Topik : Identifikasi Deduktif: Determinasi Ras dan Jenis Kelamin
1. Determinasi Ras berdasarkan tulang orokraniofasial dan gigi
Pada tahun 1758 Linnaeus mengkategorikan ras menurut kategori taksonomi natural. Linnaeus membedakan ras menjadi Homo sapiens afar dan Homo sapiens europaeus dan menambahkan empat subdivisi geografis manusia: white Europeans, red Americans, yellow Asians, dan black Africans. Walaupun Linnaeus bermaksud membuat klasifikasi yang objektif, ia menggunakan data biologis dan kultural pada deskripsi subdivisinya. Blumenbach (1775) mengkategorikan manusia ke dalam lima "races" yang mirip dengan klasifikasi Linnaeus. Coon (1962), dengan dasar ciri fenotip fisik, membagi ras ke dalam lima kategori yaitu Caucasoid, Mongoloid, Australoid, Negroid, dan Capoid. Walaupun terdapat ahli antropologi yang tidak menyetujui klasifikasi ini, klasifikasi ini tetap dipakai sampai sekarang bahkan oleh orang awam.1
1.1 Determinasi ras berdasarkan tulang orokraniofasial (tengkorak) dan metodenya
Penggunaan tulang sebagai alat bantu determinasi ras asli individu dapat memberikan beberapa kesulitan karena:
Pengkategorian ras yang biasanya digunakan dalam determinasi ras berdasarkan tulang adalah model tiga ras (three-race model) : Caucasian, Mongoloid, dan Negroid. Walaupun dapat dipatikan ada banyak kemiripan di antara masing-masing kelompok ras, tidak semua individu memiliki ciri tulang/skeletal yang secara konsisten sama persis dengan tempat asalnya.
Tidak sedikit individu yang merupakan keturunan ras campuran. Seringkali susunan tulang mencerminkan karakteristik dari dua atau lebih grup ras sehingga tidak benar-benar masuk dalam pengkategorian model tiga ras.
Kebanyakan indikator tulang dinilai melalui metode nonmetrik (tanpa perhitungan) sehingga nilai subjektivitasnya tinggi
Walaupun adanya beberapa kekurangan, determinasi ras masih dianggap sebagai bagian penting dari proses identifikasi individu.
1.1.1 Variasi Morfologi Tengkorak secara Nonmetrik (anthroposcopic/kualitatif/tanpa perhitungan)
Facial Traits (Ciri-ciri fasial)
Kumpulan ilustrasi berikut ini menunjukkan ciri-ciri morfologi klasik yang berkaitan dengan tengkorak pada masing-masing kelompok ras dari berbagai regio geografis. Seluruh ciri ini dapat diobservasi dan dinilai dengan cepat dan tanpa perhitungan. Sebagai suatu kelompok, ciri-ciri ini berfokus pada perbedaan-perbedaan di bagian wajah dan memberikan pandangan luas dari perbedaan yang paling jelas dari masing-masing tipe ras. Tak satu pun dari ciri-ciri ini yang dapat dipastikan berkolerasi sempurna dengan self-reported race atau ras sebagaimana menurut pengamat luar. Akan lebih baik untuk melakukan pendafataran ciri morfologi ditambah dengan pengukuran dan analisis fungsi diskriminan.2
Saat membandingkan tengkorak, mulai dengan mengevaluasi relasi skeletal yang dilihat dari proyeksi rahang terhadap hidung. Mulut dengan proyeksi yang lebih maju/forward disebut prognati; mulut dengan proyeksi normal/non-projecting disebut orthognati. Kemudian bandingan lebar nasal aperture dan nasal sill. Kemudian, bandingan proyeksi zygoma dengan hidung dan mulut. Perhatikan bahwa kelompok Africa dapat dikenali dari bentuk rahangnya yaitu prognati. Kelompok Europeans dapat dibedakan dari penonjolan pada regio hidung. Biasanya regio hidungnya lebih sempit dan lebih terproyeksi dibandingkan Asian dan African. Kelompok Asian dapat dibedakan dari penonjolan pada pipi (zygoma). Letaknya lebih anterior sehingga wajah Asian tampak broader dan flatter. Setiap ciri yang prominent/menonjol akan mempengaruhi bagian wajah lain. Seperti contoh, rahang prognati pada Africans menyebabkan perubahan bentuk nasal sill.2
