buah pir dan bengkuang dapat menurunkan nilai indeks plak gigi secara bermakna, tetapi tidak terdapat perbedaan efektivitas yang bermakna antara keduanya. Kata-kata kunci: pir, bengkuang, penurunan indeks plak gigi Korespondensi: Kasma Ernida Haida, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, email:
[email protected]
25 PENDAHULUAN Masalah kesehatan gigi dan mulut menjadi perhatian yang sangat penting dalam pembangunan kesehatan, dan salah satunya disebabkan oleh rentannya kelompok anak usia sekolah terhadap gangguan kesehatan gigi. Usia sekolah merupakan masa untuk meletakkan landasan kokoh bagi terwujudnya manusia yang berkualitas. Faktor penting yang menentukan kualitas sumber daya manusia adalah kesehatan.1 Kesehatan gigi dan mulut telah mengalami peningkatan pada abad ke-21, tetapi prevalensi terjadinya karies gigi pada anak tetap merupakan masalah klinis yang signifikan.1 World Health Organization (WHO) melaporkan prevalensi karies gigi pada anak usia sekolah sebesar 60% sampai 90%.2 Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2007 melaporkan bahwa di Indonesia prevalensi karies gigi pada murid sekolah dasar sebesar 72,1%.3 Masalah gigi dan mulut di wilayah Kalimantan Selatan pada anak berusia 5-9 tahun sebesar 28,6% dan 10-14 tahun sebesar 29,9%. Kabupaten Banjar menduduki peringkat ke empat indeks DMF-T (Decay, Missing, Filling) di Kalimantan Selatan, yaitu sebesar 7,8. Fakta ini menunjukkan untuk menurunkan angka tersebut diperlukan juga upaya promotif dan preventif, tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif yang sesuai dengan paradigma kesehatan.4 Plak gigi merupakan salah satu faktor yang dominan dalam perkembangan suatu karies. Plak adalah deposit lunak, tidak berwarna, mengandung bakteri, dan melekat pada permukaan gigi. Pembersihan gigi yang kurang baik dapat menyebabkan plak semakin melekat. Akumulasi plak yang terjadi ini dapat diukur dengan menggunakan suatu metode, yaitu indeks plak.5 Tujuan kesehatan gigi dan mulut adalah menghilangkan plak secara teratur untuk mencegah agar plak tidak tertimbun. Upaya pencegahan ini disebut kontrol plak. Kontrol plak dapat dilakukan secara mekanik, kimia dan biologik. Kontrol plak juga dapat dilakukan dengan mengombinasikan metode mekanik dan kimia, yaitu dengan mengunyah buah yang segar dan berserat. Buah merupakan makanan yang baik untuk kesehatan gigi dan bisa digunakan untuk penyikatan gigi secara alami.6,7 Penduduk Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, yang berusia 10 tahun ke atas yang kurang mengonsumsi buah dan sayur sebesar 94,2%. Sebagian besar angka persentase tersebut dipengaruhi oleh besarnya prevalensi mengenai hal serupa pada daerah pedesaan, yaitu 96,1%.4 Hal ini sangat disayangkan mengingat bahwa memperbanyak konsumsi sayuran dan buah-buahan yang berserat dan berair dapat membantu membersihkan rongga mulut dan merangsang sekresi saliva yang berguna untuk melindungi gigi.8
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 24 - 28 Pir dan bengkuang merupakan buah yang termasuk pembersih alami rongga mulut (self cleansing), namun belum banyak orang yang mengetahui hal tersebut. Sebagian besar masyarakat hanya mengetahui bahwa kedua buah tersebut dapat bermanfaat untuk kesehatan tubuh secara umum, tetapi tidak untuk kesehatan rongga mulut. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Ramdhani pada tahun 2007 dan Budiati pada tahun 2008 diketahui bahwa ternyata buah pir maupun bengkuang memiliki efek mekanis yang dapat menurunkan indeks plak gigi.9,10 Prevalensi masalah gigi dan mulut di pedesaan pada wilayah Kalimantan Selatan sebesar 28,9% dengan pengalaman karies di Kabupaten Banjar sebesar 86% pada usia 12 tahun ke atas.4 SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar merupakan sekolah dasar yang terletak di Jalan Selokan Raya, Irigasi, Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar. Sekolah ini dipilih menjadi lokasi penelitian karena berdasarkan studi pendahuluan, hampir semua siswa-siswi sekolah ini memiliki pengalaman karies. Siswa-siswi di sekolah ini juga belum mengetahui bahwa buah pir dan bengkuang memiliki manfaat terhadap kesehatan rongga mulut, meskipun pernah mengonsumsi kedua buah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas mengunyah buah pir dan bengkuang terhadap penurunan indeks plak pada siswa SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian quasi experiment dan rancangan pre and post-test group design. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah sampel diminta mengunyah buah pir atau bengkuang. Pengukuran indeks plak dilakukan sebelum dan sesudah pemberian perlakuan. Populasi pada penelitian ini adalah siswa SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling dengan kriteria inklusi. Adapun kriteria inklusi tersebut adalah siswa kelas 4, 5, dan 6 SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar, bersedia untuk dijadikan sampel, kooperatif, memiliki gigi insisif, premolar, dan molar yang tumbuh sempurna, tidak memiliki kalkulus yang menutupi lebih dari 2/3 mahkota gigi, dan tidak menggunakan alat orthodonti baik cekat atau lepasan. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 80 orang dengan tiap-tiap kelompok masing-masing berjumlah 40 orang. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat diagnostik, dappen glass, masker, sarung tangan, gelas kumur, nierbeken, tempat buah, timbangan digital, formulir penilaian indeks TQHPI, dan informed consent. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buah pir, buah bengkuang, disclosing agent, cotton bud, alkohol 70%, tisu, dan air mineral.
Haida : Perbandingan Efektivitas Mengunyah Buah Pir Dan Bengkuang Sampel diidentifikasi sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditentukan,. Sampel penelitian yang telah memenuhi kriteria kemudian dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang mengunyah buah pir, sedangkan kelompok ke dua adalah kelompok yang mengunyah buah bengkuang. Semua sampel penelitian dilakukan pemeriksaan awal yaitu pemeriksaan akumulasi plak menggunakan disclosing agent dengan indeks plak dari Quigley dan Hein yang dimodifikasi oleh Turesky, Gilmore, dan Glickman (indeks plak TQHPI). Gigi yang lebih bersih memiliki skor plak yang lebih banyak mendapat skor 1 atau 2 daripada gigi yang memiliki skor plak yang lebih banyak mendapat skor 4 atau 5 pada saat pemeriksaan dilakukan. Sampel kemudian diinstruksikan agar mengunyah buah pir atau bengkuang yang memiliki berat masingmasing 100 gram dengan kedua sisi rahang sebanyak 32 kali. Pemeriksaan akhir dilakukan setelah perlakuan, yaitu pemeriksaan indeks plak seperti pada pemeriksaan awal. Hasil pemeriksaan baik sebelum dan sesudah perlakuan dicatat dan dihitung dalam formulir penilaian indeks TQHPI. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis menggunakan uji T dengan derajat kepercayaan sebesar 95% untuk mengetahui perbandingan efektivitas antara kelompok yang mengunyah buah pir dan bengkuang terhadap penurunan indeks plak. HASIL PENELITIAN Berikut ini adalah karakteristik sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin dan usia. Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar sampel adalah laki-laki sebanyak 44 orang (55%) dan perempuan sebanyak 36 orang (45%). Berdasarkan usia, sampel yang berusia 9 tahun sebanyak 11 orang (13,75%), usia 10 tahun sebanyak 28 orang (35%), usia 11 tahun sebanyak 30 orang (37,5%), dan usia 12 tahun sebanyak 9 orang (11,25%), sedangkan sampel yang berusia 13 dan 14 tahun masing-masing sebanyak 1 orang (1,25%). Hasil perbandingan efektivitas dari penelitian yang telah dilakukan terdapat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil Rata-Rata Nilai Penurunan Indeks Plak Sebelum dan Sesudah Mengunyah Buah Pir dan Bengkuang Pada Siswa SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar
Kelompok 1 2
Rata-Rata Indeks Plak SebeSesulum dah 2,756 2,415
1,373 1,307
RataRata Penurunan
Selisih RataRata Penurunan
1,383 1,108
0,275
26
Tabel 1 menunjukkan rata-rata penurunan nilai indeks plak pada kedua kelompok perlakuan, yaitu kelompok pertama memiliki nilai rata-rata penurunan indeks plak sebesar 1,383 dan kelompok ke dua sebesar 1,108. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa kelompok pertama memiliki nilai rata-rata penurunan indeks plak yang lebih besar daripada kelompok ke dua. Besar selisih antara kelompok pertama dan ke dua yang terjadi yaitu 0,275. Hasil yang diperoleh tersebut selanjutnya dianalisis menggunakan uji T. Pada uji T berpasangan didapatkan hasil p = 0,000 (p < 0,05) yang menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan, baik pada kelompok yang mengunyah buah pir ataupun bengkuang. Pada uji T tidak berpasangan didapatkan hasil p = 0,104 (p > 0,05) yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antar kelompok perlakuan. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat adanya variasi penurunan indeks plak antara sebelum dan sesudah mengunyah buah pada kedua kelompok perlakuan. Variasi pada penelitian ini dapat terjadi karena kondisi gigi yang berbeda-beda pada setiap subyek penelitian. Siswa dengan kondisi gigi yang lebih bersih akan mengalami penurunan nilai indeks plak yang lebih sedikit daripada kondisi gigi yang tidak bersih. Besar tekanan pengunyahan setiap subyek penelitian juga dapat memengaruhi penurunan nilai indeks plak. Menurut Van der Bilt A et al (2006) dalam Lemos et al (2006) dan Koc et al (2010), tekanan kunyah dapat dipengaruhi oleh kekuatan otot pengunyahan, geligi, dan tekanan gigit yang bergantung faktor, antara lain morfologi cranio-facial, umur, jenis kelamin, jaringan periodontal yang mendukung gigi, temporomandibular disorder, dan status gigi seperti jumlah dan posisi gigi, serta ada tidaknya tambalan dan gigi tiruan.11,12 Cara mengunyah buah (menggunakan kedua sisi rahang secara bersamaan) dan jumlah kunyah yang dikendalikan (sebanyak 32 kali) seperti pada penelitian yang dilakukan juga dapat mempengaruhi penurunan indeks plak gigi yang terjadi. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Ramdhani (2007) dan Budiati (2008) yang membuktikan bahwa mengunyah buah pir dan bengkuang memberikan efek mekanis dalam menurunkan indeks plak gigi.9,10 Menurut Meishi (2011), pir dan bengkuang adalah buah yang mempunyai sifat sebagai pembersih alami. Kedua buah ini dapat membantu terjadinya self cleansing dalam rongga mulut, sehingga dapat meningkatkan kebersihan gigi dan mulut setiap individu.13
27 Menurut Firdaus et al (2008) dan Ehizele et al (2009), penurunan indeks plak dapat terjadi karena mengonsumsi makanan berserat dan padat mengakibatkan meningkatnya intensitas dan lama pengunyahan yang dilakukan. Gerakan mengunyah akan merangsang sekresi saliva yang mengandung agen antibakteri. Saliva juga dapat menghilangkan sisa-sisa makanan atau membilas gigi, menetralisasi zat-zat asam yang ada, dan melarutkan komponen gula dari sisa makanan yang terperangkap dalam sela-sela pit dan fisur permukaan gigi, namun saliva saja belum mampu menghilangkan plak pada gigi. König et al (1995) dan Lingstrom et al (2003) dalam Schwartz et al (2012), menyatakan bahwa sifat mekanis dari mengunyah makanan berserat membantu menimbulkan efek seperti sikat (menggerus) yang dapat menghilangkan plak (terutama plak supragingiva) dari permukaan gigi sebelum mengeras menjadi kalkulus. 7,14,15 Salah satu cara pengontrolan plak adalah dengan mengunyah buah yang segar dan berserat. Menurut Vaswani (2005) dalam Eka et al (2007), mengonsumsi makanan berserat tidak akan bersifat merangsang pembentukan plak, melainkan berperan sebagai pengendali plak alamiah atau pembersih alamiah pada permukaan gigi. Pembersihan alamiah ini seperti membantu menyingkirkan partikel-partikel makanan dan gula selama proses pengunyahan terjadi.16 Hasil uji statistik yang telah dilakukan menunjukkan terjadinya penurunan indeks plak yang bermakna pada masing-masing kelompok perlakuan. Hal ini juga terbukti secara klinis pada saat penelitian, bahwa mengunyah buah pir dan bengkuang memiliki efek mekanis dalam menurunkan indeks plak gigi. Penurunan ini terlihat dari kondisi gigi siswa yang diperiksa sebelum dan sesudah perlakuan mengalami perubahan dari kondisi gigi yang tidak bersih (plak yang menempel lebih banyak mendapat skor 4 atau 5) menjadi kondisi yang lebih bersih (plak yang menempel lebih banyak mendapat skor 1 atau 2). Kelompok yang mengunyah buah pir dan yang mengunyah buah bengkuang secara statistik terbukti memiliki keefektivitasan yang sama dalam menurunkan indeks plak. Hal ini disebabkan kedua buah ini memiliki beberapa persamaan yang dapat membantu menghilangkan plak yang melekat pada permukaan gigi. Persamaan tersebut adalah samasama memiliki kandungan serat dan air yang tinggi, serta tekstur daging buah yang kasar, padat, dan keras.13 Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa mengunyah buah pir dan bengkuang dapat menurunkan angka indeks plak gigi, tetapi tidak terdapat perbedaan efektivitas jika dibandingkan antara mengunyah buah pir dan bengkuang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu upaya preventif dalam menurunkan prevalensi karies gigi, terutama di Kabupaten
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 24 - 28 Banjar, Kalimantan Selatan dengan cara agar kegiatan UKGS (Usaha Kesehatan Gigi Sekolah), UKGMD (Usaha Kesehatan Gigi Masyarakat Desa), dan posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) baik posyandu balita maupun posyandu lansia, menyampaikan penyuluhan tentang manfaat mengonsumsi buah-buahan untuk kesehatan rongga mulut, terutama buah-buahan yang berserat dan berair sesudah makan, misalnya pir, bengkuang, apel, dan jambu. Orang tua siswa dan ibu-ibu termasuk ibu hamil juga diharapkan mengenalkan anaknya pada buah dan sayur sejak kecil, sehingga anak terbiasa mengonsumsi jenis makanan ini. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai manfaat lain dari buah pir dan bengkuang terhadap kebersihan rongga mulut selain ditinjau dari efek mekanis dan kimia.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Warni L. Hubungan perilaku murid SD kelas V dan VI pada kesehatan gigi dan mulut terhadap status karies gigi di wilayah Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang tahun 2009. Tesis. Medan: Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM USU; 2009. p. 1, 3. Gathecha G, Anselimo M, Peter W, Jared O, Perry S. Dental caries and oral health practices among 12 year old children in Nairobi West and Mathira West Districts, Kenya. Pan Afr Med J. 2012; 12; 42. Darwita RR, Herry N, Budiharto, Puspa DP, Rizky A, Sandy RA. Efektivitas program sikat gigi bersama terhadap risiko karies gigi pada murid sekolah dasar. J Indon Med Assoc. 2011; 61 (5); 204-209. Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi Kalimantan Selatan. Hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2007; 118-169. Putri MH, Eliza H, Neneng N. Ilmu pencegahan penyakit jaringan keras dan jaringan pendukung gigi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2011. p. 56-60. Sugano N. Biological plaque control: novel therapeutic approach to periodontal disease. J Oral Sci. 2012; 54 (1); 1-5. Firdaus T, Eriska R, Dede H. Index plaque differences between before and after chewing apples. Proceeding Asian Oral Health Care and 2nd ASEAN Meeting on Dental Public Health. 2008; 13-9. Angela A. Pencegahan primer pada anak yang beresiko karies tinggi. Majalah Kedokteran Gigi. Dent J. 2005; 38 (3); 130-134.
Haida : Perbandingan Efektivitas Mengunyah Buah Pir Dan Bengkuang 9.
10.
11.
12.
13.
Ramdhani AR. Efektivitas pengunyahan buah apel (Pyrus malus) dan buah pir (Pyrus communis L.) terhadap penurunan plak. KTI. Yogyakarta: FK UMY; 2007. Budiati RE. Pengaruh konsumsi bengkoang terhadap penurunan debris serta plak indeks, perubahan pH saliva, pH plak dan penurunan skor plak lama serta plak baru. Skripsi. Semarang: FKM UNDIP; 2008. Lemos AD, Flávia RG, Marcia DS, Rafael de LP, Maria BDG. Chewing performance and bite force in children. Braz J Oral Sci. 2006; 5 (18); 1101-1108. Koc D, Arife D, Bulent B. Bite force and influential factors on bite force measurements: a literature review. Eur J Dent. 2010; 4; 223232. Meishi PRL. Hubungan tingkat konsumsi makanan kariogenik dengan karies gigi pada
28
anak sekolah dasar swasta Muhammadiyah 08 Medan tahun 2011. Skripsi. Medan: FKM USU; 2011. p. 6. 14. Ehizele AO, Ojehanon PI, Akhionbare O. Nutrition and oral health. J Postgrad Med. 2009; 11 (1); 76-82. 15. Schwartz N, Elizabeth KK, Martha EN, Avron S, Raul IG. High-fiber foods reduce periodontal disease progression in men aged 65 and older the veterans affairs normative aging study/ dental longitudinal study. J Am Geriatr Soc. 2012; 60 (4); 676-683. 16. Eka C, Eriska R, Feny F. Perbedaan tingkat kebersihan gigi dan mulut antara anak vegetarian dan non vegetarian di Vihara Maitreya Pusat Jakarta. Jurnal Kedokteran Gigi Indonesia Edisi Khusus PIN IKGA II. 2007; 79-84.
29
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian PERBANDINGAN EFEKTIVITAS BERKUMUR LARUTAN TEH PUTIH (Camellia sinensis L.) SEDUH KONSENTRASI 100 % DENGAN 50 % DALAM MENINGKATKAN pH SALIVA Tinjauan pada Mahasiswa PGPAUD FKIP Angkatan 2010 Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Nida Amalia, Siti Kaidah, Widodo Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACT Background: Synthetic mouthwash has many side effects, therefore, some research developed mouthwash with natural ingredient, such as tea. Some research proved that cathechinand flavonoid ,the contents of tea has antibacterial effects to some cariogenic bacteria. Cariogenic bacteria can ferment carbohydrate that causes the decrease in salivary pH which leads to quicken demineralitation process of the teeth . White tea has higher cathechin and flavonoid than green tea, black tea, and oolong tea. Purpose: This study aimedto explore theeffectiveness comparison between gargling with 100% white tea solution and 50% white tea solution to increase pH of saliva. Methods: This study was a quasi experimental with pretest –postest group design. Sixty six subjects of this study were divided into two groups, one group were gargling with 100% white tea and another group were gargling with 50% white tea. The salivarypH of both groups were measured before and after treatment. Result: The statistical analysis showed a significant increase in salivary pH of both groups, but there was no significant difference between the 100% white tea group and the 50% white tea group. Conclusion: Based on the study results, it can be concluded that both 100% and 50% white tea increased salivary pH, but there was no significant difference in the effectiveness of them. Keywords: white tea, salivary pH, mouthwash ABSTRAK Latar Belakang: Penggunaan obat kumur sintesis yang tidak tepat dapat menimbulkan efek samping sehingga beberapa penelitian telah mengembangkan obat kumur bahan alami seperti teh. Beberapa penelitian membuktikan bahwa kandungan teh berupa cathechin dan flavonoid memiliki efek antibakteri terhadap beberapa bakteri kariogenik yang dapat memfermentasi karbohidrat sehingga menurunkan pH saliva yang mempercepat proses demineralisasi gigi. Teh putih memiliki kandungan cathehin dan flavonoid tertinggi dibandingkan teh hijau, teh hitam dan teh oolong. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas teh putih seduh konsentrasi 100% dengan 50% sebagai obat kumur terhadap peningkatan pH saliva. Metode: Penelitian ini menggunakan metode quasi experimental dengan pretest-postest group design. Subjek penelitian 66 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang berkumur teh putih seduh konsentrasi 100% dan konsentrasi 50%. Dua kelompok tersebut diperiksa pH sebelum dan sesudah diberi perlakuan.Hasil: Berdasarkan hasil uji T-berpasangan untuk teh putih 100% dan uji Wilcoxon pada teh putih 50% sama-sama efektif dalam meningkatkan pH saliva. Hasil uji T-tidak berpasangan menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok yang berkumur teh putih seduh konsentrasi 100% dengan kelompok teh putih seduh konsentrasi 50%.Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa teh putih seduh konsentrasi 100% maupun 50% dapat meningkatkan pH saliva, tetapi tidakterdapat perbedaan efektivitas antarakeduanya. Kata kunci: teh putih, pH saliva, obat kumur
Amalia : Perbandingan Efektivitas Berkumur Larutan Teh Putih
30
Korespondensi: Nida Amalia, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email:
[email protected]
PENDAHULUAN Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes tahun 2007 menunjukkan bahwa secara umum prevalensi penyakit gigi dan mulut tertinggi meliputi 72,1% penduduk, dan 46,6% diantaranya merupakan karies aktif.1 Prevalensi karies yang tinggi ini menjadi bukti kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia untuk menjaga kesehatan gigi dan mulutnya.2Terdapat empat faktor utama yang berperan dalam proses terjadinya karies, yaitu host, mikroorganisme, substrat, dan waktu. Faktor-faktor tersebut bekerja bersama dan saling mendukung satu sama lain.3 Saliva sebagai salah satu faktor primer risiko karies memiliki peranan penting dalam kesehatan rongga mulut. Saliva sebagai sistem penyangga untuk menjaga pH optimal mulut, yaitu pH yang cenderung basa. Jika tanpa saliva, maka setiap kita makan akan terbentuk lingkungan yang asam yang akan mendukung pertumbuhan bakteri kariogenik. Makanan yang kita konsumsi sehari-hari terutama makanan yang bersifat asam dapat mempengaruhi pH saliva di dalam rongga mulut, pH saliva menjadi turun dan bersifat asam. Selain itu, hasil metabolisme karbohidrat oleh mikroorganisme dalam rongga mulut juga menghasilkan asam yang akan memicu proses demineralisasi email dan dentin, sehingga terjadi karies.4,5 Penggunaan larutan kumur adalah salah satu cara yang cukup berhasil dalam menjaga kebersihan mulut.6 Obat kumur yang sering digunakan adalah obat kumur antiseptik, akan tetapi penggunaan antiseptik dalam obat kumur dewasa ini diduga dapat berefek karsinogenik terhadap penggunanya. Hal ini didukung oleh hasil penelitian McCullough dan Farah yang menyatakan bahwa pemakaian mouthwash dengan kandungan antiseptik berupa alkohol dapat memicu terjadinya kanker mulut.7,8 Dewasa ini telah berkembang penggunaan obat tradisional sebagai alternatif yang lebih aman dibandingkan zat kimia.9 Teh merupakan minuman paling popular di antara berbagai minuman.Selain nikmat, minum teh dalam bentuk seduhan juga mempunyai banyak manfaat yang baik untuk kesehatan termasuk kesehatan rongga mulut.Minuman dari pucuk daun teh(Camellia sinensis) ini dapat memperkuat gigi, melawan bakteri dalam mulut, dan mencegah terbentuknya plak gigi.10Teh memiliki kandungan kaya sumber polifenol (katekin) yang merupakan bagian dari flavonoid. Empat katekin utama adalah epigalocathechin-3-gallate (EGCG) yang kira-kira 59% dari total katekin, epigalocathecin (EGC) 19%, epicatechin-3-gallate (ECG) 13,6%, epicatechin (EC), dan 6,4% kafein.11
Katekin terutama EGCG dapat menghambat bakteri (bakteriostatis) dan sebagai bakterisid terhadap Streptococcus mutans, Streptococcus sobrinus dan laktobasillus, yang merupakan bakteri penyebab utama terjadinya karies.2,11,12 Hasil penelitian Adrianto tentang antibakteri biji kakao yang mengandung polifenol dan didominasi oleh katekin dan epigalokatekin, menunjukkan kandungan polifenol dengan kadar 100% mampu menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans lebih baik dibandingkan polifenol konsentrasi 50%.11 Melalui peranannya ini, katekin dapat menghambat proses fermentasi gula oleh enzim glukosiltransferase yang dapat memproduksi asam.12 Teh putih memiliki jumlah flavonoid terbanyak, disusul teh hijau, teh oolong, dan teh hitam.13 Teh putih adalah tipe teh yang paling sedikit diproses dan memiliki kandungan katekin yang paling tinggi, dibuat dari daun teh muda (pucuk) yang diuapkan segera setelah dipanen untuk menonaktifkan oksidasi polifenol, yaitu enzim yang menghancur katekin. Proses ini menghasilkan teh putih yang lebih kaya akankatekin dibanding teh hijau.14 Penelitian ini peneliti bertujuan membandingkan efektifitas larutan teh putih seduh konsentrasi 100% dan 50% terhadap peningkatan pH saliva sebagai obat kumur dalam usaha menjaga kebersihan rongga mulut dan mencegah karies. BAHAN DAN METODE Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi QuasiExperimental dengan Pretest-Posttest Group Design. Penelitian dilakukan pada mahasiswa Pendidikan Guru Pendidik Anak Usia Dini angkatan 2010 FKIP UNLAM Banjarmasin. Sebanyak 66 subjek dibagi menjadi 2 kelompok.Kelompok pertama berkumur dengan teh putih seduh konsentrasi 100% dan kelompok kedua berkumur dengan teh putih seduh konsentrasi 50%. Bahan yang digunakan adalah larutan teh putih seduh konsentrasi 100%, larutan teh putih seduh konsentrasi 50%, air/akuades, dan kertas label. Alat yang digunakan adalah, gelas kecil untuk menampung saliva, gelas kumur, gelas ukur, pH meter, termometer, heater, sarung tangan dan masker.Cara pembuatan teh putih seduh konsentrasi 100% dalam penelitian ini yaitu 100 gram teh putih yang diseduh dengan 100 ml air. Sebelumnya air dididihkan, kemudian didiamkan sebentar, agar suhunya turun ke temperatur optimum.Temperatur optimum dalam penyeduhan teh adalah 70-80oC. Penggunaan temperatur optimum bertujuan untuk menjaga agar kadar
31
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 29 - 33
polifenol dalam teh tidak berkurang. Pembuatan teh putih seduh konsentrasi 50% dibuat dengan caralarutan teh putih seduh konsentrasi 100% dicampurkan dengan air pada temperatur optimum sebanyak 100 ml. Tahapan prosedur kerja selanjutnya adalah subjek diinstruksikan agar tidak menyikat gigi, makan dan minum minimal 1 jam sebelum penelitian.Subjek masing-masing kelompok dipersilahkan mengeluarkan saliva ke dalam sebuah gelas kecil penampung saliva yang sudah diberi label, ± 2 ml per sampel.pH saliva diukur dengan menggunakan pH meter. Setelah pengambilan data awal, subjek diinstruksikan tentang perlakuan yang akan diberikan sesuai kelompok. Kelompok pertama berkumur dengan larutan teh putih seduh konsentrasi 100%, selama 30 detik dan kelompok kedua berkumur dengan larutan teh putih seduh konsentrasi 50% selama 30 detik. Subjek masing-masing kelompok kemudian dipersilahkan mengeluarkan saliva ke dalam sebuah gelas ukur yang sudah diberi label, ± 5 ml per sampel.pH saliva masing-masing kelompok diukur dengan pH meter. Data dikumpulkan dan dilakukan analisis data serta penyimpulan hasil analisis data. Data yang didapat dari tiap kelompok dilakukan uji normalitas menggunakan uji Shapiro Wilk.Data yang terdistribusi normal dilanjutkan dengan t-Test berpasangan untuk mengetahui perbandingan pH saliva sebelum dan sesudah perlakuan tiap kelompok.Data yang tidak terdistribusi normal dilakukan uji Wilcoxon. Lalu dilanjutkan t-Test tidak berpasangan untuk membandingkan antara kedua kelompok perlakuan dengan tingkat kepercayaan 95% (p<0,05). HASIL PENELITIAN Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata pH Saliva Sebelum dan Sesudah Berkumur Teh Putih Seduh Konsentrasi 100 % dan Teh Putih Seduh Konsentrasi 50%.
pH Saliva
Sebelum berkumur Sesudah berkumur Selisih
Rata-rata Teh putih Teh putih konsentrasi konsentrasi 100% 50% 6,922 6,991 7,053
7,082
0,131
0,091
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa pada kelompok berkumur dengan teh putih konsentrasi 100%, rata-rata pH saliva sebelum dan
sesudah berkumur adalah 6,922 dan 7,053.Terdapat peningkatan rata-rata pH sebesar 0,131.Pada kelompok yang berkumur dengan teh putih seduh 50% rata-rata pH saliva sebelum dan sesudah berkumur adalah 6,991 dan 7,082.Terdapat peningkatan pH saliva sebesar 0,091. Hasil uji Shapiro Wilkmenunjukkan data pada kelompok yang berkumur teh putih dengan konsentrasi 100% terdistribusi normal. Analisis data dilanjutkan dengan t - Test berpasangan.Pada t -Test berpasangan didapatkan hasil p = 0,043 (p>0,05) yang menunjukkan peningkatan pH saliva yang signifikan sebelum dan sesudah berkumur teh putih seduh konsentrasi 100%. Analisis dilanjutkan pada data pH saliva kelompok berkumur teh putih konsentrasi 50%. Pada uji normalitas, sebaran data kelompok berkumur teh putih konsentrasi 50% tidak normal, sehingga digunakan uji alternatifWilcoxon. Pada uji Wilcoxon didapatkan hasil p = 0,037 yang berarti terdapat peningkatan pH saliva yang signifikan. Analisis dilanjutkan dengan Uji T tidak berpasangan berdasarkan selisih pengukuran pH sebelum dan sesudah berkumur setiap kelompok untuk mengetahui apakah ada perbedaan perubahan pH saliva antar kelompok yang berkumur teh putih konsentrasi 100% dengan 50%. Pada setiap kelompok didapatkan sebaran data terdistribusi normal. Pada uji T tidak berpasangan didapatkan hasil p = 0,661 (p>0,05) yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara kelompok perlakuan. PEMBAHASAN Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan terjadinya peningkatan pH saliva yang signifikan setelah berkumur dengan teh putih seduh konsentrasi 100% maupun teh putih seduh konsentrasi 50%. Peningkatan pH saliva setelah berkumur dengan teh putih kemungkinan terjadi karena kandungan katekin dan polifenol yang terdapat pada teh putih. Teh putih mengandung katekin terutama EGCG yang berfungsi sebagai bakteriostatis dan bakterisid terhadap bakteri kariogenik salah satunya Streptococcus mutans.15 Katekin bekerja dengan cara mencegah terjadinya adhesi Streptococus mutans menyebabkan penghambatan aktivitas enzim glukosiltransferase sehingga pembentukan asam dihambat.16Katekin juga dapat merusak dinding sel bakteri dan membran sitoplasma serta menyebabkan denaturasi protein.17 Aktivitas biologis senyawa flavonoid terhadap bakteri dilakukan dengan merusak sel bakteri. Sel bakteri yang terdiri atas lipid dan asam amino akan bereaksi dengan gugus alkohol pada senyawa flavonoid sehingga dinding sel akan rusak dan senyawa tersebut dapat masuk ke dalam inti sel bakteri. Senyawa ini juga akan kontak dengan
Amalia : Perbandingan Efektivitas Berkumur Larutan Teh Putih DNA pada inti sel bakteri. Adanya perbedaan kepolaran antara lipid penyusun DNA dengan gugus alkohol pada senyawa flavonoid menyebabkan terjadinya reaksi sehingga akan merusak struktur lipid DNA bakteri serta inti sel bakteri akan lisis dan mati. Selain itu tannin yang terkandung dalam teh putih dapat mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. Sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati.18 Peningkatan pH saliva terjadi akibat adanya peningkatan sekresi saliva. Adanya peningkatan sekresi saliva menyebabkan peningkatan ion-ion bikarbonat sehingga pH saliva akan meningkat. Peningkatan sekresi saliva dapat terjadi karena adanya rangsangan mekanis dan kimiawi terhadap kelenjar saliva.Peningkatan pH pada penelitian ini kemungkinan terjadi akibat peningkatan sekresi saliva yang berasal dari rangsangan kandungan seduhan teh putih yaitu tannin yang terasa pahit.Hal ini sesuai dengan penelitian Permatasari (2011), yang menunjukkan adanya peningkatan sekresi saliva pada kelompok kontrol karena rangsangan mekanis terhadap kelenjar saliva (berkumur).Sekresi saliva yang dihasilkan pada kelompok perlakuan lebih banyak karena terjadi dua rangsangan pada kelenjar saliva, yaitu rangsangan mekanik (berkumur) dan rangsangan kimiawi (rasa pahit dari tannin) sehingga ion-ion bikarbonat yang dihasilkan lebih banyak.Akibatnya, pH saliva pada kelompok perlakuan meningkat secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol.20Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran volume saliva sehingga peningkatan sekresi saliva tidak bisa dinilai. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatan pH saliva yang signifikan antara kelompok yang berkumur teh putih seduh konsentrasi 100% dengan 50%. Penelitian Sakanaka yang dikutip dari Wiria menyatakan bahwa konsentrasi hambat minimum katekin yang diperlukan untuk menghambat pembentukan glukan dengan bantuan enzim glukosiltransferase adalah 0,025 – 0.030 mg/ml. Pada penelitian Wiria (2008) yang membandingkan efektivitas berkumur larutan teh hijau seduh konsentrasi 100% dengan 50% terhadap pembentukan plak gigi menunjukkan nilai KHM pada teh hijau konsentrasi seduh 100% kira-kira 1,3 – 2,533 mg/ml dan pada konsentrasi 50% yaitu 0,65-1,265 mg/ml. Konsentrasi tersebut menunjukkan nilai yang lebih besar dari pada KHM katekin. Hasil penelitian Wiria menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna. Hal tersebut dimungkinkan karena kadar atau konsentrasi katekin dalam kedua larutan teh seduh ini jauh lebih besar dari KHM (konsentrasi hambat minimum) katekin, sehingga perbedaan
32
efektivitasnya tidak terlalu terlihat.19 Hal seperti ini kemungkinan juga terjadi pada teh putih.Konsentrasi maksimum katekin yang dibutuhkan untuk memicu peningkatan pH saliva mungkin sudah dicapai atau dilampaui pada teh seduh konsentrasi 50%, sehingga tidak ada perbedaan bermakna antara teh putih seduh konsentrasi 100% dan konsentrasi 50% terhadap peningkatan pH saliva. Hasil penelitian Putri (2011) tentang pengaruh campuran madu dan teh hijau dalam perubahan derajat keasaman (pH) saliva anak terlihat bahwa kenaikan pH saliva terjadi pada menit pertama sampai pada menit ke -15 dan turun pada menit ke30 pada semua kelompok.19 Penelitian Afifah (2010) tentang uji beda dalam pemberian teh hijau dan teh hitam terhadap pH saliva secara in vivo menunjukkan terjadi perbedaan waktu kenaikan pH saliva.pH saliva turun pada menit ke-2 kemudian naik pada menit ke-6 dan kembali turun pada menit ke-10. Adapula yang mengalami perlambatan, menurun sampai menit ke- 6 kemudian baru meningkat pada menit ke-10.10 Pada penelitian ini hanya dilakukan pengukuran saliva langsung setelah berkumur dan tidak dilakukan perentang waktu, sehingga efek teh putih seduh konsentrasi 100% dengan 50% tidak diketahui sampai kapan efektifnya dalam merubah atau meningkatkan pH saliva. Tidak adanya perbedaan peningkatan pH saliva antar kelompok kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yang tidak dapat peneliti kendalikan, seperti kepatuhan diet atau pola makan seseorang dan karies.Menurut Toda M yang dikutip dari Nur Afifah orang yang memiliki kebiasaan mengunyah makanan yang banyak mengandung serat seperti buah-buahan dan sayur-sayuran mempengaruhi pH saliva dengan secara tidak langsung melalui peningkatan sekresi saliva.pH dan kapasitas buffer saliva juga akan berpengaruh setelah makan. pH saliva menjadi asam 10 menit setelah makan karbohidrat dan proses untuk menormalkan pH saliva setelah makan memerlukan waktu 30-60 menit.10 Pada penelitian ini responden diminta agar tidak mengkonsumsi makanan minimal 1 jam sebelum penelitian. Kemungkinan masih terdapat responden yang tidak mematuhi instruksi untuk tidak makan sebelum perlakuan sehingga berpengaruh terhadap pH saliva setelah pemberian seduhan teh putih untuk berkumur. Faktor lainyang dapat berpengaruh terhadap penelitian adalah karies. Pada hasil kuesioner didapatkan faktor perancu yang bisa mempengaruhi hasil seperti gigi berlubang. Gigi berlubang akan mempermudah makanan/minuman menempel sehingga terdapat banyak bakteri yang dapat hidup dan dapat menghasilkan asam.Hal ini menyebabkan potensi pembentukan asam lebih tinggi.10 Pada penelitian ini faktor karies tidak dikendalikan, sehingga adanya gigi karies pada
33 responden dapat mempengaruhi pH saliva.Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan efektifitas antara teh putih (Camellia sinensis. L) seduh konsentrasi 100% dan 50% sebagai obat kumur terhadap peningkatan pH saliva. DAFTAR PUSTAKA 1.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2007. Hal: 141-142. 2. Simanjuntak CMK. Hubungan Keadaan Saliva dengan Risiko Karies pada Siswa X SMK Negeri 9 Medan. Repository USU 2011. Hal: 1, 16, 54-55. 3. Soesilo D, Rinna ES, Indeswati D. Peranan Sorbitol dalam Mempertahankan Kestabilan pH Saliva pada Proses Pencegahan Karies. Majalah Kedokteran Gigi (Dental Journal) 2005; 38: 25-28. 4. Mgowan K. The Biology of Saliva 2005;(online),(http://discovermagazine.com/20 05/oct/ the - biology - of - saliva), diakses 24 Januari 2013). 5. Stookey GK. The Effect of Saliva on Dental Caries. JADA. 2008; 139(S):11-17. 6. Endarti, Fauzia, Eeli Z. Manfaat Berkumur dengan Larutan Ekstrak Siwak (Savadora Persica). Majalah Kedokteran Nusantara 2007; 40(1): 29-37. 7. McCullough MJ, Farah CS. The Role of Alcohol in Oral Carsinogenesis with Particular Reference to Alcohol-containing mouthwashes. AustDent J 2008; 53:302-305. 8. Rahmah N, Aditya RKN. Uji Fungistatik Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) terhadap Candida albicans. BIOSCIENTIAE 2010; 7:17-24. 9. Sundari D, Budi N, M. Wien W. Toksisitas Akut (LD50) dan Uji Gelegat Ekstrak Daun Teh Hijau (Camellia sinensis (Linn.) Kunze) pada Mencit. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2009; XIX: 198203. 10. Afifah N. Uji Beda Pemberian Teh Hijau dan Teh hitam terhadap Perubahan pH Saliva Secara In Vivo. Skripsi. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2010. Hal: 12-42.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 29 - 33 11. Adrianto, Kiki. Efek Antibakteri Polifenol Biji Kakao pada Streptococcus mutans. Skripsi. Jamber: Fakultas Kedokteran Gigi. 2012. 12. Ukra M. The Miracle of Tea. Bandung: Qanita, 2011. Hal:53. 13. Jighisa A, Rai N, Kumar N, Gautam P. Green Tea : A Magical Herb with Miraculous Outcomes. International Research Journal of Pharmacy 2012; 3(5): 139-148. 14. Bestbook.1001 Teh – Dari Asal Usul, Tradisi, Khasiat Hingga Racikan Teh. Yogyakarta: Andi Publisher, 2010. Hal: 50-74. 15. Wiria F. Perbandingan Efektvitas Berkumur dengan Larutan Teh Hijau Seduh Konsentrasi 100% dan 50% dalam Menghambat Pembentukan Plak Gigi Secara Klinis pada Enam Permukaan Gigi. Skripsi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2008. Hal: 43. 16. Suprastiwi E. Efek Antimikroba Polifenol dari Teh Hijau Jepang terhadap Streptococcus mutans. Skripsi. Dep.I Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007. Hal: 7. 17. Amelia R, Sudomo P, Widasari L. Perlindungan Uji Efektivitas Ekstrak Teh Hijau (Camellia Sinensis) sebagai Alat Anti Bakteri terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus dan Escherichia coli Secara In Vitro. Jakarta: Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Bina Widya: Majalah Ilmiah 2013; 23(4); 177-182. 18. Noorhamdani, Yully E, Hendra PS. Ekstrak Daun Teh Putih (Camellia sinensis) sebagai Antibakteri Terhadap Streptococcus mutans Secara In Vitro.Skripsi. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2013. Hal: 9. 19. Putri DKT. Pengaruh Campuran Madu dan Teh Hijau Terhadap Perubahan Derajat Keasaman (pH) Saliva Anak (Kajian Secara In vitro). Laporan Penelitian. Banjarmasin: Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, 2011. Hal: 35-36. 20. Permatasari N, Miftakhul C, Felix A. Efektivitas Berkumur Infusum Teh Hijau Pada Perubahan pH Saliva pada Anak SD Berusia 911 Tahun di SDN Dinoyo II Malang. Skripsi. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2011. Hal: 4.
34
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian PERANAN PENYULUHAN DEMONSTRASI TERHADAP RASA TAKUT DAN CEMAS ANAK SELAMA PERAWATAN GIGI DI PUSKESMAS CEMPAKA PUTIH BANJARMASIN Noor Hamidah, Didit Aspriyanto, Cholil Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT Background : The fear and anxiety toward dental treatment was a barrier for dentists in improving dental health, especially in children. It was important to treat children who feel scared and anxious toward dental treatment, because the fear and anxiety were the cause of 15 % of dental treatment failure. One of the efforts to prevent the fear and anxiety of children to dental treatment by given demonstration counseling. Purpose : The purpose of this study was to determine the role of demonstrations counseling toward children fear and anxiety during dental treatment at cempaka putih public health center in Banjarmasin. Methods : This research was a quasi experimental with posttest-only with control group design, with one group given no treatment as controls. Children fear and anxiety was measured with CFSS-DS (Children Fear Survey ScheduleDental subscale). Results : Chi-square test results showed that the children who were not given demonstrations counseling had fear higher sense of fear and anxiety, while children who were given demonstrations counseling had a lower sense of fear and anxiety (P<0,05). Conclusion : Based on the research can be concluded that there was significant differences between children who were given demonstrations counseling and were not given demonstrations counseling. Keywords: fear, anxiety, demonstrations counseling ABSTRAK Latar Belakang : Rasa takut dan cemas terhadap perawatan gigi merupakan hambatan bagi dokter gigi dalam usaha peningkatan kesehatan gigi, terutama pada anak-anak. Penting untuk merawat anak yang merasa takut dan cemas terhadap perawatan gigi, karena takut dan cemas merupakan penyebab dari 15% kegagalan perawatan gigi. Salah satu upaya untuk mencegah rasa takut dan cemas anak terhadap perawatan gigi yaitu dengan memberikan penyuluhan demonstrasi. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan penyuluhan demonstrasi terhadap rasa takut dan cemas anak selama perawatan gigi di Puskesmas Cempaka Putih Banjarmasin. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental dengan posttest-only with control group design, dengan satu kelompok yang tidak diberikan perlakuan sebagai kontrol. Rasa takut dan cemas diukur dengan CFSS-DS (Children Fear Survey Schedule-Dental Subscale). Hasil : Hasil uji chi-squere menunjukkan bahwa anak yang tidak diberikan penyuluhan demonstrasi memiliki rasa takut dan cemas yang tinggi, sedangkan anak yang diberi penyuluhan memiliki rasa takut dan cemas rendah (P<0,05). Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara anak yang diberikan penyuluhan demonstrasi dan tidak diberikan penyuluhan demonstrasi.
