IPTEK DAN SENI DALAM ISLAM
A. Pengertian Ilmu Muncul Munculnya nya suatu suatu il ilmu mu tidak tidak lepas lepas dari dari suatu suatu pengeta pengetahua huann yang yang dipero diperoleh leh sebelumnya. Seseorang tidak mungkin mendapatkan suatu ilmu jika yang bersangkutan belum mendapatkan suatu pengetahuan. Oleh karena itu suatu ilmu sering juga disebut dengan pengetahuan, dan atau sering digabungkan menjadi ilmu ilmu pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri dapat diperoleh melalui indera dalam memahami fenomena yang ada di sekitar lingkungannya (Empirisme). Pengetahuan manusia manusia hanya dapat diperoleh melalui melalui pengal pengalama aman, n, dan tanpa tanpa pengal pengalama amann manusi manusiaa tidak tidak akan dapat dapat memper memperole olehh pengetahuan. Pada sisi lain pengetahuan juga dapat diperoleh melalui ide-ide yang berada dalam fikirannya (Rasionalisme). Pada aliran empirisme metode yang digunakan adalah induktif (suatu metode ilmiah yang bergerak dari hal-hal yang bersifat khusus (individual) menuju hal-hal yang bersifat umum ), sedangkan pada aliran rasionalisme suatu me meto tode de yang yang metode metode penelaa penelaahann hannya ya adalah adalah menggun menggunakan akan metode metode dedukti deduktiff (suatu bergerak dari hal-hal yang bersifat umum/universal kemudian atas dasar itu ditetapkan hal-hal yang bersifat khusus).
Pembahasan mengenai ilmu ini, al-Qur’an tidak secara tegas mengikuti aliranaliran tertentu, tetapi kalau menelusuri ayat demi demi ayat, maka kedua metode tersebut digunakan digunakan oleh al-Qur’an. al-Qur’an. Ketika Ketika manusia manusia diperintah Allah untuk memperhatikan, memperhatikan, menelaah dan meneliti fenomena alam semesta (lihat Q.S. 3 : 191), maka pada dasarnya metode induktif induktif itul itulah ah sedang ditawarkan ditawarkan al-Qur’an. al-Qur’an. Observasi Observasi dan eksperimentas eksperimentasii didasarkan pada fakta-fakta yang dapat diuji kebenarannya. Kemudian ketika manusia diperintah menyatakan bahwa Tuhan itu Esa, maka hakekatnya Allah telah mengenalkan metode deduktif. Melalui cara induktif atau deduktif itulah maka ilmu dinyatakan sebagai sistem dari pelbagai pengetahuan yang masing-masing masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaaan pemeriksaaan pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan metode-metode tertentu. Kemudian ilmu juga dapat didefinisikan sebagai suatu suatu sistem dari pelbagai pelbagai pengetahuan, pengetahuan, yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun sedemikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan (lihat Ensiklopedia Indonesia). Ilmu sebagai hasil dari produk pemikiran manusia adalah berbeda dengan agama. Oleh karena itu ilmu sebagai pengetahuan yang disusun secara sistematis dan mempunyai metode tertentu, ketepatan dan kebenarannya dapat diuji diuji secara empiris, dapat diriset dan dapat dieksperimen. Hal ini membawa konsekuensi bahwa nilai kebenaran ilmu bersifat relatif. Dalam pengertian lain ilmu sering dikatakan d ikatakan sebagai a posteriori yakni kesimpulan-kesimpulannya ditarik setelah ada pengujian yang berulangulang; dan untuk beberapa ilmu harus dilengkapi dengan percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan essensinya. Islam sangat mendorong mendorong umat manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. pengetahuan. Sebab dengan ilmu manusia manusia dapat mengelola dan mengolah alam semesta semesta dengan sebaik-baiknya. sebaik-baiknya.