Palatal Traits
Kumpulan ilustrasi berikut ini menunjukkan ciri morfologi klasik yang berkaitan dengan tengkorak pada masing-masing ras di regio-regio geografis mayor. Sebagaimana dengan ciri wajah (facial traits), ciri-ciri ini juga dapat diobservasi dan dinilai dengan cepat, tanpa perhitungan/pengukuran. Ciri palatal merefleksikan perbedaan-perbedaan ciri wajah. Wajah yang lebih lebar seperti pada Asians mencerminkan a broad dental row with little, if any, overbite sedangkan wajah yang lebih sempit seperti pada orang Europeans mencerminkan parabolic dental row dengan kecenderungan tinggi mengalami dental crowding dan overbite. Sangatlah penting untuk merekam dan mencatat palatal traits, menyambungkan dengan temuan informasi lainnya, dan melakukan pengukutan dan analisis fungsi diskrimnan.2
Sutural Bones
Varias individual juga dapat dilihat dari extra bones dan/atau sutura. Tulang sutura (atau yang juga disebut dengan Wormain bones/ossicles) terbentuk dari pusat osifikasi yang terpisah dan terisolasi di dalam sutura tengkorak. Paling umum ada di sutura lamboid dan juga di area-area dimana satu atau lebih sutura tergabung, seperti pterion dan bregma. Tulang sutua yang besar pada lambda disebut Inca bone. Biasnaya ditemukan pada tengkorak orang Native American bersamaan dengan deformasi posterior kranial (flatenning of the back of the skull ).2
1.1.1 Variasi Morfologi Tengkorak secara Craniometri (metode metrik)
Dengan cara apapun kita mengobservasi, kitacenderung lebih dulu melihat lebih liat gambaran secara keseluruhannya (the grand picture), dibandingkan detailnya. Ketika gambarannya umunya terlihat familiar, kita secara tidak sadar mulai memilah-milah berdasarkan detail yang kita tahu. Namun ketika gambarnnya unfamiliar/ asing di mata, kita tidak akan memulai memilah detailnya. Detail dari wajah-wajah yang kita lihat setiap hari sangat familiar untuk kita sampai-sampai melihat kasat mata saja kita dapat melakukan pengenalan dengan baik, namun detail pada wajah ras yang asing bagi kita akan cenderung terabaikan dengan komentar "they all look the same to me".2
Proses melihat dan menginterpretasi detail membutuhkan waktu dan tenaga. Dengan material skeletela, instrumentasi dapat mencepat proses dan membantu pengamat untuk fokus pada perbedaan-perbedaan signifikan. Pengukuran tepat dapat juga berperan mendukung atau sebaliknya menolak firasat, kecurigaan, atau intuisi perbedaan lainnya.2
Antropometri atau antropometriks adalah istilah luas untuk pengukuran fisik manusia. Dalam tubuh dalam keadaan alive atau still fleshed, pengukuran ini dinamakan somatometrics, dan pengukuran kepala dan wajah dinamakan cephalometrics. Ketika hanya skeleton yang diukur, sebutannya adalah osteometrics, dan, apabila hanya tengkorak diukur, diberi nama craniometrics.2
General osteometrics paling sering digunakan untuk mengukur sexual dimorphism dan estimasi perawakannya. Beberapa pengukuran seperti anterior curvature of the femur telah digunakan untuk determinasi ras. Craniometrics digunakan untuk determinasi jenis kelamin, dan pengukuran ini dinilai lebih efektif daripada jenis pengukuran lainnya untuk estimasi racial affinity. Hal ini mungkin karena morfologi wajah merupakan kriteria skeletally-based utama yang digunakan untuk mengenali dan mengkategorisasi kelompok-kelompok ras.2
Craniometric point atau landmark
Merupakan titik-titik yang telah diatur dan terdefinisi pada tengkotak. Beberapa merupakan single point, yang lainnya merupakan bilaterally paired points. Berikut adalah nama dan singkatan dari FORDISC 2.0 dan 3.0 (Ousley & Jantz, 1996 dan 2005).