Kata kunci: takut, cemas, penyuluhan demonstrasi
Korespondensi : Noor Hamidah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, email:
[email protected]
35 PENDAHULUAN Masalah kesehatan gigi anak di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Laporan hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi penduduk Kalimantan Selatan usia 5-14 tahun yang memiliki masalah gigi dan mulut sebanyak 58,5%. Banjarmasin sendiri angka kerusakan gigi sebanyak 1,11 gigi perorang yang mengalami karies.1 Hal ini disebabkan masih banyak orang tua yang berpendapat bahwa gigi sulung tidak perlu dirawat, karena mereka tidak tahu akibat yang akan terjadi bila gigi sulung tidak dirawat dengan baik. Upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan gigi sulung adalah melakukan perawatan rutin ke dokter gigi.2,3 Kebanyakan anak memiliki rasa takut dan cemas terhadap perawatan gigi, sehingga hal tersebut menjadi hambatan bagi dokter gigi dalam usaha meningkatkan kesehatan gigi masyarakat khususnya anak-anak, karena kecemasan pasien memberikan efek negatif terhadap prosedur perawatan yang akan dilakukan.3,4 Belladom (2009) menyatakan pasien anak yang memiliki rasa takut dan cemas sulit untuk diatur dan diberi perlakuan sehingga penting merawat anak yang merasa takut dan cemas. Rasa takut dan cemas merupakan penyebab dari 15% kegagalan perawatan gigi. Beberapa ahli juga melaporkan bahwa pada umumnya rasa takut dan cemas timbul akibat perawatan gigi semasa kanak-kanak. Oleh karena itu perlu diperhatikan bahwa pencegahan terhadap timbulnya rasa takut dan cemas anak harus dimulai pada usia dini, sehingga membuat seorang anak menjadi lebih berani dan memperkuat kebiasaan perawatan gigi yang baik untuk selanjutnya.5,6,7 Salah satu upaya untuk mencegah rasa takut dan cemas anak terhadap perawatan gigi yaitu dengan penyuluhan.6 Penyuluhan kesehatan diartikan sebagai kegiatan pendidikan kesehatan yang dilakukan dengan cara menyebarluaskan pesan dan menanamkan keyakinan. Dengan demikian masyarakat tidak hanya sadar, tahu, dan mengerti, tetapi juga dapat melakukan anjuran yang berhubungan dengan kesehatan.8 Media penyuluhan yang digunakan untuk mencegah rasa takut dan cemas anak selama perawatan gigi dalam penelitian ini adalah dengan metode demonstrasi. Metode demonstrasi merupakan suatu penyajian pengertian atau ide yang dipersiapkan dengan teliti untuk memperlihatkan bagaimana cara melaksanakan suatu tindakan, adegan, atau menggunakan suatu prosedur dengan alat bantu yang digunakan dalam menyampaikan bahan pendidikan.9 Metode demonstrasi juga merupakan cara mengajar dimana
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 34 - 38 seorang struktur atau tim menunjukkan, memperlihatkan, suatu proses sehingga audience dapat melihat, mengamati, mendengar, dan memahami proses yang ditunjukkan.10 Manusia hanya memahami 20% dari apa yang mereka lihat, dan 30% dari apa yang mereka dengar. Mereka mampu mengingat informasi sebanyak 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar, dan sebanyak 80% informasi yang mereka peroleh jika mereka melihat, mendengar, dan melakukan informasi tersebut secara bersama-sama.10 BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli 2013 di Puskesmas Cempaka Putih Banjarmasin. Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi experimental, dengan rancangan penelitian posttest-only with control group design, dengan satu kelompok yang tidak diberikan perlakuan sebagai kontrol. Instrumen pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang di ukur dengan CFSS-DS (Children Fear Survey Schedule-Dental Subscale) yang terdiri dari 15 pertanyaan masingmasing mencakup aspek yang berbeda pada perawatan gigi. Tingkat kecemasan dan rasa takut pada anak dibagi menjadi skala 5 poin yaitu, tidak takut sama sekali dengan skor = 1, agak takut = 2, cukup takut = 3, takut skor = 4 dan sangat takut skor = 5. Nilai total CFSS-DS (Children Fear Survey ScheduleDental Subscale) memiliki rentang skor antara 1575, tingkat kecemasan dan rasa takut yang rendah mempunyai nilai 15-37, sedangkan tingkat kecemasan dan rasa takut yang tinggi mempunyai nilai 38-75. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, alat diagnosa, model pantom, lembar penilaian rasa takut dan cemas, formulir informed consent, dan alat tulis. Pertama yang dilakukan adalah penetapan sampel yang diambil secara accidental sampling. Sampel harus memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Sebelum dilakukan penyuluhan demonstrasi, responden meminta izin pada orang tua untuk pengisian data diri anak, kemudian dilakukan wawancara kepada anak tentang pengalaman ke dokter gigi sebelumnya. Penyuluhan demonstrasi diberikan dengan cara, pengenalan alat diagnostik (kaca mulut, sonde, eskavator, pinset), memperlihatkan atau menunjukkan fungsi dan cara menggunakan alat diagnostik dengan menggunakan model pantom, memberikan kesempatan pada anak untuk bertanya jika anak tersebut tidak mengerti dengan apa yang kita jelaskan, langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan dan perawatan gigi pada anak. Observasi selama pemeriksaan dan perawatan gigi oleh dokter gigi. Setelah selesai
36
Hamidah : Peranan Penyuluhan Demonstrasi dilakukan pemeriksaan dan perawatan gigi, dilakukan wawancara terpimpin pada anak dengan panduan kuesioner yang telah dibuat. Analisis data dilakukan dengan pengujian statistik menggunakan uji chi-square, dengan tingkat kepercayaan 95% (α= 0,05). HASIL PENELITIAN Hasil penelitian tentang peranan penyuluhan demonstrasi terhadap rasa takut dan cemas anak selama perawatan gigi di puskesmas cempaka putih Banjarmasin dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 perbedaan rasa takut dan cemas pada anak yang diberikan penyuluhan demonstrasi dan tidak diberikan penyuluhan demonstrasi.
Rasa Takut dan Cemas PD
Total
Tinggi
Rendah
f
%
F
%
f
%
TP
11
73,3
4
26,7
15
100
DP
1
6,7
14
93,3
15
100
Keterangan PD : Penyuluhan Demonstrasi TP : Tanpa Penyuluhan Demonstrasi Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa anak yang tidak diberikan penyuluhan demonstrasi memiliki rasa takut dan cemas tinggi sebanyak 11 orang (77,3%) dan rendah 4 orang (26,7%). Anak yang diberi penyuluhan memiliki rasa takut dan cemas tinggi sebanyak 1 orang (6,7%) dan yang memiliki rasa takut dan cemas rendah 14 orang (93,3%). Perbedaan rasa takut dan cemas anak pada uji chi-square diperoleh nilai signifikansi 0,01 (P < 0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara anak yang diberikan penyuluhan demonstrasi dan tanpa penyuluhan demonstrasi. Tabel 2 Perbedaan rasa takut dan cemas anak berdasarkan usia.
Rasa takut dan cemas Total Usia
Tinggi
Rendah
f
%
f
%
f
%
6
5
62,5
3
37,5
8
100
7
6
60,0
4
40,0
10
100
8
1
20,0
4
80,0
5
100
9
0
0,0
7
100,0
7
100
Berdasarkan Tabel 2 responden usia 6 tahun dengan kategori tinggi sebanyak 5 orang (62,5%) dan kategori rendah 3 orang (37,5%). Usia 7 tahun dengan kategori tinggi sebanyak 6 orang (60%) dan kategori rendah 4 orang (40%). Usia 8 tahun dengan kategori tinggi sebanyak 1 orang (20%) dan kategori rendah 4 orang (80%). Usia 9 tahun dengan kategori tinggi tidak ada dan kategori rendah sebanyak 7 orang (100%). Tabel 3 Perbedaan rasa takut dan cemas berdasarkan jenis kelamin.
Rasa takut dan cemas Total
Jenis kelamin
Tinggi
Rendah
f
%
f
%
f
%
laki-laki
5
35,7
9
64,3
14
100
perempuan
7
43,8
9
56,3
16
100
Berdasarkan Tabel 3 anak laki-laki yang memiliki rasa takut dan cemas tinggi sebanyak 5 orang (35,7%), rasa takut dan cemas rendah 9 orang (64%). Anak perempuan yang memiliki rasa takut dan cemas tinggi sebanyak 7 orang (43,8%), rasa takut dan cemas rendah 9 orang (56,3%). Dari data tersebut diketahui anak laki-laki memiliki tingkat rasa takut yang rendah dibandingkan anak perempuan.
PEMBAHASAN Rasa takut adalah emosi pertama yang diperoleh bayi setelah lahir. Rasa takut merupakan suatu mekanisme protektif untuk melindungi seseorang dari bahaya dan pengrusakan diri. Definisi lain menyebutkan takut (fear) merupakan suatu luapan emosi individu terhadap adanya perasaan bahaya atau ancaman yang merupakan gabungan dari beberapa faktor antara lain, perilaku yang tidak menyenangkan seperti ancaman yang menakutkan yang akan terjadi.12 Rasa takut pada anak yang hendak melakukan perawatan ke dokter gigi merupakan suatu kecemasan yang dapat juga diartikan suatu kekhawatiran atau ketegangan yang berasal dari sumber yang tidak diketahui.6 Rasa takut pada anak seringkali diikuti dengan adanya perubahan fisiologis, kognitif, dan tingkah laku. Bentuk ekspresi ketakutan itu sendiri bisa bermacammacam, biasanya lewat tangisan, jeritan, bersembunyi atau tidak mau berpisah dari orang tuanya.13 Rasa takut dalam bidang perawatan gigi anak merupakan salah satu sikap emosional yang paling sering ditemukan dan merupakan salah satu
37 komponen dari tidak kooperatifnya anak terhadap perawatan gigi, sehingga dapat menghalangi keberhasilan perawatan gigi anak. Ketakutan terhadap perawatan gigi dinyatakan dengan adanya penolakan terhadap perawatan gigi. Baik penolakan secara total terhadap dokter gigi yang bersangkutan ataupun menolak beberapa jenis prosedur perawatan gigi yang dilakukan.5,1 Rasa cemas artinya khawatir, gelisah, dan takut. Rasa cemas merupakan salah satu tipe gangguan emosi yang berhubungan dengan situasi tak terduka atau dianggap berbahaya. Kecemasan juga dapat didefinisikan sebagai suatu kekhawatiran atau ketegangan yang berasal dari sumber yang tidak diketahui. Kecemasan pada anak dapat dimaksudkan sebagai rasa takut terhadap perawatan gigi.2,13 Rasa cemas banyak ditemukan pada anak yang baru pertama kali ke dokter gigi, beberapa diantaranya mengatakan cemas terhadap pencabutan dan penambalan walaupun mereka tidak pernah mempunyai riwayat pencabutan dan penambalan sebelumnya.7 Kecemasan merupakan kondisi emosional yang tidak menyenangkan, ditandai oleh perasaan-perasaan subjektif seperti ketakutan, ketegangan serta kekhawatiran terhadap situasi yang dianggap berbahaya. Karena kecemasan sering memicu anak menjadi tidak kooperatif terhadap perawatan gigi sehingga waktu perawatannya lebih lama dan tidak memberikan hasil yang memuaskan.14 Rasa takut dan cemas menghadapi perawatan gigi merupakan reaksi yang pada umumnya dirasakan pasien baik anak maupun dewasa. Rasa takut pada pasien anak muncul akibat adanya perasaan cemas dan khawatir melihat peralatan dan obat-obatan yang digunakan dalam perawatan gigi, seperti takut dan cemas melihat bor, jarum suntik dan tang gigi.3,16 Kecemasan dan rasa takut terhadap perawatan gigi menyebabkan penderita merasa enggan untuk berobat ke unit pelayanan kesehatan gigi.15 Rasa takut dan cemas sering berhubungan erat, saat orang merasa takut akan sesuatu, orang tersebut akan merasa cemas. Walaupun perasaan cemas dan takut keduanya berhubungan erat, tetapi keduanya berbeda. Rasa cemas merupakan suatu perasaan gelisah terhadap suatu yang diharapkan. Perasaan cemas berhubungan dengan harapan seseorang dalam menghadapi sesuatu yang mengerikan atau menakutkan. Rasa cemas sering
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 34 - 38 berhubungan erat dengan masa depan dan sering dapat diantisipasi. Sebaliknya rasa takut merupakan respon terhadap sesuatu bahaya yang timbul pada saat ini atau masa kini.4 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa anak yang diberikan penyuluhan demonstrasi memiliki tingkat rasa takut dan cemas yang lebih rendah dibandingkan anak yang tidak diberikan penyuluhan demonstrasi. Anak usia 6-7 tahun memiliki tingkat rasa takut dan cemas yang tinggi, karena masih memerlukan orang tua dan pada usia tersebut merupakan periode tidak kooperatifnya anak serta emosi yang belum terkontrol dengan baik, sedangkan anak usia 8-9 tahun memiliki tigkat rasa takut dan cemas rendah, karena sudah bisa menerima berbagai situasi yang tidak menyenangkan dan perkembangan emosinya sudah semakin baik. Umumnya anak usia 8-9 tahun bersifat toleran, bisa diajak kerja sama dan senang memperagakan sesuatu.16 Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Amrullah (2012) yang menyebutkan bahwa anak usia 9 tahun memiliki tingkat rasa takut yang lebih rendah, karena anak usia 9 tahun lebih bertanggung jawab, mandiri, patuh, dan mudah bergaul dengan orang lain.7 DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depertemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007. Jakarta: Depkes RI. 2009. Hal: 119-120. Soeparmin S, Suarjaya, dan Melati PT. Peranan Musik dalam Mengurangi Kecemasan Anak Selama Perawatan Gigi. Interdental Jurnal Kedokteran Gigi 2008; 1: 1-5. Mappijah N. Rasa Takut dan Cemas Anak Terhadap Perawatan Gigi di SDN 20 Panyula Kab. Bone tahun 2010. Media Kesehatan Gigi 2010; 2: 28-36. Pasetyo EP. Peran Musik Sebagai Fasilitas dalam Praktek Dokter Gigi untuk Mengurangi Kecemasan Pasien. Surabaya: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. 2005. Hal: 41-42. Soeparmin S. Distraksi Sebagai Salah Satu Pendekatan yang Dilakukan dalam Mencapai Keberhasilan Perawatan Gigi Anak. Journal Dentika Dental 2010; 15(1): 91-95. Hariyani N, Setyo L, dan Soedjoko. Mengatasi Kegagalan Penyuluhan Kesehatan Gigi pada Anak dengan Pendekatan Psikologi. Journal Dentika Dental 2008; 1(3):80-84 Amrullah AA. Tingkat Kecemasan Anak Sekolah Dasar Usia 6, 9, dan 12 Tahun Terhadap Perawatan Gigi. Fakultas
38
Hamidah : Peranan Penyuluhan Demonstrasi Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin 2012. Hal: 1-10. 8. Maulana dan Heri. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC. 2009. Hal: 12-13. 9. Hastuti S dan Annisa A. Perbedaan Pengaruh Pendidikan Kesehatan Gigi dalam Meningkatkan Pengetahuan Tentang Kesehatan Gigi pada Anak di SD Negeri 2 Sambi Kesamba Kabupaten Boyolali. Gaster, Agustus 2010; 7(2): 624-632. 10. Kumboyono. Perbedaan Efek Penyuluhan Kesehatan Menggunakan Media Cetak dengan Media Audio Visual Terhadap Peningkatan Pengetahuan Pasien Tuberculosis. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan 2011; 7(1): 10. 11. Wibawa C. Perbedaan Efektifitas Metode Demonstrasi dengan Pemutaran Video Tentang Pemberantasan DBD Terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Anak SD di Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia 2007; 2(2): 117. 12. Nugraha PY, I ketut S, dan Aya SA. Aplikasi Komunikasi Terapeutik dalam Mengatasi Rasa
13.
14.
15.
16.
Takut Anak Terhadap Perawatan Gigi. Interdental Jurnal Kedokteran Gigi 2009; 6(1): 1-7. Soeparmin S, Suarjaya K, dan Antara W. Rasa Takut Anak dalam Perawatan Gigi. Jurnal Kedokteran Gigi Mahasaraswati 2004; 2(1): 30-34. Belladonna NM, Supartinah A, dan Emut L. Pengelolaan Rasa Cemas dengan Metode Modeling pada Pencabutan Gigi Anak Perempuan Menggunakan Anatesi topical. Jurnal Kedokteran Gigi 2009; 1: Hal: 80-88. Soeparmin S, I Ketut S, Putri MS. Midazolam Sebagai Sedasi Secara Oral dalam Mengurangi Kecemasan pada Perawatan Gigi Anak. Denpasar: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati 2011. Hal: 4-5 Swastini IGAAP, Regina T, dan Maria MN. Gambaran Rasa Takut Terhadap Perawatan Gigi Pada Anak Usia Sekolah yang Berobat ke Puskesmas IV Denpasar Barat. Interdental Jurnal Kedokteran Gigi 2007; 5(1): 54-57.
39
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian PERBEDAAN pH SALIVA MENGGOSOK GIGI SEBELUM DAN SESUDAH MENGKONSUMSI MAKANAN MANIS DAN LENGKET Pengukuran Menggunakan pH Meter pada Anak Usia 10-12 Tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin
Rosihan Adhani, Shandy Hidayat,, I Wayan Arya Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACT Background: Brushing teeth was the cheapest and the easiest preventive action to do. However, the maximal result was difficult to obtain. The sweet and sticky food was cariogenic and the characteristic of South Borneo’s food. Purpose: This research aims to determine the difference of salivary pH from brushing teeth before and after eating the sweet and sticky food measured by pH meter at 10-12 years old children in SDN Melayu 2 Banjarmasin. Methods: This study used a quasi experimental with pretest-posttest two group design. The test of hypothesis was done by using a wilcoxon test. The sample was 60 children with purposive sampling technique. Results: This study showed that the salivary pH average of group who brushed teeth before eating the sweet and sticky food at 5th, 15th and 30th minute was 7,3. And the salivary pH average of group who brushed teeth after eating the sweet and sticky food was 7,1. Conclusion: There was a significant difference of salivary pH from brushing teeth before and after eating the sweet and sticky food measured by pH meter at 10-12 years old children in SDN Melayu 2 Banjarmasin at 5th minute with p= 0,007, at 15th minute with p= 0,008 and at 30th minute with p= 0,002 that used wilcoxon test. Keywords: salivary pH, brushing teeth, sweet and sticky food, caries, cariogenic. ABSTRAK Latar belakang: Menggosok gigi adalah tindakan preventif yang paling mudah dan murah dilakukan. Namun selama ini hasil yang maksimal sukar didapat. Makanan manis dan lengket merupakan makanan kariogenik dan ciri khas makanan di Kalimantan Selatan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pH saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah mengonsumsi makanan manis dan lengket yang diukur menggunakan pH meter pada anak usia 10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin. Metode: Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimental semu (quasi experimental) dengan pretest-posttest two group design. Uji hipotesa menggunakan wilcoxon test. Sampel berjumlah 60 anak diambil dengan tekhnik purposive sampling. Hasil: Hasil penelitian ini adalah rata-rata pH saliva pada kelompok menggosok gigi sebelum mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-5, 15 dan 30 adalah 7,3. Dan Rata-rata pH saliva pada kelompok menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-5, 15 dan 30 adalah 7,1. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan pH saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah mengonsumsi makanan manis dan lengket yang diukur menggunakan pH meter pada anak usia 10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin pada menit ke5 dengan nilai p= 0,007, pada menit ke-15 dengan nilai p=0,008, dan pada menit ke-30 dengan nilai p= 0,002 menggunakan wilcoxon test. Kata-kata kunci: pH saliva, menggosok gigi, makanan manis dan lengket, karies, kariogenik. Korespondensi: Shandy Hidayat, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
[email protected].
Hidayat : Perbedaan Ph Saliva Menggosok Gigi Sebelum Dan Sesudah PENDAHULUAN Kesehatan gigi dan mulut masih merupakan hal yang perlu diperhatikan, hal ini terlihat bahwa 90% penduduk Indonesia menderita penyakit gigi dan mulut, adapun karies gigi merupakan masalah utamanya. Menurut hasil pemeriksaan RIKESDAS tahun 2007, prevalensi DMF-T berdasarkan provinsi, yang memiliki nilai tertinggi adalah provinsi Kalimantan Selatan sebesar 96,1%, dengan indeks DMF-T di provinsi Kalimantan Selatan sebesar 6,83 meliputi komponen D-T 1,31, komponen M-T 5,52 dan komponen F-T 0,12. Hal ini berarti rerata jumlah kerusakan gigi per orang (tingkat keparahan gigi per orang) adalah 6,83 gigi, meliputi 1,31 gigi yang berlubang, 5,52 gigi yang dicabut dan 0,12 gigi yang ditumpat. Hal tersebut masih sangat tinggi menurut WHO1,2,3. Makanan khas di Kalimantan Selatan khususnya kue dominan dengan rasa manis dan mengandung santan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian RISKESDAS tahun 2007, prevalensi penduduk dengan umur 10 tahun ke atas di Provinsi Kalimantan Selatan dengan konsumsi makanan beresiko, tertinggi dalam mengkonsumsi makanan yang manis 83,5% (rentang: 70,8-95,9%) dan penyedap (84,7%). Selain itu dilaporkan bahwa prevalensi penduduk yang berperilaku benar menggosok gigi di Provinsi Kalimantan Selatan 10,3% (3,7-18,9%)1,2,3. Menyikat gigi adalah tindakan preventif yang paling mudah dan murah dilakukan. Walaupun kegiatan pembersihan gigi secara mekanik ini dipandang mudah tetapi selama ini hasil yang maksimal sukar didapat, baik dari aspek kebersihan gigi dan faktor kerusakan lainnya. Berdasarkan penelitian Riyanti (2005), kemampuan menyikat gigi secara baik dan benar merupakan faktor yang cukup penting untuk pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Keberhasilan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut juga dipengaruhi oleh faktor penggunaan alat, metode penyikatan gigi, serta frekuensi dan waktu penyikatan yang tepat4,5,6. Waktu kegiatan menyikat gigi yang selama ini sering dilakukan adalah setelah makan dan sebelum tidur. Setelah dilakukan penelitian, terdapat kerugian dari waktu tersebut karena ditemukan banyak keluhan nyeri secara primer diawali dengan adanya nyeri karena abrasi atau erosi gigi. Hal ini tidak dapat diabaikan karena banyak pasien yang mengeluhkan keluhan tersebut sampai pada tahap perawatan jaringan pulpa5. Berdasarkan hasil penelitian Thomas Attin, menyikat gigi setelah mengkonsumsi minuman bersoda (minuman ringan) tidak boleh, karena dapat mengerosi gigi. Menyikat gigi sebaiknya menunggu 30 menit setelah mengkonsumsi
40
minuman bersoda ataupun sebelum mengkonsumsi. Hal ini dikarenakan, minuman bersoda mengandung zat asam dan memiliki pH 3,0 atau lebih rendah sehingga dapat menyebabkan demineralisasi pada jaringan keras gigi7,8. Setelah makan khususnya makanan karbohidrat, akan terjadi fermentasi terhadap glukosa makanan. Hasilnya berupa senyawa bersifat asam dan membuat lingkungan sekitar gigi bersuasana asam. Dalam beberapa menit derajat keasaman tadi akan meningkat atau pH-nya turun. Bila berlanjut, penurunan nilai pH akan sampai ke nilai pH kritis, yaitu nilai pH yang dapat memicu dekalsifikasi (hilangnya garam kalsium) pada email gigi. Keberadaan perubahan suasana pH setelah makan ini akan kembali normal setelah 20-30 menit kemudian. Selama 5-10 menit pertama setelah makan adalah saat-saat kritis pH (sekitar 5,2-5,5)5. Sayuti (2010) menyatakan bahwa adanya pengaruh makanan manis dan lengket terhadap terjadinya karies pada gigi anak-anak. Makanan manis dan lengket yang digunakan pada penelitian ini adalah coklat, karena termasuk jenis makanan manis dan lengket serta lebih lunak dibandingkan dengan permen, biskuit, roti, dan wafer. Menurut penelitian Diana (2004), semakin besar kekuatan mastikasi maka semakin besar saliva yang dihasilkan. Salah satu faktor yang mempengaruhi gerakan mastikasi yaitu konsistensi makanan. Saat mengkonsumsi makanan dengan konsistensi cair (lunak) organ mastikasi kurang menjalankan fungsi pengunyahan. Namun sebaliknya, saat mengkonsumsi makanan dengan konsistensi padat (keras) organ mastikasi bekerja sangat keras1,9. Penelitian mengenai makanan manis dan lengket sebagai makanan kariogenik telah diketahui. Namun penelitian mengenai pH saliva jika menggosok gigi sebelum atau sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket belum diketahui maka peneliti ingin mengetahui perbedaan pH saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket yang diukur menggunakan pH meter pada anak usia 1012 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan pH saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah mengonsumsi makanan manis dan lengket yang diukur menggunakan pH meter pada anak usia 1012 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental semu (quasi experimental). Rancangan penelitian yang dipergunakan adalah
41 pretest-posttest two group design. Populasi penelitian ini adalah semua siswa SD yang berusia 10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin. Sampel pada penelitian ini diambil dengan purposive sampling. Sampel adalah semua siswa SD yang berusia 10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi: bersedia menjadi responden, siswa yang berhadir di sekolah pada saat pemeriksaan, siswa SD berusia 10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin yang memiliki pH saliva asam (pH 5-6 dengan skala pH indikator), dan responden belum mengkonsumsi makanan dan minuman perasa 1 jam sebelum pemeriksaan. Kriteria eksklusi: responden tidak bersedia (sakit), responden alergi coklat, siswa mempunyai penyakit sistemik seperti diabetes, responden tidak sedang berpuasa. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pH indikator, pH meter, dan alat tulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah coklat, sikat gigi, pasta gigi, dan air mineral. Variable bebas dalam penelitian ini adalah makanan manis dan lengket, dan menggosok gigi. Variabel terikatnya adalah pH saliva. Dan variable penganggunya adalah perilaku dan usia. Penelitian ini dilakukan di kelas IV-VI. SDN Melayu 2 Banjarmasin. Setelah itu dicatat nama, umur, jenis kelamin, dan alamat. Subjek diperiksa satu persatu pH salivanya menggunakan kertas lakmus. Kemudian subjek yang diperiksa harus memenuhi syarat yaitu satu jam sebelum pemeriksaan tidak boleh mengkonsumsi makanan dan minuman perasa. Subjek yang pH salivanya asam dikumpulkan kemudian diambil menjadi 60 orang menjadi sampel penelitian. Sampel penelitian harus memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. pH saliva subjek diukur sebelum diberikan perlakuan menggunakan pH meter. Kemudian subjek dipisah menjadi 2 kelompok yang terdiri dari 30 orang perkelompok. Kelompok pertama diberikan perlakuan menggosok gigi sebelum mengkonsumsi coklat kemudian diukur pH salivanya menggunakan pH meter pada menit ke 5, 15 dan 30. Kelompok kedua diberikan perlakuan menggosok gigi setelah mengkonsumsi coklat kemudian diukur pH salivanya menggunakan pH meter pada menit ke 5, 15 dan 30.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 39 - 45 Tabel 1 Rata-Rata pH Saliva Berdasarkan Umur pada Anak Usia 10-12 Tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin Jumlah No. Umur pH Rata-rata Individu 1
10 Tahun
17
6.9
2
11 tahun
23
6.9
3
12 Tahun
20
6.8
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa pH saliva rata-rata pada umur 10 tahun adalah 6.9 dari 17 orang anak. pH saliva rata-rata pada umur 11 tahun adalah 6.9 dari 23 orang anak. pH saliva ratarata pada umur 12 tahun adalah 6.8 dari 20 orang anak. Grafik
1
Rata-rata pH Saliva pada Kelompok Menggosok Gigi Sebelum Mengkonsumsi Makanan Manis dan Lengket.
29 27 25 23
pH Sesudah Perlakuan 30 menit
21 19
S i 17 s 15 w 13 a
pH Sesudah Perlakuan 15 menit
pH Sesudah Perlakuan 5 menit
11
9
pH Sebelum Perlakuan
7 5 3 1 0
2
4
6
8 10
pH Saliva
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian perbedaan pH saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket yang diukur menggunakan pH meter pada anak usia 1012 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3.
Berdasarkan data pada Grafik 1 diketahui bahwa rata-rata pH saliva pada kelompok menggosok gigi sebelum mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-5, 15, dan 30 adalah 7,3. pH saliva tertinggi pada menit ke-5 adalah 8,2 sedangkan pH saliva terendah pada menit ke-5 adalah 6,5. pH saliva tertinggi pada
42
Hidayat : Perbedaan Ph Saliva Menggosok Gigi Sebelum Dan Sesudah menit ke-15 adalah 8,2 sedangkan pH saliva terendah pada menit ke-15 adalah 6,8. pH saliva tertinggi pada menit ke-30 adalah 7,9 sedangkan pH saliva terendah pada menit ke-30 adalah 6,5. Berdasarkan data Grafik 2 diketahui bahwa rata-rata pH saliva pada kelompok menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-5, 15, dan 30 adalah 7,1. pH saliva tertingi pada menit ke-5 adalah 7,8 sedangkan pH saliva terendah pada menit ke-5 adalah 6,2. pH saliva tertinggi pada menit ke-15 adalah 7,6 sedangkan pH saliva terendah pada menit ke-15 adalah 6,5. pH saliva tertinggi pada menit ke-30 adalah 7,7 sedangkan pH saliva terendah pada menit ke-30 adalah 6,5. Grafik
2
Rata-rata pH Saliva pada Kelompok Menggosok Gigi Setelah Mengkonsumsi Makanan Manis dan Lengket
sampel kecil (n < 50). Hasil uji normalitas didapatkan sebaran data yang tidak normal pada data perlakuan menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-5, 15 dan 30, karena nilai signifikansi (p) pada data tersebut adalah 0,005, 0,005 dan 0,038. Nilai p pada perlakuan menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan manis pada menit ke-5, 15 dan 30 kurang dari 0,05 yang artinya data tidak terdistribusi normal. Kemudian dilakukan transformasi data dengan Log dan Sqrt, tetapi hasilnya tetap menunjukkan data yang tidak terdistribusi normal. Karena data berasal dari kelompok yang berpasangan, maka tidak dilakukan uji homogenitas data. Syarat digunakannya uji T berpasangan adalah data yang digunakan harus terdistribusi normal dan homogen. Sedangkan dari hasil perhitungan, didapatkan data tidak normal sehingga uji T berpasangan tidak dapat digunakan sehingga dilakukan uji alternatif yaitu uji nonparametrik Wilcoxon dengan kepercayaan 95%. Tabel 2 Hasil Uji Perbedaan dengan Uji Wilcoxon pada Perbedaan pH Saliva antara Menggosok Gigi Sebelum dan Sesudah Mengkonsumsi Makanan Manis dan Lengket pada Menit ke-5, 15 dan 30.
29 27 25 23
pH Sesudah Perlakuan 30 menit
21 19
S i 17 s 15 w 13 a
pH Sesudah Perlakuan 15 menit
No.
1
pH Sesudah Perlakuan 5 menit
11 9
pH Sebelum Perlakuan
7
2
5 3 1 0
2
4
6
8 10
pH saliva 3
Mengetahui ada tidaknya perbedaan pH saliva antara menggosok gigi sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-5, 15 dan 30, maka dilakukan uji statistik dengan SPSS 20 for Windows. Sebelum menganalisis perbedaan statistik dari data yang diperoleh, terlebih dahulu dilakukan pengujian normalitas dan homogenitas. Uji normalitas data dilakukan dengan uji Saphiro-Wilk karena jumlah
Kategori Perbandingan pH saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-5 Perbandingan pH saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-15 Perbandingan pH saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-30
Nilai Signifikansi
0,007
0,008
0,002
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa hasil uji statistic Wilcoxon pada perbandingan pH saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-5 menunjukkan nilai p = 0,007,
43 perbandingan pada menit ke-15 menunjukkan nilai p = 0,008 dan perbandingan pada menit ke-30 menunjukkan nilai p = 0,002, karena nilai p < 0.05 maka H0 ditolak dan Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara pH saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-5, 15 dan 30 yang diukur menggunkan pH meter pada anak usia 10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil uji Wilcoxon dan rata-rata pH saliva setelah perlakuan pada kedua kelompok maka dapat dipahami bahwa hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis peneliti yang menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara kedua kelompok yaitu kelompok menggosok gigi sebelum mengkonsumsi makanan manis dan lengket dan kelompok menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket. Rata-rata pH saliva menggosok gigi sebelum mengkonsumsi makanan manis dan lengket lebih tinggi (basa) daripada ratarata pH saliva menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket. Hal ini sesuai dengan saran dari hasil penelitian Praptiningsih dan Ningtyas yang menganjurkan agar menggosok gigi pada suasana rongga mulut tidak dalam keadaan asam. Berdasarkan hasil penelitian Thomas Attin tentang perbedaan pH saliva menyikat gigi sebelum dan sesudah mengkonsumsi minuman bersoda menyatakan menyikat gigi setelah mengkonsumsi minuman bersoda (minuman ringan) tidak boleh, karena dapat mengerosi gigi. Menyikat gigi sebaiknya menunggu 30 menit setelah mengkonsumsi minuman besoda ataupun sebelum mengkonsumsi. Hal ini dikarenakan, minuman bersoda mengandung zat asam dan memiliki pH 3,0 atau lebih rendah sehingga dapat menyebabkan demineralisasi pada jaringan keras gigi 4,7,8. Derajat keasaman pH dan kapasitas buffer saliva ditentukan oleh susunan kuantitatif dan kualitatif elektrolit di dalam saliva terutama ditentukan oleh susunan bikarbonat, karena susunan bikarbonat sangat konstan dalam saliva dan berasal dari kelenjar saliva. Derajat keasaman saliva dalam keadaan normal antara 5,6–7,0 dengan rata-rata pH 6,7. Derajat keasaman (pH) saliva optimum untuk pertumbuhan bakteri 6,5–7,5 dan apabila rongga mulut pH-nya rendah antara 4,5–5,5 akan memudahkan pertumbuhan kuman asidogenik seperti Streptococcus mutans dan Lactobacillus
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 39 - 45 4,12
.Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pada pH saliva antara lain rata-rata kecepatan aliran saliva, mikroorganisme rongga mulut, dan kapasitas buffer saliva. Selain itu ada faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan asam, antara lain: jenis karbohidrat yang terdapat dalam diet, konsentrasi karbohidrat dalam diet, jenis dan jumlah bakteri di dalam plak, keadaan fisiologis bakteri tersebut dan pH di dalam plak12. Makanan manis dan lengket mengandung karbohidrat yang merupakan sumber energi utama bagi bakteri mulut dan secara langsung terlibat dalam penurunan pH. Jenis karbohidrat yang paling cocok bagi produksi asam oleh bakteri di dalam plak adalah gula-gula sederhana, seperti sukrosa, glukosa, fruktosa, maltosa, dan lain-lain. Gula-gula ini mempunyai molekul yang kecil sehingga mudah berdifusi ke dalam plak dan dengan cepat akan dipecah oleh bakteri menjadi asam. Karbohidrat jenis polisakarida (pati) mempunyai molekul lebih besar akan sulit masuk ke dalam plak sehingga lebih sulit dipecah oleh bakteri (13,14). Makanan manis dan lengket yang digunakan pada penelitian ini adalah coklat karena termasuk jenis makanan manis dan lengket serta lebih lunak dibandingkan dengan permen biskuit, roti, dan wafer. Menurut penelitian Diana (2004), semakin besar kekuatan mastikasi maka semakin besar saliva yang dihasilkan. Salah satu faktor yang mempengaruhi gerakan mastikasi yaitu konsistensi makanan. Saat mengkonsumsi makanan dengan konsistensi cair (lunak) organ mastikasi kurang menjalankan fungsi pengunyahan. Sebaliknya, saat mengkonsumsi makanan dengan konsistensi padat (keras) organ mastikasi bekerja sangat keras1,9. Kegiatan menggosok gigi adalah tindakan preventif yang paling mudah dan murah dilakukan. Menggosok gigi bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit pada jaringan keras maupun jaringan lunak dengan menghilangkan plak dan membersihkan gigi dan mulut dari sisa makanan dan debris. Hal ini dikarenakan dalam pasta gigi terkandung bahan-bahan abrasif, pembersih, bahan penambah rasa dan warna, serta pemanis. Dapat juga ditambahkan bahan pengikat, pelembab, pengawet, fluor, dan air. Bahan abrasif dapat membantu melepaskan plak dan pelikel tanpa menghilangkan lapisan email12. Pada kelompok menggosok gigi sebelum mengkonsumsi makanan manis dan lengket memiliki rata-rata pH saliva lebih tinggi (basa) daripada kelompok menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket. Hal ini dikarenakan, pada kelompok menggosok gigi sebelum mengkonsumsi makanan manis dan
Hidayat : Perbedaan Ph Saliva Menggosok Gigi Sebelum Dan Sesudah lengket lingkungan rongga mulut telah dibasakan dan akumulasi plak dan bakteri juga mengalami penurunan akibat menggosok gigi. Sehingga kemampuan bakteri untuk metabolisme karbohidrat menjadi asam menurun. Di rongga mulut terdapat terdapat bakteri Veillonella yang menggunakan asam laktat sebagai bahan awal metabolisme yang menghasilkan energi untuknya. Asam laktat ini akan diubah oleh bakteri tersebut menjadi CO2 sehingga dalam hal ini Veillonella dapat dianggap sebagai organisme penghalang karies12. Sedangkan pada kelompok menggosok gigi sesudah makan, rata-rata pH saliva lebih asam. Hal ini dikarenakan kondisi mulut saat makan lebih asam dibandingkan dengan kelompok menggosok gigi sebelum makan dan jumlah akumulasi plak dan bakteri di rongga mulut lebih banyak dibandingkan dengan kelompok menggosok gigi sebelum makan. Kemampuan bakteri memetabolisme makanan menjadi asam lebih besar dibanding kelompok yang menggosok gigi sebelum makan karena kondisi lingkungan yang mendukung dan total bakteri di rongga mulut jauh lebih banyak12. Berdasarkan penjelasan di atas dan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa pH saliva kelompok menggosok gigi sebelum mengkonsumsi makanan manis dan lengket dan kelompok menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket menunjukan pH netral atau sama-sama bagus yaitu rata-rata di atas 7. Dianjurkan untuk menggosok gigi sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket. Hal ini dikarenakan menggosok gigi sebelum mengkonsumsi makanan manis dan lengket dapat mempertahankan pH saliva dalam keadaan normal (tidak dalam pH kritis) saat kita makan sampai 30 menit sesudah makan sehingga gigi tidak mengalami demineralisasi. Perlu menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket agar dapat mencegah akumulasi plak sesudah makan, yang merupakan sumber bahan makanan bagi bakteri kariogenik. Berdasarkan data dari Tabel 5.3 tentang ratarata pH saliva berdasarkan umur menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan. Hal ini dikarenakan anak usia 10-12 tahun tidak teralu memiliki perbedaan yang jauh, baik dari fisik maupun tingkah laku. Secara anatomi, muskuluskeletal cranium anak usia 10-12 tahun tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Sistem mastikasi sangat berpengaruh dengan produksi saliva. Menurut
44
penelitian Diana (2004), semakin besar kekuatan mastikasi maka semakin besar saliva yang dihasilkan9. Berdasarkan teknik pengambilan sampel, pada penelitian ini tekhnik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah purposive sampling. Purposive sampling adalah pengambilan sampel secara purposive didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Pada penelitian ini mempunyai kreteria inklusi dan ekslusi yang mempengaruhi besar atau kecilnya pH saliva sampel. Adapun kreteria inklusi yang mengakibatkan tidak ada perbedaan yang bermakna pada rata-rata pH saliva berdasarkan umur adalah siswa SD berusia 10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin yang memiliki pH saliva asam (pH 56 dengan skala pH indikator). Faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pada pH saliva antara lain rata-rata kecepatan aliran saliva, mikroorganisme rongga mulut, dan kapasitas buffer saliva. Selain itu ada faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan asam, antara lain: jenis karbohidrat yang terdapat dalam diet, konsentrasi karbohidrat dalam diet, jenis dan jumlah bakteri di dalam plak, keadaan fisiologis bakteri tersebut dan pH di dalam plak9. Berdasarkan penjelasan di atas dan hasil penelitian yang dilakukan bahwa umur dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap besar atau kecilnya pH saliva. Hal ini sesuai penelitian yang telah dilakukan oleh Motoc dkk(2003) bahwa tidak ada perbedaan rata-rata pH saliva berdasarkan umur dan jenis kelamin. pH saliva dapat dipengaruhi oleh aliran saliva dan diet17. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rata-rata pH saliva pada kelompok menggosok gigi sebelum mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-5, 15 dan 30 adalah 7,3 (netral), sedangkan rata-rata pH saliva pada kelompok menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-5, 15 dan 30 adalah 7,1 (netral). Selain itu tidak terdapat perbedaan rata-rata pH saliva berdasarkan umur 10-12 tahun. Serta terdapat perbedaan pH saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah mengonsumsi makanan manis dan lengket yang diukur menggunakan pH meter pada anak usia 10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin. Melalui Dinas Kesehatan dan lembaga pendidikan khususnya Fakultas Kedokteran
45
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 39 - 45
Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat disarankan untuk merubaha pola waktu menggosok gigi, yaitu menggosok gigi sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan khususnya makanan manis dan lengket melalui pelaksanaan UKGS dan pelaksanaan bakti sosial. Selain itu disarankan juga untuk menambahan label menjaga kesehatan gigi dan mulut pada produk makanan khususnya yang mengandung gula yang tinggi, melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), agar meminta produsen makan dan minuman khususnya makanan yang berkadar gula tinggi (manis) dan lengket seperti coklat mencantumkan peringatan untuk “menggosok gigi sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket” karena dapat menyebabkan karies serta pemerintah untuk menganjurkan juga agar semua restoran dan rumah makan agar menyediakan tempat dan poster untuk menggosok gigi sebelum dan sesudah makan.
7.
DAFTAR PUSTAKA
12.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Suyuti M. Pengaruh makanan serba manis dan lengket terhadap terjadinya karies gigi pada anak usia 9-10 tahun di SD Negeri Monginsidi II Makassar. Media Kesehatan Gigi. 2010;2:14. Jovina TA. Pengaruh kebiasaan menyikat gigi terhadap status pengalaman karies Riskesdas 2007. Jakarta: Universitas Indonesia; 2010. p1-2. Anonimous. Laporan hasil riset kesehatan dasar RIKESDAS provinsi Kalimantan Selatan tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2009. p116-(7). Praptiningsih RS, Ningtyas EAE. Pengaruh metode menggosok gigi sebelum makan terhadap kuantitas bakteri dan pH saliva. Jurnal Ilmiah Sultan Agung. 2010;48:123:5562. Oktarianda B. Hubungan waktu, tekhnik menggosok gigi dan jenis makanan yang dikonsumsi dengan kejadian karies gigi pada murid SDN 66 Payakumbuh di wilayah kerja PUSKESMAS Lampasi Payakumbuh tahun 2011. Padang: FK Universitas Andalas; 2011. p4. Lund AE. Wait to brush your teeth after drinking soda. JADA. 2003;134:1176-8.
8.
9.
10.
11.
13.
14.
15.
16.
17.
Alamsyah RM. Efek perbedaan cara meminum softdrink (minuman ringan) terhadap penurunan pH saliva pada siswa SMP Raksana Medan. Medan: FKG Universitas Sumatera Utara; 2010. p1-2;9. Ningsih DS. Pengaruh mastikasi terhadap kecepatan aliran saliva. Medan: FKG Universitas Sumatera Utara; 2004. p12;29. Rahmawati I. Perilaku kesehatan gigi dan mulut pada anak sekolah dasar di kabupaten Banjar. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada; 2012. p1. Riyanti E, Chemiawan E, Rizalda RA. Hubungan pendidikan penyikatan gigi dengan tingkat kebersihan gigi dan mulut siswa dan siswi Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Imam Bukhari Desa Sayang Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang. Bandung: FKG Universitas Padjadjaran; 2005. p4. Soesilo D, Santoso RE, Diyatri I. Peranan sorbitol dalam mempertahankan kestabilan pH saliva pada proses pencegahan karies. Majalah Kedokteran Gigi. Dent. J. 2005;38:1:25–8. Putri MH, Herijulianti E, Nurjannah N. Ilmu pencegahan penyakit jaringan keras dan jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC; 2010. p64;168. Warni L. Hubungan perilaku murid SD kelas V dan VI pada kesehatan gigi dan mulut terhadap status karies gigi di wilayah Kecamatan Delitua Kabupaten Deli Serdang tahun 2009. Medan: FKM Universitas Sumatera Utara; 2009. p29. Bajeng NRKR. Studi pengaruh penambahan semi refined carageenan (Eucheuma cottonii) dan bubuk bungkil kacang tanah terhadap mutu permen cokelat (chocolate). Makassar: Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin; 2012. p9. Putri IN. Efek penyuluhan kesehatan gigi dan mulut dengan demonstrasi cara menyikat gigi terhadap penurunan indeks plak pada murid kelas VI Sekolah Dasar (penelitian dilakukan di Desa Padang Loang Kecamatan Patampanua Kabupaten Pinrang). Makassar: FKG Universitas Hasanuddin; 2012. p33-44. Kasjono HS, Yasril. Teknik sampling untuk penelitian kesehatan. Ed 1. Yogyakarta; 2009. p129-130. Motoc M, Samoila C, Sfrijan F, Ardelean L, Verdes D, Andrei M, Anghel M, Popescu A. The variation of some salivary components in corelation wth sex and age at puberty. TMJ. 2003;53:3(4):255.
