TINJAUAN DAN ANALISIS INTERTEKSTUAL CERITA CALON ARANG KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN CERITA RAKYAT BALI CALON ARANG KARYA YULIADI SOEKARDI & U. SYAHBUDIN MAKALAH diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Kajian Prosa Fiksi (IN408) dari dosen pembimbing Halimah, M.Pd.
disusun oleh: Adhia Azkapradhani
NIM 0807268
Eka Malinda R
NIM 0807266
Muhamad Akbar
NIM 0808461
Siti Hamidah
NIM 0807259
Wuri Pangastuti N
NIM 0807232
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2009
KATA PENGANTAR Makalah yang diberi judul “Tinjauan Dan Analisis Intertekstual Cerita Calon Arang Karya Pramoedya Ananta Toer
Dan Cerita Rakyat Bali Calon
Arang Karya Yuliadi Soekardi & U. Syahbudin” ini kami susun, sebagai sebuah bentuk konkret dari subbagian kegiatan perkuliahan pada matakuliah Kajian Prosa Fiksi (IN408) dosen pengampu Halimah, M.Pd. Dalam kesempatan ini kami menyampaikan Puji dan Syukur kehadirat Allah Swt, yang senantiasa memberkati, merahmati, dan mengizinkan kami menyusun hingga menyelesaikan makalah ini, semoga ini menjadi amal serta pengampunan menuju rida-Nya. Serta terima kasih yang tidak terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu dan terlibat dalam pembuatan, penyusunan hingga penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara hormat kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Orang tua kami yang selalu mendukung moril maupun materil, orang tua kami yang tidak pernah lelah medoakan kami, memberi dukungan moril dan materil untuk kami, para putra dan putrinya yang masih bergantung kepada dukungan orang tua kami tercinta; 2. Dosen pembimbing matakuliah kajian prosa fiksi yang menjadi alasan utama pembuatan makalah kajian ini dan telah memberi bantuan dalam penyusunan makalah ini; 3. Serta tidak lupa kepada seluruh rekan-rekan yang terlibat baik secara langsung dan tidak langsung dalam proses penyusunanan makalah ini. Akhir kata kami ucapakan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan bagi kami penyusun pada khususnya. Segala kritik dan saran akan kami terima dan kami harapkan agar dapat menjadi sumber motivasi untuk perbaikan dalam diri kami. Semua itu diharapkan mampu meminimalisir segala kekurangan kami di kemudian hari. Semoga segala amal baik kita menjadi amal soleh dan mendapat pahala rida dari Allah Subhanahu Wata’ala. Amien. Bandung, Desember 2009 Penyusun,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii A. Pendahuluan .................................................................................................... 1 1. Latar Belakang ............................................................................................. 2 2. Kajian Pustaka ........................................................................................... 3 2.1 Intertekstual Karya Sastra ................................................................ 3 2.2 Tujuan Intertekstual Karya Sastra .................................................... 6 3. Metode Pengkajian ..................................................................................... 7 4. Tinjauan terhadap Cerita Calon Arang (Sinopsis Cerita) ............................ 8 B. Analisis Aspek Sintaksis Cerita Calon Arang Karya Pramoedya............. 11 1. Analisis Alur Cerita Calon Arang karya Pramoedya ................................. 11 1.1 Analisis Fungsi Utama ................................................................... 11 1.2 Deskripsi Fungsi ............................................................................ 15 2. Analisis Pengaluran Cerita Calon Arang karya Pramoedya ..................... 18 2.1 Pengaluran Cerita Calon Arang karya Pramoedya ........................ 18 2.2 Deskripsi Sekuen ........................................................................... 23 C. Analisis Aspek Semantis Cerita Calon Arang Karya Pramoedya ........... 27 1. Analisis Tokoh Cerita Calon Arang karya Pramoedya ................................ 27 1.1 Jenis-jenis Tokoh ........................................................................... 27 1.2 Deskripsi Tokoh ............................................................................. 30 2. Analisis Latar Cerita Calon Arang karya Pramoedya .................................. 35 D. Analisis Aspek Verbal Cerita Calon Arang Karya Pramoedya .............. 41 1. Gaya Penceritaan ......................................................................................... 41 2. Waktu dan Kala ......................................................................................... 43 3. Sudut Pandang ............................................................................................ 44 E. Analisis Intertekstual Cerita Calon Arang Karya Pramoedya Dan Calon Arang “Penyebar Bencana” Cerita Rakyat Bali......................................... 45 1. Interteks Alur Cerita Calon Arang karya Pramoedya dan Calon Arang “Penyebar Bencana” Cerita Rakyat Bali .............................................. 45
2. Interteks Tokoh dan Penokohan Cerita Calon Arang karya Pramoedya dan Calon Arang “Penyebar Bencana” Cerita Rakyat Bali ................. 53 3. Interteks Latar Cerita Calon Arang karya Pramoedya dan Calon Arang “Penyebar Bencana” Cerita Rakyat Bali ............................................. 65 4. Interteks Tema Cerita Calon Arang karya Pramoedya dan Calon Arang “Penyebar Bencana” Cerita Rakyat Bali ............................................. 67 F. Simpulan ......................................................................................................... 68 DAFTAR PUSTAKA
A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Eksitensi sebuah karya sastra erat kaitannya dengan sejarah antara karya sastra yang lahir sesudah atau sebelumnya. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan atau perbedaan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum atau sesudahnya. (Pradopo, 2003:167). Sehingga sebuah karya sastra terlahir dengan keberadaan karya-karya yang lain yang ikut mempengaruhi kehadiran karya baru. Mengenai hubungan kesejarahan ini diperkuat pula oleh pendapat Riffaterre (dalam Pradopo, 2003: 167) bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Karya sastra yang ditulis lebih kemudian, biasanya, mendasarkan diri pada karya-karya lain yang telah ada sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpangi (menolak, memutarbalikkan esensi) konvensi. Riffaterre (lewat Teeuw, 1983 : 64-5) mengatakan bahwa karya sastra selalu merupakan tantangan, tantangan yang terkandung dalam perkembangan sastra sebelumnya, yang secara konkret mungkin berupa sebuah atau sejumlah karya. Hal ini menunjukan keterikatan suatu karya dari karya-karya lain yang melatarbelakanginya. (Nurgiyantoro.1995:51). Menurut Sitanggang (2003:81) kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sastrawan. Pengarang pada dasarnya tidak hanya sebagai produktor, namun pengarang terlebih dahulu juga sebagai reseptor. Karya sastra terlahir dari hasil resepsi pembaca yang memberikan tanggapan, reaksi dan respon terhadap karya-karya yang telah ada. Sehingga dalam proses produksi terdapat proses resepsi terhadap karya sastra dimana ”pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya.
Tanggapan itu mungkin
bersifat pasif, yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu,
atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Atau mungkin juga bersifat aktif, yaitu bagaimana ia ”merealisasikan”nya. Karena itu resepsi sastra mempunyai lapangan yang luas, dengan berbagai kemungkinan penggunaan (Junus, 1985:1). Dari proses resepsi sastra ada anggapan bahwa suatu arti atau makna tertentu dalam karya sastra yang muncul pada suatu masa dan lokasi tertentu. Ini disebabkan oleh adanya suatu latar belakang pemikiran tertentu pada masa itu yang menjadi pedoman bagi orang yang memahaminya. Dengan begitu, suatu karya akan punya nilai lampau dan makna kini (past significance dan present meaning). Karya sastra kapan pun ditulis tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya (Teeuw, 1983:63). Jadi, pengarang tidak berangkat dari kekosongan. Melalui karya terdahulu, ia menggulumi konvesi sastranya, konvensi estetiknya, gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian mentransformasikannya
ke
dalam
suatu
karangan,
karyanya
sendiri
(Sitanggang, 2003:81). Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain itu, unsur-unsur hipogram itu, berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya, Penunjukan adanya unsur hipogram pada suatu karya dari karya-karya lain pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca. (Nurgiyantoro,1995 :54). Kajian resepsi sastra yang dilakukan dalam mengkaji prosa fiksi di sini adalah bagaimana suatu teks direspons/diresepsi oleh seorang pengarang pada teks lainnya. Ini dikenal dengan teori intertekstual. Teori Intertekstual memandang bahwa sebuah teks yang ditulis lebih kemudian mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah ditulis orang sebelumnya. Tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti penciptaannya dengan konsekuensi pembacanya juga, dilakukan tanpa
sama sekali berhubungan teks lain yang dijadikan semacam contoh, teladan, kerangka, atau acuan (Teeuw, 2003: 145). Cerita calon arang karya Pramdoedya Ananta Toer merupakan hasil tranformasi dari Cerita Rakyat Bali Calon Arang yang mengangkat tema kejahatan akan segera dimusnakan oleh cahaya kebaikan. Dalam pengkajian ini akan diangkat unsur-unsur intertekstualitas yang mengalami proses tranformasi dalam dua karya tersebut. Pengkajian ini dilakukan dengan mengacu pada tataran penelitian diakronis, yang mencoba melakukan penelitian terhadap karya-karya lama yang dihubungkan dengan karya baru. 2. Kajian Pustaka 2.1 Intertekstual Karya Sastra Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi. (Ratna, 2004 : 173) Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks akan mengalami gejala-gejala tranformasi secara umum. Dimana tranformasi sebagai wujud resepsi pembaca terhadap suatu karya sastra, seorang sastrawan yang meresepsi sebuah karya sastra dengan respon aktif yang meralisasikan dengan memproduksi karya sastra dalam wujud lain.
Halimah dalam tulisannya Tinjauan Intertekstual dalam Cerita Maling Kundang menjelaskan setiap teks itu mengambil hal-hal menarik yang kemudian diolah kembali dalam karyanya, atau ditulis setelah melihat, meresapi, menyerap hal yang menarik, baik sadar maupun tidak sadar. Setelah menanggapi teks lain dan menyerap konvensi sastra, konsep estetik, atau pikiran-pikirannya, kemudian mentransformasikannya ke dalam karya sendiri dengan gagasan dan konsep estetik sendiri sehingga terjadi perpaduan yang baru. Konvensi dan gagasan yang diserap itu dapat dikenali apabila kita membandingkan teks yang menjadi hipogramnya dengan teks baru, yakni teks transformasi. Tranformasi adalah perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb) (KUBI, 2002). Wujud transformasi: terjemahan, salinan, alih huruf, sahajaan, parafrase, dan adaptasi/saduran (Sudjiman, 1993). Transformasi dilakukan dengan melihat hubungan intertekstual dalam teks yang kita kaji, Hubungan intertekstual antara teks dengan hipogram/teks dasarnya dapat berupa Ekpansi, Konversi, Modifikasi, dan Ekserp (Sardjono dalam Pudentia, 1992). Hubungan intertekstual antara teks dengan hipogram/teks dasarnya mengalami gejala-gejala tranformasi yang berupa Ekpansi, Konversi, Modifikasi, dan Ekserp yakni : 1. Ekspansi,
menurut
Rifaterre
(Pudentia,
1992:72-73),
ekspansi
mengubah unsur-unsur pokok matrik kalimat menjadi bentuk yang lebih kompleks. Dalam kebanyakan kasus, ekspansi lebih lebih dari sekedar repetisi, tetapi juga mencakup perubahan gramatikal, misalnya perubahan jenis kata (Riffaterre, 1978:\48—63). Secara sederhana ekspansi dapat diartikan sebagai perluasan atau pengembangan (Pradotokusumo, 1986:62). 2. Konversi, menurut Riffaterre (Pudentia, 1992) konversi mengubah unsur-unsur kalimat matrik dengan memodifikasikannya dengan
sejumlah faktor yang sama (Riffaterre, 1978:63-64). Konversi tampak nyata dalam tataran morfologi dan fonologi. Menurut Pradotokusumo (1986:63). Konversi adalah pemutarbalikan hipogram atau matriksnya. 3. Modifikasi atau pengubahan biasanya merupakan manipulasi pada tataran linguistic, yaitu manipulasi kata atau urutan kata dalam kalimat; pada tataran kesastraan, yaitu manipulasi tokoh (protagonist) atau alur. (Pudentia, 1992:72) 4. Ekserp diartikan semacam intisari suatu unsur atau episode dari hipogram (Pudentia, 1992:73). Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks, yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur instrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983 : 63-5). Mengenai keberadaan suatu hypogram dalam interteks, selanjutnya Riffaterre (dalam Ratna, 2005:222) mendifinisikan hipogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika lebih lanjut, Hutomo (dalam Sudikan, 2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra yang dipengaruhinya.
Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Dalam interteks, sesuai dengan hakikat teori-teori pasca strukturalis, pembaca bukan lagi merupakan konsumen, melainkan produsen, teks tidak dapat ditentukan secara pasti sebab merupakan struktur dari struktur, setiap teks menunjuk kembali secara berbeda-beda kepada lautan karya yang telah ditulis dan tanpa batas, sebagai teks jamak. Dalam resepsi sastra ada anggapan bahwa ada suatu arti/makna tertentu dalam karya sastra yang muncul pada suatu masa dan lokasi tertentu. Ini disebabkan oleh adanya suatu latar belakang pemikiran tertentu pada masa itu yang menjadi pedoman bagi orang yang memahaminya. Dengan begitu, suatu karya akan punya nilai lampau dan makna kini (past significance dan present meaning). Adanya fenomena ini memungkinkan kita untuk menciptakan suatu suasana penerimaan tertentu berdasarkan ideologi tertentu, suatu penerimaan model (Junus , 1985: 122123). 2.2 Tujuan Intertekstual Karya Sastra Tujuan kajian intertekstual itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan tersebut (Nurgiyantoro, 1998:15). Frow (dalam Endraswara, 2003:131), mengemukakan interteks berdasarkan pada asumsi kritis. Asumsi tersebut yakni: 1. Konsep interteks menuntut peneliti untuk memahami teks tidak hanya sebagai isi, melainkan aspek perbedaan sejarah teks; 2. Teks tidak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama lain juga saling memburu, sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks;
3. Ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir juga dalam teks tertentu yang ditentukan oleh proses waktu; 4. Bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai implisit; 5. Hubungan teks satu dengan teks yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan tersebut dapat secara abstrak dan juga sering terdapat penghilangan-penghilangan bagian tertentu; 6. Pengaruh mediasi dalam interteks sering berpengaruh terhadap penghilangan gaya maupun norma-norma sastra; 7. Dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi, dan; 8. Analisis interteks berbeda dengan melakukan kritik, melainkan lebih terfokus pada pengaruh. Kehadiran suatu teks lain dalam suatu teks yang dibaca akan memberikan suatu warna tertentu kepada teks itu. Ada beberapa pertanyaan yang dapat muncul: a. apakah fungsi teks “asing” itu dalam teks itu yang menyebabkan teks itu dimasukkan/ Yang pasti ia dapat menolong kita untuk memahami teks itu, sehingga ia mesti dianggap punya hubungan struktural dengan unsur-unsur lain dalam teks itu; b. bagaimana seorang penulis memperlakukan teks itu? Mengekalkan sebagaimana adanya, mengubahnya pada tempat-tempat tertentu, atau merombak/menentangnya. Pemilihan salah satu dari ketiga cara itu tentunya melibatkan suatu ideologi, suatu proses signifikasi, yang menentukan bagaimana ia menginterpretasikannya, dan bagaimana ia menggunaknnya untuk kepentingan teks yang ditulisnya (Junus, 1985: 8789). 3. Metode Pengkajian Pengkajian ini menggunakan pendekatan intertekstual dengan langkahlangkah pengkajian Cerita Calon Arang ini mengikuti proses pendekatan intertekstual, yaitu dengan cara membandingkan, menjajarkan, dan
mengkontraskan sebuah teks sastra yang dianggap sebagai hipogram atau teks dasar dengan teks hasil tranformasi. Sehingga menghasilkan analisis perbedaan dan persamaan serta kutipan-kutipan yang menandakan mengapa perbedaan dan persamaan struktur tersebut ada. Berikut adalah tabel tentang aspek intertekstual yang dianalisis berdasarkan teks sumber, sudut pandang, analisis, dan hasil analisis intertekstual dalam teks “Cerita Calon Arang” karya Pramoedya Anata Toer, dan Calon Arang Cerita Rakyat Bali “Penyebaran Bencana” karya Yuliadi Soekardi dan U. Syahbudin. No
Aspek yang dianalisis
1.
