Imunitas humoral di mediasi oleh antibodi dan merupakan bentuk pertahanan respons imun adaptif yang berfungsi untuk menetralisasi dan mengeliminasi mikroba ekstraselular serta toksin mikrobial. Imunitas humoral lebih penting dibandingkan imunitas seluler dalam perlindungan terhadap mikrobakteri dengan kapsul kaya lipid dan lipopolisakarida, serta toksin lipid dan polisakarida. Hal ini disebabkan oleh respon sel B, dan memproduksi antibodi spesifik dengan berbagai tipe molekul, tetapi sel T yang merupakan mediator imunitas seluler hanya mengenali dan berespon terhadap antigen protein. Antibodi diproduksi limfosit B dan progenitornya sel limfosit B naif mengenali antigen tetap tidak mensekresi antibodi, dan aktivasi sel ini menstimulasi diferensiasi sel plasma pensekresi antibodi. Pada bagian ini, akan dideskripsikan proses dan mekanisme aktivasi sel B serta produksi antibodi yang akan difokuskan pada pertanyaan berikut : - Bagaimana limfosit B mengekspresikan reseptor teraktivasi dan dirubah menjadi sel pensekresi antibodi ? - Bagaimana proses aktivasi sel B di regulasi sehingga tipe antibodi yang paling bermanfaat diproduksi terhadap respon yang berbeda pula terhadap mikroba ? Bagian 8 mendeskripsikan bagaimana antibodi diproduksi dalam respons imunitas humoral yang berfungsi melindungi individu dalam pertahanan mikroba dan toksin.
Fase dan Tipe Respon Imun Humoral Limfosit B naif mengekspresikan dua kelas antibodi terikat-membran, IgM (immunoglobulin M) dan IgD, berfungsi sebagai reseptor antigen sel B naif diaktivasi oleh antigen dan sinyal lain yang didiskusikan lebih lanjut. Pada bagian ini aktivasi sel limfosit B menyebabkan proliferasi sel spesifik antigen, yang disebut ekspansi klon, dan pada saat diferensiasi menjadi efektor disebut dengan sel plasma yang aktif mensekresi antibodi (Gambar 7-1). Antibodi yang disekresikan memiliki spesifitas yang sama dengan reseptor membran sel B naif. Menyebabkan respons terhadap antigen yang telah dikenali. Satu sel B yang telah teraktivasi memproduksi hingga 400 sel plasma, yang dapat menghasilkan sampai dengan 1012 molekul antibodi per
harinya. Dengan cara ini, imunitas humoral dapat mengimbangi proliferasi mikroba yang cepat. Selama masa diferensiasi, beberapa sel B mungkin memproduksi antibodi terhadap isotipe
rantai berat yang memediasi berbagai fungsi efektor dan
terspesialisasi untuk melawan berbagai tipe mikroba. Proses ini disebut sebagai perpindahan isotipe (kelas) rantai berat (heavy chain isotype [class] switching). Pajanan berulang terhadap antigen protein menyebabkan produksi antibodi disertai peningkatan afinitas antigen, proses ini disebut dengan maturasi afinitas (maturation affinity), dan dapat memicu produksi antibodi dengan peningkatan kapasitas untuk mengikat serta menetralisir mikroba dan toksin mereka.
Antibodi berespons terhadap antigen yang berbeda dan diklasifikasikan sebagai T-dependen dan T-independen, berdasarkan terhadap kebutuhan sel T, limfosit B mengenali dan mengaktivasi berbagai jenis struktur kimia yang berbeda, termasuk protein, polisakarida, lemak, dan senyawa kimia minor lain. Antigen diproses oleh sel penyaji antigen (antigen presenting cell/APC) dan dikenali sebagai limfosit Tpenolong (T-helper), yang memainkan peranan penting dalam aktivasi sel B dan menginduksi perpindahan isotipe (kelas) rantai berat dan maturasi afinitas (istilah penolong datang dari temuan bahwa beberapa sel T menstimulasi atau membantu sel limfosit B memproduksi antibodi) ketiadaan sel T penolong menyebabkan lemah atau tidak adanya respon antibodi terhadap protein antigen. Lalu, protein antigen dan respon antibodi terhadap antigen ini disebut “T-dependen”. Polisakarida, lipid dan antigen nonprotein lain menstimulasi produksi antibodi tanpa sel T-penolong. Selanjutnya antigen nonprotein dan respons antibodi yang terjadi disebut “Tindependen”. Antibodi diproduksi sebagai respons terhadap antigen pada Tindependen menunjukkan perpindahan isotipe (kelas) rantai berat dan maturasi afinitas yang relatif kecil. Bermacam subset dari sel B berespon secara berbeda terhadap antigen protein dan non protein (gambar 7-2). Mayoritas sel B disebut sebagai sel B folikular karena sel ini berdiam dalam folikel organ limfoid. Sel B folikular ini menyebabkan Tdependen, perpindahan kelas, dan antibodi afinitas tinggi berespons terhadap antigen protein dan menyebabkan perpanjangan usia sel plasma. Sel B zona marginal, yang berlokasi pada zona marginal pulpa putih limpa, berespon terhadap antigen
