KELEDAI YANG BIJAK
PENGARANG TAUFIK TAUFIK AL-HA A L-HAKI KIM M
PENERJEMAH H. HARITS FADLLY, LC.
EDITOR Maya Hayati
PENERBIT ALAL- HAI‟AH AL-MASHRIYAH AL- „AMMAH LIL KITAB
Distributor WWW.LENTERA-RAKYAT.SOS4UM.COM
Berkata Keledai yang bijak (Toma):
“Jika hari telah tela h siang sia ng, aku akan berjalan karena aku si bodoh yang sederhana, sedangka sedangka n sa sa habatk u ada ada lah si bodoh yang berpangkat!” Dikatakan padanya:
“Apakah “Apakah perbedaan perbedaa n anta anta ra bodoh sederhana dan berpangkat?” Dia menjawab:
“Si bodoh yang sederhana adalah yang tahu bahwa dirinya bodoh, adapun si bodoh yang berpangkat adalah yang tidak tahu tahu ba hwa dirinya bodoh bodo h.” (Legenda Lama)
untuk sahabatku sahabatku yang lahir dan mati tanpa berbicara denganku tetapi ia telah mengajariku!
=1=
Aku mengenalnya pada hari-hari musim panas tahun lalu, di jantung kota Kairo, di salah satu jalan rayanya. Pada pagi itu aku berjalan menuju salon cukur, ditemani udara panas yang disertai hembusan angin sepoi-sepoi. Hatiku gembira ketika aku berjumpa dengan wajah ceria berambut pirang dengan anjingnya, yang turun dari lift bersamaku di hotel tempat aku tinggal, sehingga hampir saja aku bersiul dan bersenandung. Lalu aku bergerak menuju salon cukur itu ketika tiba-tiba aku melihatnya, makhluk yang telah ditakdirkan untuk menjadi sahabatku. Aku melihatnya menanduk tembok bagaikan kijang. Di lehernya yang indah terikat simpul merah, dan di sampingnya kulihat pemiliknya, petani desa paling kumuh yang pernah kulihat. Orang-orang yang lewat berdiri memperhatikannya dengan takjub karena keindahan bentuknya, serta gemulai langkahnya. Badannya kecil bagaikan boneka, putih bagaikan kepingan keramik, bagus bentuknya bagaikan buatan seorang seniman. Dia berjalan dengan santai seolah-olah ia berkata pada tuannya: “Bawalah aku ke manapun kau
mau, karena semua yang ada di b umi takkan takkan ak u perhat perhatiikan.” Itulah seekor anak keledai kecil yang mendapat perhatian orang banyak, di jalan yang besar. Pemandangan seperti itu di desa ini, sudah cukup menarik hati. Mata orang memancarkan cahaya takjub, dan wanita-wanita Inggris yang memasuki toko „Jurubi‟ tak dapat menahan kecintaan mereka padanya. Kalaulah ia merupakan sesuatu yang
dapat dibawa, maka mereka pasti takkan ragu-ragu untuk membelinya seperti halnya sebuah souvenir. Menurutku pemilik keledai itu akan menjualnya, karena aku telah mendengar pemiliknya berkata kepada orang-orang yang berlalu, para penjual koran, dan anak-
anak: “Lima puluh Piester!” Tiba -tiba tanpa sadar kakiku melangkah menuju kerumunan orang yang mengerubungi anak keledai itu -mataku selalu memperhatikan makhluk kecil itu- dan mulutk mulutku u mengucapka mengucapkan: n: “Tiga puluh P iester! iester!”” Maka kerumunan itu berpaling kepadaku dan hiruk-pikuk pun terdengar. Tibatiba aku melihat seorang lelaki muncul dari balik kerumunan. Dia adalah penjual koran yang mengenalku dan menjual korannya kepadaku. Dia menarik anak keledai itu dari tangan pemiliknya dan berteriak di mukanya: “Tuan kita Beik telah meminta, dan
permintaannya permintaannya har us kita patuhi!” Petani itu menepukkan tangannya di punggung anak keledainya seraya
berteriak: “Tiga puluh P ieste ieste r itu it u seekor ay a ya m kalkun kalk un!” !” “Beraninya “Beraninya kau ka u menentang menentang ucapa n Beik!” “Demi Allah Allah aku takkan takka n menjualnya menjualnya ku k urang dari dar i empat puluh P iester! ” Kedua lelaki itu saling membentak dan tarik-menarik hingga hampir saja leher anak keledai yang miskin itu terputus di tangan keduanya. Berakhirlah pertentangan itu dengan kemenangan sang calo sukarela itu. Dengan paksa ia mengambil keledai itu dengan tangannya, lalu menoleh kepadaku seraya berkata: “Beik, berikan tiga puluh
Piester itu.” Sang penjual itu ragu-ragu dan ingin menolaknya, tapi lelaki itu menutup mulutnya dengan ta ngannya seraya berteriak: “Diam kamu! Tuanku Beik , berikan uangnya dan terimalah anak keledai itu. Selamat ya! Jual beli yang halal!” Dia maju ke arahku sambil menarik keledai itu untuk menyerahkan kepadaku ikatan merah yang menggantung di lehernya. Di sinilah kesadaranku kembali. Perjanjian itu telah dilaksanakan meskipun sesungguhnya aku tidak menginginkannya. Segala Segala ses uatu telah berlalu dariku seolah-o lah aku tak sadarkan diri karena karena harga yang aku putuskan, yaitu tiga puluh Piester, tidak lain keluar dari mulutku tanpa pikir panjang. Sebuah angka yang terucap dengan main-main, tapi hal itu menjadi sungguhan dan anak keledai itu akhirnya menjadi milikku. Lalu apa yang akan aku lakukan sekarang ketika aku masuk salon cukur ini, di manakah aku harus meletakkannya, sedangkan aku tak punya rumah kecuali sebuah kamar dengan sebuah kamar mandi di sebua sebua h hotel yang ya ng terke terke nal? nal?
Apalagi pada saat itu, di kantungku tak terdapat uang sejumlah tiga puluh Piester. Pada pagi itu aku tidak membawa uang, kecuali surat berharga yang ingin aku tukarkan dengan uang kecil. Semula aku berniat ingin menarik kembali perjanjian jual beli itu, tapi niat tersebut tertahan, karena kedua penjual dan calo telah menyerahkan keledai itu padaku. Maka dengan kikuk aku berkata sambil menunjuk ke salon cukur: “Tapi aku
ingin bercukur.” Penjual koran itu segera menjawab: “Silakan Tuan bercukur, dan aku akan menunggu Tuan bersama anak keledai ini di depan pintu!” Lalu aku berkata: “Tapi uang itu...” Lelaki itu segera memotongku: “Aku akan menuka rkannya segera di kedai-kedaiku.” Akhirnya kedua lelaki itu menutup jalanku, sehingga tak ada satu perkataan atau alasan pun yang dapat menolongku. Aku berisyarat kepada keduanya, dan mereka pun mengikutiku pergi ke salon cukur. Kemudian aku masuk dan berkata pada tukang cukur untuk meminjamkan aku uang dari kotak uangnya. Dia pun meminjamkannya, dan petani itu pun pergi. Penjual koran itu berdiri bersama anak keledai itu di depan pintu salon cukur. Orang-orang yang lewat bergantian berkumpul untuk memperhatikannya. Sedangkan aku sendiri, duduk sambil tercenung, bingung memikirkan apa yang akan aku lakukan dengan bawaan ini. Tukang cukur mulai menyabuni janggutku seraya memuji keindahan anak keledai itu, dan berbicara tentang makanan atau perlakuan yang layak baginya. Kemudian ia mulai membayangkan jikalau nanti anak keledai itu tumbuh besar, dan dapat berlari bagaikan seekor kuda. Pelanggan salon lainnya menungguku dan menyimpan segala tawa serta prasangka, yang terlintas di benak mereka. Sampai akhirnya aku selesai bercukur, aku bangkit dan membayarkan surat berharga itu kepada pemilik salon, dan dia pun mengambil haknya dariku. Di luar, si penjual koran segera menemuiku seraya menyerahkan tali kekang anak keledai itu kepadaku dan berkata: “Lepaskan dia berlarian di padang rumput!”
Aku berkata seolah ditujukan kepada d iriku se ndiri: “Andai saja padang rumput itu ada, pasti mudahlah permasalahan itu.” Lelaki itu berkata: “Lepaskan ia di atas loteng atau di kandang bersama kambing.” Aku berkata seolah aku tidak tinggal di hotel: “Bagaimana kalau kita melepaskannya di kamar mandi?” Lelaki itu terbelalak: “Kamar mandi?!” Tanpa komentar aku memer intahkan: “Bawa dia ke penginapan." Ya! Aku telah memikirkannya! Aku rasa anak keledai yang cantik itu tidaklah lebih hina atau lebih aneh daripada seekor anjing yang kulihat dibawa oleh seorang wanita berambut pirang tadi pagi. Jadi apa salahnya kalau dia pada hari ini menemaniku, kujadikan tamuku, dan kubagi kamar dengannya hingga waktu Ashar.
Aku memang berniat untuk pergi hari ini -tepatnya pada waktu Ashar- ke sebuah desa terdekat demi keperluan aneh yang akan kuceritakan kisahnya sebentar lagi. Jadi, dia bisa tinggal bersamaku sampai nanti aku membawanya pergi ke ladang dan melepasnya bermain, karena yang aku pikirkan hanyalah keperluan makanannya pada hari ini. Tukang cukur tadi berbicara tentang makanannya, ia takkan makan kecuali susu karena tukang cukur itu melihatnya seakan-akan baru lahir sehari atau dua hari lalu, dan ia diharamkan dari tetek ibunya untuk dijual di jalanan kota Kairo. Mungkin saja karena kesusahan yang menimpa pemiliknya, karena seorang petani jika merasa lapar, ia akan menjual segala sesuatu yang bisa dijual. Siapa yang tahu kalau anak keledai ini merupakan akhir jalan cerita kesusahannya yang berkepanjangan? Belum selesai aku melamun, lagi-lagi orang-orang mengerumuni kami. Aku mengisyaratkan kepada penjual koran untuk segera membawa anak keledai itu dan aku akan membuntutinya dari jauh. Lalu ia menarik tali kekang merah itu, dan anak keledai tersebut hanya berjalan sebagaimana mestinya tanpa mengetahui pergantian pemilik. Aku hanya memperhatikannya dari jauh. Terkadang aku berfikir bahwa caranya berjalan mirip denganku. Karena terbayang olehku, seolah-olah kepalaku terangkat dari permukaan menuju angkasa luar yang tak terlihat, dan aku mengendalikan kehidupan tanpa berkumpul dengan orang yang bersamaku atau mengetahui tujuanku. Ya, cara jalanku terkadang sepertinya, pandanganku juga terkadang seperti pandangannya yang kering terhadap dunia tenang yang aneh, dan pandangan itu telah menghalangi manusia dari ketujuh pintu yang dicap itu. Ya Allah, ampunilah kelalaian ini, karena aku telah menempatkan diriku untuk menyerupai makhluk aneh ini!