Alur
2.
Pengaluran
3.
Tokoh
4.
Penokohan
5.
Tema
Sudut pandang analisis Intertekstual
Hasil analisis Persamaan
dan
perbedaan
struktur cerpen Gambaran perbandingan struktur
“Cerita Calon Arang” karya Pramoedya Anata Toer, dan
“Cerita Calon Arang” karya Pramoedya Anata Toer, dan Calon Arang
Cerita Rakyat
Bali “Penyebaran Bencana”
Calon Arang Cerita Rakyat Bali “Penyebaran Yuliadi
Bencana”
Soekardi
Syahbudin.
karya Yuliadi Soekardi dan U. Syahbudin Tabel 1.1 Kajian Analisis Intertestual
4. Tinjauan terhadap Cerita Calon Arang (Sinopsis Cerita) Setting cerita adalah Jawa timur sekitar tahun 1100. Ada sebuah kerajaan bernama Kediri (dulu Daha) yang diperintah oleh Prabu Erlangga. Di bawah pemerintahan Erlangga rakyat hidup makmur sejahtera sampai ke desa-desa. Tidak ada kejahatan terjadi karena tiap orang hidup makmur, cukup makan
dan
karya U.
dan cukup pakaian. Akan tetapi keadaan sentosa segera berubah dan keamanan terancam. Penyakit menular tak bisa disembuhkan. Di desa Girah ada seorang janda bernama Calon Arang. Dia memiliki seorang anak perempuan cantik bernama Ratna Manggali yang berumur lebih 25 tahun. Calon Arang adalah seorang dukun yang terkenal sakti tapi jahat sehingga dia ditakuti oleh masyarakat. Ia senang menganiaya sesama manusia, membunuh, merampas, dan menyakiti sesama. Anak semata wayangnya sangat disayangi dan tidak jahat
sepertinya namun karena ibunya jahat
membuat orang disekelilingnya tidak berani berteman dengannya. Usia Ratna Manggali yang sudah cukup untuk menikah tapi karena tidak ada yang berani mendekatinya maka tidak ada laki-laki yang melamarnya. Itu membuat orang sekitar membicarakannya. Karena itu sampai usia patut kawin Ratna Manggali belum dilamar orang. Akibatnya Calon Arang menjadi marah kepada masyarakat dan bertekad membalas dendam. Suatu hari dia memuja Batari Durga untuk meminta agar dia bisa menyebarkan penyakit kepada masyarakat untuk membunuh sebanyak-banyaknya orang. Batari Durga setuju asal jangan sampai mengenai ibu kota. Tenung disebarkan menjadi wabah penyakit yang menelan banyak korban. Kematian terjadi di mana mana. Keganasan Calon Arang semakin meluas akibatnya rakyat makin takut dan sengsara. Akhirnya berita buruk itu sampai kepada raja. Beliau lalu memutuskan mengirim pasukan untuk menumpas Calon Arang di Girah. Calon Arang sedang tidur, Prajurit Erlangga merasa dapat menangkap Calon Arang, ia lalu memegang Calon Arang. Calon Arang menyemburkan api dari mulutnya sehingga prajurit Erlangga hangus. Pasukan Erlangga kabur. Ketika pemimpin pasukan raja hendak menangkap Calon Arang di rumahnya, Calon Arang berbalik membunuh pemimpin pasukan. Melihat hal tersebut para awak pasukan yang lain langsung lari meninggalkan Dusun Girah. Serangan Raja Erlangga membuat Calon Arang semakin marah dan meneluh warga di dalam ibu kota. Teluh semakin membuat warga resah.
Raja lantas memanggil para penasehatnya. Pendeta penasehat mengatakan bahwa hanya ada satu orang yang mampu mengatasi masalah ini yaitu Empu Baradah yang tinggal di desa Lemah Tulis. Dia adalah seorang pendeta berilmu tinggi dan penolong. Dia menyanggupi perintah raja untuk memadamkan wabah dan menaklukkan Calon Arang. Setelah mengetahui alasan Calon Arang meneluh Warga, Empu Baradah menyarankan agar Ratna Manggali dikawinkan dengan muridnya yang bernama Empu Bahula. Empu Bahula lantas melamar Ratna Manggali. Mendengar lamaran Empu Bahula, Calon Arang sangat girang dan langsung menerima lamaran Empu Bahula. Pesta pernikahan Ratna Manggali dan Empu Baradah dibuat Calon Arang sangat meriah dan mewah. Semua warga diundangnya dan dihidangan makanan yang sangat banyak dan mahal. Karena kejahatannya tamu pun tak banyak yang datang. Setelah menikah Empu Bahula mulai menyelidiki kelemahan Calon Arang. Ratna Manggali mengungkapkan bahwa ibunya punya sebuah kitab rahasia sumber kesaktiannya. Ketika Calon Arang lengah kitab itu diambil lalu diserahkan kepada Empu Baradah. Sebenarnya kalau Calon Arang melaksanakan ilmunya dengan benar dia akan sangat berjasa kepada masyarakat dengan ilmunya. Setelah mempelajarinya Empu Baradah menemukan penawar teluh. Pergilah Empu Baradah ke Dusun Girah untuh menyembuhkan warga yang terkena teluh dan orang mati yang belum busuk. Orang mati itu disentuh dan diperciki air oleh Empu Baradah. Akhirnya Empu Baradah bertemu dengan Calon Arang. Bentrokan terjadi dan Calon Arang mati. Murid Calon Arang minta disucikan sifat jahatnya pada Empu Baradah. Sebelum dibunuh oleh Empu Baradah, Calon Arang minta disucikan oleh Empu Baradah tetapi Empu Baradah menolaknya dan langsung membunuhnya. Maka Calon Arang dihidupkan lagi dan disucikan lagi lalu dibunuh lagi. Setelah menyelesaikan tugasnya Empu Baradah
kembali lagi ke Lemah Tulis. Sedangkan di Istana, Baginda Raja membagi 2 wilayahnya. Yaitu yang sebelah dinamai Kediri yang dipimipin oleh putra sulungnya, yang sebelah lagi dinamai Jenggala yang dipimpin oleh putra bungsunya. B. Analisis Aspek Sintaksis Cerita Calon Arang karya Pramoedya 1. Analisis Alur Cerita Calon Arang karya Pramoedya. 1.1 Analisis Fungsi F1:
Kerajaan Daha yang damai di Zaman Erlangga.
F2:
Calon Arang seorang janda yang sangat jahat. Mempunyai anak bernama Ratna Manggali.
F3:
Tidak ada pria yang mau melamar Ratna Manggali karena takut kepada ibunya yang jahat.
F4:
Warga mulai membicarakan Ratna Manggali yang tak kunjung memiliki suami.
F5:
Calon Arang sakit hati dan memohon kepada Dewi Durga agar diizinkan untuk meneluh warga di pinggiran kota.
F6:
Empu Baradah seorang yang sakti memiliki istri yang baik hati dan seorang anak yang bernama Wedawati.
F7:
Istri Empu Baradah jatuh sakit dan akhirnya meninggal.
F8:
Wedawati merasa kehilangan dan memohon untuk meninggal juga namun tidak dikabulkan.
F9:
Empu Baradah menikah lagi dan mempunyai seorang anak lakilaki dari istri barunya.
F10:
Wedawati adalah seorang anak yang cerdas, baik hati, suka menolong, dan ramah pada semua orang.
F11:
Ibu tiri Wedawati tidak suka kepada Wedawati.
F12:
Ibu tiri Wedawati memarahi Wedawati.
F13:
Wedawati pergi dari asrama Lemah Tulis menuju pemakaman ibunya.
F14:
Empu Baradah membujuk Wedawati untuk pulang, akhirnya Wedawati pun menuruti permintaan ayahnya.
F15:
Raja mengetahui kejahatan Calon Arang.
F16:
Raja memerintahkan prajurit untuk membunuh Calon Arang.
F17:
Para prajurit datang ke rumah Calon Arang lalu mencoba membunuhnya, tetapi gagal para prajurit terbunuh dan terbakar.
F18:
Mengetahui kegagalan para prajurit, raja kecewa kemudian ia memerintahkan para pendeta untuk berdoa kepada dewa agar diberi petujuk.
F19:
Calon Arang semakin ganas, ia mulai meneluh warga ibu kota.
F20:
Dewa memberi petunjuk bahwa hanya Empu Baradah lah yang mampu mengalahkan Calon Arang.
F21:
Para prajurit mendatangi Empu Baradah dan meminta kesediaanya untuk mengalahkan Calon Arang.
F22:
Empu Baradah pun bersedia dan memerintahkan Empu Bahula untuk menikahi Ratna Manggali dengan biaya ditanggung raja.
F23:
Empu Bahula menikahi Ratna Manggali dan Calon Arang pun merasa sangat bahagia.
F24:
Ibu tiri Wedawati kembali memarahi Wedawati dan mengusirnya dari asrama.
F25:
Empu Baradah membujuk Wedawati untuk pulang, namun gagal.
F26:
Empu Baradah meminta bantuan warga membuatkan rumah di dekat makam untuk Wedawati tinggal.
F27:
Empu Bahula merasa curiga karena setiap sore Calon Arang pergi membawa kitab dan pulang ketika malam telah larut.
F28:
Ratna Manggali menceritakan semua rahasia Calon Arang kepada Empu Bahula.
F29:
Ratna Manggali memberikan kitab tersebut kepada Empu Bahula.
F30:
Empu Bahula pergi menuju Lemah Tulis.
F31:
Setelah membaca isi kitab tersebut Empu Baradah pergi ke Dusun Girah.
F32:
Empu baradah menemui Calon Arang.
F33:
Calon Arang memohon pada Empu Baradah agar mau menyucikan dirinya namun Empu Baradah menolak.
F34:
Terjadi perhelatan antara Calon Arang dan Empu Baradah. Calon Arang pun kalah dan meninggal.
F35:
Empu Baradah menghidupkan kembali Calon Arang untuk menyucikan Calon Arang.
F36:
Calon Arang kemudian hidup lagi.
F37:
Setelah Calon Arang disucikan Empu Baradah membunuh kembali Calon Arang.
F38:
Empu Baradah kembali di Dusun Girah.
F39:
Empu Baradah menyuruh Empu Bahula menghadap baginda untuk mengabarkan kematian Calon Arang.
F40:
Baginda sangat senang mendengar berita kematian Calon Arang.
F41:
Baginda Erlangga berangkat ke Dusun Girah.
F42:
Sri Baginda memohon agar Sang Maha Pendeta sudi mengajarinya ilmu budi pekerti.
F43:
Setelah tamat pelajaran Sri Baginda kembali ke Daha.
F44:
Dengan ilmunya Sri Paduka memperbaiki keadaan rakyat.
F45:
Sawah dan ladang
diolah lagi panen yang bagus tidak
berkeputusan, demikian Kerajaan Daha setelah Calon Arang mati. F46:
Sri Baginda ingin meninggalkan kerajaan dan menjadi pendeta.
F47:
Sri Baginda bingung membagi kerajaan kepada kedua anaknya.
F48:
Sri Baginda mengangkat anak sulungnya
untuk menggantikan
posisinya sebagai raja sedangkan anak kedua diangkat menjadi Raja Bali. F49:
Sri Baginda meminta nasihat kepada Sang Maha Pendeta Baradah.
F50:
Kanduruhan pergi ke Lemah Tulis.
F51:
Sang Pendeta akan menemui Empu Kuturan.
F52:
Kanduruhan kembali ke Daha.
F53:
Sebelum ke Bali, Empu Baradah pergi ke pertapaan Wedawati.
F54:
Empu Baradah meminta Wedawati untuk menunggu dirinya pulang sebelum berpergian kembali.
F55:
Sesampainya Empu Baradah di Bali, Empu Kuturan sedang bersemedi dengan sangat khusyu dan lama.
F56:
Empu Baradah yang telah lama menunggu merasa kesal hingga membuat banjir agar Empu Kuturan terganggu.
F57:
Empu Kuturan tidak merasa terganggu dan terus bersemedi.
F58:
Selesai bersemedi Empu Kuturan menemui tamunya.
F59:
Empu Kuturan marah mendengar maksud Empu Baradah karena cucunya telah menjadi raja di Bali.
F60:
Empu
Baradah
pun
marah
kepada
Empu
Kuturan
dan
meninggalkannya tanpa pamit. F61:
Empu Baradah tidak dapat pergi karena daun nangka terus tenggelam.
F62:
Empu Baradah kembali ke tempat Empu Kuturan dan meminta izin untuk pulang.
F63:
Empu Baradah kembali ke Jawa.
F64:
Empu Baradah menceritakan pengalamannya kepada Sri Baginda.
F65:
Empu Baradah menyarankan untuk membagi dua kerajaan.
F66:
Sri Baginda meninggalkan istana dan menjadi pertapa.
F67:
Empu Baradah kembali ke pertapaan.
F68:
Terjadi peperangan antar kedua kerajaan.
F69:
Empu Baradah membagi kerajaan dengan batas-batas yang jelas.
F70:
Untuk jasanya Empu Baradah diberi harta yang banyak oleh Sri Baginda.
F71:
Empu Baradah memberikan semua hartanya kepada anak lelakinya.
F72:
Empu Baradah menemui Wedawati dan mengajaknya pergi jauh.