Pengukuran yang dilakukan dapat berupa orbital meaurements, frankfur plane, palatal measurements, chord measurements, mandibular measurenment.
1.1.2. Variasi Metrik Morfologi Tengkorak
Seseorang dengan kepala yang panjang dan narrow memiliki rupa yang terlihat cukup berbeda dari orang dengan kepala yang lebar dan bulat, dan dalam satu populasi biasanya cenderung memiliki bentuk kepala yang serupa. Untuk alasan ini, banyak ahli melakukan penelitian hubungan ukuran kepala dengan ras, jenis kelamin, intelejensi, dan evolusi.2,3
Cephalic index
Pendekatan statistik dimulai pada abad 19. Seorang antropologis perancis, Paul Topinard, merekomendasikan penggunaan cephalic index – suatu pengukutan kranium – untuk mendeskripsikan general shape sebuah tengkorak dan general appearance wajah seseorang ketika masih hidup.
Cranial Index Formula: panjang kranium maksimum x 100
Dolichocranic (long, narrow head) 74.99
Mesocranic (average head) 75.00-79.99
Brachycranic (broad, round head) 80.00-84.00
Hyperbrachycranic (very broad, round head) 85.00
Early Discriminant Fuction Anaylisis
Pada abad 20, pendekatan statistik yang lebih kompleks ditemukan. Pada tahun 1950 dan 1960, analisis fungsi diskriminan mulai populer dipakai. Ini merupakan metode statistik untuk membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Analisis diskriminan dimulai dengan mengumpulkan macam-macam variabel, memilih prediktor terbaik untuk kelompok tertentu, dan menentukan bobot variabel sesuai tingkat importance-nya. Pada analisis skeletal, variabelnya adalah kumpulan dari well-defined measurements. Analisis fungsi diskrimanan telah digunakan untuk evaluasi kranium, mandibula, dan tulang panjang. Studi perintis paling terkenal dalah penelitian Eugene Giles dan Orville Elliot. Mereka membandingkan pengukuran kranial dengan ras (1962) dan jenis kelamin (1963) dan menekankan pekerjaan mereka untuk aplikasi forensik. Analisis fungsi diskrimanan tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga mengukur reliabilitas dari jawaban tersebut. Keduanya penting dalam pekerjaan forensik
FORDISC
Ditemukannya dan berkembangnya komputer yang mudah diakses telah merevolusi analisis skeletal bersama dengan hal lainnya. Analisis berbasis komputer ini memberikan fleksibilitas lebih dan ketepatan yang lebih tinggi juga. Database tersedia untuk kelompok-kelompok ilmuwan yang lebih luas dan dapat secara reguler diperbanyak. Programnya dimodifikasi dan diupdate untuk mencerminkan penelitian yang sedang berlangsung dan prosedur statistik yang lebih baik. Bila digunakan sesuai petunjuk dan rekomendasi author, analisis komputer ini jauh lebih efektif daripada formula-formula di masa lalu.analisis skeletal telah berkembang menjadi lebih kompleks, tapi lebih efektif.
FORDISC adalah program perangkat lunak berbasis Windows dirancang oleh Stephen Ousley dan Richard Jantz (1995, 1996, 2005). Ini telah menjadi alat standard untuk estimasi sex dan race. Metodenya lebih efektif dari metode sebelumnya karena analisis nya bersifat multivariatif ,dan populasi sampelnya beragam dan dinamis. FORDISC menggunakan analisis fungsi diskriminan yang dikembangkan dari large database berisi pengukuran skeletal. Sebagian besar sampelnya berasal dari Forensic Data Bank di univesitas Tennessee, namunn institusi lain dan banyak juga secara individual memberikan kontribusi. Programnya interaktif dan user friendly. Pengukuran-pengukurannya dideskripsikan dan diilustrasikan memalui menu file Help.
1.2 Determinasi ras berdasarkan gigi dan metodenya1,4
Mongoloid
Perbedaan ras lebih terlihat pada gigi permanen dibandingkan gigi sulung. Ciri pembeda yang paling jelas gigi geligi Mongoloid terletak pada permukaan lingual gigi insisif pada fusi dari lateral atau marginal ridge, sehingga membentuk a raised cingulum dan membentuk deep lingual fossa. Ridge semakin menghilang ke arah insisal sehingga memberi bentuk sekop (shovel/scoop). Kondisi ini ditemukan pada sekitar 90% Mongoloids termasuk Eskimos dan American Indians.