=2=
Kami pun tiba di hotel. Aku melirik seorang pelayan yang berdiri di depan pintu, dan dia datang kepadaku. Dia adalah orang Noubi terpercaya yang biasa membantuku, dan aku pun tak segan-segan untuk memberinya tips. Ketika ia sudah dekat, aku menunjuk ke arah anak keledai yang dipegang oleh calo itu, dan membisikkan
padanya
untuk
membawanya
melalui
tangga
pelayan
serta
meletakkannya di kamar mandi dalam kamarku. Lelaki itu terbelalak. Lalu kukeluarkan kepingan perak dan meletakka nnya di telapak tanga nnya. Maka dia pun se gera tersadar dari keheranannya dan bergegas untuk melaksanakan permintaanku yang hampir tak masuk di akal. Dia menutupi anak keledai itu dan menggendongnya, lalu sambil
menoleh kiri dan kanan karena takut kalau ada orang yang melaporkannya kepada Direktur hotel, ia seegra membawanya. Lalu aku beralih ke si penjual koran. Ia sudah menungguku sambil menepuknepukkan tangannya untuk menagih upah. Aku pun memberinya kepingan perak sehingga ia gembira dan berlalu seraya mengangkat tangannya ke langit, dan berdoa:
“Semoga dengannya Tuhan membahagiakanm u, mengekalkannya untukmu, dan tak menjadikan sakit hatimu!” Dia menghilang di persimpangan jalan, sedangkan aku hanya menatapnya tanpa mengetahui apakah ia mengejekku ataukah ia berkata dengan sungguh-sungguh. Aku memasuki hotel dari pintu utama dan berhenti sejenak di lobi, memandangi para turis yang berlalu-lalang. Kemudian dengan lift aku naik ke kamarku di lantai lima. Ketika memasukinya, aku menemukan segala sesuatu masih sama seperti saat aku tinggalkan. Segalanya teratur d i tempatnya. Buku-buku dan berkas-berkas di atas meja, pakaian tergantung di dalam lemari, gramofon dan semua koleksi compact disc-ku, serta vas-vas bunga di atas bufet, dan tanaman mawar anggun di beranda. Tak ada satu pun yang menandai bahwa di tempat ini ada binatang tunggangan, sampai saat aku menuju pintu kecil kamar mandi yang ada di kamarku, dan membuka pintunya. Saat itulah aku melihat anak keledai itu berdiri dengan tenang di hadapanku! Sejenak aku memperhatikannya dengan penuh ketakjuban, kemudian aku meninggalkannya dengan tenang dan kembali ke kamar. Aku menekan tombol bel dan melepaskan lelah di kursi besar yang terletak di samping pintu beranda. Tak lama terdengar ketukan pintu dan
muncullah pelayan. Aku berkata padanya: “Satu cangkir kopi untukku dan susu untuk...” Tanp a sadar mataku mengarah ke kamar mandi. Tapi aku tak bisa melanjutkan perkataanku karena pelayan ini belum tahu persoalan yang terjadi.
Dengan penuh hormat ia berkata: “Untuk siapa?” “Nanti kau juga akan tahu.” Aku mengatakannya dengan terburu -buru dan mengisyaratkan padanya agar segera melaksanakan permintaanku. Pelayan itu pergi dan tak lama kemudian ia kembali dengan membawa nampan indah dari Kristopher, yang di atasnya terdapat dua buah cangkir bersih dan dua teko. Dia meletakkan salah satu cangkir dengan satu teko kopi di hadapanku, dan meletakkan cangkir yang satu lagi beserta teko susu di sisi lain dari mejaku, kemudian ia menarik sebuah kursi untuk diletakkan di dekat teko kedua itu. Aku tak dapat menahan senyuman. Keluarlah lelaki itu dan menutup pintu dengan penuh kearifan, yang segalanya menandakan bahwa ia telah paham, bahwa pelayan hotel itu telah terbiasa menghidangkan permintaan pada waktu-waktu tertentu dalam keheningan yang aneh.
Tak ku biarka n diriku menyendiri. Dengan segera aku menuju kama r mandi dengan membawa secangkir susu dan meletakkannya di atas karpet, tepat di bawah mulut anak keledai itu. Aku menunggu kalau-kalau saja sahabatku ini menghirup satu atau dua sedotan dari susu itu. Namun ternyata ia diam tak bergerak. Kedua matanya memandangi cangkir itu tanpa peduli, sebagaimana mata seorang zuhud memandang
kehidupan dunia. Aku terkejut dan berkata sendiri: “Ini mustahil. Walau bagaimanapun tingkat kezuhudan filsuf ini, sesungguhnya secangkir susu tidak termasuk kemegahan dan aku tak mengira bahwa makhluk kecil ini mampu menahan puasa dalam waktu
lama. Pasti ada suatu sebab.” Aku tak dapat menemukan sebabnya karena ak u bar u saja mengetahui watak aneh dari binatang ini. Karena segala pengetahuanku berkisar antara sesuatu yang mereka sebut sebagai „kemanusiaan‟. Yang mana menurutku hal itu tidak akan peduli untuk menelan segala sesuatu yang disuguhkan kepadanya, baik itu yang dapat dimakan ataupun tidak, bahkan daging saudaranya sendiri (ia makan_red), dia selalu saja lapar dan haus pada sesuatu, dan dia tidak berbuat sesuatu kecuali untuk satu tujuan tertentu, sampai-sampai shalat serta puasanya. Akhirnya aku mengambil keputusan untuk meminta petunjuk dari tukang cukur, karena
sepengetahuanku
dia
mengetahui
sesuatu
yang
tidak
kuketahui
dari
permasalahan ini. Dengan segera aku meninggalkan kamarku untuk turun ke jalan menuju salon cukur. Tiba-tiba aku bertemu lagi dengan calo itu. Ketika ia melihatku, ia langsung berteriak sambil tersenyum, dan berkata: “Apa kabarnya?” Aku tertawa dan berkata padanya: “Dengar lah hai..., siapa namamu?”
“Temanmu Dasuki.” “Dengar kanlah hai Dasuki! Bukannya kamu bilang ia minum susu?” “Benar, ia minum susu.” “Apa pendapatmu kalau dia tidak mau minum , bahkan tak sedikitpun menoleh ke cangkir?!” Lelaki itu terbelalak dan berkata: “Cangkir?!”
Aku menjawab: “Iya, aku memesan untuknya secangkir susu...” Lelaki itu memotongku seraya berteriak: “Kau memesan untuknya secangkir susu!! Maaf ya, apa dia itu seorang turis?! Dia itu, tuanku Beik, seekor anak keledai yang baru lahir dua hari... Dia menyusu langsung dari tetek ibunya... Maaf saja,
seharusnya ia itu harus memakai dot dari apotek!” Sekarang aku pun sadar akan kebodohanku seraya berkata: “Iya benar, kamu benar!”
Aku tinggalkan dia dengan segera menuju apotek terdekat untuk membeli dot.
Apoteker itu bertanya padaku: “Anak laki- lakinya berapa tahun umurnya?” Aku menjadi gugup dan berkata: “Demi Allah, bukan anak laki - laki.” Apoteker itu berkata : “Jadi anak pere mpuan?” “Juga bukan anak perempuan.” Lelaki itu terbelalak, lalu bergumam: “Bukan anak laki-laki juga bukan anak
perempuan, jadi apa. Apa ada jenis baru ketiga yang aku tidak tahu?!” Aku ingin meringankan keheranan orang itu, segera saja aku berkata:
“Sebenarnya ia itu...” “Iya saya paham, d ia itu bukan anak bapak bukan?!” “Anakku?! Tentu bukan, dia itu anak keledai kecil!” “Anak keleda i?? Oh, saya minta maaf!” Nampaklah penyesalan di wajah apoteker itu, dan dia pun segera mengambil apa yang aku minta. Dia memberikan padaku sebuah botol besar yang di ujungnya terdapat puting dari karet, dan berkata: “Maaf, ini botol yang besar, cocok untuk anak
keledai yang sudah besar.” Aku pun tersenyum dan berkata kepadanya: “Tidak perlu minta maaf.” Setelah membayarnya, aku segera membawa dot itu kembali ke hotel. Ketika sampai di kamar, aku melihat pintu kamarku sudah terbuka. Aku teringat kalau aku meninggalkannya sedemikian karena lupa. Dengan segera aku bergegas menuju kamar mandi dan aku teringat juga kalau lupa menutup pintu kamar mandi sebelum kepergianku. Aku melemparkan pandangan ke seluruh tempat, dan tak menemukan satu tanda pun tentang keberadaan sahabatku. Aku pun terduduk heran. Ke mana dan bagaimana ia bersembunyi? Mungkinkah ia diculik atau tersesat? Aku pergi ke lobi di lantai itu, dan tiba-tiba aku mendengar tawa kecil keluar dari salah satu kamar. Aku bergerak menuju suara itu hingga aku tiba di hadapan sebuah kamar yang pintunya terbuka. Saat itulah aku melihat anak keledai tersebut sedang berada di hadapan cermin tinggi di sebuah lemari pakaian sambil memperhatikan dirinya, sedangkan di sampingnya ada seorang wanita berambut pirang tertawa terbahak-bahak. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa berdiri mematung, tanpa satu kata pun dapat terucap, hingga wanita itu berpaling ke arah pintu dan melihatku dengan
dot di tangan. Ia segera menghampiriku dan berkata: “Maaf tuanku, apa d ia...” “Iya Nyonya, dia...” Aku menggerakkan kepalaku mengisyaratkan akan adanya hubungan antara aku dan anak keledai itu. Dia pun tertawa dan berkata padaku: “Tadi hampir saja terjadi guncangan di lantai ini. Tapi itu guncangan yang lembut. Dia
berjalan di lobi dengan tenang, dan memasuki tiap kamar yang didapatinya terbuka. Lalu ia segera menuju cermin yang didapatinya, dan lama sekali berkaca di hadapannya. Aku mendengar penghuni kamar sebelah menjerit kaget, karena ketika ia sedang mengikatkan dasi di hadapan cermin, tiba-tiba ia melihat di antara kakinya ada
seekor anak keledai.” Wanita itu menceritakannya sambil tertawa sehingga aku pun ikut tertawa. Lalu
aku bertanya padanya : “Lalu bagaimana ia bisa tetap t inggal d i kamarmu?” Dia menjawab: “Jadi, menurutku dia lari dari selangkangan kaki tetangga itu karena takut akan jeritannya... Karena itu ia berlari menuju pintuku dan masuk tanpa izin. Ketika ia melihat cermin, mulailah ia berkaca tanpa memberiku kesempatan.”
Aku pun berkata: “Alangkah bodohnya dia! Begitulah keadaa n kebanyakan para filsuf! Mereka mencari diri mereka dalam setiap cermin, dan tidak memberikan
kesempatan yang indah untuk berpaling!” Wanita itu tersenyum simpul sebagai tanda persetujuannya atas perkataanku. Namun tiba-tiba parasnya berubah serius dan berkata: “Benar, aku tak tahu mengapa ia
begitu memperhatika n persoalan ini.” Aku pun berkata: “Menurutku, ia lupa akan dirinya dan mengingkari persoalan „benda‟, karena sa mpai jam ini, ia belum diberi makan apa pun.” Wanita itu menunjuk pada dot di tanganku. “Kamu belum menyuguhinya susu sedikit pun?” “Aku sudah menyuguhinya, tapi dia tidak mau.” Lalu aku menceritakan apa yang aku lakukan, dan dia pun menertawai diriku sebagaimana tertawanya sang calo,
dan berkata: “Tuanku, sepertinya kau belum pernah menjadi seorang bapak.” Aku berkata: “Anda benar Nyonya, inilah awal kehidupanku menjadi seorang bapak.” Ia menjulurkan tangannya dan meminta dot itu dariku seraya berkata: “Jika kau mengizinkan, bolehkah saya menggantikanmu untuk melakukan pekerjaan ini? Karena
sesungguhnya wanita itu lebih berhak untuk melakukannya.” “Itu adalah pertolongan besar dan kebaikanmu Nyonya, takkan aku lupakan.” Aku mengucapkannya sambil meninggalkan anak keledai itu bersama alat makannya dan sedikit susu yang kubawakan untuknya, kemudian aku pergi untuk mengurus kembali pekerjaanku seraya bersyukur.
