HUBUNGAN HUKUM PIDANA UMUM DAN HUKUM PIDANA KHUSUS oleh: Nur Moklis 1. Hukum pidana umum dan hokum pidana khusus Hukum pidana di Indonesia terbagi dua yaitu hukum pidana umum ( algameen strafrecht ) dan pidana khusus (bijzonder strafrecht ). ). Secara definitif, hukum pidana umum dapat diartikan sebagai perundangundangan pidana dan berlaku umum yang tercantum dalam kitab undang undang pidana (!"H#) serta perundangundangan yang mengubah dan menambah !"H#. $ontoh $on tohny nyaa den dengan gan kel keluarn uarnya ya und undang angun undan dang g no nomor mor % tah tahun un &' &'% % ten tentan tang g pen penerb erbita itan n perudian diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal * No+ember &'%, yang mana dalam pasal & undangundang tersebut menyatakan baha semua tindak pidana perudian sebagai keahatan. keaha tan. -leh karena itu keten ketentuank tuanketentu etentuan an meng mengenai enai perud perudian ian yang diny dinyatakan atakan dalam beberapa pasal !"H# perlu diadakan perubahan adapun perubahan dimaksud menyangkut ancaman ancama n huku hukuman man bagi pelanggarnya. pelanggarnya. Sedan Sedangkan gkan yang dimak dimaksud sud denga dengan n huku hukum m pidan pidanaa khusus bisa dimaknai sebagai perundangundangan di bidang tertentu yang memiliki sanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam perundangundangan khusus di luar !"H# !"H#.. ndiam/ah dalam tulisan /i/ Syamsuddin yang dimaksud hukum pidana khusus adalah peraturan hukum pidana yang tercantum di luar !"H# dapat disebut undangundang pidana tersendiri atau disebut uga hukum pidana di luar kodifikasi atau non kodifikasi. Menurut dami !asami (0112: &&), yang dimaksud hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dituu dit uukan kan dan ber berlak laku u unt untuk uk sem semua ua ar arga ga Neg Negara ara (seb (sebaga agaii sub subyek yek huk hukum um)) dan tid tidak ak membedabedakan kualitas pribadi subyek hukum tertentu dan setiap arga negara harus tunduk tun duk dan pat patuh uh ter terhad hadap ap ket ketent entuan uan ters tersebu ebut. t. Sed Sedang angkan kan huk hukum um pid pidana ana khu khusus sus ada adalah lah hukum pidana yang dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subyek hukum huk um tert tertent entu u saa saa.. Misa Misalny lnyaa ke keaha ahatan tan aba abatan tan bag bagii ora orang ngora orang ng ar arga ga neg negara ara yan yang g berkualitas sebagai pegaai negeri atau hukum pidana yang termuat dalam kitab undang undang hukum pidana tentara (!"H#3) yang hanya berlaku bagi subyek hukum anggota 3NI saa. dapun perbedaan hukum pidana umum dan hukum pidana khusus adalah sebagai berikut ini: &. 4efinisi #erundangundangan #idana dan #elaku "mum #erundangundang di bidang tertentu yang bersanksi pidana a tau tindak pidana yang diatur dalam pidana khusus 0. 4asar 5ang 5a ng tercantum di dalam !"H# dan semua perundangundangan yang mengubah dan menambah !"H# 5ang 5a ng tercantum di dalam perundangundangan di luar !"H# dan mempunyai sanksi pidana 6. !eenangan penyelidikan dan penyidikan #olisi dan #NS #olisi, aksa, ##NS dan !#! . #engadilan #engadilan "mum #engadilan 3I#I!-78#aak8hubungan industrial8HM8Niaga dan perikanan 2. Hukum acaranya !itab undangundang hukum acara pidana (!"H#) !"H# dan aturanaturan di dalam perundangan tersebut *. Sanksi pemidanaan
4ikenal dengan penahatan pidana dengan istilah a/as minimal umum dan maksimal khusus Minimal khusus dan maksimal khusus 2. Maksud dengan pasal 10 KUHP se!agai "pasal #em!a$an%& #asal &16 !"H# : 9!etentuanketentuan dalam ab I sampai ab ;III buku ini uga berlaku bagi perbuatanperbuatan yang oleh ketentuan perundangundangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali ika oleh undangundang ditentukan lain<. #asal &16 !"H# sering disebut atau di istilahkan sebagai pasal embatan bagi peraturan atau undangundang yag mengatur Hukum pidana diluar !"H#. #asal &16 !"H# berada pada buku I turan "mum !"H#, yang memuat istilahistilah yang sering digunakan dalam hukum pidana. #asal ini menembatani baha