46
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian LEBAR BENIH GIGI ANAK TIKUS YANG DILAHIRKAN OLEH INDUK TIKUS PENGIDAP DIABETES MELLITUS GESTASIONAL
Nurdiana Dewi Bagian Biologi Oral, Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin-Indonesia ABSTRACT Background : Gestational Diabetes mellitus ( DM ) is glucose intolerance that begins or first detected during pregnancy. Gestational diabetes mellitus can cause complications to mother and offspring . The janin are at risk for nutritional deficiency. Nutritional deficiencies can cause decrease in the size of the tooth tissue. Purpose : This study aimed to determine the width of the first molar tooth germ in rat pups born to female rat with DM. Methods : This study used a true experimental method with post -test only design and completely randomized design. Sixteen female rats aged 2.5-3 months, body weight 150-200 g were mated and treated on day 0 of pregnancy. Group A was the control group, injected intraperitoneally with citrate buffer. Group B was DM group, injected intraperitoneally with streptozotocin (STZ) 40 mg / kg BW. Two rat pups born from each female rat were decapitated on day 5 after birth and taken first mandibular molar tooth germ. Histopathology procedure were performed with HE staining and tooth germ width were measured. Results: The average and standard deviation of of width tooth germ in the control group was ( 921.97 ± 85.16 ) µm , while the average and standard deviation of width of tooth germ in the DM group was ( 886.54 ± 92.76 ) µm. Student T - test results showed p = 0.41 ( p < 0.05 ), which means there was no significant difference in the size of the mandibular molar tooth germ offspring. Conclusion : There was no difference in the width of rat pups tooth germ which born to diabetic and control female rat. Keywords : Gestational diabetes mellitus , width of tooth germ , rat ABSTRAK Latar belakang: Diabetes mellitus (DM) gestasional merupakan intoleransi glukosa yang terjadi atau baru terdeteksi selama kehamilan. Diabetes mellitus gestasional dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada ibu maupun janin. Janin yang dikandung oleh ibu pengidap diabetes mellitus beresiko mengalami kekurangan nutrisi. Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan penurunan ketebalan jaringan gigi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebar gigi pada anak tikus yang dilahirkan oleh induk tikus pengidap diabetes DM. Metode : Penelitian ini menggunakan metode true experimental dengan post test only design dan rancangan acak lengkap. Enam belas ekor tikus betina usia 2,5-3 bulan, berat badan 150-200 g dikawinkan dan diberi perlakuan pada hari ke-0 kehamilan. Kelompok A merupakan kelompok kontrol, diinjeksi buffer sitrat intraperitoneal . Kelompok B merupakan kelompok DM diinjeksi streptozotocin 40 mg/kg BB intraperitoneal. Tikus yang lahir diambil secara acak 2 ekor dari masing-masing induk tikus dan didekapitasi pada hari ke-5 setelah dilahirkan kemudian diambil benih gigi molar 1 rahang bawah. Dilakukan pembuatan sediaan histopatologi, pewarnaan HE dan pengukuran lebar benih gigi. Hasil: Nilai rata-rata dan standar deviasi lebar benih gigi pada kelompok kontrol adalah (921,97 ± 85,16) µm, sedangkan rata-rata dan standar deviasi lebar gigi pada kelompok DM adalah (886,54 ± 92,76) µm. Hasil Student T-test menunjukkan p=0,41 (p <0,05), yang berarti tidak terdapat perbedaan bermakna pada ukuran benih gigi molar rahang bawah anak tikus. Kesimpulan :Tidak terdapat perbedaan pada lebar benih gigi anak tikus yang dilahirkan oleh induk tikus DM dan kontrol. Keyword: Diabetes mellitus gestasional, lebar benih gigi, tikus
47
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 46 - 50
Korespondensi: Nurdiana Dewi, Bagian Biologi Oral, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran No. 128 B, Banjarmasin, KalSel, email:
[email protected]
PENDAHULUAN Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang disebabkan gangguan sekresi insulin, kerja insulin, maupun keduanya. Peningkatan kadar glukosa darah kronis dapat menyebabkan berbagai kerusakan maupun disfungsi organ. Diabetes mellitus gestasional merupakan intoleransi glukosa yang terjadi atau baru terdeteksi selama kehamilan.1 Diabetes mellitus gestasional dapat menyebabkan berbagi komplikasi pada ibu maupun janin yang dikandungnya.2 Janin yang dikandung oleh ibu pengidap diabetes mellitus beresiko untuk kekurangan nutrisi. Janin akan beradaptasi terhadap kekurangan nutrisi dengan cara merubah metabolisme tubuh, sehingga mempengaruhi produksi hormon dan sesitivitas jaringan, meredistribusi aliran darah, serta memperlambat pertumbuhannya. Adaptasi terhadap kekurangan nutrisi yang terjadi pada saat perkembangan akan mempengaruhi struktur dan fungsi tubuh secara permanen.3 Perkembangan gigi merupakan proses kompleks yang melibatkan berbagai mekanisme antara lain induksi, morfodiferensiasi dan histodiferensiasi. Proliferasi, diferensiasi, apoptosis, dan interaksi sel berhubungan dengan mekanisme-mekanisme tersebut.4 Pembentukan dan mineralisasi gigi dimulai pada saat perkembangan janin. Kondisi intrauterin termasuk status nutrisi berperan penting dalam pembentukan, perkembangan gigi, dan mineralisasi. Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara malnutrisi dengan perkembangan dan erupsi gigi serta perkembangan karies selanjutnya.5,6 Kekurangan nutrisi juga dapat menyebabkan penurunan ketebalan jaringan gigi. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya perubahan komposisi email dan dentin.7 Diabetes gestasional dapat menyebabkan terjadinya hipoplasia email, keterlambatan erupsi gigi serta penurunan panjang tulang alveolar.8,9 Jumlah pengidap diabetes mellitus di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan RISKESDAS 2013, jumlah penduduk Indonesia umur ≥ 15 tahun yang mengidap diabetes mellitus adalah sebesar 6,9%. Berdasarkan RISKESDAS 2007, penduduk Kalimantan Selatan yang memiliki kadar glukosa 140-200 mg/dL adalah sebesar 14,7% dan memiliki kadar glukosa >200 mg/dL adalah sebesar 5%.10,11 Belum terdapat penelitian terhadap jumlah pengidap diabetes mellitus gestasional di Indonesia dan Kalimantan Selatan. Penelitian yang dilakukan di Kalifornia Selatan pada tahun 1995-2005
menunjukkan bahwa 1,3% wanita hamil mengidap diabetes mellitus sejak sebelum hamil, dan 7,6% wanita hamil mengidap diabetes mellitus gestasional.12 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebar gigi pada anak tikus yang dilahirkan oleh induk tikus pengidap diabetes mellitus. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan post test only design dan rancangan acak lengkap. Perlakuan terhadap hewan dilakukan di Lembaga Penelitian dan Pegujian Terpadu Unit IV Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dilanjutkan dengan pemeriksaan histologis di Laboratorium Histologi dan Biologi Sel Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, serta dinyatakan laik etik oleh Unit Etika dan Advokasi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada melalui surat keterangan No. 415/KKEP/ FKG-UGM/EC/2013. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain benih gigi molar satu rahang bawah anak tikus, streptozotocin (Sigma, USA), buffer sitrat (0,05 M, pH 4,5), eter, ketamin (Ketamil Injection, Australia), Povidone iodine (One Med, Indonesia), NaCl 0,09%, Phosphat Buffer Saline (PBS), Paraformaldehid 4%, EDTA 10%, Harrys haematoxylin, eosin dan pakan tikus standar. Alat yang digunakan adalah kandang tikus, spuit injeksi, gunting bedah, alat monitor gula darah (ACCU-CHECK, Germany), strip tes gula darah (ACCU-CHECK, Germany), pinset anatomis, pinset chirurgis, nierbekken, microwave (Sharp, UK), micropippete (Eppendorf, UK), tip micropippete (Eppendorf, UK), mikrotom, mukroskop cahaya (Olympus, America), dan kamera yang dihubungkan dengan komputer (Optilab, Indonesia). Enam belas Tikus Wistar betina berumur 2,53 bulan dengan berat badan 150-200 g dipelihara dalam kandang besi selama 1 minggu, dan mendapat makanan serta minuman standar ad libitum. Cahaya diatur supaya tikus berada dalam kondisi 12 jam terang dan 12 jam gelap, dengan suhu 22-24°C. Tikus kemudian dikandangkan dengan tikus betina dengan perbandingan tikus jantan : tikus betina yaitu 1:4. Pada hari saat ditemukan sperma pada vaginal smear (kehamilan hari 0), 8 tikus diinjeksi secara intraperitoneal 40 mg streptozotocin (Sigma, USA) / kg BB yang dilarutkan dalam 50 mM buffer sitrat pH 4,5. Delapan ekor tikus kontrol diberi perlakuan yang sama dengan injeksi medium (buffer sitrat). Tikus ditimbang dan diukur kadar gukosa darahnya pada kehamilan hari ke 0, 7, 14, dan 19 serta dipuasakan minimal selama 8 jam sebelum diukur kadar
48
Dewi : Lebar Benih Gigi Anak Tikus Yang Dilahirkan
HASIL PENELITIAN
Kadar Glukosa Darah (mg/dL)
Rata-rata kadar glukosa darah puasa induk tikus dapat dilihat pada Gambar 1. Kadar glukosa darah puasa pada kelompok diabetes meningkat di atas 120 mg/kg BB setelah injeksi streptozotocin (STZ). Terjadi penurunan rata-rata kadar glukosa darah pada hari ke 19, namun masih tetap di atas 120 mg/kg BB. Tidak terdapat peningkatan kadar glukosa darah pada kelompok kontrol. 500,000 400,000 300,000 Kontrol
200,000
DM
100,000
Berat badan induk tikus (g)
Rata-rata berat badan induk tikus dapat dilihat pada Gambar 2. Berat badan badan induk tikus meningkat baik pada kelompok kontrol maupun pada kelompok diabetes. Peningkatan berat badan pada kelompok kontrol lebih besar dibandingkan kelompok diabetes. 300 200 Kontrol
100
DM
0 0
7
14
19
Hari
Gambar 2. Rata-rata berat badan induk tikus (g) Hasil palpasi positif pada perut induk tikus pada hari ke-13 kehamilan menunjukkan adanya pembesaran pada daerah rahim yang menandakan tikus telah hamil. Induk tikus juga menunjukkan tanda klinis DM. Induk tikus mengalami polifagia, polidipsia, poliuria, dan astenia. Gambar 3 menunjukkan rata-rata lebar benih gigi anak tikus. Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan rata-rata dan standar deviasi lebar benih gigi anak tikus kelompok kontrol adalah (921,97 ± 85,16) µm, sedangkan rata-rata lebar benih gigi anat tikus kelompok diabetes adalah (886,54 ± 92,76) µm. Rata-rata lebar benih gigi anak tikus kelompok DM lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa kedua kelompok memiliki distribusi data yang normal (p>0,05). Hasil Student T-test menunjukkan p=0,41 (p>0,05). Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan bermakna antara lebar benih gigi kelompok kontrol dan kelompok DM.
Lebar benih gigi (µm)
glukosanya. Tikus dinyatakan diabetes bila kadar glukosa darah lebih dari 120 mg/dL dan menunjukkan tanda-tanda polidipsi, poliuri, polifagi, serta astenia. Dua ekor anak tikus diambil dari masing-masing induk tikus secara acak dan didekapitasi pada hari ke-5 setelah dilahirkan. Benih gigi molar diambil dan difiksasi dengan PBS formalin 4 % (4% paraformaldehid yang dilarutkan dalam phosphate-buffer saline) selama 24 jam, didekalsifikasi dengan EDTA 10% pada suhu 4°C selama 14 hari dan ditanam dalam parafin. Blok parafin kemudian dipotong melintang dengan ketebalan 6µm dan diletakkan dalam gelas obyek. Potongan jaringan dalam gelas obyek dideparafinisasi dengan xylol dan didehidrasi dengan serial alkohol, dilanjutkan dengan pewarnaan menggunakan hematoksilin eosin (HE). Gelas obyek yang berisi potongan jaringan dimasukkan dalam larutan hematoksilin, dicuci dengan akuades, diberi acid alcohol, dicuci dengan air mengalir dan akuades, diwarnai dengan eosin 1%, dan dicuci kembali dengan akuades. Dehidrasi dilakukan sampai jaringan terlihat jelas di bawah mikroskop, kemudian gelas obyek ditutup. Jaringan dilihat dengan mikroskop perbesaran 40x, kemudian benih gigi difoto menggunakan kamera yang dihubungkan dengan mikroskop (Optilab, Indonesia). Pengukuran lebar benih gigi dilakukan dari batas benih gigi sebelah bukal sampai mesial menggunakan ImageJ software. Data yang didapat diuji normalitasnya menggunakan Shapiro Wilk dan dianalisa dengan Student T-test.
1200 1000 800 600 400 200 0 Kontrol
DM Perlakuan
,000 0
7
14 19
Hari
Gambar 1. Rata-rata kadar glukosa darah puasa induk tikus (mg/dL)
Gambar 3. Rata-rata lebar benih gigi tikus (µm)
49 PEMBAHASAN Terdapat peningkatan kadar glukosa darah pada kelompok DM menjadi di atas 120 mg/dL pada pengamatan hari ke 7, 14, dan 19. Kadar glukosa darah pada kelompok kontrol tidak mengalami peningkatan. Peningkatan kadar glukosa darah kemungkinan disebabkan kematian sel beta pankreas. Streptozotocin (STZ) menyebabkan kematian sel beta pankreas secara selektif dengan metilasi DNA. Nitrosuria pada STZ menyebabkan toksisitas sel dengan menurunkan jumlah. NAD+ dan produksi radikal bebas. Radikal bebas yang dilepaskan oleh STZ menyebabkan kerusakan DNA. Streptozotocin juga dapat memproduksi Reactive Oxygen Species dan menyumbangkan Nitric Oxide (NO). Kematian sel beta pankreas menyebabkan menurunnya kemampuin pankreas untuk memproduksi insulin, sehingga terjadi penumpukan glukosa dalam darah yang terdeteksi dengan peningkatan kadar glukosa darah.13 Pengamatan visual yang dilakukan pada tikus menunjukkan tikus mengalami tanda-tanda DM seperti penelitian Carvalho et al., yaitu polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak kencing), polifagia (banyak makan) dan astenia (lemas).14 Jumlah makanan dan minuman tidak dikur secara khusus dengan timbangan, namun dapat dilihat dari jumlah dan frekuensi makan pada kelompok DM lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol. Volume urin juga tidak diukur dengan alat ukur, namun dapat dilihat dari tempat kotoran tikus kelompok DM yang lebih banyak dan lebih basah dibandingkan kelompok kontrol. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat peningkatan berat badan induk tikus baik pada kelompok DM maupun pada kelompok kontrol. Peningkatan berat badan tikus pada kelompok kontrol lebih besar dibandingkan kelompok DM. Hal ini kemungkinan disebabkan kondisi DM yang dialami tikus. Frekuensi dan jumlah konsumsi makan tikus DM lebih banyak dibandingkan kelompok kotrol, namun adanya gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein menyebabkan tubuh tikus tidak dapat menggunakan makanan yang dikonsumsi menjadi sumber nutrisi.15,16 Peningkatan berat badan pada DM yang lebih rendah dibandingkan kontrol dapat juga disebabkan karena jumlah janin yang lebih sedikit dibandingkan kontrol.13 Pada penelitian ini jumlah tikus yang dilahirkan oleh induk tikus kelompok DM lebih sedikit dibandingkan yang dilahirkan oleh induk tikus kelompok kontrol. Kehamilan pada induk tikus diketahui dengan adanya peningkatan berat badan pada tiap pengamatan dan palpasi positif pada bagian perut tikus pada kehamilan hari ke-13. Pembesaran pada bagian perut tikus menandakan bahwa terdapat sejumlah janin pada rahim tikus.17
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 49 - 50 Hasil pengukuran lebar benih gigi tikus menunjukkan bahwa lebar benih gigi tikus pada kelompok DM lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol, namun hasil statistik dengan Student T test tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. Hal ini kemungkinan disebabkan karena peningkatan kadar glukosa darah pada kelompok DM tidak terlalu tinggi, sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap proses pembentukan ukuran benih gigi tikus. Malnutrisi yang dialami tikus pada penelitian ini tidak parah sehingga tidak mempengaruhi ukuran benih gigi. Anak tikus yang dilahirkan oleh induk tikus DM pada penelitian ini mengalami malnutrisi terlihat dengan ukuran dan berat badan yang lebih kecil, namun anak tikus yang mengalami malnutrisi parah sebagian besar mati setelah dilahirkan. Anak tikus yang hidup mengalami malnutrisi yang tidak parah. Semakin tinggi kadar glukosa dalam darah akan menyebabkan malnutrisi yang semakin parah, karena peningkatan kadar glukosa darah menandakan kemampuan tubuh dalam memetabolisme karbohidrat, lemak, dan protein sebagai sumber energi semakin rendah. Gangguan metabolisme yang dialami induk tikus dapat menyebabkan malnutrisi energi protein pada anak tikus. Malnutrisi dapat mempengaruhi proses pembentukan gigi. Nutrisi diperlukan pada masa pre erupsi dalam maturasi gigi, penentuan komposisi gigi, serta penentuan bentuk dan ukuran gigi.18 Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Garn et al. yang menunjukkan adanya peningkatan ukuran gigi pada tikus yang dilahirkan oleh induk tikus DM. Pada penelitian Garn et al., anak tikus yang dilahirkan memiliki berat dan ukuran badan yang lebih besar, disebabkan karena banyaknya glukosa yang ditransfer ke janin pada saat hamil.19 Terjadi peningkatan GLUT-1 dalam plasenta pada kasus diabetes mellitus gestasional. GLUT-1 juga berperan dalam pembentukan benih gigi, sehingga peningkatan GLUT-1 dapat meningkatkan ukuran benih gigi.20,21 Tidak adanya perbedaan bermakna pada ukuran benih gigi kemungkinan disebabkan pengukuran dilakukan pada benih gigi pada tahap bell akhir. Pada tahap ini bentuk dan ukuran gigi belum sempurna. Pada tahap bell akhir terjadi pembentukan email dan dentin. Pembentukan benih gigi masih akan berlanjut sampai tahap aposisi selesai dan gigi mulai erupsi.22,23 Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu tidak terdapat perbedaan pada lebar benih gigi anak tikus yang dilahirkan oleh induk tikus DM. Perlu dilakukan penlitian lebih lanjut dengan kadar glukosa induk tikus yang lebih tinggi dan pengukuran langsung pada gigi anak tikus yang telah erupsi.
50
Dewi : Lebar Benih Gigi Anak Tikus Yang Dilahirkan DAFTAR PUSTAKA 1.
ADA. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care 2008 ; 21(1): s55-60 2. Vedavathi KJ, Swamy RM, Kanavi RS, Venkatesh G, Veeranna HB. Influence of gestational diabetes mellitus on fetal growth parameter. Int J Biol Med Res 2011; 2(3): 832834 3. Barker DJP. The malnourished baby and infant. British Medical Buletin 2001; 60: 69-88 4. Grisaru D, Sternfeld M, Eldor A, Glick D, Soreq H. Structural roles of acaetylcholinesterase variants in biology and pathology. Eur J Biochem 1999; 264: 672-686 5. Tanaka K, Miyake Y, sasaki S, Hirota Y. Dairy products and calcium intake during pregnancy and dental caries in children. Nutrition Journal 2012; 11: 33-40 6. Alvarez JO. Nutrition, tooth development, and dental caries. Am J Clin Nutr 1995; 61(suppl): 410s-6s 7. Rocha JS, Baldani MH, Lopes CMDL. Impact of prenatal ptotein-calorie malnutrition on the odontogenesis of wistar rats. Braz Dent Sci 2013; 16(3): 63-9 8. Dewi N. Pengaruh diabetes mellitus gestasional terhadap ekspresi amelogenin dan histomorfologi benih gigi anak tikus. Tesis. 2013 9. Villarino ME, Goya JA, De Lucca RC, Ubios AM. Alterations of tooth eruption and growth in pup suckling from diabetic dams. Pediatr Res 2005; 58(4): 695-9 10. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar 2013 11. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2007. 2008 12. Lawrence JM, Contreras R, Chen W, Sacks DA. Trends in the prevalence of preexisting diabetes and gestasional diabetes mellitus among a racially/ethnically diverse population
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
of pregnant women, 1999-2005. Diabetes Care 2008; 31:899-904 Lenzen S. The mechanisms of alloxan- and streptozotocin-induced diabetes. Diabetolgia 2008; 51:216-226 Carvalho EN, Carvalho NAS, Ferreira LM. Experimental model of induction of diabetes mellitus in rats. Acta Cir Braz 2003; 18:60-64 Kiss ACI, Lima PHO, Sinzato YK, Takaku M, Takeno MA, Rudge MVC, Damasceno DC. Animal Models for Clinical and Gestational Diabetes : Maternal and Fetal Outcomes. Diabetol Metab Syndr 2009; 1:21 Hall JE. Insulin, Glucagon, and Diabetes Mellitus. In: Guyton and Hall Text Book of Medical Physiology. 12th ed. Philadelphia : Elseviers Saunders; 2011. p.939-954 Ypsilantis P, Deftereos S, Prassopoulos P, Simopoulos C. Ultrasonographic Diagnosis of Pregnancy in Rats. J Am Assoc Lab Anim Sci 2009; 48(6):734-739 Goncalves LA, Boldrini SC, Capote TSO, Binotti CB, Azeredo RA, Martini DT, et al., Structural and ultra-structural features of the first mandibular molar of young rats submitted to pre and postnatal protein deficiencies. The Open Dentistry Journal 2009; 3:125-131 Garn SM, Osborne RH, Alvesalo L, Horowitz SL. Maternal and gestational influences on deciduous and permanent tooth. J Dent Res 1980; 59(2): 142-143 Ida-Yonemochi H, Nakatomi M, Harada H, Takana H. Glucose uptake mediated by glucose transporter 1 is essential for early tooth morphogenesis and size determination of murine molars. Developmental Biology 2012; 363: 52-61 Desoye G and Haugel-de Mouzon S. The human placenta in gestational diabetes mellitus. Diabetes Care 2007; 30(2): 120-6 Bath-Balogh M and Fehrenbach MJ. Dental Embriology, Histology, and Anatomy. 2nd ed. St Louis: Elseviers Saunders. 2006. p.61-91 Nanci A. Ten Cate’s Oral histology. 7th ed. St Louis: Elseviers Saunders. 2008
51
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian EFEK PENGUNYAHAN PERMEN KARET YANG MENGANDUNG XYLITOL TERHADAP PENINGKATAN pH SALIVA Tinjauan pada Mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Angkatan 2010-2012 Nina Annisa Hidayati, Siti Kaidah, Bayu Indra Sukmana Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin ABSTRACT Backgroud: Xylitol is a simple alcohol sugar (polyols) which is non-asidogenik and non-cariogenic that is added in the chewing gum as a sugar substitute. Previous study have shown that chewed the xylitol chewing gum 3 to 5 times a day for 5 minutes after meals inhibited plaque accumulation and enamel demineralization. Purpose: The purpose of this study was to evaluate the effect of chewing the xylitol chewing gum on the increase of salivary pH. Methods: This study designed in a pre-experimental with one group pretestposttest used purposive sampling technique. Thirty-five subjects were given 3 x 2 pieces of chewing gum (3 x 2 x 1242mg) per day which were chewed after breakfast (at 08.00 am), at lunch (01.00 pm) and at dinner (07.00 pm) for 2 weeks. Each subject chewed the xylitol chewing gum with two chewing sides for a maximum of 5 minutes or until the taste of the gum lost. Result: The mean salivary pH before chewed the xylitol chewing gum was 6.9086 and after chewed xylitol chewing for 2 weeks was 7.6571. Statistical analysis showed an increase in salivary pH after chewed the gum which containing 7452 mg xylitol per day for two weeks (p = 0.000). Conclutions: Chewed the xylitol chewing gum increased the salivary pH. Keyword: xylitol, chewing gum, salivary pH ABSTRAK Latar Belakang: Xylitol adalah gula alkohol sederhana (polyol) yang bersifat non-asidogenik dan non-kariogenik sebagai bahan pengganti gula yang disertakan dalam kandungan permen karet. Penelitian terdahulu membuktikan bahwa pemberian permen karet xylitol 3 sampai 5 kali sehari selama 5 menit setelah makan dapat menghambat akumulasi plak dan demineralisasi enamel. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pengunyahan permen karet yang mengandung xylitol terhadap peningkatan pH saliva sebelum dan sesudah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian pre eksperimental dengan one group pretest-posttest design, menggunakan teknik purposive sampling. Perlakuan yang diberikan adalah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol dua sisi maksimal 5 menit atau sampai rasanya hilang dengan cara pemberian 3 x 2 butir (3 x 2 x 1242mg) perhari setelah makan pagi (jam 08.00), makan siang (13.00) dan makan malam (19.00) selama dua minggu. Hasil: Rerata pH saliva sebelum perlakuan mengunyah permen karet yang mengandung xylitol adalah 6,9086 dan sesudah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol selama 2 minggu adalah 7,6571. Uji T berpasangan diperoleh hasil p = 0,000 (p<0,05) menunjukkan terjadi peningkatan pH saliva setelah mengunyah permen karet yang mengandung 7452 mg xylitol perhari selama dua minggu. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa mengunyah permen karet yang mengandung xylitol dapat meningkatkan pH saliva. Kata-kata kunci: xylitol, permen karet, pH saliva Korespondensi: Nina Annisa Hidayati, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, jalan Veteran 128B, Banjarmasin, KalSel, email:
[email protected]
Hidayati : Efek Pengunyahan Permen Karet Yang Mengandung Xylitol PENDAHULUAN Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2007 yang dilakukan Depkes menunjukkan bahwa secara umum prevalensi penyakit gigi dan mulut tertinggi meliputi 72,1% penduduk, 46,6% merupakan karies aktif.1 Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi karies aktif di provinsi Kalimantan Selatan adalah 50,7%.2 Etiologi karies gigi adalah multifaktor, terdiri dari akumulasi dan retensi plak, frekuensi konsumsi karbohidrat, frekuensi terhadap diet asam, faktor pelindung dari pelikel, saliva, dan fluoride serta elemen-elemen lain yang mengontrol perkembangan karies. Saliva berperan penting pada proses pertahanan terhadap serangan karies. Mekanisme fungsi perlindungan saliva meliputi: (1) aksi pembersihan bakteri, (2) aksi buffer, (3) aksi antibakteri dan (4) remineralisasi. Saliva juga mengandung urea dan buffer lain yang membantu melarutkan asam dalam plak.3,4 Derajat keasaman (pH) saliva sangat dipengaruhi oleh irama sirkadian, diet dan stimulasi sekresi saliva. Diet yang mengandung karbohidrat akan menyebabkan turunnya pH saliva yang dapat mempercepat terjadinya demineralisasi email gigi. Sepuluh menit setelah makan karbohidrat akan menghasilkan asam melalui proses glikolisis dan pH saliva akan menurun sampai mencapai pH kritis (5,5-5,2) dan untuk kembali normal dibutuhkan waktu 30-60 menit.5 Pencegahan penurunan pH saliva dapat dilakukan dengan cara menggunakan bahan pengganti gula yang dapat meningkatkan pH saliva antara lain sorbitol, mannitol dan xylitol. Xylitol paling popular digunakan karena efeknya terhadap kesehatan gigi dan rasanya yang manis hampir sama dengan sukrosa, namun memiliki kalori yang lebih kecil (40% dari sukrosa). Xylitol merupakan sejenis pemanis polyols yang bersifat nonasidogenik dan non-kariogenik.4,6,7 Xylitol dewasa ini sudah disertakan dalam kandungan permen karet. Permen karet bermanfaat untuk merangsang sekresi saliva, meningkatkan pH plak dan saliva, sehingga sangat baik digunakan sebagai pembersih rongga mulut.8 Menurut Penelitian Burt (2006) pemberian permen karet xylitol 3 sampai 5 kali sehari dikunyah minimal selama 5 menit setelah makan dapat menghambat akumulasi plak dan demineralisasi enamel, meningkatkan remineralisasi pada karies awal dan mengurangi jumlah Streptococcus mutan.9 Streptococcus mutans menghasilkan asam yang dapat merusak email gigi. Bakteri ini berkembang pada pH asam. Xylitol menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans dengan meningkatkan pH mulut, membuat keadaan rongga mulut kurang menguntungkan untuk pertumbuhan Streptococcus mutan.10
52
Studi lain oleh Makinen et al dalam Adopted (2006) menunjukkan bahwa asupan xylitol yang konsisten menghasilkan hasil yang positif dengan kisaran konsumsi 4-10 g perhari di bagi 3-7 periode. Jumlah yang lebih besar tidak menghasilkan reduksi yang lebih besar pada insiden karies dan dapat membawa ke berkurangnya hasil antikariogenik.11 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pengunyahan permen karet yang mengandung xylitol terhadap peningkatan pH saliva sebelum dan sesudah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol pada Mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mengkurat Angkatan 2010-2012 BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode preexperimental design. Rancangan penelitian ini menggunakan one group pretest-posttest design. Kontrol dalam penelitian ini adalah pH sebelum mengunyah permen karet xylitol. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain masker dan sarung tangan, nierbekken, diagnostic set, pH meter, gelas penampung saliva, alat tulis, form penelitian, informed consent dan stopwatch. Bahan dalam penelitian ini yang digunakan adalah permen karet yang mengandung xylitol, tisu dan kapas. Pengambilan data awal dimulai dengan pemberian informed consent kepada responden. Responden kemudian diinstruksikan untuk mengumpulkan saliva selama 30 detik pada dasar mulut, lalu ditampung dalam gelas penampung saliva. pH saliva diukur menggunakan pH meter dan dicatat pada form penelitian. Selanjutnya responden diinstruksikan untuk mengunyah permen karet dua sisi yang mengandung xylitol dengan cara pemberian 3 x 2 butir perhari setelah makan pagi (Jam 08.00), makan siang (jam 13.00) dan makan malam (jam 19.00) selama 2 minggu. Permen karet xylitol dikunyah maksimal selama 5 menit atau sampai rasa dari permen karet sudah tidak ada lagi. Responden juga diinstruksikan untuk menjaga kebersihan mulut. Pengambilan data akhir dilakukan setelah 2 minggu, dengan cara pemeriksaan pH saliva seperti pada pengambilan data awal. HASIL PENELITIAN Perbedaan rerata pH Saliva sebelum dan sesudah perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1.
53
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 51 - 55
pH saliva
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Sebelum
Sesudah
Waktu Pengukuran
Gambar 1
Rerata±SD pH Saliva Sebelum dan Sesudah Mengunyah Permen Karet yang Mengandung Xylitol.
Gambar 1 menunjukkan adanya peningkatan pH saliva sebelum dan sesudah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol. Pada penelitian ini didapatkan rata-rata pH saliva sebelum mengunyah permen karet yang mengandung xylitol sebesar 6,9086±0,22928, sedangkan rata-rata pH saliva sesudah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol sebesar 7,6571±0,22789. Hasil normalitas data dengan Shapiro-Wilk menunjukkan data pH sebelum mengunyah permen karet xylitol (p = 0,185) dan pH setelah mengunyah permen karet xylitol (p = 0,130) berdistribusi normal (p > 0,05). Hasil uji T berpasangan diperoleh hasil p = 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan terdapatnya peningkatan bermakna pH saliva setelah mengunyah permen karet yang mengandung 7452 mg xylitol per hari selama dua minggu pada mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Angkatan 2010-2012. PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa permen karet yang mengandung xylitol dapat meningkatkan pH saliva. Hal tersebut disebabkan sifat dan cara kerja xylitol yang tidak dapat di fermentasi oleh Streptococcus oral dan mikroorganisme lainnya sehingga tidak dihasilkan asam yang dapat menurunkan pH saliva.12 Xylitol dapat menetralkan pH saliva yang rendah dengan efek menguntungkan untuk kesehatan rongga mulut. Konsumi xylitol secara teratur, pada dosis cukup dapat mengurangi tingkat Streptococcus mutans pada plak dan saliva. Streptococcus mutans mengambil xylitol ke dalam sel melalui sistem fruktosa phosphotransferase (PTS) dan xylitol dimetabolisme menjadi xylitol-5-fosfat, yang tidak
dapat dimanfaatkan lebih lanjut dan bahkan dapat menjadi racun bagi bakteri.13 Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitianpenelitian lain sebelumnya. Penelitian yang dilakukan Soderling et al (1989) dalam Milgrom et al (2006) menyebutkan bahwa konsumsi 10,9 g xylitol/hari selama 14 hari pada pasien usia 19-35 tahun menghasilkan reduksi Streptococcus mutans pada plak dan saliva, juga penurunan jumlah plak hingga 29,4% dan meningkatkan resistensi terhadap penurunan pH yang diinduksi oleh asupan sukrosa (14). Penelitian lain oleh Kumar (2010) menunjukkan terjadi peningkatan pH Saliva yang signifikan pada anak usia 10-12 tahun setelah mengkonsumsi permen karet xylitol.15 Tindakan pencegahan resiko karies lebih menekankan pada pengurangan konsumsi dan pengendalian frekuensi asupan gula yang tinggi. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara nasehat diet dan bahan pengganti gula. Nasehat diet yang dianjurkan adalah memakan makanan yang cukup jumlah protein dan fosfat yang dapat menambah sifat basa dari saliva, memperbanyak makan sayuran dan buah-buahan yang berserat dan berair yang akan bersifat membersihkan dan merangsang sekresi saliva, menghindari makanan yang manis dan lengket. Xylitol merupakan bahan pengganti gula yang sering digunakan, berasal dari bahan alami serta mempunyai kalori yang sama dengan glukosa dan sukrosa. Xylitol dapat dijumpai dalam bentuk tablet, permen karet, pasta gigi, dan mouthwash.16, 17 Pemberian permen karet yang mengandung xylitol mempunyai efek menstimulasi produksi saliva, komposisi saliva berubah dan meningkatkan konsentrasi bikarbonat, fosfat dan kalsium. Perubahan komposisi ini menstimulasi peningkatan kemampuan saliva untuk mencegah penurunan pH saliva. 8,18 Pengaruh pengganti gula pada perubahan angka terjadinya karies telah dievaluasi dalam beberapa studi observasional serta uji klinis dengan hasil konsisten menunjukkan adanya efek perlindungan dari xylitol pada insiden karies.19 Kandungan karbohidrat 75% dan kalori 40% dalam xylitol lebih rendah dibandingkan gula pasir. Xylitol dapat diaplikasikan dalam bentuk permen karet mengandung furonan dan kalsium phosphate yang akan memberikan efek positif apabila dikonsumsi setelah makan, sikat gigi, dan sebelum tidur. Ketika dikonsumsi dalam bentuk solid (seperti permen karet) xylitol memberikan sensasi segar dan dingin karena high endhotermic heat solution yang dimilikinya.20,17 Sifat lain dari xylitol yang menguntungkan adalah fermentasinya oleh mikroba plak gigi yang berlangsung lebih lambat dari fermentasi sukrosa, sehingga menghasilkan produksi asam yang sangat sedikit atau tidak sama sekali. Hal ini dapat mendukung pengembalian asam basa dalam mulut sehingga proses demineralisasi gigi dapat dicegah.21
Hidayati : Efek Pengunyahan Permen Karet Yang Mengandung Xylitol Xylitol terbukti dapat meningkatkan pH saliva, dengan demikian dapat membantu proses remineralisasi. Remineralisasi dapat terjadi apabila kondisi rongga mulut mendukung, yaitu tingkat kalsium dan fosfat cukup, pH yang tinggi, matriks organik dan inorganik yang tepat untuk pembentukan kristal, faktor-faktor yang pendukung dalam saliva, serta adanya kontrol terhadap faktorfaktor penghambat pembentukan kristal.9,22 Salah satu faktor dalam xylitol yang mendukung remineralisasi adalah strukturnya yang dapat membentuk ikatan kompleks dengan kalsium, yaitu C5H12O5Ca(OH)2.4H2O. Proses peningkatan terbawanya kalsium ke gigi dan membantu proses remineralisasi. Kalsium dikelilingi oleh molekul air di dalam saliva. Ketika xylitol dikonsumsi, maka akan terjadi kompetisi antara xylitol dan molekul air sehingga terbentuk lapisan hidrasi yang baru. Hal ini dapat menyebabkan kalsium dapat bertahan lebih lama dalam mulut sehingga dapat digunakan kemudian.9,22 Xylitol juga dapat menstabilkan kadar kalsium dan fosfat dalam saliva, yang penting dalam menciptakan kondisi ideal untuk remineralisasi.9,22 Konsumsi permen karet yang mengandung xylitol 4-10 g perhari dengan frekuensi minimal 3 kali sehari selama 14 hari menghasilkan penurunan Streptococcus mutans pada plak dan saliva, juga penurunan jumlah plak hingga 29,4 % dan meningkatkan resistensi terhadap penurunan pH saliva yang diinduksi oleh asupan sukrosa.11,23,24 iHasil penelitian ini telah membuktikan bahwa mengunyah permen karet yang mengandung 7452 mg xylitol dengan cara pemberian 3 x 2 butir (3 x 2 x1242 mg) perhari selama 2 minggu menunjukkan adanya peningkatan pH saliva.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
DAFTAR PUSTAKA 14. 1.
2.
3.
4.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2009. Mcintyre JM. Dental Caries – The Major Cause of Tooth Damages. In Graham J. Mount & W. R. Mount (ed). Preservation and Restoration of Tooth Structure 2nd ed. Queensland: Knowledge Book and Software, 2005:21-33. Putri H, Eliza H, Neneng N. Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi. Jakarta: EGC, 2008:56-77.
15.
16.
17.
18.
54
Hartini E. Serba Serbi Ilmu Konservasi Gigi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2005:69-59. Amelda PD, Ana MT, Maria AN, Antonio AS, Luciana RA. Saliva Composition and Function: A Comprehensive Review. Journal Contemporary Dental Practice 2008; 9(3) :5-2. Sulistiyani, Pradopo S. The Average Saliva pH Level After Comsuming Fresh Cow Milk, Sweetened Condensed Milk, and Soyabean Milk. Dental Journal 2003; 36(1-37) :6-4. Resti, Auerkari EI, Sarwono AT. Pengaruh Pasta Gigi yang Mengandung Xylitol terhadap Pertumbuhan Streptococcus Mutans Serotif E (In Vitro). Indonesian Journal of Dentistry 2008; 15(1) :22-15. Burt BA. The Use of Sorbitol and XylitolSweetened Chewing Gum in Caries Control. American Dental Assosiation. JADA 2006; 137 :190-196. Sari NN. Permen Karet Xylitol yang Dikunyah Selama 5 Menit Meningkatkan dan Mempertahankan pH Saliva Perokok Selama 3 Jam. Tesis. Denpasar: Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2011. Hal 22-23. Adopted. Policy on the Use of Xylitol in Caries Prevention. Oral Health Policies. Council on Clinical Affairs 2006 ;31-32. Moynihan P, Lingstrom P, Rung-Gunn AJ, Birkhed D. The Role of Dietary Control. In: Fejerskov Ole, A.M Kidd Edwina (ed). Dental Caries The Disease and Its Clinical Management. Blackwell Munksgaard 2003; 235-7. Bahador, Lesan, Kashi. Effect of Xylitol on Cariogenic and Beneficial Oral Streptococci: a randomized, double-blind crossover trial. IJM Iranian Journal of Microbiology 2012; 4:75-81. Milgron P, Ly KA, Roberts MC, Rothen M, Mueller G, Yamaguchi DK. Mutans Streptococci Dose Response to Xylitol Chewing Gum. J Dent Res 2006 February; 85(2): 177-181. Kumar S. Estimation of Salivary pH and Dental Plaque pH In Children Before and after consumtion of Sugared and Sugar-Free (Xylitol) Chewing Gum An In Vivo Study. Nehru Nagar. Belgaum: Dissertation Submitted to The KLE University, 2010. p. 53. Angela A. Pencegahan Primer pada Anak yang Berisiko Karies Tinggi (Primary Prevention in Children With High Caries Risk). Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.) 2005; 38(3) :130–134. Soderling EM. Xylitol, Mutans Streptococci, and Dental Plaque. Adv Dent Res 2009; 21 :74-78 Holgeston PL. Xylitol And It’s Effect on Oral Ecology. Umea: Dentistry Faculty of Medicine 2007; 16-20.
55 19. Hayes C. The Effect of Non-Cariogenic Sweeteners on the Prevention Of Dental Caries: A Review Of The Evidence. Boston: Department of Oral Health Policy and Epidemiology, 2003. p. 9. 20. Lukitaningsih A. Perbedaan Jumlah Bakteri Streptococcus Viridians Sebelum dan Sesudah Mengunyah Permen Karet yang Mengandung Xylitol pada Penghuni Wisma Melati no. 101 Pedalangan Banyumanik Semarang Tahun 2009. Skripsi. Semarang: Politeknik Kesehatan Depkes Semarang, 2009; 4. 21. Kidd, Edwina AM. Essential of Dental Caries The Disease and Its Management. New York: Oxford, 2005.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 51 - 55 22. Tapiainen T, Tero K, Laura S, Irma I, Markku K, Matti U. Effect of Xylitol on Growth of Streptococcus Pneumoniae in the Presence of Fructose and Sorbitol. Antimicrobial Agents and Chemotherapy 2001; 166-169. 23. Milgrom P, Ly KA, Rothen M. Xylitol and Its Vehicles for Public Health Needs. Adv Dent Res 2009; 21: 44-47. 24. Milgron P, Ly KA, Roberts MC, Rothen M, Mueller G, Yamaguchi DK. Mutans Streptococci Dose Response to Xylitol Chewing Gum. J Dent Res 2006; 85(2): 177181.