=3=
Urusan yang mengharuskan aku pergi ke desa pada hari itu sangatlah berat karena keanehannya. Mungkin kau bertanya-tanya tentang keanehan tersebut. Karenanya, akan aku ceritakan kisah tersebut di sini. Sejak seminggu yang lalu, tepatnya pada waktu Ashar, bersama udara yang sangat panas aku duduk menghadap beranda untuk menghirup udara segar yang bertiup. Tiba-tiba terdengar deringan telepon di sampingku. Aku mengangkatnya dengan tangan yang lemas tanpa bergerak dari tempatku. Aku mendengar operator hotel itu menyambungkan aku dengan suara lain di luar, suara seorang lelaki yang berbicara dengan bahasa Perancis, dan meminta waktu padaku untuk bertemu dengannya. Aku bertanya padanya tentang maksudnya bertemu denganku. Dia berkata bahwa dia adalah wakil dari perusahaan film yang ingin berbicara denganku perihal pekerjaan ini. Lalu aku membuat janji untuk bertemu dengannya sore hari itu di lobi hotel. Pada saat yang dijanjikan, aku bertemu dengannya. Ternyata ia adalah seorang pemuda berambut pirang tanpa kumis, dan berpenampilan rapi. Dia menyapaku dengan hormat. Kami lalu duduk bersama, dan ia mulai berbicara dengan lancarnya tentang kaset film yang kebanyakan proses syutingnya diambil di pedesaan Mesir. Dia langsung memilih para aktor dan aktrisnya dari para petani yang tinggal di pedesaan itu tanpa mengambil para aktor profesional Mesir, agar ia mampu meyakinkan kejujuran dalam pengambilan gambar. Kesemua itu telah dibungkus dalam satu bingkai sinema yang telah selesai dibuat. Dan yang bertanggung jawab atas pendanaan produksi ini semua adalah perusahaan perfilman Perancis. Aku memotong pembicara annya dengan lembut. “Lalu apa yang kalian
inginkan dariku setelah semua penje lasa n ini?” Dia berkata: “Dialog.” Kemudian ia mengeluarkan dari tas kecil, sebuah skenario cerita yang ditulis dengan mesin ketik, satu rangkap dengan menggunakan bahasa Inggris dan satu lagi
dengan bahasa Perancis yang keduanya diberikan padaku, lalu dia berkata: “Demi memudahkanmu, berikanlah padaku kesempatan untuk menyederhanakan kisah itu
dalam dua kata.” Dia pun memaparka n cerita panjang lebar yang tak dapat aku bedaka n mana awal dan akhirnya. Tabiatku adalah tidak dapat tahan mendengarkan orang berbicara lebih dari lima menit. Setelah itu aku melanglang buana di lembah, melayang di angkasa, kemudian lupa akan keberadaanku dan orang di sekelilingku. Aku berada dalam keadaan linglung. Dan, hal itulah yang menghalangiku untuk mendengarkan
orasi penting. Hal itu kerap kali mengagetkanku, karena ia bisa hadir, bahkan pada saat aku berada di arena perfilman dan pencarian buku. Aku membayangkan bahwa asal pikiranku adalah bagai gas yang banyak, yang mana aku harus berusaha untuk mengumpulkannya. Jika aku lengah sedikit saja, maka ia akan lepas dariku dan kembali seperti semula. Oleh karena itu, aku tak dapat berkonsentrasi pada lelaki di hadapanku, kecuali setelah ia mengisyaratkan bahwa kisahnya telah selesai.
“Permasalahan yang aneh bukan?” “Iya, a neh sekali.” Aku mengatakannya seolah-olah aku memperhatikan, karena suaraku terdengar begitu bersemangat. Namun sesungguhnya saat itu aku sangat jauh dari semangat untuk segala sesuatu. Kemarau bulan Juni, pekerjaanku sepanjang tahun, dan segala kejadian yang menjumpaiku selama itu, telah menghancurkan perasaanku. Telah menjadikanku seseorang yang tak berguna kecuali duduk di atas kursi sambil berpikir tentang kapal-kapal laut, menyiapkan acara-acara musim panas di Eropa, serta mencari peninggalan sejarah Tuskanini dan Bruno Voltaire. Tak pelak lagi, permintaan produksi film ini akan membuatku sangat gembira jika diajukan dua bulan sebelumnya. Jadi, kalaulah sinema itu adalah buatan ujung jemariku sendiri, maka jumlah halaman perbincangan skenario dapat dipastikan tak akan melebihi sepersepuluhnya, seperti halnya jumlah halaman yang sekarang ia letakkan di hadapanku. Tetapi, karena kurang beruntung, pada hari itu aku berada dalam keadaan terkejut, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kalaupun seseorang memintaku untuk menghembuskan nafas, aku akan merasa terkekang karenanya. Pada waktu itu segala kebencianku telah terkumpul pada
sesuatu yang bernama: „penulisan dan segala sesuatu yang butuh penulisan‟ . Maka penulisan surat adalah bencana besar, penulisan kartu adalah musibah, dan penulisan makalah bisa menyebabkan aku melakukan kejahatan. Ketika lelaki lain meminta pendapat padaku tentang pekerjaan itu, dengan terus terang aku meminta maaf karena tak dapat melakukannya. Musim pekerjaan telah usai, aku telah menetapkan waktu
bepergian, dan se galanya telah selesa i. Lelaki itu bertanya padaku: “Kapan kau pergi?” “Pada permulaan Juni.” “Baik sekali, di depan kita masih ada satu bulan dan ini sudah cukup bagi kita.” Selesailah pertemuan kami dan lelaki itu pun pergi dengan meninggalkan kedua berkas itu untuk aku pelajari lebih lanjut. Dia optimis kalau hanya dengan membaca kisah itu akan timbul dalam diriku keinginan untuk membuat dialog. Dia pergi untuk kembali lagi padaku pada waktu yang telah ditentukan. Aku membawa berkas riwayatnya dan
meletakkannya tertutup sebagaimana mestinya dengan segala isinya; pahlawan kebaikan dan kejahatan yang tidak kuketahui, tertidur tanpa kubangunkan. Sampai kemudian ia datang padaku pada hari berikutnya, dan berbicara perihal pekerjaan mereka serta bertanya tentang keadaan desa. Aku hanya menjawab dengan jawaban seadanya sambil berusaha menutupi kebosananku demi menghormatinya. Lelaki itu aneh! Dia masih saja terus berusaha untuk meyakinkan diriku meskipun aku telah menolak. Aku telah mengatakan padanya bahwa aku siap untuk memberitahukan segala kabar tentang pedesaan, asalkan hal itu dilakukan pada waktu yang memungkinkan kami untuk bertemu. Tapi dengan cara mengik at kontrak kerja yang ditanyai pada waktu tertentu, itulah perlakuan yang aku tidak suka. Kemudian aku merekomendasikan
seorang
penulis
yang
aku
ketahui – salah
seorang
yang
berpengalaman dalam pekerjaan ini. Wajah lelaki itu memerah seraya berkata:
“Perusahaan ini hanya menyebutkan namamu.” “Aneh!” Aku katakan itu dengan wajah heran. Lelaki itu berkata: “Sungguh perusahaan inilah yang telah memegang banyak produk riwayat-riwayat Imil Zola dan menyebarkan produk Zola -yaitu gedung Syarbantih milik Faskil dan perusahaannya. Dari gedung inilah salah satu kisahmu telah tersebar, sehingga mengantarkan kami padamu ketika kami membutuhkan
seorang penulis Mes ir yang menuliskan dialog pedesaan.” Di sinilah hilang ketakjuban itu. Memang aku ingat bahwa di permulaan ta hun itu datang padaku dengan cara yang sama, dua permohonan dari dua perusahaan perfilman Perancis. Keduanya meminta padaku agar mereka dibolehkan untuk menyadur kisah ini. Ketakjubanku pada waktu itu adalah terhadap cara mereka mengetahui a lamatku.
“Semua ini bagus. Tetapi maaf, semua itu tidak menggoyahkan sikapku.” kataku pada lelaki itu. Lalu ia pun memandang lama wajahku, seolah-olah mengalir di pikirannya bahwa aku menyimpan sesuatu. Kemudian ia bangkit sambil mengharap padaku untuk memikirkannya sekali lagi, lalu ia pergi setelah mengatakan akan kembali lagi. Ia benar-benar kembali pada hari berikutnya. Kali ini ia tidak sendiri. Seorang lelaki lain menemaninya. Ia mengenalkan aku padanya seraya mengatakan bahwa ia adalah penanggung jawab keuangan dan kepegawaian, khusus untuk film ini. Kemudian mereka berdua mengeluarkan dari tas, beberapa permohonan dan berkas.
Berkata padaku lelaki aneh itu: “Aku lupa mengatakan padamu bahwa perusahaan di Perancis benar-benar telah mengikat perjanjian dengan penulis Perancis „.........‟ un tuk
menuliskan istilah Perancis untuk dialogmu. Karena dialog itu tentunya akan tetap dalam aslinya, yaitu berbahasa Arab jika dibuat dalam kaset Arab, tapi kaset Perancis
tentunya „.........‟ akan menentukan istilahnya secara menyeluruh setelah kami mengirimkan padanya terjemahan utama. Dan inilah contoh perjanjian yang telah ia
tanda tangani!” Dia menyerahkan perjanjian itu padaku. Pandanganku jatuh pada jumlah uang yang didapatkan penulis untuk melaksanakan pekerjaan ini: tiga puluh ribu Frank. Kemudian kulihat pula persyaratannya, yang di antaranya adalah: mengumumkan namanya di atas papan perak dengan huruf yang besarnya sama dengan besar huruf nama sutradaranya. Aku tersenyum melihat dunia yang baru bagiku ini, yang aneh pemikirannya, gejolaknya, dan keinginannya! Lelaki itu tidak berlama-lama denganku. Segera ia mengambil berkas dari temannya, dan menyerahkannya padaku seraya
berkata: “Dan ini adalah perjanjian yang kami mohon Anda bisa membubuhi tanda tangan di atasnya.” Aku me lihat berkas itu. Ternyata tertera berbagai macam pasal yang diketik dengan menggunakan bahasa Perancis. Di atasnya tercetak kop nama perusahaan, dan di bawahnya tanda tangan perwakilan perjanjian. Dan aku melihat pada jumlah uang, ternyata jumlahnya hanya lebih sedikit dari yang diberikan kepada penulis Perancis yang tidak banyak berbuat itu. Telah diperhatikan besarnya huruf nama antara aku dan dia -perihal yang membuatku tersenyum sekali lagi- senyuman yang bercampur dengan perasaan takjub dan rela. Suatu hal yang membuatku untuk berpikir sedikit adalah pasal terakhir. Di sana disebutkan bahwa perusahaan akan segera membayar uang muka yang jumlahnya agak banyak pada saat penandatanganan kontrak. Di sini aku mulai memperhatikan permasalahan secara keseluruhan dengan sungguh-sungguh, seraya berkata dalam hati:
“Hanya satu cara untuk mendapatkan dua ratus Pound , yaitu dengan membubuhkan tanda tanganku di sini.” Pada saat itulah aku mulai merasakan kekuatan harta, dan aku mengetahui bahwa harta itu terkadang mampu menentukan pengambilan suatu keputusan, bahkan dalam permasalahan sastra, pemikiran, ataupun kesenian. Ya, mengapa tidak?! Kalaulah orkestra Bethoven di London tidak di dasari oleh uang lima puluh Pound, tentu takkan dibuat Symphoni kesembilan! Kalaulah seorang seniman itu tidak memerlukan harta untuk hidup, terkadang ia memerlukannya untuk menghasilkan karya. Jadi, seniman itu terkadang bagaikan seorang wanita cantik yang harus mengambil cara-cara yang menghanyutkan! Sesungguhnya wanita jika tidak dicintai dari lubuk hatinya, maka ia harus menggoda dengan gemerlap emas, dan seniman jika
belum terpancar dari jiwanya sesuatu, maka ia harus membuka jalan dengan kapak emas. Itu adalah perilaku aneh yang tak ada hubungannya dengan kepribadian, kekerasan, ataupun tamak akan kemegahan. Hal itu terkadang adalah sesuatu yang masuk dalam rahasia jiwa manusia. Sesungguhnya hati seniman dan hati wanita, keduanya terdapat peti sihir yang tak dapat terbuka sendiri dengan sekali lewat, melainkan harus dengan membakar banyak dupa di hadapannya. Satu hal ini sajalah yang membuatku menyimpan perjanjian itu dalam waktu lama, dan aku merasa kalau aku takkan melepaskannya kecuali setelah aku tanda tangani, tanpa terbayang olehku pekerjaan apa yang akan aku lakukan pada waktu itu, juga tanpa memikirkan apakah aku mampu menuntaskannya dalam jangka waktu yang terbatas itu. Meskipun demikian, aku sebenarnya tidak begitu memerlukan uang tersebut. Karena, tak kurang dari sepuluh hari lalu aku telah menerima sejumlah uang karena persoalan yang persis seperti persoalaan ini; yaitu ketika seorang pedagang buku terkenal bernama Haji „.........‟ ingin membelikan b uku-buku untukku, dan perdagangan ini telah berlangsung antaranya dan penanggung jawab buku-buku tersebut. Ya, hal itu merupakan tabiat malasku, hingga aku tidak menghiraukan permasalahan sepele seperti ini. Akhirnya, aku dinobatkan sebagai seorang wakil yang menangani permasalahan percetakan, pendistribusian, penghasilan, jual beli, dan segala rincian yang aku usahakan untuk mengumpulkannya. Wakilku itu telah tahu bahwa aku tak peduli dengan persoalan seperti ini, jadi ia tak pernah meminta perhitungan sedikitpun, dan aku sendiri tak pernah memperhitungkannya. Yang penting ia memberikan jumlah uang yang aku inginkan sewaktu aku perlukan. Adapun sisanya, aku tak menghiraukannya karena dia tahu bagaimana cara mengatur segala sesuatu bersama para pedagang buku. Hingga sampai pada hari itu, seorang Haji melangkahinya dan mendatangiku secara langsung. Tanpa aku lihat wajahnya, aku langsung membentak: “Penawaran dan perhitungan dengan Muhammad Afandi...!” Maka berdirilah dia dengan tubuhnya yang besar, mengenakan pakaian tradisional sambil menyelempangkan jubah beratnya di pundaknya, dan kedua matanya -yang tak pernah kulihat dalam keadaan sehat- memerah. Dia berkata padaku dengan
logat tradisionalnya yang aneh: “Subhanallah? Memangnya ada orang yang bicara tentang penawaran atau perhitungan? Hai Ustadz, bershalawatlah untuk Nabi dan
mintalah untuk kita secangkir kopi tawar!” Aku pun meminta kopi dan Haji itu duduk berbicara tentang beberapa cerita lembut menggelitik, yang tak ada hubungannya dengan pekerjaan yang dibawanya. Haji itu seorang pembicara yang aneh lagi hebat. Pendengar takkan bosan dengannya.