Terkadang juga ditemukan groove pada permukaan lingual di margin servikal sampai ke permukaan akar ,dan proyeksi cingulum "screw like / finger like" terhadap ke margin insisal.
Sering juga ditemukan, bagian menonjol/prominent pada lingual marginal ridges yang memberi bentuk shovel-shaped incisors meluas ke permukaan labial. Hal ini menyebabkan mesiodistal concavity dari permukaan labial dan ini disebut sebagai double-shovel-shaped incisor.
Bailit pada tahun 1975 menunjukan bahwa populasi keturunan Asia memilki large upper lateral incisors bila dibandingkan dengan central incisors. Hal ini dapat dilihat dari penelitian menunjukkan 19% pria Jepang memiliki gigi insisif sentral lebih besar dari insisif lateral, sedangkan ras American Whites dan Norwegian Lapps sebesar 33% dan 24% secara berurutan. Sebuah studi oleh Yaccub dan Talib (1993) menemukan pada remaja&dewasa muda Malay, hanya 17% pria yang mesiodistal gigi insisif sentralnya lebih besar dari lateral, dan 13% untuk wanita.
Dengan demikian, gigi insisif ras Mongoloid shows greater curvature dibangingkan Caucasoid. Gigi kaninus merupakan gigi yang paling affected. Premolar Mongoloids mungkin menunjukkan tubercle, biasanya pada buccal cusp, scientifically disebut sebagai Dens evaginatus. Singaporean Chinese memiliki bilateral five cusps pada gigi molar tiga atas dan 43% pada molar kedua. Sedangkan pada gigi molar bawah, distal cusp biasanya terletak lebih lingual dibanding caucasoid.
Ukuran dan panjang akar berkurang ke arah posterior dan terkadang dengan akar distolingual tambahan pada gigi molar satu bawah dan molar tiga. Ini juga ditemukan pada gigi molar dua sulung. Pada sebuah studi menggunakan gigi molar mandibular Singapore Chinese yang telah diekstraksi, 7.9% gigi molar satu yang diekstraksi memiliki akar distolingual, dan 3,7% terdapat pada gigi molar tiga. Tidak ada ditemukan pada gigi molar dua. Pada studi yang lebih dahulu dilakukan tahun 1971 pada Keewatin Eskimo, angka persentasi akar distolingual pada gigi molar satu lebih tinggi lagi yaitu 19%.
Kebanyakan Mongoloid menunjukan anatomi akar lebih pendek, but the root trunks are better developed. Taurodontism yang disebabkan oleh increased growth of rooth trunk juga biasa ditemukan pada kaum Mongoloid. Sering juga ditemukan perluasan enamel sampai ke bifurkasi akar. Lebih sering ditemukan pada gigi molar mandibula dibandingkan dengan molar maksila dan lebih sering juga pada permukaan bukal. Pada kasus kaum HongKong Chinese, 79% gigi molar pertama yang terektraksi menunjukkan perluasan enamel ke bifurkasi akar. Keberadaan enamel pearls, yang merupakan tonjolan di bagian akar gigi, tergolong rendah.
Cusp of carabelli tidak biasa ditemukan pada kaum mongoloid. Jikapun ada, it is usually a reduced form. Secara umum, ras Mongoloid memiliki lengkung rahang eliptical, terutama pada rahang bawah dengan gigi inisif dan kaninus yang besar, small premolars, dan molar yang besar dibelakang mereka.
Caucasoid
Kaum caucasoid biasanya mempunyai rahang berbentuk "v" yang sempit sehingga seringkali menyebabkan crowding. Gigi anteriornya digambarkan sebagai chisel-shaped memiliki permukaan lingual yang smaller dan smoother. Pada 37 % kaum Caucasoid, ditemukan cusp of carrabeli dan merupakan salah satu ciri yang dianggap menonjol dan paling jelas terlihat. Cusp ini ditemukan pada mesiopalatal cusp gigi molar satu maksila permanen dan molar dua maksila sulung. Terkadang, cusp of carrabeli dapat bervariasi bisa berbentuk pit, furrows, ataupun slight protuberance.