56
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian EFEKTIVITAS MENYIKAT GIGI DISERTAI DENTAL FLOSS TERHADAP PENURUNAN INDEKS PLAK Tinjauan pada Siswa SMAN 1 Sungai Pandan Kecamatan Sungai Pandan
Azizah Magfirah, Widodo, Priyawan Rachmadi Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACT Background : Toothbrushing is a common method used to removing plaque on the whole surface of the tooth, but it is not completely clean the interproksimal sect. The removal of interproximal plaque is considered to be important for the maintence of gingival health, caries prevention and periodontal disease. Dental floss is made of nylon filaments yarn or plastic monofilament, waxed or unwaxed that used to remove debris and plaque at the interproximal. Purpose: The purpose of this study uses to determine the effectiveness of toothbrushing with dental floss to decrease plaque index. Methods: This study was a pre-experimental with one group pretestposttest design, used purposive sampling technique. The treatments were toothbrusing twice a day in the morning and evening using toothbrush and toothpaste, and using dental floss once a day at night for two weeks. Plaque index that used in this study was the Quigley and Hein plaque index modified by Tureskey, Gilmore, and Glickman. Results:The mean of plaque index before treatment was 1.97 and after treatment of toothbrushing with dental floss was 0.45. Paired t-test results obtained p = 0.000 (p <0.05) demonstrated a significant reduction of plaque index after tootbrushing with dental floss for two weeks. Conclusion: It can be concluded that toothbrushing followed by the use of dental floss effective to decrease plaque index. Keywords: toothbrushing, dental floss, plaque index ABSTRAK Latar belakang: Menyikat gigi merupakan metode yang umum digunakan dalam membersihkan plak pada seluruh permukaan gigi, tetapi tidak dapat sepenuhnya membersihkan bagian interproksimal. Pembersihan plak pada bagian interproksimal dianggap penting untuk memelihara kesehatan gingiva, pencegahan karies dan penyakit periodontal. Dental floss atau benang gigi adalah benang yang terbuat dari nilon filamin atau plastik monofilament tipis, berlilin maupun tidak berlilin yang digunakan untuk menghilangkan sisa makanan dan plak di bagian interproksimal. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas menyikat gigi disertai dental floss terhadap penurunaan indeks plak. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian pre eksperimental dengan one group pretest-posttest design, menggunakan teknik purposive sampling. Perlakuan yang diberikan adalah menyikat gigi dua kali sehari pada pagi dan malam hari menggunakan sikat gigi dan pasta gigi, serta menggunakan dental floss satu kali sehari sebelum menyikat gigi pada malam hari selama dua minggu. Indeks plak yang dipakai adalah indeks plak Quigley dan Hein yang dimodifikasi oleh Tureskey, Gilmore, dan Glickman. Hasil: Rerata indeks plak sebelum dilakukan perlakuan adalah 1,97 dan sesudah perlakuan menyikat gigi disertai dental floss adalah 0,45. Uji t-berpasangan diperoleh hasil p = 0,000 (p < 0,05) menunjukkan terjadinya penurunan indeks plak yang signifikan sesudah menyikat gigi disertai dental floss selama dua minggu. Kesimpulan: Menyikat gigi disertai dental floss efektif terhadap penuruan indeks plak. Kata kunci: menyikat gigi, dental floss, indeks plak Korespondensi: Azizah Magfirah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, e-mail:
[email protected]
57 PENDAHULUAN Kondisi kesehatan gigi dan mulut di Indonesia masih sangat memprihatinkan, 90% penduduk Indonesia masih menderita penyakit gigi dan mulut.1,2 Karies gigi dan penyakit periodontal merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai di rongga mulut sehingga penyakit ini merupakan masalah utama kesehatan gigi dan mulut.2 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2007, diperoleh data proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut sebesar 29,2%, prevalensi karies aktif sebesar 50,7%, dan indeks DMF-T sebesar 6,83. Hulu Sungai Utara merupakan salah satu dari lima kabupaten yang memiliki prevalensi karies aktif diatas angka provinsi untuk penduduk umur 12 tahun ke atas yaitu sebesar 52,8%, dan indeks DMF-T tertinggi yaitu sebesar 8,97.3 Faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya penyakit karies dan periodontal adalah plak (5). Plak merupakan suatu deposit lunak berwarna keabu-abuan atau kuning yang melekat erat pada permukaan gigi. Jika jumlah plak sedikit maka plak tidak dapat terlihat, kecuali diwarnai dengan larutan disclosing.4,5 Data Riskesdas Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa hanya sekitar 8,5% masyarakat berumur 10 tahun ke atas yang berperilaku benar dalam menyikat gigi di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Data tersebut menunjukkan bahwa masih sedikit masyarakat yang berperilaku benar dalam menyikat gigi termasuk masyarakat di Kecamatan Sungai Pandan, Hulu Sungai Utara. Hal ini akan menyebabkan pembersihan plak yang tidak efektif pada permukaan gigi, sehingga akan mempengaruhi status oral hygiene yang dapat menyebabkan karies dan penyakit mulut lainnya. Plak gigi harus dibersihkan secara menyeluruh dan teratur untuk mencegah terjadinya karies dan penyakit mulut lainnya.3 Metode yang umum digunakan dalam membersihkan plak adalah menyikat gigi. Sikat gigi dapat membersihkan plak pada permukaan bukal, lingual, dan oklusal, tetapi tidak dapat sepenuhnya membersihkan bagian interproksimal.6 Pembersihan plak pada bagian interproksimal dianggap penting untuk memelihara kesehatan gingiva, pencegahan karies dan penyakit periodontal.7 Salah satu cara untuk membersihkan bagian interproksimal gigi adalah dengan menggunakan alat yang dapat menembus sela-sela gigi yang berdekatan. Banyak produk yang dirancang untuk membantu dalam membersihkan bagian interproksimal gigi, salah satunya adalah dental floss.6 Dental floss atau benang gigi adalah benang yang terbuat dari nilon filamin atau plastik monofilamen tipis, berlilin maupun tidak berlilin
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 56 - 59 yang digunakan untuk menghilangkan sisa makanan dan plak di bagian interproksimal.8 Dental floss mulai direkomendasikan untuk pembersihan bagian interproksimal pada akhir tahun 1960.9 Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efektivitas menyikat gigi diserta dental floss terhadap penurunan indeks plak pada siswa SMAN 1 Sungai Pandan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode preeksperimental dengan rancangan one group pretestpostest design. Penelitian ini dilakukan di SMAN 1 Sungai Pandan pada bulan Juni – Juli 2013. Alat yang digunakan antara lain diagnostic set, nierbekken, sikat gigi, dental floss, kain putih, formulir penilaian indeks plak. Bahan dalam penelitian ini yang digunakan adalah pasta gigi, disclosing agent, alkohol 70%, kapas, tisu, dan air mineral. Pertama yang dilakukan adalah penetapan sampel penelitian yang diambil dari semua populasi. Semua sampel harus memenuhi kriteriakriteria inklusi yang telah ditetapkan. Setiap sampel yang memenuhi kriteria dikumpulkan di ruang pemeriksaan, setelah itu dilakukan pemeriksaan dan perhitungan indeks plak pada sampel penelitian menyikat gigi tanpa disertai dental floss. Pemeriksaan indeks plak dilakukan pada gigi 16, 21, 24, 36, 41, dan 44 dengan menggunakan indeks plak Quigley dan Hein yang dimodifikasi oleh Turesky, Gilmore, dan Glickman. Sampel diinstruksikan untuk menyikat gigi dengan menggunakan sikat gigi dan pasta gigi sebanyak 2 kali sehari yaitu sesudah makan pada pagi hari dan sebelum tidur pada malam hari, dan memakai dental floss sekali sehari sebelum menyikat gigi pada malam hari selama 2 minggu, kemudian dilakukan pemeriksaan dan perhitungan indeks plak pada sampel penelitian menyikat gigi disertai dental floss. Hasil pemeriksaan dicatat pada formulir yang sudah tersedia. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji normalitas dan uji T berpasangan dengan bantuan software komputer. Tingkat kepercayaan yang digunakan sebesar 95% dengan tingkat kesalahan 5%. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian efektivitas menyikat gigi disertai dental floss terhadap penurunan indeks plak pada siswa SMAN 1 Sungai Pandan adalah sebagai berikut.
Magfirah : Efektivitas Menyikat Gigi Disertai Dental Floss Perlakuan Menyikat gigi tanpa disertai dental floss Menyikat gigi diserta dental floss
Jumlah (orang)
Rata-rata indeks plak
44
1,97
44
0,45
Penurunan Indeks Plak
1,52
Tabel 1. Rata-rata indeks plak dan penurunan indeks plak
Berdasarkan Tabel 1, diketahui rata-rata indeks plak menyikat gigi tanpa disertai dental floss sebesar 1,97, rata-rata indeks plak menyikat gigi disertai dental floss sebesar 0,45. Penurunan indeks plak antara menyikat gigi tanpa disertai dental floss dengan menyikat gigi disertai dental floss sebesar 1,52 (77,2%). Data hasil penelitian yang diperoleh kemudian diolah menggunakan analisis statistik. Data diuji normalitasnya terlebih dahulu, kemudian dilakukan uji t berpasangan. Uji t berpasangan dilakukakan untuk mengetahui penurunan indeks plak antara menyikat gigi tanpa disertai dental floss dengan menyikat gigi disertai dental floss. Diperoleh hasil penurunan indeks plak antara menyikat gigi tanpa disertai dental floss dan menyikat gigi disertai dental floss yaitu p = 0,000 (p < 0,05). Secara statistik terjadi penurunan indeks plak yang signifikan antara menyikat gigi tanpa disertai dental floss dengan menyikat gigi disertai dental floss. Hal ini berarti menyikat gigi disertai dental floss efektif terhadap penurunan indeks plak pada siswa SMAN 1 Sungai Pandan. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan rata-rata indeks plak menyikat gigi disertai dental floss lebih rendah dari indeks plak menyikat gigi tanpa disertai dental floss. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ramona dan Mindra (2006), dimana sampel penelitian yang menyikat gigi disertai dental floss, indeks plaknya lebih rendah dibandingkan menyikat gigi tanpa disertai dental floss terutama indeks plak pada bagian interproksimalnya. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menyikat gigi saja pembersihan plak pada permukaan gigi masih kurang efektif termasuk pembersihan plak pada bagian interproksimal.7 Menurut beberapa penelitian, penurunan plak pada permukaan gigi bagian interproksimal dengan menyikat gigi lebih sedikit dibandingkan dengan menyikat gigi disertai alat bantu pembersih bagian interproksimal seperti dental floss.7,12 Dental floss dapat membersihkan bagian yang sulit dijangkau oleh sikat gigi, seperti daerah interproksimal.8 Dental floss dapat membersihkan daerah yang sulit
58 dicapai oleh sikat gigi karena dental floss berupa benang yang dapat disisipkan diantara gigi-gigi yang berdekatan. Gerakan gergaji naik turun sepanjang sisi gigi menyebabkan plak yang menempel pada bagian tersebut dapat dibersihkan terutama bagian interproksimal.8,13 Efektivitas dental floss dalam menghilangkan plak dipengaruhi oleh waktu dan teknik penggunaan.9 Beberapa penelitian menunjukkan penurunan plak yang signifikan terjadi pada pengguna dental floss secara teratur.14,15 Waktu penggunaan dental floss yang dianjurkan adalah sebelum menyikat gigi, karena daerah interdental yang tidak bisa dicapai oleh sikat gigi akan dapat dibersihkan dan fluor yang terkandung dalam pasta gigi yang digunakan pada saat menyikat gigi lebih mudah mencapai bagian interproksimal sehingga dapat membantu melindungi permukaan gigi dari terbentuknya plak.7,8 Dental floss digunakan satu kali sehari sesuai dengan rekomendasi American Dental Association (ADA). Penggunaan dental floss tidak direkomendasikan lebih dari sekali sehari karena dapat menghilangkan efektivitas dan dapat menyimpan bakteri didalam mulut.8 Teknik penggunaan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi efektivitas dental floss dalam mereduksi plak. Terdapat dua teknik penggunaan dental floss yaitu teknik manual (manual finger flossing) dengan menggunakan dental floss tanpa pegangan dan teknik penggunaan dental floss dengan pegangan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa penggunaan dental floss dengan teknik manual maupun dental floss dengan menggunakan pegangan dapat menurunkan skor indeks plak. Walaupun demikian, teknik penggunaan dental floss dengan pegangan lebih disukai daripada teknik manual.16 Dental floss dengan pegangan khusus dianggap lebih praktis untuk digunakan karena dapat langsung dimasukkan ke dalam daerah interproksimal melalui titik kontak.6 Berdasarkan data hasil penelitian, terlihat bahwa penurunan indeks plak sebesar 1,52 atau sebesar 77,2%. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Ramona dan Mindra (2006) yang meneliti 58 orang, terjadi penurunan plak sekitar 58,1% pada sampel yang menyikat gigi disertai dental floss. Perbedaan hasil yang didapatkan disebabkan pada penelitian ini responden yang diteliti merupakan orang-orang yang tidak memiliki keluhan pada gigi dan mulut (normal). Penurunan indeks plak yang terjadi pada orang-orang yang tidak memiliki keluhan (normal) lebih besar, hal ini disebabkan pada orang-orang yang tidak memiliki keluhan (normal), penggunaan dental floss sebelum menyikat gigi mampu mencapai interdental sulcular area. Hal ini sesuai dengan laporan ADA yang menyatakan bahwa dengan menggunakan dental floss dapat membersihkan plak pada bagian interproksimal hingga lebih dari 50%.7,17
59
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 56 - 59
Mekanisme penurunan indeks plak yang terjadi pada penelitian ini merupakan kombinasi dari hasil tindakan menyikat gigi dan penggunaan dental floss sebelum menyikat gigi. Menyikat gigi dapat membersihkan bagian labial, bukal, lingual, palatal, dan oklusal. Dental floss mampu membantu membersihkan bagian interproksimal.8,13 Berdasarkan hasil penelitian dan hasil uji statistik, menyikat gigi disertai dental floss efektif dalam menurunkan indeks plak karena penurunan indeks plak lebih dari 50%. Selain itu, berdasarkan kriteria Greenee dan Vermillion yang terdiri dari kriteria baik dengan indeks plak 0-0,6, sedang dengan indeks plak 0,7-1,8, dan buruk dengan indeks plak 1,9-3,0, indeks plak menyikat gigi disertai dental floss termasuk dalam kriteria baik, sedangkan indeks plak menyikat gigi tanpa disertai dental floss termasuk dalam kriteria buruk. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menyikat gigi disertai dental floss terjadi perubahan status kebersihan mulut dari buruk menjadi baik.5,18 Tindakan menyikat gigi disertai dental floss merupakan salah satu pilihan untuk dapat membersihkan plak pada permukaan gigi secara lebih menyeluruh, sehingga dapat dijadikan salah satu cara untuk mencegah terjadinya karies dan penyakit periodontal.
6.
7.
8.
9.
10.
11. 12.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
Anitasari S dan Liliwati. Pengaruh frekuensi menyikat gigi terhadap tingkat kebersihan gigi dan mulut siswa-siswi sekolah dasar negeri di Kecamatan Palaran Kotamadya Samarinda Propinsi Kalimantan Timur. Majalah Kedokteran Gigi. Dentika Dent J 2005; 38(2):88. Rifki A. Perbedaan efektivitas menyikat gigi dengan metode roll dan horizontal pada anak usia 8 dan 10 tahun di Medan. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan hasil riset kesehatan dasar provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007. Jakarta: Balitbang Kesehatan Depkes RI. 2009. Hal: 116-125. Carranza FA, MG Newman and HH Takei. Clinical periodontology. 9th Ed. Philadelphia:WB Saunders Company. 2002.p.110-112. Putri MH, Herijulianti E dan Nurjanah N. Ilmu pencegahan penyakit jaringan keras dan jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC. 2008. Hal: 56-77.
13.
14.
15.
16.
17. 18.
Slot DE, Dorfer CE and Van der W. The efficacy of interdental brushes on plaque and parameters of periodontal inflammation: a systematic review. Int J Hygiene 6, 2008; 254. Avram R and Badea ME. Efficacy of using dental floss to improve oral hygiene and gingival status. OHDMBSC 2006; 5(4): 3-6. American Dental Association. Floss & other interdental cleaners. Available from URL; http://www.ada.org/1318.aspx Accessed on Februari 2013. Sarner B. On approximal caries prevention using fluoridated toothpicks, dental floss and interdental brushes. Thesis. Sweden: Department of Cariology Institute of Odontology at Sahlgrenska Academy University of Gothenburg. 2008. Darwita RR, Novrinda H, Budiharto, Pratiwi PD, Amalia R dan Asri SR. Efektivitas program sikat gigi bersama terhadap risiko karies pada murid sekolah dasar. J Indon Med Assoc 2011; 61(5): 204-209. Eley BM and JD Manson. Periodontics. 5th Ed. UK : Elsevier. Ltd. 2004.p.138. Sambunjak D, Nickerson JW, Poklepovic T, Johnson TM, Imai P, Tugwell P and Worthington HV. Weak, unreliabl evidence suggests flossing floss toothbrushing may be associated with a small reduction in plaque. Evidence-Based Dentistry 2012; (13): 5-6. American Dental Association. How to Floss. Available from URL; http://www.ada.org/sections/publicResources/ pdfs/watch_materials_floss.pdf Accessed on Februari 2013. Mohammed AH and Al-Bahadli BDS. Effect of super dental floss on oral hygiene in patient with fixed orthodontic appliances. J Bagh College Dentistry 2011; 23(3). Genovesi A, Antonio B, Chiara L and Ugo C. Experimentation in plaque control in the interproximal space using dental floss. Trial Report. Genoa: Genoa University.2004.p.1-5. Hiremath. Textbook of preventive and community dentistry. India: Elsavier. 2007.p.128. Asadoorian J. Flossing. Canadian Journal of Dental Hygiene 2006; 40(3): 2. Asadoorian J. CDHA position paper on tooth brushing. Canadian Journal Of Dental Hygiene 2006; 40(5): 232-248.
60
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK AIR KELOPAK BUNGA ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP PERTUMBUHAN Streptococcusmutans IN VITRO Achmad Riwandy, Didit Aspriyanto, Lia Yulia Budiarti Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACT Background: Dental caries is an infectious disease that localized attack the hard tissues of the oral cavity that are dental, and involving Gram-positive bacteria, namely Streptococcus mutans. Water extract of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals has antibacterial power against gram-positive bacteria, namely Staphylococcus aureus and Streptococcus pyogenes. Purpose:This study aims to determine whether there was antibacterial activity of water extract of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals against Streptococcus mutans bacteria. Methods:This study was an experimental study with 11 treatment groups of water extract of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals (concentration with 1%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45% and 50%); negative control; and positive control (Tetracycline hydrochloride 25 mg/ml). Each treatment was done with 5 times repetition. Testing of antibacterial activity used the diffusion method by measuring the inhibition zone around the growth of Streptococcus mutans on Muller Hinton media. Data were analysed using One-Way ANOVA 95% (α = 0.05)continued with LSD.Result: LSD test results showed that the water extract of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals had antibacterial activity to Streptococcus mutans. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) on 1% concentration and hadeffective inhibitory concentration on 15 % concentration. Conclusion: There was an antibacterial activity of the water extract of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals against Streptococcus mutans bacteria that caused caries in vitro. Keywords: Antibacterial, Tetracycline Hydrochloride, water extract of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals, diffusion method,Streptococcus mutans ABSTRAK Latar belakang: Karies gigi merupakan penyakit infeksi terlokalisir yang menyerang jaringan keras rongga mulut yaitu gigi, dan melibatkan bakteri Gram Positif yaitu Streptococcus mutans. Ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) mempunyai daya antibakteri terhadap bakteri gram positif yaituStaphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap bakteri Streptococcus mutans.Metode: Penelitian ini bersifat eksperimental terdiri dari 11 kelompok perlakuan yaitu kelompok ekstrak air kelopak bunga Rosella (konsentrasi 1%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45% dan 50%); kontrol negatif; dan kontrol positif (Tetrasiklin hidroklorida25 µg/ml). Masing-masingperlakuan dilakukan 5 kali pengulangan. Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan metode difusi dengan mengukur zona hambat disekitar pertumbuhan Streptococcus mutans pada media Muller Hinton. Data dianalisis menggunakan One-Way Anova 95% (α = 0,05) dilanjutkan dengan LSD. Hasil: Berdasarkan uji LSD didapatkan bahwa ekstrak airkelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktivitas antibakteri terhadap Streptococcus mutans. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) sebesar 1% dan konsentrasi efektifnya terdapat pada konsentrasi ekstrak airkelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) 15%.Kesimpulan: Ekstrak airkelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri penyebab karies Streptococcus mutans in vitro.
61
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 60 - 64
Kata-kata kunci: Antibakteri, tetrasiklin hidroklorida, ekstrak airkelopak bunga Rosella(Hibiscus sabdariffa L.), metode difusi,Streptococcus mutans Korespondensi: Achmad Riwandy, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas KedokteranUniversitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email:
[email protected] PENDAHULUAN Masalah kesehatan gigi yang umum terjadi di Indonesia adalah karies gigi. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 2004, prevalensi karies gigi mencapai 90,05%.Indeks karies Kalimantan Selatan mencapai 6,83%.1Karies gigi merupakan penyakit gigi terlokalisir yang merusak jaringan keras gigi, terbentuk dari akumulasi plak pada permukaan gigi dan aktifitas biomekanis kumpulan mikro kompleks. Streptococcus mutans (S. mutans) merupakan salah satu bakterigram positif patogen penyebab karies yang menyebabkan korosi pada email gigi.2Penelitian Keyes dan Fitzsgerald tahun 1960 pada binatang bebas kuman memperlihatkan bahwa plak yang didominasi oleh kuman S.mutans dan Lactobacillus menyebabkan terbentuknya karies.Streptococcus mutans akan mengubah karbohidrat yang dikonsumsi dan terurai menjadi sukrosa yang merupakan media terbaik bagi tumbuh kembang bakteri tersebut. Streptococcus mutans mempunyai kemampuan memetabolisme sukrosa menjadi asam, yang dapat mengakibatkan demineralisasi email sehingga dapat menyebabkan awal terjadinya karies gigi.3 Pertumbuhan Streptococcus mutans harus dihambat agar tidak menjadi patogen dan menyebabkan karies dengan pemberian bahan antibakteri.4 Pencegahan karies sangat penting dilakukan sejak masa anak-anak.5Salah satu cara pencegahan karies adalah mengusahakan agar pembentukan plak pada permukaan gigi dapat dibatasibaik dengan cara mencegah pembentukannya atau dengan pembersihan plak secara teratur. Pengendalian plak dapat dilakukan dengan cara pembersihan plak secara mekanis dan kimia yang mengandung bahan anti kuman dan dapat menekan pertumbuhan S. mutans.3 Telah banyak dilakukan penelitian dengan memanfaatkan bahan alam yang bertujuan untuk menghasilkan obat-obatan dalam upaya mendukung program pelayanan kesehatan gigi, khususnya untuk mencegah dan mengatasi penyakit karies gigi. Kembalinya perhatian ke bahan alam (back to nature), dianggap sebagai hal yang sangat bermanfaat karena selain sejak dahulu masyarakat telah percaya bahwa bahan alam mampu mengobati berbagai macam penyakit, pemanfaatan bahan alam yang digunakan sebagai obat juga jarang menimbulkan efek samping yang merugikan dibandingkan obat yang terbuat dari bahan sintetis.6 Salah satu bahan alam yang banyak dikonsumsi masyarakat adalah kelopak bunga
rosella (Hibiscus sabdariffa L.). Penggunaan kelopak bunga rosella di masyarakat yaitu sebagai sediaan teh dengan cara diseduh dengan air panas.Manfaat air seduhan kelopak Bunga Rosella antara lain sebagai diuretik (melancarkan air seni), memperlancar buang air besar (menstimulasi gerak peristaltik), juga dapatmenurunkan panas dan sebagai antibakteri.7 Bunga rossela memiliki beberapa kandungan antibakteri terhadap bakteri penyebab plak.7 Kandungan kimia kelopak bunga rosella terdiri dari asam organik, senyawa fenol, flavonoid dan antosianin.1Zat-zat tersebut mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.8Hasil penelitian Limyati dan Soegianto (2008) menyebutkan bahwa sediaan ekstrak air kelopak bunga rosella pada konsentrasi 10% dengan metode difusimampu menghambat bakteri gram positif Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes.9 Belum ada informasi mengenai khasiat tanaman obat ini sebagai antibakteri terhadap Streptoccocus mutans. Pada penelitian ini akan diteliti aktivitas antibakteri ekstrak air kelopak bunga rosella secara invitro sebagai antibakteri terhadap Streptococcus mutans. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya aktivitas antibakteri ekstrakair kelopak bunga rosella terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri dari 13 perlakuan (11 konsentrasi ekstrak air kelopak bunga Rosella yaitu 1%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45%, 50%; Tetrasiklin hidroklorida (25µg/ml) sebagai kontrol (+); dan air suling steril (akuades) sebagai kontrol (-). Masing-masing perlakuan dilakukan 5 kali pengulangan.Alat-alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan pentri, tabung reaksi (Pyrex, Jerman), ose bulat, autoclave (All American, America), inkubator anaerob (Carbolite, United Kingdom), gelas erlenmeyer (Iwaki, Jerman), pipet tetes, caliper, kapas lidi steril, neraca analitik, kertas saring, rak tabung reaksi, cotton bud steril, rotary evaporator, waterbath, aluminium foil 1 gulungan, tisu, alat pengaduk, dan meja laminary flow. Alat-alat yang diperlukan dicuci bersih kemudian disterilisasi dengan autoclave yang dipanaskan sampai suhu 121oC selama 15 menit.
Riwandy : Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella Bahan-bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa. L) 1%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45%, 50%, Tetrasiklin hidroklorida (25 µg/ml), isolat Streptococcus mutans, media nutrienagar, media agar Muller Hinton (MH), akuades steril, media Brain Heart Infusion (BHI), paper disc kosong, dan larutan standar Mc Farland I sebesar 3.108 CFU/ml. Kelopak bunga rosella kering dibuat serbuk, ditimbang ± 100 gram, ditambah 300 ml air 75 oC dan dikocok selama 1 jam, kemudian disaring dengan kertas saring dan filtrat diambil. Residu ditambah lagi 300 ml air 75oC dan dikocok selama 1 jam, kemudian filtratnya diambil. Filtrat pertama dan kedua dicampur, dipekatkan dengan rotary evaporationdengan suhu 100oC sampai memperoleh ekstrak yang kental.Suspensi bakteri yang telah distandarkan dengan Mc Farland I sebesar 3x108 CFU/ml diambil dengan kapas lidi steril dioleskan pada media agar Muller Hinton, kemudian diletakan paper disc(kertas samir) yang telah direndam ke dalam perlakuan. Selanjutnya media pengujian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Pembacaan hasil dilakukan dengan mengukur zona radikal pertumbuhan bakteri dengan caliper. Data yang didapat dari penelitian ini dikumpulkan berdasarkan pengamatan mengenai hasil pengukuran zona hambat pertumbuhan bakteri setelah pemberian ekstrak air kelopak bunga Rosella berbagai. Data kemudian dievaluasi secara statistik dengan melakukanuji normalitas Kolmogorov-Smirnovdan homogenitas varians dengan Levene’s test. Selanjutnya, dilakukan analisis parametrik dengan One-Way Anova 95% (α = 0,05) dan dilanjutkan dengan uji LSD.
62
Hasil pengujian menunjukkan bahwa konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45%, dan 50% ekstrak air kelopak bunga Rosella memiliki aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan Streptococcus mutans. Aktivitas penghambatan ini ditunjukkan dengan adanya zona hambat di sekitar cakram kertas. Gambar 1 menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi perlakuan dapat meningkatkan sensitivitas Streptococcus mutans, yang ditunjukkan dengan bertambahnya diameter zona hambat. Menurut Pratama, zona bening di sekitar paper disc menunjukkan adanya aktivitas antibakteri. Luas zona bening sangat dipengaruhi oleh daya antibakteri fraksi tersebut.Hasil uji homogenitas didapatkan nilai p=0,187 (p>0,05), yang menyatakan bahwa sebaran datapenelitian homogen. Hasil uji normalitas diperoleh nilai p>0,05, yang menunjukan bahwa distribusi data normal. Hasil analisis statistik dengan uji One-Way Anova dari 13 perlakuan didapatkan nilai p=0,000 (p<0,05), berarti terdapat perbedaan bermakna pada masing-masingkelompok perlakuan. Hal ini memperlihatkan bahwa ekstrak air kelopak bunga Rosella dapat menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans secara in vitro.Berdasarkan hasil uji LSD dapat diketahui bahwa zona hambat Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (EAKBR) pada konsentrasi 1%, 5% dan 10% tidak berbeda bermakna secara statistik, konsentrasi 20% dengan 25% tidak berbeda bermakna secara statistik, konsentrasi 25% dengan konsentrasi 20% dan 30% tidak berbeda bermakna secara statistik, dan juga konsentrasi 30% terhadap konsentrasi 20% dan 35% tidak berbeda bermakna secara statistik. PEMBAHASAN
HASIL PENELITIAN
20 15 10 5 0
Gambar 1
0 1 2
15 11 13 9 8 5 7
18 6 0
1% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% 50% TCX(+) Aq(-)
Rerata Zona Hambat
Hasil pengukuran zona hambat dari masingmasing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1.
Perlakuan
Diagram Hasil Pengukuran Zona Hambat Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus Sabdariffa L.) terhadap Pertumbuhan Streptococcus mutansIn Vitro
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa ekstrak air kelopak bunga Rosella dapat menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans secara in vitro. Zat aktif yang terkandung dalam ekstrak air bunga Rosella pada berbagai konsentrasi dapat menghasilkan efek antibakteri. Hal ini disebabkan pelarut air dalam penelitian ini berfungsi melarutkan zat aktif dalam kelopak bunga Rosella yang berupa flavonoid dan antosianin. Zat aktif antosianin yang menyebabkan warna merah pada tanaman ini mengandung delfinidin-3siloglukosida, delfinidin-3-glukosida, sianidin-3siloglukosida, sedangkan flavonoidnya mengandung gosipetin dan mucilago (rhamnogalakturonan, arabinogalaktan, arabinan).11 Menurut Somaatmadja (1963), antosianin dapat menginhibisi oksidasi glukosa dan mengikat zat besi yang dibutuhkan oleh bakteri sehingga menghambat metabolisme bakteri.4 Mekanisme antibakteri bekerja dengan mengganggu proses
63 respirasi sel, menghambat aktivitas enzim bakteri, menekan terjemahan dari regulasi produk gen tertentu, dan menghalangi sintesis normal dinding sel bakteri. Sintesis yang tidak normal menyebabkan tekanan osmotik dalam sel bakteri lebih tinggi daripada di luar sel, maka terjadi kerusakan dinding sel bakteri yang akan menyebabkan kebocoran sel bakteri.12Flavonoid dalam tumbuhan Rosella memiliki gugus hidroksil yang dapat menyebabkan perubahan komponen organik dan transpor nutrisi yang akan mengakibatkan timbulnya efek toksik terhadap bakteri.6Tetrasiklin hidrokloridayang digunakan sebagai kontrol positif dalam penelitian ini memiliki diameter rerata zona hambat 6 mm (< 14 mm). Hal ini menunjukan bahwa aktivitas antibakteri Tetrasiklin hidroklorida terhadap bakteri Streptococcus mutans dalam penelitian ini bersifat resisten.10 PenelitianLimyati dan Soegianto (2008), menyebutkan bahwa sediaan ekstrak air kelopak bunga Rosella dengan metode difusi terhadap bakteri gram positif Staphylococcus aureus pada konsentrasi 30% lebih besar dari zona hambat Ampisilin (20 µg/ml),pada konsentrasi yang sama terhadap bakteri Streptococcus pyogenes memperlihatkan zona hambat lebih kecildibandingkan dengan Ampisilin (20 µg/ml).13Pada hasil penelitian ini diketahui bahwa aktivitas antibakteri terendah dihasilkan oleh perlakuan ekstrak air 10% terhadap Streptococcus pyogenes dengan zona hambat sebesar 7,79 mm.14 Zona hambat dari masing-masing perlakuan pada penelitian Limyati dan Soegianto (2008) relatif berbeda dengan hasil penelitian ini. Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak air kelopak bunga Rosella sebagai antibakteri terhadap Streptococcus mutans memiliki Kadar Hambat Minimum (KHM) sebesar 5%. Hal ini ditunjukan dengan zona hambat rata-rata berdiameter 1 mm dan tidak ada lagi konsentrasi dibawah kadar hambat minimum yang menunjukkan daya hambat terhadap pertumbuhan Streptococcus mutans. Konsentrasi efektif terdapat pada konsentrasi ekstrak air Rosella 45% dan 50% yang memiliki diameter sama dengan daya hambat Tetrasiklin hidroklorida yang berukuran antara 15-18 mm sesuai standar CLSI 2011. Dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) mempunyai efek antibakteri terhadap bakteri penyebab karies (Streptococcus mutans) in vitro.Ekstrak inimemiliki Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) sebesar 5% dan konsentrasi efektifnya terdapat pada konsentrasi ekstrak air Rosella 45% dan 50%. Diharapkan dilakukan penelitian lanjut mengenai efektivitas antibakteri ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap Streptococcus mutans in vivo.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 60 - 64 DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. 8.
9.
10.
11.
12.
Hendrickson DA. Wound Care Management for The Equine Practitioner. New York: Teton New Media 2005; 34. Agustina A, Tjahajani A, Auerkari E. Pengaruh Pasta Gigi Mengandung Xylitol terhadap Pertumbuhan Streptococcus mutans Serotip C In Vitro. J Dent 2007; 14 (3): 204205. Pratiwi R. Perbedaan Daya Hambat Terhadap Streptococcus mutans dari Beberapa Pasta Gigi yang Mengandung Herbal. (online), (http://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrack/ MKG%2038%202%202005%20;%20Rini% 20;%20Perbedaan%202.pdf), diakses 28Februari 2013. RhodesPL. Antimicrobial Factor from Grapes. University of Auckland 2004; (online), (http://researchspace.auckland.ac.nz/bitstrea m/2292/335/8/01front.pdf), diakses 21 Oktober 13. Dewo AT, Sutadi H, Suharsini M. Koloni Streptococcus mutansdalam Saliva Anak yang Menggunakan Pasta Gigi Daun Sirih dan Pasta Gigi Siwak. J PDGI 2007; 182. Sabir A. Aktifitas Antibakteri Flavanoid Propolis Trigona sp terhadap Bakteri Streptococcus mutans (In Vitro). Dent J 2005; 38 (3): 135. Maryani H. Khasiat dan Manfaat Rosella. Jakarta: Agromedia Pustaka 2005; 3-33. Sasmita IS, Pertiwi ASP, Halim M. Gambaran Efek Pasta Gigi yang Mengandung Herbal terhadap Penurunan Indeks Plak. J PDGI 2007; 37. Limyati D, Soegianto L. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kelopak Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Jurnal Obat Bahan Alam 2008; 7(1): 47-53. Rosyidah K, Nurmuhaimina SA, Komari N, dan Astuti MD. Aktivitas Antibakteri Fraksi Saponin dari Kulit Batang Tumbuhan Kasturi (Mangifera casturi). Banjarbaru: FMIPA UNLAM 2010; 4-6. Larasati L. Pengaruh Pemberian Seduhan Kelopak Rosella (Hibiscus Sabdariffa L.) Dosis Bertingkat Selama 30 Hari Terhadap Gambaran Histologik Gaster Tikus Wistar. Skripsi. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2010. Rostinawati T. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap Escherichia coli, Salmonella typhi dan Staphylococcus aureus dengan Metode Difusi Agar. Skripsi. Jatinangor:
Riwandy : Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella
13.
Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran. 2009. Cawson EW, Odell. “Dental Caries” in Cawson’s Essential of Oral Pathology and Oral Medicine. 8th Ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier 2008; 40-59.
14.
64
Fani MM, Kohanteb J, Dayaghhi M. Inhibitory Activity of Garlic (Allium sativum) Extract On Multidrug-Resistant Streptococcus mutans. J Indian soc Pedod Prevent Dent 2007; 164.
65
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian EFEK PENYEMPROTAN DESINFEKTAN LARUTAN DAUN SIRIH 80% TERHADAP STABILITAS DIMENSI CETAKAN ALGINAT
Nisa Yanuarti Hasanah, I Wayan Arya, Priyawan Rachmadi Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT Background : Alginate is often use as an impression material and could be a transmission’s agent of infection to dentist and dental technicians. Prevention of infection’s transmission to dental impressions, disinfected by spray techniques Of Piper betle L. 80% solution for alginate impression. Purpose : This research was to determine effects of spraying disinfectant Piper betle L. 80% solution of the change in the dimensional stability of alginate impression on model. Methods : The experimental research study with a pretest-posttest only with control design. Samples were 60 divided into 6 groups, 3 group without spraying and 3 treatment groups spraying disinfectant Piper betle L. 80% solution for 5,10 and 15 minutes, each group of 10 impression. Mould and disinfected with Piper betle L. 80% solution using spray techniques Impressions were cast in dental stone and the cylinders’ diameters were measured with a caliper. The results were normality tested by Shapirowilk and then homogeneity tested with the Levene’s test.The data were analyzed using Independent Sample TTest. Result : There was not statistic significant change in dimensions between 2 treatments, the mould without spray and with Piper betle L. 80% solution using spray techniques for 5,10 and 15 minutes. Conclusion : The conclusion of this research was disinfectant Piper betle L. 80% solution spray technique did notcause dimensional stability changes in alginate impression. Keywords : Disinfection, alginate impression, Piper betle L. solution, spraying techniques, dimensional stability ABSTRAK Latar Belakang : Alginat sering digunakan sebagai bahan cetak. Hasil cetakan gigi dari mulut pasien dapat menjadi media penularan infeksi terhadap dokter gigi maupun teknisi laboratorium.Pencegahan penularan infeksi dilakukan dengan pemberian disinfektan dengan cara disemprot. Larutan daun sirih 80% dapat digunakan sebagai disinfektan pada cetakan alginat. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek penyemprotan desinfektan dari larutan daun sirih 80% terhadap perubahan stabilitas dimensi cetakan alginat pada model. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pretest-posstest only with control design. Terdiri dari 60 sampel yang dibagi menjadi 6 kelompok yaitu 3 kelompok kontrol positif (tanpa dilakukan penyemprotan) dan 3 kelompok perlakuan (dilakukan penyemprotan larutan daun sirih 80% selama 5, 10 dan 15 menit. ), masing-masing kelompok terdiri dari 10 cetakan. Cetakan alginat dicetakkan pada masterdie. Hasil cetakan didesinfeksi dengan larutan daun sirih 80%, dengan cara disemprot. Cetakan alginat diisi gipsum, kemudian dilakukan pengukuran diameter silinder menggunakan kaliper, data diuji normalitas dengan Shapirowilk kemudian diuji homogenitas dengan levene’s test. Data penelitian dianalisis menggunakan T-Test tidak berpasangan. Hasil : Tidak ada perubahan dimensi yang bermakna antara 2 perlakuan, yaitu pada bahan cetak alginat tanpa penyemprotan dan yang dilakukan penyemprotan larutan daun sirih 80% dengan waktu penyimpanan masing-masing 5, 10 dan 15 menit. Kesimpulan : Kesimpulan penelitian ini adalah desinfektan larutan daun sirih 80% dengan teknik penyemprotan tidak menyebabkan perubahan stabilitas dimensi cetakan alginat. Kata kunci: Desinfeksi, cetakan alginat, larutan daun sirih, teknik penyemprotan, stabilitas dimensi Korespondensi: Nisa Yanuarti Hasanah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128B Banjarmasin, Kalsel, email:
[email protected]
Hasanah : Efek Penyemprotan Desinfektan Larutan Daun Sirih 80% PENDAHULUAN Lingkungan kerja dokter gigi terdapat banyak bakteri pathogen yang dapat menimbulkan kontaminasi silang terhadap pasien, dokter gigi dan laboran. Tindakan untuk mencegah terjadinya hepatitis B, AIDS, dan juga herpes simplex dapat dimulai di praktek dokter gigi. Salah satu pekerjaan dibidang kedokteran gigi yang dapat menyebabkan kontaminasi silang bakteri adalah pengambilan cetakan rahang. Perlu dilakukannya desinfeksi segera setelah cetakan dikeluarkan dari mulut .1 Pencetakan rahang sangat menentukan hasil tahap-tahap pekerjaan pada kedokteran gigi berikutnya. Pemilihan bahan cetak harus benar karena mempengaruhi keakuratan dari hasil yang didapat. Penggunaan bahan hidro koloidireversi belalginat telah dianjurkan berdasarkan beberapa faktor seperti bahan digunakan secara luas dalam praktek kedokteran gigi, kemudahan penanganan dan manipulasi oleh dukungan personal, dan relatif murah serta tidak memerlukan peralatan khusus.2,3 Penelitian terdahulu juga memberikan hasil bahwa penggunaan disinfeksi metode perendaman oleh natrium hipoklorit 5,25% dan deconex serta glutaraldehyde 2% tidak disarankan karena menyebabkan perubahan dimensi pada bahan cetak alginat. Metode semprot tidak menunjukkan variasi yang signifikan, sehingga lebih disarankan untuk mendisinfeksi cetakan alginat.4,5 Penelitian mengenai teknik penyemprotan pada bahan disinfektan, menunjukkan aktivitas antimikroba yang sama dengan teknik perendaman, meskipun tidak terlalu mempengaruhi stabilitas dimensi dari cetakan alginat.6 Menurut Intan (2008), infusum sirih dapat menghambat pertumbuhan E. Coli, Staphylococus koagulase positif, Salmonela typhosa, bahkan pseudomonas aeruginosa yang resisten terhadap antibiotik.8 Penelitian uji fungistatik ekstrak daun sirih menunjukkan bahwa konsentrasi 20%, 40%, dan 60% belum dapat mempengaruhi atau menghambat pertumbuhan massa sel. Sebaliknya pada konsentrasi 80% dan 100%, ekstrak daun sirih sudah dapat menghambat pertambahan masa sel Candida albicans.9 Penelitian Siswomiharjo W (1994) telah dilakukan perbandingan perubahan dimensi alginat yang direndam dalam larutan disinfektan air sirih 25%, glutaraldehyde 2%, dan sodium hypochlorite 1%. Perubahan dimensi bahan cetak alginat setelah direndam 10 menit dalam larutan disinfektan, yaitu sebesar 0,02 % dengan glutaraldehyde 2%; 0,06% dengan hypochlorite 1%; dan 0,01% dengan air sirih 25%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa hasil perendaman dengan air sirih 25% terdapat perubahan dimensi terkecil.15 Perubahan dimensi dianalisis sesuai dengan American National Standards Institute/American Dental Association (ANSI/ADA) Spesifikasino. 18
66
bahan cetak tidak boleh menunjukkan perubahan dimensi lebih dari 0,5 % .10 Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek penyemprotan desinfektan dari larutan daun sirih 80% terhadap stabilitas dimensi cetakan alginat pada model dan menilai stabilitas dimensi hasil cetakan pada model cetakan alginat dengan waktu penyimpanan 5, 10, dan 15 menit. BAHAN DAN METODE Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik (experimental designs) dengan rancangan pretest-posttest with control group design. Sampel berupa model hasil cetakan dari bahan cetak alginat yang tanpa dilakukan penyemprotan diisi bahan gips stone dan model hasil cetakan dari bahan cetak alginat yang disemprot dengan larutan daun sirih 80% dengan variasi waktu penyemprotan berbeda, kemudian diisi dengan gips stone. Jumlah 10 sampel hasil cetakan alginat tiap kelompok dalam 6 kelompok perlakuan, yaitu 3 kelompok kontrol (+) dan 3 kelompok perlakuan. Perhitungan besar sampel untuk setiap perlakuan.Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi vibrator, rubber bowl, spatula, masterdie, kaliper, dan peralatan pembuatan ekstrak. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan daun sirih 80%, bahan cetak alginat, gips stone, dan akuades. Pembuatan larutan daun sirih 80% yaitu sampel daun sirih berwarna hijau. Daun sirih segar 800 gram dipotong-potong kemudian direbus ke dalam 1 Liter air hingga mendidih dan air yang tersisa 800 ml. Setelah dingin, air yang tersaring akan menghasilkan air sirih 80%. Pembuatan cetakan alginat sebagai kontrol yaitu masing-masing 10 buah sampel sebagai kontrol sesuai dengan waktu yang ditentukan. Bahan cetak alginat dan air dicampur dengan rasio sesuai petunjuk pabrik di aduk dengan bowl dan spatula secara ditekan ke tepi bowl dan membentuk angka 8. Setelah bahan cetak tercampur homogen, letakkan pada cetak khusus untuk master die, kemudian dilakukan pencetakan pada master die sebagai model. Setelah bahan cetak mengeras, cetakan dilepaskan dari model dan ditunggu dulu selama 5, 10, dan 15 menit. Masing-masing sampel dibungkus dengan menggunakan tisu basah sampai waktu yang ditentukan. Pembuatan cetakan alginat pada kelompok perlakuan sama seperti kelompok kontrol, tetapi hasil cetakan di lakukan desinfeksi dulu, dengan cara tehnik penyemprotan merata pada seluruh permukaan. Cetakan dibungkus dengan handuk kertas atau tisu yang telah dicelupkan dalam larutan desinfektan, dan dimasukkan segera ke dalam kantung plastik tertutup selama 5, 10, dan 15 menit. Setelah proses desinfeksi dengan tehnik penyemprotan selesai sesuai dengan waktu yang
67
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 65 - 69
45,500
45,450 Diameter
telah ditentukan, hasil cetakan diisi dengan gips stone. Pengisian gips stone dengan rasio P/W 1:1 ditunggu sampai setting. Dilakukan pengukuran dengan menggunakan kaliper pada model stone yang telah diperoleh dari hasil pengisian hasil cetakan.
45,400 45,350 45,300 45,250
HASIL PENELITIAN Data yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada grafik berikut ini.
45,200 1
2
3
4 5 6 7 Sampel ke-
8
9 10
Diameter
15 Menit Air Biasa 45,500 45,450 45,400 45,350 45,300 45,250 45,200 45,150 45,100 45,050
15 Menit Larutan Sirih 80% Grafik 3.Hasil Pengukuran Diameter Gypsum dari Alginat Tanpa Penyemprotan dan yang Disemprot Larutan Daun Sirih 80% dengan Waktu Penyimpanan 15 menit.
1
2
3
5 Menit Air Biasa
4 5 6 7 Sampel ke-
8
9 10
5 Menit Larutan Sirih 80 %
Grafik 1.Hasil Pengukuran Diameter Gypsum dari Alginat Tanpa Penyemprotan dan yang Disemprot Larutan Daun Sirih 80% dengan Waktu Penyimpanan 5menit. 45,550
Diameter
45,500
45,450 45,400 45,350 45,300 45,250 1
2
3
4 5 6 7 Sampel ke-
8
9 10
10 Menit Air Biasa 10 Menit Larutan Sirih 80% Grafik 2.Hasil Pengukuran Diameter Gypsum dari Alginat Tanpa Penyemprotan dan yang Disemprot Larutan Daun Sirih 80% dengan Waktu Penyimpanan 10 menit.