Ia juga terkenal sangat pandai dan cerdik. Sekali waktu ia berbangga diri bahwa dia itu adalah seorang lelaki yang tekun. Dia mampu dengan sendirinya mengumpulkan kekayaan tak kurang dari lima ribu Pound, dan dengan kecakapannya ia mampu menguasai perdagangan buku di seantero dunia Arab. Dia berbicara tentang perwakilannya di Sanad, India, Srilanka, Pesisir emas, Barat jauh, dan Timur bawah, bagaikan seseorang yang penuh pengalaman. Dia tidak melupakan andilnya dalam penyebaran buah pemikiran kita kepada akal manusia di seluruh tempat tersebut, dan menyebarkan sastrawan Mesir serta karangan-karangannya ke negara-negara yang sebelumnya tak terpikir dapat dimasuki. Dialah Napoleon buku. Dia membuka tanah yang jauh dan mengutus bala tentara kotak-kotak besar, yang di dalamnya terdapat hasil dari para sastrawan serta ulama pembawa pemikiran penting yang berlimpah. Kemudian ia bercerita perihal keberangkatan ibadah hajinya yang terakhir, dan apa yang ia lihat di negeri Hijaz. Haji itu menunaikan ibadah haji tiap tahun, agar dapat memohon berkah kepada Allah untuk dirinya dan seluruh perwakilannya. Jadi dia bekerja untuk akhiratnya seolah-olah ia akan mati besok, dan bekerja untuk dunianya seolah-olah ia akan hidup selama-lamanya. Dia masih saja terus bercerita hingga aku merasa telah hanyut di dalamnya. Yang dapat kulakukan hanyalah tersenyum, dan aku merasa telah melupakan segalanya kecuali cerita indah tersebut. Pada saat itu, ia merogoh dadanya dan mengeluarkan kantung plastik besar. Dikeluarkannya lembaran uang sepuluhan Pound seraya menghitungnya dengan suara tinggi, “Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh,
lima puluh.” Aku akhirnya mengetahui maksudnya. Segera saja kubentak ia, “Apa yang kamu lakukan Haji! Aku bilang pe nawaran itu dengan Muhammad Afandi...” Dia tidak menoleh padaku dan berlalu begitu saja. Sambil terus menghitung uang ia berkata, “Hai Ustadz, sesungguhnya Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar! Enam puluh,
tujuh puluh, delapan puluh, sembilan puluh, seratus...” Aku takut hal itu berakhir buruk, maka aku kembali membentak, “Pak Haji, kumohon! Bapak tahu kalau aku
membenci perhitungan.” Dia membiarkan aku berteriak semauku dan terus mengeluarkan uang serta menghitung. “Seratus dua puluh, seratus tiga puluh, seratus empat puluh, ... lima puluh, enam puluh, tujuh puluh, delapan puluh, sembilan puluh,
dua ratus...” Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku hanya tak menghiraukan kelakuannya. Tetapi lama-kelamaan, aku tak bias menahan diri untuk tidak melirik, dan tanpa sengaja aku melihat lembaran uang yang sedang dihitungnya. Begitu pula
telingaku tak pernah lepas dari kencangnya suara hitungannya. Ia terus menghitung. Dan, ketika hitungan itu lewat dari dua ratus, perlawananku mulai menurun, gejolakku menenang, dan saraf-sarafku mulai melemah. Akhirnya kudengar ia berk ata, “Dua ratus
tujuh puluh Pound. Ambil dan hitung kembali.” Aku melirik ke kantung plastik di tangannya yang hampir kosong, dan hanya tertinggal beberapa lembar pound untuk keperluannya. Aku tak mampu menahan diriku. Dengan segala kekuatan kurampas kantung plastik itu dan berteriak. “Demi Allah, kau takkan keluar dari sini dengan
sepeser pun!” Aku pun mengosongkan segala yang ada di kantung plastik itu, dan aku dapatkan di dalamnya tiga lembaran lagi dan beberapa uang koin. Dia berteriak padaku,
“Baiklah Ustadz, sisakan unt ukku ongkos delman.” “Ongkos delman cuma tiga Piester!” Aku berikan padanya yang ia minta, dan dia berkata, “Tiada daya upaya kecuali
hanya kepada Allah.” Kemudian ia mengambil surat untuk Muhammad Afandi agar ia dapat mengambil buku-buku yang ia butuhkan, lalu ia pun pergi. Selang dua hari kemudian, datanglah Muhammad Afandi berteriak padaku, “Haji itu melakukannya?”
“Melakukan apa?” “Buku-buku yang harganya lebih dari lima ratus Pound dia beli hanya sekitar setengah harga!” Kemudian ia menceritakan perihal perundingan mereka berdua pada hari yang lalu, dan mengatakan bahwa ia menolak membayar apa yang telah diambilnya dengan harga empat ratus Pound. Dia terus mengambil harga itu dengan harapan, andai saja aku tidak mendengarkan Haji itu atau menanyakan kembali pendapatnya sebelum memutuskan kesepakatan seperti ini. Aku menghilangkan kepercayaannya, sedangkan ia adalah orang yang dipercaya. Rasa iba menimpanya ketika ia tahu bahwa aku melakukan
pekerjaanku
dengan
menggunakan
perasaan,
yang
mana
hal
itu
bertentangan dengan kepentingan. Bagai orang gila dia terus mengulang-ulang,
“Mustahil! Setengah harga itu hal yang mustahil!” Aku memandanginya dan tersenyum. Aku ingin menenangkan keadaan dengan
berkata: “Benar mustahil! Agar kau tahu bahw a aku terkadang melakukan sesuatu yang mustahil!” Muhammad berkata, “Maaf, bukankah Tuan hanya bisa menulis buku saja. Saya mohon Ustadz, sebaiknya kamu mengara ng saja dan jangan melakuka n yang lainnya.” Aku pun tertawa dan meredakan kegelisahannya. Aku mengakui kesalahanku dan menceritakan alasanku padanya, serta mengatakan kelemahanku di hadapan kecerdikan Haji itu. Dia telah membius sarafku dengan lembaran-lembaran itu, yaitu
ketika ia mengeluarkannya dari dalam kantung plastik di hadapanku, bagaikan seo rang pawang yang mengeluarkan mantra-mantra dari kantung plastiknya untuk membius saraf-saraf ular.
=4=
Aku telah menandatangani kesepakatan, dan lelaki berambut pirang yang rapi itu banyak berselisih denganku karenanya. Aku tak tahu apa kedudukan sebenarnya dalam pekerjaan itu. Sebagaimana yang aku tahu, lelaki itu adalah sutradara film tersebut, atau mungkin juga perwakilan dari manajer kantornya. Dengan perkiraan ini dia ingin aku mengkhususkan waktu untuk bertemu. Lalu aku menetapkan waktu antara jam empat sampai jam enam sore setiap harinya -yaitu waktu yang biasa dihabiskannya berbaring di atas sofa besar. Ketika ia datang kami saling bertukar pikiran tentang keadaan pedesaan Mesir. Aku menyumbangkan beberapa gagasan, sementara aku dalam keadaan a ntara sadar dan mengantuk. Aku mengundangnya untuk berkumpul di beranda kamar sambil menghirup udara segar, daripada di dalam lobi atau ruang konferensi yang penuh dengan kepengapan. Dengan demikian, aku tetap duduk di sofaku tanpa berpindah tempat, sebagaimana biasanya. Hanya saja ada yang tidak berubah setiap kali kami mulai membicarakan persoalan, yaitu perasaan lemas, kebodohanku akan rincian alur kisah yang ia utarakan padaku berkali-kali, dan kemalasanku untuk menelaah kembali skenario hingga akhir. Semua itu tak bisa kudapatkan obatnya. Kunjungan dan perbincangan kami telah berlalu satu pekan dan kami belum berbuat apa-apa. Akhirnya aku merasa malu dengan keadaanku dan dengan kesabaran sutradara itu. Hingga pada suatu hari yang panas ketika ia sedang menjelaskan tentang
kepribadian seorang pelaku utama dalam kisahnya, aku berkata padanya, “Maaf, pasti engkau telah putus asa denganku sebagaimana aku telah putus asa dengan diriku
sendiri!” Dia menjawab dengan tersenyum, “Aku? Putus asa?! Seorang sutradara yang putus asa tak berhak mendapat gelar sutradara. Pembuatan film itu memerlukan kesabaran yang tiada habisnya. Tidak! Jangan takut! Aku takkan putus asa darimu. Yang terpenting adalah bahwa aku hanya memerlukan sedikit waktu. Sesungguhnya seorang sutradara harus selalu memulai menyulam cuaca yang menyelubungi para aktor dan pembantunya. Dia harus menggiring mereka langkah demi langkah menuju dunia kisah, zamannya, dan tempatnya. Kemudian setelah itu ia harus menundukkan mereka
secara tersembunyi ke bawah kendalinya, sebagaimana halnya sedang menhpnotis orang."
