DIPLOMATIK
A. Pengertian Diplomasi
Kita sering mendengar istilah diplomasi di berbagai media cetak dan internet. Bagi kalangan akademisi , pengamat, serta praktisi hubungan internasional ataupun politik luar negeri, istilah ini menjadi makanan sehari-hari. Namun bagi khalayak umum, akan muncul sebuah pertanyaan apa sebenarnya definisi diplomasi dan bagaimana sejarah diplomasi. Tulisan singkat ini hendak menjawab kedua pertanyaan tersebut. Diplomasi berasal dari kata Yunani “diploma”, yang secara harfiah berarti „dilipat dua‟. Menurut tradisi Yunani kuno, „diploma‟ merupakan sertifikat kelulusan dari suatu program studi, biasanya dilipat dua. Pada era Imperium Romawi, kata “diploma” digunakan untuk mnggambarkan dokumen resmi perjalanan, seperti paspor dan izin perjalanan di wilayah kerajaan, yang distempel pada dua lempengan logam. Seiring dengan perjalanan waktu, arti dari „diplomasi‟ semakin berkembang lebar. Diplomasi dilekatkan dengan dokumen resmi seperti perjanjian dengan suku bangsa asing. Pada tahun 1700an Perancis menyebut lembaga dimana para pejabat perwakilan bertugas dengan nama korps “diplomatique”. Pada era yang sama pula kata “diplomasi” pertama kali diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris oleh Edmund Burke tepatnya tahun 1796, yang diserap dari bahasa Perancis “diplomatie”. Praktek diplomasi dapat meliputi keseluruhan proses hubungan luar negeri dan formasi kebijakan. Disebutkan bahwa diplomasi juga diartikan alat atau mekanisme kebijakan luar negeri yang dijadikan sebagai tujuan akhir, juga diartikan sebagai teknik-teknik operasional yang akan dilakukan oleh sebuah negara untuk memperjuangkan kepentingannya kepentingannya melalui hukum. Secara sederhana, diplomasi dapat didefinisikan sebagai seni dan praktik negosiasi antara wakil-wakil dari negara atau sekelompok negara. Istilah ini biasanya merujuk pada diplomasi internasional, dimana hubungan internasional melalui perantasra diplomat profesional t erkait isuisu perdamaian, perdagangan, perang, ekonomi dan budaya. Begitu pula perjanjian internasional yang biasanya dinegosiasikan oleh para diplomat sebelum disetujui oleh politisi nasional dalam negeri.
Encarta Microsoft Student 2008 mendefinisikan kata diplomasi sebagai managemen komunikasi dan hubungan antar bangsa oleh anggota dan segenap aparatur pemerintahan yang terlibat (the management of communication and relationships between nations by members and employees of each nation‟s government). Tidak jauh berbeda dengan Advanced Oxford Dictionary 2003 yang mengartikan kata „diplomacy‟ sebagai aktifitas mengelola hubungan antar Negara berbeda (the activity of managing relations between different countries). Meski secara tehnis kamus terkenal tersebut menambahkan bahwa diplomasi merupakan ketrampilan untuk berurusan dengan orang lain dalam situasi sulit tanpa cara menyakiti maupun offensive (skill in dealing with people in difficult situations without upsetting or offending them). Lebih jauh lagi, dari sudut pandang social informal, diplomasi dapat dikatakan sebagai tenaga kerja dari kebijaksanaan strategis agar memperoleh keuntungan atau untuk saling menemukan solusi dari sebuah permasalahan yang sedang dihadapi sehingga dapat diterima oleh dua atau banyak pihak. Dan hal ini dilakukan dengan cara halus, sopan, serta tanpa sikap konfrontatif. Berdasarkan Bester‟s New World Dictionary of the American Language (1996) diplomasi adalah: 1.
Hubungan relasi antar bangsa, dalam membuat keputusan,
2.
Keahlian dalam melakukannya,
3.
Keahlian dealing with people.
Berikut adalah definisi diplomasi menurut beberapa ahli: 1. Ellis Briggs Diplomasi adalah sebuah kegiatan urusan official dengan cara mengirim seseorang untuk mewakili pemerintahan. Tujuan diplomasi adalah untuk menciptakan persetujuan dalam kacamata kebijakan (1968, p.202). 2. Geoffrey McDermott Diplomasi adalah pertimbangan dalam manajemen hubungan internasional. Masingmasing Negara, seberapapun kaliber dan ukurannya, selalu ingin memelihara/ mengembangkan posisinya dalam kancah internasional. Begitulah adanya, kendati faktanya, akan lebih baik jika lebih sedikit negara nationally minded di dunia ini. (1973, p.39).