Berdasarkan Grafik 1, 2 dan 3 dapat diketahui bahwa diameter model gypsum hasil cetakan alginat bervariasi. Rata-rata diameter model gypsum hasil cetakan alginat air biasa dengan waktu penyimpanan 5 menit adalah 45,30 mm dan dengan larutan daun sirih 80% adalah 45,35 mm.Untuk air biasa dengan waktu penyimpanan 10 menit memiliki rata-rata diameter 45,40 mm dan dengan larutan daun sirih 80% 45,40 mm, untuk waktu penyimpanan 15 menit air biasa rara-rata diameter 45,38 mm dan dengan larutan daun sirih 80% sebesar 45,39 mm. Hasil uji normalitas Shapiro-Wilk pada kelompok tanpa penyemprotan dengan waktu penyimpanan 5 menit adalah 0,30, kelompok yang dilakukan penyemprotan larutan daun sirih 80% adalah 0,48. Pada kelompok tanpa penyemprotan dengan waktu 10 menit adalah 0,65 dan yang dilakukan penyemprotan larutan daun sirih 80% adalah 0,06. Kelompok tanpa penyemprotan dengan waktu penyimpanan selama 15 menit adalah 0,52 Kelompok yang dilakukan peyemprotan dengan larutan daun sirih 80% adalah 0,63 Hasil uji normalitas tersebut menunjukkan nilai p > 0,05 pada semua kelompok, artinya data terdistribusi normal. Hasil uji homogenitas Levene’s Test pada waktu penyimpanan 5 menit adalah 0,355 dan pada waktu penyimpanan 10 menit adalah 0,256. Penyimpanan 15 menit menunjukkan nilai sebesar 0,619, hasil tersebut menunjukkan bahwa varians data yang homogen karena menunjukkan nilai p> 0,05. Berdasarkan hasil analisis T-Test tidak berpasangan pada kelompok penyimpanan 5 menit diperoleh nilai p = 0,077. Pada kelompok penyimpanan 10 menit diperoleh nilai p = 0,845. Pada kelompok penyimpanan 15 menit diperoleh nilai p = 0,478. Nilai p > 0,05 menunjukkan stabilitas dimensi bahan cetak alginat antara yang
Hasanah : Efek Penyemprotan Desinfektan Larutan Daun Sirih 80% dilakukan penyemprotan dan tanpa dilakukan penyemprotan dengan waktu penyimpanan 5,10 dan 15 menit, yang berarti tidak ada perubahan yang bermakna. PEMBAHASAN Berdasarkan data tersebut larutan daun sirih 80% dapat digunakan sebagai bahan desinfektan untuk bahan cetak alginat dengan metode penyemprotan, karena perubahan stabilitas dimensinya hanya sedikit sehingga perubahannya tidak bermakna, tetapi pada masing-masing perlakuan dengan penyimpanan 5, 10 dan 15 menit tetap terjadi sedikit perubahan dimensi karena struktur alginat yang terbentuk serat dengan air yang mengisi ruangan kaliper tersebut.11 Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu karena menggunakan metode penyemprotan tidak dengan perendaman. Pada penelitian terdahulu memberikan hasil bahwa penggunaan disinfeksi metode perendaman oleh natrium hipoklorit 5,25% dan deconex serta glutaraldehyde 2% tidak disarankan karena menyebabkan perubahan dimensi pada bahan cetak alginat.3,12 Desinfeksi cetakan dengan tehnik perendaman dapat menimbulkan beberapa kerugian, antara lain dapat menghilangkan beberapa sifat dari cetakan alginat tersebut seperti keakuratan dimensi, stabilitas dan wettability.10,6 Tehnik perendaman cetakan alginat pada larutan desinfektan akan menyebabkan terjadinya imbibisi karena cetakan alginat berkontak lebih banyak dengan larutan desinfektan .6Tehnik penyemprotan lebih menguntungkan untuk dilakukan, karena tehnik ini dapat mengurangi terpaparnya cetakan alginat terhadap larutan desinfektan.10,6 Hal tersebut merupakan alasan mengapa tidak terjadinya perubahan stabilitas dimensi alginat setelah dilakukan desinfeksi dengan larutan daun sirih 80%. Kandungan kavikol dalam larutan daun sirih tidak berpengaruh terhadap ikatan kalsium alginat, sehingga kavikol tidak mempengaruhi terhadap dimensi alginat.6 Kekurangan tehnik penyemprotan pada penelitian ini adalah kecepatan dan banyaknya larutan desinfektan yang di semprotkan ke cetakan tidak sama karena alat semprot yang digunakan tidak dapat dikendalikan. Bahan cetak alginat adalah garam dari asam alginat yang dapat larut seperti Na, K, atau ammonium alginat. Garam alginat bereaksi dengan ion Ca dari CaSo4 , sehingga terbentuk Ca alginat yang tidak larut. Pada pencampuran bubuk dan air terbentuklah sol, dan alginat, garam kalsium serta fosfat mulai larut. Hal tersebut sebenarnya tidak dikehendaki karena bahan seharusnya berubah menjadi plastis dan bukan elastis. Pembentukan gel ini dihalangi oleh trisodium sulfat yang bereaksi dengan kalsium sulfat menghasilkan endapan kalsium fosfat. Trisodium sulfat habis, maka ion
68
kalsium akan bereaksi dengan potassium alginat menghasilkan potassium sulfat dan kalsium alginat yang bersifat elastis.13 Bahan cetak alginat terdapat kalsium sulfat dihidrat,ion kalsium, soluble alginat, dan sodium fosfat terdapat dalam bubuk alginat. Saat air ditambahkan pada bubuk alginat, ion kalsium dari kalsium sulfat bereaksi dengan ion fosfat dari sodium fosfat dan pirofosfat dari kalsium fosfat yang tidak larut, selanjutnya kalsium fosfat akan terbentuk lebih dahulu dibandingkan kalsium alginat, disebabkan karena tingkat kelarutan kalsium fosfat yang lebih rendah dibandingkan kalsium alginat. Setelah ion fosfat habis, ion kalsium akan bereaksi dengan soluble alginate untuk membentuk kalsium alginat yang tidak larut, yang selanjutnya akan bersama-sama dengan air membentuk kalsium alginat gel yang irreversible, dan kalsium algint tidak dapat berubah menjadi bentuk sol setelah terjadi pembentukkan gel.13 Menurut Phillips (2003) perubahan stabilitas dimensi dari bahan cetak hidrokoloid dipengaruhi oleh proses sinersis dan imbibisi yang diperoleh dari pemeliharaan dan penanganan bahan cetak, termasuk juga tehnik desinfektan dari bahan cetak. Tekanan yang diterima oleh gel pada sendok cetak saat proses gelasi juga menyebabkan terjadinya perubahan stabilitas dimensi. Perubahan panas juga menyebabkan perubahan dimensi, untuk bahan cetak alginat, cetakan akan mengerut sedikit karena perbedaan panas antara temperature rongga mulut (35o C) dan temperature ruangan (23oC), perubahan yang kecil ini dapat menyebabkan cetakan mengalami ekspansi dan distorsi.10Adanya perbedaan dimensi pada tiap sampel disebabkan berbagai faktor diantaranya adalah adanya compressed stress yang tidak diimbangi oleh strain saat melepas sendok cetak yang kurang cepat, maka stress yang diterima akan lebih besar dari strain-nya. Hal tersebut dapat mengakibatkan permanent deformation.14 DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
American Dental Association. Infection Control Routine for Dental Office. URL:http://www.healthmantra.com/hctrust/art 4.shtml. Akses pada 20 Januari 2013 John D.J dan Lily T.G. Removable Partial Dentures, A Clinician’s Guide. USA:Blackwell Publishing;2009.p.79-94 Syafiar, L. Dimensional Stability of Alginate’s Impression Material After Immersion In Mixed Disinfectan Solutions. Skripsi. Medan: Department of Dental Material and Technology, Faculty of Dentistry University of Sumatera Utara;2009.p.270-274 Rad FH, Ghaffari T and Safavi SH. In vitro Evaluation of Dimensional Stability of Alginate Impression After Disinfectan by
69 Spray and Immersion Methods. J Dent Res Dent Clin Dent Prospect 2010;4(4):130-135 5. Saber FS, Ablfazli N and Kosoltani M. The Effect of Disinfection by Spray Atomization on Dimensional Accuracy of Condensation Silicone Impression. Journal of Dental research, adental Clinics, Dental Prospects 2010; 4(4):124-129 6. Novitasari RD, Meiarini A and Soekartono RH. Teknik Desinfeksi Cetakan Alginat Dengan Infusa Daun Sirih 25% terhadap Perubahan Dimensi. Material Dental Journal 2013; 4(1):33-38 7. Affandi A. Penulisan Laporan Penelitian untuk jurnal,Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan dari Bahan Cetak Elastomer setelah Direndam kedalam Larutan Daun Sirih 25%. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi USU; 2009.p.1-30. 8. Intan N. Dekok (Air Rebusan) Daun Sirih (Piper Bitle Linn) Mampu Menghambat Pertumbuhan Candida albicans. Jurnal sains UMN 2008;6(5):1-2. 9. Rahmah N dan Rahman A. Uji Fungistatik Ekstrak Daun Sirih( piper betleL.) Terhadap Candida albicans. Banjarbaru. Bioscientia 2010;7(4):17-24 10. Anusavice KJ. Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi(Phillips Sciens of Dental
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 65 - 69
11.
12.
13.
14.
15.
Material). 10th ed. Alih bahasa. Budiman J.A dan Purwoko S. Jakarta: EGC; 2004.p.93-148 Imbery TA, Nehring J, Janus C and Moon PC. Accuracy and Dimensional Stability of Extended-pour and Conventional Alginate Impression Materials. J Am Dent Assoc 2010; 141(1):32-9 Hermawan A, Eliyani H dan Tyasningsih W. Pengaruh Ekstrak Daun Sirih Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan Metode Difusi Disk.Journal Of Aquaculture And Health 2007;7(2)1-7. Febriana M. Bahan Cetak Alginat dan Bahan Cetak Alginat Plus Pati Ubi Kayu (Analisis Gambaran Mikroskopik). The International Symposium on Oral and Dental Sciences : Proceeding Book. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada; 2013.p.43-50 McCabe JF and Walls AWG. Applied Dental Materials. 1st ed.Oxford. Blackwell Publishing; 2008.p.140-5 Siswomiharjo W. Perendaman Dimensi Cetakan Alginat Setetlah Direndam Dalam Air Sirih 25%. Jurnal Kedoktran Gigi Indonesia 1994; 43(1):69-71
70
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian DESKRIPSI KASUS TEMPOROMANDIBULAR DISORDER PADA PASIEN DI RSUD ULIN BANJARMASIN BULAN JUNI – AGUSTUS 2013 Tinjauan Berdasarkan Jenis Kelamin, Etiologi, dan Klasifikasi Najma Shofi, Cholil, Bayu Indra Sukmana Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRACT Background : Temporomandibular disorder (TMD) is a disorder or dysfunction of the temporomandibula joints with different signs and symptoms. Cause of temporomandibular disorder in general because of functional disorders and structural variants. These disorders may included pain or clicking, and cause jaw dislocation or locked. Purpose : This research aims to determine the description of temporomandibular disorder based on gender, etiology, and patients classification who come to the dental poly in RSUD Ulin Banjarmasin. Methods: This research was a descriptive study with cross sectional approach. Samples has been taken as many as 100 people with the purposive sampling technique. The data was obtained by clinical examination based Dysfunction index, each sample was being examined measured Range of motion (ROM) with a ruler, the sound of the joints was examined using fingers, palpation of the masticatory muscles, palpation of the lateral and posterior parts of the joints, and jaw was opening movement toward left and right. Results: Data was obtained that the percentage incidence of TMD based on sex in male by 41% and female patients by 59%, the percentage was based on the etiology of TMD incidence because of 100% functional impairment and structural abnormalities at 0%, the percentage incidence suffering from TMD classification by 53% mild, 38% moderated and weight by 9%. Conclusion : Based on the research has been conducted could be concluded that TMD was been experiencing more women than in men, which was caused by a functional disorder, and more likely to had mild TMD. Keywords: Temporomandibular disorder, Range of motion, Dysfunction index ABSTRAK Latar belakang: Temporomandibular disorder (TMD) adalah suatu gangguan atau ketidakberfungsian sendi temporomandibular dengan tanda dan gejala yang berbeda. Penyebab dari temporomandibular disorder secara umum karena gangguan fungsional dan kelainan struktural. Gangguan ini dapat berupa rasa nyeri atau clicking, dan dapat menyebabkan dislokasi atau rahang terkunci. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi dari temporomandibular disorder berdasarkan jenis kelamin, etiologi, dan klasifikasi pada pasien yang datang ke poli gigi di RSUD Ulin Banjarmasin. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Sampel diambil sebanyak 100 orang dengan tehnik purposive sampling. Data yang diperoleh dengan pemeriksaan klinis berdasarkan Dysfunction index, setiap sampel yang diperiksa diukur Range of motion (ROM) dengan penggaris, bunyi pada sendi diperiksa menggunakan jari, palpasi pada otot pengunyahan, palpasi pada bagian lateral dan posterior sendi, dan pergerakan pembukaan rahang ke arah kiri dan kanan. Hasil : Data yang didapat bahwa persentase insidensi TMD berdasarkan jenis kelamin pada laki-laki sebesar 41% dan pasien perempuan sebesar 59%, persentase indensi TMD berdasarkan etiologi karena gangguan fungsional sebesar 100% dan kelainan struktural sebesar 0%, persentase indensi TMD berdasarkan klasifikasi yang menderita TMD ringan sebesar 53%, TMD sedang 38%, dan TMD berat sebesar 9%. Kesimpulan : Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa yang mengalami TMD lebih banyak perempuan dari pada laki-laki, yang disebabkan karena gangguan fungsional, dan lebih banyak mengalami TMD ringan. Kata-kata kunci : Temporomandibular disorder, Range of motion, Dysfunction index
71
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 70 - 73
Korespondensi: Najma Shofi, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN Temporomandibular disorder (TMD) adalah suatu gangguan sendi rahang yang sering ditemukan dalam praktek dokter gigi sehari-hari.1 Penyebab gangguan TMD masih belum jelas diketahui kemungkinannya multifaktoral, karena gangguan fungsional dan kelainan struktural. Penyebab terbanyak seperti kehilangan gigi, kebiasaan buruk (bruxism, mengunyah satu sisi, bertopang dagu sebelah sisi)2 Sepertiga orang dewasa melaporkan adanya satu atau lebih tanda-tanda gangguan temporomandibular joint (TMJ).3 Penderita dengan gangguan ini akan merasa tidak nyaman walaupun gangguan ini jarang disertai dengan rasa sakit yang hebat. Gejalanya dapat berupa rasa nyeri, bunyi clicking pada sendi mandibula. Beberapa orang yang memiliki tanda-tanda tersebut banyak yang tidak menghiraukan. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu dislokasi atau rahang terkunci. Dislokasi dapat terjadi satu sisi atau dua sisi, dan dapat bersifat akut, kronis, dan rekuren sehingga penderita akan mengalami kelemahan yang sifatnya abnormal dari kapsula pendukung dan ligamen. Prevalensi secara keseluruhan berkisar 1%-75%. Prevalensi untuk laki-laki sekitar 3%-10% , perempuan 8%-15%. Prevalensi lanjut usia yang kehilangan banyak gigi 68%.4,5,6 Etiologi gangguan sendi temporomandibula multifaktoral. Secara umum dibagi menjadi kelainan struktural dan gangguan fungsional. Kelainan struktural adalah kelainan yang disebabkan perubahan struktur persendian akibat gangguan pertumbuhan, trauma eksternal, dan infeksi. Gangguan fungsional adalah masalah TMJ yang timbul akibat fungsi yang menyimpang karena adanya kelainan pada posisi atau fungsi gigi geligi dan otot kunyah. Makro trauma adalah tekanan yang terjadi secara langsung, dapat menyebabkan perubahan pada bagian discus articularis dan processus condylaris. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi pada saat pergerakan, dan pada gangguan fungsional posisi discus articularis dan processus condylaris dapat berubah secara perlahan–lahan yang dapat menimbulkan gejala clicking.7,8 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui deskripsi TMD berdasarkan jenis kelamin, etiologi, dan klasifikasi pada pasien yang datang ke poli gigi RSUD Ulin Banjarmasin periode Juni – Agustus 2013. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Alat
yang digunakan adalah alat diagnostik, nierbekken, sarung tangan, masker, penggaris, alat tulis, dan formulir informed consent. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling 100 orang. Sampel adalah pasien yang datang ke poli gigi RSUD Ulin Banjarmasin yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Kriteria inklusinya adalah pasien yang mengalami satu atau lebih dari gejala TMD sesuai anamnesa dan pasien bersedia dijadikan sampel. Kriteria ekslusinya adalah pasien yang mengalami satu atau lebih dari gejala TMD sesuai anamnesa yang tidak bersedia dijadikan sampel. Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah pasien yang mengalami satu atau lebih gejala TMD sesuai anamnesa. Penelitian dilakukan pada pasien yang datang ke RSUD Ulin banjarmasin. Subjek penelitian dijelaskan tentang manfaat dan prosedur penelitian yang akan dilakukan peneliti dan diberikan lembar informed consent sebagai tanda persetujuan menjadi subyek penelitian, kemudian dilakukan penilaian tanda gangguan sendi temporomandibula yang didapat dari pemeriksaan klinis berdasarkan Dysfunction index. Pemeriksaan klinis meliputi Range of motion (ROM) dari sendi temporomandibula diukur pada pembukaan maksimal rahang, dengan penggaris, dari tepi bawah gigi insisif yang terletak tepat di tengah maksila (rahang atas) sampai tepi atas gigi insisif yang terletak tepat di tengah mandibula (rahang bawah) pada gigi asli atau pada gigi tiruan. Bunyi pada sendi temporomandibula diperiksa dengan jari untuk mendeteksi adanya bunyi klik atau krepitasi. Bunyi tersebut diperiksa saat pembukaan rahang dan penutupan rahang, serta dicatat apakah terdapat satu kali bunyi atau bunyi yang berulang. Deviasi didefinisikan sebagai displacement mandibula dari garis vertikal imajiner saat mandibula membuka kurang lebih setengah dari pembukaan maksimal. Garis vertikal imajiner ini teletak pada garis tengah rahang saat mulut tertutup. Otot yang dipalpasi adalah musculus masseter, tendon musculus temporalis, musculus pterigoideus lateralis, musculus pterigoideus medialis, dan musculus digastricus pars anterior dengan menggunakan satu jari. Bagian lateral sendi temporomandibula dipalpasi extra oral 5 mm dari meatus acusticus externus. Bagian posterior sendi temporamandibula dipalpasi dengan jari kelingking di ductus akustikus. Pergerakan mandibula dilakukan dengan pembukaan rahang maksimal, pergerakan rahang ke samping kanan dan kiri dan pergerakan rahang ke depan. Nyeri yang ada dicatat. Seluruh poin pada hasil pemeriksaan fisik
72
Shofi : Deskripsi Kasus Temporomandibular Disorder Pada Pasien berdasarkan Dysfunction index (Di) dijumlah dan diklasifikasikan. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif. Dihitung persentase TMD berdasarkan jenis kelamin, etiologi, dan klasifikasi
DiI 53% (Ringan)
9% 38%
53%
DiII 38% (Sedang) DiIII 9% (Berat)
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 3
Laki laki 41%
41%
59%
Perempuan 59%
Data Prosentase TMD Berdasarkan Klasifikasi pada Pasien di Poli Gigi RSUD Ulin Banjarmasin.
Berdasarkan Gambar 3 diketahui prosentase TMD berdasarkan klasifikasi pada pasien yang datang ke Poli Gigi RSUD Ulin yang menderita TMD ringan sebesar 53 orang atau 53%, TMD sedang 38 orang atau 38%, dan TMD berat sebesar 9 orang atau 9%. PEMBAHASAN
Gambar 1
Data Prosentase TMD Berdasarkan Jenis Kelamin pada Pasien di Poli Gigi RSUD Ulin Banjarmasin.
Berdasarkan gambar 1 dapat diketahui prosentase TMD berdasarkan jenis kelamin pada pasien yang datang ke Poli Gigi RSUD Ulin pada laki-laki sebesar 41 orang atau 41% dan pasien perempuan sebesar 59 orang atau 59%. Hal ini menunjukan bahwa insidensi TMD lebih banyak terjadi pada perempuan dari pada laki-laki.
Gangguan Fungsional 100%
100% Kelainan Struktural 0%
Gambar 2
Data Prosentase TMD Berdasarkan Etiologi pada Pasien di Poli Gigi RSUD Ulin Banjarmasin.
Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui prosentase TMD berdasarkan etiologi pada pasien yang datang ke Poli Gigi RSUD Ulin karena gangguan fungsional sebesar 100% dan kelainan struktural sebesar 0%.
TMD adalah suatu gangguan atau ketidakberfungsian sendi temporomandibula dengan tanda dan gejala berbeda. Gejalanya berupa gangguan fungsi seperti bunyi pada sendi, kelelahan atau kekakuan pada rahang, nyeri serta rahang terkunci. Etiologi gangguan sendi temporomandibula secara umum dibagi menjadi kelainan struktural dan gangguan fungsional.2,8 Gambar 1 menunjukan sampel yang mengalami TMD lebih banyak perempuan sebesar 59% dari pada laki-laki sebesar 41%. Hal ini kemungkinan disebabkan perempuan lebih mudah mengalami stres karena keadaan hormonal seperti estrogen yang dapat meningkatkan stimulasi nyeri. Menurut Rugh 1976, pasien dengan TMD memberi respon terhadap tekanan emosi berupa kenaikan aktivitas m. masseter dan temporalis. Stres emosional dapat menyebabkan peningkatan aktifitas otot pada posisi istirahat yang dapat menimbulkan kelelahan yang berakibat pada spasme otot. Spasme otot yang terjadi nantinya akan meningkatkan respon saraf simpatis yang menyebabkan nyeri pada otot mastikasi. Menurut Moore 1997, umumnya pada perempuan sekitar usia 35 tahun dan laki-laki 45 tahun masa tulang mencapai maksimum. Setelah titik itu, tulang lebih banyak yang hilang daripada dibentuk, sehingga perempuan cenderung mengalami osteoporosis.9 Seluruh TMD terjadi karena gangguan fungsional dan tidak ada TMD yang disebabkan kelainan struktural. Gangguan fungsional pada penelitian ini terjadi karena maloklusi gigi (77 orang), karena kelainan otot kunyah / memiliki kebiasaan mengunyah satu sisi (59 orang), dan karena kelainan gigi disertai kelainan otot kunyah
73
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 70 - 73
(39 orang). Maloklusi dapat mengakibatkan kontak gigi yang tidak harmonis dan tidak seimbang yang dapat menyebabkan tekanan tambahan untuk otot pengunyahan dan kelainan posisi kondilus pada saat rahang tertutup, akibatnya rahang menjadi terasa kaku. Pasien yang mengunyah dengan satu sisi menyebabkan tekanan tambahan untuk otot pengunyahan dan menyebabkan spasme pada otot sehingga menyebabkan rasa nyeri dan gangguan pada sendi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Riana pada tahun 2009, etiologi TMD paling banyak disebabkan gangguan fungsional dan 70% karena kebiasaan buruk, dari 136 anak yang diperiksa didapatkan 49 anak TMD dan 36 anak memiliki kebiasaan mengunyah satu sisi.10 Gambar 5.3 didapatkan hasil Dysfunction index (Di) yang menderita TMD ringan sebesar 53%, TMD sedang 38%, dan TMD berat sebesar 9%. Sebagian besar penderita TMD ringan disebabkan banyak yang kehilangan 1 gigi di posterior sehingga dimensi vertikal tidak hilang tetapi tetap terjadi penambahan beban yang terus berlangsung, hal ini mengakibatkan posisi discus articularis dan processus condylaris berubah secara perlahan. TMD sedang berkaitan juga dengan rentan waktu atau lamanya faktor penyebab yang telah berlangsung, diawali dengan TMD ringan dengan gejala yang masih ringan jika gejalanya terus dibiarkan dan faktor penyebabnya tidak dihilangkan akan terus berlanjut menjadi TMD sedang bahkan sampai berat. TMD berat paling sedikit diderita karena faktor usia. Proses penuaan dapat mengakibatkan kemunduran fungsi tubuh seperti fungsi TMJ dan karena kehilangan banyak gigi yang mengakibatkan hilangnya dimensi vertikal dan terjadi penambahan beban sendi saat beroklusi. Hasil dari penelitian ini juga didukung oleh penelitian dari Ani tahun 2012, dari 150 sampel yang diteliti dengan menggunakan Dysfunction index (Di) menunjukan hasil yang bebas TMD sebesar 10%, TMD ringan sebesar 36,7%, TMD sedang sebesar 27,3%, TMD berat sebesar 26%.8,11,12 DAFTAR PUSTAKA 1.
Gazali M, Alwin K. Dislokasi Mandibula Ke arah Anterior. Jurnal kedokteran gigi edisi khusus KOMIT KG. 2004; 120-123.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Abubaker O, Kenneth JB. Oral and Maxillofacial Surgery Secrets. Michigan: Hanley and Belfus. 2008. Hal.232-245. Buescher JJ. Temporomandibular Joint Disorder. American family physician. 2007; 76 (10): 1477-1482. Himawan LS, Kusdhany LS, Ariani N. Tempromandibular Disorders in Elderly Patients. Med J Indoness. 2007; 16(4): 2379. Febby R. Perawatan Hipomobiliti Sendi Temporomandibula. Skripsi. Medan: FKG USU. 2010; 35. Nilsson H. Resilient Appliance Therapy of Temporomandibular Disorders Subdiagnoses. Swedish Dental Journal. 2010; 28-32. Aryanti S. Penanggulangan Gangguan Sendi Temporomandibula Akibat Kelainan Oklusi Secara Konservatif. Skripsi. Medan: FKG USU. 2009; 15-19 Hiltunen K. Temporomandibular Disorders in The Elderly: A 5 Year Follow-Up of Sign and Symptoms of TMD. University of Helsinki. 2004; p.11-32. Asma. Human Bone Tissue Engineering Using Coral and Differentiated Osteoblasts From Derived-Mesenchymal Stem Cells. Skripsi. Penang: Universiti Sains Malaysia. 2008; 31. Laksitowati RH. Frequency of Temporomandibular Joint Dysfunction With Clicking Symptom Due To Primary Molar Premature Loss in Children Aged 6-12 Years Old. Padjadjaran Journal of Dentistry. 2009;21(1): 51-56. Khasanah A. Pengaruh Gangguan Sendi Temporomandibula Terhadap Kualitas Hidup (Terkait Kesehatan Gigi Dan Mulut) Pada Lansia. Skripsi. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2012; 11-14. Wright EF. Manual of Temporomandibular Disorder. Lowa: Wiley-Blackwell. 2010. Hal.54-73.
74
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian STABILITAS DIMENSI HASIL CETAKAN ALGINAT SETELAH DILAKUKAN PENYEMPROTAN INFUSA DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50% SEBAGAI DESINFEKTAN
Valdina Najifa Parimata, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Indonesia ABSTRACT Background: The risk of cross infection between patients, dentists and technicians is caused when saliva and blood during process of molding, it can be overcome with disinfection on material impression. Red Betel Leaves Infuse 50% has the affective disinfectant for the impression material. Some disinfection process expected can change dimension stability of that material. Purpose: The purpose of study was to determine the dimention change on the alginate impression result after being sprayed with red betel leaves infuse (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50% for storage period of 5 and 10 minutes. Methods: This laboratory experimental research method from 6 groups of experimental sample, 2 groups were sprayed with red betel leaves infuse 50%, 2 groups with sodium hypochlorite 0,5% and 2 groups without sprayed. The storage time were 5 and 10 minutes. Each group were repeated 8 times. Alginate mold was filled with plaster and measured with calipers. Data was analyzed with One Way Anova. Result: The result showed that the dimension stability of alginate impression sprayed with red betel leaves infuse 50% had no significant changes. Conclusion: The conclusion there were no significant changes on the dimension stability of alginate impression after spraying of red betel leaves infuse (Piper crocatum Ruiz & Pav)50%. Thus, red betel leaves was recommended as one of alternative disinfectants for alginate impression material. Keywords: The dimension stability, red betel leaves infuse, alginate, disinfectant. ABSTRAK Latar belakang: Risiko infeksi silang antara pasien, dokter gigi, dan teknisi dapat terjadi yang disebabkan saliva dan darah ketika proses pencetakan rahang, hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan desinfeksi pada bahan cetak. Pemanfaatan infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50% yang mempunyai efektivitas sebagai desinfektan dapat digunakan untuk desinfeksi bahan cetak. Beberapa proses desinfeksi diduga dapat mengubah stabilitas dimensi bahan cetak. Tujuan: Untuk mengetahui adanya perubahan stabilitas dimensi pada hasil cetakan dengan bahan alginat setelah dilakukan penyemprotan dengan menggunakan infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50% dengan variasi waktu penyimpanan 5 dan 10 menit. Metode: Penelitian ini bersifat eksperimental dengan 6 kelompok perlakuan yaitu 2 kelompok yang dilakukan penyemprotan infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50%, 2 kelompok disemprot sodium hipoklorit 0,5% dan 2 kelompok yang tidak dilakukan penyemprotan. Waktu penyimpanan 5 dan 10 menit. Masing-masing dilakukan pengulang 8 kali. Cetakan diisi gips dan diukur menggunakan kaliper. Data dianalisis menggunakan uji One Way Anova. Hasil: Stabilitas dimensi bahan cetak alginat yang disemprot infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50% tidak terdapat perubahan bermakna. Kesimpulan: Stabilitas dimensi hasil cetakan alginat setelah dilakukan penyemprotan infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50% tidak mengalami perubahan bermakna sehingga dapat dijadikan alternatif desinfektan pada bahan cetak alginat. Kata-kata kunci: Stabilitas dimensi, infusa daun sirih merah, alginat, desinfektan. Korespondensi : Valdina Najifa Parimata, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat. Jalan Veteran Banjarmasin 128 B Kalsel,
[email protected]
75 PENDAHULUAN Bahan cetak digunakan untuk membuat replika atau cetakan dari jaringan keras maupun jaringan lunak rongga mulut.1 Alginat merupakan salah satu bahan cetak yang paling sering digunakan untuk mencetak rongga mulut pasien. Secara umum alginat digunakan untuk pembuatan studi model rencana perawatan, monitor perubahan, serta restorasi gigi tiruan sebagian lepasan.2 Alginat dipilih sebagai bahan cetak karena harganya murah, penggunaannya lebih mudah dan hasilnya cukup detail.3 Terdapat risiko penularan infeksi ke dokter gigi maupun petugas laboratorium ketika pencetakan rahang pasien, melalui saliva dan darah pasien. Beberapa penyebab infeksi penularan yaitu: Streptococcus dan Staphylococcus species, Bacillus species, Enterobacter species, virus Hepatitis, virus Herpes simpleks, dan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Salah satu studi menemukan bahwa 67% dari bahan-bahan yang di kirim dokter gigi ke laboratorium kedokteran gigi terkontaminasi oleh bakteri pathogen.4 Kontaminasi bakteri dapat dihindari dengan desinfeksi pada bahan cetak yang digunakan.4 The American Dental Association (ADA) merekomendasikan selama 10 menit perendaman larutan sodium hipoklorit dengan konsentrasi 0,525% sebagai desinfektan pada bahan cetak irreversible hydrocolloid atau alginat.5 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rad dkk (2010) alginat yang direndam menggunakan sodium hipoklorit mengalami perubahan stabilitas dimensi yang besar, berbeda dengan alginat yang disemprot sodium hipoklorit yang mengalami perubahan yang kecil.6 Proses desinfeksi dengan cara penyemprotan lebih dianjurkan.7 Sodium hipoklorit bersifat bakterisid, tetapi senyawanya bersifat korosif, mempunyai bau yang kurang nyaman, dan terasa panas jika terkena kulit.8 Saat ini banyak bahan herbal yang mulai digunakan, salah satu tumbuhan yang bersifat bakterisid dan dapat menjadi desinfektan adalah daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav). Bahan alami tersebut tidak bersifat korosif dan tidak mengakibatkan rasa panas pada kulit. Air rebusan daun sirih merah mengandung antiseptik atau karvakrol yang bersifat desinfektan dan antijamur.9 Daun sirih juga terkenal khasiatnya sebagai disinfektan karena memiliki kandungan kavikol. Kavikol mempunyai khasiat bakterisid lima kali lebih kuat dari pada fenol.10 Daun sirih merah mengandung flavonoid, alkaloid senyawa polifenolat, saponin, tannin, dan minyak atsiri. Senyawa-senyawa tersebut diketahui memiliki sifat antibakteri.9,11 Penelitian yang dilakukan Saraswati (2012) infusa daun sirih merah mempunyai daya antibakteri terhadap bakteri Enterococcus faecalis, konsentrasi bunuh minimum yang didapat adalah
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 74 - 78 25%.12 Penelitian yang dilakukan Paramita (2010) efek air rebusan daun sirih merah memiliki efek antijamur pada konsentrasi 50% terhadap Candida albicans.13 Penelitian seperti ini pernah dilakukan oleh Affandi (2009) menggunakan hasil cetakan dari bahan cetak elastomer yang direndam kedalam larutan daun sirih 25% yang sebelumnya direbus diketahui bahwa rata-rata perubahan dimensi terbesar adalah hasil cetakan yang direndam selama 50 menit dan yang terkecil pada hasil cetakan yang direndam selama 10 dan 30 menit, daun sirih yang digunakan adalah daun sirih hijau.14 Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui adanya perubahan stabilitas dimensi pada hasil cetakan dengan bahan alginat setelah dilakukan penyemprotan menggunakan infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50%. Tujuan khusus dari penelitian ini untuk mengukur stabilitas dimensi hasil cetakan alginat setelah dilakukan penyemprotan infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) yang disimpan dalam waktu 5 dan 10 menit. BAHAN DAN METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode true experimental dengan rancangan penelitian Post Test-Only with Control Design menggunakan Simple Random Sampling dengan 6 perlakuan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan cetak alginat, infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50%, sodium hipoklorit 0,5%, gips tipe III, dan air. Alat yang digunakan adalah bowl, spatula, master die sesuai spesifikasi ADA no.18, kaliper, tisu dan plastik. Penelitian ini dimulai dengan penentuan kelompok eksperimen, kemudian dilanjutkan dengan pemberian intervensi terhadap kelompok yang telah ditentukan. Jumlah minimal pengulangan untuk setiap kelompok perlakuan adalah 8 kali. Pengulangan ditentukan dengan menggunakan rumus Federer. Daun sirih merah dipilih yang besar dan segar. Permukaan daun berwarna hijau tua dan bagian belakangnya berwarna merah tua. Daun sirih tersebut kemudian dibersihkan, dicuci dibawah air mengalir dan dikeringkan. Daun sirih merah kemudian diiris kecil-kecil dan ditimbang. Infusa konsentrasi 50% dibuat dengan cara sebanyak 100g daun sirih merah direbus ke dalam 200ml air, waktu dihitung 15 menit ketika suhu 90°C, sambil sesekali diaduk. Setelah dingin, lakukan penyaringan. Jika volume berkurang, ditambahkan air secukupnya melalui ampas hingga volume menjadi 200ml. Langkah selanjutnya adalah pembuatan sodium hipoklorit 0,5% dengan cara mengencerkan sodium hipoklorit 5,25% 10ml ditambahkan air 90ml.
76
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian tentang stabilitas dimensi hasil cetakan alginat setelah dilakukan penyemprotan infusa daun sirih merah (Piper Crocatum Ruiz & Pav) 50% sebagai desinfektan seperti terlihat pada Gambar 1 :
46 45,8 45,6 45,4 45,2 45 1
2
3
4
5
6
7
8
Sampel Ketanpa penyemprotan sodium hipoklorit 0,5% infusa daun sirih merah 50%
Gambar 1.
Diameter (mm)
Pembuatan 16 cetakan alginat sebagai sampel kontrol negatif (8 cetakan disimpan selama 5 menit dan 8 cetakan disimpan selama 10 menit). Bahan cetak alginat dengan P/W rasio yang sesuai dengan petunjuk pabrik, diaduk pada rubber bowl sampai homogen, kemudian dituangkan ke dalam master die. Setelah bahan cetakan setting sampel dikeluarkan dari master die, dibilas dengan air dan dikeringkan. Simpan dalam lingkungan basah (dibungkus dengan tisu dan dimasukkan ke dalam kantung plastik) selama 5 dan 10 menit. Dilakukan pengisian dengan gips tipe III, setelah setting diukur stabilitas dimensi menggunakan kaliper. Pembuatan 16 sampel seperti cara di atas untuk setiap perlakuan hasil cetakan dari bahan cetak alginat yang disemprot dengan sodium hipoklorit 0,5% sebagai kontrol positif. Setelah bahan cetakan setting, sampel dibilas dengan air, dilakukan penyemprotan selama kurang lebih 15 detik dengan sodium hipoklorit 0,5% secara merata keseluruh permukaan alginat. Dibungkus dengan tisu dan diletakkan di dalam kantung plastik selama 5 dan 10 menit, sebelumnya tisu tersebut dicelupkan dalam sodium hipoklorit 0,5%. Pembuatan 16 sampel seperti cara sebelumnya untuk setiap perlakuan hasil cetakan dari bahan cetak alginat yang disemprot dengan infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50%. Sampel dibilas dengan air dan dikeringkan. Dilakukan penyemprotan dengan infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50% selama kurang lebih 15 detik secara merata keseluruh permukaan alginat. Dibungkus dengan tisu dan diletakkan di dalam kantung plastik selama 5 dan 10 menit, sebelumnya tisu tersebut dicelupkan dalam infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav). Setelah proses desinfeksi dengan teknik penyemprotan selesai dengan masing-masing waktu tertentu, hasil cetakan diisi dengan gips tipe III. Dilakukan pengukuran dengan menggunakan kaliper (milimeter) pada model stone yang telah diperoleh dari hasil pengisian hasil cetakan. Perubahan dimensi dianalisis sesuai dengan American National Standards Institute/ American Dental Association (ANSI/ ADA) spesifikasi no. 18 bahan cetak tidak boleh menunjukkan perubahan lebih 0,5% dari master die diukur menggunakan kaliper. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji One-way Anova. Uji ini termasuk uji statistik parametrik dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05).
Diameter (mm)
Parimata : Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Alginat
Diameter gips dari alginat dengan waktu penyimpanan 5 menit.
46 45,8 45,6 45,4 45,2 45 1
2
3
4
5
6
7
8
Sampel Ketanpa penyemprotan
sodium hipoklorit 0,5% infusa daun sirih merah 50%
Gambar 2.
Diameter gips dari alginat dengan waktu penyimpanan 10 menit.
Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat variasi besar diameter model die pada masingmasing perlakuan pada waktu penyimpanan 5 menit. Hasil pengukuran model die dengan waktu penyimpanan 5 menit dari kelompok yang tanpa penyemprotan memiliki rata-rata diameter 45,88 ± 0,03 mm. Kelompok yang disemprotkan sodium hipoklorit 0,5% memiliki rata-rata 45,88 ± 0,05 mm. Kelompok yang disemprotkan infusa daun sirih merah 50% memiliki rata-rata 45,89 ± 0,04 mm. Gambar 2 menunjukkan bahwa terdapat variasi besar diameter model die pada masingmasing perlakuan pada waktu penyimpanan 10 menit. Hasil pengukuran model die dengan waktu penyimpanan 10 menit dari kelompok yang tanpa penyemprotan memiliki rata-rata diameter 45,87 ± 0,02 mm. Kelompok yang disemprotkan sodium hipoklorit 0,5% memiliki rata-rata 45,86 ± 0,05 mm. Kelompok yang disemprotkan infusa daun sirih merah 50% memiliki rata-rata 45,87 ± 0,03
77 mm. Hasil uji One-way Anova pada kelompok dengan waktu penyimpanan 5 menit p = 0,816, kelompok dengan waktu penyimpanan 10 menit p = 0,860 (p > 0,05). Hal ini berarti stabilitas dimensi bahan cetak alginat yang disemprot infusa daun sirih merah tidak mengalami perubahan yang berarti ketiga jenis perlakuan baik selama waktu penyimpanan 5 menit dan 10 menit, air biasa (tanpa penyemprotan), sodium hipoklorit 0,5%, dan sirih merah 50% relatif sama. PEMBAHASAN Bahan cetak alginat adalah bahan cetak hidrokoloid yang pengerasannya terjadi secara kimia. Bahan dasarnya adalah asam alginat yang diperoleh dari ganggang laut. Asam alginat tidak larut dalam air tetapi beberapa garamnya larut dan asam alginat ini mudah membentuk garam karena adanya gugus karboksil yang bebas. Bahan cetak alginat mengandung garam laut dalam air yaitu sodium alginate, potassium alginate dan triethanolamine alginate. Asam alginat adalah polimer linier dari garam sodium dari anhydro-β-d-mannuronic acid yang mempunyai berat molekul yang tinggi. Bahan cetak alginat mengandung banyak cairan, hal ini sangat mempengaruhi sifat sineresis dan imbibisi bahan. Apabila hasil cetakan direndam dalam air, akan terjadi penyerapan air dan cetakan jadi mengembang, peristiwa ini disebut dengan imbibisi. Sebaliknya bila hasil cetakan dibiarkan di udara terbuka, maka cairan dalam alginat akan menguap sehingga hasil cetakan mengerut yang disebut sebagai peristiwa sineresis.7 Imbery dkk (2010) mengatakan bahwa sineresis adalah hasil dari penyusunan kembali rantai silang polimer alginat untuk konfigurasi yang lebih stabil, sehingga terjadi pengeluaran air.15 Bahan cetak alginat mengandung natrium atau kalium alginat. Pada natrium atau kalium alginat, kation terikat pada kelompok karboksil untuk membentuk garam. Bila garam tidak larut dibentuk melalui reaksi natrium alginat dalam larutan dengan garam kalsium, ion kalsium akan menggantikan ion natrium dalam 2 molekul berdekatan untuk membentuk ikatan silang antara 2 molekul. Dengan berkembangnya reaksi, ikatan silang kompleks molekuler atau network polimer akan terbentuk.16 Muzaffar dkk (2011) mengemukakan bahwa perubahan bahan cetak alginat terjadi setelah bahan cetak direndam desinfektan. Mereka menyimpulkan bahwa adanya penyerapan pada bahan cetak alginat sehingga menyebabkan terjadinya ekspansi, dimana pada alginat terdapat ion-ion seperti Na, SO42-, PO43- sebagai potensial osmotik.17 Saito dkk (1998) juga mengatakan bahwa tekanan osmotik antara gel alginat dan larutan perendaman menyebabkan alginat mengalami ekspansi (mengembang) ketika direndam dengan larutan desinfektan.18
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 74 - 78 Infusa daun sirih merah 50% yang mempunyai efek antibakteri digunakan sebagai desinfektan. Penggunaan sodium hipoklorit dan infusa daun sirih merah sebagai desinfektan pada cetakan alginat akan menyebabkan hasil cetakan berkontak dengan cairan sehingga dapat berpengaruh pada stabilitas dimensi hasil cetakan alginat. Desinfektan infusa daun sirih merah 50% dapat diberikan pada hasil cetakan alginat dengan cara direndam maupun disemprot. Pada teknik perendaman, cetakan alginat terendam semua dalam cairan desinfektan, sehingga cairan desinfektan banyak yang diabsorbsi. Adanya anyamananyaman pada alginat akan menahan cairan yang terabsorbsi, sehingga terjadi imbibisi dan menyebabkan perubahan dimensi.19 Sedangkan, pada teknik penyemprotan, cairan yang diabsrobsi lebih sedikit. Imbibisi yang terjadi juga lebih sedikit sehingga perubahan dimensi cetakan alginat lebih kecil.16 Penelitian mengenai teknik penyemprotan pada bahan disinfektan, menunjukkan aktivitas antimikroba yang sama dengan teknik perendaman, namun tidak terlalu mempengaruhi stabilitas dimensi dari cetakan alginat.20 Novitasari dkk (2013) penggunaan kavikol sebagai desinfektan dalam infusa daun sirih 25% tidak berpengaruh terhadap ikatan kalsium alginat, sehingga kavikol tidak mempengaruhi dimensi alginat. Pengaruh cairan disinfektan terhadap dimensi cetakan alginat dapat dilihat dengan jelas, karena alginat memiliki sifat imbibisi. Sifat imbibisi tersebut erat kaitannya dengan lama waktu perendaman cetakan alginat saat proses desinfeksi. Kavikol mempunyai khasiat bakterisid lima kali lebih kuat dari pada fenol biasa.20 Dalam hal komposisi larutan desinfektan kandungan fenol dalam larutan desinfektan tersebut dapat menguap sehingga berpengaruh terhadap zat antiseptik ini. Ketika dilakukan desinfeksi cairan desinfektan tersebut menguap sehingga tidak mempengaruhi ikatan kalsium alginat dan tidak terjadi absorbsi cairan oleh alginat. Temperatur ruangan tempat penelitian yang tidak mampu dikendalikan ketika melakukan pencetakan dan desinfeksi juga mungkin menyebabkan perubahan larutan desinfektan yang digunakan.14 Sodium hipoklorit dapat mengurangi waktu gelasi yang dapat bereaksi dengan sodium fosfat dan meminimalkan ketersediaannya untuk melawan ion kalsium. Sediaan sodium fosfat untuk bereaksi dengan ion kalsium berkurang sehingga tidak dapat melakukan ikatan silang alginat dan kemampuan alginat menyerap air berkurang. Hal ini mungkin yang mengakibatkan kurang terjadinya perubahan stabilitas dimensi pada cetakan. Pengaruh desinfektan terhadap bahan cetak pada dasarnya tergantung dari jenis dan konsentrasi desinfektan tersebut.21 Perubahan dimensi terjadi disebabkan struktur alginat yang berbentuk serat dengan air yang
78
Parimata : Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Alginat mengisi ruangan kapiler tersebut. Jika terjadi hanya sedikit perubahan dimensi tampaknya berkaitan dengan lamanya waktu penyimpanan dan penyemprotan yang relatif singkat. Kesalahan yang bersifat random juga dapat menjadi penyebabnya perubahan stabilitas dimensi, misalnya rasio bubuk dan air tidak tepat, alginat yang tidak terdukung alat cetak, besarnya tekanan selama pencetakan, arah tekanan selama pencetakan atau gerakan melepas alginat dari cetakannya yang tidak tepat. Selain itu metode desinfeksi dan kelembaban bahan cetak juga ikut berpengaruh.15 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada cetakan alginat yang dilakukan penyemprotan infusa daun sirih merah 50%, penyemprotan sodium hipoklorit 0,5% & tanpa penyemprotan desinfeksi yang masing-masing disimpan selama 5 dan 10 menit. Dapat disimpulkan bahwa pemakaian desinfektan yang disemprot pada bahan cetak alginat selain mampu mencegah terjadinya infeksi silang. Bahan ini juga stabil terhadap bahan cetak sehingga dapat menjadi salah satu alternatif pilihan untuk desinfeksi bahan cetak yang digunakan.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. 8.