1.2 Deskripsi Fungsi Cerita diawali saat Kerajaan Daha yang dipimpin oleh Raja Erlangga masih tentram dan damai (F1). Di Dusun Girah yang merupakan bagian dari Negara Daha, hiduplah seorang janda yang bernama Calon Arang dengan putri cantiknya bernama Ratna Manggali (F2). Calon Arang adalah orang yang jahat, oleh karena itu tidak ada yang mau mendekati Ratna Manggali (F3). Lama kelamaan warga mulai membicarakan Ratna Manggali yang kunjung tidak memiliki suami (F4). Mengetahui hal tersebut, Calon Arang marah dan memohon pada Dewi Durga agar dapat meneluh penduduk di pinggiran ibukota (F5). Di Dusun Lemah Tulis yang masih bagian dari Negara Daha, hiduplah seorang petapa sakti bernama Empu Baradah yang memiliki seorang anak bernama Wedawati dan seorang istri yang baik hati (F6). Istri Empu Baradah jatuh sakit dan tidak dapat disembuhkan hingga ajal menjemput (F7), Wedawati merasa sangat kehilangan dan memohon untuk meninggal juga bersama ibunya namun tidak dikabulkan (F8). Empu Baradah menikah lagi dan memiliki seorang anak laki-laki (F9). Wedawati adalah seorang anak yang cerdas, baik hati dan suka menolong seperti ayahnya, ia disukai warga desa (F10). Karena Wedawati sangat disayangi ayahnya, ibu tiri Wedawati tidak menyukai Wedawati (F11) sehingga ia seringkali memarahi Wedawati tanpa sebab yang jelas (F12). Tidak tahan dengan hal itu, dengan berat hati ia meninggalkan asrama Lemah Tulis dan pergi ke pemakaman ibunya sambil menangis (F13). Mengetahui putri kesayangannya tidak ada di rumah Empu Baradah mencarinya, hingga sampailah ia di makam ibu kandung Wedawati, ia lalu membujuk Wedawati untuk pulang dan berhasil (F14). Raja Erlangga mengetahui kejahatan Calon Arang (F15). Lalu Raja memerintahkan prajurit untuk membunuh Calon Arang (F16). Para prajurit pun langsung pergi ke rumah Calon Arang, namun naas sekali nasib para
prajurit tersebut, bukannya membunuh Calon Arang tapi mereka yang dibunuh oleh Calon Arang (F17). Mengetahui hal tersebut, raja merasa kecewa, lalu ia memerintahkan para pendeta untuk berdoa kepada Dewa Agung agar diberi petunjuk (F18). Calon Arang semakin ganas, ia mulai meneluh warga ibukota (F19). Dewa memberi petunjuk bahawa Empu Baradah lah yang dapat menaklukan Calon Arang (F20). Para prajurit mendatangi Empu Baradah dan meminta kesediaanya untuk mengalahkan Calon Arang (F21) setelah mendengar kisahnya Empu Baradah pun bersedia dan memerintahkan Empu Bahula untuk menikahi Ratna Manggali dengan biaya ditanggung raja (F22). Empu Bahula menikahi Ratna Manggali dan Calon Arang pun merasa sangat bahagia (F23). Ibu tiri Wedawati kembali memarahi Wedawati dan mengusirnya dari asrama (F24). Empu Baradah kembali mencari Wedawati dan akhirnya menemukannya kembali di makam ibu kandungnya, namun kali ini Wedawati tetap tidak ingin pulang walaupun dibujuk ayahnya (F25). Karena Wedawati tetap tidak ingin pulang maka Empu Baradah pun meminta bantuan warga membuatkan rumah di dekat makam untuk Wedawati tinggal, rumah itupun dirawatnya dengan baik (F26). Empu Bahula merasa curiga karena setiap sore Calon Arang pergi membawa kitab dan pulang ketika malam telah larut (F27).
Ratna
Manggali menceritakan semua rahasia Calon Arang kepada Empu Bahula dan mengatakan bahwa kitab yang dibawa oleh Calon Arang itu sangat bertuah (F28). Ratna Manggali memberikan kitab tersebut kepada Empu Bahula (F29) cepat-cepat Empu Bahula pergi menuju Lemah Tulis untuk memberikan kitab tersebut kepada Empu Baradah (F30). Setelah membaca isi kitab tersebut Empu Baradah pergi ke Dusun Girah dan mengobati penduduk yang sakit serta menghidupkan kembali mayat yang baru saja meninggal dengan tuah mantra (F31). Setelah itu Empu Baradah menemui
Calon Arang di pekuburan tempatnya memuja (F32). Calon Arang memohon kepada Empu Baradah untuk menyucikan dirinya namun Empu Baradah menolak (F33), Calon Arang yang sakit hati mencoba menaklukan Empu Baradah maka terjadilah pertempuran yang cukup sengit diantara keduanya namun Calon Arang kalah sakti hingga akhirnya ia pun mati dan tergolek di tanah (F34). Empu Baradah menghidupkan kembali Calon Arang dan menyucikannya (F35) lalu Calon Arang pun hidup kembali (F36). Setelah menyucikan Calon Arang, Empu Baradah lalu membunuhnya kembali (F37). Setelah selesai melaksanakan tugasnya, Empu Baradah menuju Dusun Girah (F38) ia bertemu Empu Bahula dan menceritakan kekalahan Calon Arang, Empu Baradah meminta Empu Bahula menghadap Baginda dan mengabarkan kematian Calon Arang (F39). Baginda sangat senang mendengar kabar tersebut (F40) lalu Baginda pergi ke Dusun Girah menemui Sang Maha Pendeta (F41) ia memohon agar Sang Maha Pendeta sudi mengajarinya ilmu budi pekerti (F42). Setelah tamat pelajaran, Sri Baginda kembali ke Daha (F43) dengan ilmu yang telah ia dapat, ia memperbaiki keadaan rakyat (F44). Sawah dan ladang pun kini diolah kembali, panen yang bagus tidak berkeputusan (F45). Setelah kerajaannya makmur kembali, Baginda ingin meninggalkan istana dan menjadi petapa (F46). Namun Sri Baginda bingung bagaimana membagi kerajaan kepada kedua anaknya (F47). Setelah melalui pemikiran yang sangat panjang, Sri Baginda memutuskan untuk memberikan kerajaan kepada anak sulungnya sedangkan anak bungsunya menjadi raja di Bali (F48). Sebelum melaksanakan rencananya, Sri Baginda meminta nasihat kepada Sang Maha Pendeta terlebih dahulu (F49) maka pergilah Kanduruhan ke Lemah Tulis (F50). Empu Baradah akan ke Bali untuk menemui Empu Kuturan (F51) maka kembalilah Kanduruhan ke Daha (F52). Sebelum pergi ke Bali, Empu Baradah menemui Wedawati (F53) dan berpesan untuk menunggunya kembali dari Bali sebelum bepergian
jauh (F54). Sesampainya di Bali, Empu Kuturan sedang bersemedi dengan sangat khusyu (F55). Karena terlalu lama menunggu, Empu Baradah pun merasa kesal dan mulai mengeluarkan kesaktiannya untuk mengganggu Empu Kuturan (F56) namun Empu Kuturan tidak merasa terganggu dan terus bersemedi (F57). Setelah selesai bersemedi, barulah Empu Kuturan menemui tamunya (F58). Mendengar maksud kedatangan Empu Baradah, marahlah Empu Kuturan karena cucunya telah menjadi raja di Bali (F59). Empu Baradah yang merasa tersinggung langsung pergi tanpa pamitan (F60) namun daun nangka
yang
ia
gunakan
terus
tenggelam
(F61).
Menyadari
ketidaksopanannya, Empu Baradah kembali ke tempat Empu Kuturan untuk berpamitan (F62). Empu Baradah kembali ke Jawa (F63),
ia
menceritakan pengalamannya kepada Sri Baginda (F64) lalu ia menyarankan agar kerajaan dibagi menjadi dua saja (F65), Sri Baginda pun menyetujuinya lalu Sri Baginda meninggalkan kerajaan dan menjadi petapa (F66) begitu pula dengan Empu Baradah yang kembali ke pertapaanya (F67). Lalu terjadilah peperangan antara kedua kerajaan tersebut (F68), Empu Baradahlah yang kemudian menengahi perang tersebut dan membagi kedua kerajaan dengan batas-batas yang jelas (F69). Atas jasanya tersebut, Empu Baradah dihadiahi banyak sekali harta benda berharga (F70) yang kemudian ia berikan semuanya kepada anak lelakinya (F71). Setelah itu Empu Baradah pergi menemui Wedawati dan mengajaknya pergi jauh (F72). 2. Analisis Pengaluran Cerita Calon Arang karya Pramoedya 2.1 Pengaluran Cerita Calon Arang karya Pramoedya Bab 1 : Pengaluran Linier Kerajaan Daha di Zaman Erlangga “Negara Daha termasyhur aman. Tak ada kejahatan terjadi, karena setiap orang hidup makmur, cukup makan dan cukup pakaian.
Karena makmurnya itu makanan penduduk teratur, dan karena itu pula tak ada penyakit berjangkit”. (Pramoedya, 2003:8)
“Yang memerintah negara itu ialah seorang raja. Erlangga namanya. Baginda terkenal bijaksana dan berbudi. Pendeta-pendeta yang membuka pertapaan dan asrama sampai jauh di gunung-gunung mendapat perlindungsn belaka”. (Pramoedya, 2003:8)
Bab 2: Pengaluran Linier Calon Arang “Calon Arang seorang perempuan setengah tua. Ia mempunyai anak perawan yang berumur lebih dari 25 tahun. Ratna Manggali namanya. Bukan main cantik gadis itu. Sekalipun demikian tak seorangpun pemuda datang meminang, karena takut kepada ibunya, Calon Arang. ia senang menganiaya sesama manusia, membunuh, merampas, dan menyakiti. Calon Arang berkuasa. Ia tukang teluh dan punya banyak ilmu ajaib untuk membunuh orang”. (Pramoedya, 2003:11).
Bab 3: Pengaluran Linier Dan Flashback Empu Baradah “Menurut cerita orang tua-tua: pada waktu itu ada seorang pertapa. Ia bergelar Empu. Empu artinya guru. Ia bernama baradah. Orang-orang menyebutnya Empu Baradah. Empu Baradah orang yang saleh dan taat benar pada agamanya. Ia selalu bertaqwa pada dewanya. Sudah lama ia berasrama di Lemah Tulis, dan di sana pula ia tinggal”. (Pramoedya, 2003:15)
Bab 4: Pengaluran Linier& Pengaluran Flashback Calon arang Mulai Mengganas Penduduk desa tahu belaka, bila Calon Arang dan muridmuridnya pulang dengan girangnya dari Candi Durga pasti ada orang
yang akan menemui ajalnya. Kegirangan Calon Arang dan muridmuridnya berarti ketakutan buat orang banyak”. (Pramoedya, 2003:23)
Bab 5: Pengaluran Linier Dan Flashback Calon Arang Mengusir Pasukan Raja “Tukang sihir itupun bangunlah dari tidurnya. Melihat ketiga prajurit itu meluaplah amarahnya. Matanya merah. Sebentar kemudian menyemburkan api dari matanya itu. Juga hidung, kuping, dan mulutnya merah padam mengeluarkan api yang menjilat-jilat. Terbakarlah ketiga prajurit itu. Terbakar sampai hangus dan mati di situ juga”.(linier) (Pramoedya, 2003:32) “Sunyi-senyaplah
ruangan
bangsal
itu.