Dengan ilmu fenomena alam dapat diamati secara teliti. Dengan ilmu, manusia menjadi dekat dengan Penciptanya dan terangkat derajatnya. Bahkan dengan lmu manusia dapat mengetahui keutuhan dirinya. Allah berfirman dalam surat Az-Zumar : 9 yang berbunyi :
ّكُرَذت َ ي َمتتاَ ّنإِ َمتتوُ َلعْ َي َ َ ِذي ّ َ َ ُموَلعْ َي َ ِذي ّ وِ َسْ َي ْ هَ ْ ُق . ب ِ اَ ْ َْ وُ ْ ُأ
Artinya : Katakanlah ! Apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (tidak berilmu)? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Kemudian pada surat Al-Mujadalah : 11, ditegaskan :
حوُ سَ ْفَفا ِ جِاَ َم ْ فِ حوُ س ّ ََ ْ ُ َ َ ِق َِإ وُ َ آ َ ِذي ّ اَ يأَ َيا وُ َ آ َ ِذي ّ ُّ ِ َفرْ َي زُ ش ُ فانَ زُ ش ُ ن َ ِق َِإَ ْ ُ َ ُّ ِ سَ ْيَ . ر ٌ ِخَ َ ُلومَْع َ َما ِ ُّ َ ٍ اَ َ َد َْلعِ ْ وُ ُأ َ ِذي ّ َ ْ ُ ِ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: Berlapang-
lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: Berdirilah kamu !, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang dibneri ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Demikianlah betapa kuat dorongan al-Qur’an terhadap penguasaan ilmu pengetahuan oleh umat manusia. Ilmu yang dikembangkan menurut al-Qur’an mestinya ilmu yang membawa manfaat bagi kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Bukan ilmu yang mengakibatkan kehidupan manusia berikut berbagai elemennya musnah. Namun demikian Islam melihat kedudukan ilmu pengetahuan apapun sebagai sesuatu yang netral , tergantung siapa yang mempergunakannya. B. Syarat suatu Ilmu
Dari sisi filsafat, suatu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai ilmu apabila memenuhi tiga unsur pokok, yaitu: 1. Ontologi; yaitu suatu bidang studi memiliki obyek studi yang jelas. Artinya bahwa suatu bidang studi harus dapat didefinisikan, dapat diberi batasan, dapat diuraikan, tentang sifat-sifatnya yang essensial. Inti ontologi adalah membahas hakikat suatu ilmu dan digunakan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan. 2. Epistemologi; yaitu suatu bidang studi hendaklah memiliki metode kerja yang jelas. Apakah perwujudannya melalui metode deduktif maupun induktif. Kedua meteode tersebut sebagai metode ilmiah untuk memproses pengetahuan menjadi ilmu. Al-Qur’an banyak memberikan isyarat penggunaan metode tersebut. Sebagaimana ketika manusia diperimntahkan Allah untuk memperhatikan alam yang sangat luas, benda-benda langit, makhluk biologis, laut yang terhampar, dsb. Hal ini dapat dicontohkan Firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Ankabut : 41-43.
ِ تتوُ َ َع ْ ِثتت َمََك تتاءَ ِ ْ َأتتِّ ِ ُد تتِ ذتُت َ ّ َ ِذيتتّ ُثتت ََ نوكتتُاَ و ْتت َ ِ تتو َُ َع ْ ُ ت َْ َ ِ تتو ُُ ْ ََهتت ْ َأ ّ ِإ َ تتا ًْ َ ْ َذت َ ّ {41} َ ُموَلعْ َي زيتتُزِ َع ْ و َُهتت َ ٍء ْ تت َ تتِ ِنتِ ُد تت ِ َ وُ ْيت َ تتاَ ُلت َعْ َي َّ ّ ِإ {42} ُ ِحَ ْ {43} َ ُمو َعِا ْ ّ ِإ اَ ُلِ عْ َي اَ َ ِ اّل ِ اَ ُرِ ض ْ َن ُ َثاْ َْ َ ْلِ َ Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung- pelindung selain
Allah adalah seperti laba-Laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang mereka seru selain Allah. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.