Gunadi HA, Margo A, Burhan LK, Suryatenggara F, Setiabudi I. Buku ajar ilmu geligi tiruan sebagian lepasan. Jilid I. Jakarta: Hipokrates; 1995. p. 52-77. Powers JM, Sakaguchi RL. Restorative dental materials. 12th Ed. London: Elsevier; 2007. p. 271-275. Nallaswamy D. Textbook of prosthodontics. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2003. p. 293-420. Bhat VS, Shetty MS, Shenoy KK. Infection control in the prosthodontic laboratory. The Journal of Indian Prosthodontic Society. 2007; 7(2); 62-5. Qamruddin I, Siddiqui AZ, Butt S. Disinfection of dental impressions: a survey of private practices and dental universities in Karachi. Journal of The Pakistan Dental Association. 2011; 20(1):19-22. Rad FH, Ghaffari T, Safavi SH. In vitro evaluation of dimensional stability of alginate impressions after disinfection by spray and immersion methods. Journal of Dental Research, Dental Clinics, Dental Prospects. 2010; 4(4): 130-5. Noort VR. Introduction to dental material. 3rd ed. London: Elsevier; 2007. p.186-207. Mehdipour O, Kleir DJ, Averbach RE. Anatomy of sodium hypochlorite accidents. Compendium of Continuing Education in Dentistry. 2007; 28(10): 1-9.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Werdhany IW, Marton A, Setyorini W. Sirih merah. Yogyakarta: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian; 2008. p. 2. Parwata OA, Rita WS, Yoga R. Isolasi dan uji antiradikal bebas minyak atsiri pada daun sirih (Piper betle Linn) secara spektroskopi ultra violet-tampak. Jurnal Kimia. 2009; 3(1): 7-13. Juliantina F, Citra MDA, Nirwani B, Nurmasitoh T, Bowo ET. Manfaat sirih merah (Piper crocatum) sebagai agen anti bakterial terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia. 2009; 1(1): 532-543. Saraswati RS. Daya antibakteri infusa daun sirih merah (Piper crocatum) terhadap bakteri Enterococcus faecalis (penelitian eksperimental laboratoris). Skripsi. Surabaya: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga; 2012. Paramita AL. Efek air rebusan (dekok) daun sirih (Piper crocatum Ruiz & Pav) terhadap pertumbuhan Candida albicans. Tesis. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang; 2010. Affandi A. Stabilitas dimensi hasil cetakan dari bahan cetak elastomer setelah direndam kedalam larutan daun sirih 25%. Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara; 2009. p. 24. Imbery TA, Nehring J, Janus C, Moon PC. Accuracy and dimensional stability of extended-pour and conventional alginate impression material. Journal of the American Dental Association. 2010; 141(1): 32-9. Anusavice KJ. Phillip’s buku ajar ilmu bahan kedokteran gigi. Edisi Ke-10. Jakarta: EGC; 2004. p. 94-118. Muzaffar D, Ahsan SH, Afaq A. Dimensional changes in alginate impression during immersion in a disinfectant solution. Journal of the Pakistan Medical Association. 2011; 61: 756-59. Saito S, Ichimaru T, Araki Y. Factors affecting dimensional instability of alginate impression during immersion in the fixing and disinfectant solutions. J Dent Material. 1998; 4: 294-300. Craig RG and Power JM. Restorative Dental Material. 11th ed. St. Louis: CV Mosby Co; 2002. p. 281. Novitasari RDA, Meizarini A, Soekartono RH. Teknik disinfeksi cetakan alginat dengan infusa daun sirih 25% terhadap perubahan dimensi. Material Dental Journal. 2013; 4(1): 33-38. Amalan A, Ginjupalli K, Upadhya PN. Evaluation Of properties of irreversible hydrocolloid impression materials mixed with disinfectant liquids. Dental Research Journal. 2013; 10(1): 65-73.
79
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian INDEKS KEBERSIHAN RONGGA MULUT PADA ANAK RETARDASI MENTAL Tinjauan pada Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan Banjarmasin
Nadya Nuryati Azzahra, Siti Wasilah, Didit Aspriyanto Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin ABSTRACT Background: Mental retardation is a term commonly used when the intellectual development of individuals who are significantly lower than average and resulted in limited adaptability to the environment which causes health problems. Children with mental retardation because of limitations can not maintain good oral hygiene. Mentally retarded population has a higher prevalence in terms of poor oral hygiene. Purpose: This study aims to determine the index of oral hygiene in children with mental retardation in SDLB C Dharma Wanita Persatuan South Kalimantan in general, by gender, and by age level. Methods: This study used descriptive observational cross-sectional approach. Research data collection techniques used OHI-S index. Examination of debris and calculus were performed on certain teeth and on certain surfaces of the teeth which include dental examinations at the upper and lower jaw. After that, debris scores and calculus scores were summed to obtain a score of OHIS. Results: The results showed that the index of oral hygiene in children with mental retardation in SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan in general was moderate (66.7%). By sex: men were good (57%) and women were moderate (76%). Based on the age level: 811 years age group were moderate (85.7%) and 12-15 years age group were good (50%). Conclusion: It was concluded that the index of oral hygiene in children with mental retardation in SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan in general was moderate. Keywords: children with mental retardation, oral hygiene index ABSTRAK Latar belakang: Retardasi mental adalah istilah umum yang digunakan ketika perkembangan intelektual individu yang secara signifikan lebih rendah dari rata-rata dan mengakibatkan terbatasnya kemampuan adaptasi dengan lingkungan yang dapat menyebabkan masalah kesehatan. Anak retardasi mental karena keterbatasannya tidak dapat mempertahankan kebersihan mulutnya dengan baik. Populasi retardasi mental memiliki prevalensi yang lebih tinggi dalam hal oral hygiene yang buruk. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui indeks kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan secara umum, berdasarkan jenis kelamin, dan berdasarkan tingkat usia. Metode: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasional dengan pendekatan cross sectional. Teknik pengambilan data penelitian menggunakan indeks OHI-S. Pemeriksaan debris dan kalkulus dilakukan pada gigi tertentu dan pada permukaan tertentu dari gigi yang meliputi pemeriksaan gigi pada rahang atas dan bawah. Setelah itu skor debris dan skor kalkulus dijumlahkan untuk mendapatkan skor OHIS. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan secara umum adalah sedang (66,7%). Berdasarkan jenis kelamin : laki-laki adalah baik (57%) dan perempuan adalah sedang (76%). Berdasarkan tingkat usia : kelompok usia 8-11 tahun adalah sedang (85,7%) dan kelompok usia 12-15 tahun adalah baik (50%). Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa indeks kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan secara umum adalah sedang. Kata Kunci: anak retardasi mental, indeks kebersihan rongga mulut
80
Azzahra : Indeks Kebersihan Rongga Mulut
Korespondensi: Nadya Nuryati Azzahra, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B Banjarmasin, Kalimantan Selatan, email:
[email protected]
PENDAHULUAN Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang beresiko tinggi atau mempunyai kondisi kronis secara fisik, perkembangan, perilaku, atau emosi. Data dari Bank Dunia menunjukkan populasi anak berkebutuhan khusus di seluruh dunia mencapai 10%. Diperkirakan 85% anak berkebutuhan khusus di seluruh dunia yang berusia di bawah 15 tahun terdapat di negara berkembang. Lebih dari dua pertiga populasi tersebut terdapat di Asia. 1,2 Salah satu contoh kategori anak berkebutuhan khusus adalah anak tunagrahita atau anak yang mengalami retardasi mental yang memiliki intelegensi signifikan berada di bawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Retardasi mental adalah istilah umum yang digunakan ketika perkembangan intelektual individu yang secara signifikan lebih rendah dari rata-rata dan mengakibatkan terbatasnya kemampuan adaptasi dengan lingkungan. Populasi retardasi mental memiliki prevalensi yang lebih tinggi dalam hal oral hygiene yang buruk. 2,3,4 Anak retardasi mental karena keterbatasannya tidak dapat mempertahankan kebersihan mulutnya dengan baik. Buruknya kebersihan mulut dan tingginya prevalensi penyakit periodontal dan karies gigi merupakan ciri-ciri umum yang dapat ditemukan pada penderita retardasi mental. Kesehatan gigi anak retardasi mental sangat penting karena anak retardasi mental biasanya memiliki keterkaitan dengan masalah medis selain dari kondisi utama mereka, dan masalah gigi atau rongga mulut yang dapat membahayakan kesehatan umum mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui indeks kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa C Dharma Wanita Persatuan Provinsii Kalimantan Selatan Banjarmasin secara umum, berdasarkan tingkat usia, dan berdasarkan jenis kelamin. 4,5
Setelah tindakan informed consent, dilakukan pengukuran indeks OHIS pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan Banjarmasin, sehingga diperoleh data primer dari hasil pemeriksaan. Teknik pengukuran OHIS (Simplified Oral Hygiene Index) yang digunakan adalah OHIS menurut Greene and Vermillion. Data yang didapatkan kemudian dideskripsikan menggunakan tabel dan diagram. HASIL PENELITIAN 4,200%
Baik
Sedang
29,100%
Buruk
66,700%
Gambar 1.
Diagram Lingkaran Indeks Kebersihan Rongga Mulut pada Anak Retardasi Mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan Secara Umum
Berdasarkan Gambar 1 indeks kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan secara umum adalah baik (29,1%), sedang (66,7%), dan buruk (4,2%). 0% Baik
Sedang
43% 57%
Buruk
BAHAN DAN METODE Metode penelitian ini adalah metode deskriptif observasional dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan Banjarmasin pada bulan April – Oktober 2013. Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%. Alat yang digunakan adalah lembar pemeriksaan OHIS, kaca mulut, sonde halfmoon, nier bekken, kapas, handscoon, dan masker.
Gambar 2.
Diagram Lingkaran Indeks Kebersihan Rongga Mulut pada Anak Retardasi Mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan Berdasarkan Jenis Kelamin (Laki-laki)
81
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 79 - 82 tahun adalah baik (14,3%), sedang (85,7%), dan buruk (0%) serta kelompok usia 12-15 tahun adalah baik (50%), sedang (40%), dan buruk (10%).
6% 18%
Baik Sedang Buruk
76%
Gambar 3.
Diagram Lingkaran Indeks Kebersihan Rongga Mulut pada Anak Retardasi Mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan Berdasarkan Jenis Kelamin (Perempuan)
Berdasarkan Gambar 2 dan Gambar 3 indeks kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan jenis kelamin : laki-laki adalah baik (57%), sedang (43%), dan buruk (0%) serta anak perempuan adalah baik (6%), sedang (76%), dan buruk (18%). 0%
14,300%
Baik Sedang Buruk
85,700%
Gambar 4.
Diagram Lingkaran Indeks Kebersihan Rongga Mulut pada Anak Retardasi Mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan Berdasarkan Tingkat Usia (8-11 Tahun)
10%
50% 40%
Gambar 5.
Baik Sedang Buruk
Diagram Lingkaran Indeks Kebersihan Rongga Mulut pada Anak Retardasi Mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan Berdasarkan Tingkat Usia (12-15 Tahun)
Berdasarkan Gambar 4 dan Gambar 5 diketahui bahwa indeks kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan tingkat usia : kelompok usia 8-11
PEMBAHASAN Rata-rata indeks debris anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan termasuk dalam kategori sedang. Indeks debris yang cukup tinggi ini disebabkan oleh kurang aktifnya otot mulut pada anak retardasi mental untuk mendapatkan pembersihan secara alamiah pada gigi. Kecepatan pembersihan sisa makanan atau debris akan dipengaruhi oleh aksi mekanis dari otot lidah, pipi, dan bibir. Indeks debris pada anak retardasi mental cukup tinggi. Indeks kalkulus pada anak retardasi mental cenderung lebih rendah daripada indeks debris, yaitu rata-rata termasuk dalam kategori baik-sedang. Hal ini disebabkan kalkulus jarang ditemukan pada gigi susu dan tidak sering ditemukan pada gigi permanen anak usia muda, karena itu akumulasi kalkulus hampir jarang ditemukan pada anak retardasi mental. 6,7 Indeks kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental berdasarkan jenis kelamin diduga berkaitan dengan faktor hormonal. Anak perempuan lebih cepat mengalami pendewasaan dan sering mengalami gangguan kesetimbangan hormonal sehingga mudah mengalami gangguan emosional, stress, dan sering mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung gula di antara jam makan. Makanan dan minuman mengandung gula yang lengket akan mempermudah perlekatan debris atau sisa makanan. 8,9 Indeks kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental berdasarkan tingkat usia diduga berhubungan dengan teori kognitif menurut Piaget. Menurut teori Piaget (1952) perkembangan kognitif anak terjadi dalam empat tahapan. Masing-masing tahap berhubungan dengan usia dan tersusun dari jalan pikiran yang berbeda-beda. Tahapan Piaget itu adalah fase sensorimotor, pra-operasional, operasional konkret, dan operasional formal. Kelompok anak usia 8-11 tahun termasuk dalam tahapan operasional konkret. Pada tahapan operasional konkret, anak sudah mulai bisa menalar secara logis tentang kejadian-kejadian nyata dan mampu mengklasifikasikan suatu objek ke dalam kelompok yang berbeda-beda. Kemampuan menggolong-golongkan sudah ada, tetapi si anak belum bisa memecahkan problem-problem secara abstrak. Kelompok anak usia 12-15 tahun termasuk dalam tahapan operasional formal. Pada tahapan operasional formal, anak remaja berpikir secara lebih abstrak, idealistis, dan logis. Jadi dari segi kognitif, anak usia 8-15 tahun sebenarnya sudah mampu memahami dan bernalar tentang kebersihan rongga mulut, misalnya seperti menggolongkan menyikat gigi dua kali dalam sehari tetapi masih
82
Azzahra : Indeks Kebersihan Rongga Mulut tidak bisa memecahkannya atau melakukannya secara ideal. Pedoman level kebersihan rongga mulut dengan faktor usia yang biasa digunakan pada anak normal tidak dapat disamakan dengan anak retardasi mental. Pada anak normal usia mentalnya sama atau lebih tinggi dari usia kronologisnya. Pada anak retardasi mental, usia mentalnya akan lebih rendah dari usia kronologisnya dan ini akan mempengaruhi perkembangan kemampuan kognitif dan psikomotorik terutama dalam hal menjaga kebersihan rongga mulut. 9,10 Berdasarkan teori Blum, status kebersihan rongga mulut seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor penting yaitu keturunan, lingkungan (fisik maupun sosial budaya), perilaku, dan pelayanan kesehatan. Dari keempat faktor tersebut, perilaku memegang peranan yang penting dalam mempengaruhi status kebersihan rongga mulut secara langsung. Berkaitan dengan teori di atas, maka frekuensi menyikat gigi sebagai bentuk perilaku akan mempengaruhi baik atau buruknya kebersihan rongga mulut. 11 Cara terbaik untuk mengeliminasi debris dan dental plak adalah dengan menyikat gigi dengan sikat gigi manual ataupun sikat gigi elektrik. Frekuensi menyikat gigi yang kurang akan menyebabkan tingginya kemungkinan oral hyigiene yang buruk. Dari hasil formulir penelitian diketahui bahwa rata-rata anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan menyikat gigi sebanyak 2 kali dalam sehari sehingga indeks kebersihan rongga mulutnya tidak buruk. Hal ini sudah sesuai dengan rekomendasi penyikatan gigi yang optimal yaitu 2 kali dalam sehari. 12,13 Peranan orang tua juga sangat mempengaruhi dan diperlukan dalam menjaga kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental. Dari hasil formulir penelitian diketahui bahwa rata-rata orang tua anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita mengajarkan dan mendampingi saat anak menyikat gigi. Orang tua harus menanamkan kedisiplinan dalam menjaga dan membersihkan rongga mulut mengingat adanya keterbatasan dari segi kognitif maupun psikomotorik pada anak retardasi mental. 8,14 Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa indeks kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan secara umum adalah sedang. Berdasarkan jenis kelamin, indeks kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental adalah baik untuk jenis kelamin laki-laki dan sedang untuk jenis kelamin perempuan. Berdasarkan tingkat usia, indeks kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental adalah sedang untuk tingkat usia 8-11 tahun dan baik untuk kelompok usia 12-15 tahun.
DAFTAR PUSTAKA 1. Chamidah AN. Pendidikan inklusif untuk anak dengan kebutuhan khusus. Jurnal Pendidikan Khusus 2010; 7 (2): 1-5. 2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman untuk tenaga kesehatan : Usaha kesehatan sekolah di tingkat sekolah lanjutan. Jakarta, 2001. 3. McDonald RE, Avery DR, Dean JA. Dentistry for the child and adolescent. 8th Edition. Missouri: Mosby Elsevier, 2004. hal. 540. 4. Salim SA. Retardasi mental, hubungannya dengan praktek kedokteran gigi anak. Skripsi. Indonesia. Medan. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. 2006. 5. Al-Qahtani Z, Wyne AH. Caries experience and oral hygiene status of blind, deaf, and mentally retarded female children in Riyadh, Saudi Arabia. Odonto-Stomatologie Tropicale. Saudi Med Journal 2004; 23 (3): 77-81. 6. Maulani C, Enterprise J. Kiat merawat gigi anak : Panduan orang tua dalam merawat dan menjaga kesehatan gigi bagi anak-anaknya. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2005. hal. 59-60. 7. Putri MH, Herijulianti E, Nurjannah N. Ilmu pencegahan penyakit jaringan keras dan jaringan pendukung gigi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010. hal. 91-97. 8. Angela A. Pencegahan primer pada anak yang berisiko karies tinggi. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.) 2005; 38 (3): 130-134. 9. Dewi SRP. Keadaan oral hygiene pada anak cacat mental berdasarkan tingkat IQ. Skripsi. Indonesia. Medan. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. 2003 10. Santrock JW. Psikologi pendidikan. Edisi 2. Jakarta: Kencana, 2007. hal: 46-56. 11. Anitasari S, Rahayu NE. Hubungan frekuensi menyikat gigi dengan tingkat kebersihan gigi dan mulut siswa sekolah dasar negeri di kecamatan Palaran kotamdya Samarinda provinsi Kalimantan Timur. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.) 2005; 38 (2): 88-90. 12. Jain M, Mathur A, Sawla L, et al. Oral health status of mentally disabled subjects in India. Journal of Oral Sciences 2009; 51 (3): 333-340. 13. Rodelo JJV, Solis CEM, Maupome G, Sanchez AAV, Rojo LL, Viedas MVPL. Socioeconomic and sociodemographic variables associated with oral hygiene status in mexican schoolchildren aged 6 to 12 years. J Periodontal 2007; 78 (5): 819. 14. Anggraeni A, Soelarso H, Martina L. Research Report : Peran orang tua/pengasuh terhadap prevalensi karies molar pertama rahang bawah permanen pada anak-anak retardasi mental. Dental Public Health Journal 2010; 2 (2):
83
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian STABILITAS DIMENSI HASIL CETAKAN BAHAN CETAK ELASTOMER SETELAH DISEMPROT MENGGUNAKAN SODIUM HIPOKLORIT
Tommy Agustinus Ongo, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
ABSTRACT Background: Elastomers often used to make impression. Impression procedures, making blood and salivary attached to the impression, and could occur cross infection. Disinfect by spraying sodium hypochlorite 0,5% effectively killed microorganisms. Purpose: The purpose of this research was to determine dimension stability changes that occur on a mold impression elastomer materials after sprayed using sodium hypochlorite 0,5% and mold impression elastomer without sprayed Methods: The method was an pure experimental study with post test only with control group design, with simple random sampling consisted of 6 groups of treatment, 3 groups impression group elastomer were not sprayed for 5, 10, and 15 minutes as a positive control and impression sprayed with sodium hypochlorite 0,5% after it left for 5, 10, and 15 minutes before cast filled with gips stone. The obtain data were analyzed with one way anova test. Results: The results showed that dimensional stability of each sample measured using digital caliper. Averaged diameter not sprayed 5 minute 45,93 mm, 10 minute 45,92 mm and 15 minute 45,92 mm while diameter sprayed sodium hypochlirte 0,5% 5 minute 46,18 mm, 10 minute 46,31 mm and 15 minutes 46,12 mm Conclusion: The conclusion from this research showed significantly differences between dimension stability of the mold not sprayed and sprayed sodium hypochlorite 0,5%. Keywords: Dimension stability, elastomer, sodium hypoclorite, spray disinfect ABSTRAK Latar belakang: Elastomer merupakan bahan yang sering digunakan untuk pencetakan. prosedur pencetakan ketika dilakukan, darah dan saliva menempel pada hasil cetakan. Melalui bahan cetak tersebut dapat terjadi infeksi silang. Desinfeksi dengan penyemprotan sodium hypochlorite 0,5% efektif membunuh bakteri Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui mengetahui perubahan stabilitas dimensi yang terjadi pada hasil cetakan bahan cetak elastomer setelah disemprot larutan sodium hypochlorite 0,5% dan hasil cetakan elastomer tanpa penyemprotan. Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian post test only with control group design, menggunakan rancangan acak sederhana, terdiri dari 6 kelompok perlakuan, yaitu 3 kelompok hasil cetakan elastomer tidak disemprot dengan waktu 5, 10, dan 15 menit sebagai kontrol positif dan hasil cetakan yang disemprot sodium hypochlorite 0,5% setelah itu dibiarkan selama 5, 10, dan 15 menit sebelum diisi gips stone. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji one way anova. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan rata-rata ukuran diameter tidak disemprot 5 menit 45,93 mm, 10 menit 45,92 mm dan 15 menit 45,92 sedangkan yang di semprot sodium hypochlorite 0,5% 5 menit 46,15 mm, 10 menit 46,31 mm dan 15 menit 46,12 mm. Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara stabilitas dimensi cetakan tidak disemprot dan disemprot sodium hypochlorite 0,5%. Kata kunci: Stabilitas dimensi, elastomer, sodium hypoclorite, desinfeksi semprot Korespondensi: Tommy Agustinus Ongo, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, email:
[email protected]
Ongo : Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Bahan Cetak Elastomer PENDAHULUAN Bahan cetak elastomer merupakan bahan yang sering digunakan di kedokteran gigi untuk membuat cetakan yang akurat dan mampu menghasilkan cetakan gigi, jaringan mulut serta anatomi mulut yang diinginkan serta memiliki dimensi yang stabil. 1 Elastomer adalah bahan cetak yang bersifat elastis yang apabila digunakan dan dikeluarkan dari rongga mulut, akan tetap bersifat elastis dan fleksibel. Bahan ini diklasifikasikan sebagai nonaqueous elastomeric impression material oleh ANSI/ADA spesifikasi No. 19. Biasanya digunakan untuk mencetak pembuatan gigi tiruan sebagian lepasan, immediet denture, dan crown, serta full denture yang diperlukan cetakan yang akurat dan detail.8 Pada saat prosedur pengambilan cetakan dilakukan, darah dan saliva akan menempel pada hasil cetakan hal ini memungkinkan terdapat berbagai mikroorganisme patogen dari rongga mulut. Dokter gigi, asisten, dan laboran beresiko untuk mengalami transmisi mikroorganisme patogen tersebut yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit infeksi. Berdasarkan anjuran ADA (American Dental Association), membersihkan darah dan saliva dari hasil cetakan menggunakan larutan desinfektan sebelum dilakukan pengisian gips di laboratorium sangatlah penting. Infeksi penyakit seperti herpes, hepatitis, Tuberculosis (TBC), Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) dan lain-lain dapat menular melalui bahan cetak. Cetakan harus dicuci dengan air untuk menghapus debris, darah, dan saliva karena berpotensi untuk infeksi dan penularan mikroorganisme dari cetakan, sehingga harus dilakukan desinfektan dengan cara yang sesuai. 1, 2 Desinfeksi dapat dilakukan dengan tindakan fisik atau kimia. Tindakan fisik seperti dry heat pada suhu 160° sampai 180°C selama 2 jam dan wet steam pada suhu 121°C selama 15 menit (autoclaving) dapat mengakibatkan kenaikan suhu yang dapat menyebabkan kerusakan dalam cetakan. Bahan cetak didesinfeksi menggunakan bahan kimiawi sangat dianjurkan. Bahan kimiawi yang paling sering digunakan adalah glutaraldehyde, alkohol, solusi yodium, fenol sintetis, dan sodium hypochlorite. Proses desinfeksi harus tepat, tetapi tidak memilik efek yang merugikan untuk kestabilan dimensi atau detail permukaan dari hasil cetakan.3,4 Desinfeksi cetakan efektif dalam mengurangi kemungkinan kontaminasi silang, pelaksanaan desinfeksi cetakan di klinik gigi saat ini tidaklah selalu dilakukan. Beberapa alasan jarangnya dilakukan penyemprotan dan perendaman bahan cetak dengan desinfektan karena dapat menyebabkan hilangnya permukaan detail dan akurasi dimensi cetakan, sebagian besar desinfektan dapat menyebabkan iritasi pada kulit, Racun dari
84
desinfektan juga dapat mengakibatkan korosi dari sendok cetak logam. 5 Pertimbangan yang harus tetap diperhatikan dalam memilih teknik desinfeksi bahan cetak yang akan dilakukan adalah pengaruh larutan desinfektan terhadap stabilitas dimensi dan detail permukaan bahan cetak, serta efek mematikan bakteri dan mengurangi jumlah pertumbuhan bakteri. Lamanya desinfeksi pada bahan cetak juga hal yang berpengaruh pada saat dilakukan desinfeksi. Hal ini menjadi pertimbangan para dokter gigi dalam melakukan desinfeksi agar hasil cetakan yang dihasilkan dapat memiliki tingkat keakuratan yang tinggi.13 Cara efektif untuk mendesinfeksi bahan cetakan tersebut adalah menggunakan larutan desinfeksi selama 10-15 menit. Desinfeksi hasil cetakan dapat dilakukan dengan menggunakan penyemprotan atau perendaman. Teknik penyemprotan dianggap sebagai metode yang efektif untuk mengurangi terjadinya resiko imbibisi pada cetakan dibandingkan dengan metode perendaman. Menurut penelitian Cintia Iara (2011) terdapat perubahan dimensi signifkan ketika menggunakan metode perendaman dalam melakukan desinfeksi bahan cetak elastomer. Berdasarkan aplikasi praktisnya, desinfeksi dengan teknik penyemprotan dengan menggunakan sprayer merupakan metode yang paling efektif dan praktis. 4, 6, 8 Penyemprotan menggunakan sodium hypochlorite 0,5% terbukti efektif untuk mencegah infeksi silang yang disebabkan bakteri gram positif dan negatif. Berdasarkan penelitian dari Santosh (2011) dalam waktu 1 menit penyemprotan sodium hypochlorite terjadi penurunan jumlah bakteri 100% pada bakteri jenis S. aureus and S. viridans yang terdapat pada cetakan yang dihitung dengan colony counter desinfeksi menggunakan glutaraldehyde 2% juga menunjukan penurunan jumlah bakteri 100% tetapi glutaraldehyde mempunyai bau yang tidak enak dan dapat mengakibatkan iritasi terhadap kulit, sodium hypoclorite mudah didapat dibandingkan larutan desinfektan yang lain serta memiliki efek desinfektan bakterisidal, virusidal dan fungisdal.3 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya perubahan stabilitas dimensi yang terjadi pada hasil cetakan bahan cetak elastomer jenis silicon setelah disemprot larutan sodium hypochlorite 0,5% dengan hasil cetakan elastomer jenis silicon yang segera diisi dengan gips stone. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan jenis penelitian penelitian eksperimental murni dengan post test only design dengan rancangan acak lengkap menggunakan 6 perlakuan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan cetak elastomer (exaflex-hidrophilic
85
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 83 - 88
vinyl polysiloxane), air, gips stone, dan larutan sodium hypochlorite 0,5%. Alat penelitian yang digunakan adalah master die (sesuai spesifikasi ADA no. 19), rubber bowl dan spatula, glass plate, spatula semen, kaliper digital, alat penyemprot, sarung tangan, dan alat tulis. Pertama yang dilakukan adalah menyediakan die sebagai model untuk dicetak, bahan cetak elastomer, larutan desinfektan sodium hypochlorite 0,5%. Bahan cetak diletakan pada glass plate dengan rasio 1:1 base dan katalisnya. Pengadukan dilakukan dengan gerakan memutar terlebih dahulu menggunakan spatula semen. lanjutkan pengadukan dilakukan dengan gerakan melipat sampai warnanya menjadi homogen. bahan cetak diletakan pada ring tube kemudian dilakukan pencetakan pada master die sebagai model. Setelah bahan cetak setting di bagi menjadi 2 kelompok, disemprot dan tidak disemprot. Kelompok yang tidak di semprot langsung dilakukan pengisian gips stone sedangkan yang disemprot dlakukan penyemprotan sodium hypochlorite 0,5% terlebih dahulu kemudian dibiarkan selama 5, 10 dan 15 menit sebelum diisi gips stone. Pengukuran dialakukan pada model die hasil pencetakan. Analisis data dilakukan secara statistik dengan uji normalitas Shapiro-Wilk dan uji homogenitas varians Levene. dilanjutkan analisis parametrik secara uji statistik ANOVA satu arah dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05).
Gambar 2. Hasil Pengukuran Kelompok 10 Menit
Gambar 3. Hasil Pengukuran Kelompok 15 Menit
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian stabilitas dimensi hasil cetakan bahan cetak elastomer jenis silicon disemprot larutan sodium hypochlorite 0,5% dengan hasil cetakan elastomer jenis silicon tidak disemprot terlihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.
Gambar 1. Hasil Pengukuran Kelompok 5 Menit
Hasil Selisih Pengukuran Antara Cetakan yang Tidak Disemprot dan Cetakan yang Disemprot Mengunakan Sodium Hypochlorite 0,5%
Keempat diagram menunjukan adanya variasi diameter pada die pada perlakuan yang ada. Rata– rata perubahan diameter die pada cetakan yang tidak disemprot waktu 5 menit 45,93 mm, diameter rata-rata ± SD (45,93 ± 0,03464), perubahan diameter die pada cetakan yang tidak disemprot waktu 10 menit 45,92 mm diameter rata-rata ± SD (45,92 ± 0, 02683), perubahan diameter die pada cetakan yang tidak disemprot waktu 15 menit 45,92 mm diameter rata-rata ± SD (45,92 ± 0, 02345). Perubahan diameter die yang terjadi pada 5 menit penyemprotan 46,15 mm diameter rata-rata ± SD
Ongo : Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Bahan Cetak Elastomer (46,18 ± 0,08295), perubahan diameter die pada 10 menit penyemprotan 46,31 mm diameter rata-rata ± SD (46,32 ± 0, 11675) dan penyemprotan diameter die pada 15 menit penyemprotan 46,12 mm diameter rata-rata ± SD (46,32 ± 0, 04278). Hasil selisih antara cetakan yang disemprot dan tidak disemprot menunjukan nilai rata-rata untuk kelompok 5 menit 0,2686 mm diameter rata-rata ± SD (0,2680 ± 0,09910) ,kelompok 10 menit 0,3860 mm diameter rata-rata ± SD (0,3860 ± 0,11238) dan kelompok 15 menit 0,2020 mm diameter rata-rata ± SD (0,2020 ± 0,5805). Pengujian normalitas Shapiro-wilk dan homogenitas varians Levene’s test. Hasil uji normalitas Shapiro-wilk (n < 50) diperoleh nilai p untuk ke 3 varian waktu 5 menit 0,542, 10 menit 0,069 dan 15 menit 0,256 menunjukan bahwa data terdistribusi normal karena nilai p > 0,05. Hasil uji homogenitas varians Levene menunjukkan varians data yang homogen dengan nilai p = 0,613 (p > 0,05) menunjukan data homogen. Hasil uji One way anova diperoleh nilai p = 0,026 (p < 0,05) yang berarti H1 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada cetakan yang tidak disemprot dan disemprot menggunakan sodium hypochlorite dengan waktu 5, 10 dan 15 menit. Hal ini artinya bahwa penyemprotan sodium hypochlorite terhadap hasil cetakan elastomer menyebabkan terjadinya perubahan stabilitas dimensi hasil cetakan. PEMBAHASAN Pertimbangan yang harus tetap diperhatikan dalam memilih teknik desinfeksi bahan cetak yang akan dilakukan adalah pengaruh larutan desinfektan terhadap stabilitas dimensi dan detail permukaan bahan cetak, serta efek mematikan bakteri. Lamanya desinfeksi pada bahan cetak juga hal yang berpengaruh pada saat dilakukan desinfeksi. Hal ini menjadi pertimbangan para dokter gigi dalam melakukan desinfeksi agar hasil cetakan yang dihasilkan dapat memiliki tingkat keakuratan yang tinggi.14 Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat dibuktikan bahwa terdapat perubahan dimensi yang cukup besar pada penyemprotan bahan cetak elastomer menggunakan larutan desinfektan pada varian waktu 5 dan 10 menit dengan rata–rata diameter die 46,18 mm dan 46,31 mm..10 Berdasarkan penelitian dari Santosh (2011) dalam waktu 1 menit penyemprotan sodium hypochlorite 0,5% terjadi penurunan jumlah bakteri 100% pada bakteri jenis S. aureus dan S. viridans yang terdapat pada cetakan yang dihitung dengan colony counter.3 Sodium Hypoclorite, merupakan salah satu desinfektan yang tidak terlalu mahal dan selama ini dikenal sebagai pemutih. Menurut The American Dental Association (ADA) penggunaan sodium
86
hypoclorite lebih baik dibandingkan iodophor dan phenols karena tidak merusak permukaan bahan cetak serta lebih efektif untuk menghilangkan bakteri. Sodium hypoclorite mempunyai efek bakterisidal yang efektif terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Kelemahan sodium hypoclorite tidak mampu berkontak dengan baik pada permukaan kulit.13,14 Sodium hypoclorite termasuk golongan halogenated yang oxygenating. Sodium hypoclorite dalam larutan membentuk hypochlorus acid (HOCl) dan oxychloride (OCl). Desinfektan ini adalah larutan yang berbahan dasar klorin (Cl 2). Larutan ini merupakan desinfektan derajat tinggi (high level desinfectants) karena sangat aktif pada semua bakteri, virus, jamur, parasit, dan beberapa spora. Bahan ini bekerja cepat atau fast acting, sangat efektif melawan virus Hepatitis B (HBV) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) (20). Sodium hypoclorite mempunyai efek bakterisidal yang efektif terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Kelemahan sodium hypoclorite tidak mampu berkontak dengan baik pada permukaan kulit.14 Sodium hypoclorite juga digunakan untuk bahan irigasi saluran akar. Pemakaian sodium hypoclorite juga efektif sebagai desinfektan dengan konsentrasi 0,5% untuk merendam gigi tiruan dianjurkan 10 menit setiap hari, walaupun pendapat lainnya menyatakan larutan menyebabkan korosi pada metal. Selain itu menyebabkan perubahan dalam matriks interstitial pada struktur permukaan sehingga terjadi efek pemutihan dan perubahan warna lempeng akrilik.15 Sebuah survei yang dilakukan di Hong Kong menunjukkan bahwa sodium hypoclorite merupakan larutan desinfeksi bahan cetak yang paling banyak digunakan dokter gigi swasta (73%), diikuti oleh Glutaraldehyde (15%), alkohol (8%), hydrogen peroxide (4%), dan selebihnya menggunakan produk bermerk (8%).16 Teknik penyemprotan dianggap sebagai metode yang efektif untuk mengurangi terjadinya resiko imbibisi pada cetakan. Berdasarkan aplikasi praktisnya, desinfeksi dengan teknik penyemprotan dengan menggunakan sprayer merupakan metode yang paling efektif dan praktis bila jarak klinik dokter gigi dengan laboratorium dental cukup jauh.13 Stabilitas dimensi bahan cetak elastomer juga dipengaruhi oleh polimerisasi bahan cetak, reaksi kimia yang terjadi pada bahan cetak, perubahan suhu yang terjadi pada bahan cetak dan elastic recovery yang tidak sempurna dari deformasi, sementara faktor-faktor seperti desinfeksi bahan cetak, waktu pengecoran dan teknik pencetakan mempengaruhi keakuratan cetakan. Menurut penelitian Farida dan Abolfazil salah satu alasan terjadinya perubahan dimensi pada hasil cetakan pada cetakan yang dilakukan desinfeksi terjadi kontraksi ringan pada saat polimerisasi sehingga
87
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 83 - 88
terjadi perubahan volume pada hasil cetakan yang didesinfeksi.1, 9 Semua hal yang mempengaruhi stabilitas diemensi bahan cetak elastomer di atas saling berhubungan satu sama lain, tetapi hal ini hanya terjadi pada condensastion silicone dimana terjadi penguapan alkohol pada hasil cetakan elastomer yang mana etil alkohol merupakan reaksi sampingan dari pengerasan condensation silicone dan berat molekul alkohol lebih tinggi daripada air. Selain itu, alkohol memiliki tekanan uap tinggi sehingga membuat alkohol mudah menguap mempengaruhi konsentrasi campuran pada bahan cetak yang mempengaruhi stabilitas dimensi hasil cetakan.1 Pengecoran dengan stone gips harus segera dilakukan untuk memastikan keakuratan hasil cetakan yang lebih tinggi. Elastic recovery pada bahan cetak elastomer yang tidak sempurna juga mempengaruhi perubahan dimensi sehingga berbeda dengan yang tidak dilakukan desinfeksi.1, 11
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. Gambar
5.5
Reaksi Kimia Selama Condensation Silicone
Pengerasan
Bahan cetak yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis vinyl hydrophilic silicone yang mempunyai sifat wettability yang lebih tinggi dari bahan cetak silikon jenis hidrofobik. Ini menjadikannya lebih mudah untuk berubah dimensi apabila disemprot dengan larutan disinfektan hal ini membuat bahan cetak tersebut menyerap larutan desinfektan karena sifat wettability yang tinggi. Wettability adalah satu sifat pergerakan air didalam bahan silikon itu sendiri yang berguna jika bahan cetak ini digunakan untuk mencetak daerah yang basah dan lembut di dalam rongga mulut.12 Penguapan alkohol dari proses reaksi sampingan dari elastomer jenis condesation silicone ini mempengaruhi konsentrasi campuran bahan cetak. Selain itu dengan adanya proses penyemprotan desinfektan pada bahan cetak vinyl hydrophilic silicone dengan sifat wettability yang tinggi, membuat bahan cetak tersebut menyerap larutan desinfektan sehingga terjadi perubahan stabilitas dimensi pada bahan cetak. Disimpulkan bahwa penyemprotan pada bahan cetak elastomer dengan desinfektan sodium hipoklorit 0,5% berpengaruh terhadap hasil cetakan.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Cintia I, Oda C and Jose AN. Dimensional Change of Elastomeric Materials after Immersion in Disinfectant Solutions for Different Times. Journal Contemp Dent Pract. 2011;12(4): 252-258. Vidya BS, Mallika SS and Kamalakanth SK. Infection Control in the Prosthodontic Laboratory. Journal Indian Prosthodontic. 2001 ; 7(2): 62-5. Rahma PA. Menyelenggarakan Prosedur Kontrol Infeksi Secara Sederhana. Dental & Dental Jurnal. 2010; 2:17 Richard VN. Introduction to Dental Material. 3rd edition. Mosby Elsevier. London. United Kingdom. 2007. p. 196-207. Santosh D, Raghunath AP and Gangadhar SA. Efficacy of Various Spray Disinfectants on Irreversible Hydrocolloid Impression Materials: An in vitro study. Indian Journal Dentistry Res. 2011; 22 : 764-9 Abolfazli N and Kohsoltani M. The Effect Of Disinfection by Spray Atomization on Dimensional Accuray of Consideration Silicone Impressions. Journal Dentiry Res Clinnic Dentistry Prospect. 2010; 4(4): 124129. Jian W, Qianbing W, Yonglie C and Yifan C. A Self-Disinfecting Irreversible Hydrocolloid Impression Material Mixed with Chlorhexidine Solution. Angle Orthodontist. 2007;77;5: 894899. Anusavice KJ. Philip’s Science of Dental Materials. 11th Edition. New York : Elsevier Science. 2003. p. 210-229. Johnson GH, Lloyd AM, Ricardo S, Douglas RV and Xavier Lepe. Clinical Trial Investigating Success Rates for Polyether and Vinyl Polysiloxane Impressions Made with Full-arch and Dual-arch Plastic Trays. Journal of Prosthetic Dentistry. 2010; 103(1): 15-24. Jagger DC, Al Jabra O, Harrison A, Vowles RW, Davis F and O’Sullivan DJ. The Effect of A Range of Disinfectants on the Dimensional Accuracy of Some Impression Materials. Europe Journal Prosthodontic Restoration Dentistry. 2004; 12 (4) :154-60. Farida SS and Nader A. The Effect of Disinfection by Spray Atomization on Dimensional Accuracy of Condensation Silicone Impressions. African Journal of Biotechnology. 2011;10(71): 16078-16083. Powers JM and Wataha JC. Dental Materials Properties and Manipulation. 9th Ed. St Louis. Mosby Elsevier. 2008. p. 186-195. Febriani M dan Herda E. Pemakaian Desinfektan pada Bahan Cetak Elastomer, JITEKGI. 2009; 6(2): 41-4.
Ongo : Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Bahan Cetak Elastomer 14. Rhodes JS. Advanced Endodontics Clinical Retreatment and Surgery. London. Taylor & Francis Group. 2006; p. 130. 15. David ME. Perubahan Warna Lempeng Resin Akrilik yang Direndam dalam Larutan Disinfektan Sodium Hipoklorit dan
88
Klorhexidin. Dentistry Journal. 2005; 38(1): 36-40. 16. Siu KP and Millar BJ. Cross Infection Control of Impressions: A Questionnaire Survey of Practice Among Private Dentists in Hong Kong. Hong Kong Dentistry Journal. 2006; 3(2): 89-93.
89
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian PERBANDINGAN KUAT REKAT RESIN KOMPOSIT PADA DENTIN DENGAN SISTEM ADHESIF SELF ETCH 1 TAHAP (ONE STEP) DAN 2 TAHAP (TWO STEP)
Dewi Puspitasari Bagian Dental Material, Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat BanjarmasinIndonesia ABSTRACT Background : Composite resin could bonded well with dental structure because of adhesive system. The development of adhesive systems are increased and focused on a simpler application procedures, shorter work time and does not cause dentin sensitivity during restorative treatment. Last adhesive systems that have come to the sixth and seventh generation known as the self-etch adhesive systems. Self-etch adhesive system is divided into two step and one step. Both are different in the application procedure. Purpose :The purpose of this study was to compare the bond strength between1 step and 2 step self etch adhesive systems. Methods : 16 specimens of dentin premolars, divided into 2 groups. Group I : application of Clearfil SE Bond primer for 20 seconds then application of Clearfil SE Bond bonding for 10 seconds, and polymerization with light for 10 seconds. Composite resin was applied incrementally and polymerization for 20 seconds . Group II : application of Clearfil S3 Bond ( primer and bonding in 1 bottle) for 20 seconds and then polymerization with light for 10 seconds. The bond strength was tested with Testing Machine and analyzed using the unpaired t test. Results:The bond strength mean value of composite resin using 2 step self etch adhesive system is 10.93 MPa and 1 step self etch adhesive system is 10.12 MPa. There is no significant difference between the bond strength of composite resins using 2 step and 1 step self etch adhesive system. Conclusion : Self- etch adhesive systems can provide good bond strength between composite resin to denti . There is no significant difference between the bond strength of composite resins using 2 step and 1 step self etch adhesive system Keyword : shear bond strength, self etch adhesive system, dentin ABSTRAK Latar belakang : Resin komposit dapat berikatan dengan struktur gigi melalui sistem adhesif. Perkembangan sistem adhesif semakin pesat dan tertuju pada prosedur aplikasi yang lebih sederhana, waktu kerja yang semakin singkat dan tidak menyebabkan sensitifitas dentin selama perawatan restorasi. Sistem adhesif yang terakhir telah sampai pada generasi keenam dan ketujuh yang dikenal sebagai sistem adhesif self etch. Sistem adhesif self etch terbagi menjadi dua tahap dan satu tahap, keduanya berbeda pada prosedur aplikasi. Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan kuat rekat antara sistem adhesif self ech 1 tahap dengan 2 tahap. Metode: 16 spesimen dentin dari mahkota gigi premolar, dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok I: aplikasi primer Clearfil SE Bond selama 20 detik kemudian aplikasi bonding Clearfil SE Bond selama 10 detik dan polimerisasi dengan sinar selama 10 detik. Resin komposit diaplikasikan secara inkremental dan polimerisasi selama 20 detik. Kelompok II: aplikasi Clearfil S3 Bond (primer dan bonding bergabung dalam 1 botol) selama 20 detik kemudian polimerisasi dengan sinar selama 10 detik. Kuat rekat diuji menggunakan Testing Machine dan dianalisa dengan uji T tidak berpasangan. Hasil : Nilai rerata kuat rekat komposit resin yang menggunakan sistem adhesif self etch 1 tahap adalah 10,12 MPa dan sistem adhesif self etch 2 tahap adalah 10,93 MPa .Tidak ada perbedaan bermakna antara kuat rekat komposit resin yang menggunakan sistem adhesif self etch 1 tahap dengan 2 tahap. Kesimpulan : Sistem adhesif self etch dapat menghasilkan kekuatan ikatan antara resin komposit dengan dentin yang dapat diterima secara klinis. Tidak ada perbedaan bermakna antara kuat rekat komposit resin yang menggunakan sistem adhesif self etch 1 tahap dengan 2 tahap. Kata kunci : kuat rekat geser, sistem adhesif self etch, dentin.