3. Honore de Balzac Diplomasi yaitu ilmu pengetahuan bagi mereka yang tidak berkuasa… suatu ilmu pengetahuan menyenangkan yang selalu demi memenuhi dirinya sendiri; suatu ilmu pengetahuan yang mengijinkan praktisinya untuk tidak mengatakan apapun dan berlindung di belakang anggukan kepala misterius; suatu ilmu pengetahuan yang mengatakan bahwa eksponen yang paling berhasil, pada akhirnya, adalah mereka yang mampu berenang bersama kepalanya di atas arus kejadian-kejadian yang pura-pura ia lakukan. Dalam arti luas, diplomasi meliputi seluruh kegiatan politik luar negeri suatu negara dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa yang mencangkup beberapa hal yakni :
Menentukan dan mempergunakan semua daya atau kemampuan manusia untuk mencapai tujuan.
Menyesuaikan kepentingan bangsa lain dengan kepentingan nasional, sesuai dengan kemampuan dan tenaga yang ada.
Menentukan apakah tujuan nasional sejalan dengan kepentingan bangsa atau negara lain
Mempergunakan sarana dan kesempatan dengan sebaik-baiknya (Litbang Deplu, 1988:33-35)
Dasar dari diplomasi adalah komunikasi yaitu pemikiran dan ide-ide yang berasal dari berbagai negara. Tujuan utama suatu negara mengadakan hubungan diplomasi adalah untuk mendapatkan keuntungan yang lebih dari negara lain, menjaga hubungan dengan negara lain, dan menjaga keserasian antar negara. Dalam diplomasi tingkat tinggi, dilakukan pertahapan yang biasanya dilakukan oleh aktor negara yang diwakili oleh para kepala negara yang dilakukan secara langsung dalam sebuah forum diskusi dengan aktivitas berupa penukaran ide/gagasan. Namun seiring dengan kompleksitas masalah yang dihadapi dalam perkembanganya maka secara umum hubungan diplomatik saat ini dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui tahapan yakni pengiriman utusan berupa duta ataupun perwakilan-perwakilan yang dikirim oleh negaranya.
Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan: 1. Unsur pokok diplomasi adalah negosiasi. 2. Negosiasi dilakukan untuk mengedepankan kepentingan negara. 3. Tindakan-tindakan diambil untuk menjaga dan memajukan kepentingan nasional sejauh mungkin bisa dilaksanakan dengan sarana damai. 4. Teknik diplomasi sering dipakai untuk menyiapkan perang dan bukan untuk menghasilkan perdamaian. 5. Diplomasi dihubungkan erat dengan tujua politik luar negeri. 6. Diplomasi modern dihubungkan erat dengan system negara. 7. Diplomasi tak bisa dipisahkan dari perwakilan negara.
B. Bentuk – Bentuk Diplomasi
Diplomasi terbagi menjadi dua bentuk, yaitu Diplomasi Bilateral dan Diplomasi Multilateral. Diplomasi Bilateral adalah diplomasi yang dilakukan oleh dua Negara saja. Dan diplomasi Multilateral adalah diplomasi yang dilakukan oleh lebih dari dua Negara.
Diplomasi bilateral terkenal sebagai bentuk diplomasi yang paling tua karena memang sejak jaman kerajaan kuno bentuk diplomasi bilateral ini memang sudah sering digunakan karena biasanya kerajaan-kerajaan zaman kuno sangat menutup akan kepercayaan dari sebuah kerajaan lain jadi biasanya hanya satu atau dua kerajaan yang benar-benar dipercaya sebagai teman kerajaan.
Dan inilah yang membuat diplomasi bilateral digunakan sebagai pendekatan kerjasama antar kerajaan dengan menaruh diplomatnya atau perwakilan kerajaan di kerajaan lain. Begitu juga sekarang seperti yang banyak kita lihat, terdapat kantor-kantor diplomat di Negara kita yang merupakan perwakilan dari Negara-negara lain.