Aksiologi, yaitu bahwa suatu ilmu pengetahuan hendaklah memiliki nilai guna bagi kehidupan manusia. Jika nilai guna tersebut tida terdapat dalam suatu bidang studi, maka ilmu tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai ilmu, baru merupakan suatu pengetahuan. Dalam Islam penerapan suatu ilmu hendaklah didasarkan pada etika (moral) Islam, agar secara ilmiah tidak berat sebelah. Oleh karena itu pada dasarnya suatu ilmu memerlukan basis iman, dan iman memerlukan landasan ilmu, kemudian keduanya akan bermuara pada amal sholeh.
C. Filsafat dan Agama Kata Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata Philosophia. Philo atau philein berarti cinta (loving ), sedangkan sophia berarti : pengetahuan, kebijaksanaan (hikmah, wisdom). Dengan demikian Philosophia adalah cinta kebjaksanaan. Adapun orang yang yang mendalam filsafat -nya disebut failosuf atau filosuf. Dalam bahasa Arab kata filsafat biasanya dipergunakan kata falsafat. Kata falsafat sendiri dlam bahasa Arab sering diidentikkan dengan kata hikmah yang berarti kebijaksanaan. Namun apabila merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an, maka tidak semua kata hikmah konteksnya bermakna falsafah. Alat yang digunakan untuk memproses kegiatan filsafat adalah akal atau rasio. Para cendekiawan sepakat bahwa akal manusia meskipun mempunyai daya jangkau dan daya analisa yang luar biasa, namun tetap saja akal atau rasio itu bersifat nisbi atau terbatas. Sebab akal tidak mampu menjangkau semua persoalan yang ada dihadapannya secara tuntas. Oleh karena itu hasil olahan dari kegiatan filsafat ini adalah hanya kebenaran relatif (nisbi). Suatu kebenaran yang tidak benar. Melihat prosesnya yang demikian rumit dan sulit, karena pemikirannya sering bersifat abstrak, sulit diuji coba,
diteliti, maka pemikirannya sering disebut dengan pemikiran spekulatif, sehingga kebenarannyapun adalah kebenaran yang bersifat spekulasi. Meski demikian melalui proses kegiatan filsafat, orang dapat sampai pada keyakinan atau sekurang-kurangnya pengetahuan tentang adanya Tuhan. Tetapi sebaliknya dengan filsafat orang dapat terjerumus dalam kekafiran. Sehingga filsafat sering diumpamakan bagai sebilah pisau tajam bermata dua, yang dapat dimanfaatkan tetapi apabila salah mempergunakannya dapat membahayakan dirinya.
Bagaimana dengan agama ?
1. 2. 3. 4.
Para filosuf sepakat bahwa agama merupakan ilmu Ilahiah. Jalur agama adalah melalui keimanan, dan pembawanya (nabi) memperoleh pengetahuannya melalui wahyu, sehingga tanpa memerlukan proses pemikiran atau pemaparan. Kebenaran agama dipandang sebagai kebenaran mutlak, sedangkan pengetahuan selain yang berasal dari agama dipandang sebagai kebenaran nisbi yang setiap saat dapat berubah dan keliru. Oleh karena itu kebenaran yang demikian sering dijadikan sebagai landasan legitimasi kaum agamawan dalam mengaplikasikan doktrin-doktrin keagamaan, meskipun doktrin tersebut sebagai hasil interpretasi para ulama atau dirinya sendiri. Ketika Al-Kindi menangkis pernyataan kaum agamawan yang menuduh para filosuf