Tanpa sadar aku menguap sambil berkata padanya, “Benar, buktinya kamu datang padaku setiap Ashar sejak seminggu lalu untuk menidurkanku!” Langsung saja ia menoleh padaku sambil tersenyum, “Yang kau maksud dengan tidur itu apa?!”
“Maaf, sesungguhnya maksudku...” “Tidak apa-apa, tidak apa-apa.” dia mengatakannya sambil tertawa. “Kita mungkin bisa lebih bersemangat kalau meninggalkan kamar ini dan meletakkan diri kita di tempat berlangsungnya kisah itu.” Kemudian aku diberitahu bahwa mereka sesungguhnya telah menemukan desa kecil di jalan al-Badrasyin, setengah jam berkendaraan dari kota Kairo. Mereka menyewa sebuah rumah bagus yang telah dikosongkan pemiliknya, yang terdiri dari dua tingkat. Mereka telah mengirim orang yang bertugas untuk membenahi tempat itu hingga layak untuk melakukan syuting film. Dia mengatakan bahwa dia harus tinggal di tempat itu sebanyak mungkin untuk dapat merasakan suasana pedesaan sesungguhnya, serta mampu memilah-milah alur kisah itu atau para lakon yang diambil dari para petani itu. Dia memulai pembahasannya dengan sudut pandang pengambilan
gambar, lalu menutup perkataannya seraya berkata, “Andai saja kau ikut serta dan tinggal bersama kami di desa itu.” Aku tak dapat menaha n diriku dan segera berkata, “Itu mustahil. Aku punya
pekerjaan di Kairo yang tak mungkin aku tinggalkan.” Lelaki itu meminta maaf, lalu mencoba untuk memberikan jalan keluar, yaitu dengan menawarkan sebuah kendaraan yang akan membawaku pulang-pergi Kairo setiap harinya, asalkan aku bersedia meluangkan sebagian besar waktuku bersama mereka di desa itu. Dia juga meyakinkan padaku bahwa kenyamananku di rumah desa itu akan terpenuhi, dan mereka akan menyediakan untukku sebuah kamar yang paling bagus. Dia juga menyebutkan bahwa kamerawan bersama istrinya telah tinggal di rumah itu sejak awal penyewaan, dan mereka sangat bahagia tingga l di sana. Ucapan itu berlalu begitu saja dan aku tidak mau lagi mendengarkan apa yang dia ucapkan. Karena sebutan desa dan hidup di sana membuatku risih semenjak aku tinggal di sana beberapa tahun lalu, yang tak pernah akan terlupakan dalam sejarah hidupku. Sesungguhnya bayangan pedesaan yang aku bawa sangatlah menyakitkan, meskipun dulu aku menyukai kejiwaan pedesaan yang tulus dan ruh petani yang mulia. Tapi aku membenci pemandangan pedesaan yang buruk dan kehidupan petani yang
jorok. Maka aku berkata pada lelaki itu, “Aku tidak harus ikut bersama kalian, cukup bagiku naskah kisah di hadapanku ini sambil menuliskan dialognya di dalam kantorku ini." Tetapi lelaki itu terus saja mendesakku, hingga aku merasakan kalau ada sesuatu yang lain selain perbincangan yang ia maksudkan dariku dan dari keberadaanku di dekatnya, yaitu pengetahuan dan penjelasan tanah, manusia, dan tukar pengalama n yang dia kira bias kuberikan di setiap episode pekerjaan ini. Segalanya berakhir dengan isyarat jelas untukku, bahwa ia sedih dengan sikapku. Dia memohon padaku agar aku dapat membantunya dalam pekerjaan sekuat mungkin. Bukan karena perjanjian yang telah mengikatku dengan mereka, tapi demi kesenian dan persahabatan yang mulai terjalin antara kami. Ucapannya mulai menyentuhku. Aku memikirkan apa yang mungkin dilakukan. Maka aku menawarkan untuk bersama mereka di desa itu pada malam Jum'at hingga paginya setiap pekan, dan agar ia selalu mengontakku dengan surat atau telepon sepanjang pekan, untuk menanyakan segala sesuatu yang ia butuhkan. Dia pun menerimanya. Lalu aku menanyakan kapan perjalanan itu akan di
mulai. Dia berkata, “Jika kau bisa, mulai hari Kamis depan.” Yakni pada hari aku menemukan anak keledai itu. Demikianlah terbersit di benakku untuk membawanya bersamaku ke desa pada har i itu.
=5=
Kutinggalkan anak keledai itu bersama wanita berambut pirang dengan penuh ketenangan. Aku percaya bahwa ia telah berada di tangan lembut yang menyayanginya, dan aku berharap kalau saja aku yang berada di posisinya. Terkadang aku berlebihan terhadap beberapa hal, dan kebencianku mendorongku untuk tidak dapat menahan akibatnya. Maka aku kuatkan keinginan untuk lari dari muka wanita itu sampai tiba waktu bepergian di sore hari ini, karena aku takut titipanku akan dikembalikan sebelum waktunya kubawa keledai itu pergi ke desa, sehingga aku harus menahan bebannya sedangkan aku sendiri tak mampu memikul beban diriku sendiri. Aku tinggalkan hotel untuk pergi makan siang di salah satu kedai di kota, dan takkan kembali kecuali pada waktu yang tepat. Tepat pada jam tiga aku kembali ke kamarku. Belum sempat aku duduk di kursi, tiba-tiba telepon berdering sebagai tanda kedatangan sutradara itu. Aku memanggilnya untuk naik, dan ternyata dia datang dengan pakaian perjalanan; yaitu celana berkantung selutut, baju lengan pendek, dan topi besar yang terbuat dari dedaunan.
“Segala sesuatu telah siap berangkat , dan kendaraan di pintu hotel sedang menunggu.” katanya. Aku bangkit dan melihat tampangku di cermin seraya berkata, “Penampilanku akan tampak berbeda sendiri di antara kalian.”
“Berpakaianlah sepertiku!” “Dari mana aku me ndapatkan pakaian seperti ini sekarang?” “Ya... kau dapat membelinya di jalan nanti” katanya. "Ayolah!" Segera kubawa tas kecil yang telah kupersiapkan sejak pagi hari tadi. Di dalamnya terdapat berbagai kebutuhanku yang cukup untuk satu malam di luar. Aku membunyikan bel dan meminta tolong pelayan untuk menurunkannya ke bawah. Sebelum pelayan itu datang, aku ingat bahwa Nona berambut pirang itu telah berputarputar mencariku setiap waktu dan aku pun tahu sebabnya.
Aku menoleh kepada sutradara itu seraya berkata, “Apa mungkin aku membawa seorang teman dekat?” Karena sutradara itu telah mendengar pelayan tadi mengatakan kalimat
„Madmozel‟ (Nona_pen.), langsung saja ia menjawab, “Tentu saja, kamarku di rumah desa itu cukup untuk dua ranjang!” Ia melontarkan senyuman penuh makna, sehingga aku paham akan maksudnya.
Sejenak aku terdiam, lalu berkata, “Lebih baik bagiku untuk segera memperkenalkan sahabatku itu.” Kemudian aku meminta izin untuk pergi ke kamar sebelah. Dia duduk di kursi besar menunggu kedatanganku. Aku pergi bersama pelayan ke tempat wanita itu, dan mengetuk pintunya dengan lembut. Ia membukanya. Ketika ia melihatku, langsung saja ia berteriak sambil tersenyum, “Nah! Akhirnya kau muncul juga! Hampir saja aku putus asa dengan lelaki aneh yang meninggalkan anak
keledainya kemudian menghilang!” “Maaf Nyonya, sesungguhnya aku ingin membiarkan anak keledaiku itu senantiasa dalam kelembuta nmu selama mungkin!” Ia tersenyum dan berkata dengan gugup, “Maaf saja, aku tak mampu berbuat apa-apa untuknya. Aku telah menanyakanmu untuk memberitahukan bahwa dia menolak minum susu itu dengan cara tersebut juga. Jadi menurutku, dia harus menyusu dari induk keledai yang baru saja melahirkan. Aku sedih dengan binatang miskin ini!
Dia pasti aka n mat i kelaparan j ika t idak segera mendapatkannya.” Segera aku berkata, “Aku akan mencarinya di pedesaan, dan untung saja aku sekarang akan berangkat.” Aku mengatakannya sambil mataku mencari keberadaan
anak keledai itu. Aku menemukannya sebagaimana saat kutinggalkan, yaitu di depan cermin besarnya sambil berkaca memperhatikan dirinya dengan seksama.
Aku berkata padanya, “Apakah kau memperkenankan aku untuk membawa „Filsuf‟ ini?” Sambil tersenyum ia menjawab, “Tentu saja, duh Filsuf!” “Aku mewakili dirinya mengucapkan terima kasih pada Nyonya, dan aku sendiri juga berterima kasih karena kebaikanmu. Aku takut kalau saja hal ini membebanimu sebagaimana kebanyakan para filsuf itu membebani si cantik yang
lembut.” Sambil memberikan tali kekangnya ia berkata, “Sebaliknya, aku senang ketika bersamanya. Good bye!” Ia mengisyaratkan dengan tangan nya isyarat perpisahan yang aneh kepada seekor binatang kecil, lalu meninggalkannya. Aku segera menggiring keledai itu masuk ke kamarku untuk menemui sang
sutradara. “Kenalkan, sahabatku...” Lelaki itu segera berdiri dan berbalik. Ketika tiba-tiba ia menemukan seekor anak keledai, ia terkejut dan tersenyum. Kemudian ia tertawa senang lagi takjub. Ia menerimanya sambil mengusap-usap kepala kecilnya dengan telapak tangannya.
“Selamat datang sahabat! Pasti saja dia itu asal wahyumu.” “Saya harap begitu...” “Kelakuanmu menakjubkan, siapakah namanya?” “Aku belum memutuskan nama untuknya, tetapi aku suka memanggilnya dengan „Filsuf‟.” Lelaki itu berteriak, “Kau benar, tak ada nama lain yang cocok untuknya selain nama ini. Ayolah „Filsuf‟!” Pelayan itu ingin menurunkannya dari tangga pelayan, tapi sutradara itu ingin ia turun bersama kami dan ia sendiri yang menuntunnya turun. Kami bergerak menuju lift dan turun ke lobi hotel di hadapan semua orang. Kami menembus tempat itu menuju pintu utama, sementara mata orang mengikuti kami dengan penuh ketakjuban. Kami memperhatikan Tuan „.......‟, manajer „.......‟ dan ke dua matanya tak percaya kalau ada anak keledai yang berjalan di atas porselin lobi hotel... Ini mustahil... Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan. Segera kulemparkan senyuman dan penghormatan. Para hadirin, tuan dan nyonya, melirik padanya dengan senyuman, tawa, serta kegembiraan. Manajer itu tak dapat menahan dirinya dan akhirnya ia pun tersenyum seperti yang lainnya. Kami segera keluar dan menemukan kendaraan besar yang di dalamnya ada seorang wanita muda yang manis. Ia memakai kaca mata yang menunjukkan gairah
semangat untuk bekerja, dengan mengenakan pakaian bepergian. Di depan kemudi, seorang
pemuda
kekar
juga
mengenakan
pakaian
bepergian.