Gigi molar dua umumnya memiliki 4 cusp dan bukan 5, pada beberapa tipe ras. Ciri ini ditemukan pada 94% Anglo-saxons yang diteliti oleh Lavelle.
Beberapa orang-orang central europeans memiliki wide-based prominent cingulum pada permukaan lingual gigi insisifnya dibandingkan rolled smooth continuum yang biasa ditemukan pada Europeans. Gigi yang demikian biasanya adalah gigi insisif lateral maksila, dan bentuk reduced lateral incisors biasanya peg-shaped. Shovel-shaped incisor terlihat diantara 30-36% populasi Danish dan Swedish, 46% Palestine Arabs, dan 51% Indians. Menurut Lunt, gigi insisif lateral maksila Europeans lebih cenderung berbentuk shovel-shaped.
Australoid
Ukuran rahang Australoids biasanya besar, dan juga diikuti dengan gigi yang ukurannya besar. Gigi molarnya memiliki ukuran paling besar dari ras-ras lainnya (biasa disebut megadont). Diameter mesiodistal gigi molar satu ras Australoid 10% lebih panjang dari Norwegian Lapps dan White Americans. Keberadaan premolar yang besar juga ditemukan, tapi gigi anteriornya relatif kecil jika dibandingkan dengan gigi lainnya. Severe attrition merupakan hal yang umum ditemukan pada ras ini merujuk pada edge-to-edge bite dan typical spatulate anterior teeth. Ciri lain yang sering ditemukan adalah mesial drift. Shovel-shaped incisors dan cusp of carabelli jarang ditemukan. Menurut Campbell, mungkin ditemukan adanya enamel pearls pada akar dan gigi molar tiga mungkin missing.
Negroid
Gigi ras Negroid kecil dengan spacing, terutama pada midline diastema. Terdapat kecenderungan yang tinggi adanya gigi supernumerari. Gigi premolar mandibular memiliki dua cusp berbeda, bahkan kadang tiga. Biasanya tidak ditemukan shovel-shaped incisor ataupun cusp of carabelli. Molar tiga selalu ada dan jarang sekali impaksi. Maloklusi kelas 3 dan open-bite lebih umum pada Negroid. Bimaxillary protusion dan kedua tulang alveolar maksila dan mandibula protusi dengan incisor slanted labial. Mongoloid dan non-Anglo Caucasoids mungkin menunjukkan ciri tersebut, namun lebih sering pada populasi kulit hitam. 20% kaum kulit hitam tidak memiliki ciri ini karena racial breeding (ras tidak murni).
Determinasi jenis kelamin berdasarkan tulang orokranifasial dan gigi
Forensik odontology memegang peranan penting dalam penentuan jenis kelamin korban bencana masal. Jenis kelamin daoat ditentukan berdasarkan morfologi tulang tengkorak dan mandibula, jaringan lunak, dan fitur metrik seperti analisis DNA pada gigi.
Metode identifikasi jenis kelamin melalui tengkorak dan gigi
Rai et al.(2013)
Menentukan Jenis Kelamin dari Morfologi dan Dimensi Kraniofasial
Penentuan jenis kelamin melalui morfologi tulang tengkorang dan mandibula adalah cara yang umum dilakukan(Sweet 2001). William dan Rogers(2006) mendapatkan hasil yang sukses hingga 96% dalam menentukan jenis kelamin melalui tulang tengkorak dan mandibula. Mereka juga mengobservasi 6 ciri lainnya yaitu mastoid, supraorbital ridge, ukuran dan bentuk tengkorak, zygomatic extension, nasal aperture, dan sudut gonial mandibula. Akurasi dari metode-metode ini sebesar 94%.