itu kufr dan pembuat bid’ah, disebabkan pemberdayaan logika dalam upaya mengetahui hakikat segala sesuatu, menyatakan bahwa : para agamawan mengeluarkan pernyataan demi agama hanya didasarkan untuk memperoleh kekuasaan (Syarif, 1992:17). Tuduhan kaum agamawan terhadap para filosuf tersebut menggambarkan bahwa dalam sisi intelektualpun agama sering dijadikan alat legitimasi dalam upaya mendominasi pengaruh, baik yang berimplikasi politik (kekuasaan), ekonomi maupun yang lainnya. Agama yang bersifat universal seringkali tereduksi menjadi lokal. Hal ini menyebabkan subyektifitas interpretasi lebih menonjol, dibandingkan dengan interpretasi yang bersifat objektif. Dengan demikian agama tetap harus ditempatkan sebagai sesuatu yang wajar. Artinya didalamnya, pertama, ada ajaran yang sakral, suci, ukhrawi, tidak bisa dirubah melalui rekayasa akal manusia, apa adanya, dan kedua, di dalamnya juga ada ajaran yang bersifat profan, duniawi dan bahkan harus dicerna melalui akal. Manusia harus mampu memilah mana ajaran yang bersifat sakral dan mana yang profan, sehingga manusia tidak terjebak dalam arus doktrinisasi agama melalui hawa nafsunya. Antara filsafat dengan agama sering identik, namun keduanya ada perbedaannya. Rasjidi (1983) menjelaskan perbedaan itu yaitu : Dalam filsafat mempunyai ciri-ciri : Filsafat berarti memikir, jadi yang penting adalah berfikir. Menurut William Temple, filsafat adalah menuntut pengetahuan untuk memahami C.S. Lewis membedakan enjoyment dan contemplation, misalnya laki-laki mencintai perempuan. Rasa cinta disebut enjoyment, sedangkan memikirkan rasa cintanya disebut contemplation, yaitu fikiran pencinta tentang rasa cintanya itu. Filsafat banyak berhubugan dengan fikiran yang dingin dan tenang.
5. Filsafat dapat diumpamakan seperti telaga yang tenang dan jernih dan dapat dilihat dasarnya. 6. Seorang ahli filsafat jika berhadapan dengan penganut aliran/faham lain biasanya bersifat lunak. 7. Filsafat, walaupun bersifat tenang dalam pekerjaannya , tetapi sering mengeruhkan fikiran pemeluknya. 8. Ahli filsafat mencari kelemahan dalam tiap-tiap pendirian dan argumen walaupun argumennya sendiri.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kemudian dalam Agama mempunyai ciri-ciri : Agama berari mengabdikan diri, jadi yang penting adalah hidup secara beragama sesuai dengan aturan –aturan agama itu Agama menuntut pengetahuanuntuk beribadah yang terutama hubungan manusia dengan Tuhan. Agama dapat dikiaskan dengan enjoyment atau rasa cinta seseorang, rasa pengabdian (dedication) atau contenment. Agama banyak berhubungan dengan hati. Agama dapat diumpamakan sebagai air sungai yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya. Agama, bagi pemeluk-pemeluknya akan mempertahankan agamanya dengan habishabisan, sebab mereka telah terikat dan mengabdikan diri. Agama, di samping memenuhi keinginan pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian diri, tetapi juga mempunyai efek yang menenangkan jiwa bagi pemeluknya. Filsafat penting dalam mempelajari agama.