Dan
prajurit
itu
meneruskan ceritanya: “Kepala pasukan menjambak rambut Calon Arang. Dua orang prajurit mengamangkan pedang terhunus di atas tubuh janda itu. Ampun paduka Baginda...patik lihat tangan ketiga prajurit itu jadi kejang-kaku tak dapat bergerak. Patik lihat sendiri tanpa ketakutan mereka itu. Patik bersama pasukan datang di waktu tengah malam. Pasukan kami mendapati Calon Arang di rumahnya. Sedang ia tidur waktu itu. Waktu bangun, keluar api besar yang menjilat-jilat ke sana-ke mari. Kepala pasukan beserta dua orang prajurit yang hendak menangkapnya terbakar hangus sama sekali. Karena itu patik bersama sisa pasukan segera mundur dan kembali ke kota. Hemat patik si janda Calon Arang tak dapat dilawan dengan senjata.”(flashback) (Pramoedya, 2003:34) Bab 6: Pengaluran Linier Gerombolan Tukang Sihir yang Semakin Nekat “Para prajurit yang mati itu dilemparkan oleh murid-murid Calon Arang ke kali. Bukan main amarah tukang sihir itu. Dendam mengamuk dalam hatinya. Mukanya dan matanya merah. Bibirnya merengut. Ia tak dapat diam. Berjam-jam lamanya ia mondar-mandir di serambi rumah karena kemarahannya.” (Pramoedya, 2003:37)
Bab 7: Pengaluran Linier Wedawati Kembali “Wedawati telah pulang. Lama ia tak keluar-keluar dari asrama. Jarang benar ia mengunjungi rumah kawan-kawannnya. Tidak seperti dahulu. Tetapi kalau kawan-kawannya datang ia tak menolak mereka. Ditemuinya mereka itu dengan senang hati.” (Pramoedya, 2003:50)
Bab 8: Pengaluran Linier Raja Membutuhkan Bantuan Sang Pertapa “Segera Sri Baginda Raja memerintahkan Kanduruan. Banyak ia menasihati Kanduruan agar bersikap hormat pada Empu Baradah dan menghadap benar-benar agar pendeta yang mulia itu segera sudi turun tangan menghancurkan seluruh penyakit.” (Pramoedya, 2003:56)
“Berita tentang kesanggupan Empu Baradah disambut dengan sorak kegirangan di mana-mana. Di alun-alun Daha, utusan itu disambut dengan seruan gagap gempita. Para prajurit membunyikan sangkakala dan segala tabuh-tabuhan.” (Pramoedya, 2003:58)
Bab 9: Pengaluran Linier Dan Flashback Wedawati Jadi Gadis Pertapa “Saban hari Sang Pendeta datang membawa Weda-Weda dan mengajarkan pada anaknya berbagai ilmu yang patut diketahui oleh tiap orang. Dan bila berhadapan dengan ayahnya, tak perbah gadis itu bertanya tentang ibu, tentang asrama.” (Pramoedya, 2003:67)
“Dalam waktu sebentar saja telah tersiar ke seluruh dusun itu kebagusan taman pekuburan. Kabar itu pun tersiar keluar dusun lainnya. Dengan demikian. Tambah lama makin banyak orang datang melihat. Tetapi tak ada yang berani masuk. Menunjuklah orang bila melihat Wedawati. Mereka anggap gadis itu telah jadi pertapa pula”. (Pramoedya, 2003:68) Bab 10: Pengaluran Linier Rahasia Calon Arang Terbongkar ““Kitab ibu sangat bertuah. Kitab itu berisi segala macam ilmu. Karena itu tak pernah ketinggalan. Barang ke mana ia pergi dibawanya serta. Tuanku, ini rahasia. Ini berul-betul rahasia. Bukankah Tuanku takkan bercerita pada orang lain?” “Tentu saja tidak, Manggali!”, Empu bahula berjanji.” (Pramoedya, 2003:73)
“Setelah mengetahui rahasia kitab suci itu, Empu Baradah pergi ke tempat-tempat yang diamuk oleh penyakit. Tiga orang di antara muridmuridnya yang terkemuka mengiringkan.” (Pramoedya, 2003:75)
Bab 11: Pengaluran Linier Daha Terlepas Sihir Calon Arang “Sekarang Calon Arang tergolek di tanah. Tak bergerak-gerak ia. Wesirsa dan Mahisa Wadana memandangi bekas gurunya dengan sangat kagum dan kaget. Kedua orang tadinya mengira, bahwa Calon Aranglah satu-satunya orang yang paling manjur sihir dan tuahnya. Rupa-rupanya ia dengan gampang saja dilawan oleh Empu Baradah.” (Pramoedya, 2003:83-84)
Bab 12: Pengaluran Linier Kisah Terakhir Kerajaan Daha dan Empu Baradah
”Tuanku, baiklah kerajaan ini diparoh dua. Yang sebelah dinamai Kediri dan diperintah oleh putra sulung. Yang sebelah lagi dinamai Jenggala dan diperintah oleh putra bungsu.” (Pramoedya, 2003:91) “Sesampai di asramanya sendiri, segala kekayaan itu diserahkan kepada anak yang lelaki. Setelah menyerahkan semua harta bendanya, pergilah ia ke tempat Wedawati bertapa. Diajaknya anaknya yang dicintainya itu pergi jauh, jauh sekali.” (Pramoedya, 2003:92)
2.2 Deskripsi Sekuen Baginda Erlangga selalu memperhatikan dan memeriksa seluruh negara, mulai dari pelosok hingga seluruh daerah (linier), namun keadaan sentosa berubah menjadi terancam karena tersiar kabar ada musuh akan datang, dan musuh itu adalah penyakit (linier). Hal itu disebabkan karena Calon Arang marah, Ratna Manggali, putri Calon Arang tak ada yang berani datang meminangnya karena takut terhadap Calon Arang (linier). Jika Ratna Manggali berjalan-jalan, biasanya orang-orang menundukkan kepala bila melihatnya (linier). Marahlah Calon Arang karena tak ada yang mau melamar anaknya, ia hendak membunuh orang sebanyak-banyaknya (linier). Lalu, Calon Arang pergi ke tempat pemujaan Dewi Durga (linier). Di lain tempat diceritakan Wedawati adalah anak Empu Baradah, ia cantik dan baik terhadap semua orang seperti ayahnya (linier). Semua tingkah laku Wedawati menjadi percakapan dan dibuat contoh oleh gadis-gadis di seluruh Lemah Tulis (flashback). Namun pada suatu hari ibu Wedawati jatuh sakit, lama-kelamaan sakitnya menjadi parah (linier). Beberapa hari kemudian ibu Wedawati meninggal dunia, Wedawati menangis ditinggal mati oleh ibunya (linier). Segera mayat ibu Wedawati disucikan, dan dibawa ke kuburan untuk ditanam (linier). Empu baradah menikah lagi setelah beberapa waktu istrinya meninggal (linier). Empu Baradah pergi ke pertapaan Wisamuka untuk mengajar murud-muridnya (linier). Di Lemah Tulis Wedawati sibuk bekerja, ia
gadis yang suka bekerja (linier). Ibu tiri Wedawati memarahi Wedawati dengan semau-maunya (linier). Akhirnya, Wedawati pergi meninggalkan asrama dan pergi menuju kuburan ibunya (linier). Wedawati pergi ke kuburan mendiang ibunya. Saat matahari condong ke barat, Wedawati tetap tak mau bangkit dari kuburan ibunya (linier). Calon Arang merasa berbahagia bila telah menyakiti dan menewaskan orang-orang yang dibencinya (flashback). Tiap-tiap waktu murid Calon Arang dipaksa berkeramas dengan darah manusia (flashback & linier). Dahulu tanah lapang dusun Girah adalah tempat bermain-main anak-anak kecil, tetapi sekarang sunyi saja tanah lapang dusun itu (flashback). Malam itu, Calon arang beserta murid-muridnya keluar dari rumah untuk pergi ke tempat pemujaan Dewi durga (linier). Sampai di perempatan jalan mereka menanamkan teluh di tengah-tengah perempatan (linier). Penduduk negara Daha kian lama kian sedikit, banyak prajurit dari luar ibukota meninggal (linier). Penyakit panas dingin yang diteluhkan Calon Arang sudah tidak bisa dicegah lagi (linier). Berita tentang meluasnya teluh Calon Arang telah dilaporkan Pada Sri Baginda Erlangga (linier). Pada suatu hari dipanggillah semua menteri menghadap raja (linier). Alun-alun dipenuhi oleh penduduk yang ingin mendengar putusan baginda (linier). Berita tentang putusan Sri Baginda itu dalam waktu sebentar saja telah tersiar ke mana-mana (linier). Pasukan balatentara raja yang berkuda itu melaju menuju ke desa Girah (linier). Pada suatu malam sampailah mereka di desa Girah, gelap dan orang-orang masih tertidur (linier). Kepala pasukan bersama dua orang pembantunya masuk ke dalam rumah janda tukang sihir itu, didapatinya Calon Arang sedang tidur nyenyak (linier). Calon Arang pun bangun dari tidurnya, melihat prajurit tersebut Calon Arang marah (linier). Dalam perjalanan pulang Pasukan Balatentara Raja dielu-elukan oleh penduduk, namun setelah mendengar kegagalan mereka lenyaplah harapan penduduk (linier).
Prajurit itu menceritakan bahwa kepala pasukan menjambak rambut Calon Arang, dua orang prajurit mengamangkan pedang terhunus di atas tubuh janda itu, namun tangan prajurit itu jadi kaku kejang-kejang tak dapat bergerak (flashback). Seluruh negeri berkabung mendengar berita kekalahan pasukan balatentara raja yang terkenal gagah berani itu (linier). Setelah sidang dibubarkan, raja segera masuk ke sanggar pemujaan, dan seorang diri berjalan-jalan di sana (linier). Di asrama tempat Wedawati tinggal, ia selalu dimaki-maki oleh ibu tirinya. Ibu tiri Wedawati mengusir Wedawati. Melihat Wedawati pergi, hati ibu tirinya girang bukan main (linier). Lalu, Empu Baradah pergi mencari Wedawati (linier). Wedawati duduk terpengkur di samping kuburan mendiang ibunya (linier). Empu Baradah mengajak Wedawati pulang ke Lemah Tulis, dan Wedawati tidak menolak (linier). Wedawati sudah pulang ke asrama, ia jarang sekali mengunjungi rumah kawankawannya (linier). Wedawati tinggal di asrama mempelajari berpuluhpuluh kitab (linier). Penyakit semakin meluas, ratusan orang mati tiap hari (linier). Bukan Main marahnya sang Baginda melihat kesengsaraan rakyatnya (linier). Dari sana sini orang mendengar murid-murid Calon Arang mengembara ke seluruh negeri (linier). Penyakit tambah menghebat, tak berkurang sedikitpun (linier). Pada suatu hari sang Baginda mengadakan sidang lagi (linier). Setelah sidang selesai, para pendeta yang hadir berbarengan menuju candi (linier). Di candi, para pendeta bersemedi memohon petunjuk (linier). Datanglah Dewa Guru melalui Asap pedupaan (linier). Dewa Guru mengatakan bahwa ada seorang yang mampu melawan teluh Calon Arang, yaitu Empu Baradah (linier). Baginda segera memerintahkan Kanduruan menemui Empu Baradah (linier). Ibu tiri Wedawati memarahi Wedawati lagi, dan akhirnya Wedawati diusir dari asrama kembali (linier). Diam-diam Wedawati duduk di
samping kuburan mendiang ibunya, tapi ia tak menangis. Ia memuja ibu dan para dewanya (linier). Empu Baradah kembali ke Lemah Tulis, dan mencari-cari Wedawati (linier). Empu Baradah sampai di kuburan mendiang istrinya, dan memang benar Wedawati ada di sana (linier). Wedawati dibujuk untuk pulang, namun Wedawati menolak (linier). Empu Baradah membuatkan rumah untuk Wedawati di dekat kuburan mendiang istrinya (linier). Sekarang Wedawati tinggal di pekarangan pekuburan (linier). Setiap hari Empu Baradah datang membawa Weda-Weda dan mengajarkan kepada Wedawati (linier & flashback). Dalam waktu sebentar saja pekuburan itu menjadi taman yang indah, dan namanya tersiar keluar dusun lainnya (linier). Empu Bahula melamar Ratna Manggali, Sang Baginda Raja sangat senang mendengar berita yang dilaporkan Kanduruan padanya (linier). Setelah Sang Baginda ,menghadiahkan barang-barang berharga dan uang untuk emas kawin serta upacara pernikahan, berangkatlah Empu Baradah ke Dusun Girah (linier). Bukan main senang hati Calon Arang karena kini anaknya tak akan dipergunjingkan orang-orang lagi (linier). Perhelatan perkawinan itu dibuat besar-besaran oleh Calon Arang (linier). Berharihari pesta diadakan, di mana-mana orang datang (linier). Calon Arang pergi ke luar untuk memuja dewi Durga (linier). Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Empu Bahula. Ratna Manggali mengambil Kitab suci ibunya secara diam-diam untuk diperlihatkan kepada Empu Bahula (linier). Empu Bahula pergi menemui Empu Baradah dengan membawa Kitab Suci Calon Arang (linier). Setelah mengetahui rahasia kitab Calon Arang, Empu Baradah pergi ke tempat-tempat yang diamuk oleh penyakit (linier). Di sebuah pekuburan lainnya sang pendeta menemui dua orang lelaki, yaitu Mahisa Wadana dan Weksirsa (linier). Mereka ingin bertobat, dan memohon ampun tujuh turunan pada Empu Baradah (linier).
Pada suatu hari Calon Arang pergi memuja Dewi Durga, dan Dewi Durga memberinya peringatan untuk berhati-hati (linier). Sekarang Calon Arang merasa ketakutan (linier). Calon Arang bertemu dengan Empu Baradah dan tiba-tiba Calon Arang memohon ampun kepadanya (linier). Terjadi pertarungan antara Calon Arang dengan Empu Baradah (linier). Sekarang Calon Arang tergolek di tanah, ia mati (linier). Empu baradah menghidupkan Calon Arang untuk disucikan trelebih dahulu, kemudian mematikannya lagi (linier). Keesokan harinya Sri Baginda Erlangga berangkatlah ke Dusun Girah, ribuan Balatentara turut juga (linier). Sri Baginda memohon kepada Empu Baradah untuk sudi mengajarinya ilmu budi pekerti (linier). Sawah dan ladang diolah lagi, panen yang bagus tidak berkeputusan (linier). Setelah sekian lama memerintah, Sri Baginda berhasrat untuk meninggalkan Kerajaan (linier). Empu Baradah pergi menemui Empu Kuturan, namun Empu Kuturan sedang bersemedi (linier). Segala pengalaman di Bali diceritakan Empu Baradah kepada Baginda Raja (linier). Di asrama, segala kekayaan Empu Baradah diberikannya kepada anak lelakinya (linier). Empu Baradah pergi meninggalkan asrama bersama Wedawati (linier). C. Analisis Aspek Semantis Cerita Calon Arang karya Pramoedya 1. Analisis Tokoh Cerita Calon Arang karya Pramoedya 1.1 Jenis-jenis Tokoh a. Tokoh Protagonis Cerita Calon Arang karya Pramoedya: No
Nama Tokoh Protagonis Cerita Calon Arang karya Pramoedya
1.
Empu Baradah
2.
Empu Bahula
3.
Raja Erlangga
4.
Wedawati
5.
Ibu Kandung Wedawati
6.
Ratna Manggali Tabel 1.2 Tokoh Protagonis
b. Tokoh Antagonis Cerita Calon Arang karya Pramoedya: No
Nama Tokoh Antagonis Cerita Calon Arang karya Pramoedya
1.
Calon Arang
2.
Gandi
3.
Lendi
4.
Larung
5.
Weksirsa
6.
Mahisa Wadana
7.
Ibu Tiri Wedawati Tabel 1.3 Tokoh Antagonis
c. Tokoh Berkembang Cerita Calon Arang karya Pramoedya: No
Nama Tokoh Berkembang Cerita Calon Arang “Pramoedya
1.
Calon Arang
2.
Larung
3.
Lendi
4.
Mahisa Wadana
5.
Weksirsa
6.
Ibu Tiri Wedawati Tabel 1.4 Tokoh Berkembang
d. Tokoh Statis Cerita Calon Arang “Pramoedya: No 1.
Nama Tokoh Statis Cerita Calon Arang “Pramoedya Wedawati
2.
Empu Baradah
3.
Empu Bahula
4.
Raja Airlangga
5.
Ibu Kandung Wedawati
6.
Ratna Manggali Tabel 1.5 Tokoh Statis
e. Tokoh Tambahan Cerita Calon Arang “Pramoedya: No
Nama Tokoh Tambahan Cerita Calon Arang “Pramoedya
1.
Wedawati
2.
Ibu Kandung Wedawati
3.
Ibu Tiri Wedawati
4.
Adik Tiri Wedawati
5.
Ratna Manggali
6.
Dewi Durga
7.
Mahisa Wadana
8.
Weksirsa
9.
Lendesi
10.
Larung
11.
Guyung
12.
Gandi Tabel 1.6 Tokoh Tambahan
f. Tokoh Utama Cerita Calon Arang “Pramoedya: No 1.
Nama Tokoh Utama Cerita Calon Arang “Pramoedya Empu Baradah
2.
Calon Arang
3.
Raja Airlangga Tabel 1.7 Tokoh Utama
1.2 Deskripsi Tokoh a. Fisik Biologis 1. Calon Arang: Perempuan setengah tua berumur sekitar 40 tahun, memiliki rupa yang tidak terlalu cantik tapi tidak jelek juga. Memiliki rambut yang lengket dan tebal karena sering dikeramas menggunakan darah manusia.
“Calon arang seorang perempuan setengah tua. Ia mempunyai anak perawan berumur lebih 25 tahun. Ratna Manggali namanya.“ (Pramoedya, 2009:11)
“Aku kira si Calon Arang itu perempuan tua yang buruk rupanya,” bisik kepala pasukan kepada pembantunya. “Ruparupanya
tidaklah
menyambungi.
demikian,
“Tidak
buruk
”Pembantunya sekalipun
tidak
berbisik bagus.”
(Pramoedya, 2009:32)
2. Empu Baradah: jika berjalan sangat cepat dan selalu mengenakan jubah, terompah dan selendang penutup leher.
“Segera istrinya menyediakan jubah Sang Empu. Selain jubah juga terompah dan selendang penutup leher” (Pramoedya, 2009:59)
3. Wedawati: cantik dan masih remaja
“Empu Baradah punya istri dan seorang putri yang cantik. Sedang remaja putrinya, gadis itu Wedawati namanya.” (Pramoedya, 2009:16)
4. Raja Erlangga: Tidak dideskripsikan 5. Empu Bahula: Tidak dideskripsikan 6. Ratna Manggali: berumur sekitar 25 tahun, memiliki rupa yang sangat cantik.
“Ratna Manggali namanya. Bukan main cantik gadis itu.” (Pramoedya, 2009:11)
7. Dewi Durga: Memiliki rupa yang sangat cantik dan sempurna.
“…Melalui asap pedupaan itulah Dewi Durga datang. Kian lama kian nyata rupanya. Ia adalah dewi yang luar biasa cantik dan bagusnya. Tak sedikit pun cacat pada tubuhnya.” (Pramoedya, 2009:13)
b. Hubungan dengan tokoh lain: 1. Calon Arang: ibu dari Ratna Manggali, ia sangat sayang kepada anak satu-satunya itu, namun ia tidak segan-segan membunuh orang lain yang jahat pada dia dan anaknya. Itulah yang menyebabkan dia dibenci oleh kebanyakan orang.