Mandibula adalah tulang fasial paling besat dank keras sehingga bentuknya lebih konstan disbanding tulan lain. Kontur batas bawah mandibula:Rocker shaped dominan pada laki laki(68.1%), pada perempuan biasanya lurus(84.6%)
Rai et al.(2007) mengungkapkan lima kriteria BR untuk determinasi jenis kelamin melalui mandibula yaitu: jarak interkaninus, jarak interkondilar, diameter mesiodistal dari kaninus mandibula, dan jarak foramen mental ke lingual(menutupi foramen alveolar inferior). Berikut adalah metode identifikasi jenis kelamin menurut Krogman dan Iscan(1986) melalui 14 karakteristik tulang tengkorak:
BR Equation untuk Determinasi Jenis Kelamin
Gigi yang digunakan untuk determinasi sex biasanya diukur jarak mesiodistal dan bukallingualnya. Jenis kelamin dapat ditentukan secara akurat dari kaninus maksila dan mandibula dan M2 mandibula pada 77% kasus(Iscan dan Kedici 2003). Kaninus mandibula dianggap memiliki sexual dimorphism yang paling tinggi(ukuran MDnya). Berikut adalah rumus untuk menentukan jenis kelamin dari gigi. BR formula:
Untuk laki laki biasanya > 16.932 dan untuk perempuan < 16.392.
Determinasi jenis kelamin melalui dimorfisme kaninus
Anderson dan Thompson(1973) mengobservasi lebar kaninus mandibula dan jarak intercaninus lebih besar pada laki-laki(74.3% keberhasilan dalam determinasi jenis kelamin). Rao et al(1988) menyatakan bahwa lebar MD kaninus laki laki lebih besar secara signifikan daripada pada perempuan. Rai et al(2006) menyatakan bahwa jarak MD dan BL kaninus mandibula lebih besar secara signifikan daripada pada perempuan.
Dental Index
Aitchison membuat formula Incisor index(Ii)
MDI 2 adalah diameter maksimal i2 RA. MDI1 adalah diameter maksimal i1.
Mandibular Canine Index yang dibuat oleh Rao et al(1988).
Odontometric Difference
Perbedaan odontometrik antara laki laki dan perempuan terjadi sebagai hasil ekspresi gen yang lebih banyak pada laki laki(Rai et al. 206).
Determinasi jenis kelamin melalui Barr Bodies
Ada atau tidaknya kromosom X bisa didapatkan dari buccal smear, biopsi kulit, darah, kartilage, helai rambut, dan pulpa gigi. setelah seseorang meninggal, informasi ini bisa tetap didapatkan tergantung kelembaban dan suhu dimana jaringan itu berada. Kromatin X dan struktur intranuklear diketahui sebagai Barr Body. (Barr et al. 1950).
Barr body(dari saliva perempuan)
Barr body tampak sebagai massa yang biasanya ada di membran nuklear perempuan. Empat minggu pasca kematian, masih dapat dideterminasi jenis kelaminnya(selama suhu dan kelembaban baik). Dilaporkan, determinasi jenis kelamin melakui jaringan pulpa nekrotik yang diberi stain quinacrine mustard, dan menggunakan tes fluorescent kromosom Y di minggu ke-5 pasca kematian, determinasi jenis kelamin dapat dilakukan dengan akurasi yang tinggi.(Whitaker et al. 1975).
Determinasi jenis kelamin melalui DNA
Prosedur menggunakan Chelex 100, chelating resindapat digunakan untuk mengekstrak DNA dari pulpa. Teknik ini relatif simpel dan cepat, tidak menggunakan pelarut organikm dan tidak membutuhkan transfer ke banyak tube. Ekstraksi DNA dari pulpa lebih efektif daripada menggunakan proteinase K dan phenol-chloroform. Determinasi jenis kelamin dari darah dan gigi melalui amplifikasi PCR terhadap X-(131 bp) dan Y-(172 bp) yag merupakan spesific sequences pada laki laki dan Y-spesific sequences pada perempuan.
Determinasi jenis kelamin melalui protein enamel
Amelogenin atau AMEL, adalah protein matriks mayor yang ada di enamel manusia. Amelogenin memiliki ukuran dan pola susunan nukleotida yang berbeda pada laki laki dan perempuan. Gene AMEL pada perempuan ada di kromosom X, sedangkan pada laki laki ada di kromosom Y. perempuan memiliki 2 gen/alel AMEL yang identik, sedangkan laki-laki memiliki 2 gen AMEL yang berbeda. Teknik ini dapat digunakan menggunakan sampel DNA yang sangat sedikit.