Begitu juga dengan diplomasi multilateral, bedanya diplomasi multilateral ini kurang banyak digunakan pada jaman kerajaan-kerajaan kuno tapi banyak sekali digunakan pada zaman sekarang.
Hal ini karena perbedaan secara mendasar yang saat ini banyak Negara-negara yang ingin sekali menjalin hubungan antar Negara melalui sebuah bentuk kerjasama secara kolektif karena semakin banyak anggota dari sebuah Negara yang ikut kedalam kerjasama, maka akan terjamin pula keamanan dan kedamaian serta mempermudah Negara-negara yang menjadi anggota untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya.
Dalam buku Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia Karya Bantarto (1994 : 45) Ada beberapa bentuk diplomasi, empat diantaranya ialah:
1. Diplomasi Pribadi (personal diplomacy by foreign secretary), diplomasi pribadi biasanya dilakukan oleh seorang menteri luar negeri,
sehigga terkesan mengurangi efektivitas
kerja seorang duta besar. 2. Diplomasi tingkat tinggi (summit diplomacy), diplomasi tingkat tinggi berarti diplomasi yang dilakukan oleh kepala-kepala negara atau kepala-kepala pemerintahan. 3. Diplomasi konferensi (conference diplomacy), diplomasi
konferensi merupakan diplomasi
yang terjadi dalam forum-forum multilateral. 4. Diplomasi
parlementer
(parliamentary diplomacy),
diplomasi
parlementer
merupakan
diplomasi yang dilakukan melalului perlemen-perlemen yang terdapat dalam sebuah pemerintahan.
C. Perkembangan Kodifikasi Hukum Diplomatik
Catatan historis pertama megenai pertukaran duta pemerintahan terorganisir terjadi di millennium ketiga sebelum masehi, yakni peradaban tulisan berbentuk paku Mesopotamia. Diplomasi pernah dimarginalkan dalam kajian HI. Namun anehnya saat itu diplomasi mendapat perhatian dari sebagian kecil ilmuwan politis yang mengkhususkannya di dalam kajian ilmu hubungan internasional. Tentu saja, itu karena diplomasi bersifat “sangat menentang ke theory”.
Dalam pergaulan masyarakat, negara sudah mengenal semacam misi-misi konsuler dan diplomatik dalam arti yang sangat umum seperti yang dikenal sekarang pada abad ke-16 dan ke17, dan penggolongan Kepala Perwakilan Diplomatik telah ditetapkan dalam Kongres Wina 1815 sebagai berikut : 1. Duta-duta besar dan para utusan (ambassadors and legate); 2. Minister plenipoteniary dan envoys extraordinary; 3. Kuasa Usaha (charge d‟ affaires) Dan setelah PBB didirikan pada tahun 1945, dua tahun kemudian telah dibentuk Komisi Hukum Internasional. Setelah tiga puluh tahun (1949-1979), komisi telah menangani 27 topik dan subtopik hukum internasional, 7 diantaranya adakah menyangkut hukum diplomatik, yaitu : 1. Pergaulan dan kekebalan diplomatic; 2. Pergaulan dan kekebalan konsuler. 3. Misi-misi khusus 4. Hubungan antara negara bagian dan organisasi internasional 5. Masalah perlindungan dan tidak diganggu gugatnya pejabat diplomatik dan orang lain yang memperoleh perlindungan khusus menurut hukum internasional. 6. Status kurir diplomatik dan kantong diplomatik yang diikutsertakan pada kurir diplomatik.
Seperti yang kita ketahui, sejarah diplomatik menimbun sangat banyak informasi tentang peristiwa dari jaman dahulu hingga ke depannya dan sejarawan diplomatik pun gagal menempa mata rantai kuat dengan teori IR. Oleh karena itu, kendati diplomasi ” ada” di dalam teori internasional, ia jarang diteliti atau secara ekstensif diselidiki. Kekayaan konseptual literatur mengenai diplomasi sungguh terbatas dan sangat “terceraikan” dari perkembangan teori politik.
Contohnya ketika masa Perang Dingin terjadi, ancaman kekuatan lebih diunggulkan ketimbang diplomasi. Namun beberapa tahun terakhir ini, studi diplomasi akademis nampaknya telah terevitalisasi. Contohnya Institut terkemuka Studi Diplomasi Universitas Georgetown yang menerbitkan The Diplomacy Record per tahunnya dan Pusat Studi Diplomasi di Universitas Leicester, yang menerbitkan Discussion Papers bulanan dan buku berseri, Studies in Diplomacy. Sebagai tambahan, International Studies Association ( ISA) dan British International Studies Association (BISA) mendirikan bagian studi diplomatik di tahun 1990an.
Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang banyak mempunyai dampak
terhadap
perhubungan
antar
negara
dan
perkembangan
anggota
masyarakat
internasional dengan laju pertumbuhan negara-negara yang baru merdeka, maka dirasakan adanya tantangan untuk mengembangkan lagi Hukum Diplomatik secara luas. Pengembangan ini tidak saja ditujukan untuk memperbaharui tetapi juga dalam rangka melengkapi prinsipprinsip dan ketentuan Hukum Diplomatik yang ada. Meningkatnya kerjasama antar negara dalam
menggalang perdamaian dunia demi
kesejahteraan umat manusia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial, maka tugas misi diplomatik dalam pelaksanaannya semakin meningkat pula.
Pengaturan Diplomatik khususnya perkembangan Kodifikasi Hukum Diplomatik memang tidak begitu pesat sebelum didirikannya Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun sejak Konggres Wina 1815 telah menetapkan tingkatan secara umum mengenai penggolongan Kepala-Kepala Perwakilan Diplomatik secara mutakhir. Berdasarkan Protokol Wina 19 Maret 1815 bahwa : "Diplomatic Agent are devided into three class that of ambassadors, legates, or nuncious, that of envoys, ministers or other persons accredited to Ministers of Foreign affairs".
Kemudian penggolongan itu diperkuat lagi dalam Konggres Aix La Cha pella pada tanggal 21 Nopember 1818 di mana telah ditetapkan lagi pangkat lainnya yaitu : "Minister resident" yang merupakan pangkat di antara "Minister" dan "charge d'affaires". Sedang "Legates" dan "Nuncious" sebagaimana ditetapkan dalam Protokol Wina merupakan wakilwakil dari Pope (Paus). Demikian Konggres Wina tersebut pada hakekatnya telah merupakan tonggak sejarah diplomasi modern, karena telah berhasil mengatur dan membuat prinsip-prinsip secara sistimatik termasuk praktek-praktek, cara-cara secara umum di bidang diplomasi. Perkembangan selanjutnya dalam rangka usaha untuk mengadakan kodifikasi terhadap prinsip-prinsip diplomatik, yaitu pada tahun 1927 Liga Bangsa-bangsa telah membentuk Komite Ahli yang bertugas untuk membahas perkembangan Kodifikasi Hukum Diplomatk, di mana telah dilaporkan bahwa dalam subjek hukum diplomatik yang meliputi cabang-cabang dari pergaulan diplomatik antara negara haruslah diatur secara internasional. Kemudian pada tahun 1928 di mana diadakan Konperensi Negara-Negara Amerika yang diadakan di Havana, tidak saja telah menganggap bahwa masalah itu sangat penting, tetapi setelah dengan panjang lebar membahasnya telah menetapkan dua buah Konvensi yaitu : 1. Konvensi mengenai Pejabat Diplomati. 2. Konvensi mengenai Pejabat Konsuler.
Dari kedua konvensi di atas ini telah diratifikasi oleh 12 negara Amerika, di mana Amerika Serikat cenderung untuk tidak meratifikasinya dengan alasan bahwa dicantumkannya ketentuan mengenai pemberian suaka diplomatik dianggap tidak tepat dan dapat menimbulkan keberatan. Namun demikian Konperensi Havana itu kemudian tidak saja dapat merintis tetapi juga lebih dari itu telah berhasil untuk pertama kalinya dalam usaha Kodifikasi Hukum Diplomatik. Pada tahun 1947 setelah berdirinya PBB, dalam Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Organisasi Internasional telah dipikirkan suatu peluang dengan ketentuan Piagam yang akan dirumuskan. Adanya usaha untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum internasional beserta kodifikasinya yang sudah barang tentu termasuk di dalamnya prinsipprinsip Hukum Diplomatik.