“Ratna Manggali adalah anak tunggal. Karena itu sangat disayangi ibunya. Walaupun sang ibu seorang perempuan jahat, kepada anaknya sayang juga ia.” (Pramoedya, 2009:12)
“Nama Calon Arang disebut oleh tiap orang. Ia dikutuki oleh semua orang.” (Pramoedya, 2009:28)
2. Empu Baradah: bapak dari Wedawati, ia sangat sayang pada anaknya. Dia juga memiliki hubungan baik dengan orang-orang yang ada disekitarnya karena keramahan, kesopanan dan kebaikan yang ia miliki. Dia juga sangat peduli pada apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya, ia bersedia untuk menolong jika ia mampu sehingga penduduk Dusun Lemah Tulis menganggap ia sederajat denngan dewa-dewa.
“Karena Sang Empu sangat taat pada agamanya, penduduk dusun sujud pula padanya. Lagipula ia selalu ramah, senang menolong orang sengsara dan tak pernah menolak bila orang datang minta tolong.” (Pramoedya, 2009:15)
3. Wedawati: Anak Empu Baradah ini sangat sayang kepada ibunya, ia juga ramah, sopan, dan baik hati seperti ayahnya. Ia tak mau merugikan orang lain, ia ingin membahagiakan semua manusia. Selain itu dia juga penolong, oleh karena itulah ia dihormati oleh penduduk di sekitar asrama Lemah Tulis.
”Wedawati jadi bunga yang semerbak di Lemah Tulis. Bukan karena kecantikannya saja. Ia pun dihormati oleh penduduk selingkungan asrama, di kampung, dan di sawah serta di ladang, di hutan dan di lapangan-lapangan tempat anak-anak menggembala binatangnya.” (Pramoedya, 2009:16)
4. Raja Erlangga: raja dari Kerajaan Daha ini sangat sayang pada rakyatnya. Ia selalu berusaha agar rakyatnya tidak sengsara. Ramah kepada semua rakyatnya. Oleh karena itulah ia sangat disayangi dan disegani oleh rakyat.
“Karena ramah-tamah dan sering memperlihatkan diri kepada rakyat, maka Baginda pun dicintai oleh mereka.” (Pramoedya, 2009:10)
5. Empu Bahula : Murid kepercayaan Empu Baradah 6. Ratna Manggali: ramah kepada orang lain, namun ditakuti oleh masyarakat Dusun Girah karena sifat ibunya yang jahat sehingga tidak ada yang mau mendekatinya dan ia pun tidak punya teman.
“Dan karena itu pulalah gadis itu dijauhi oleh gadis-gadis lainnya, sehingga kawan biasa pun ia tak punya, jangankan lagi kawan yang karib. Bila ia menyapa seseorang, orang yang ditegur itu hanya mengangguk atau menggeleng. Tak ada yang mau bicara dengan dia. Karena kalau salah mulut, mungkin Calon Arang marah dan celakalah orang yang menimbulkan amarahnya.” (Pramoedya, 2009:12)
7. Dewi Durga: Calon arang dan murid-muridnya sangat memuja Dewi Durga. Dan Dewi Durga pun sangat menyayangi Calon Arang.
“Tidak lama kemudian datanglah dewi yang mereka puja itu, Dewi Durga! Semua yang ada di candi berjongkok. Kemudian kepala mereka ditundukkan hingga ke tanah…”(Pramoedya, 2009:13)
c. Karakter psikologis: 1. Calon Arang: Jahat, pendengki, pedendam, kejam, senang menganiaya
sesama
manusia,
membunuh,
merampas,
menyakiti, dan senang meneluh. Namun ia sangat menyayangi anaknya.
“Calon Arang ini memang buruk kelakuannya. Ia senang menganiaya sesama manusia, membunuh, merampas, dan menyakiti. Ia tukang teluh dan banyak memilki ilmu ajaib untuk membunuh orang.” (Pramoedya, 2009:11)
“Ratna Manggali adalah anak tunggal. Karena itu sangat disayangi ibunya. Walaupun sang ibu seorang perempuan jahat, kepada anaknya sayang juga ia. Akan tetapi karena Calon Arang jahat, pendengki, dan kejam maka tak adalah orang yang berani mendekati anaknya.” (Pramoedya, 2009:12)
2. Empu Baradah: Soleh, bertakwa, taat, baik hati, jujur, pintar, penolong, ramah, sopan, memiliki budi pekerti yang baik, sangat menyanggi anaknya. “Empu Baradah orang yang saleh dan taat benar pada agamanya. Ia selalu bertakwa pada dewanya.” (Pramoedya, 2009:15) 3. Wedawati: pintar, baik hati, ramah, suka menolong, cekatan, penyabar, penyayang, dan memiliki budi pekerti yang baik. “Selain molek ia pun ramah seperti ayahnya. Tak mau ia merugikan orang lain. Tak mau ia menyedihkan sesama manusia. Malah ia ingin membahagiakan semua orang, besarkecil, tua-muda, tidak ada kecualinya.” (Pramoedya, 2009:16) “Wedawati adalah gadis yang cantik, penolong dan saleh.” (Pramoedya, 2009:11)
4. Raja Erlangga: penyabar, penolong, baik hati, bijaksana, ramah, sopan. 5. Empu Bahula: penurut, pintar, baik hati. 6. Ratna Manggali: ramah. “Bila ia menyapa seseorang, orang yang ditegur itu hanya mengangguk atau menggeleng.” (Pramoedya, 2009:11) 7. Dewi Durga: jahat, karena dialah dewi yang menghendaki kehancuran yang dipuja oleh Calon Arang dan muridnya.
“Durga yang juga disebut Bagawati adalah dewi yang menghendaki kehancuran.” “Jangan kau kuatirkan sesuatu apapun. Aku izinkan engkau membangkitkan penyakit. Dan banyak sekali orang akan mati karenanya.” (Pramoedya, 2009:11)
2. Analisis Latar Cerita Calon Arang “Pramoedya” 1. BAB I Latar Tempat: Negara Daha “Adalah sebuah Negara. Daha namanya. Daha yang dahulu itu kini bernama Kediri. Negara itu berpenduduk banyak. Dan ratarata penduduk makmur.” (Pramoedya, 2009:9)
2. BAB II : Latar Tempat: 1) Dusun Girah “Menurut riwayat adalah sebuah dusun dalam negara Daha. Girah namanya.” (Pramoedya,2009:13)
2) Candi Dewi Durga “Dengan tak banyak pertimbangan berangkatlah mereka ke Candi Durga.” (Pramoedya,2009:19)
3. BAB III : Latar Tempat : 1) Dusun Lemah Tulis, “Sudah lama ia berasrama di Lemah Tulis,dan disana pula ia tinggal.” (Pramoedya, 2009:17)
2) Makam Ibu Wedawati “Lama Wedawati duduk disamping kuburan itu.” (Pramoedya, 2009:23)
3) Pertapaan Wisamuka “Pada suatu hari sang Empu Baradah pergi ke pertapaan Wisamuka untuk mengajak murid-muridnya mengikuti upacara bersesaji pada para dewa.” (Pramoedya, 2009:20)
4. BAB IV : Latar Tempat 1) Dusun Girah “Lama kelamaan tak adalah orang yang berumah di dekat rumah Calon Arang. Mereka lebih suka menjauhi agar bisa hidup aman. Dusun Girah tambah lama tambah sepi.” (Pramoedya, 2009:26)
2) Rumah Kepala Dusun “Calon Arang dan beberapa orang muridnya datang kerumah kepala dusun itu.di sana mereka tak mengobati anak yang celaka itu.” (Pramoedya, 2009:27)
5. BAB V : Latar Tempat 1) Alun-alun: “Alun-Alun penuh oleh penduduk yang ingin mendengar putusan Sri Baginda.” (Pramoedya, 2009:31)
2) Bangsal kerajaan “Mereka yang hadir di Bangsal diam merenung-renung menunggu putusan Raja.” (Pramoedya, 2009:32)
3) Dusun Girah : “sepasukan bala tentara raja yang berkuda itu laju menuju kedesa girah.” (Pramoedya, 2009:33)
4) Rumah Calon Arang : “segera kepala pasukan bersama dua orang pembantunya masuk ke rumah Janda tukang sihir itu.” (Pramoedya, 2009:34)
5) Sanggar pemujaan raja “setelah sidang di bubarkan, segera sri baginda erlangga masuk ke sanggar pemujaan.” (Pramoedya, 2009:37)
6) Taman kerajaan : “dengan hati sedih ditinggalkan sanggar pemujaan itu dan seorang diri berjalan-jalan di taman.” (Pramoedya, 2009:37)
6. BAB VI : Latar Tempat 1) Tempat Perundingan Calon Arang “Sampailah mereka di kuburan yang dituju.seorang demi seorang duduklah di tanah berumput.di sinilah tempat perundingan
mereka. Calon Arang duduk ditengah-tengah bersandar pada pohon kayu yang besar lagi tua.” (Pramoedya,2009:40)
2) Candi Dewi Durga “asap peduapaan mengepul-ngepul dikaki arca sang Dewi Durga atau Dewi Bagawati.” (Pramoedya, 2009:46)
7. BAB VII : Latar Tempat 1) Asrama Lemah Tulis “setelah mengajar dan memberi wejangan kepada muridmuridnya, kembalilah Sang Empu ke asrama Lemah Tulis.” (Pramoedya, 2009:49)
2) Padang Rumput “sampai di padang rumput Sang Empu sekarang. anak-anak gembala masih banyak disana” (Pramoedya, 2009:50)
3) Makam Ibu Wedawati “kemudian terlihat olehnya Wedawati duduk terpekur ditanah disamping kuburan mendiang ibunya”. (Pramoedya, 2009:51)
8. BAB VIII : Latar Tempat 1) Kerajaan Daha “mayat tergolek-golek di sepanjang jalan,di dalam rumah,di sawah,bahkan didekat-dekat istana demikian pula” (Pramoedya, 2009:55)
2) Candi Kerajaan “ramailah candi kerajaan waktu itu.penduduk pun datang menyaksikan dari luar candi” (Pramoedya, 2009:57)
3) Bangsal persidangan “Pada suatu hari sri Baginda mengadakan Siding lagi.penuhlah bangsal persidangan” (Pramoedya, 2009:56)
4) Asrama Lemah Tulis “Waktu sampai didepan asrama sang empu kuda-kuda lantas di cencang” (Pramoedya, 2009:17)
9. BAB IX: Latar Tempat 1) Pertapaan Wisamuka “Setelah lama tidak mengajar dan mewejang di pertapaan Wisamuka, pada suatu hari berkatalah Sang Empu pada istrinya: “Hari ini aku akan turun ke pertapaan.” (Pramoedya, 2009:61)
2) Asrama Lemah Tulis “Setelah Sang Empu pergi, Wedawati mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Walaupun banyak bujang di rumah, ia sendiri menyapu dan mencuci piring serta pakaian adiknya.” (Pramoedya, 2009:62)
3) Makam Ibu Wedawati “ “Diam-diam ia duduk di samping kuburan mendiang ibunya. Tetapi ia tidak menangis seperti dahulu. Ia memuja ibunya dan dewa-dewa yang disembahnya.” (Pramoedya, 2009:63)
10. BAB X : Latar Tempat: 1) Dusun Girah “Setelah Sang Baginda menghadiahkan barang-barang berharga dan
uang
untuk
emas
kawin
serta
upacara
pernikahan,
berangkatlah Empu Bahula ke Dusun Girah. (Pramoedya, 2009:71)
2) Rumah Calon Arang Pendeknya iring-iringan itu sampailah sudah di dusun Girah. Empu Bahula segera duduk di ruangan tamu menunggu Calon Arang keluar. (Pramoedya, 2009:71)
3) Asrama Lemah Tulis “di Lemah Tulis ia bertemu dengan gurunya.kitab segera diserahkan.kagum mpu baradah membaca kitab itu” (Pramoedya, 2009:77) 4) Makam rakyat “Mpu Baradah masuk kepekarangan kuburan itu. Dilihatnya banyak sekali mayat manusia di situ” (Pramoedya, 2009:80)
11. BAB XI : 1) Candi Durga “pada suatu hari sedang ia memuja di candi durga,datanglah dewi durga padanya melalui asap pedupaan” (Pramoedya, 2009:81)
2) Pekuburan “demikianlah ia seorang diri di bawah pohon beringin tua di pekuburan.” (Pramoedya, 2009:82)
3) Dusun Girah
“di dusun girah itu Sang Baradah bertemu dengan muridnya Empu Bahula” (Pramoedya, 2009:87)
4) Kerajaan Daha “Sawah dan Ladang di olah lagi. Panen yang bagus tidak berkeputusan. Tak seorang pun yang takut akan kelaparan. Demikianlah keadaan Kerajaan Daha setelah Calon Arang mati” (Pramoedya, 2009:89)
12. BAB XII : 1) Kerajaan Daha “Setelah
lama
memerintah,
Sri
Baginda
berhasrat
untuk
meninggalkan kerajaan.” (Pramoedya, 2009:91) 2) Lemah Tulis “Segera Sri Baginda memerintahkan Kanduruhan pergi ke Lemah Tulis” (Pramoedya, 2009:91)
3) Pertapaan Wedawati “Sebelum berangkat ke Bali, Empu Baradah pergi ke pertapaan Wedawati“ (Pramoedya, 2009:91)
4) Pulau Bali dan pertapaan Empu Kuturan “Setelah sampai di Bali, langsung saja ia ke pertapaan Empu Kuturan.” (Pramoedya, 2009:9)
D. Analisis Aspek Verbal Cerita Calon Arang Karya Pramoedya 1. Gaya Penceritaan a. Kehadiran Pencerita Dilihat dari kehadiran pencerita Cerita Calon Arang karya Pramoedya ini bersifat Ekstern yakni pencerita tidak hadir dalam teks namun berada diluar teks dan menyebutkan tokoh-tokoh dengan kata ganti orang ketiga
atau menyebutkan nama bukan menggunakan tokoh “aku”. Pencerita bersifat mahatahu.
“…Calon Arang ini memang buruk kelakukannya. Ia senang menganiaya
sesama
manusia,
membunuh,
merampas,
dan
menyakiti.“. (Pramodoeya, 2003:11).
“Empu Baradah orang yang saleh dan taat benar pada agamanya .Ia selalu bertakwa pada dewanya “. (Pramodoeya, 2003:15).
“Alun-alun penuh oleh penduduk yang ingin mendengarkan putusan Sir Baginda. Mereka mengharap-harap agar Sir Baginda menitahkan balatentara memusnahkan Calon Arang dan semua muridnya “. (Pramodoeya, 2003:29).
“Wedawati jadi bunga yang semerbak di Lemah Tulis. Bukan karena kecantikannya
saja.
Ia
pun
dihormati
oleh
penduduk……“.