Menurut Lukman D(2006)
Menurut Cotton (1982), pria dan wanita dapat dibedakan melalui beberapa ciri berikut1:
Gigi Geligi
Wanita
Pria
Outline bentuk gigi
Relatif lebih kecil
Relatif lebih besar
Lapisan email dan dentin
Relatif lebih tipis
Relatif lebih tebal
Bentuk lengkung gigi
Cenderung oval
Tapered
Ukuran cervico incisal mesio distal caninus bawah
Lebih kecil
Lebih besar
Outline incisive pertama atas
Lebih bulat
Lebih persegi
Lengkung gigi
Relatif lebih kecil
Relatif lebih besar
Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Tulang Rahang
Selain melalui pemeriksaan internal dan eksternal, determinasi jenis kelamin ini juga dapat dilakukan melalui tulang-tulang yang tersisa. Salah satu tulang yang dapat membedakan jenis kelamin dan masuk dalam ranah dokter gigi adalah tulang rahang.1
Identifikasi jenis kelamin melalui lengkung rahang atas.1
Lengkung rahang atas pria lebih besar dari wanita. Hal ini dikarenakan gigi geligi pria relatif memiliki jarak mesio distal yang lebih panjang dibandingkan dengan wanita. Selain itu, dapat pula dibedakan melalui bentuk palatum korban. Bentuk palatum pada wanita lebih kecil dan berbentuk parabola. Sedangkan pada pria, palatum lebih luas dan berbentuk huruf U.
Gambar 1. a) Lengkung rahang atas pria; b) Lengkung rahang atas wanita1
Identifikasi jenis kelamin melalui lengkung rahang bawah1
Lengkung rahang bawah pada pria lebih besar dari wanita karena jarak mesio-distal pada wanita juga memiliki jarak yang lebih kecil dari pria.
Gambar 2. a) Lengkung rahang bawah pria; b) Lengkung rahang bawah wanita1
Identifikasi jenis kelamin melalui tulang rahang1
Identifikasi jenis kelamin melalui tulang rahang dapat dilihat melalui sudut pandang pada setiap regio. Selain itu juga dapat dilihat melalui besar rahang pria dan wanita yang tentunya berbeda. Oleh karena itu, ciri-ciri ini dapat digunakan sebagai sarana identifikasi jenis kelamin melalui tulang rahang bawah.
Identifikasi jenis kelamin melalui sudut gonion
Sudut gonion pada pria lebih kecil dibandingkan dengan sudut gonion pada wanita.
Gambar 3. a) Sudut gonion pada pria; b) Sudut gonion pada wanita1
Identifikasi jenis kelamin melalui tinggi Ramus Ascendens
Pada pria, ramus ascendensnya lebih tinggi dan lebih besar daripada wanita, seperti terlihat pada gambar.
Gambar 4. a) Tinggi ramus ascendens pada pria; b) Tinggi ramus ascendens pada wanita1
Identifikasi jenis kelamin melalui Inter Processus
Pada pria, jarak interprocessus, atau jarak antara processus condyloideus dan processus coronoideus lebih besar atau lebih panjang jika dibandingkan dengan wanita.
Gambar 5. a) Jarak inter processus pada pria; b) Jarak inter processus pada wanita1
Identifikasi jenis kelamin melalui lebar ramus ascendens
Identifikasi jenis kelamin melalui lebar ramus ascendens dapat dilakukan dengan mengukur lebar ramus ascendens. Pada pria, jarak ramus ascendens lebih lebar daripada wanita.
Gambar 6. a) Lebar ramus ascendens pada pria; b) Lebar ramus ascendens pada wanita1
Identifikasi jenis kelamin melalui tulang menton (dagu)
Tulang menton atau dagu pada pria terletak lebih ke anterior dan berukuran lebih besar daripada tulang menton wanita.
Gambar 7. a) Tulang menton pria; b) Tulang menton wanita1
Identifikasi jenis kelamin melalui Pars Basalis Mandibula
Pars Basalis Mandibula pada pria lebih panjang daripada Pars Basalis Mandibula wanita dalam bidang horizontal.
Gambar 8. a) Pars Basalis Mandibula pada pria; b) Pars Basalis Mandibula pada wanita1
Identifikasi jenis kelamin melalui Processus Coronoideus
Pada pria, processus coronoideus lebih tinggi daripada wanita dalam bidang vertikal.