Dalam rangka itulah, maka dibentuklah Komisi Hukum Internasional yang bertugas untuk melaksanakan studi-studi yang mendorong perkembangan kemajuan hukum internasional, tetapi juga untuk membuat kodifikasinya, termasuk di dalamnya Hukum Diplomatik. Perkembangan kemajuan hukum internasional diartikan sebagai 'persiapan rancangan Konvensi mengenai masalah-masalah yang belum diatur oleh hukum internasional atau mengenai hukum yang belum berkembang dalam praktek negara-negara. Sedangkan yang diartikan dengan kodifikasi Hukum Internasional adalah 'perumusan yang lebih tepat dan sistimatisasi dari peraturan hukum internasional diberbagai bidang yang sudah secara luas menjadi praktek, teladan dan doktrin negara. Selama 30 tahun (sejak
tahun 1949 sampai dengan tahun 1979) Komisi Hukum
Internasional telah menyelesaikan 27 topik dan sub-topik hukum internasional, di antaranya adalah menyangkut hukum diplomatik : 1. Pergaulan dan kekebalan diplomatik. 2. Pergaulan dan kekebalan konsuler. 3. Misi-misi khusus. 4. Hubungan antara Negara dengan Organisasi Internasional (Bagian I). 5. Masalah perlindungan dan tidak diganggu-gugatnya para anggota diplomatik dan orangorang lainnya yang berhak memperoleh perlindungan khusus menurut hukum internasional. 6. Status kurir diplomatik dan kantong diplomatik yang tidak diikut sertakan pada kurir diplomatik. 7. Hubungan antara Negara dengan Organisasi Internasional (Bagian II).
Dalam persidangannya yang pertama pada tahun 1949, Komisi memilih topik hubungan dan kekebalan diplomatik sebagai salah satu topik yang akan dibicarakan. Dalam persidangan yang kelima, pada tahun 1953, Komisi telah diberitahu tentang Resolusi Majelis Umum No. 685 (VII), 5 Desember 1953, yang di dalamnya Majelis Umum meminta kepada Komisi agar menyetujui kodifikasi hubungan dan kekebalan diplomatik secepat mungkin dan menjadikannya sebagai topik yang mendapat prioritas pertama. Dan dalam persidangan yang keenam, pada tahun 1954, Komisi menunjuk A.E.F. Sandstrom sebagai Special Repporteur. Berdasarkan suatu laporan yang disusun oleh Special Reppoteur, Komisi, pada sidang-sidangnya yang kesembilan yaitu pada tahun 1959, menyiapkan suatu kerangka pasal-pasal yang dilengkapi dengan komentar.
Rancangan atau kerangka tersebut telah disebarkan ke pelbagai pemerintah untuk dikomentari dan juga diikutsertakan dalam laporan yang dikirimkan Komisi kepada Sidang Majelis Umum yang keduabelas dalam tahun 1957. Pada sidangnya kesepuluh tahun 1958, Komisi memperbaharui rancangan tersebut berdasarkan komentar-komentar dan observasi-observasi yang diterima dari berbagai pemerintah dan berdasarkan diskusi rancangan tersebut dalam Komisi keenam, pada tahun 1957. Rancangan akhir ini, oleh Komisi dikirimkan kepada
Majelis Umum pada
persidangannya yang ketigabelas. Komisi menganjurkan agar Majelis Umum menyebarkan rancangan akhir tersebut kepada negara-negara anggota PBB disertai dengan pendapat-pendapat terhadap kesimpulan suatu konvensi. Komisi menunjukkan bahwa rancangan tersebut hanya menyangkut misi diplomatik permanen. Akan tetapi Komisi tersebut juga telah meminta Special Repporteur untuk mempelajari dan meminta pada salah satu sidang mendatang, membuat suatu laporan tentang bentuk hubungan diplomatik, yaitu apa yang dinamakan "diplomacy ad-hoc" yang meliputi interant envoys, konperensi-konperensi diplomatik dan misi-misi khusus yang dikirmkan ke suatu negara untuk maksud-maksud tertentu. Laporan Komisi juga menyangkut hubungan antara negara dengan organisasi-organisasi internasional dan hak-hak istimewa dan kekebalan organisasi-organisasi tersebut. Dalam hal ini, Komisi semata-mata menunjukkan bahwa unsur-unsur ini, diatur oleh konvensi-konvensi
khusus. Selama perdebatan Komisi keenam, pada tahun 1958 tentang