Perbedaan-perbedaan itu dalam sejarah memunculkan ejekan antara satu dengan yang lainnya. Penganut agama mengejek filsafat, demikian pula penganut filsafat juga mengejek agama. Kata penganut agama, bahwa selama bertahun-tahun ia mencari kebenaran, namun hasilnya hanya kebenaran semu. Setiap mengira telah mendapat kebenaran, kemudian disangsikan, dikritik dan ditinggalkan. Lihat kami !, kata penganut agama, Kami percaya, titik. Dengan demikian tidak membuang-buang waktu untuk mencari kebenaran, yang setelah didapat kemudian ditinggalkan lagi, karena ternyata tidak benar. Ketahuilah, bahwa akal budi itu nisbi, relatif, ia tidak mungkin mampu menangkap kebenaran yang sesungguhnya. Hatilah yang mampu menangkap kebenaran sejati. Argumen demikian filsafatpun kemudian menjawab dengan suatu ejekan lagi. Kami ingin kebenaran dari hasil tenaga sendiri. Kami bukan anak kecil yang mudah percaya terhadap apa yang dikatakan. Sebab sesungguhnya kegembiraan dan kebahagiaan itu terletak bukan pada kebenaran itu sendiri, melainkan pada waktu mencarinya. Pertentangan ini kemudian dapat dijawab dengan ajaran Islam, yakni ketika menjawab persoalan tentang alam. Islam membagi alam dalam tiga kategori, yaitu alam nyata, alam ghaib nisbi dan alam ghaib hakiki. 1. Alam nyata adalah alam yang dapat diamati, dilihat, diselidiki, diteliti, ditelaah,diuji coba, dilakukan eksperimen, dan oleh karena itu adalah merupkan lapangan ilmu;
2. Alam ghaib nisbi adalah alam yang masuk pada pengalaman manusia, tetapi masih belum berhasil diuji coba, diteliti, dieksperimen, sehingga masuk dalam wilayah filsafat. Namun jika kenisbian ghaibnya mampu dikuak oleh suatu ilmu, maka ia masuk dalam wilayah kajian ilmu. 3. Alam ghaib hakiki yakni alam yang tak mungkin diamati, diselidiki, diuji coba, dan atau dieksperimen oleh manusia, sebagaimana peristiwa sesudah mati, alam akhirat, dzat tuhan dsb. Maka kajian ini masuk dalam wilayah agama. D. Seni dalam Islam
Eksistensi manusia yang dibekali dengan intelektual, emosional dan spiritual, memunculkan makhluk tersebut menjadi makhluk yang kreatif. Bukan saja ilmu yang mereka peroleh, tetapi juga nilai-nilai kehidupan, seperti keindahan, keteraturan, kenikmatan, kelezatan dan kebahagiaan. Seni adalah merupakan ekspresi ruhani dan budaya manusia yang mengandung nila-nilai keindahan. Ia lahir dari dorongan sisi terdalam manusia yang menuju pada keindahan.Dorongan tersebut merupakan naluri atau fitrah yang dianugerahkan Allah SWT. Allah berfirman :
َ يِت تْ َ َ اَ ْلََ َ اّ رَ ط َ َف ِّ ِّ َةرَ طْ ِف اً َِ ِ ي لِ َ َ ْ َ ِْقَف َ {30} َ ُموَلعْ َي َ ِ اّ رَ َث كْ َأ ّ ِ ََ ُ َْ ُ ي َ َِ ِّ ِ ْلَ ِ Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. Ar-Rum:30).
Menurut M.Quraisy Syihab (199:385), adalah merupakan satu hal yang mustahil, bila Allah yang menganugerahkan manusia potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan, kemudian Dia sendiri melarangnya. Bukankah Islam adalah agama fitrah ? Segala yang bertentangan dengan fitrah ditolaknya, dan yang mendukung kesuciannya senantiasa ditopangnya. Persoalan sering muncul ketika manusia tidak mampu memilah mana yang fitrah dan mana yang nafsu. Ketika manusia merefleksikan keinginan-keinginan yang pada dasarnya merupakan nafsu, seringkali dikira sebagai ungkapan fitrah. Oleh karena itu dalam persoalan ini manusia harus memandang seni secara integral, komprehensif dan menyeluruh. Lapangan seni adalah semua yang ada, semua wujud. Manusi diperbolehkan untuk menampilkan, menggambarkan dan bahkan berimajinasi kenyataan hidup dalam masyarakat di mana saja mereka berada. Namun jangan sampai seni yang ditampilkan bertentangan dengan fitrahnya, atau dengan wujud itu sendiri. Sebagaimana pemaparan manusia hanya terbatas pada sisi jasmaninya saja, tidak disertai dengan unsur ruh Illahi yang menjadikannya sebagi manusia. Suatu umpama penuturan al-Qur’an mengenai kisah Yusuf (QS. Yusuf : 23-24) yang sarat dengan seni penampilan. Ia mengemukakan : “Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku
berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
Penuturan al-Qur’an tersebut tidak larut dalam melukiskan suatu kejadian, dan juga tidak berhenti sampai dalam gambaran itu. Karena hal tersebut baru sebatas aspek jasad, debu (tanah). Kisahnya dilanjutkan dengan kesadaran para pelaku, sehingga pada akhirnya bertemu antara jasad dan ruh Illahi pada sosok kedua hamba Allah itu. Dengan demikian sebenarnya ketika Al-Qur’an menampilkan ajarannya melalui kisah-kisah sejarah, Allah ingin menyentuh manusia secara total. Intelektual, hati, rasa, spiritual, ingin digugah untuk mengekspresikannya dalam bentuk nyata. Jika totalitas manusia muncul dalam bentuk seni, seni apapun (suara, pahat, patung, lukis, tulis, dsb) dapat dipastikan bahwa seni yang muncul itu tidak akan bertentangan dengan ajaran Islam. E. Agama Sebagai Kebenaran
Sumber nilai utama bagi suatu agama, baik dari segi normatif ataupun idealita adalah Tuhan. Dia sebagai titik tolak yang awal dan sekaligus yang akhir dari setiap langkah pola pikir atau dalam rangka mencuatkan segala potensi. Dia sebagai acuan dan sumber motivasi dalam memacu inspirasi dan kreativitas. Dia pula yang telah mengadakan dari tiada kemudian menjadi segala yang ada itu akan kembali kepada-Nya. Tuhan dijadikan sebagai sumber dari segalanya oleh manusia, disebabkan manusia telah mengakui (beriman) dan meyakini dengan sesungguhnya bahwa Dialah Penguasa Tunggal yang mempunyai sifat dari segala yang maha. Pengakuan ini secara mendasar karena Tuhan telah dijadikan sumber kebenaran. Bertrand Russel menerangkan bahwa kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan yang diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan itu. Kebenaran suatu hubungan tertentu antara suatu kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih di luar kepercayaan. Bila hubungan ini tidak ada, maka kepercayaan itu adalah salah (Bertran Russel, Ilmu dalam Perspektif , 19-85). Dengan demikian “sesuatu” dapat disebut benar ataupun salah meskipun tak seorangpun mempercayainya adalah tergantung pada hubungan unsur-unsur fakta dengan rasa kepercayaan. Al Qur’an mengungkapkan dari kebenaran dengan menggunakan dua istilah yaitu : as sidqu dan al haq. As sidqu adalah suatu kebenaran, ketulusan atau kejujuran yang diperuntukkan bagi aspek subjektif. Sedang al Haq kebenaran yang mengarah pada realita yang diperuntukkan bagi aspek objektif. Oleh karena itu, jika segala aspek terjang manusia didasarkan pada kebenaran, maksudnya tidak lain adalah al haq. Dialah sebagai cahaya tuntunan etis fundamental bagi pencarian hakikat kebenaran. Al Haq berarti Tuhan. Al Haq berarti Allah. Sebagaimana kitab yang terakhir menuturkan sebagai berikut : a. Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orangorang yang ragu (2:147)
b. (Zat yang demikian) itulah Allah, Tuhan kamu sebenarnya, maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran) (10:32) c. Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (22:6) d. Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar (31:30). Penuturan Al Qur’an tentang kebenaran kepada manusia adalah ada satu, yakni yang bersumber dari Allah, dan Allah sendiri sebagai satu-satunya kebenaran mutlak yang tidak ada lainnya. Kebenaran mutlak (Allah) hanya akan diperoleh pengertiannya melalui agama. Karena konsep tentang Tuhan sendiri ada dalam agama, sedangkan suatu kebenaran yang diperoleh dari hasil pemikiran manusia adalah kebenaran yang bersifat nisbi (relatif), sehingga hakekatnya kebenaran ini pun tidak benar, maka konsekuensinya kebenaran hanya ada satu, Allah sebagai konsep ketuhanan yang diperkenalkan melalui agama (Islam).