polisakarida di dalam darah dan sel B B-1 berespon terhadap antigen non protein pada jaringan mukosa dan peritoneum. Zona marginal dan sel B B-1 mengekspresi reseptor antigen dengan keragaman yang terbatas dan didominasi respon IgM, yang tidak memiliki kemampuan sebanyak respon antibodi T-dependen terhadap antigen protein. Respons antibodi awal dan selanjutnya terhadap pajanan antigen, disebut sebagai respon primer dan sekunder; berbeda secara kuantitatif dan kualitatif (gambar 7-3), jumlah antibodi yang diproduksi setelah paparan awal terhadap antigen (contoh : respon primer) lebih kecil dibandingkan jumlah antibodi yang diproduksi pada imunisasi berulang (contoh : respon sekunder) dengan antigen protein, respon sekunder juga menunjukkan perpindahan isotipe (kelas) rantai berat dan maturasi afinitas, karena stimulasi berulang oleh antigen menyebabkan peningkatan jumlah sel T-penolong. Pada pembahasan ini, kami memfokuskan pada diskusi mengenai produksi antibodi dan aktivasi sel B, dimulai dari respons sel B terhadap pajanan awal antigen. Stimulasi Limfosit B oleh Antigen Respons imun humoral di inisiasi jika limfosit B spesifik antigen di limpa, nodus limfatik dan jaringan mukosa limfoid, sehingga dapat mengenali antigen. Beberapa antigen mikroba yang memasuki jaringan atau dalam darah ditranspor serta terkonsentrasi di dalam sel B yang kaya folikel dan zona marginal pada organ limfoid perifer. Pada nodus limfatik, makrofag membatasi sinus subkapsular dan menangkap antigen serta menunjukkan mereka kepada sel B di folikel terdekat. Limfosit B spesifik terhadap antigen menggunakan reseptor membran terikat immunoglobulin (Ig) untuk mengenali antigen pada susunan awal (tanpa dilakukan pemrosesan). Pengenalan jalur sinyal pemicu antigen yang menginisiasi aktivasi sel B. begitu juga dengan limfosit T, aktivasi sel B juga memerlukan sinyal tambahan dalam pengenalan antigen, dan banyak diantara sinyal kedua ini diproduksi dalam reaksi imunitas bawaan terhadap mikroba. Pada bagian selanjutnya, kami akan mendeskripsikan mekanisme aktivasi sel B, diikuti oleh diskusi dari konsekuensi fungsional pengenalan antigen.
Sinyal yang di Induksi antigen pada Sel B Sinyal yang di Induksi antigen (antigen-induced signaling) melingkupi reseptor membran Ig dan memicu sinyal biokimia yang ditransduksi oleh sinyal molekul terkait reseptor (receptor-associated signaling molecules) (gambar 7-4). Pada dasarnya proses aktivasi limfosit B serupa dengan aktivasi sel T (lihat Bab 5). Pada sel B, transduksi sinyal yang dimediasi reseptor Ig memerlukan cross-linking dari dua atau lebih molekul reseptor. cross-linking reseptor ini terjadi apabila dua atau lebih molekul antigen mengalami agregasi, atau pengulangan epitope dari salah satu molekul antigen, berikatan dengan molekul Ig terdekat pada membran sel B. polisakarida, lemak dan antigen nonprotein lain sering berisi berbagai epitope identik pada tiap molekulnya sehingga dapat berikatan dengan beberapa reseptor Ig pada sel B pada saat yang sama. Sinyal yang diinisiasi oleh cross-linking reseptor antigen ditransduksikan oleh protein yang berhubungan dengan reseptor. Membran IgM dan IgD, serta reseptor antigen sel B naif, memiliki variabilitas regio pengikat-antigen ekstraseluler yang tinggi (lihat Bab 4) dan domain sitoplasmik yang pendek. Reseptor membran ini mengenali antigen tetapi mereka sendiri tidak mentranduksi sinyal. Reseptor ini terikat secara nonkovalen pada dua protein yaitu Igα dan Igβ, untuk mebentuk kompleks reseptor sel B (BCR) (analog dengan reseptor sel limfosit T). domain sitoplasmik Igα dan Igβ menyimpan Immunoreceptor tyrosine-based activation motifs (ITAMs), yang merupakan subunit sinyal dari reseptor lain yang teraktivasi dalam sistem imunitas. (contoh : CD3 dan δ protein dari komples TCR; lihat Bab 5). Ketika dua atau lebih reseptor antigen sel B berkumpul, tirosin yang terdapat pada ITAMs dari Igα dan Igβ akan mengalami fosforilasi oleh kinase yang berasosiasi dengan kompleks BCR. Fosofotirosin yang terbentuk ini akan menjadi situs melekatnya protein sehingga senyawa ini akan mengalami fosforilasi dan pada akhirnya menciptakan molekul sinyal. Komponen reseptor yang terinduksi oleh kaskade sinyal ini belum dapat dipahami pada sel B maupun sel T. Tetapi proses ini pada dasarnya serupa dengan populasi dua limfosit (lihat Bab 5, gambar 5-9). Hasil akhir sinyal yang diinduksi reseptor pada sel B adalah aktivasi faktor transkripsi mengaktivasi produk protein yang terlibat dalam proliferasi dan diferensiasi sel B. beberapa protein penting lain akan dideskripsikan lebih lanjut pada Bab ini.