(Pramodoeya, 2003:16). Pada kutiapan diatas telihat jelas penulis menceritakan seorang tokoh dengan menggunakan sebutan nama “Calon Arang”,”Empu Baradah”, “Sri Baginda”, dan “Wedawati” serta menggunakan kata ganti orang ketiga “…ia
senang
menganiaya..”.”
Ia
selalu
bertakwa..”,
“Mereka
mengharap-harap…”. “Ia pun dihormati…” b. Tipe Penceritaan 1) Modus atau Ujaran Cerita Calon Arang Karya Pramoedya ini memiliki beberapa modus atau ujaran. Diantaranya:
a) Wicara yang dilaporkan
Wicara yang dilaporkan yaitu, wicara dalam penceritaan yang langsung diujarkan oleh tokoh dalam bentuk dialog.
“Izinkanlah hambamu memohon kasih dari paduka Dewi.” “Katakan maksudmu, anaku.” “Ya, paduka Dewi, berikanlah hamba izin untuk membangkitkan penyakit buat menumpas orang banyak-banyak.” “Itulah maksudmu anakku?” kata Dewi Durga. “Demikianlah, paduka Dewi.” Ujar Calon Arang. “Jangan kau kuatirkan sesuatu apapun. Aku izinkan engkau membangkitkan penyakit. Dan banyak sekali orang akan mati karenanya.” (Pramodoeya, 2003:14). b) Wicara yang dinarasikan Wicara yang dinarasikan yaitu, wicara yang disajikan dengan pengungkapan bahasa dan kata-kata yang menggunakan jalan cerita sendiri. Tiap-tiap sore anak-anak muda berlatih keprajuritan di alun-alun. Dan ada kalanya diadakan pertandingan antara seorang bakal perwira dengan seekor banteng yang digalakkan. Ribuan rakyat menonton pertandingan itu. Kalau bakal perwira yang menang diangkatlah ia menjadi perwira. (Pramodoeya, 2003:9). 2) Waktu atau Kala a) Waktu Dunia Waktu dunia adalah tipe penceritaan yang menunjukkan latar waktu dimana latar yang berhubungan dengan saat terjadinya peristiwa cerita secara langsung.
“Adalah sebuah negara. Daha Namanya….” (Pramodoeya, 2003:9).
“…Berasrama di Lemah Tulis…”(Pramodoeya, 2003:15).
“…Menurut riwayat adalah sebua dusun di negeri Daha. Girah namanya….” (Pramodoeya, 2003:11).
b) Waktu wacana Waktu wacana adalah tipe penceritaan yang menunjukkan latar waktu dimana pencerita tersebut menampilkan cerita tertentu secara berulang-ulang dalam waktu yang berbeda.
“….Empu Baradah pergi ke pertapaan Wisamuka untuk mengajar murid-muridnya mengikuti upacara bersesaji pada para dewa…” (Pramodoeya, 2003:18).
“ Setelah Empu Baradah di pertapaan, segera Sang Empu membakar pedupaan…”(Pramodoeya, 2003:60).
3) Sudut Pandang (point of view) Dalam kaitan dengan tipe penceritaan, sudut pandang (point of view), yakni dilihat dari sudut mana pengarang bercerita. Pencerita dalam Cerita Calon Arang karya Pramoedya ini termasuk penceritaan orang ketiga, karena pencerita tidak hadir secara langsung dalam cerita sebagai tokoh. Tetapi pencerita hadir sebagai orang yang mengetahui jalan cerita secara keseluruhan.
E. Analisis Intertekstual Cerita Calon Arang karya Pramoedya dan Calon Arang “Penyebar Bencana” Cerita Rakyat Bali. 1. Interteks Alur Cerita Calon Arang karya Pramoedya dan Calon Arang “Penyebar Bencana” Cerita Rakyat Bali Pengaluran Cerita Calon Arang karya Pramoedya dan Calon Arang “Penyebar Bencana” Cerita Rakyat Bali. Cerita Calon Arang Pram
Cerita Rakyat Bali “Calon Arang”
• Kerajaan Daha
•
Desa Girah yang Resah
• Calon Arang
•
Melapor pada Raja Airlangga
• Empu Baradah
•
Perjalanan Empu Baradah
• Candi Dewi Durga
•
Misi yang Gagal
• Calon Arang Mengusir Pasukan
•
Siasat Mengalahkan Nyai
Raja
Calon Arang
• Gerombolan Tukang Sihir
•
Rahasia Kitab Calon Arang
• Wedawati Kembali
•
Tanda Kehancuran Calon
• Raja Membutuhkan Bantuan Petapa
Arang
• Wedawati jadi Gagis Petapa
•
Hancurnya Calon Arang
• Rahasia Calon Arang
•
Kehidupan Baru Di Desa
• Daha Terlepas Dari Sihir • Kisah Terakhir Kerajaan Daha
Girah •
Tugas Terakhir Empu Baradah
Dari tabel tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa alur penceritaan Cerita Calon Arang pada kedua sumber tersebut mengalami ekspansi dimana ada peluasan ide cerita yang sebelumnya mungkin tidak muncul seperti penceritaan keadaan Kerajaan Daha pada awal penceritaan pada Cerita Calon Arang karya Pramoedya yang sebelumnya sudah terangkum dalam Cerita Rakyat Bali “Calon Arang” yang tidak diberikan pengaluran dan penceritaan secara khusus mengenai keadaan kerajaan daha melainkan diceritakan terlebih dahulu desa girah yang
sudah resah yang merangkup bahwa sebelumnya keadaan Desa Girah yang tentram yang merupakan bagian dari Kerajaan Daha. Selain ekpansi terdapat juga konversi dimana cerita kepergian Empu Baradah ke Bali terjadi pada awal penceritaan di dalam Cerita Rakyat Bali “Calon Arang” sedangkan pada Cerita Calon Arang karya Pramoedya cerita kepergian Empu Baradah ke Bali merupakan bagian akhir penceritaan. Selain konversi dan ekspansi Cerita Calon Arang karya Pramoedya pun mengalami berbagai modifikasi dan ekserp dimana terdapat cerita-cerita yang murni hasil dari resepsi Pramoedya dalam mendekontrusi Cerita Calon Arang yang sebelumnya merupakan cerita rakyat. Dalam analisis alur dan pengaluran Cerita Calon Arang ini kami membagi menjadi tiga bagian utama sebagai gambaran keseluruhan alur antara Cerita Calon Arang dan Cerita Rakyat sebagai hipogramnya : 1) Awal Cerita •
Persamaan Pada bagian awal cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer dan
cerita rakyat Calon Arang sama-sama menceritakan Calon Arang yang menyebarkan
teluh
karena
sakit
hati
anaknya,
Ratna
Manggali
dipergunjingkan karena tidak ada yang berani melamar. Padahal Ratna Manggali adalah gadis yang sangat cantik dan baik budinya. Sifat jahat Calon Arang tidak menurun pada Ratna Manggali. Setiap pemuda tentu terpikat oleh sosok mempesona Ratna Manggali, tetapi mereka tidak berani mendekatinya karena Ibu Ratna Manggali yaitu Calon Araang adalah wanita jahat dan bengis. Mereka takut bila mendekati apalagi berani melamar anak Calon Arang, mereka akan terkena teluh. Niat hati mencari jodoh, salah-salah malah mati konyol. Dikarenakan hal itulah para tetangga mempergunjingkan Ratna Manggali. Ratna Manggali di umurnya yang sudah 25 tahun belum ada satupun lelaki
yang melamarnya. Ini menjadi pergunjingan karena pada zaman itu, gadis berumur 25 tahun sudah memiliki suami dan anak. Pergunjingan tetangga itu sampai ke telinga Calon Arang, maka murkalah Calon Arang. Setelah itu dia mulai meneluh para tetangganya. Ternyata, keadaan putrinya itu tidak menyadarkan Calon Arang dari kekeliruanya. Sebaliknya, ia malah menyusun rencana untuk membalas sakit hatinya kepada masyarakat Girah yang dianggap telah mengucilkan dirinya dan putri satu-satunya itu.(Yuliadi, 2004:8) Lama-lama marahlah Calon Arang karena tak banyak orang yang suka padanya. Dari murid-muridnya itu banyak mendengar bahwa anaknya jadi buah percakapan, karena tak juga diperistri orang. Bukan main marahnya. Sifatnya yang jahat pun tumbuhlah. Ia hendak membunuh orang sebanyak-banyaknya, supaya puaslah hatinya. (Pramoedya, 2007:12)
•
Perbedaan Calon Arang versi Rakyat Bali menceritakan bahwa selain marah karena
anaknya, Ratna Manggali belum ada yang meminang, Calon Arang juga menyimpan dendam atas kematian suaminya yang dibunuh pada saat peperangan melawan Raja Kahuripan. Suami Calon Arang meninggal akibat bertarung melawan Raja Kahuripan yaitu Raja Airlangga yang sekarang memimpin kerajaan yang Calon Arang tinggali. Jadi sebenarnya Calon Arang tidak hanya benci kepada rakyat desa Girah tetapi pada seluruh rakyat kerajaan yang dia tinggali itu. Sedangkan dalam Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer, Calon Arang murni murka memang karena anak gadisnya tidak ada yang melamar. Tidak diceritakan perihal Calon Arang yang menyimpan dendam atas kematian suaminya.
Ratna tahu, dendam Ibunya itu bukan karena sakit hatinya karena dibenci oleh masyarakat Girah, melainkan karena dendam atas kematian ayahnya saat bertempur melawan Raja Kahuripan, Raja Airlangga. (Yuliadi, 2004:14) Lama-lama marahlah Calon Arang karena tak banyak orang yang suka padanya. Dari murid-muridnya itu banyak mendengarkan bahwa anaknya jadi buah percakapan, karena tak juga diperistri orang. Bukan main marahnya. Sifatnya yang jahat pun tumbuhlah. Ia hendak membunuh orang sebanyak-banyaknya, supaya puaslah hatinya. (Pramoedya, 2003:12)
2) Konflik Cerita •
Persamaan
Pada kedua cerita sama-sama diceritakan sosok Wedawati. Wedawati jadi bunga yang semerbak di Lemah Tulis. Bukan karena kecantikanya saja. Ia pun dihormati oleh penduduk selingkungan asrama, di kampong, dan di sawah serta di ladang, di hutan dan di lapanganlapangan tempat anak-anak menggembala binatangnya.(Pramoedya, 2007:16) “Namaku Empu Baradah. Siapa namamu?” “Widawati, Tuan” jawab gadis kecil itu. (Yuliadi, 2004:26) Kemudian diceritakan pula, pada kedua cerita tokoh Empu Bahula, yaitu murid Empu Baradah menikahi Ratna Manggali untuk bersiasat mengungkap rahasia Calon Arang. Empu baradah memerintahkan murid kesayanganya itu untuk menikahi Ratna Manggali kemudian lewat Ratna Manggali Empu Bahula mengorek informasi dan kelemahan mertuanya itu. Kemudian Empu Baradah membunuh Calon Arang setelah mengetahui rahasianya
Empu Baradah pun menceritakan seluruh rencananya kepada Bahula dengan hati-hati. Ia tidak ingin rencannya ini terdengar oleh siapapun, kecuali oleh Bahula. “Jadi hamba harus meminang dan menikahi Ratna Manggali, putri Nyai Calon Arang yang sesat iu?” Tanya Bahula dengan sedikit terkejut. (Yuliadi, 2004:45) “…Dengarkanlah baik-baik, priyayi! Aku punya murid, Empu Bahula namanya. Sekarang ia juga disini. Kawinkanlah dia dengan Ratna Manggali. Segala ongkos upacara perkawinan dan emas kawin baiklah Sri Baginda yang memikirkan. Aku harap itu dikerjakan dahulu sampai beres sama sekali. Jangan tidak, priyayi! Jangan sampai Sri Baginda terlampau sedikit menyediakan harta benda untuk itu.”(Pramoedya, 2007:58) •
Perbedaan Pada novel Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer tokoh Wedawati
diceritakan sebagai anak kandung Empu Bahula dari istri pertamanya. Sedangkan pada cerita rakyat Calon Arang versi rakyat Bali, Wedawati adalah anak dan murid Empu Baradah, Empu Baradah bertemu Wedawati pada saat perjalananya menuju Bali. Wedawati sebatang kara karena orangtuanya telah meninggal terkena teluh Calon Arang. “Kalau kau mau, kau bisa belajar ilmu agama di padepokanku di Lemah Tulis. Kami akan menerimamu dengan senang hati. Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju Bali. Jadi, kalau kau mau belajar di padepokanku, aku akan menjemputmu di sini sepulang dari Bali” “Tentu saja aku mau Tuan. Aku akan menunggu hingga Tuan kembali lagi kemari” ucap Wedawati dengan gembira. (Yuliadi, 2004:26) Empu Baradah punya istri dan seorang putri yang cantik. Sedang remaja putrinya, gadis itu Wedawati namanya. (Pramoedya, 2007:16)
Kemudian dalam cerita Calon Arang versi rakyat Bali diceritakan perjalanan Empu Baradah untuk menyembuhkan rakyat Girah yang terkena teluh bersama murid-murid andalanya dari Padepokan Lemah Tulis sedangkan pada Calon Arang karya Pramoedya diceritakan bahwa Empu Baradah menyembuhkan rakyat yang terkena teluh seorang diri. Keesokan harinya, Empu Baradah berangkat menuju Desa Girah bersama keempat muridnya itu dengan berjalan kaki. Ketika tujuan semakin dekat, mereka mendapati desa-desa lain yang juga terkena bencana akibat ilmu tenung Calon Arang. (Yuliadi, 2004:62) Setelah mengetahui rahasia kitab itu, Empu Baradah pergi ke tempat-tempat yang diamuk oleh penyakit. (Pramoedya, 2009:74) Cerita Calon Arang karya Pramoedya diceritakan bahwa Calon Arang dihidupkan kembali oleh Empu Baradah, setelah sebelumnya dibunuh, untuk disucikan atau dibersihkan doasanya lalu dimatikan kembali sedangkan dalam cerita rakyat Calon Arang versi rakyat Bali tidak diceritakan demikian. Empu
Baradah
kemudian
memerintahkan
murid-muridnya
untuk
menguburkan Calon Arang dengan cara yang baik. Mayat itu tidak berdaya apapun, selain bergantung pada nyawa yang membawanya. Nyawalah yang membawa raga manusia pada kebaikan atau kebatilan. (Yuliadi, 2004:83) “Ini tidak baik. Tidak ada gunanya kalau ia mati begitu saja sebelum jiwanya dibersihkan. Ini artinya pembunuhan” Setelah berkata pada diri sendiri ditiupnya mayat itu pelan-pelan. Segera Calon Arang bangun kembali.(Pramoedya, 2007:84)
3) Ending Cerita •
Persamaan Pada akhir cerita, cerita Calon Arang versi rakyat Bali maupun Calon Arang karya Pramoedya sama-sama menceritakan bahwa Empu Baradah mampu menyelesaikan konflik di Desa Girah dengan baik. Kemudian tugas Empu Baradah selanjutnya adalah membagi kerajaan Daha menjadi 2 tetapi gagal. “Begitu?” tanya Empu Kuturan.”Aku tak mengijinkan putra bungsu Sri Baginda Erlangga merajai Pulau Bali. Cucuku sendiri telah jadi Raja disini. Banyak sudah raja yang takluk padanya.”(Pramoedya, 2007:91) Setelah menenangkan diri, Empu Baradah lalu memutuskan untuk pergi meninggalkan Kahuripan dan Padepokan Lemah Tulis. Ia sangat malu karena tidak dapat menyelesaikan tugasnya. Empu Baradah terus berjalan kearah timur menjauhi wilayah Kahuripan. (Yuliadi, 2004:101).