laporan Komisi Hukum Internasional, beberapa wakil menunjukkan keraguannya terhadap apakah layak mengkodifikasikan peraturan-peraturan yang menyangkut hubungan dan kekebalan diplomatik melalui konvensi. Di sini dituturkan bahwa masalah tersebut cukup diatur oleh kebiasaan-kebiasaan dan bahwa peraturan-peraturan yang dicapai dalam suatu konvensi akan melahirkan unsur-unsur kelakuan suatu usaha untuk memperkenalkan pembatasan atau hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang pada masa itu dimiliki oleh anggota-anggota misi diplomatik. Perombakan kebiasaan yang ada dengan alasan di atas lebih disukai terhadap peraturan-peraturan yang dicapai oleh konvensi tersebut. Akan tetapi, mayoritas anggota lebih suka untuk mengkodifikasikan subjek tersebut melalui konvensi, tetapi dengan membaginya menjadi dua kelompok, berdasarkan prosedur yang akan ditempuh. Satu kelompok mengusulkan agar persiapan konvensi hendaknya dipercayakan kepada Komsisi Keenam kelompok yang lain lebih
Dewan Umum, melalui resolusi 1288 (VIII) 5 Desember 1958, menolaknya sampai sidang yang keempat belas, pada tahun 1959, di mana rekomendasi komisi disetujui dan diputuskan, dalam resolusi 1450 (XIV), tanggal 7 Desember 1959, di mana rekomendasi komisi disetujui dan diputuskan, dalam resolusi 1950 (XIV), tanggal 7 Desember 1959 yang diteruskan hingga tahun 1961. Laporan akhir komisi tentang hubungan dan kekebalan diplomatik, yang mengandung empat puluh lima rancangan pasal-pasal, didasarkan kepada konperensi oleh Dewan.
Setahun kemudian melalui resolusi 1504 (XV) 12 Desember 1960, Dewan juga menyusun rancangan pasal-pasal berdasarkan konperensi tersebut berdasarkan misi khusus yang disetujui oleh Komisi pada persidangannya yang keduabelas, sehingga mereka dapat bersama-sama membahas rancangan pasal-pasal atas hubungan diplomatik permanen. Pada tanggal 2 Maret sampai 14 April 1961, Konperensi PBB tentang Hubungan Diplomatik dan Kekebalannya diadakan di Wina. Konperensi ini dihadiri oleh delegasi dari 18 negara, 75 diantaranya adalah anggota-anggota PBB dan enam lagi adalah delegasi dari badanbadan yang berhubungan dengan Mahkamah Internasional. Konperensi mengambil suatu konvensi yang berjudul "Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik", yang terdiri dari lima puluh artikel dan menyangkut hampir semua aspek-aspek yang menyangkut hubungan diplomatik permanen antara berbagai negara. Konperensi itu juga mengambil tema Optional Protocol mengenai Permohonan Kewarganegaraan dan Optional Protocol tentang Compulsory Settlement of Disputes. Final Act pada konperensi 19 itu ditandatangani pada tanggal 18 April 1961, oleh perwakilan dari 75 negara. Protokol Opsional dan Konvensi masih terbuka untuk ditandatangani sampai tanggal 31 Oktober 1961, di Kementrian Luar Negeri Austria dan berikutnya, sampai 31 Maret 1962, di Markas Besar PBB. Konvensi dan kedua Protocol Opsional diberlakukan tanggal 24 April 1964. Pada tanggal 31 Desember 1979, 130 negara mengakui Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, 37 mengakui Protocol Opsional tentang Permohonan kewarganegaraan dan 50 Negara mengakui Protocol Opsional tentang Compulsory Settlement of Diputes.
D. Konvensi-konvensi PBB Mengenai Hukum Diplomatik
1. Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik. Setelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya mengenai ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatic yang telah digariskan secara rinci. Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara. Di samping itu, juga terdapat 2 protokol pilihan mengenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesaikan sengketa yang masing-masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa. Pasal 1-19 Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes); pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi misi-misi diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada para diplomat dan keistimewaan bagi anggota keluarganya serta staf pelayanan yang bekerja pada mereka dan pasal 48-53 berisi tentang berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya Konvensi itu.