Peranan Protein Komplemen dalam Aktivasi Sel B Limfosit B mengekspresikan reseptor dari protein pad sistem komplemen yang menyediakan sinyal untuk aktivasi sel (Gambar 7-5). Sistem komplemen merupakan kumpulan protein plasma yang teraktivasi oleh mikroba dan antibodi yang berikatan dengan mikroba serta memiliki fungsi sebagai mekanisme efektor pertahanan pejamu yang cukup dikenal (Bab 8). Ketika sistem komplemen teraktivasi oleh mikroba, mikroba lalu akan diselimuti oleh produk pemecahan protein komplemen dalam jumlah yang besar, C3. Salah satu produk pemcahan ini dikenal dengan fragmen C3d. limfosit B mengekspresikan sebuah reseptor, disebut dengan reseptor komplemen tipe 2 (CR2 atau CD21), yang berikatan dengan C3d. sel B yang spesifik terhadap antigen mikroba mengenali antigen karena reseptor Ig dan mengenali secara bersamaan C3d yang berikatan dengan reseptor CR2. Aktivasi dari CR2 meningkatkan respon aktivasi dependen antigen sel B. sehingga, protein komplemen menyediakan sinyal kedua untuk aktivasi sel B, yang berfungsi secara harmonis dengan antigen (sinyal 1) untuk menginisiasi proliferasi dan diferensiasi sel B. peranan faktor komplemen dalam respon imunitas humoral mengilustrasikan gagasan yang telah dipaparkan sebelumnya – bahwa mikroba atau respon imunitas bawaan terhadap mikroba menyediakan sinyal tambahan
terhadap antigen yang diperlukan dalam aktivasi
limfosit. Pada imunitas humoral, aktivasi komplemen relevan dengan respons imunitas bawaan dan C3d merupakan sinyal kedua dari limfosit B, analog dengan kostimulator APC untuk limfosit T. Respon sel B mungkin meningkat tidak hanya oleh pengenalan komplemen protein tetapi juga oleh produk mikroba yang berinteraksi dengan reseptor Toll-like (TLRs) pada sel B. limfosit B, seperti halnya sel dendritic dan leukosit lainnya, mengekspresikan banyak TLRs (Bab 2). Pengenalan produk mikroba oleh TLRs menstimulasi proliferasi sel B dan sekresi Ig, sehingga memicu respons antibodi terhadap mikroba. Konsekuensi Fungsional Akibat Aktivasi Sel B yang Dimediasi Antigen Konsekuensi aktivasi sel B oleh antigen (dan sinyal kedua) adalah untuk menginisiasi proliferasi sel B dan diferensiasi
serta menyiapkan sel B untuk
berinteraksi dengan limfosit T-penolong (jika antigen berupa protein) (Gambar 7-6) aktivasi limfosit B memasuki siklus sel dan mulai berproliferasi, menghasilkan
peningkatan jumlah klon yang spesifik antigen. Sel ini mungkin memulai sintesis IgM lebih banyak dan memproduksi IgM ini dalam bentuk yang dapat disekresikan. Pada akhirnya, stimulasi antigen menginduksi fase awal respon imunitas humoral. Respon ini semakin meningkat ketika antigen bersifat multivalent, cross-links banyak reseptor antigen dan aktivasi komplemen; kesemua hal ini terutama tampak pada polisakarida dan antigen T-dependen lain (yang akan didiskusikan lebih lanjut pada Bab ini). Kebanyakan antigen protein yang terlarut tidak mengandung multipel epitope identik, tidak dapat melakukan cross-links banyak reseptor, dan mereka sendiri tidak menstimulasi dengan kadar tinggi diferensiasi dan proliferasi sel B. bagaimanapun, antigen protein menginduksi sinyal pada limfosit B yang mengarah pada perubahan penting pada sel yang mampu meingkatkan kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan sel T-penolong. Aktivasi sel B mengarah pada peningkatan ekspresi kostimulator B7, yang akan menyediakan sinyal kedua aktivasi sel T dan mungkin berfungsi untuk mengamplifikasi respon sel T-penolong, dan juga mengekspresikan reseptor sitokin, yang merupakan sekresi mediator sel T-penolong. Sel B teraktivasi juga mengurangi ekspresi reseptor terhadap kemokin yang diproduksi folikel limfoid dan berfungsi untuk menjaga sel B didalam folikel. Sebagai hasilnya, sel B teraktivasi bermigrasi keluar dari folikel dan mengarah pada kompartemen anatomik dimana sel T terkonsentrasi. Sejauh ini, kita telah mendeskripsikan bagaimana sel limfosit B mengenali antigen dan menerima sinyal yang menginisiasi respon imunitas humoral. Seperti yang telah disebutkan pada awal bagian ini, respon antibodi terhadap antigen protein memerlukan partisipasi sel T-penolong. Pada bagian berikutnya, kami akan mendeskripsikan mengenai interaksi sel T-penolong dengan limfosit B dalam respon antibodi terhadap antigen protein T-dependen. Respons antigen T-independen didiskusikan pad akhir bagian ini. Fungsi Limfosit T Penolong dalam Respon Imunitas Humoral terhadap Antigen Protein Untuk sebuah antigen protein menstimulasi respons antibodi, limfosit B dan limfosit T-penolong spesifik antigen tertentu harus bersamaan di dalam organ limfoid berinteraksi untuk menstimulasi proliferasi serta diferensiasi sel B. kami mengetahui bahwa proses ini berjalan sangat efisien, karena antigen protein mengelisitasi respon