Gambar 9. a) Tinggi processus coronoideus pada pria; b) Tinggi processus coronoideus pada wanita1
Identifikasi jenis kelamin melalui tebal tulang menton
Pada pria, dalam ukuran pabio, tulang menton pria lebih tebal jika dibandingkan dengan wanita. Hal ini mungkin disebabkan oleh masa pertumbuhan dan perkembangan rahang pria yang lebih lama jika dibandingkan dengan wanita. Tetapi, ukuran tebal tulang menton ini sangat relatif karena dapat dipengaruhi oleh ras dan sub ras. Untuk itu, ketebalan tulang menton ini hanya dapat dibandingkan pada sesama etnik saja.
Identifikasi jenis kelamin melalui lebar dan tebal Processus Condyloideus
Bentuk processus condyloideus bermacam-macam baik pada pria maupun wanita. Tetapi, secara umum, lebar dan tebal Processus Condyloideus antara pria dan wanita berbeda. Processus condyloideus pada pria memiliki diameter yang lebih besar daripada wanita. Hal ini dapat dikarenakan ukuran anteropeosterior dan lateromedial yang lebih besar jika dibandingkan dengan wanita.
Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Antropologi Ragawi
Identifikasi jenis kelamin melalui antropologi ragawi akan mendapat hasil yang sangat akurat jika mayat korban telah menjadi tengkorak atau sudah tidak ada jaringan ikat yang tersisa. Hal ini dapat ditemukan pada korban yang telah meninggal sangat lama (bertahun-tahun) atau pada identifikasi bongkar kubur.1 Sedangkan identifikasi jenis kelamin melalui gigi geligi bisa dilakukan pada berbagai kondisi mayat, misalnya pasca terbakar, mayat yang masi terdapat jaringan ikat, dan pada kaku mayat dan kaku rahang yang tentunya perlu dilakukan pembukaan rahang terlebih dulu.
Menurut Schwartz (1980), identifikasi jenis kelamin melalui antropologi ragawi dapat dilakukan melalui hal-hal berikut1:
Tulang Facial dan Tulang Tengkorak
Pria
Wanita
Ukuran keseluruhan
Lebih besar
Lebih kecil
Supra orbital ridge
Agak rata
Menonjol hingga sedang
Proc. Mostoideus
Sedang dan sedikit besar
Kecil ke sedang
Regio dan foramen occipitalis
Kasar dan sedikit besar
Lebih halus dan kecil
Eminentia frontalis
Lebih kecil
Lebih besar
Eminentia parietalis
Lebih kecil
Lebih besar
Tulang Orbita
Segiempat dengan tepi bulat
Bundar dengan tepi tajam
Tulang ubun-ubun
Landai, sedikit lebih bulat
Bentuk vertikal
Tulang pipi
Tebal, lengkung ke lateral
Halus, lebih cekung
Tabel 1. Indikator Perbedaan Antropologi Ragawi untuk Identifikasi Jenis Kelamin1
Keterangan gambar: lingkaran ungu menunjukkan Foramen occipitalis pada inferior tulang tengkorak
Gambar 10. a) Foramen occipitalis magnum pria, foramen lebih besar, pinggiran tulang lebih kasar dan lebih tebal jika diraba dengan menggunakan jari; b) Foramen occipitalis magnum wanita, foramen lebih kecil, pinggiran tulang lebih halus dan lebih tipis jika diraba dengan menggunakan jari.
Contoh Kasus
Daftar Referensi
1. Rawlani S, Rwalani S, Bhowate R, Chandak R. Racial Characteristics of Human Teeth. Int J Forensic Odontol. 2017;2(1):38–42.
2. Burns KR. Forensic Anthropology Training Manual. New Jersey: Pearson; 2013.
3. Blumenfeld J. Racial Identification in the Skull and Teeth. Totem Univ West Ontario J Anthropol. 2011;8(1).
4. Senn DR, Weems RA. Manual of Forensic Odontology. 5th ed. Boca Raton: Taylor & Francis Group; 2013.
5. Kaur J, Rai B. Evidence-Based Forensic Dentisty. Berlin: Springer; 2013.
6. Byard R, Payne-James J. Encyclopedia of Forensic and Legal Medicine. 2nd ed. Academic Press; 2015.