2. Konvensi Wina 1963 mengenai hubungan konsuler. Untuk pertama kalinya usaha guna mengadakan kodifikasi peraturan-peraturan tentang lembaga konsul telah dilakukan dalam Konverensi negara-negara Amerika tahun 1928 di Havana, Kuba, di mana dalam tahun itu telah disetujui Convention on Consular Agents. Setelah itu, dirasakan belum ada suatu usaha yang cukup serius untuk mengadakan kodifikasi lebih lanjut tentang peraturan-peraturan tentang hubungan konsuler kecuali setelah Majelis Umum PBB meminta kepada Komisi Hukum Internasional untuk melakukan kodifikasi mengenai masalah tersebut.
3. Konvensi New York 1969 mengenai misi khusus. Konvensi Wina tahun 1961 dan 1963 telah mengutamakan kodifikasi dari hukum kebiasaan yang ada, sementara konvensi ini bertujuan untuk memberi peraturan yang lebih mengatur mengenai misi-misi khusus yang memiliki tujuan terbatas yang berbeda dengan misi diplomatik yang sifatnya permanen.
4. Konvensi New York mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan terhadap orangorang yang menurut hukum internasional termasuk para diplomat. Dalam perkembangannya, hukum diplomatik telah mencatat kemajuan lebih lanjut dengan secara khusus mengharuskan melalui sebuah konvensi, suatu kewajiban penting bagi negara penerima untuk mencegah setiap serangan yang ditujukan pada seseorang, kebebasan dan kehormatan para diplomat serta untuk melindungi gedung perwakilan diplomatik. Dalam tahun 1971, Organisasi Negara-negara Amerika telah menyetujui suatu konvensi tentang masalah tersebut. Dalam sidangnya yang ke-24 dalam tahun 1971, sehubungan dengan meningkatnya kejahatan yang dilakukan kepada misi diplomatik termasuk juga para diplomatnya, Majelis Umum PBB telah meminta Komisi Hukum Internasional untuk mempersiapkan rancangan pasal-pasal mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatankejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang dilindungi secara hukum internasional.
Konvensi mengenai masalah itu akhirnya disetujui oleh Majelis Umum PBB di New York pada tanggal 14 Desember 1973 dengan rseolusi 3166(XXVII). Dalam mukadimahnya, ditekankan akan pentingnya aturan-aturan hukum internasional mengenai tidak boleh diganggu gugatnya dan perlunya proteksi secara khusus bagi orang-orang yang menurut hukum internasional harus dilindungi termasuk kewajiban-kewajiban negara dalam menangani dan mengatasi masalah itu. Konvensi New York 1973 ini terdiri dari 20 pasal dan walaupun hanya beberapa ketentuan tetapi cukup untuk mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan perlindungan dan penghukuman terhadap pelanggaran.
5. Konvensi Wina 1975 mengenai keterwakilan negara dalam hubungannya dengan Organisasi Internasional yang bersifat universal. Pentingnya perumusan konvensi ini sebenarnya didorong dengan adanya situasi dimana pertumbuhan organisasi internasional yang begitu cepatnya baik dalam jum lah maupun lingkup masalah hukumnya yang timbul akibat hubungan negara dengan organisasi internasional. Dalam perkembangannya lebih lanjut, ada permasalahan dalam persidangan tahun 1971 yang mengajukan tiga masalah, yaitu : 1) Dampak yang mungkin terjadi dalam keadaan yang luar biasa seperti tidak adanya pengakuan, tidak adanya putusan, hubungan diplomatik dan konsuler atau adanya pertikaian senjata di antara anggota-anggota organisasi internasional itu sendiri. 2) Perlu dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian sengketa; 3). Delegasi peninjau dari negara-negara ke berbagai badan dan konferensi.