F. Islam dan Teknologi Islam adalah merupakan agama terakhir yang diturunkan Allah SWT. Sesuai dengan sifatnya yang terakhir, maka Allah telah menyempurnakannya. Islam mempunyai nilai-nilai yang mampu hidup dalam segala zaman maupun tempat. Perkembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dukungannya. Sebab melalui perkembangan iptek, umat manusia (khususnya umat Islam) banyak yang dipermudah langkah-langkah kehidupannya. Umpama, jika dahulu orang akan menunaikan ibadah shalat harus melihat kedudukan /posisi matahari secara langsung, kini mereka cukup melihat jam. Jika orang dahulu ketika akan menunaikan ibadah haji, harus menempuh perjalanan membutuhkan waktu sekian lama (umpama dengan kapal laut), bahkan bila ditempuh dengan jalan kaki, mungkin bisa berbulan-bulan. Tetapi berkat perkembangan iptek, maka jarak antara Indonesia dengan Makkah hanya ditempuh kurang lebih 9 jam (kurang dari satu hari). Dengan demikian penunaian ibadah kepada Allah menjadi lebih ringan dan mudah terjangkau bagi yang akan melaksanaknnya. Demikian pula perkembangan teknologi komunikasi. Jika orang dahulu akan menyampaikan kabar, harus berjalan jauh agar berita itu didengar oleh orang yang dituju, sekarang tidak perlu lagi harus menempuh jalan yang jauh itu, tetapi cukup dengan mengangkat telpon, maka kabar itu sudah sampai. Jika telpon masih mempergunakan alat bantu kabel, yaitu untuk menghubungkan gelombang suara, tetapi kini menggunakan satelit, telpon sudah tidak membutuhkan kabel lagi (handpon). Demikian pula melalui alat komunikasi internet , selain orang dapat memberi berita atau kabar, tetapi juga dapat dijadikan sebagai alat untuk berdiskusi, meskipun orangnya ada di berbagai tempat (negara).
Sarana dan prasarana yang dihasilkan iptek tersebut mempermudah dalam mekanisme pengelolaan berbagai bidang. Pengelolaan sistem perekonomian (termasuk perbankan) melalui penggunaan komputer menjadi sangat cepat dan lancar. Pelaksanaan kegiatan bidang pendidikan juga menjadi mudah. Kegiatan bidang sosial maupun politik menjadi fleksibel dan cepat disebarluaskan. Kemajuan yang demikian bukan lagi searah dengan perkembangan akal fikir manusia, tetapi juga berbanding lurus dengan motivasi ajaran agama. Islam sebagai agama memberikan motivasi kuat dalam mencerdaskan akal budinya. Sebagaimana surat pertama dalam al-Qur’an yang turun yakni surat al’Alaq, sarat dengan motivasi tersebut. Hanya kemajuan dan pengembangan akal manusia tetap searah pula dengan apa yang dimotivasi al-Qur’an itu sendiri. Demikian pula kemajuan dalam bidang informasi, hampir semua informasi dapat kita peroleh. Apakah informasi yang sifatnya keharusan, laik dan benar, ataukah yang sifatnya mubah, bahkan mungkin terlarang. Hasil ilmu dan teknologi perkembangan sarana dan prasarana komunikasi luar biasa pesatnya. Dalam hal ini ajaran Islam juga mempunyai kepedulian yang sangat besar. Islam melihat ada suatu informasi yang harus diterima, yaitu informasi yang benar, seperti informasi saksi adil yang telah disumpah di depan pengadilan, atau suatu informasi yang harus diteliti dengan sungguh-sungguh, yaitu terutama yang datang dari kaum munafik, fasiq dan kaum kafir. Kehati-hatian dalam menerima informasi tetap diperlukan bagi setiap orang (teliti Q.S. 49 : 6). G. Hubungan antara Iman, Ilmu dan Amal
Kajian ilmu di atas berakhir dengan aplikasi (aksiologi). Pandangan Islam, antara aghama, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi ke dalam sauatu sistem yang disebut dengan dienul Islam. Di dalamnya terkandung tiga unsur pokok yaitu aqidah, syari’ah dan akhlaq dan atau dengan kata lain iman, ilmu dan amal. Al-Qur’an mencontohkan hubungan ketiga unsur tersebut melalui suatu ayat :
Artinya: ”Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS. Ibrahim : 24-25).