antibodi dalam 3 hingga 7 hari setelah paparan antigen. Efisiensi dari proses ini menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana sel B dan sel T spesifik terhadap epitope suatu antigen yang sama dapat saling menemukan satu sama lain, dengan pertimbangan bahwa kedua tipe limfosit spesifik untuk salah satu antigen sendiri cukup jarang. Kemungkinannya kurang dari 1 banding 10.000 pada semua limfosit di dalam tubuh? Bagaimana sel T-penolong spesifik terhadap antigen berinteraksi dengan sel B spesifik untuk antigen yang sama dan irelevan dengan sel B? apakah sinyal ini dikirimkan oleh sel T-penolong untuk menstimulasi tidak hanya sekresi antibodi tetapi juga fungsi khusus respons antibodi terhadap protein, yang disebut perpindahan isotipe rantai berat dan maturasi afinitas? Tampak sebagai suatu diskusi yang berkelanjutan, jawaban pertanyaan ini adalah hal ini masih belum dimengerti secara jelas. Aktivasi dan Migrasi sel T-penolong Sel T-penolong telah teraktivasi untuk berdiferensiasi menjadi sel efektor yang berinteraksi dengan antigen yang distimulasi limfosit B di tepi folikel limfoid dan organ limfoid perifer (Gambar 7-7). Sel T-penolong CD4+ naif distimulasi untuk proliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel efektor pemroduksi sitokin sebagai hasil dari pengenalan antigen pada APCs, terutama sel dendritic, pada organ limfoid. Proses aktivasi sel T dideskripsikan pada Bab 5. Untuk mengulangi poin-poin penting, aktivasi inisial sel T memerlukan pengenalan dan kostimulasi antigen. Antigen yang menstimulasi sel T-penolong CD4+ merupakan turunan dari mikroba ekstraseluler dan protein yang diproses dan berikatan dengan kompleks histokompabilitas mayor kelas II (Mayor Histocompability Complex / MHC) terhadap APCs pada jaringan limfoid perifer yang kaya sel T. aktivasi sel T diinduksi paling baik oleh antigen mikroba, dan oleh antigen protein yang digunakan dengan adjuvant, nantinya akan menstimulasi ekspresi kostimulator APCs. T-penolong CD4+ mungkin berdiferensiasi menjadi sel efektor yang dapat memproduksi bermacam sitokin : subset TH1, TH2, dan TH17 yang dideskripsikan pada Bab 5 merupakan contoh diferensiasi sel efektor. Diferensiasi sel efektor dimulai saat migrasi dari situs berdiamnya sel ini. Seperti yang telah didiskusikan pada Bab 6, beberapa sel limfosit T memasuki sirkulasi, lalu menemukan adanya antigen mikrobia pada situs yang jauh, lalu mengeradikasi mikroba tersebut dengan reaksi imunitas yang dimediasi oleh sel. Beberapa sel Tpenolong bermigrasi menuju tepi folikel limfoid pada saat yang sama sebagai limfosit
B yang distimulasi antigen didalam folikel mulai mengalami migrasi keluar. Migrasi sel B dan T yang terarah antara satu dengan yang lain bergantung pada perubahan ekspresi reseptor kemokin pada limfosit yang teraktivasi. Pada saat teraktivasi, sel T mengurangi ekspresi reseptor kemokin CCR7, yang mengenali kemokin yang diproduksi pada zona sel T, dan meningkatkan ekspresi reseptor kemokin CXCR, yang memicu migrasi menuju sel folikel B. sel B, pada saat teraktivasi mengalami perubahan sebaliknya, penurunan CXCR5 dan peningkatan ekspresi CCR7. Sebagai hasilnya, sel B dan T teraktivasi antigen bermigrasi menuju satu sama lainnya dan bertemu pada tepi dari folikel limfoid. Langkah selanjutnya dari interaksi terjadi disini. Presentasi Antigen oleh Sel Limfosit B untuk Sel T-penolong Limfosit B yang berikatan dengan antigen protein oleh reseptor endositosis antigen spesifiknya, akan memproses antigen ini didalam vesikel endosomal dan selanjutnya akan menampilkan MHC kelas II-berkaitan dengan peptide sebagai perkenalan sel T-penolong CD4+ (Gambar 7-8). Membran Ig dari sel B memiliki reseptor berafinitas tinggi yang memungkinkan sel B secara spesifik berikatan dengan antigen tertentu bahkan dengan konsentrasi ekstraseluler antigen sangat rendah. Sebagai tambahan, antigen yang berikatan dengan membran Ig mengalami endositosis dengan sangat efisien dan dikirimkanlangsung ke vesikel endosomal intraseluler dimana protein ini diproses menjadi peptide yang mengikat MHC kelas II (Lihat Bab 3). Selanjutnya, limfosit B merupakan APCs yang efisien terhadap antigen yang dikenalnya secara spesifik. Yang perlu dicatat, bahwa salah satu sel B mungkin berikatan dengan bentuk epitope dari antigen protein, internalisasi dan proses protein antigen, lalu ditampilkan peptide multipel untuk pengenalan sel T. Lalu, sel B dan sel T mengenali beberapa epitope dengan antigen protein yang sama. Karena sel B mempresentasikan antigen untuk reseptor spesifik dan sel T-penolong yang spesifik mengenali peptide yang diturunkan dari antigen yang sama, menjamin interaksi tetap spesifik. Seperti yang diterangkan sebelumnya, limfosit B teraktivasi antigen juga mengekspresikan kostimulator, seperti molekul B7, yang menstimulasi sel Tpenolong dan mengenali antigen yang ditampilkan oleh sel B. sel B pun dapat mengaktivasi diferensiasi sel T efektor yang terdahulu tetapi tidak efisien pada saat memulai respon sel T naif.