segala istilah8pengertian yang berada dalam bab I;III buku satu !"H# dapat digunakan apabila tidak diatur lain dalam undangundang atau aturanaturan yang mengatur tentang hukum pidana diluar !"H#. Misalnya tentang #ercobaan dalam tindak pidana korupsi ("" No. 01 tahun 011& o "" no 6& tahun &''' ttg 3indak #idana !orupsi). "" tipikor tidak mengatur secara elas apa yang dimaksud dengan #ercobaan dalam 3indak #idana !orupsi, oleh karena itu maka kita dapat menggunakan pasal 26 !"H# tentang percobaan. Inilah tuuan dan penggunaan pasal embatan pada pasal &16 !"H#, untuk menghindari timbulnya kekeliruan dalam penafsiran istilahistilah yang digunakan dalam hukum pidana. Memperhatikan betapa pentingnya pasal embatan ini, penulis merasa ada suatu kekeliruan seiring berkembangnya Ilmu #engetahuan khususnya Ilmu Hukum. #enulis merasa ada ketidak tepatan penempatan pasal ini dan uga penggunaannya. erdasarkan analisa8opini penulis baha pasal ini penempatannya tidak tepat. Maksudnya baha pasal ini dalam beberapa !"H# memuat baha pasal ini merupakan aturan penutup, namun berada dalam ab I= uku Satu !"H#. #ertanyaanya apakah pasal &16 ini merupakan bagian dari ab I=, maka pemberlakuan pasal ini tidak diatur apakah dapat digunakan karena dalam pasal ini yang diatur hanya pada ab I;III aturan umum artinya ab I= tidak ikut. pakah ini teradi karena perbedaan penafsiran yang mana !"H# asli Indonesia adalah >+S (bahasa elanda)? tau karena perkembangan ilmu pengetahuan perancangan "ndangundang. 5ang mana aturan penutup atau aturan peralihan yang harusnya dimuat dalam bab tertentu (khusus). @ika pasal ini tidak dimuat dalam bab khusus maka pasal &16 !"H# pada I= tidak dapat dikatakan atau tidak tepat dikatakan sebagai pasal embatan karena isi pasal &16 dan letak pasal ini bertolak belakang. !ekurangan berikutnya pada penggunaan pasal ini, misalnya pada pasal &2 "" tipikor khusunya pada bagian pemufakatan ahat. 4alam undangundang tipikor pemufakatan ahat tidak disebutkan8diatur apa yang dimaksud dengan pemufakatan ahat. Namun dalam pasal &2 tersebut hanya diatur baha pemufakatan ahat sama pidanaya dengan delik selesai. Hal ini menimbulkan kelemahan dan dapat menciptakan perbedaan penafsiran. #engertian istilah pemufakatan ahat ternyata ada diatur dalam !"H# pada pasal AA !"H#. Namun pertanyaannya apakah pengertian istilah ini dapat digunakan dalam hal tindak pidana korupsi yang diatur dalam "" khusus. Harusnya bisa, namun yang menadi masalah yaitu baha pasal embatan yang sering digunkan ternyata tidak dapat berlaku. Mengapa?, karena pemufakatan ahat tersebut diatur dalam uku satu pada bab I= !"H#, sementara yang berlaku sesuai pasal &16 !"H# ini hanya pada istilahistilah yang terdapat pada ab I;III buku satu !"H#. Hal ini banyak menimbulkan pertanyaan dan dipermasalahkan bagi pihak atau orangorang yang hanya terpaku pada undangundang (positi+istik). #ermasalahan ini menurut saya dapat menadi suatu alasan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana khususnya bagi pemberlakuan konsep !"H# terbaru (konsep !"H# 01&0). Namun dalam penyelesaian masalah ini biasanya para praktisi menggunakan penafsiran otentik. Maksudnya, baha pemufakatan ahat pada dasarnya telah pernah8ada diatur dalam
!"H# yaitu pada pasal AA, sehingga dalam penafsiran istilah ini apabila tidak diatur dalam "ndangundang khusus maka dapat digunakan uga istilah yang ada pada pasal AA dengan diakuinya penafsiran otentik meskipun dalam pasal &16, pasal AA (bab I=) ini tidak disebutkan dapat digunakan untuk "ndangundang khusu. #emecahan masalah ini sebenarnya memang dapat digunakan dan diakui, tapi hal ini dapat melemahkan !"H# kita apalagi adanya aliran positi+istik yang selalu mempermasalahkan kepastian hukum, dan harus diatur elas dalam "ndangundang. . Apa 'ang dimaksud “lex specialis derogate legi generalis%& Azas lex specialis derogate legi generalis artinya hukum pidana yang berlaku khusus mengkesampingkan hukum pidana yang berlaku umum. 4i Indonesia kini berkembang undangundang tersendiri di luar !"H#.