•
Perbedaan Pada cerita Calon Arang versi rakyat Bali tugas Empu Baradah dalam tugasnya membagi kerajaan menjadi 2 diceritakan di awal penceritaan hingga dia bertemu Wedawati dan diangkat menjadi murid, kemudian karena Empu Baradah gagal membagi 2 kerajaan lalu menghilang begitu saja. Setelah menenangkan diri, Empu Baradah lalu memutuskan untuk pergi meninggalkan Kahuripan dan Padepokan Lemah Tulis. Ia sangat malu karena tidak dapat menyelesaikan tugasnya. Empu Baradah terus berjalan kea rah timur menjauhi wilayah Kahuripan.(Yuliadi, 2004:101) Pada akhir cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer diceritakan Empu Baradah pergi merantau bersama Wedawati untuk bertapa dan sejak saat itu masyarakat tidak pernah bertemu Empu Baradah dan Wedawati lagi. Sesampai di asramanya sendiri, segala kekayaan itu diserahkanya kepada anak yang lelaki.Setelah menyerahkan harta bendanya, pergilah ia ke tempat Wedawati bertapa. Diajaknya anak yang dicintai itu pergi jauh, jauh sekali. Maka nampaklah kedua orang itu berjalan bersama-sama, naik gunung. Tambah lama tambah kecil kelihatanya. Akhirnya tak kelihatan sama sekali. Sejak itu tak pernah orang mendengar berita di mana mereka berdua.(Pramoedya, 2009:92)
2. Interteks Tokoh dan
Penokohan Cerita Calon Arang karya
Pramoedya dan Calon Arang “Penyebar Bencana” Cerita Rakyat Bali. Analisis Penokohan Cerita Calon Arang karya Pramoedya dan Calon Arang “Penyebar Bencana” Cerita Rakyat Bali Cerita Calon Arang Pram
Cerita Rakyat Bali “Calon Arang”
•
Calon Arang
•
Calon Arang
•
Empu Baradah
•
Empu Baradah
•
Empu Bahula
•
Empu Bahula
•
Ratna Manggali
•
Ratna Manggali
•
Wedawati
•
Widawati
•
Raja Erlangga
•
Raja Airlangga
•
Empu Kuturan
•
Empu Kuturan
•
Ibu Tiri Wedawati
•
Lurah Ki Pitana
•
Dewi Durga
•
Patih Narotama ,panglima
•
Murid Calon Arang:Weksirsa, Mahisa Wadana, Lendesi, Guyung, Larung, Gandi
Yudanegara •
Murid Calon Arang:Wokirsa, Mahisawadana, Lande, Guyang, Lurung, Gandi
1. Empu Baradah • Persamaan : Pada kedua cerita Empu Baradah diceritakan sebagai pertapa kemudian tinggal di Lemah Tulis kemudian bersifat baik hati,suka menolong dan selalu ramah kepada setiap orang.
Empu Baradah orang yang saleh dan taat benar pada agamanya.ia selalu bertakwa pada dewanya.
Sudah lama ia berasrama di lemah tulis dan disana pula ia tinggal.(Pramoedya, 2007:15) Salah seorang tokoh agama yang sangat dikagumi dan terkenal karena ilmu-ilmu yang dikuasainya pada masa kerajaan Kahuripan adalah Empu Baradah. Ia memiliki padepokan di Lemah Tulis yang mengajarkan agama dan ilmu kanuragan dengan jumlah murid yang tidak sedikit.(Yuliadi, 2004:23).
• Perbedaan : Pada novel Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer diceritakan bahwa Empu Baradah menikah dan memiliki anak yang bernama Wedawati. Pramoedya menggambarkan sosok Empu Baradah lebih “manusia”, karena Empu Baradah pada novel Pramoedya diceritakan mempunyai anak dan memiliki istri. Malahan Empu Baradah menikah lagi dan mempunyai anak dari istri keduanya itu. Pramoedya menggambarkan Empu Baradah sebagai manusia yang berilmu tinggi. Empu Baradah punya istri dan seorang putrid yang cantik. Sedang remaja putrinya, gadis itu Wedawati namanya.(Pramoedya, 2007:16) Beberapa waktu setelah istrinya meninggal. Empu Baradah beristri lagi. Dari ibunya yang baru Wedawati memperoleh adik laki-laki seorang.(Pramoedya, 2007:18) Sedangkan dalam cerita Calon Arang yang asli Empu Baradah adalah manusia setengah dewa. Empu Baradah mampu melayang dan berlari secepat angin. Ia tidak mempunyai istri apalagi anak. Kawan-kawan Gomar yang lain yang juga tampak terkejut lalu menghampiri Empu Baradah sambil menghunuskan golok mereka. Namun, mereka pun terkejut tatkala melihat golok yang mereka pegang
sudah berubah menjadi ular yang mendesis ke arah mereka. Mereka pun segera melemparkan ular-ular itu dan berlari ketakutan meninggalkan Gomar.(Yuliadi, 2007:29). 2. Calon Arang •
Persamaan : Pada kedua cerita diceritakan bahwa Calon Arang adalah seorang janda
yang memiliki anak bernama Ratna Manggali. Diceritakan pula bahwa dia adalah wanita jahat dan pendendam. Calon Arang seorang perempuan setengah tua. Ia mempunyai anak perawan yang berumur lebih 25 tahun. Ratna Manggali namanya. Bukan main cantik gadis itu. Sekalipun demikian tak seorang pemuda pun datang meminang, karena takut pada ibunya, Calon Arang. Calon Arang ini memang buruk kelakuanya. Ia senang menganiaya sesama manusia, membunuh, merampas dan menyakiti. Ia tukang teluh dan punya banyak ilmu ajaib untuk membunuh orang.(Pramoedya, 2007:11). Calon Arang mulai dikenal sebagai wanita perkasa yang keras dan kasar. Ia sangat menginginkan murid-muridnya menjadi jagoan yang sulit dikalahkan. Ia pun tak segan-segan mengeluarkan semua ilmu yang dimilikinya untuk mewujudkan keinginanya.(Yuliadi, 2004:7).
• Perbedaan Dalam cerita rakyat Bali yang asli Calon Arang diceritakan sebagai wanita jahat tetapi memilki wajah yang rupawan. Sedangkan dalam novel Calon Arang karya Pramoedya tokoh Calon Arang diceritakan sebagai tokoh wanita yang jahat dan tidak memiliki wajah yang rupawan. Pramoedya pun menggambarkan Calon Arang sebagai sosok yang bengis dan sangat jahat.
“Aku kira si Calon Arang itu perempuan tua yang buruk rupanya” bisik kepala pasukan kepada pembantunya “Rupa-rupanya
tidaklah
demikian”
pembantunya
berbisik
menyambungi “Tidak buruk sekaligus tidak bagus”(Pramoedya, 2007:32) Calon Arang merasa berbahagia bila telah menyakiti dan menewaskan orang-orang yang dibencinya. Dan kalau orang-orang yang dibencinya telah mati mereka bersenang-senang merayakan kemenangan. Tiap-tiap waktu murid-murid harus berkeramas. Yang dipergunakan mengeramasi rambut adalah darah. Darah itu adalah darah manusia juga.(Pramoedya, 2007:23)
Sedangkan dalam cerita Calon Arang yang asli diceritakan Calon Arang sebenarnya adalah wanita yang baik hati tetapi karena dia memendam dendan atas kematian suaminya,dan juga dia lupa mengajarkan moral dan ilmu tata krama pada murid-muridnya. Kemudian samar-samar tampak seorang perempuan setengah baya. Garis-garis
wajahnya
masih
memudar.(Yuliadi, 2007:8).
menyisakan
kecantikanya
yang
Calon Arang mulai dikenal sebagai wanita perkasa yang keras dan kasar. Ia sangat menginginkan murid-muridnya menjadi jagoan yang sulit dikalahkan. Ia pun tak segan-segan mengeluarkan semua ilmu yang dimilikinya untuk mewujudkan keinginanya.Namun, ada satu ilmu yang di lupakan oleh wanita itu,yakni ilmu tata krama. Keadaan itulah yang menyebabkan murid calon arang menjadi jagoan yang kasar dan tidak
manusiawi.
Mereka
menggunakan
ilmu
mereka
untuk
mendapatkan segala keinginan mereka dengan cara yang tidak pantas. Mencuri memeras dan bertindak kasar kepada masyarakat mereka lakukan terang-terangan. .(Yuliadi, 2004:7). Ratna tahu, dendam Ibunya itu bukan karena sakit hatinya karena dibenci oleh masyarakat Girah, melainkan karena dendam atas kematian ayahnya saat bertempur melawan Raja Kahuripan, Raja Airlangga.(Yuliadi, 2004:14). 3. Dewi Durga •
Persamaan : Pada kedua cerita Dewi Durga adalah dewi kegelapan yang disembah
Calon Arang. Dewi Durga adalah Dewi Kejahatan yang disembah setiap manusia yang akan melakukan kejahatan. Dengan kata lain Dewi Durga adalah Dewi yang jahat
Wahai dewi kegelapan penguasa dunia kegelapan Kami yang duduk disini dan mempersembahkan dupa wangi Mohon ampun di bawah Paduka Dewi Kegelapan yang gaib Yang senantiasa menjadi tujuan semedi kami Yang berada di tengah kegaiban tengah malam Yang bersemayam di kehampaan hati (Yuliadi, 2004 :11)
Di dalam candi inilah Calon Arang memuja dewinya. Diucapkan segala mantra dan maksudnya hendak membunuh orang banyakbanyak.(Pramoedya, 2009:13)
•
Perbedaan : Dalam cerita Calon Arang yang asli, Dewi Durga memilki
keterbatasan. Masih ada lagi zat yang lebih agung daripada Dewi Durga yaitu Gusti Yang Maha Agung. Dan Dewi Durga takut kepada Gusti Yang Maha Agung. Aku mengerti. namun,ketahuilah calon arang,kemampuanku untuk menenung tidak dapat digunakan terus menerus apalagi untuk menghancurkan umat manusia hal itu. Akan mengundang murka gusti Yang Maha Agung.(Yuliadi, 2004 : 84) Sedangkan dalam Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer Dewi Durga adalah Dewi yang jahat dan tidak terbatas kekuatanya. Jangan kau kuatirkan sesuatu. Aku izinkan engkau membangkitkan penyakit dan banyak sekali orang mati karenanya.(Pramoedya, 2007 :76) 4. Wedawati • Persamaan Wedawati dalam Calon Arang karya Pramoedya maupun versi cerita rakyat Calon Arang adalah pertapa yang alim. Gadis alim yang rupawan dan suka berbuat baik kepada semua orang. Wedawati jadi bunga yang semerbak di Lemah Tulis. Bukan karena kecantikanya saja. Ia pun dihormati oleh penduduk selingkungan asrama, di kampong, dan di sawah serta di ladang, di hutan dan di lapangan-lapangan
tempat
binatangnya.(Pramoedya, 2007:16)
anak-anak
menggembala
Selanjutnya,
penyembuhan
dilakukan
oleh
Wedawati
seorang.
Sementara yang lain lebih banyak mempersiapkan diri untuk menghadapi Calon Arang. Nama Wedawati pun menjadi terkenal sebagai wanita penyembuh bagi masyarakat Girah.(Yuliadi, 2004:73) • Perbedaan Wedawati dalam Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer adalah anak dari Empu Baradah dari istri pertama. Empu Baradah punya istri dan seorang putri yang cantik. Sedang remaja putrinya, gadis itu Wedawati namanya.(Pramoedya, 2007:16) Sedangkan dalam cerita Calon Arang versi rakyat Bali Wedawati adalah murid kesayangan Empu Baradah.
Wedawati sangat senang menjadi murid Padepokan Empu Baradah. Dengan cepat, ia menyesuaikan diri dengan suasana Padepokan. Berbagai macam ilmu dipelajarinya, mulai dari kitab suci sampai berbagai ilmu kanuragan.(Yuliadi, 2004:41) 5. Ibu Tiri Wedawati Dalam novel Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer terdapat tokoh Ibu tiri Wedawati, istri kedua Empu Baradah. Ibu tiri Wedawati ini tidak suka pada Wedawati, dia kerap menyiksa dan menuduh Wedawati atas perbuatan yang tidak dilakukan Wedawati.
Ibu tiri Wedawati sangat sayang pada anaknya. Berbeda sungguh sikapnya terhadap Wedawati. Ia tak suka padanya.(Pramoedya, 2007:18)
Sudah lama ibu tirinya ingin agar ia pergi dari rumah. Ia ingin agar kasih Sang Empu jatuh padanya dan anaknya lelaki. Karena itu dicaricarinya alasan untuk memarahi Wedawati.