Mekanisme Aktivasi Sel T-Penolong oleh Limfosit B Limfosit T-penolong mengenali antigen yang dipresentasikan sel B mengaktivasi sel B itu sendiri dengan ekspresi ligan CD40 (CD40L) dan mensekresi sitokin lain (Gambar 7-9). Proses aktivasi sel T-penolong dimediasi oleh limfosit B analog dengan proses aktivasi makrofag yang dimediasi sel T pada imunitas diperantarai sel (lihat Bab 6). CD40L mengaktivasi sel T-penolong berikatan dengan CD40 yang diekspresikan oleh sel limfosit B. Inisiasi CD40 menghantarkan sinyalke sel B yang menstimulasi proliferasi (ekpansi klonal) dan sintesis serta sekresi antibodi. Pada saat yang sama, sitokin yang diproduksi oleh sel T penolong berikatan dengan reseptor sitokin pada limfosit B dan menstimulasi proliferasi sel B dan produksi Ig lebih banyak. Kriteria interaksi antara CD40L-CD40 menjamin hanya sel B dan T pada kontak fisik yang menghasilkan interaksi produktif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnyam limfosit yang spesifik antigen merupakan salah satu yang mengalami interaksi fisik, sehingga menjamin bahwa sel B spesifik-antigenjuga merupakan salah satu yang teraktivasi. Sel T-penolong
mengeluarkan sinyal yang menstimulasi
perpindahan isotipe rantai berat dan maturasi afinitas, yang tampak terutama pada respon antibodi terhadap antigen protein T-dependen. Perpindahan Isotipe (kelas) Rantai Berat Sel T-penolong menstimulasi progeni limfosit B yang mengekspresi IgM dan IgD untuk memproduksi antibodi pada isotipe (kelas) rantai berat yang berbeda (Gambar 7-10), beberapa isotip antibodi yang berbeda mengerjakan beberapa fungsi berbeda dan proses perpindahan isotipe pun diperluas dengan kapabilitas fungsional dari respon imunitas humoral. Sebagai contoh, mekanisme pertahanan yang penting untuk menangani bentuk ekstraseluler kebanyakan bakteri dan virus adalah untuk menyelimuti (opsonisasi) mikroba ini dengan antibodi dan membuat mereka difagositosis oleh neutrophil dan makrofag. Reaksi ini paling baik dimediasi oleh kelas antibodi, seperti IgG1 dan IgG3 (pada manusia), yang berikatan dengan reseptor Fc fagosit berafinitas tinggi dan spesifik rantai berat γ (lihat Bab 8). Kebalikannya, helminth / cacing dieliminasi dengan baik oleh eosinophil . Kelas antibodi yang dapat melakukan hal ini adalah IgE, karena eosinophil memiliki reseptor berafinitas tinggi terhadap bagian Fc pada rantai berat ε. Sehingga, pertahanan pejamu yang efektif memerlukan sistem imunitas yang membuat antibodi berbeda. Sebagai respons
mikroba yang berbeda, walaupun seluruh limfosit B naif spesifik, untuk seluruh mikroba yang mengekspresikan reseptor antigen dari isotop IgM dan IgD. Perpindahan isotipe rantai berat di induksi oleh kombinasi sinyal yang dimediasi CD40L dan sitokin. Sinyal ini beraksi terhadap sel B terstimulasi antigen dan menginduksi perpindahan pada beberapa progeni sel ini. Tidak adanya CD40 atau CD40L, sel B hanya mensekresi IgM dan tidak mampu berpindah ke isotip lain, mengindikasikan peran penting pasangan reseptor-ligan pada perpindahan kelas. Sebuah penyakit yang disebut sindrom hiper IgM terkait X disebabkan mutasi gen CD40L, berlokasi pada kromosom X menyebabkan produksi CD40L nonfungsional. Pada penyakit ini, kebanyakan serum antibodi adalah IgM karena defek pada perpindahan kelas. Pasien juga mengalami defek pada imunitas yang dimediasi imunitas untuk melawa mikroba intraseluler, karena CD40L penting untuk sel T yang dimediasi imunitas (Lihat Bab 6), selanjutnya sitokin akan mempengaruhi kemana rantai berat sel B individual dan progeni akan berpindah. Dasar reaksi molekular dari perpindahan isotipe rantai berat diketahui dengan cukup baik (Gambar 7-11). Sel B yang memproduksi IgM, tidak mengalmi perpindahan, akan menyimpan lokus rantai berat Ig gen VDJ yang berdekatan dengan klaster, regio pertama yang konstan, yaitu Cμ. mRNA rantai berat diproduksi dengan pemotongan RNA VDJ dengan Cμ RNA, dan mRNA ditranslasikan untuk memproduksi rantai berat μ, mengkombinasikan rantai ringan yang memunculkan antibodi IgM. Sinyal dari CD40 dan reseptor sitokin menstimulasi transkripsi melalui salah satu regio konstan downstream Cμ. Pada intron 5‟ dari tiap regio konstan (kecuali Cδ) adalah untuk mengkonservasi sekuens nukleotifda menyebabkan perpindahan regio karena regio konstan downstream menjadi transkripsi aktif, perpindahan regio 3‟ dari Cμ berekombinasi dengan perpindahan regio 5‟ pada regio konstan downstream, dan DNA yang mengintervensi dihapus enzim yang dikenal dengan activation-induced deaminase (AIDs) memainkan peranan penting dengan cara membuat nukleotida lebih rawan mengalami pembelahan sehingga dapat terjadi rekombinasi sehingga dapat diprediksi, sinyal CD40 menginduksi ekspresi AIDs. Proses ini disebut dengan perpindahan rekombinasi. Proses ini menyusun ulang VDJ yang berdekatan ke regio C downstream. Hasilnya adalah sel mulai memproduksi isotip rantai berat baru (yang dilakukan oleh antibodi pada regio C) dengan spesifitas sama dan sel B awal karena spesifitas ditentikan dari VDJ yang disusun ulang.