90
Puspitasari : Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit
Korespondensi : Dewi Puspitasari. Bagian Dental Material, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran No. 128 B, Banjarmasin KalSel. Email :
[email protected]
PENDAHULUAN Penggunaan restorasi komposit resin secara klinis semakin meningkat dan menjadi restorasi estetik yang paling banyak digunakan saat ini. 1 Resin komposit tidak dapat berikatan secara alami dengan struktur gigi sehingga diperlukan suatu bahan adhesif agar resin komposit dapat berikatan baik dengan struktur gigi, ikatan ini diperoleh melalui ikatan secara mikromekanik dengan menggunakan sistem adhesif atau bonding system.2 Pemakaian bahan adhesif di bidang kedokteran gigi dimulai pada tahun 1955 oleh Buonocore yang melaporkan penggunaan asam fosfor 85% untuk meningkatkan retensi resin akrilik pada enamel.3, 4 Pada dasarnya prinsip adhesi resin komposit adalah keterpautan secara mikromekanik (mechanical interlocking), yaitu dari resin tags yang dihasilkan oleh infiltrasi monomer resin pada mikroporositas dari permukaan email yang telah dietsa. Selanjutnya sistem adhesif dikembangkan lebih jauh yaitu ke dentin yang didalamnya terdapat serat-serat kolagen. Perbedaan struktur pada email dan dentin berpengaruh terhadap efektivitas sistem adhesif.5, 6 Keberhasilan adhesi pada enamel dengan nilai kuat rekat yang tinggi tidak dapat dicapai setara pada dentin. Dentin memiliki kandungan air dan organik lebih tinggi dibandingkan email, hal inilah yang membuat dentin lebih sulit berikatan dengan sistem adhesif dibandingkan enamel.7 Berdasarkan prosentase berat, enamel mempunyai komposisi mineral yaitu 96% berupa hidroksi apatit dan sisanya adalah bahan organik dan air. Dentin mempunyai komposisi 70 % mineral (kristal apatit), 18% berupa komponen organik yaitu kolagen tipe 1 dan protein non kolagen sedangkan 12% merupakan air.6, 8 komposisi ini menyebabkan email mempunyai sifat umum yang kering, sedangkan dentin bersifat lembab, sehingga material adhesif harus bersifat hidrofilik untuk dapat berikatan baik dengan dentin. Resin komposit mempunyai sifat menonjol yaitu hidrofobik, sehingga komposisi sistem adhesif harus terdiri dari monomer resin hidrofobik dengan hidrofilik.5, 6. Awalnya perkembangan sistem adhesif mengarah pada tindakan pengangkatan smear layer saat mengetsa dentin dan kemudian dilakukan pembilasan, sistem ini disebut sebagai sistem adhesif total etch. Kemudian berkembang lagi dengan cara mempertahankan atau memodifikasi smear layer dan tanpa pembilasan, sistem ini disebut sebagai sistem adhesif self etch. Sistem adhesif self etch pada generasi keenam disebut juga sistem adhesif two step self etch (2 tahap),
selanjutnya tahapan aplikasi lebih disederhanakan menjadi sistem 1 tahap (satu botol) yang disebut sebagai one step self etch, namun tetap menggunakan kombinasi monomer resin hidrofobik dan hidrofilik dan nilai kekuatan ikatan pada dentin dalam kisaran yang dapat diterima secara klinis.6, 911 Sistem adhesif self etch makin diminati karena lebih banyak memberikan keuntungan dibandingkan total etch yaitu dapat mengurangi sensitifitas gigi paska operatif, jumlah aplikasi yang lebih sederhana dan waktu yang lebih singkat. 12 Sistem adhesif one step self etch merupakan penemuan terakhir teknik aplikasi sistem adhesif pada penumpatan gigi menggunakan resin komposit. Sistem ini menggabungkan teknik etsa, pemberian monomer hidrofilik atau primer dan adhesif pada struktur gigi dalam 1 tahap prosedur aplikasi sehingga tahapannya makin singkat.11 Adanya penggabungan komponen-komponen adhesif apakah akan mempengaruhi kekuatan ikatan resin komposit pada dentin. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kekuatan ikatan (kuat rekat) resin komposit yang menggunakan sistem adhesif self etch 1 tahap (one step) dan 2 tahap (two step).
BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratoris. Subyek penelitian adalah gigi premolar yang berasal dari pasien berusia 20-30 tahun dan telah dicabut karena indikasi perawatan ortodonti, tidak terdapat karies, retak dan fraktur pada mahkota. Jumlah spesimen yang digunakan adalah 16 gigi yang dibagi menjadi 2 kelompok. Material adhesif dan komposit resin yang digunakan, komposisi dan prosedur aplikasinya tertera pada tabel 1. Tabel 1. Komposisi dan Prosedur Aplikasi dari Material adhesif dan Komposit Resin Bahan Pabrik Komposisi Prosedur aplikasi Clearfil Kuraray Primer+ Etsa : -Aplikasi SE 10-MDP, primer (20 Bond HEMA, detik) hydrophilic -Semprot dimethacrylate, udara photoinitiator, ringan (5 air (01225A) detik) Bonding: 10-Aplikasi MDP, HEMA, bonding Bis-GMA, (10 detik) hydrophobic -Semprot dimethacrylate, udara
91
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 89 - 94 photoinitiator, silanated colloidal silica
Clearfil S3 Bond
Kuraray
Primer +Etsa + Bonding : 10-MDP, BisGMA, HEMA, hydrophobic dimetacrylate, champorquinon e, etil ethanol, air, silanated colloidal silica
Filtek Z-350
3M ESPE
Bis-GMA, UDMA, BISEMA, nanosilica filler, zirconia/silica nanocluster
ringan selama 5 detik Polimerisa si dengan sinar selama 10 detik -Aplikasi selama 20 detik -Semprot udara ringan selama 5 detik Polimerisa si dengan sinar selama 10 detik -Aplikasi komposit resin Aplikasi dan polimerisa si selama 20 detik
Spesimen gigi premolar yang sesuai dengan kriteria dan telah disetujui oleh komisi etik direndam dalam larutan salin hingga saat digunakan untuk pengujian. Akar gigi dipotong kemudian mahkota gigi ditanam dalam resin dekoratif dengan bagian bukal menghadap ke dasar mould, permukaan bukal diasah hingga didapatkan permukaan dentin dengan luas area diameter 3 mm dengan menggunakan kertas silika karbida nomor 600 untuk menghasilkan ketebalan smear layer yang seragam.13 Daerah yang akan diperiksa ditandai dengan menggunakan matriks plastik yang memiliki diameter sama dengan cetakan resin akrilik self cured berbentuk silinder berukuran 3 mm dan tinggi 3 mm sebagai mould komposit resin, matriks plastik diletakkan pada daerah dentin kemudian di sekelilingnya diulas dengan cat kuku berwarna merah untuk menandai daerah aplikasi adhesif. Kelompok I berjumlah 8 gigi merupakan kelompok sistem adhesif self etch dua tahap Clearfil SE Bond Kelompok II: berjumlah 8 gigi merupakan kelompok sistem adhesif self etch satu tahap Clearfil S3 Bond. Tahapannya adalah aplikasi sistem adhesif sesuai petunjuk pabrik (tabel 1) menggunakan microbrush dengan tekanan yang dikendalikan sebesar 3 gram. Tekanan 3 gram
sebanding dengan tekanan kuas aplikator dengan posisi kuas mendatar atau membentuk sudut 0º pada permukaan dentin untuk menghasilkan kuat rekat maksimal.14 Komposit resin nanofiller Filtek Z-350 warna A3 diaplikasikan secara inkremental, ditutup dengan mylar strip dan polimerisasi menggunakan light curing LED MAX Hilux 450 (Benlioglu) dengan intensitas 600 mW cm-2 selama 20 detik. Selanjutnya spesimen direndam dalam larutan saline dan disimpan dalam inkubator dengan temperatur 37⁰C selama 24 jam. Seluruh spesimen kemudian diuji kuat rekat geser menggunakan Universal Testing Machine (UTM) dengan beban maksimal 50 KgF dan kecepatan 0,5 mm/menit. Hasil yang diperoleh dihitung menggunakan rumus SBS = F/ πr2 untuk mendapatkan nilai kuat rekat geser (Shear Bond Strength). Data selanjutnya dilakukan uji normalitas data, bila data normal maka dapat dilanjutkan dengan analisa statistik menggunakan uji T tidak berpasangan.
Gambar 1. Bentuk spesimen dan pengujian spesimen dengan uji kuat rekat geser.
HASIL Pada uji normalitas data menggunakan Saphiro Wilk didapatkan bahwa p > 0,05 maka distribusi data adalah normal. Nilai kuat rekat komposit resin pada dentin yang menggunakan sistem adhesif self etch 1 tahap dan 2 tahap dapat dilihat pada tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rerata kuat rekat geser sistem adhesif self etch dua tahap tidak berbeda bermakna dengan self etch satu tahap. Tabel 2. Rerata kuat rekat geser (MPa) komposit resin dengan sistem adhesif self etch 2 tahap dan 1 tahap Rerata n ±SD (MPa) Sistem adhesif self etch 2 tahap Sistem adhesif self etch 1 tahap
10,93±1,31 8
10,12±1,81 8
Perbedaan rerata (95%CI) 0.81(0,882,50)
p
0,32
Puspitasari : Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit Keterangan: Uji t tidak berpasangan; p<0,05=bermakna
PEMBAHASAN Sistem adhesif self-etch merupakan sistem adhesif generasi keenam (terdiri dari dua tahap aplikasi yang disebut two-step self-etching adhesive) dan ketujuh (terdiri dari satu tahap aplikasi yang disebut one-step self-etching adhesive).15 Perkembangan sistem adhesif yang terakhir lebih tertuju kepada aplikasi yang lebih sederhana sehingga kemudian diperkenalkan sistem adhesif self etch. Jumlah tahapan atau langkah aplikasi yang berkurang dapat mengurangi periode waktu manipulasi, kesalahan dalam aplikasi yaitu tidak sesuai dengan standar prosedur (contohnya seberapa basahkah dentin atau terlalu basah) dan mengurangi terjadinya sensitifitas dentin setelah perawatan karena etsa dari primer asam menghasilkan demineralisasi yang dangkal dan tanpa pembilasan.16 Sistem adhesif yang digunakan dalam penelitian ini adalah Clearfil SE Bond merupakan sistem adhesif generasi keenam yang terdiri dari dua tahap aplikasi sehingga disebut sistem adhesif two-step self-etch, sedangkan Clearfil S3 bond merupakan sistem adhesif generasi ketujuh yang hanya memerlukan cukup sekali aplikasi.7 Sistem adhesif self etch memiliki tahapan aplikasi yang lebih sederhana dengan menggabungkan bahan etsa dan primer dalam satu kemasan sehingga dapat mengurangi periode waktu manipulasi. Bahan etsa pada sistem adhesif self etch menghasilkan demineralisasi yang superfisial dan tidak perlu dibilas, hal ini menyebabkan smear layer tetap dipertahankan dan menjadi bagian dari lapisan hibrida sehingga meminimalkan sensitifitas post operatif .16 Oleh karena tahap pembilasan tidak dilakukan, proses etsa dapat berhenti karena proses gugus asam berikatan dengan kalsium gigi sehingga asam tersebut menjadi netral bersamaan dengan infiltrasi monomer resin pada primer.17 Smear layer terdiri dari bakteri, hidroksiapatit dan kolagen yang terdenaturasi yang dihasilkan selama prosedur preparasi. Smear layer yang dihilangkan oleh bahan etsa dapat menyebabkan aliran cairan tubuli dentin meningkat sehingga menyebabkan nyeri.18 Monomer asam yang bergabung dengan primer dapat menembus smear layer dan mencapai dentin yang kaya kalsium kemudian membentuk lapisan hibrida yang terdiri dari fibril kolagen, smear layer dan monomer resin adhesif. Clearfil SE Bond dan Clearfil S3 Bond berbahan dasar monomer 10-MDP (10-methacryloyloxy decyl dihydrogen phosphate).3 Monomer ini dianggap sebagai monomer standar baku emas untuk bahan bonding self etch sehingga menghasilkan interaksi kimia yang baik dengan dentin.7, 19 Monomer MDP yang diaplikasikan pada
92 dentin akan membentuk garam MDP-kalsium.19 Interaksi inilah yang membuat kuat rekat komposit resin ke dentin dianggap cukup tinggi mengingat ikatan sistem adhesif dengan dentin lebih sulit didapatkan bila dibandingkan dengan enamel. Oleh karena itu sistem adhesif pada permukaan dentin membutuhkan monomer hidrofilik untuk menghasilkan kuat rekat yang tinggi.12 Pada penelitan ini kuat rekat resin komposit pada kelompok sistem adhesif self etch 2 tahap sebesar 10,93 MPa. Nilai rerata ini tidak berbeda jauh dengan nilai rerata sistem adhesif self etch Clearfil SE Bond pada penelitian Herenio dkk (2011) sebesar 12,6 MPa.20 Nilai rerata kuat rekat pada penelitian ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian Castro dkk (2003) dengan sistem adhesif yang sama yang diuji dengan kuat rekat tarik mikro (39 MPa). Hal ini disebabkan oleh karena berbagai macam faktor salah satunya luas area spesimen. Area permukaan mempengaruhi secara signifikan kuat rekat pada sistem adhesif self etch. Kuat rekat dihitung berdasarkan beban hingga patah dibagi dengan area dari permukaan bonding. Terdapat hubungan yang berbanding terbalik antara kuat rekat dan area permukaan. Kuat rekat spesimen dapat menjadi lebih rendah dengan area yang semakin besar oleh karena jumlah defek yang dihasilkan lebih besar.21 Castro menggunakan spesimen dentin dengan luas area permukaan 1 mm dan rerata kuat rekat yang dihasilkan (39 MPa) lebih besar dari hasil penelitian ini. Nilai kuat rekat pada penelitian ini sebanding dengan penelitian Braga dkk (2010) yang menunjukkan bahwa nilai rerata kuat rekat geser sistem adhesif self etch adalah sekitar 5-12 MPa, sedangkan kuat rekat tarik mikro bisa mencapai 60 MPa. Meskipun uji kuat rekat mikro dengan ukuran spesimen kurang dari 1 mm semakin banyak diteliti tetapi uji kuat rekat makro masih banyak digunakan dengan alasan mudah dilaksanakan, membutuhkan peralatan yang minimal dan persiapan spesimen minimal. 22 Kuat rekat resin komposit dengan menggunakan sistem adhesif self etch 1 tahap Clearfil S3 Bond adalah sebesar 10,12 MPa, nilai ini tidak berbeda bermakna secara statistik dengan nilai kuat rekat Clearfil SE Bond sebesar 10,93 MPa. Meskipun penelitian Knobloch dkk (2007) melaporkan bahwa nilai kuat rekat sistem adhesif Clearfil S3 Bond (16,5 MPa) lebih rendah daripada Clearfil SE Bond (20,4 MPa) namun penelitian yang lain juga menyatakan bahwa nilai kuat rekat keduanya tidak jauh berbeda seperti halnya penelitian Chaharom dkk (2011) yaitu 22,86 MPa untuk Clearfil SE dan 22,13 MPa untuk Clearfil S3 Bond. 12, 23 Menurut Chaharom dkk (2011) hal ini bisa dikaitkan dengan komposisi monomer yang sama yaitu 10-methacryloyloxydecyl dihydrogen phosphate (MDP).12 Secara klinis sistem 1 tahap merupakan teknik yang lebih sederhana daripada
93 sistem adhesif self etch 2 tahap, sistem adhesif self etch 1 tahap cenderung lebih hidrofilik, oleh karena sifat hidrofiliknya adhesif ini dapat berperan sebagai membran permeabel, menyerap sejumlah air saat dipolimerisasi sehingga dapat menciptakan saluran-saluran berisi air pada lapisan hibrida pada jangka panjang, sehingga ketahanan jangka panjang sistem adhesif ini perlu untuk diteliti lebih lanjut. 23 Nilai rerata kuat rekat yang bervariasi antara peneliti menujukkan bahwa tidak hanya prosedur uji yang kompleks tetapi juga sensitifitas dalam pengerjaan dan manipulasi sistem adhesif dan resin komposit, karena prosedur pengerjaan yang manual maka harus lebih hati-hati dan dikendalikan. Begitu pula juga spesimen gigi yang digunakan, faktor usia, media dan waktu penyimpanan, kedalaman dentin, variasi morfologi, derajad mineralisasi, kekerasan mikro, ketebalan smear layer yang dihasilkan dan modulus elastisitas dentin dapat mempengaruhi kuat rekat adhesif dentin.24 Media penyimpanan gigi dalam penelitian ini menggunakan larutan saline, Jaffer dkk (2009) dan Scherrer dkk(2010) menyatakan bahwa larutan saline termasuk media yang efektif digunakan sebagai media penyimpanan gigi karena tidak mempengaruhi kuat rekat komposit resin.25, 26 Kuat rekat dentin menurun dengan kedalaman dentin yang semakin meningkat oleh karena kepadatan tubuli dentin yang makin rendah, perbedaan diameter tubuli disebutkan juga dapat mempengaruhi kuat rekat.24 Kesuksesan secara klinis restorasi resin komposit juga bergantung pada polimerisasi yang sempurna. Polimerisasi yang tidak sempurna dapat menurunkan sifat fisik dan mekanik restorasi resin komposit dan sistem adhesif. Polimerisasi yang optimal merupakan salah satu faktor penting untuk memperoleh sifat fisik, sifat mekanis dan performa klinis yang baik dari restorasi resin komposit. polimerisasi paling efektif pad sistem adhesif dan resin komposit paling efektif jika panjang gelombang berada pada 460-480 nm, hal ini sama dengan serapan cahaya yang diharapkan pada fotoinisiator yaitu champorquinone.27 Penelitian ini menggunakan light curing tipe LED dengan panjang gelombang 440-490 nm dan intensitas sinar 600 mW cm-2 yang telah dikaliberasi. Meskipun nilai kuat rekat sistem adhesif self etch tidak setinggi seperti pada sistem adhesif total etch, sistem adhesif self etch menawarkan teknik aplikasi yang lebih sederhana dan mempunyai tujuan utama untuk mengurangi sensitifitas paska operatif serta mengurangi waktu kerja prosedur aplikasi.28 Nilai kuat rekat sistem adhesif self etch pada dentin dalam kisaran yang dapat diterima secara klinis.6, 10 Sistem adhesif self etch memiliki tahapan aplikasi yang lebih sederhana dengan menggabungkan bahan etsa dan primer dalam satu kemasan. Nilai kuat rekat sistem adhesif self etch pada dentin dalam kisaran yang dapat diterima
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 89 - 94 secara klinis. Tidak ada perbedaan bermakna antara kuat rekat komposit resin yang menggunakan sistem adhesif self etch 1 tahap dengan 2 tahap
DAFTAR PUSTAKA 1.
Karaarslan ES, Bulbul M, Yildiz E, Secilmis A, Sari F, Usumez A. Effects of Different Polishing Methods on Color Stability of Resin Composites After Accelerated Aging. Dental Materials Journal 2013;32(1):58-67. 2. Saraswathi MV, Jacob G, Ballal NV. Evaluation of The Influence of Flowable Liner and Two Different Adhesive Systems on The Microleakage of Packable Composite Resin. Journal of Interdisciplinary Dentistry 2012;2(2):98-104. 3. Perdigão J, Reis A, Loguercio AD. Dentin Adhesion and MMPs: A Comprehensive Review. Journal of Esthetic and Restorative Dentistry 2013;25(4):219-41. 4. Perdigão J, Swift JR. Fundamental Concept of Enamel and Dentin Adhesion. In: Roberson TM, Heymann HO, Swift JR, editors. Sturdevant’s Art and Science of Operatif Dentistry. 4 ed. St Louis: Mosby Inc; 2002. p. 237 – 54. 5. Hashimoto M, de Gee AJ, Felizer AJ. Polymerization contraction stress in dentin adhesives bonded to dentin and enamel. Dental Materials 2008;24:1304-10. 6. Perdigão J, Swift JR. Fundamental Concept of Enamel and Dentin Adhesion. In: Roberson TM, Heymann HO, Swift JR, editors. Sturdevant’s Art and Science of Operatif Dentistry. 4 ed. St Louis: Mosby Inc; 2002. p. 245 – 58. 7. Perdigão J. New Developments in Dental Adhesion. Dent Clin N Am 2007;51:333-57. 8. Summit JB, Robins JW, Hilton TJ, Schwartz RS. Fundamentals of Operative Dentistry: A Contemporary Approach. 3 ed. Chicago, USA: Quintessence Publishing; 2006. p. 18393. 9. Kugel G, Ferrari M. The Science of Bonding: From First to Sixth Generation. J Am Dent Assoc 2000;131(20S-25S). 10. Dunn JR. iBond™: The seventh generation, one-bottle dental bonding agent. Compendium 2003;24(2):14-18. 11. Roberson TM, Heyman HO, Swift EJ. art and science of Operative Dentistry. 5 ed: Mosby Elsevier; 2006. p. 245-71. 12. Chaharom MEE, Ajami AA, Kimyai S, Abbasi A. Effect of Chlorhexidine on the Shear Bond Strength of Self-Etch Adhesives To Dentin. African Journal of Biotechnology 2011;10(49):10054-57.
94
Puspitasari : Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit 13. Hiraishi N, Yiu CKY, King NM, Tay FR. Effect of 2% Chlorhexidine on Dentin Microtensile Bond Strengths and Nanoleakage of Luting Cements. Journal of Dentistry 2009;37:440–48. 14. Jaya F, Triaminingsih S, Soufyan A, Eriwati YK. Shear bond strength of self-adhering flowable composite on dentin surface as aresult of scrubbing pressure and duration. Media Dental Journal 2012;45(3):167-71. 15. Christensen GJ. Has the ‘Total Etch’ Concept Disappeared? J Am Dent Assoc 2006;137:81720 16. Albaladejo A, Osorio R, Toledano M, Ferrari M. Hybrid Layers of Etch and Rinse versus Self-Etching Adhesive Systems. Med Oral Patol Oral Ci Bucal 2010;15(1):112-18. 17. Prasad M, Mohamed S, Nayak K, Shetty SK, Talapaneni AK. Effect of moisture, saliva, and blood contamination on the shear bond strength of brackets bonded with a conventional bonding system and self-etched bonding system J Nat Sc Biol Med 2014;5:123-9. 18. Perdigão J. Dentin bonding-Variables related to the clinical situation and the substrate treatment. Dental Materials 2010;26:e24–e37. 19. Feitosa VP, Pomacóndor-Hernández C, Ogliari FA, Leal F, Correr AB, Sauro S. Chemical interaction of 10MDP(methacryloyloxi-decyl-dihydrogenphosphate) in zinc-doped self-etch adhesives. Journal of Dentistry 2014;42:1-7. 20. Herênio SS, Carvalho NMP, Lima DM. Influence of chlorhexidine digluconate on
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
bond strength durability of a self-etching adhesive system. RSBO 2011;8(4):417-24. Vanajasan P P, Dhakshinamoorthy M, V. SRC. Factors affecting the bond strength of self-etch adhesives: A meta-analysis of literature. J Conserv Dent 2011;14:62-7. Braga RR, Meira JBC, Boaro LCC, Xavier TA. Adhesion to tooth structure: A critical review of “macro” test methods. dental materials 2010;26:e38-e49. Knobloch LA, Gailey D, Azer S, Johnston WM, Clelland N, Kerby RE. Bond strengths of one- and two-step self-etch adhesive systems. J Prosthet dent 2007;97:216-22. Tulunoglu O, Tulunoglu I. Resin-dentin interfacial morphology and shear bond strengths to primary dentin after long-term water storage: An in vitro study. Quintessence International 2008;39(5):427-37. Jaffer S, Oesterle LJ, Newman SM. Storage media effect on bond strength of orthodontic brackets. Am J Orthod Dentofacial Orthop 2009;136(1):83-6. Scherrer SS, Cesar PF, Swain MV. Direct comparison of the bond strength results of the different test methods: A critical literature review. Dental Materials 2010;26:e78–e93. Malhotra N, Mala K. Light-curing considerations for resin-based composite materials: a review. Part I. Compend Contin Dent Educ 2010;31(7):498-505. Kerby RE, Knobloch LA, N C. Microtensile bond strength of one step and self etching adhesive sistem. Operative Dentistry 2005;30(2):195-200.
95
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian STUDI DESKRIPSI KELAINAN JARINGAN PERIODONTAL PADA WANITA HAMIL TRIMESTER 3 DI RSUD ULIN BANJARMASIN
Putri Dwi Andriyani, Maharani Lailyza Apriasari, Deby Kania Tri Putri Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin ABSTRACT Background: Women often experience hormon instability, one of the main causes of pregnancy. In the period of pregnancy, the hormonal increasing of estrogen and progesterone occurs. Both of hormones are reacting to periodontal system such as gingivitis or inflammatory gingival. Gingivitis of pregnancy usually occurs in the second or third months of pregnancy. Purpose: This research aimed to know the clinical features of pregnancy periodontal system disorder in third trimester. Methods: This research was using some descriptive observations. The data had been taken by using purposive sampling from a whole of pregnancy third trimester women in obstetric poly RSUD ULIN Banjarmasin who qualified the criteria of inclusion and exclusion. Patients had been done anamnesis, clinical examination, and then clinically diagnosed by seeing periodontal system disorder such as form of gingivitis pregnancy and epulis gravidarum. Result: All of 61 sample patients had been found gingivitis, pregnancy system disorder as much as 10 patients or 16,4% as a housewife, 8 patients or 13,1% with as student of high school, 8 patients or 13,1% who had once partus, 11 patients or 18,9% with history of never had miscarriage before, 15 patients or 24,6% with history of never had preterm birth, and 13 patients or 19,7% with most amount average income are 1,5 - 5 million. Conclusion: The result of descriptive study of women's pregnancy in third trimester periodontal system disorder at RSUD ULIN Banjarmasin showed 16 patients or 26% experience periodontal system disorder such as gingivitis pregnancy. Keywords: Gingivitis, pregnancy, periodontal, third trimester ABSTRAK Latar Belakang : Wanita sering mengalami ketidakstabilan hormon, salah satu pencatus kehamilan. Pada masa kehamilan terjadi peningkatan hormon estrogen dan progesteron. Kedua hormon tersebut berpengaruh terhadap jaringan periodontal seperti gingivitis atau inflamasi gingival. Gingivitis kehamilan atau gingivitis gravidarum biasanya terjadi pada bulan ke-2 dan ke-3 kehamilan. Tujuan : tujuan penelitian ini adalah mengertahui gambaran klinis kelainan jaringan periodontal pada wanita hamil trimester 3 di RSUD Ulin Banjarmasin. Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan metode deskriftif observasi. Data diambil secara purposive sampling dari seluruh wanita hamil trimester 3 di poli kandungan RSUD Ulin Banjarmasin yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Pasien dilakukan anamnesa, pemeriksaan secara klinis, kemudian didiagnosa klinis dengan melihat kelainan jaringan periodontal berupa gingivitis kehamilan dan epulis gravidarum. Hasil Penelitian : Dari 61 pasien sampel penelitian maka hanya diperoleh kelainan gingivitis kehamilan, yaitu 10 orang pasien (16,4%) dengan riwayat pekerjaan terbanyak adalah Ibu Rumah Tangga (IRT). 8 orang pasien (13,1%) dengan riwayat pendidikan terbanyak adalah SMA, 8 orang pasien (13,1%) dengan riwayat melahirkan terbanyak sebanyak 1 kali melahirkan. 11 orang pasien (18,9%) dengan riwayat belum pernah mengalami keguguran sebelumnya, 15 orang pasien (24,6%) dengan riwayat belum pernah melahirkan premature sebelumnya, dan 13 orang pasien (19,7%) dengan jumlah rata-rata penghasilan terbanyak adalah 1,5-5juta rupiah. Kesimpulan : Hasil penelitian studi deskripsi kelainan jaringan periodontal pada wanita hamil trimester 3 di RSUD Ulin Banjarmasin sebesar 16 orang pasien atau 26,2% yang mengalami kelainan jaringan periodontal berupa gingivitis kehamilan. Kata Kunci : Gingivitis, Ibu Hamil, Periodontal, Trimester 3.
96
Andriyani : Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal
Korespondensi: Putri Dwi Andriyani, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email:
[email protected]
PENDAHULUAN Dewasa ini perhatian masyarakat terhadap kesehatan wanita selama masa kehamilan semakin meningkat, tetapi kesehatan gigi dan mulut seringkali terlewat dari perhatian. Kurangnya perhatian terhadap kesehatan rongga mulut pada saat kehamilan terkait adanya anggapan bahwa kehamilan tidak ada hubungannya dengan keadaan rongga mulut.1 Wanita sering sekali mengalami ketidakstabilan hormon. Salah satu faktor penyebab ketidakstabilan hormon adalah kehamilan. Kehamilan menyebabkan peningkatan hormon estrogen dan progesteron. Kedua hormon tersebut dapat berpengaruh terhadap jaringan periodontal seperti gingivitis atau inflamasi gingiva.2,3,4 Gingivitis merupakan salah satu kelainan periodontal yang sering ditemui. Gambaran klinis gingivitis yang disebabkan oleh plak yaitu tepi gingiva yang berwarna kemerahan sampai merah kebiruan, pembesaran kontur gingival\ karena adema dan mudah berdarah saat ada stimulasi seperti saat makan serta menyikat gigi.5 Gingivitis juga dapat disebabkan karena faktor sistemik seprti adanya ketidakstabilan hormon yang dialami wanita pada masa pubertas, menstruasi, dan kehamilan.6 Gingivitis pada wanita hamil disebut gingivitis gravidarum atau gingivitis kehamilan.4,6 Respon inflamasi gingivitis kehamilan menjadi berlebihan terhadap faktor iritasi lokal yang relativ sedikit.2,7 Kehamilan bukan merupakan etiologi utama gingivitis, tetapi gingivitis akan terjadi jika terdapat faktor iritasi lokal seperti bakteri plak dan faktor lainya seperti peningkatan hormon estrogen dan progesteron. Gingivitis tergantung pada tingkat kebersihan mulut pasien serta peran hormon estrogen dan progesteron pada jaringan periodontal.2,6 Gingivitis kehamilan atau gingivitis gravidarum biasanya terjadi pada bulan ke-2 dan ke-3 masa kehamilan, biasanya pada minggu 8. Puncak keparahan terdapat pada bulan ke-8 masa kehamilan atau kehamilan pada minggu 32, kemudian menurun pada bulan ke-9 masa kehamilan seiring dengan menurunnya kadar hormon dalam tubuh.2,6,8 Beberapa studi menyatakan bahwa efek perubahan hormonal akan mempengaruhi kesehatan gigi wanita hamil sebesar 60% dengan 10-27% mengalami pembengkakan gusi.9 Persatuan Dokter Gigi Indonesia mencatat radang gusi merupakan masalah mulut dan gigi yang sering menimpa ibu hamil dimana 5-10% nya mengalami pembengkakan gusi.1 Penelitian Apriasari dan Irnamanda dilakukan selama bulan
Januari – Juni 2012 di RSUD Banjarbaru didapatkan hasil total sampel 53 orang dengan jumlah pasien tanpa penyakit periodontal 33 orang, pasien dengan gingivitis gravidarum 16 orang dan pasien dengan epulis gravidarum 4 orang.1 Data penyakit periodontal khususnya wanita hamil di kota Banjarmasin belum ada. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kelainan jaringan periodontal khususnya gingivitis gravidarum dan epulis gravidarum pada wantita hamil trimester ke-3 di RSUD ULIN Banjarmasin. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif observasional. Data diambil dari anamnesa dan pemeriksaan klinis yang dilakukan terhadap pasien poli kandungan RSUD ULIN Banjarmasin yang datang untuk kontrol kehamilan rutin. Subjek pada penelitian ini adalah para wanita hamil trimester ke3 di poli kandungan RSUD ULIN Banjarmasin yang datang untuk kontrol kehamilan rutin pada Mei – Agustus 2013 dan bersedia menjadi subjek penelitian. Kriteria inklusi yaitu wanita hamil trimester ketiga di poli kandungan RSUD ULIN Banjarmasin dan kooperatif. Kriteria ekslusi antara lain memiliki penyakit sistemik, memiliki kondisi malnutrisi, dan mengkonsumsi obat tertentu. Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah pasien wanita hamil trimester ke-3 yang melakukan kontrol di poli kandungan RSUD ULIN Banjarmasin. Subjek penelitian adalah seluruh wanita hamil trimester ke-3 di poli kandungan RSUD ULIN Banjarmasin dating dengan keluhan pada gingival pada Mei- Agustus 2013. Variabel penelitian adalah kelainan jaringan periodontal pada wanita hamil trimester ketiga. Pengumpulan data diawali dengan pengisian informed consent, kemudian anamnesa dan pemeriksaan klinis intra oral. Data kemudian dicatat dan dianalisa. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian yang diperoleh didapat pasien yang normal sebesar 73.8% atau 45 orang, menderita gingivitis kehamilan (gingivitis gravidarum) sebesar 26,2% atau 16 orang, dan pasien yang menderita tumor kehamilan (epulis gravidarum) sebesar 0% atau tidak ada. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.1. Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian gingivitis kehamilan (gingivitis gravidarum) di RSUD Ulin
97
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 95 - 101 jumlah 10 orang diperoleh 3 orang (30%) yang menderita gingivitis kehamilan dan 7 orang (70%) lainnya normal dan tidak ada yang menderita epulis gravidarum dari tiap-tiap penghasilan ibu hamil trimester 3.
60 40
10
20
8
0 Normal
Gingivitis
Epulis Gravidarum
Jumlah Orang
Jumlah Orang
Banjarmasin masih cukup rendah yaitu tidak dengan mencapai setengah dari total pasien meskipun prosentase pasien yang normal masih lebih tinggi.
6 4 2
0
Keadaan Jaringan Periodotal
SMP
.
SMA
Gambar 5.3. Pendidikan ibu hamil trimester 3 dengan resiko terjadinya kelainan jaringan periodontal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan jumlah penghasilan keluarga 0-1,5 juta dari jumlah 7 orang diperoleh 3 orang (42,9%) yang menderita gingivitis kehamilan dan 4 orang (57.1%) lainnya normal. Pasien dengan jumlah penghasilan keluarga 1,5-5 juta dari jumlah 49 orang diperoleh 12 orang (24,5%) yang menderita gingivitis kehamilan dan 37 orang (75,5%) lainnya normal. Pasien dengan jumlah penghasilan keluarga 5-10 juta dari jumlah 5 orang diperoleh 1 orang (20%) yang menderita gingivitis kehamilan dan 4 orang (80%) lainnya normal dan tidak ada yang menderita epulis gravidarum dari tiap-tiap penghasilan ibu hamil trimester 3. 15
PNS
Swasta
Ibu Rumah Tangga
Pekerjaan
Gambar 5.2. Pekerjaan ibu hamil trimester 3 dengan resiko terjadinya kelainan jaringan periodontal.
Hasil penelitian menujukkan pasien dengan ststus pendidikan SMP dari jumlah 11 orang diperoleh 5 orang (45,5%) yang menderita gingivitios kehamilan dan 6 orang (54,5%) lainnya normal. Pasien dengan ststus pendidikan SMA dari jumlah 38 orang diperoleh 8 orang (21,1%) yang menderita gingivitis kehamilan dan 30 orang (78,9%) lainnya normal. Pasien dengan status pendidikan D3 dari jumlah 2 orang diperoleh (0%) atau tidak ada yang menderita gingivitis kehamilan atau normal. Pasien dengan ststu pendidikan S1 dari
Jumlah Orang
Jumlah Orang
12 10 8 6 4 2 0
S1
Pendidikan
Gambar 5.1. Kelainan jaringan periodontal pada wanita hamil trimester 3 di RSUD Ulin Banjarmasin bulan Juni-Agustus 2013
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 5 pasien PNS diperoleh 2 orang (40%) yang menderita gingivitis kehamilan (gingivitios gravidarum) dan 3 orang (60%) lainnya normal. Pasien yang bekerja dibidang swasta dari jumlah 15 orang diperoleh 4 orang (6.6%) yang menderita gingivitis kehamilan (gingivitis gravidarum) dan 11 orang (18%) lainnya normal. Pasien yang menjadi ibu rumah tangga dari jumlah 41 orang diperoleh 10 orang (16,4%) yang menderita gingivitis kehamilan (gingivitis gravidarum) dan 31 orang (50,8%) lainnya normal.
D3
10 5 0 Rp. 0-1.5 juta
Rp. 1.5-5 juta
Rp. 5-10 juta
Penghasilan Rata-rata
Gambar 5.4. Rata-rata jumlah penghasilan dengan resiko terjadinya kelainan jaringan periodontal pada wanita hamil trimester 3.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang belum pernah melahirkan dari jumlah 26 orang diperoleh 2 orang (7,7%) yang menderita gingivitis kehamilan dan 24 orang (92,3%) lainnya normal. Pada pasien yang pernah melahirkan satu kali dari jumlah 24 orang diperoleh 8 orang
98
Andriyani : Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal
10 8 6 4 2 0 2 Kali
3 Kali
4 Kali
Riwayat Melahirkan
5.5. Riwayat melahirkan dengan resiko terjadinya kelainan jaringan periodontal pada wanita hamil trimester 3.
15
10 5 0 Belum Pernah
1 Kali
Riwayat Keguguran
15 10 5 0 Belum Pernah
1 Kali
Riwayat Melahirkan Prematur
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien yang belum pernah keguguran dari jumlah 55 orang diperoleh 11 orang (20%) yang menderita gingivitis kehamilan dan 44 orang (80%) lainnya normal. Pasien yang pernah mengalami keguguran satu kali dari jumlah 5 orang diperoleh 4 orang (80%) yang menderita gingivitis kehamilan dan 1 orang (20%) lainnya normal. Pasien yang pernah mengalami keguguran dua kali atau lebih dari jumlah 1 orang diperoleh 1 orang (100%) yang menderita gingivitis kehamilan dan tidak ada yang mengalami epulis gravidarum dari tiap-tiap jumlah keguguran pada wanita hamil trimester 3.
Jumlah Orang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien yang tidak pernah melahirkan bayi prematur dari jumlah 60 orang diperoleh 15 orang (25%) yang menderita gingivitis kehamilan dan 45 orang (75%) lainnya normal. Pada pasien yang pernah melahirkan bayi prematur satu kali dari jumlah 1 orang diperoleh 1 orang (100%) yang menderita gingivitis kehamilan dan tidak ada yang mengalami epulis gravidarum berdasarkan tiap-tiap riwayat pasien yang belum maupun pernah melahirkan premature pada wanita hamil trimester 3.
20
Belum 1 Kali Pernah
Gambar
Gambar 5.6. Riwayat keguguran dengan resiko terjadinya kelainan jaringan periodontal pada wanita hamil trimester 3.
Jumlah Orang
Jumlah Orang
(33,3%) yang menderita gingivitis kehamilan dan 16 orang (66,7%) lainnya normal. Pada pasien yang pernah melahirkan dua kali dari jumlah 9 orang diperoleh (44,4%) atau 4 orang yang menderita gingivitis kehamilan dan 5 orang (25,6%) lainnya normal. Pada pasien yang pernah melahirkan tiga kali dari jumlah 1 orang diperoleh 1 orang (100%) yang menderita gingivitis kehamilan dan lainnya normal. Pada pasien yang pernah melahirkan empat kali dari jumlah 1 orang diperoleh 1 orang (100%) yang menderita gingivitis kehamilan dan tidak ada yang mengalami epulis gravidarum dari tiap-tiap wanita hamil trimester 3 yang pernah melahirkan dan maupun yang belum pernah melahirkan.