E. Sumber-Sumber Hukum Diplomatik
Membicarakan perihal sumber hukum diplomatik tentunya tidak dapat dipisahkan dari sumber hukum internasional karena hukum diplomatik pada dasarnya adalah bagian dari hukum internasional itu sendiri. Menurut Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, sumber hukum diplomatik meliputi : 1. Konvensi Atau Perjanjian Internasional; Konvensi atau perjanjian internasional dalam arti umum pada hakikatnya melibatkan banyak negara sebagai pihak, oleh karena itu konvensi atau perjanjian secara lazim dikenal memiliki sifat multilateral. Sementara dalam arti khususnya, konvensi dapat terjadi dengan hanya beberapa negara dan apabila hanya antara 2 negara saja, secara umum disebut dengan sifat bilateral. Konvensi atau perjanjian internasional secara umum sudah dapat dikenal dan diterima sebagai sumber hukum internasional. Akan tetapi perlu kita ingat bahwa banyak perjanjian internasional tidak menciptakan suatu peraturan umum dalam hukum internasional, melainkan hanya bersifat pernyataan tentang peraturan-peraturan yang sudah ada. Oleh sebab itu, perjanjian internasional yan dapat dikatakan sebagai sumber hukum internasional bukanlah perjanjian internasional biasa, melainkan dalam jenis khusus yang disebut sebagai perjanjian yang menciptakan hukum (law making treaty). Akan tetapi juga perlu dipahami jika perjanjian yang sifatnya menciptakan hukum tidak dapat dipaksakan atau tidak memiliki sifat mengikat bagi negara-negara yang melakukan penolakan secara khusus atas perjanjian tersebut. Contoh dari perjanjian internasional yang menciptakan hukum: 1) The final Act of the congress of Vienna (1815) on Diplomatic Ranks; 2) Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocols (1961);
Disamping konvensi, ada juga resolusi atau deklarasi yang dikeluarkan terutama sekali oleh Majelis Umum PBB yang dapat menimbulkan permasalahan apakah keduanya dapat dianggap memiliki kewajiban-kewajiban hukum yang mengikat. Berkenaan dengan masalah mengenai resolusi itu, secara tradisional, resolusi dan deklarasi yang tidak memiliki sifat seperti perjanjian haruslah dianggap tidak memiliki kekuatan wajib karena tidak menciptakan hukum, akan tetapi disamping pandangan secara tradisional itu, mulai berkembang adanya teori dari kesepakatan
sampai
pada
konsensus
yang
menjadi
dasar
bagi
negara-negara
akan
keterikatannya dengan kewajiban-kewajiban hukum yang bersangkutan. Meski ada dua pendapat seperti yang telah diajukan di atas, kekuatan mengikat bagi sebuah resolusi memang masih belum jelas batasannya. Persoalan yang ada adalah apabila resolusi itu disetujui oleh mayoritas negara anggota, apakah resolusi itu memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini, resolusi yang dihasilkan dengan jalan biasa tidak akan menjadikan, merumuskan atau mengubah resolusi itu menjadi hukum internasional. Akan tetapi, resolusi baru benar-benar dikatakan memiliki kekuatan mengikat apabila resolusi itu memperoleh dukungan secara universal, atau Jika Majelis umum PBB memiliki maksud untuk menyatakan resolusi itu menciptakan hukum atau menyatakan sebagai dasar hukum dan jika isi dari resolusi itu tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan umum negara. Contoh dari resolusi yang menjadi sumber hukum internasional Resolusi 3166 (XXVIII).
2. Kebiasaan Internasional. Mengenai kedudukan kebiasaan internasional sebagai sumber hukum internasional telah dinyatakan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional dan dianggap sebagai kenyataan dari praktik-praktik umum yang diterima sebagai hukum. Akan tetapi, dasar hukum dari kebiasaan internasional ini sebelumnya telah menimbulkan pertentangan terutama bagi negara yang baru berdiri. Masalah mengenai dasar hukum dari kebiasaan internasional ini diperdebatkan di Komisi Hukum Internasional dan di Komite Umum PBB terutama saat merumuskan rancangan Pasal 24 Statuta Komisi Hukum Internasional yang telah disepakati bersama bahwa : “a general recogintion among states of a certain practice as obligatory”, the emergence of a principle or rule of customary international law would seem to
a. Concordant practice by a number of states with reference of a type of situation failing within the domain of interantional relations; b. Continuation or repetition of the practice over the considerable period of time; c. Conception that the practice is required by, or consistent with, prevailing international law; and d. General acquiescence in the practice by other States.
Kebiasaan dan perjanjian internasional adalah sumber pokok dalam hukum diplomatik, sementara sumber hukum diplomatik lain yang sifatnya adalah subsider adalah: 1. Prinsip Hukum Umum. Yang dimaksudkan dengan prinsip hukum umum adalah prinsip-prinsip umum yang diakui dalam hukum yang diakui oleh negara-negara 2. Doktrin atau Keputusan Mahkamah internasional. .Khusus mengenai keputusan Mahkamah, sumber hukum ini pada hakikatnya tidak memiliki kekuatan yang mengikat (seperti halnya prinsip hukum umum) kecuali bagi pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam suatu kasus.