Sutradara
itu
memperkenalkan mereka padaku, bahwa mereka berdua adalah para pembantunya. Mereka berdua telah menerima kami dengan senang hati, khususnya „Filsuf‟, sampaisampai kami melalaikannya. Pembantu wanita itu bergeser memberi tempat di depannya untuk sahabat kecil itu. Ia lalu berdiri di tempat itu sambil menjulurkan kepalanya ke luar mobil. Setelah semua mendapatkan tempat duduk, kami melaju hingga tiba di jalan Fouad. Kami berhenti di depan sebuah toko pedagang besar untuk membeli pakaian seperti yang mereka pakai. Aku turun dari mobil dan membeli apa yang aku perlukan. Ketika aku kembali, tiba-tiba aku menemukan banyak orang berkerumun di sekitar mobil. Orang yang berlalu berkerumun dalam lingkaran besar. Mereka memperhatikan anak keledai itu menjulurkan kepalanya. Datanglah polisi lalu lintas untuk membubarkan kerumunan itu, dan menolong kami agar dapat terbebas dari mereka. “Ayo bubar semua! Ada apa ini! Seumur -umur
kalian tidak pernah ya melihat keledai naik kendaraan?!” teriak mereka. Kami menoleh kepadanya dari dalam mobil sambil berkata, “Terima kasih
banyak!” Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Giza, lalu melalui bypass menuju al-Badrasyin.
=6=
Perjalanan kami tidak begitu mulus. Setiap kali sutradara itu menemukan pemandangan aneh, kami ber henti sejenak. Dia sangat menyukai pe mandangan po hon al-Jummaiz (yaitu pohon yang buahnya menyerupai buah Tin_pen.) yang mengalir air di bawahnya, dengan bebek-bebek berenang. Segera ia mengeluarkan kamera foto untuk mengabadikan pemandangan ini, seraya berkata bahwa tempat ini sangat cocok sebagai salah satu tempat syuting, dimana si petani Aminah dan Mahdi (kedua aktor dalam film itu) saling bertemu. Aku berkata, “Jadi tempat ini jauh dari desa yang seharusnya pengambilan kisah itu dilakukan?”
Dia berkata, “Apa bedanya, kita mencari pemandangan yang kita inginkan lalu kita tempelkan pada kaset yang kita inginkan.” “Tetapi ini berbeda dari yang sesungguhnya.”
“Tentu saja ini berbeda dari tempat sesungguhnya secara geografis jika kau mau, dan aku rasa kita adalah para seniman, bukan para insinyur bangunan. Yang kita
inginkan adalah hakikat seni itu.” Lelaki ini benar. Sungguh hakikat seni itulah yang seharusnya diperhatikan oleh seorang seniman. Hakikat ini segala bentuknya adalah memilih pemandangan dan mengaturnya hingga menciptakan suatu makhluk seni yang sempurna, memiliki karakteristik tersendiri dan kejiwaan yang baru. Dia tidak memikirkan bagaimana caranya mengumpulkan unsur-unsur itu. Pada saat itu terlintas di benakku kata „Muller‟ ketika ia dituduh telah mengumpulkan beberapa kisah atau dua kisah pendahulunya,
dan telah mengeditnya. Tetapi ia berkata, “Aku mengambil segala sesuatu yang bermanfaat untukku dari mana saja.” Aku mengatakannya kepada sahabatku dan ia berkata, “Sungguh tak diragukan lagi bahwa perkataan ini adalah syiar setiap sutradara dan seluruh seniman, baik itu riwayat, musik, lukisan, sinema, dan lain-lain. Karena di
dalamnya terdapat makna „hakikat seni‟.” Kami terus berbincang-bincang seperti ini hingga tiba di desa tujuan semula. Desa itu terletak di sebelah kiri jalan bypass yang kami lalui. Kami telah melihatnya dari kejauhan. Desa itu tampak telah tertutupi oleh pohon kurma. Kendaraan kami berbelok memasuki jalan sempit dari tanah yang menghubungkan kami ke desa tersebut. Mobil itu jalan perlahan di antara gundukan kompos dan kotoran. Kemudian berhamburan keluarlah menyambut kami, gonggongan anjing dan anak-anak kecil petani dengan lalat-lalat yang mengerubungi bulu mata mereka. Mobil kami lalu berhenti di tempat yang tak mungkin lagi untuk maju, karena jalannya terlalu sempit dan hanya cukup dilewati pejalan kaki. Daerah itu bagai gang kecil, atau bahkan lorong di antara tempat tinggal yang mirip seperti sangkar-sangkar binatang liar. Semua keluar menyambut kami, karena kamerawan dan istrinya bersama beberapa pesuruh perusahaan yang ditugaskan menjaga rumah itu, telah menyambut kami. Mereka membawa barang-barang ringan yang kami bawa, dan menurunkan anak keledai dengan bantuan seorang nona pembantu. Langsung saja aku bertanya kalau-kalau ada induk keledai yang baru saja melahirkan anak di desa itu. Salah seorang anak kecil yang berkumpul mengatakan padaku, kalau di rumah seorang yang bernama Sa'dawi, ada induk keledai yang baru melahirkan.
“Di manakah Sa‟dawi itu?” “Dia adalah tetangga kami.”
Sejenak aku memandangi anak kecil yang lemah ini sambil mengingat perkataan salah seorang dokter kami, bahwa tak ada satu pun anak kecil di desa Mesir yang tak pernah dimasuki Anklastoma dan Balharsia . Penyakit-penyakit ini khususnya yang juga mempengaruhi kerja aktif otak, sehingga menurunkan daya tangkap dan mematikan sumbu kecerdasan. Pelayan kami tidak menghiraukan perkataan anak kecil itu. Mereka berpendapat agar anak keledai itu dibawa ke rumah kepala desa agar ia menyelesaikan permasalahannya. Bagian administrasi telah memberitahukan tentang kebaikan para tamu asing kepada kepala desa, dan aku sudah tahu bahwa kepala dusun serta pembantunya telah mengetahui kedatangan kami pada hari ini, maka mereka berdua membujuk kepala desa untuk datang menyambut kami. Tetapi sutradara cerdik itu mengetahui
maksud
mereka
berdua.
Sambil
tersenyum
ia
berkata
padaku,
“Sesungguhnya mereka berdua mengira bahwa kita akan melakukan pengambilan gambar dengan memerlukan para aktor, dan mereka tak ingin ketinggalan untuk
menyaksikannya!” Kami meninggalkan mobil yang dijaga oleh warga. Kami berjalan di gang dan lorong, di antara tingkatan-tingkatan rumah. Anak-anak kecil berpenyakit dan anjing kurapan itu mengikuti kami. Para lelaki yang duduk sambil menghirup teh hitam di atas meja berdiri karena kami lewat. Dari belakang pintu nampak kepala perempuan berselubung asap panggangan, dan mereka menyembunyikan wajah di balik cadar hitamnya. Para pemuda pemudi bermunculan menengok kami dari atas loteng dengan tangan berlumuran kotoran binatang. Mereka sedikit mengalihkan perhatian kepada kami daripada menyusun kotoran-kotoran itu! Itulah pedesaan kumuh yang selalu aku ketahui. Tak ada faedah yang dapat diharapkan darinya, tak ada apa-apa hari ini kecuali permohonan maaf dan penyesalan. Aku menyesali kedatanganku. Keputus-asaan melandaku. Lalu aku menoleh kepada teman-temanku, dan kulihat di wajah mereka keceriaan serta kegembiraan terpancar. Sutradara itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata kepada pembantunya,
“Lihatlah! Segala sesuatu nampak indah!” Aku membuka lebar-lebar mataku di hadapan mereka, memandangi apa yang mereka sebut keindahan. Sutradara itu melihat seorang anak perempuan kecil yang kumuh keluar dari antara tanah dan kayu bakar di atas loteng sebuah rumah. Di tangan anak itu tampak seekor kucing kusam. Baik anak maupun kucing itu, keduanya berlumuran tanah serta kotoran. Lelaki itu membidikkan kameranya kepada mereka
dengan gembira. Aku berteriak padanya, “Apakah ini sesuatu yang indah?!”
“Oh, tentu.” Jawabnya antusias. “Semua makhluk miskin yang kumuh ini?!” “Itu lebih indah menurut seni daripada makhluk yang memakai pakaian kebesaran pada pesta dansa d i istana Imperatur Butrasberg!” “Keindahan seni!” “Iya, betul.” “Hakikat seni itu juga tak ada hubungannya den gan kebersihan dan kekumuhan, keutamaan dan kehinaan, atau kemunduran dan kemajuan!” “Iya, be nar.” Aku tak ingin melanjutkan perbincangan dengannya mengenai hal ini, sebaiknya aku diam saja. Aku cukup memperhatikan bagaimana caranya memandang segala sesuatu. Pada mulanya aku memang takjub dengan cara berpikirnya. Dia tidak menggambarkan
sesuatu
dengan
akalnya,
melainkan
menggambarkan
dan
memikirkannya dengan matanya. Indra penglihatan pada sutradara ini aku kira adalah segala sesuatu baginya. Kami melewati dua orang petani yang sedang menggiling gandum untuk memisahkan antara biji gandum dengan jerami. Jerami-jerami itu beterbangan dari dalam alat penggiling. Pemandangan tersebut tak lepas dari mata seniman sinema itu,
lalu ia berteriak takjub, “Hujan emas!” Aku melihat – sepertinya- memang benar kalau jerami-jerami yang keluar dari alat penggiling itu berhamburan di udara bagaikan uang Dinar yang berjatuhan. Sahabatku itu mengabadikannya dengan kameranya, dan sambil tersenyum dia berkata
kepadaku, “Jika kau i ngin mengungkapkan pemandangan ini dengan penamu, maka kau cukup mengolah kata-kata. Tapi aku membutuhkan ungkapan secara visual! Nah,
inilah perbedaan antara aku dan kau!” Ucapannya membuatku takjub. Aku terdiam dan berpikir sendiri. Kalau saja kami para penulis menggunakan penglihatan kami atau bahkan seluruh indera yang kami miliki seperti ini, maka pemandangan apa atau kebenaran apa yang mungkin dapat kami angkat untuk manusia? Tetapi penulisan menurut kebanyakan penulis hanyalah ungkapan bahasa yang terkumpul di gudang ingatan, dan kemudian dikeluarkan pada waktu tertentu. Sesuatu hal yang menyebabkannya hanya mewakilkan maksud tujuan belaka. Sebaiknya seorang penulis itu benar-benar ahli, agar menghasilkan tulisan yang lebih dari itu. Dari sisi ini persahabatanku bersama sutradara itu bermanfaat, dan untuk pertama kalinya aku menyukai persahabatan ini.