Produksi sitokin oleh sel T-penolong menentukan rantai berat mana yang diproduksi dengan mempengaruhi isotip rantai berat pada regio konstan gen mana yang berpartisipasi dalam rekombinasi (Lihat gambar 7-10). Sebagai contoh, produksi antibodi pengopsonisasi, yang berikatan dengan gen reseptor fagosit Fc distimulasi oleh IFN-γ, sitokin yang diproduksi khusus sel Th1. Antibodi pengopsonisasi ini memicu fagositosis, mengawali kematian dari mikroba.
IFN-γ juga merupakan
sitokin pengaktivasi fagosit dan menstimulasi aktivitas mikrobisidal dari fagosit, sehingga aksi IFN-γ pada sel B sebagai komplemen aksi pada fagosit. Banyak bakteri dan virus menstimulasi respon Th1, yang mengaktivasi mekanisme efektor paling baik untuk mengeliminasi mikroba. Dan sebaliknya, perpindahan ke IgE distimulasi oleh interleukin 4 (IL-4), yang merupakan produk sitokin khusus sel Th2. Fungsi dari IgE adalah untuk eliminasi cacing, dengan bekerja bersama eosinophil, yang diaktivasi oleh sitokin Th2 kedua, IL-5. Dapat diperkirakan, cacing menginduksi respon Th2 yang kuat. Sehingga, secara alamiah sel T-penolong berespons terhadap mikroba yang menimbulkan respon antibodi berkelanjutan, membuat suasana yang optimal untuk memrangi mikroba. Ini adalah contoh yang baik untuk komponen berbeda dari sistem imunitas yang dikoordinasikan dean berfungsi bersaman dalam perlawanan berbagai macam mikroba, dan sel T-penolong berfungsi sebagai „pusat‟ kontrol respon imunitas. Secara alamiah isotip antibodi yang diproduksi juga dipengaruhi oleh respon imun. Sebagai contoh, antibodi IgA merupakan isotip mayor yang diproduksi pada jaringan mukosa limfoid. Hal ini dikarenakan sel B memerintahkan IgA untuk bermigrasi ke jaringan ini, dan sitokin memicu perpindahan IgA di jaringan mukosa. IgA merupakan isotip antibodi utama yang secara aktif disekresikan melalui epitel (lihat Bab 8). Sehingga mungkin mengapa jaringan isotipe mukosa limfoid adalah tempat utama produksi IgA, sel B B-1 juga sumber penting antibodi IgA pada jaringan mukosa, terutama terhadap antigen nonprotein. Sitokin yang mengendalikan perpindahan isotip pada subset sel B belum diketahui secara jelas. Maturasi Afinitas Maturasi afinitas adalah proses dimana afinitas dari antibodi diproduksi sebagai respon terhadap protein antigen dan meningkat seiring perpanjangan atau paparan berulang terhadap antigen tersebut karena maturasi afinitas, kemampuan antibodi
untuk berikatan dengan mikroba / antigen mikroba meningkat jika infeksi persisten/ rekuren. Hal ini menyebabkan peningkatan afinitas karena mutasi titik pada regio V dan secara umum pada regio hipervariabel dari pengikatan antigen yang diproduksi oleh antibodi (Gambar 7-12), maturasi afinitas hanya tampak pada respon terhadap protein antigen sel T-penolong dependen menunjukkan adanya dua pertanyaan yang meragukan : bagaimana sel B mengalami mutasi gen Ig dan bagaimana sel B berafintas tinggi (contoh : paling berguna) terpilih untuk berproliferasi lebih banyak ? Maturasi afinitas terjadi pada sentrum germinativum folikel limfoid dan menyebabkan hipermutasi somatik pada gen Ig yang dibagi menjadi sel B diikuti oleh seleksi sel B berafinitas tinggi oleh antigen (Gambar 7-13). Beberapa progeni dari limfosit B teraktivasi memasuki folikel limfoid dan membentuk sentrum germinativum. Didalam sentrum germinativum inilah sel B berproliferasi sangat cepat, dengan doubling time / masa penggandaan kurang lebih 6 jam, sehingga satu sel sendiri akan memproduksi 5000 progeni tiap minggunya (asal sentrum germinativum) berasal dari observasi morfologik beberapa folikel yang memiliki regio sentral dan terwarna ringan (light staining) karena mengandung lebih banyak jumlah sel yang membelah, sehingga situs ini diyakini sebagai tempat produksi limfosit. Dalam proliferasi, gen Ig dari sel B mengalami beberapa mutasi titik, enzim AID, yang dibicarakan sebelumnya dibutuhkan untuk perpindahan isotipe, juga memainkan peran dalam mutasi somatic dengan mengubah nukeotida gen Ig dan membuatnya rentan terhadap faktor-faktor mutagen. Frekuensi mutasi gen Ig diperkirakan adalah 1 dalam 103 pasangan basa per sel per divisi, yang mana ribuan kali lebih besar daripada angka mutasi pada kebanyakan gen. untuk alasan ini, mutasi Ig disebut hipermutasi somatic. Mutasi ekstensif ini menghasilkan generasi klon sel B yang berbeda dimana molekul Ig mungkin berikatan secara luas dengan afinitas bervariasi terhadap antigen yang menginisiasi respon. Sel B sentrum germinativum akan mati melalui apoptosis kecuali jika mereka diselamatkan oleh pengenalan antigen sel T-penolong. Pada saat yang sama dengan mutasi hipersomatik gen Ig terjadi di sentrum germinativum, antibodi yang disekresikan pada awal respon imunitas akan berikatan dengan antigen residu. Kompleks antigen-antibodi yang terbentuk akan mengaktivasi komplemen. Kompleks ini ditampilkan oleh sel, yang disebut sebagai sel dendrit folikel, yang berdiam di