Sebentar kemudian ributlah dalam asrama itu. Ibu tirinya memarahi semau-maunya. Bukan main bingung Wedawati mendapat marah yang hebat itu. Ia tak merasa bersalah. Tetapi dilabrak terus. Pada para tetangga
ibunya
bercerita
yang
bukan-bukan
tentang
dirinya.(Pramoedya, 2007:19) 6. Adik Tiri Wedawati Adik tiri Wedawati yang berjenis kelamin laki-laki ini adalah saudara seayah dengan Wedawati tokoh ini hanya ada pada Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer. Wedawati sangat sayang dengan adik semata wayangnya itu. Karena selama ini Wedawati tidak mempunyai saudara. Begitupun dengan saudara laki-lakinya sangat menyayangi Wedawati. Beberapa waktu setelah istrinya meninggal. Empu Baradah beristri lagi. Dari ibunya yang baru Wedawati memperoleh adik laki-laki seorang. Sekarang ia ada kawan bermain di rumah atau di taman. Ia tak ingat lagi pada ibunya yang telah meninggal(Pramoedya, 2007:18) 7. Empu Bahula Tokoh Empu Bahula ada pada kedua cerita. Secara garis besar Empu Bahula pada kedua cerita bersifat sama yaitu pintar,gagah,kuat dan bisa diandalkan. Tidak begitu banyak perbedaan sifat pada tokoh Empu Bahula. Diceritakan Empu Bahula sebagai murid andalan Empu Baradah atau bisa dibilang tangan kanan Empu Baradah. Malah dalam cerita rakyat Calon Arang versi rakyat Bali Empu Baradah akhirnya memberikan titah untuk mendirikan pedepokan di Desa Girah. Ini mebuktikan bahwa Empu Baradah sangat percaya pada kemampuan Empu Bahula. Empu Baradah
pun mewasiatkan tugas rahasia pada Empu Bahula yaitu menikahi Ratna Manggali sekaligus mengorek informasi dan mencari kelemahan Calon Arang. “…Dengarkanlah baik-baik, priyayi! Aku punya murid, Empu Bahula namanya. Sekarang ia juga disini. Kawinkanlah dia dengan Ratna Manggali. Segala ongkos upacara perkawinan dan emas kawin baiklah Sri Baginda yang memikirkan. Aku harap itu dikerjakan dahulu sampai beres sama sekali. Jangan tidak, priyayi! Jangan sampai Sri Baginda terlampau sedikit menyediakan harta benda untuk itu.”(Pramoedya, 2007:58) Empu Baradah mempunyai seorang murid yang selalu mendapat perhatianya. Nama muridnya itu Bahula. Ia seorang pemuda yang pandai, jujur dan setia. Karena itulah, Empu Baradah sering mengandalkan Bahula untuk menggantikanya bila ia tidak dapat mengajar di padepokanya.(Yuliadi, 2004:23) 8. Ratna Manggali Tidak ada perbedaan pada kedua cerita mengenai tokoh Ratna Manggali. Ratna Manggali diceritakan sebagai tokoh wanita anak Calon Arang yang baik hati, mempesona dan menurut pada Ibunya. Ratna Manggali pada kedua cerita pun sama–sama diceritakan menikahi Empu Bahula dan membantu suaminya membongkar rahasia Calon Arang untuk menghentikan kejahatan ibunya. Di balik itu semua, Calon Arang juga merupakan seorang ibu dari seorang putri bernama Ratna Manggali. Berbeda dengan ibunya yang kasar dan keras, Ratna Manggali seorang gadis yang lembut dan ramah. Namun, karena sifat dan sikap keras ibunya, tak seorang pun berani mendekatinya.(Yuliadi, 2004:8)
Berhari-hari pesta itu diadakan. Dari mana-mana orang datang. Pendek
kata
sekarang
Ratna
Manggali
bersuamikan
Empu
Bahula.(Pramoedya, 2007:71) 9. Raja Airlangga Raja Airlangga diceritakan sebagai raja bijaksana, peduli pada rakyat, murah hati, gagah berani dan hampir tidak ada cela dalam pemerintahanya memimpin rakyat. Pada kedua cerita, Raja Airlangga sama-sama diceritakan menitah Empu Baradah untuk menghentikan kejahatan Calon Arang. Raja Airlangga memikirkan berbagai trik untuk menghentikan kejahatan Calon Arang. Trik yang pertama adalah memerintahkan para prajuritnya untuk membunuh Calon Arang tetapi gagal. Yang memerintah negara itu ialah seorang raja. Airlangga namanya. Baginda terkenal bijaksana dan berbudi. Pendeta-pendeta yang membuka pertapaan dan asrama sampai jauh di gunung-gunung mendapat perlindungan belaka.(Pramoedya, 2007:9) 10. Empu Kuturan Tokoh Empu Kuturan ada pada kedua cerita. Empu kuturan adalah sahabat karib Empu Baradah yang mempunyai ilmu sama tingginya dengan Empu Baradah. Empu Baradah pun mempunyai padepokan sama seperti Empu Baradah. Tetapi terdapat sedikit ketegangan anatara Empu Baradah dan Empu Bahula ketika Empu Baradah menyampaikan titah Raja Airlangga untuk meminta Kerajaan Bali, tetapi pada novel Calon Arang karya Pramoedya tokoh Empu Kuturan diceritakan sebagai tokoh yang sedikit emosional. Ia marah ketika Empu Baradah menyampaikan titah Raja Airlangga. Ia langsung menyerang Empu Baradah. Sedangkan Empu Kuturan dalam cerita rakyat Calon Arang versi rakyat Bali diceritakan sebagai sahabat Empu Baradah yang bijakasana. Pada cerita rakyat Calon Arang versi Bali Empu Kuturan memang bertarung dengan
Empu Baradah tetapi pertarungan itu adalah pertarungan persahabatan yang bertujuan untuk menguji kemampuan ilmu mereka. Waktu Empu Kuturan habis bersamadi, baru ia menemui tamunya. Baradah menerangkan apa yang jadi maksudnya. Marah benar Kuturan mendengar berita Baradah itu.(Pramoedya, 2007:90) Ketika tiba di tempat latihan Kanuragan, Empu Kuturan tiba-tiba mengajak Empu Baradah untuk mengadu ilmu sebagai tanda persahabatan dianatara keduanya.(Yuliadi, 2004:37) 11. Lurah Ki Pitana Pada kedua cerita diceritakan tokoh lurah tetapi dalam novel Calon Arang tidak disebutkan nama lurahnya sedangkan dalam cerita rakyat Calon Arang versi rakyat Bali disebutkan namanya yaitu Lurah Pitana. Pada Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer lurah ini disebut Kepala Desa. Dia dan kelurganya terkena teluh Calon Arang. Suatu ketika anak Kepala Desa tidak sengaja menyenggol murid Calon Arang lalu murid Calon Arang marah dan membuat anak Kepala Desa itu menjadi botak rambutnya dan lumpuh. Kemudian Calon Arang bersama muridmuridnya datang mengunjungi Kepala Desa untuk mengejek kemalangan keluarga Kepala Desa. Padahal Kepala Desa sudah memohon dan menyembah kepada Calon Arang, tetapi dia tidak menyembuhkan. Kepala Desa marah pada Calon Arang dan menyerang Calon Arang. Calon Arang marah lalu mebunuh Kepala Desa dan istrinya. Lengkaplah penderitaan keluarga Kepala Desa. Begitulah diceritakan kehidupan Kepala Desa dalam Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer. Sedangkan dalam cerita rakyat Calon Arang versi rakyat Bali Kepala Desa atau dikenal dengan nama Lurah Ki Pitana diceritakan sebagai pemimpin desa yang memikirkan rakyat. Dia jauh-jauh datang ke Kerajaan
Daha dan melaporkan kejahatan Calon Arang. Itu dilakukanya karena Ki Pitana berusaha melindungi rakyat dan desanya. Setelah menempuh perjalanan selama beberapa hari, tibalah Lurah Pitana di Istana Kahuripan, yang tampak asri dengan pepohonan yang rindang di sekitarnya. Ki Pitana datang ke istana dengan maksud menemui Raja Airlangga untuk menyampaikan kejahatan Calon Arang.(Yuliadi, 2004:15) Calon Arang dan beberapa orang muridnya datang ke rumah kepala dusun itu. Disana mereka tak mengobati anak yang celaka itu. Tidak. Mereka malah tertawa-tawa senang melihat anak celaka itu.( Pramoedya, 2007:25) 12. Patih Narotama dan Panglima Yudanegara Mereka adalah tokoh yang ada dalam cerita rakyat Calon Arang versi rakyat Bali. Mereka adalah pimpinan pasukan Kerajaan Daha yang dititahkan Raja untuk menyelidiki kehidupan Calon Arang ke Desa Girah. Patih Narotama dan Panglima Yudanegara segera menyusun rencana sebelum pergi ke Desa Girah. Mereka sepakat untuk menyelesaikan persoalan Girah, yang sebenarnya tidak mudah karena tidak hanya menyangkut persoalan keamanan rakyat tetapi juga masalah agama.(Yuliadi, 2004:18). 13. Murid Calon Arang:Weksirsa,
Mahisa Wadana, Lendesi,
Guyung, Larung, Gandi Mereka adalah murid-murid Calon Arang yang menuntut ilmu di Padepokan Calon Arang di desa Girah. Sebenarnya murid Calon Arang tidak hanya mereka tetapi murid-murid yang paling setia berada di samping Calon Arang. Pada cerita Calon Arang versi rakyat Bali dan
Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer terdapat kelima tokoh ini, tetapi dalam cerita rakyat namanya sedikit berbeda yaitu Wokirsa, Mahisawadana, Lande, Guyang, Lurung, Gandi. Keesokan harinya, Calon Arang memanggil keenam murid utamanya, yaitu Wokirsa, Mahisawadana, Lande, Guyang, Lurung dan Gandi untuk membicarakan kembali rencana mereka memanggil Dewi Kegelapan.(Yuliadi, 2004:10). Setelah niatnya pasti, dipanggil semua muridnya. Diantara muridmuridnya yang terkemuka ialah Weksirsa, Mahisa Wadana, Lendesi, Larung,
Guyung
dan
Gandi.
Semua
muridnya
meyetujui
maksudnya.(Pramoedya, 2007:13).
3. Interteks Latar Cerita Calon Arang karya Pramoedya dan Calon Arang “Penyebar Bencana” Cerita Rakyat Bali. Hampir semua latar tempat antara cerita Calon Arang versi rakyat Bali dengan Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer sama tetapi ada beberapa latar tempat pada kedua cerita tersebut berbeda. Berikut akan disebutkan latar tempat yang berbeda. 1. Sanggar pemujaan raja: di dalamnya terdapat arca Dewa Guru, jika raja sedang memanggilnya bau harum ratus dan rupa memenuhi ruangan. “Dengan sedihnya kembali ia masuk ke sanggar pemujaan. Seorang dayang menyalakan pedupaan. Bau harum ratus dan rupa memenuhi ruangan. Segera Sang Baginda sujud di depan arca Dewa Guru.” Pada cerita Calon Arang versi rakyat Bali tidak terdapat sanggar pemujaan Raja. Tidak diceritakan bahwa Raja Airlangga harus menyembah memanggil para dewa untuk meminta petunjuk menghentikan kejahatan Calon Arang.
2. Taman kerajaan : di tengah-tengah taman tersebut terdapat kali kecil yang banyak
ikannya.
“Lambat-lambat ia melangkah ke kali kecil yang mengalir di tengahtengah taman. Ikan yang senang berenang-renang di air jernih itu pun tak menarik perhatiannya.” Pada cerita rakyat Calon Arang versi rakyat Bali tidak terdapat taman kerajaan tempat Raja memikirkan cara mengalahkan Calon Arang, tetapi tentu saja setiap istana memiliki taman yang indah. Namun, dalam cerita rakyat tidak diceritakan adanya taman dalam istana. 3. Sanggar pemujaan Calon Arang: di sebuah kuburan yang menyeramkan terdapat pohon tua yang besar dan banyak tumbuhan yang merambat. Tampak gelap dan banyak ular sehingga kuburan ini tidak terurus karena orang pun takut untuk berkunjung. “Sampailah mereka di kuburan yang dituju. Seorang demi seorang duduklah di tanah berumput. Di sinilah tempat perundingan mereka. Calon Arang duduk di tengah-tengah bersandar pada pohon kayu yang besar lagi tua. Tumbuh-tumbuhan rambatan berjuluran dari cabangcabang sampai di tanah.” Berbeda dengan tempat pemujaan Calon Arang dalam novel karya Pramoedya yang mencekam dan tersembunyi, tempat pemujaan Calon Arang versi rakyat Bali terletak di sebuah tanah lapang terbuka yang bisa dilihat orang banyak. “Pada suatu malam di sebuah tanah lapang berkumpulah sekelompok orang. Terdengar pula irama gendang yang ditabuh perlahan-lahan hingga menghasilkan suara yang merdu mendayu-dayu. Suasana di tanah lapang itu sungguh temaram. Di tengahnya menyala sebuah obor yang cukup besar. Apinya tampak bergoyang ke sana ke mari ditiup angin”.
4. Pemakaman ibu kandung Wedawati: di dekat kuburan tersebut terdapat pohon beringin yang rindang. Kuburan tersebut lebih menyerupai taman karena Wedawati begitu rajin mengurusnya. “Kuburan itu masih sunyi-senyap seperti tadinya juga. Pohon-pohon besar dan rindang menggeleng-gelengkan tajuknya bila angin datang meniup. Burung bernyanyi bersahutan. Di pucuk pohon beringin beberapa ekor gagak meraung-raung.” Latar tempat pemakaman Ibu Kandung Wedawati ini hanya terdapat pada novel Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer karena cerita rakyat Calon Arang versi rakyat Bali diceritakan bahwa Wedawati adalah murid Empu Baradah bukan anak Empu Baradah yang suka menangis di atas makam ibunya. Untuk latar waktu, latar suasana dan latar sosial pada kedua cerita ini sama. 4. Interteks Tema Cerita Calon Arang karya Pramoedya dan Calon Arang “Penyebar Bencana” Cerita Rakyat Bali. Tema yang diangkat pada cerita Calon Arang versi rakyat Bali adalah moral. Siapa yagn menanam maka dia yang akan menuai. Sama seperti Calon Arang yang menanam kejahatan maka pada akhirnya pun dialah yang menuai kejahatan lagi. Dia akhirnya dikhianati oleh murid-muridnya. Mereka lebih memilih bertobat dan berguru pada Empu Baradah ketimbang dibunuh bersama Calon Arang Tema yang diangkat pada novel Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer adalah kemanusiaan. Bahwa setiap manusia bersaudara satu sama lain. Karena itu tiap orang yang membutuhkan pertolongan harus memperolaeh pertolongan. Tiap orang keluar dari satu turunan, karena itu satu sama lain adalah saudara
F. Simpulan a)
Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta merupakan bentuk transformasi dari cerita rakyat bali Calon Arang.
b)
Alur Cerita Calon Arang karya Pramoedya mengalami ekspansi dan ekserp dari hiprogramnya penceritaan mengenai kehidupan keluarga Empu Baradah yang beristri dan beranak serta alur terjadinya pernikahan kedua hingga memiliki anak laki-laki merupakan perluasaan ide penceritaan yang merupakan episode tambahan hasil resepsi pengarang dalam karya Cerita Calon Arang. Selain ekspansi dan ekserp, alur juga mengalami konversi dimana cerita mengenai kepergian Empu Baradah ke Bali diceritakan pada pra ending story alur dan pengaluran sedangkan pada teks hipogramnya terjadi pada start story alur dan pengaluran.
c)
Tokoh cerita dalam Cerita Calon Arang karya Pramoedya mengalami banyak modifikasi, banyak tokoh yang dihilangkan dan juga ada tokoh yang sebelumnya tidak ada dimunculkan dalam ide penceritaan yang dilakukan oleh pramoedya. Modifikasi tokoh ini merupakan bentuk tranformasi dari bentuk dasar. Seperti adanya tokoh ibu tiri dan adik tiri.
d)
Latar cerita
dalam Cerita Calon Arang karya Pramoedya tidak
mengalami perubahan atau perbedaan yang significant, sebagian latarnya sama secara keseluruhan penceritaan. e)
Tema yang diusung pada Cerita Calon Arang karya Pramoedya dan Calon Arang “Penyebar Bencana” Cerita Rakyat Bali dalam cakupan luas adalah sama yaitu kebaikan akan mengalahkan kejahatan. Namun ada satu pesan yang merupakan hasil ekserp dan modifikasi tema yang dilakukan pengarang sebagai ide murni yang hanya diangkat oleh Pramodeya yakni: “Semua manusia bersaudara satu sama lain. Karena itu tiap
orang
yang
membutuhkan
pertolongan
harus
memperoleh
pertolongan. Tiap orang keluar dari satu turunan, karena itu satu sama lain adalah saudara.” –Pramoedya Ananta Toer.