Akhirnya sampailah kami di rumah yang disiapkan untuk kami. Rumah itu berdiri di tengah-tengah rumah penduduk bagaikan seorang kepala desa yang sedang memberikan pengarahan kepada para bawahannya, tanpa mengenal perbedaan karakteristik di antara mereka satu per satu. Rumah ini rumah yang besar, terdiri dari dua lantai, terbuat dari batu bata merah, dan bercat kehijau-hijauan. Jendelanya besar tertutupi teralis, temboknya kasar, plafonnya tinggi, dinding ruangannya diukir dengan cat yang menggambarkan kebesaran dan keluasan. Tetapi meskipun demikian, tetap saja sangat jauh dari sentuhan seni. Tak ada taman kecil di sekelilingnya, tak ada gerbang yang menerima para tamu di depan pintu besarnya, tak ada kamar mandi yang tersedia peralatan penting, melainkan orang yang masuk seolah-olah hanya melalui sebuah lorong gelap lagi sempit, yang mana di sebelah kanan dan kirinya adalah kamarkamar besar yang tinggi plafonnya, yang mengeluarkan uang banyak demi segala ukirannya. Rumah itu menggambarkan bahwa pemiliknya kaya kantong, tapi miskin ruhani. Hatiku menjadi terenyuh karenanya. Mereka lalu mengajakku ke kamar yang disediakan untukku. Kamar itu adalah kamar yang terindah dari yang lainnya. Mereka meletakkan di dalamnya perabotanperabotan ringan yang dipergunakan dalam perjalanan. Tetapi aku melihat jendelanya sama seperti yang lainnya, menjorok ke arah gundukan-gundukan kompos yang menghantarkan hawa busuk ke hidungku. Aku menyendiri di dalam kamarku sambil mengeluarkan beberapa keperluan dari dalam tas kecilku. Saat itu matahari mulai tenggelam dan kegelapan mulai menyelimuti rumah itu dengan suasana baru. Para pelayan menyalakan lampu dan menyiapkan meja untuk makan malam. Tetapi sutradara itu masih saja bekerja, karena sayup-sayup aku mendengar suara mesin ketik datang dari salah satu kamar yang jauh. Mereka tidak mau menggangguku, hingga tiba waktu makan malam mereka memanggilku untuk datang ke meja yang terdapa t di loteng rumah. Udara di dalam rumah sangat panas dan nyamuk-nyamuk semakin banyak berdatangan. Kami duduk di depan meja yang di atasnya diletakkan bunga yang tumbuh di kebun yang dikumpulkan oleh istri kamerawan, dengan bantuan perempuanperempuan desa. Mata kami menerawang ke angkasa yang bersih dan bulan purnama, sambil menikmati udara sejuk yang mengalir lembut. Duduk di kursi terdepan, istri kamerawan yang telah merawat rumah itu, dan duduk di sampingnya nona pembantu yang telah menanggalkan kaca matanya, hingga tampak gemerlap warna hijau bola matanya yang indah, bagaikan mata seekor kucing. Ia juga telah menanggalkan pakaian perjalanan dan menggantinya dengan pakaian wanita yang anggun. Kami memakan makanan ringan yang sangat lezat. Kami menikmati waktu yang indah itu dalam
perbincangan tentang „Filsuf‟. Berkata istri kamerawan itu, “Saya harap ia juga telah menyantap makan malamnya!” Aku berkata, “Oh, tentu saja. Kepala desa itu pasti bisa mendapatkan induk keledai yang dapat memberinya hidangan lahir dan batin, yaitu sedikit susu dan kasih
sayang!” Sutradara itu berkata, “Aku ingat sesuatu! Kita bisa memanfaatkan „Filsuf‟ itu untuk iklan.” Seraya tersenyum aku berkata, “Ya benar, inila h yang kurang dari „Filsuf‟, yaitu orang dapat memanfaatkannya sebagaimana yang dilakukan kebanyakan filsuf! Tetapi aku tak tahu dari segi mana kita dapat memanfaatkannya. Yang aku ketahui dia itu 'Filsuf' yang diam dan terkekang selamanya oleh semua perkataan di dalam dadanya.” Nona pembantu itu berkata sambil tertawa, “Kita cukup mengambil
gambarnya!” Sutradara itu berkata, “Iya, gambarnya yang anggun dan berwibawa. Aku lupa mengatakan padamu bahwa Nona „.......‟ spesialisasinya di bidan g ini. Dialah yang menyiapkan
media
massa
dengan
berbagai
bahasa,
dan
bertanggung
jawab
menyebarkannya ke seluruh majalah sinema di dunia.” Memang benar, dahulu ketika seorang teman berselisih denganku di sebuah hotel tentang beberapa majalah bergambar yang khusus mengenai perfilman yang dikeluarkan di Eropa dan Amerika, di dalamnya disebutkan kabar proyek-proyek perusahaan, dan di antaranya kabar tentang film yang dia siapkan bersama nama-nama penanggung-jawabnya.
Lalu ia melanjutkan perkataannya: “Iya, saya mohon Nona menyetujui perjanjian saham tersebut. Sekarang marilah kita bersama-sama membantunya dan berpikir bersamanya: apa yang akan kita katakan? Ya, mungkin kita bisa mengatakan bahwa anak keledai ini adalah pencetus ilham seorang penulis dialog, dan mereka berdua tak mungkin dapat dipisahkan. Lalu kami akan mengambil gambar kalian
berdua.” Aku berkata, “Benar, iklan untuk seorang penulis dialog yang sangat bagus! Yaitu dikabarkan bahwa ilhamnya takkan turun kecuali dari seekor keledai! ” Lalu mereka tertawa semua. Istri kamerawan itu menoleh padaku seraya
berkata, “Bukan begitu tuanku, tapi akan tersirat dari sana bahwa kau adalah salah seorang yang menyayangi binatang.” “Kalau demikian maksudnya, itu benar. Ya, aku memang sangat menyukainya , dan saya mohon maaf kalau karena kehidupanku yang sering pindah ini membuatku
tidak dapat memperhatikannya. Hari ini saja aku ingin ada seseorang yang bisa memperhatikanku. Oleh karena itu, cukuplah aku menyaksikannya saja. Aku akan selalu senang ketika berlalu di jalan dan melihat seekor monyet kecil di antara sekelompok monyet. Aku takkan lupa kalau suatu pagi aku pernah melihat seekor monyet duduk bersama pemiliknya di depan sebuah restoran, dan telah diletakkan di antara mereka semangkuk kacang dengan minyak. Lelaki itu makan sesuap, lalu ia menyuapi monyet itu bagaika n seora ng ayah dengan anaknya.” Kedua wanita itu berkata bersamaan, “Ini baru aneh.” Lalu aku melanjutkan, “Benar. Mulailah aku memperhatikan monyet-monyet di jalanan kota Kairo hingga para pemiliknya mengenalku. Salah seorang dari mereka ketika melihatku berlalu, langsung saja datang sambil berteriak kepada monyetnya:
„Beri salam kepada tuan Beik!‟ Monyet itu lalu berdiri di antara kakinya bagaikan manusia, dan mengangkat tangannya ke atas kepalanya mengisyaratkan salam. Lalu aku memberinya uang dan mengatakan pada pemiliknya untuk membelikannya kacang. Salah satu pemandangan terindah di mataku adalah ketika seekor monyet kecil menunggangi seekor kambing berpakaian merah dan anjing berantai, sambil berlompatan dari satu pundak ke pundak lainnya bagaikan seorang tuan besar yang tak
mungkin berjalan di atas rintangan.” Kamerawan itu tertawa dan berkata, “Pemandangan yang pantas untuk diambil!” Aku berkata padanya, “Yang lebih penting lagi adalah pemandangan sebuah keluarga aneh yang pernah aku lihat di sebuah jalan. Mereka menanggalkan perlengkapannya di dekat sebuah tong sampah, dan nampak sekali kalau mereka menahan lapar, letih, serta kesusahan. Orang-orang telah mengasingkan mereka, masyarakat membicarakan mereka, dan tak seorang pun yang mengenal hak kehidupan bagi mereka. Aku bergerak ke tengah-tengah jalan, dan tak tersisa di sana seorang pun yang peduli. Setiap orang sibuk dengan dirinya sendiri. Seseorang dari keluarga yang duduk meringkuk itu mencari kulit-kulit semangka, potongan-potongan roti, dan sisa-sisa makanan di tong sampah. Berpencaranlah anggota keluarga itu. Setiap anggota di sudut mengeluarkan tangannya, mulutnya, atau taringnya, sesuai dengan bentuk binatang, agar menutupi perutnya yang kosong. Berebutan bersama mereka kucing dan anjing tersesat, yang meminta hak mereka dari hidangan itu. Kemudian dia memberi makan semuanya, dan nampak di wajah mereka tanda keridhaan. Hal itu membuatku iba, lalu aku mendekatinya dan melemparkan sebuah koin perak kecil. Mata si miskin itu tak
menyangkanya. Maka segera ia melompat dan berteriak pada keluarganya dengan sebuah teriakan kegembiraan yang teramat besar, bahwa telah datang jalan keluar yang
dapat mendorong mereka pada harapan serta pekerjaan. „Bermainlah anak -anak! Malam, malam, takkan kuhiraukan! Hai si kecil Maimun, berjogetlah untuk tuan kita Beik. Semoga Allah takkan menimpakan padanya keburukan sehari pun!‟ Kumpulan itu bergerak riang, kambing mengembek, anjing menggonggong, dan monyet berlompatan. Aku melihat kegembiraan, dengan sinar kehidupan yang terpancar dari mata mereka semua, seolah-olah dengan atraksi itu mereka ingin menyuguhkan segala keindahan yang ada dalam lubuk hati mereka. Namun pekerjaan pada pagi itu menungguku, dan waktu itu bukanlah waktu untuk menyaksikan atraksi monyet dan kambing. Maka aku membiarkan keluarga itu untuk tidak melakukan akrobat, tapi mereka menolak. Lelaki itu tidak membiarkan aku berlalu sebelum temantemannya melakukan kewajibannya. Aku melihat kesungguhan dalam diri mereka, dan aku memahami bahwa mereka tidak sudi menerima sedekah. Mereka itu bukanlah tukang minta-minta, tapi mereka mengambil upah dari pekerjaan yang mereka lakukan dengan sungguh-sungguh. Aku tak ingin melukai perasaan lelaki itu, maka aku berkata
padanya: „Baiklah, cepat mainkan!” Sutradara dan kamerawan itu tersenyum. Lalu Nona pembantu berkata, “Benar,
sungguh di d iri beberapa binatang terdapat kecerdasan ya ng menakjubkan!” “Dan kepatuhan.” tambah sang istri kamerawan. Segera aku berkata, “Adapun tentang kepatuhan, aku takkan sekali -kali lupa dengan kepatuhan anjing Fox.”
Semuanya dengan heran bertanya, “Fox?!” “Iya, anjing betina yang ada di tanah kami. Semua orang tak menghiraukannya, mereka meninggalkannya tidur dimana ia mau dan makan kotoran apa saja yang dijumpainya. Para petani takkan memikirkan persoalan binatang yang tak berharga di pasar ternak itu. Dan puncak kelalaian mereka terhadap anjing itu adalah dengan menamainya dengan nama apa saja. Semua anjing menurut mereka bernama Fox, jadi dinamailah anjing ini dengan nama Fox. Namun Fox tetap saja seperti biasanya, dalam keadaan terhina. Meskipun demikian dia itu seekor penjaga tanah yang tak pernah tidur. Sampai akhirnya datanglah seorang lelaki dari desa sebelah hendak mengambilnya, agar dapat melahirkan anak dari anjing jantannya. Pemilik tanah itu mengatakan bahwa dia boleh mengambilnya karena mereka tidak membutuhkannya. Lelaki itu datang dengan membawa tali dan beberapa kerat roti. Yang satu adalah alat untuk membujuk jika ia menurut, dan yang satu lagi adalah alat untuk memaksa jika ia membangkang.
Tetapi Fox hanya menurut dan patuh kepada lelaki itu. Mulanya para petani heran melihatnya, tetapi siang harinya anjing itu telah kembali lagi ke tempat semula. Lelaki itu kembali dengan geram. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa lalai hingga anjing itu bisa kembali. Dia lalu mengambilnya, dan anjing itu tetap saja patuh kepadanya. Mata penduduk memperhatikan anjing itu. Dan ia berbalik memandang wajah orang-orang dengan tenang, seakan-akan dengan sombongnya ia berkata: 'Kalian jangan takut, sebentar lagi aku akan kembali!' Dan memang benar! Tak lebih dari satu jam kemudian anjing itu telah kembali ke tempatnya semula. Akhirnya lelaki itu putus asa akan rencananya mengawinkan anjing tersebut, dan semua orang yakin kalau kepatuhan anjing itu kepada pemiliknya adalah lebih baik baginya daripada perkaw inan.”