sentrum germinativum dan mengekspresi reseptor untuk antibodi Fc dan produkproduk komplemen. Sehingga, sel B yang mengalami hipermutasi somatic akan diberikan kesempatan untuk mengikat antigen pada sel dendrit folikel dan terselamatkan dari kematian. Sel B juga mungkin berikana dengan antigen bebas, kemudian diproses, dan dipresentasikan peptidanya kepada sel T di sentrum germinativum yang akan mengeluarkan sinyal untuk memperpanjang usia sel. Sebuah respon imun terhadap antigen protein akan berkembang, dan terutama dengan paparan antigen berulang, jumlah antibodi yang diproduksi akan meningkat. Sebagai hasilnya, jumlah antigen akan berkurang. Sel B yang terpilih untuk bertahan harus dapat mengkiat antigen pada konsentrasi yang jauh lebih rendah, dan selanjutnya sel ini merupakan reseptor antigen dengan afinitas yang sangat tinggi. Sel B terpilih akan meninggalkan sentrum germinativum dan mensekresi antibodi, menyebabkan penurunan afinitas antibodi yang diproduksi ketika respon berkembang. Berbagai stadium respon antibodi terhadap protein antigen sel T dependen terjadi berurutan dan pada kompartemen anatomik jaringan limfoid yang berbeda (gambar 7-14). Sel limfosit B naif yang matur mengenali antigen pada folikel limfoid dan bermigrasi untuk melakukan kontak dengan sel T-penolong pada tepi folikel. Daerah ini kaya akan sel B dan sel T dan merupakan tempat proliferasi sel B serta tempat dimulainya diferensiasi sel-sel pensekresi antibodi. Sel plasma yang berkembang sebagai konsekuensi dari interaksi ini akan berdiam di organ limfoid, terutama di luar folikel yang kaya akan sel B, dan antibodi yang mereka sekresikan akan memasuki darah. Perpindahan isotip rantai berat menginisiasi folikel terluar. Maturasi afinitas dan perpindahan isotip yang lebih banyak lagi terjadi pada sentrum germinativum yang berada di dalam folikel. Semua kejadian ini mungkin dapat tampak dalam beberapa minggu setelah paparan terhadap antigen. Sel plasma yang muncul dari sentrum germinativum bermigrasi ke sumsum tulang, dimana mereka hidup hingga bulan bahkan tahunan, memproduksi antibodi secara kontinyu bahkan setelah antigen dieliminiasi. Diperkirakan bahwa lebih dari separuh antibodi di dalam darah dari orang dewasa normal diproduksi oleh sel plasma berumur panjang ini; sehingga, antibodi yang bersirkulasi merefleksikan tiap riwayat individu terpapar antigen. Antibodi ini memberikan tingkat proteksi menengah jika antigen (mikroba atau toksin) masuk kembali ke dalam tubuh. Sebuah fraksi dari sel B teraktivasi, yang seringnya merupakan progeni dari sel B isotip yang berpindah dengan afinitas tinggi,
tidak mengalami diferensiasi menjadi sekretor antibodi aktif tetapi akan menjadi sel memori. Sel B memori tidak mensekresikan antibodi tetapi mereka bersirkulasi di dalam darah dan menetap di berbagai jaringan. Mereka dapat hidup bulan hingga tahunan tanpa
adanya paparan antigen tambahan, namun akan berespon dengan
sangat cepat jika terjadi reintroduksi antigen. Respon Antibodi terhadap Antigen T-Independen Polisakarida, lemak, dan antigen nonprotein mengelisitasi respon antibodi tanpa partisipasi sel T-penolong. Perlu diingat kembali bahwa antigen nonprotein ini tidak dapat berikatan dengan molekul MHC, sehingga mereka tidak dapat tampak oleh sel T (baca Bab 3). Banyak bakteri memiliki kapsul kaya polisakarida, dan pertahanan melawan bakteri ini dimediasi secara primer oleh antibodi yang mengikat kapsul polisakarida dan menarget bakteria untuk fagositosis. Walaupun respon antibodi yang penting dalam perlawanan antigen T-independen, sangat sedikit diketahui mengenai bagaimana respon ini terinduksi. Apa yang diketahui, dalah bagaimana respon antibodi ini terhadap antigen berbeda pada T independen terutama pada beberapa hal yang berbeda seperti respon protein, dan kebanyakan perbedaan ini disebabkan oleh peran sel T-penolong yang antibodinya berespon terhadap protein (Gambar 7-15). Perlu dipikirkan bahwa poliskarida dan antigen lemak sering memiliki jenis multivalent dari epitop yang sama, antigen ini dapat cross-link dengan banyak reseptor antigen pada sel B spesifik. cross-link yang ekstensif ini mungkin mengaktivasi sel B sehingga cukup kuat menstimulasi proliferasi dan diferensiasinya tanpa memerlukan bantuan sel T. Secara alamiah, antigen protein yang terjadi tidak multivalen, dan hal ini mungkin alasan mengapa mereka tidak menginduksi respon sel B secara penuh oleh sel itu sendiri tetapi bergantung sel T-penolong untuk menstimulasi produksi antibodi. Selain itu, zona marginal sel B pad limpa merupakan kontributor utama respon antibodi T-independen terhadap antigen yang berada di dalam darah, dan sel B B-1 membuat respon respon T-independen terhadap antigen mikroba pada jaringan mukosa dan mikroba yang memasuki peritoneum. Regulasi Respon Imunitas Humoral : Umpan Balik Antibodi Setelah limfosit B berdiferensiasi menjadi sel pensekresi antibodi dan sel memori, fraksi dari sel ini akan bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama, tetapi kebanyakan sel B yang teraktivasi mungkin mati oleh karena proses kematian sel