Ayat tersebut menggambarkan keutuhan antara iman, ilmu dan amal atau aqidah, syari’ah dan akhlaq. Jika seseorang imannya kuat (akar menghunjam ke bumi), syari’ahnya bagus
(batangnya menjulang tinggi serta cabang dan dahannya rindang), maka akhlaqnya akan baik (buahnya amat lebat). Iman diidentikkan dengan akar yang kuat, ilmu bagaikan batang pohon yang mengeluarkan dahan-dahan dan cabang-cabang ilmu pengetahuan, dan amal bagaikan buah pohon yang lebat. Perumpamaan yang dituturkan al-Qur’an tersebut demikian santun. Hal ini memberi isyarat bahwa manusia diperintahkan agar mempergunakan akalnya dengan maksimal. Ia diperintahkan agar merenung apa yang terhampar dihadapannya. H. Tanggung Jawab Ilmuwan terhadap Alam
Ilmu adalah sebagai sarana untuk menciptakan kesejahteraan hidup manusia. Pemiliknya akan mempergunakannya bukan saja untuk kemanfaatan dirinya, tetapi juga untuk kesejahteraan lingkungannya. Namun sering terjadi bahwa kerusakan alam disebabkan oleh ulah manusia. Hal ini seperti yang disampaikan Allah dalam firmanNya:
َ ْع َ ُ َِذي ُ ِ ِ اّ ِْيأَ ْ َسَ َك َما ِ رِ حْ َْ َ ر َْ فِ ُدساَ َْ رَ َظَ َ ُعو ِ رْ َي ْ ُّلعَ َ ُلومَِ ِذ ّ Artinya: ” Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar ). (Q.S. ar-Rum 41).
Allah menciptakan manusia berfungsi sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Tugas kekhalifahan adalah menjangkau pada seluruh aspek kehidupan. Menata, mengeksplorasi, menggali, memanfaatkan, menyuburkan, adalah bagian dari tugas kekhalifahan. Ini berarti manusia bertanggung jawab atas kelestarian seluruh isi alam. Manusia diberi kebebasan untuk mengeksplorasi dan menggali sumber-sumber daya serta memanfaatkannya demi kemakmuran bersama. Karena alam diciptakan adalah untuk kehidupan umat manusia itu sendiri. Untuk menggali potensi alam dan memanfaatkannya diperlukan ilmu pengetahuan yang memadai. Hanya orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan atau para ilmuwan yang mampu mengeksplorasi sumber alam ini. Namun demikian para ilmuwan harus sadar bahwa potensi alam ini akan habis untuk memenuhi kebutuhan manusia apabila tidak dijaga keseimbangannya. Oleh karena itu tanggung jawab kekhalifahan bertumpu di atas para ilmuwan dibandingkan dengan manusia awam pada umumnya. DAFTAR PUSKATA
Anshari, Endang Saefudin, 1986, Wawasan Islam, Mizan, Bandung Depag RI., 1983, Al-Qur’an dan terjemah, Lajnah Penetrjemah Depag RI, Jakarta. Hamdan Mansur, Drs., dkk., Materi Instruksional Pendidikan Agama islam Di Perguruan Tinggi Umum, Direktorat Perguruan Ytinggi Agama Islam, Depag RI., Jakarta. Saefudin., A.M., 1987, Desekularisasi Pemikiran, Landasan Islamisasi, Mizan, Bandung Shihab, Quraish M., 1999, Wawasan Qur’an, Mizan, Bandung