2 Kali
Gambar 5.7. Riwayat melahirkan prematur dengan resiko terjadinya kelainan jaringan periodontal pada wanita hamil trimester 3
PEMBAHASAN Gingivitis kehamilan merupakan suatu keadaan klinis berupa pembengkakan gingiva yang diakibatkan karena faktor hormonal yaitu peningkatan hormon estrogen dan progesteron yang terjadi pada wanita yang berada pada masa kehamilan.3,7 Adanya peningkatan hormon tersebut menyebabkan gingiva menjadi lebih rentan terhadap serangan bakteri yang terdapat dalam akumulasi plak.1,6,8 Terdapat dua teori yang mengemukakan tentang pengaruh hormon terhadap sel pada jaringan periodontal yaitu terjadinya perubahan efektifitas ketahanan epitel terhadap serangan bakteri dan terganggunya pembentukan kolagen yang baru.1,3 Efek peningkatan hormon estrogen menyebabkan terjadinya peningkatan proliferasi selular dalam pembuluh darah, menurunkan proses keratinisasi dan meningkatkan epitelial glikogen. Hormon progesteron menyebabkan peningkatan vasodilatasi, dan permeabilitas pembuluh darah, peningkatkan proliferasi pembuluh darah kapiler baru pada gingiva, menghambat pembentukan kolagen dan menurunkan plasminogen aktivator inhibitor tipe 2 sehingga terjadi peningkatan proteolitik jaringan. Efek kombinasi kedua hormon tersebut dapat
99 mempengaruhi substansi dasar jaringan ikat karena adanya peningkatan cairan serta meningkatnya konsentrasi saliva dengan adanya peningkatan konsentrasi serum.1 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Amerika prevalensi terjadinya gingivitis kehamilan bervariasi antara 67-100%.4 Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) mencatat gingivitis (radang gusi) merupakan masalah gigi dan mulut yang sering menimpa ibu hamil dengan 5-10%-nya mengalami pembengkakan gingiva.5 Berdasarkan hasil penelitian didapatkan angka kejadian gingivitis di RSUD Ulin Banjarmasin bulan Juni-Agustus sebanyak 16 pasien atau sebesar 26,2%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian gingivitis kehamilan di RSUD Ulin Banjarmasin adalah ‘sedang’ atau ‘rendah’ karena tidak melebihi setengah dari total sampel. Pekerjaan tidak mempengaruhi terjadinya kelainan jaringan gingiva karena faktor utama terjadinya gingivitis kehamilan bukan hanya karena kehamilan. Hal ini didukung dengan faktor lainnya seperti kesehatan ibu hamil itu sendiri dan keadaan rongga mulutnya. Pada wanita hamil trimester ke-3 biasanya mereka sudah mengistirahatkan diri mereka di rumah dan mempersiapkan diri untuk melakukan persalinan. Wanita hamil tetap dapat bekerja namun aktivitas yang dijalaninya tidak boleh terlalu berat. Istirahat untuk wanita hamil dianjurkan sesering mungkin. Seorang wanita hamil disarankan untuk menghentikan aktivitasnya apabila mereka merasakan gangguan dalam kehamilan seperti perdarahan dari kemaluan atau keram hebat di perut. Pekerjaan yang membutuhkan aktivitas fisik berat, berdiri dalam jangka waktu lama, pekerjaan dalam industri mesin, atau pekerjaan yang memiliki efek samping lingkungan (misalkan limbah) harus dimodifikasi. Pada minggu-minggu akhir kehamilan, tanda-tanda permulaan persalinan harus diketahui oleh wanita hamil tersebut sehingga akan lebih waspada apabila muncul tanda-tanda persalinan.15,16,17 Pendidikan tidak ada hubungannya dengan kelainan jaringan periodontal pada wanita hamil. Hal ini berdasarkan pengetahuan ibu hamil tentang bagaimana cara menjaga rongga mulutnya pada saat mengandung, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin banyak pengetahuan yang mereka dapat sehingga, mereka bisa lebih waspada dan lebih bisa menjaga keadaan rongga mulut dan kandungannya. Ibu yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi tidak menjamin tidak menderita gingivitis kehamilan.16,17 Pada penelitian terhadap 320 wanita hamil di Iran (2008) didapatkan hanya 5,6% sampel yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, 30% sampel yang bersikap baik terhadap kesehatan dan 34,4% sampel yang memiliki tindakan kesehatan yang baik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan, sikap dan tindakan
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No1. Maret 2014 : 95 - 101 wanita hamil terhadap pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut akan menyebabkan terjadinya penyakit gigi dan mulut.17,18 Rata-rata jumlah penghasilan bukan merupakan faktor penyebab terjadinya kelainan jaringan periodontal, apabila ibu hamil dalam keadaan sosial yang tinggi bukan berarti tidak beresiko terkena gingivitis. Ibu hamil dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah bukan berarti beresiko terkena gingivitis lebih besar. Hal ini disebabkan ada beberapa faktor lain yang berpengaruh, tergantung pola hidup, asupan gizi yang diperlukan saat hamil.16,17,18 Ibu hamil yang pernah melahirkan cenderung memiliki resiko terjadinya kelainan periodontal seperti gingivitis gravidarum pada kehamilan berikutnya dibandingkan dengan ibu hamil yang belum pernah melahirkan apabila kesehatan rongga mulutnya tidak ditingkatkan. Hal ini karena ada beberapa faktor yang mendukung terjadinya inflamasi di gingiva, pengaruh hormon, pola hidup, dan usia yang semakin bertambah, wanita yang hamil di atas usia 28 tahun resiko terjadinya gingivitis kehamilan itu lebih besar, karena itu salah satu faktor pendukung terjadinya gingivitis kehamilan di kehamilan berikutnya.16,18 Penelitian Offenbacher dkk menemukan bahwa kadar PGE2 (prostaglandin E2) lebih tinggi pada wanita yang melahirkan bayi dengan keguguran. Patogen periodontal yang ditemukan pada wanita hamil, yaitu B. forsythus, P. Gingivalis, T. denticola dan A. Actinomyecetemcomitans. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara penyakit periodontal dengan keguguran. Penyakit periodontal disebabkan oleh bakteri anaerob gram negatif. Toksin dari bakteri ini berupa endotoksin / lipopolisakarida (LPS), yang akan mencapai uterus melalui aliran darah dan merangsang respon inflamasi jaringan periodontal. Proses ini akan menimbulkan bakterimia. LPS akan memicu mediator inflamatori pada organ sistemik dan jaringan periodontal, terutama sitokini, tumor nekrosis faktor (TNF-α), interleukin (IL-1ß), dan prostaglandin (PGE2) yang dapat mempengaruhi kehamilan. Mediator ini dapat membahayakan unit fetoplasenta dengan menimbulkan kontraksi otot rahim dan dilatasi leher rahim. Keadaan ini meningkatkan resiko keguguran.3,8,10,17 Menurut penelitian yang dilakukan di Padang tahun 2011 hubungan antara kehamilan dan penyakit di rongga mulut dapat terlihat dari insidensi penyakit periodontal selain karena angka insiden yang cukup tinggi juga berkaitan dengan hasil beberapa penelitian mengenai efek penyakit periodontal pada kehamilan. Wanita yang memiliki bayi prematur dan berat badan yang relatif rendah biasanya memiliki kondisi kesehatan periodontal yang lebih buruk dibandingkan dengan bayi berat badan normal.9,14,17 Efek hormon pada masa
100
Andriyani : Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal kehamilan hanya bersifat sementara, karena gingivitis kehamilan ini dapat mereda pada akhir masa kehamilan.9 Gingivitis gravidarum sering terjadi pada bulan ke-2 dan ke-3 masa kehamilan, dengan manifestasi awal terlihat pada minggu ke-8. Puncak keparahan terdapat pada bulan ke-8 masa kehamilan atau kehamilan pada minggu ke-32, kemudian menurun pada bulan ke-9 masa kehamilan seiring dengan menurunnya kadar hormon dalam tubuh.1,6,8,10 Hal tersebut yang menyebabkan gejala klinis gingivitis gravidarum lebih sering ditemukan pada pasien trimester ke-3 masa kehamilan daripada pasien trimester pertama.2 Radang pada jaringan periodontal jarang mendapat perhatian dari penderita karena gejalanya yang tidak terlalu mengganggu.1,15 Pada saat hamil, terjadi peningkatan jumlah hormon estrogen dan progesteron, dan peningkatan vaskularisasi menyebabkan pembuluh darah gingiva lebih permeabel dan sensitif dalam menerima respon terhadap iritan lokal seperti plak, kalkulus, dan karies.14 Jika ini terjadi, bakteri pada plak dapat menembus aliran darah secara hematogen, menyerang plasenta, sehingga plasenta memberi mekanisme perlawanan dengan meningkatkan kadar hormon prostaglandin yang mengakibatkan kontraksi uterus meningkat dan menginduksi kelahiran kurang bulan (prematur).13 Penelitian yang dilakukan oleh Jeffcoat di America (2001) menunjukkan bahwa ibu dengan periodontitis kehamilan memiliki risiko kelahiran bayi prematur dengan berat badan lahir rendah sebesar 4,45-7,07 kali lebih tinggi dari ibu dengan periodontal sehat.17 Ibu hamil dengan gingivitis memiliki faktor resiko terjadinya bayi lahir dengan berat badan rendah. Hal ini seperti penelitian yang dilakukan Retnoningrum pada tahun 2006 di rumah sakit Dr. Kariadi Semarang, yang melaporkan bahwa gingivitis pada ibu hamil mempunyai faktor resiko bayi lahir dengan berat badan lahir rendah sebesar 8,75 kali dibanding ibu yang tidak mengalami gingivitis. Catatan PDGI yang diterbitkan tahun 1996 menunjukkan 7 dari 10 perempuan hamil yang menderita radang gusi berpotensi besar memiliki anak yang lahir premature dengan berat badan lahir rendah. Data tersebut diperkuat Survei Kesehatan Nasional tahun 2002 yang menyebutkan bahwa 77% ibu hamil yang menderita radang gusi melahirkan bayi secara prematur.8,9 Infeksi bakteri pada jaringan periodontal dengan kondisi rongga mulut yang buruk pada ibu hamil dapat mempermudah proses patogenik dari bakteri dan produknya. Proses ini terjadi melalui jalur hematogen yang selanjutnya akan mempengaruhi janin. Pada masa kehamilan akan terjadi perubahan keseimbangan flora normal rongga mulut dan perubahan hormonal yang dapat mempengaruhi kondisi rongga mulut.10 Selama
kehamilan, terjadi perubahan pH saliva, pH cairan gingiva dan aktivitas hormon perempuan hamil dalam cairan gingiva yang akan mempengaruhi perkembangan plak dengan dominasi bakteri anaerob.2 DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Apriasari MA. dan Hasbullah DP. Prevalensi Gingivitis dan Epulis Gravidarum pada Wanita Hamil Trimester ke-tiga di RSUD Banjarbaru (Januari-Juni 2012). Departemen Penyakit Mulut. Dentino Jurnal Kedokteran Gigi. 2012;1(1):129-135 Caranza FA. Newman MG. and Takei HA. Clinical Periodontology. St. Louis Missouri : Sauders. 10th ed. 2002. p16-67, 212-520 Pirie M. Linden G. and Irwin C. Dental Manifestation of pregnancy. The obstetrician and gynecologist. 2007;(9):21-26 Kanotra SS. Pai KM. Dental Consideration in Pregnancy : review. Rev. clin. Pesq. Odontal. 2010;6(2):161-162 Lafaurie G.I. Gingival Tiddue dan Pregnancy. Directur Oral Basic Research Unit. University El-Basque. 2009;(10):101-112 Mercuschamer E, Hawley CE. and Speckman Israel. A lifetime of normal hormonal event and their impact on periodontal health. Perinatol Repord Hum. 2009;23(2):53-64 Jared H. and Boggess KA. Periodontal Disease and Adverse pregnancy Outcomes: a review of the Evidence and implication for clinical practice. The journal of dental hygiene. 2008;1(1):3-8 Diana D. Pengetahuan, sikap, dan perilaku wanita hamil pengunjung poliklinik obstetry dan ginekalogi RSU dr. pringadi medan terhadap kesehatan gigi dan mulut selama masa kehamilan. Skripsi kedokteran gigi. Medan : Universitas Sumatera Utara. 2009. Hal6-15 Santoso P. Mekanisme hubungan periodontitis dan bayi premature berat lahir rendah. Jurnal Kedokteran Gigi Indonesia. 2006:1(2):23-28 Hartati N, Suratiah, Mayunilga O. Ibu Hamil dan HIV AIDS. Jurnal Ilmiah Keperawatan. Jakarta. 2009;1(2):39-44 Suresh L. and Radfar L. Pregnancy and lactation. Oral Surg Oral Med Oral Patho Radio Endod. 2004;97(6):672-680. Langlais RP. and Miller CS. Atlas Berwarna kelainan rongga mulut yang lazim. Jakarta : Hipokrates. 2000. Hal26-27 Agueda, A., Echeverria, A. and Manau, C. Association between periodontitis in pregnancy and preterm or low birth weight. Journal Of Clinical Periodontology, 2008;35(10);16-22. Hasibuan, S. Perawatan dan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada masa
101
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 95 - 101
kehamilan. Skripsi Kedokteran Gigi. Medan : Universitas Sumatera Utara. 2004 hal10-14 15. Affandi, R. Perawatan gigi dan mulut pada keadaaan kehamilan. Bagian Gigi Mulut. Jurnal Kedokteran Gigi. 2006;11(2);9-15. 16. Manter M. 2005. Pregnancy and oral health modules. Mid-Iowa Foundation: Delta Dental of Iowa. Pp.3-11Moeis,FE. PDGI Online : Meneropong Penyakit melalui Gigi, (Online), http://www.pdgionline.com/v2/index.php?optio n=com_content&task=view&id=800& Itemid=1 (diakses 26 Desember 2011)
17. Offenbacher S. Jared HL. O’Reilly PG. Wells SR. Salvi GE. Lawrence HP. Potential pathogenic mechanism of periodontitis associated pregnancy complication. Ann Periodontol. 1998;l3(2):233-47. 18. Hajikazemi ES, Oskouie F, Mohseny S, Nikpour S, Haghany H. The relationship between knowledge, attitude, and practice of pregnant women about oral and dental care. European Journal of Scientific Research. 2008; 24(4): 556-62.
102
DENTINO JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014
Laporan Penelitian HUBUNGAN PELAKSANAAN UKGS DENGAN STATUS KESEHATAN GIGI DAN MULUT MURID SEKOLAH DASAR DAN SEDERAJAT DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CEMPAKA PUTIH KOTA BANJARMASIN
Rosihan Adhani, Ringga Setiawan, Bayu Indra Sukmana, Teguh Hadianto Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACK Background: UKGS is a program of oral health services that provide promotive, preventive, curative, and rehabilitative for school-age children in the target schools in order to get a healthy generation. UKGS program running since 1951, but the dental health status at age 12 is still not satisfactory. Results of RISKESDAS in 2007, the prevalence of caries in Indonesia is 67.2 %, the prevalence of active caries at age 12 is 29.8 %, 36.1 % caries experience, RTI is 62.3 %, and only 0.7% of PTI. Purpose: The purpose of this study was to determine the relationship of implementation UKGS and the oral health status of pupils in Cempaka Putih Local Health Clinic. Methods: This type of research was an analytic survey with cross sectional approach. Samples totaling 121 students were taken by using purposive sampling, 10 teachers of UKGS Supervisors, and 1 dentist. Data obtained from interviews and analysis of index examination of DMF-T PUFA, OHIS, and CPITN. Results: The results of this study for tooth defect was relatively at low levels, caries-free rate was low, the level of oral hygiene is classified as good and the level of periodontal health is good.Conclusion: The results of the analysis with the Fisher exact test with aconfidence level of 95% indicated there was no significant relationship between UKGS program implementation and the oral health status of pupils (p >0.05).
Keywords: UKGS, DMF-T PUFA, OHIS, and CPITN.
ABSTRAK Latar Belakang: UKGS adalah program pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang memberikan pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi anak usia sekolah di lingkungan sekolah binaan agar mendapatkan generasi yang sehat. Program UKGS berjalan sejak 1951, tetapi status kesehatan gigi pada usia 12 tahun masih belum memuaskan. Hasil RISKESDAS tahun 2007, prevalensi karies di Indonesia adalah 67,2%, prevalensi karies aktif umur 12 tahun 29,8%, pengalaman karies 36,1%, RTI 62,3%, dan PTI hanya 0,7%. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pelaksanaan program UKGS dengan status kesehatan gigi dan mulut murid di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Banjarmasin.Metode:Jenis penelitian yang digunakan adalah survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel berjumlah 121 murid diambil dengan teknik purposive sampling, 10 guru Pembina UKGS, dan 1 dokter gigi. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan analisis pemeriksaan indeks DMF-T PUFA, OHIS, CPITN.Hasil: Hasil penelitian untuk tingkat kerusakan gigi tergolong rendah, angka bebas karies masih rendah, tingkat kebersihan mulut tergolong baik dan sedang dan tingkat kesehatan jaringan periodontal tergolong baik.Kesimpulan: Hasil analisis dengan uji Fisher exact dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukan tidak terdapat hubungan antara pelaksanaan program UKGS dengan status kesehatan gigi dan mulut murid di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Banjarmasin (p > 0,05).
Kata-kata kunci: UKGS, DMF-T PUFA, OHIS, dan CPITN.
103
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 102 - 109
Korespondensi: Ringga Setiawan, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN Kondisi kesehatan gigi dan mulut di Indonesia saat ini masih sangat memprihatinkan, perlu perhatian serius dari tenaga kesehatan. Hasil studi morbiditas Studi Kesehatan Rumah Tangga Survei Kesehatan Nasional 2001, dari prevalensi sepuluh kelompok penyakit yang dikeluhkan masyarakat, penyakit gigi dan mulut di urutan pertama dengan prevalensi 61%, diderita oleh 90% penduduk Indonesia dan 89% anak di bawah umur 12 tahun.1,2Sebesar 62,4% penduduk terganggu sekolahnya karena sakit gigi selama rata-rata 3,86 hari per tahun.3Karies gigi dan penyakit periodontal dapat dicegah melalui kebiasaan memelihara kesehatan gigi dan mulut sejak dini dan secara kontiniu.4Hasil National Oral Health Survey (NOHS) tahun 2006 di Filipina, 97,1% anak sekolah dasar umur 6 tahun dan 78,4% anak umur 12 tahun mengalami karies, dan hampir 50% menderita infeksi odontogenic dengan karies yang mencapai pulpa, ulserasi, fistula dan abses (PUFA).5 Status kesehatan gigi dan mulut usia 12 tahun merupakan indikator utama pengukuran pengalaman karies gigi yang dinyatakan dengan indeks Decay Missing Filling Tooth(DMF-T). World Health Organization dalam HealthforAllbytheYear2000 menargetkan pada tahun 2000 sebanyak 50% anak usia 5 - 6 tahun bebas karies, hingga saat ini target tersebut belum tercapai.6World Health Organization tahun 2001 menetapkan Oral Health Global Indicator for year 2015, skor Decay Missing Filling Tooth (DMF-T) pada usia 12 tahun<3. Target nasional indeks Decay Missing Filling Tooth (DMF-T)rata-rata ≤ 2, target Oral Higiene Index Simplify(OHI-S)rata-rata adalah ≤ 1,2 dan indeks Community Periodontal Index of Treatment Needs(CPITN) ≥ 3 sekstan.7Oleh karena itu, dibutuhkan upaya pencegahan penyakit gigi melalui sekolah, pada jenjang yang lebih awal.7 Agar target pencapaian gigi sehat WHO tercapai, dibutuhkan perhatian dan penanganan serius dari tenaga kesehatan, baik dokter gigi maupun perawat gigi serta suatu tindakan pencegahan.8Pencegahan ditujukan kepada murid sekolah melalui suatu program kesehatan yang terencana dan terpadu di sekolah dasar.9,12Langkahlangkah tindakan pencegahan menurut Leavel dan Clark terdiri atas lima tingkat pencegahan (five level of preventive) dalam melakukan pendidikan kesehatan yaitu health promotion, specific protection, early diagnosis and promp treatment, disability limitation, and rehabilitation.10
Usaha untuk mengatasi masalah kesehatan gigi pada anak adalah program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS), yaitu salah satu program pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas dan dibawahi oleh program Usaha Kesehatan Sekolah. UKGS memberikan pelayanan dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang ditujukan bagi anak usia sekolah di lingkungan sekolah binaan agar mendapatkan generasi yang sehat.9Program UKGS berjalan sejak tahun 1951, tetapi status kesehatan gigi pada usia 12 tahun masih belum memuaskan.11Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 (DepKes), prevalensi karies di Indonesia adalah 67,2%. Prevalensi karies aktif umur 12 tahun sebesar 29,8%, pengalaman karies sebesar 36,1%, Required Treatment Index(RTI) 62,3%, dan Performed Treatment Index(PTI) hanya sebesar 0,7%. Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan Kabupaten/Kota Permenkes RI No. 741/Menkes/Per/VII/2008 menunjukkan bahwa cakupan penjaringan kesehatan murid SD dan sederajat sebesar 100% pada tahun 2010. Indeks Decay Missing Filling Tooth (DMF-T) di Kalimantan Selatan umur 12 tahun sebesar 1,17. Prevalensi karies aktif sebesar 39, 6% dan pengalaman karies sebesar 49,2% dengan Required Treatment Index(RTI) sebesar 61,17% dan Performed Treatment Index(PTI) sebesar 1,66%. Banjarmasin merupakan kota yang menerima perawatan atau pengobatan dari tenaga medis yang tinggi tetapi masalah gigi dan mulutnya juga masih cukup tinggi.12,13Tujuandari penelitian ini adalah untuk menganalisa hubungan antara pelaksanaan program UKGS dengan status kesehatan gigi dan mulut murid di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun 2013. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Survey Analitik dengan pendekatan Cross Sectional.Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%.Alat yang digunakan adalah kapas, tisu, alat diagnostik,sarung tangan, masker, senter kecil, probe WHO, formulir informed concent, lembar penilaian indeks (DMF-T PUFA, OHIS, dan CPITN), alat tulis, lembar kuisioner. Populasi pada penelitian ini adalah semua murid di sepuluh sekolah dasar negeri dan sederajat dalam wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun ajaran 2013/2014. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, total sample sebanyak 121 murid dengan kriteria inklusinya adalahbersedia dijadikan sampel dalam penelitian, murid kelas VI berusia 12 tahun, gigi permanen
104
Setiawan : Hubungan Pelaksanaan UKGS
DMF-T rata-rata =
Usaha Kesehatan Gigi Sekolah Kategori UKGS dikelompokkan menjadi UKGS sangat aktif, UKGS aktif, UKGS kurang aktif dan UKGS tidak aktif. Berdasarkan kategori tersebut, maka data hasil penelitian dapat dikelompokkan sebagai berikut: Persentase
lengkap (kecuali gigi molar ketiga),dan kriteria eksklusinya adalahmemiliki riwayat penyakit sistemik, mamakai peranti orthodontik. Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah pelaksanaan program Usaha Kesehatan Gigi Sekolahdan status kesehatan gigi dan mulut yaitu karies gigi, oral hygiene dan kesehatan periodontal murid sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun ajaran 2013 - 2014. Pengumpulan data kegiatan UKGS dilakukan di Puskesmas yang diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap dokter gigi dan di sekolah dengan melakukan wawancara terhadap kepala sekolah, wali kelas, atau guru olahraga.Data status kesehatan gigi dan mulut diperoleh dengan memeriksa rongga mulut semua sampel untuk melihat status kerusakan gigi, status kebersihan mulut, status kesehatan jaringan periodontal.Dalam hal ini, indeks kerusakan gigi yang dipakai adalah indeks yang diperkenalkan oleh Wim Van Palenstein yaitu indeks DMF-T PUFA.Rumus menghitung DMF-T PUFA= jumlah gigi decay + missing + filling + pulp involvmet + ulcerative + abscess.
100% 80% 60% 40% 20% 0%
UKGS
UKGS UKGS Aktif Sangat Aktif
HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin pada bulan Agustus 2013.Hasil penelitianhubungan pelaksanaan program UKGS dengan status kesehatan gigi dan mulut murid sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun ajaran 2013 - 2014.Berikut ini merupakan hasil penelitian hubungan pelaksanaan UKGS dengan status kesehatan gigi dan mulut murid sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun 2013-2014.
UKGS Tidak Aktif
Gambar 1
Kategori pengelompokkan sekolah dalam pelaksanaan UKGS di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun 2013-2014.
Tabel 1
Gambaran sekolah dalam pelaksanaan UKGS di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun 2013-2014.
∑D + ∑M + ∑F +∑P + ∑U + ∑F + ∑A ∑ orang yang diperiksa
Kategori DMF-T menurut WHO yaitu sangat rendah = 0,0 – 1,1, rendah = 1,2 – 2,6 , sedang = 2,7 – 4,4 , tinggi = 4,5 – 6,5, sangat tinggi = > 6,6. Indeks kebersihan mulut yang digunakan adalah menurut Green dan Vermillion, yaitu indeks Oral Hygiene Simplified (OHI-S) yang merupakan penjumlahan dari indeks debris dan indeks kalkulus. Baik apabila skor = 0-1,2, sedang = skor 1,3-3 , dan buruk = skor 3,1-6.Index resmi untuk mengukur kondisi jaringan periodontal serta perkiraan kebutuhan perawatan adalah Community Periodontal Index Treatment of Needs (CPITN) dari WHO.Baik apabila sekstan gusi sehat >3, sedang 2,1-2,9, buruk < 2.Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan analisis bivariate dengan uji fisher exact.
UKGS Kurang Aktif
Kategori UKGS
Cakupan
Frekuensi (Sekolah) Persen
Sangat Aktif
UKGS tahap III
-
Aktif Kurang Aktif Tidak Aktif Jumlah Sekolah
-
SDN Kebun Bunga 1 SDN Kebun Bunga 3 SDN Kebun Bunga 4 SDN Kebun Bunga 5 SDN Kebun Bunga 6 SDN Kuripan 1 SDN Kuripan 2 SD Muhammadiyah 9 SDN Kebun Bunga 9 MI Sullamut Taufiq 10
Prosentase berdasarkan distribusi data pada Tabel1 untuk kelompok dengan kategori UKGS sangat aktif ada 8 sekolah (80%), kategori UKGS aktif ada 2 sekolah (20%), dan tidak ada yang masuk dalam kategori UKGS kurang aktif dan UKGS tidak aktif (0%) Hasil wawancara dengan dokter gigi Puskesmas diperoleh cakupan sekolah yang mendapat pelayanan UKGS tahap III memiliki cakupan 100%.Wawancara dengan guru Pembina UKGS di sepuluh sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih mengenai kegiatan UKGS yang dilaksanakan adalah kunjungan petugas kesehatan ke sekolah (minimal 2 kali dalam satu tahun), pembinaan oleh lintas sektor melalui tim pembina UKS Kecamatan, guru yang mengikuti pelatihan UKGS/UKS, murid yang
105
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 102 - 109
Status Kesehatan Gigi dan Mulut
Persentase (%)
Status kesehatan gigi dan mulut dapat dilihat dari angka bebas karies, tingkat kerusakan gigi (DMF-T PUFA), tingkat kebersihan mulut (OHIS) dan tingkat kesehatan jaringan periodontal (CPITN). UKGS Sangat Aktif UKGS Aktif
100% 80% 60% 40% 20% 0%
Gambar 2
Karies Gigi
Bebas Karies
UKGS Kurang Aktif UKGS Tidak Aktif
Angka karies dan bebas karies murid sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun 20132014.
Angka bebas karies anak usia 12 tahun berdasarkan distribusi data pada gambar 2 untuk kategori UKGS sangat aktif ada 23 orang (23%) dan yang mengalami karies ada 75 orang (77%). Anak laki laki yang mengalami karies ada 38 orang (39%) dan yang bebas karies ada 15 orang (15%).Anak perempuan yang mengalami karies ada 37 orang (38%) dan yang bebas karies ada 8 orang (8%). Angka bebas karies anak 12 tahun untuk kategori UKGS aktif ada 4 orang (17%) dan yang mengalami karies ada 19 orang (83%). Anak laki laki yang mengalami karies ada 10 orang (43%) dan yang bebas karies ada 2 orang (9%).Anak perempuan yang mengalami karies ada 9 orang (39%) dan yang bebas karies ada 2 orang (9%). Kategori DMF-T PUFA D M F P U F A Total
UKGS Sangat Aktif Jumlah Mean (Gigi) 169 1.72 8 0.08 13 0.13 32 0.32 18 0.18 240 2.44
UKGS Aktif Jumlah (Gigi) 31 1 1 12 5 50
Mean 1.34 0.04 0.04 0.52 0.22 2.17
Tabel 2
Angka kerusakan gigi murid sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun 2013-2014.
Berdasarkan distribusi data pada Tabel 2diketahui bahwa rata-rata indeks kerusakan gigi (DMF-T PUFA) murid sekolah dasar untuk kelompok UKGS sangat aktif adalah 2,44 termasuk dalam kategori WHO rendah dengan jumlah decay sebanyak 169 (70%), missing 8 (3,5%), filling 13 (5,5%), pulp involvment 32 (13,5%), fistula 18 (7,5%), tidak tedapat ulcerative dan abscess.Untuk kelompok UKGS aktif rata rata indeks DMF-T PUFA adalah 2,17 termasuk dalam kategori WHO rendah dengan jumlah decay sebanyak 31 (62%), missing 1 (2%), filling 1 (2%), pulp involvment 12 (24%), fistula 5 (10%), tidak tedapat ulcerative dan abscess. 50% 40% 30% 20% 10% 0%
UKGS Sangat Aktif UKGS Aktif
Persentase (%)
mengikuti pelatihan dokter kecil, penyuluhan, sikat gigi masal, pelayanan medik gigi dasar atas dasar permintaan pada murid kelas I-VI (care on demand), pelayanan medik gigi dasar kelas terpilih sesuai kebutuhan untuk kelas I, III,dan IV, dan rujukan bagi siswa yang membutuhkan perawatan. Frekuensi kegiatan UKGSdilakukan 1 kali dalam sebulan untuk kegiatan pelayanan medik gigi dasar dan minimal 2x setahun untuk kegiatan lain.
Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat Rendah tinggi
DMF-T PUFA
Gambar 3
UKGS Kurang Aktif UKGS Tidak Aktif
Tingkat kerusakan gigi murid sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun 2013-2014.
Berdasarkan distribusi data pada gambar 3 tingkat kerusakan gigi untuk kelompok UKGS sangat aktif dengan kategori sangat rendah ada 39 orang (40%), kategori rendah ada 16 orang (16%), kategori sedang ada 24 orang (25%), kategori tinggi ada 14 orang (14%) dan kategori sangat tinggi ada 5 orang (5%). Untuk kelompok UKGS aktif tingkat kerusakan gigi dengan kategori sangat rendah ada 9 orang (40%), kategori rendah ada 6 orang (26%), kategori sedang ada 6 orang (26%), kategori tinggi ada 1 orang (4%) dan kategori sangat tinggi ada 1 orang (4%). Berdasarkan rata-rata indeks karies gigi (DMF-T PUFA) sepuluh sekolah dan hasiluji fisher (p = 0,359) maka dapat diketahuibahwatidak ada hubungan antara pelaksanaan program UKGS dengan status kerusakan gigi murid sekolah dasar. Kategori OHI-S
UKGS Sangat Aktif N Mean
N
Mean
DI- S
98
0.87
23
1.17
CI- S
98
0.31
23
0.28
OHI- S
98
1.17
23
1.45
Tabel 3
UKGS Aktif
Gambaran oral higiene murid sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun 2013-2014.
106 UKGS Sangat Aktif UKGS Aktif
80% 60% 40% 20% 0%
Baik Sedang OHI-S
Gambar 4
Buruk
UKGS Kurang Aktif UKGS Tidak Aktif
Tingkat oral higiene murid sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun 2013-2014.
Berdasarkan distribusi data pada Tabel 3 diketahuibahwa rata-rata indeks kebersihan mulut (OHI-S) pada murid sekolah kelompok UKGS sangat aktif adalah 1,17 termasuk dalam kategori baik. Rata rata debris indeks adalah 0,87 dan rata rata calculus indeks adalah 0,31. Rata-rata indeks kebersihan mulut (OHI-S) pada murid sekolah kelompok UKGS aktif adalah 1,45 termasuk dalam kategori sedang. Rata rata indeksdebris adalah 1,17 dan rata rata indekskalkulus adalah 0,28. Tingkat OHI-S murid sekolah berdasarkan distribusi data pada Gambar 4 untuk kelompok UKGS sangat aktif dengan kategori baik ada 61 orang (62%), kategori sedang ada 34 orang (35%), kategori buruk ada 3 orang (3%). Tingkat OHI-S murid sekolah untukkelompok UKGS aktif dengan kategori baik ada 8 orang (35%), kategori sedang ada 15 orang (65%), dan tidak ada yang masuk dalam kategori buruk. Berdasarkan rata-rata indeks kebersihan mulut (OHIS) sepuluh sekolah dan hasiluji fisher (p = 1) maka dapat diketahuibahwa tidak ada hubungan antara pelaksanaan program UKGS dengan status kebersihan mulut murid sekolah dasar. Kategori CPITN CPITN
Tabel 4
UKGS Sangat Aktif N 98
Mean 5.9 sekstan
UKGS Aktif N 23
Mean 6 sekstan
Gambaran kesehatan jaringan periodontal murid sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun 2013-2014.
Berdasarkan distribusi data pada Tabel 4 diketahui bahwa rata-rata indeks kesehatan jaringan periodontal (CPITN) pada murid sekolah untuk kelompok UKGS sangat aktif adalah 5,9 sekstan termasuk dalam kategori WHO baik.Rata-rata indeks kesehatan jaringan periodontal (CPITN) pada murid sekolah untuk kelompok UKGS aktif adalah 6 sekstan termasuk dalam kategori WHO baik.
UKGS Sangat Aktif UKGS Aktif
150%
Persentase (%)
Persentase (%)
Setiawan : Hubungan Pelaksanaan UKGS
100% 50% 0%
Gambar 5
Baik
Sedang CPITN
Buruk
UKGS Kurang Aktif UKGS Tidak Aktif
Tingkat kesehatan jaringan periodontal murid sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun 2013-2014.
Tingkat kesehatan jaringan periodontal berdasarkan distribusi data pada Gambar 5 untuk kelompok UKGS sangat aktif dengan kategori baik ada 97 orang (99%), kategori sedang ada 1 orang (1%).Tingkat kesehatan jaringan periodontal untuk kelompok UKGS aktif dengan kategori baik ada 23 orang (100%), tidak ada yang masuk dalam kategori sedang dan buruk (0%). Berdasarkan rata-rata indeks kesehatan jaringan periodontal (CPITN) sepuluh sekolahdan hasil uji fisher (p = 1) maka dapat diketahuibahwa tidak ada hubungan antara pelaksanaan program UKGS dengan status kesehatan jaringan periodontal. PEMBAHASAN Rendahnya angka bebas karies di sepuluh sekolah dasar mengindikasikan bahwa kegiatan UKGS yang dilakukan di sepuluh sekolah ini belum optimal dalam upaya meningkatkan kesehatan gigi dan mulut murid melalui UKGS, terlihat dari angka bebas karies murid di sepuluh sekolah dasar adalah 23% untuk kategori UKGS sangat aktif dan 17% untuk UKGS kategori aktif, masih jauh dari target tahun 2020 sebesar 70% dan DMF-T di sepuluh sekolah dasar <1.35Beberapa hal yang mempengaruhi status kerusakan gigi dalam pelaksanaan UKGS di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih adalah pengetahuan murid, motivasi dan kesadaran dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut yang kurang, pelayanan medik gigi dasar yang diberikan oleh fasilitas pelayanan yang belum optimal, kerusakan gigi yang cenderung tidak mau dirawat. Menurut Schuurz (1992) menyebutkan bahwa perawatan gigi sangat penting dilakukan agar anak terhindar dari kerusakan gigi dan penyakit gusi.14 Rosdawati (2004) menjelaskan bahwa pengetahuan yang cenderung baik, kurang memotivasi untuk bersikap dan melalukan tindakan pemeliharaan gigi.15 Hockenberry dan Wilson (2007) mengatakan anak usia sekolah memiliki motivasi yang kurang dalam melakukan perawatan gigi.16 Kawuryan (2008) mengatakan bahwa 8 dari 10 anak Indonesia pada kelompok usia 12 tahun mengalami gigi
107
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 102 - 109
berlubang.17 Sutarmi (2009) menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan perawatan gigi berhubungan dengan kejadian karies gigi dan angka kejadian karies gigi didominasi oleh siswa yang tidak melakukan perawatan terhadap kerusakan gigi.18 Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nur Amaniah (2009) pada murid sekolah dasar di Kabupaten Aceh Tamiang yang menyebutkan bahwa tidak ada pengaruh antara UKGS dengan status DMFT.19 Didukung dengan hasil penelitian Pratiwi (2008)yang memperoleh rata-rata pengalaman karies gigi (DMF-T) sebesar 2,77 pada siswa SD di wilayah kerja Puskesmas Kota Binjai Medan masih jauh dari target kesehatan gigi Indonesia tahun 2020, yaitu skor DMF-T anak usia 12 tahun adalah <1.20 Hal ini disebabkan pelayanan medik gigi dasar atas permintaan dan pelayanan medik gigi dasar sesuai kebutuhan pada kelas selektif (kelas VI) belum optimal dilaksanakan oleh petugas UKGS untuk usia 12 tahun di kesepuluh sekolah tersebut dikarenakan program ART baru berjalan beberapa bulan. Decay (D) rata-rata, Pulp Involvment (P) rata rata dan Fistula (F) rata rata masih lebih tinggi dibandingkan dengan filling (F). Hal ini mengindikasikan bahwa petugas UKGS perlu meningkatkan pelayanan medik gigi dasar berupa penambalan gigi kepada siswa yang mengalami gigi berlubang agar tidak mengakibatkan kerusakan yang lebih lanjut ataupun dicabut.Menurut laporan, kesepuluh sekolah ini telah memperoleh pelayanan UKGS tahap III, seharusnya tidak ditemukan lagi adanya kerusakan gigi pada siswa kelas selektif (kelas VI). Meskipun target indeks kebersihan mulut tahun 2020 sudah tercapai dengan OHI-S kategori baik, kegiatan penyuluhan dan pelaksanaan sikat gigi masal oleh petugas UKGS belum optimal dengan frekuensi pelaksanaan penyuluhan dan sikat gigi massal tidak sesuai dengan standar frekuensi pelaksanaan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2000 yaitu <8 kali dalam setahun .12Beberapa hal yang mempengaruhi status kebersihan mulut dalam pelaksanaan UKGS di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih adalah kurangnya penyuluhan dan sikat gigi massal, pengetahuan, sikap dan perilaku memelihara kesehatan gigi dan mulut. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Silvia Anitasari dan Liliwati (2005) tentang kesehatan gigi dan mulut pada murid-murid kelas I–VI SDN Kecamatan Palaran Kotamadya Samarinda Propinsi Kalimantan Timur yang menunjukkan bahwa murid-murid yang mendapat penyuluhan dan pelatihan cara menyikat gigi yang baik dan benar, berpengaruh terhadap tingkat kebersihan gigi dan mulut mereka. Hal ini berarti proses belajar yang mereka dapat melalui program penyuluhan dan pelatihan yang diberikan dapat dimengerti dan dipraktekkan dalam keseharian murid-murid ini.21
Potter dan Perry (2005) mengatakan bahwa menggosok gigi merupakan dasar untuk program oral hygiene yang efektif.22 Hal ini sesuai dengan teori Notoadmodjo (2007) menyatakan bahwa pengetahuan mengenai kesehatan akan berpengaruh terhadap perilaku sebagai hasil jangka panjang dari pendidikan kesehatan23.Hal ini didukung oleh penelitian Widyawati (2009) yang menyebutkan bahwa penyuluhan kesehatan gigi dan mulut berpengaruh pada sikap untuk memelihara kebersihan mulut.24Pernyataan tersebut diatas mendukung hasil penelitian yang dilakukan Dara (2011) pada anak usia 9 – 12 tahun di SDN Maccini I,II,III,IV dan SD Inpres Maccini I/I Makassar, dimana didapatkan hasil adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut, sikap, dan tindakan pemeliharan kesehatan gigi dan mulut dengan status kebersihan mulut. Pengetahuan, sikap, dan tindakan merupakan bagian dari perilaku yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kebersihan mulut.25 Beberapa hal yang mempengaruhi status kesehatan gigi dan mulut dalam pelaksanaan UKGS di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih adalah kesadaran dan perilaku memelihara kesehatan gigi dan mulut, kerusakan gigi yang cenderung tidak dirawat, oral hygiene, pelayanan medik gigi dasar yang belum optimal.Menurut Schuurz (1992) menyebutkan bahwa perawatan gigi sangat penting dilakukan agar anak terhindar dari kerusakan gigi dan penyakit gusi.14E.R Widi (2003) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kesehatan jaringan periodontal adalahfaktor kesadaran dan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut.26Hasil Penelitian ini sesuai dengan penelitian Ramola (2006) pada siswa kelas 6 SD di wilayah kerja puskesmas kota Matsum yang mana rerata sekstan gusi sehat >3 sekstan.27 Levinus (2013) mengatakan bahwa sehat atau tidaknya jaringan periodontal seseorang lebih dipengaruhi oleh keadaan oral hygiene atau kebersihan rongga mulut dan cara memeliharanya, dikarenakan belum optimalnya pelayanan medik gigi menyebabkan tingkat kerusakan gigi sangat beresiko untuk bermanifestasi pada kerusakan jaringan periodontal.28 Temuan pada penelitian ini adalah dari sepuluh sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih, delapan sekolah (80%) termasuk dalam kategori UKGS Sangat Aktif, dan dua sekolah (20 %) sekolah termasuk kategori UKGS Aktif.Angka bebeas karies murid di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih tergolong masih rendah dilihat dari angka bebas karies murid pada kelompok UKGS Sangat Aktif sebesar 23% dan angka bebas karies murid pada kelompok UKGS Aktif sebesar 17%.Tingkat kerusakan gigi dan mulut (DMFT PUFA) murid di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih belum mencapai target
108
Setiawan : Hubungan Pelaksanaan UKGS nasional yaitu skor DMFT PUFA>1, meski termasuk dalam kategori rendah oleh WHO (rentang skor 1,2-2,6), dilihat dari DMFT PUFA kelompok UKGS Sangat Aktif dengan skor sebesar 2,44 dan DMFT PUFA kelompok UKGS Aktif dengan skor sebesar 2,17. Tingkat kebersihan mulut (OHIS) murid di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih telah mencapai target nasional yaitu skor OHIS termasuk dalam kategori baik dilihat dari skor OHIS kelompok UKGS Sangat Aktif sebesar 1,17 dan skor OHIS kelompok UKGS Aktif sebesar 1,45.Tingkat kesehatan jaringan periodontal (CPITN) murid di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih telah mencapai target nasional yaitu skor CPITN termasuk dalam kategori baik (>3 sekstan) dilihat dari skor CPITN kelompok UKGS Sangat Aktif sebesar 5,9 sekstan dan skor CPITN kelompok UKGS Aktif sebesar 6 sekstan.Performed Treatment Index (PTI) murid di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih belum mencapai target nasional yaitu > 50%.Required Treatment Index (RTI) murid di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih tergolong sangat rendah dilihat dari RTI<50%.
8.
DAFTAR PUSTAKA
14.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Hidayat AF, Kasim F, Suwendere W. Perbedaan Indeks Oral Higiene pada anak usia sekolah dasar dengan dan tanpa program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah wilayah Puskesmas Babakansari Kota Bandung tahun 2011. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Maranatha. 2011. p. 1-4. Hamrun N, Rathi M. Perbandingan status gizi dan karies gigi pada murid SD Islam Athirah dan SD Bangkala III Makassar. Dentofasial 2009; 8 (1): 27-31. Sriyono NW. Pencegahan Penyakit Gigi dan Mulut Guna Meningkatkan Kualitas Hidup. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gajah Mada. 2009: p. 3-4. Riyanti E. Pengenalan dan perawatan kesehatan gigi anak sejak dini. Jakarta: EGC. 2005: p. 3-5. Anonymous. Promoting oral health in public elementary schools.Department Education Order Republic of the Philippines. 2007; 73 (19): p. 11-15. Petersen PE, Bourgeois D, Brathall D, Ogawa H. Oral health information systems-towards measuring progress in oral health promotion and disease prevention. Bulletin of the World Health Organization. 2005; 83 (50) : 690. Anonymous. Pedoman Pelaksanaan Kesehatan Gigi Sekolah. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 1999. p. 5-10.
9.
10.
11.
12.
13.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Angela A. Pencegahan primer pada anak yang beresiko karies tinggi. Dentika Dent J. 2005; 38: (3): 130. Herijulianti E, Indriani TS, Artini S. Pendidikan kesehatan gigi. Jakarta: EGC. 2002. p. 119-132. Megananda HP, Eliza H, Neneng N. Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi. Jakarta: EGC; 2012. p. 6-7. Zulkarnain RAA, Riyanti E, Sasmita IS. The differences of caries prevalence and caries index of children in primary school with and without Dental Health Care Programme (UKGS) in Kota Batam. Padjajaran.Padjajaran Journal of Dentistry. 2009; 21(1): 36-40 Anonymous. Pedoman Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS). Jakarta: Direktorat Bina Upaya kesehatan Dasar Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementrian Kesehatan; 2012. p. 1-5; 7-12. Anonymous. The National Institute of Health Research and Development Ministry of Health Republic of Indonesia. Jakarta: National Basic Health Research R.I; 2008. p. 128-146. Shuurz AHB. Patologi gigi geligi: kelainan kelainan jaringan keras gigi. Yogyakarta: Gajah Mada University press; 1992. p. 135. Rosdawati L. Hubungan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut dengan status kesehatan gigi dan mulut murid di Kabupaten Langkat tahun 2004. Ussu press. 2005; 121(11) :11-15. Hockenberry MJ. Wilson D. Wong’s nursing care infant and children. St. Louis: Masby Elsevier; 2007. p.1-5. Kawuryan U. Hubungan pengetahuan tentang kebersihan gigi dan mulut dengan kejadian karies gigi anak SDN Kleco II kelas V dan VI Laweyan Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2008. p. 1-5. Sutarmi. Hubungan tingkat pengetahuan tentang perawatan gigi dengan kejadian karies gigi pada siswa kelas V dan VI SD Kedungbulus Kecamatan Prembun Kabupaten Kebumen.Jurnal keperawatan Indonesia. 2008: 5(1): 5-10. Nur Amaniah. Hubungan faktor manjemen dan tenaga pelaksana UKGS dengan cakupan pelayanan UKGS serta status kesehatan gigi dan mulut murid sekolah dasar di Kabupaten Aceh Tamiang. Medan: Fakultas Kedoteran Gigi Sumatera Utara; 2010. p. 78. Pratiwi, Netty. Hubungan karakteristik organisasi dengan kinerja program UKGS kota Binjai. Medan: Fakultas Kedoteran Gigi Sumatera Utara; 2008.p. 15. Anitasari S, Liliwati. Pengaruh Frekuensi Menyikat Gigi Terhadap Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa-Siswi Sekolah Dasar
109
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 102 - 109
Negeri di Kecamatan Palaran Kotamadya Samarinda Propinsi Kalimantan Timur. Dentika Dent J. 2005; 10(1): 22. 22. Potter PA, Perry AG. Fundamental Nursing: concept, process, and practice Ed 6. St. Louis: Mosby year book; 2005. p. 151. 23. Notoadmojo S. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka cipta; 2007. p. 15. 24. Widyawati YR. Pengaruh penyuluhan kesehatan gigi dan mulut terhadap sikap anak dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut pada siswa kelas IV dan V SDK Santa Maria Ponorogo. Jurnal keperawatan Indonesia. 2009; 5(1): 1-5. 25. Dara. Hubungan pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut, sikap dan tindakan pemeliharaan kesehatan gigi dengan status kebersihan gigi dan mulut pada anak usia 9-
12 tahun di SDN Maccini I,II,III,IV dan SD Inpres Maccini I/I Makassar. Makassar: FKG Unhas; 2011. p. 5. 26. E.R Widi. Hubungan perilaku membersihkan gigi terhadap tingkat kebersihan mulut siswa sekolah dasar negeri wilayah kerja puskesmas gladak pakem kabupaten jember. JKGI 2003; 10 (3): 10;13. 27. Ramola E. Faktor faktor yang berhubungan dengan Need dan Demand kesehatan gigi siswa kelas VI SD dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi di wilayah kerja Puskesmas Kota Matsum tahun 2005. Medan: Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 2006. p. 5-10. 28. Levinus PS, Zuliari K, Eunike MS. Gambaran status jaringan periodontal pada pelajar di SMA 1 Manado. Manado: Fakultas kedokteran Universitas Sam Ratulangi; 2013. p. 5.