yang terprogram. Kehilangan yang bertahap akibat kontribusi sel B menghasilkan penurunan fisiologis respon imunitas humoral. Sel B juga memiliki mekanisme khusus untuk mematikan produksi antibodi. Seperti pada produksi antibodi IgG dan bersirkulasi melalui seluruh tubuh, antibodi ini berikatan dengan antigen yang masih berada di dalam darah dan jaringan, membentuk kompleks imunitas. Sel B spesifik terhadap antigen mungkin berikatan dengan bagian antigen dari kompleks imun oleh reseptor Ig. Pada saat yang sama, „ekor‟ dari Fc yang menempel pada antibodi IgG mungkin mengenali tipe khusus dari reseptor Fc yang diekspresikan oleh sel B yaitu FcγRII (Gambar 7-16). Reseptor Fc ini mengantarkan sinyal inhibisi yang memtikan sinyal reseptor yang diinduksi antigen, dan selanjutnya mengakhiri respon sel B. proses ini, dimana antibodi berikatan dengan antigen menghambat produksi antibodi , disebut juga umpan balik antibodi. Proses ini bertujuan untuk mengakhiri respon imunitas humoral ketika jumlah IgG yang cukup telah diproduksi. Sebuah terapi yang efektif untuk penyakit inflamasi adalah pemberian IgG, yang disebut imunoglobulin intravena (intravenous immunoglobulin / IVIG). Terapi ini dikembangkan secara empiris. Saat ini diyakini kerja IVIG adalah dengan menginduksi reseptor inhibisi Fc pada sel B (dan mungkin sel dendritic) selanjutnya kan mensupresi respon imun patologis. Kesimpulan Imunitas humoral dimediasi oleh antibodi yang berikatan dengan mikroba ekstraseluler dan toksin yang dihasilkan, dimana nantinya akan terjadi proses netralisasi atau destruksi oleh fagosit serta sistem komplemen. Respon imunitas humoral terhadap antigen nonprotein diinisiasi
melalui
pengenalan antigen oleh reseptor Ig spesifik sel B naif. Ikatan cross-link multivalent antigen, dan sinyal biokimia yang dikirimkan ke dalam sel B melalui sinyal protein berasosiasi dengan Ig. Sinyal ini menginduksi ekspansi klon sel B dan sekresi IgM. Respon imunitas humoral terhadap protein antigen, disebut respon T dependen, diinisiasi oleh pengikatan protein yang spesifik reseptor Ig dari sel limfosit B naif dari folikel limfoid. Hasil ini akan menghasilkan sinyal yang menyiapkan sel B untuk berinteraksi dengan sel T-penolong. Sebagai tambahan, sel B melakukan internalisasi dan dan pemrosesan antigen lalu mempresentasikan peptida MHC kelas II kepada sel T-penolong yang spesifik antigen. Sel T-penolong juga mengekspresikan CD40L dan
sitokin, yang berfungsi secara bersama-sama untuk menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel B dengan kadar tinggi. Perpindahan isotip rantai berat (atau perpindahan kelas) adalah proses dimana terjadi perubahan isotipe dari antibodi yang diproduksi ketika respon terhadap perubahan antigen pada saat respon imunitas humoral. Perpindahan isotip bergantung pada kombinasi CD40L dan sitokin, keduanya diekspresikan oleh sel T-penolong. Sitokin yang berbeda menginduksi perpindahan menjadi isotip antibodi yang berbeda, memungkinkan sistem imunitas berespon secara efektif terhadap jenis mikroba yang berbeda. Maturasi afinitas adalah proses dimana adalah proses dimana afinitas antibodi terhadap protein antigen meningkat dengan paparan yang lama atau berulang terhadap antigen. Proses ini diinisiasi oleh sinyal dari sel T-penolong, menyebabkan migrasi sel B menuju folikel dan formasi sentrum germinativum. Disinilah sel B berproliferasi dengan cepar dan gen Ig V mengalami mutasi somatic. Kompleks antigen dengan antibodi yang disekresikan ditampilkan pada sel dendrit folikel pada sentrum germinativum. Sel B mengenali antigen dengan afinitas tinggi akan diseleksi untuk bertahan hidup, lalu akan memunculkan maturasi afinitas terhadap respon antibodi. Respon humoral T dependen menciptakan sel plasma yang berusia panjang, yang merupakan rumah bagi sumsum tulang dan mensekresi antibodi hingga bertahun-tahun, dan sel B memori akan hidup dengan usia yang panjang, berespon dengan cepat pada saat pertemuan antara antigen melalui proliferasi dan sekresi antibodi afinitas tinggi. Polisakarida, lemak, dan antigen nonprotein lain merupakan antigen sel T independen karena mereka menginduksi respon antibodi tanpa bantuan sel T. kebanyakan antigen T independen memiliki multipel epitope yang identik yang mampu cross-link banyak reseptor Ig pada sel B, menyediakan sinyal yang menstimulasi respon sel B bahkan dengan ketiadaan aktivasi sel T-penolong. Respon antibodi terhadap antigen T-independen menunjukkan sedikit perpindahan kelas rantai berat dan maturasi afinitas daripada umumnya respon terhadap antigen Tdependen.
Antibodi yang disekresikan membentuk kompleks imun dengan antigen residual dan mematikan aktivasi sel B melalui kontak dengan reseptor inhibisi Fc pada sel B.