Istri kamerawan itu menoleh padaku dan berkata, “Tidakkah kau sependapat denganku kalau dalam diri binatang ini terdapat sesuatu?! Yaitu „kemanusiaan‟ dengan
makna tinggi yang sebe narnya?” Aku sangat setuju dengannya. “Ini benar, bahkan dalam diri mereka terkadang
ada sifat kemanusiaan yang melebihi manusia sendiri! Sungguh pikiran „kejahatan‟ itu tak ada dalam diri binatang. Sebagian besar binantang mencintai kedamaian, kekeluargaan, dan kenyamanan. Sebagian kecilnya yang disebut dengan binatang buas, tidak tahu apa itu makna permusuhan. Manusia sajalah di antara makhluk bumi yang memandang bahwa penindasan terhadap sesama manusia adalah kejayaan dan
kebanggaan!” Berkata istri sang kamerawan, “Aku sependapat dengan mu. Sungguh keganasan manusia telah mencapai batasan yang harus kita kembalikan perumpamaannya kepada binatang, agar kita dapat meluruskan pandangan kita padanya, dan mengambil teladan mulia yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia jika ia memang benar-benar
menginginka n kedamaian di muka bumi.” Kami terus berbincang-bincang hingga jam sembilan malam. Istri kamerawan itu bangkit dan memohon pamit untuk turun, karena para perempuan desa sedang menunggunya. Semenjak ia ada di desa itu, ia selalu meneteskan obat pada mata mereka serta memperhatikan keadaan mereka. Kami rasa sebaiknya kami juga turun ke kamar masing-masing agar bisa bangun pagi dan melihat matahari terbit esok hari. Sutradara itu mengatakan bahwa ia ingin mendapatkan gambar yang indah saat matahari itu terbit di antara pepohonan kurma.
=7=
Aku masuk ke kamarku yang menyerupai neraka Jahannam. Hawa panas mencekat nafasku dan memenuhi ruangan. Suara nyamuk terdengar berdesing di telinga. Datang padaku salah seorang pelayan dari petani desa yang bergabung membantu para seniman itu. Dia meletakkan obat di dalam belanga, yang kemudian mengepul asap darinya sepanjang malam, menghalau nyamuk dan serangga lainnya. Dia mengatakan bahwa istri kamerawanlah yang memesan itu untukku. Tak luput darinya segala cara untuk menciptakan kenyamanan di desa ini, maka aku patut berterima kasih untuknya. Aku memperhatikan kebersihan petani yang satu ini, lalu aku pun menanyakan tentang dirinya. Dia berkata bahwa nyonya asing itulah yang mengajarkannya untuk selalu menjaga kebersihan, dan ia setiap hari mengawasi sendiri cucian bajunya setiap hari. Dia berjanji untuk membantu mengobati kesehatannya selagi ia mampu, dan mengawasi makanannya, tidurnya, pekerjaannya, serta menepatkan segala sesuatu dengan jam. Jadi wanita itulah yang melaksanakan pekerjaan ini untuk dirinya dan seluruh orang yang di sekelilingnya, atau yang datang ke rumah tersebut untuk bertanya darinya. Sesungguhnya seluruh hari yang telah ia lewatkan semenjak ia mempersiapkan rumah ini, sudahlah cukup untuk menciptakan suasana kekeluargaan. Apalagi ditambah dengan kepribadiannya yang mulia dan hatinya yang penyayang. Seluruh orang menyukainya dan patuh terhadap perintah serta nasehatnya. Kemudian lelaki itu bercerita kepadaku betapa banyak kotoran, hewan melata, dan debu yang memenuhi rumah ini sebelum ditempati. Jadi rumah ini sejak lama memang tidak ditempati. Petani
itu memandangi seke liling kamarku dan berkata dengan logat pedesaan, “Nyonya asing itu dengan sendirinya berdiri setelah kami keluar dari ruangan ini. Segala sesuatu ditutupi tanah! Karena ruangan ini, maaf saja, sudah lama tertutup semenjak hari
terbunuhnya lelaki itu di dalamnya.” Aku berkata dengan gemetar, “Terbunuh di dalamnya?”
Ia melanjutka n perkataannya, “Ya, mereka menghajarnya de ngan kapak.” “Dia siapa?!” “Laki- laki itu.” “Laki- laki siapa?” “Tuan Malthi, pemilik rumah ini.” Kemudian ia menceritakan kisah itu padaku seraya berkata bahwa pemilik rumah ini dahulu adalah seorang rentenir yang datang ke desa ini selama bertahuntahun, dan meminjamkan uang kepada para keluarga demi perhiasan perempuan
mereka, sampai-sampai tak ada di desa itu yang dapat digadaikan kecuali alat pembuat keramik. Maka ia tak segan-segan mengambil segala milik orang lain dan menggabungkan dengan miliknya, sehingga ia menjadi kaya raya. Tetapi orang-orang membencinya hingga ingin membunuhnya. Ketika ia sedang duduk di kamarnya itu sambil memilah-milah segala perhiasan yang ia simpan sebagaimana yang ia lakukan setiap malam sebelum tidur, datanglah beberapa orang jahat memotong-motong tubuhnya. Sejak malam itulah tak ada satu orang pun yang tidur di ruangan ini. Orang bilang kalau ruangan ini ada penghuninya, dan kalau tiba tengah malam akan terdengar suara gemericik perhiasan sebagaimana yang terdengar ketika sang rentenir itu masih hidup. Setelah aku mendengar perkataan petani itu, aku berkata dengan suara yang masih ber getar, “Jadi aku adalah orang pertama yang tidur di dalamnya setelah kejadian itu?!”
“Iya, be nar.” Ketakutan segera saja merayap dalam diriku. Dan maaf saja, kalau sebenarnya
aku ini takut sekali dengan yang namanya hantu. Langsung saja aku menjerit, “Cepat panggil sutradara itu, semoga Allah mencongkel matanya!” Petani itu pergi untuk memanggilnya. Tinggallah aku sendiri di ruangan itu sambil memandangi sudut-sudut yang tak tampak jelas oleh sinar lampu. Ketika terbayang olehku perhiasan-perhiasan itu, aku pun merinding. Aku tahu bahwa aku takkan dapat memejamkan mataku sepanjang malam di ruangan ini. Ya, aku takut dengan hantu dan aku malu untuk mengakui hal ini. Lelaki sepertiku yang banyak memperhatikan dasar-dasar sesuatu dan inti-inti benda, makanannya adalah filsafat pragmatis (al-wadh’iyyah) yang kenyang dengan hasil-hasil ilmiah. Ya, oleh sebab itulah mengapa mataku takut dengan hantu. Jadi, ketakutan itu datang dari terjadinya benturan mendadak pada Mantek hasil-hasil penerapan di kehidupan kita, khususnya kehidupan akal kita. Petani ini -yang telah membayangkan wujud secara khurafattakkan begitu kaget dengan munculnya hantu. Adapun saya, seorang cendekiawan yang memahami wujud itu atas dasar Mantek akal, tak dapat membayangkan dengan akal bagaimana wujudnya hantu itu. Sebelum ia muncul, akalku akan membayangkannya bagai wujud suatu makhluk yang akan menyambar atau menghilangkan akalk u dengan cepat. Aku selalu merasa heran dengan kisah Fost, bahwa seorang ilmuwan filsuf itu tak mendapatkan hasil dengan kehadiran Mafisto, kecuali jika ilmuwan ini mampu mencapai derajat keilmuan yang membuatnya hanya diam menunggu keajaiban yang
datang kepada ilmu -semoga saja itu adalah maksud daripada Joteh. Iya, menurutku tak ragu lagi kalau seorang lelaki seperti Kant atau Auguste Comte, jika melihat hantu pasti akan lebih takut seribu kali lipat daripada lelaki seperti pendeta Salt Antoan atau pendeta San Toma, karena ketakutanku pada malam itu akan suara perhiasan tuan Malthi, belum sampai pada keyakinanku akan kemungkinan munculnya suara itu. Jadi, yakin atau tidak yakin takkan memajukanku atau pun memundurkanku, tapi sebenarnya aku takut pada diriku. Aku lebih takut pada khayalanku yang dipenuhi dengan berbagai macam
gambaran,
daripada
terhadap
hantu
yang
sebenarnya.
Sesungguhnya
menurutku, orang yang paling takut adalah orang yang lebih deras khayalannya. Aku tak takut pada kenyataan, aku tak takut pada kematian, tak takut marabahaya, tak takut kekerasan, dan tak takut untuk mengucapkan kata berani dengan sungguh-sungguh. Aku kira itulah kebenaran, meskipun di belakangnya ada tiang gantung. Tetapi aku
takut tinggal di tempat yang dikatakan padaku „te mpat itu berpenghuni‟. Ya, kata inilah yang satu-satunya tinggal di benakku sebagai hantu, hingga terbitnya matahari. Tak lama kemudian aku mendengar ketukan halus di pintuku, dan hampir tak terlihat muncullah sutradara itu. Aku malu menceritakan padanya segala sesuatu yang tadi terlintas di benakku, karena ia mungkin akan salah memahami sikapku, lalu ia akan mengejekku atau berfikiran macam-macam padaku. Aku mencoba mencari sebab lain agar aku dapat pindah dari kamar ini mulai malam ini. Maka dengan suara parau sambil meletakkan tangan di leher, aku berkata, “Ukh, panas.” Dia tidak membiarkanku terus berbicara, dan langsung setuju sambil mengipas-
ngipaskan sapu tangan di wajahnya, “Iya benar, sekarang panas sekali. Bagaimana kalau kita naik ke atas loteng untuk menghirup sedikit udara segar dan membicarakan
pekerjaan besok hingga malam melarut serta udara menyejuk di dalam kamar?” Langsung saja aku mengambil kesempatan itu. “Demi Allah, tak ada yang lebih baik dari itu!” Kami pun keluar dari kamar itu. Aku mengharap agar hal itu berlangsung lama hingga aku takkan kembali lagi ke dalam kamarku itu selamanya. Kami naik ke atas loteng dan tak menemukan seorang pun. Seluruh teman kami telah terlelap di kamarnya masing-masing, kecuali sutradara itu. Untungnya pelayan itu mendapatkannya belum tertidur dan masih berjalan-jalan di atas loteng sejak teman-temannya meninggalkannya sehabis makan malam tadi. Keindahan malam dan kebersihan udara telah menyegarkan otaknya untuk berpikir tentang seninya. Meja makan itu masih saja ada setelah segala piring dibereskan. Tak tersisa satu pun di atasnya selain botol Alborto, beberapa cangkir, dan termos yang di dalamnya ada kopi hangat. Lalu kami pun duduk.
Sutradara itu berkata padaku: “Satu gelas Alborto , atau satu cangkir kopi?” Karena aku sudah berniat untuk begadang, maka aku segera berkata, “Kopi
yang banyak!”
=8=
Sahabatku meneguk dua gelas Alborto yang menghilangkan semangat otaknya, dan
aku
meneguk
dua
cangkir
kopi
yang
membuka
kedua
mataku
hingga
mempersiapkan diriku untuk melalui malam yang aku tak ingin terulang lagi. Datanglah keheningan di antara kami. Lalu lelaki itu memotongnya dengan berkata,
“Sekarang waktunya untuk pekerjaan. Kita gunakan kesempatan ini untuk membahas masalah skenario.” Aku merasa kalau rasa lemas itu mulai menggerogoti sarafku dan hampir membuatku mengantuk. Aku yakin bahwa tidur itu akan menyerangku jika lelaki ini
mulai bercerita tentang kisahnya. Maka langsung aku bangkit melompat, “Bagaimana kalau kita jalan- jalan di jembatan desa ini?” D ia langsung berkata, “Ide yang cemerlang.” Kemudian dia bangkit dan turun bersamaku ke jalan. Kami menemui di depan gerbang, dua orang yang sedang meronda, yang ditugaskan oleh kepala desa untuk menjaga rumah kami. Mereka berdua tak membiarkan kami berjalan sendirian di malam hari tanpa penunjuk jalan. Maka salah seorang dari mereka tetap tinggal menjaga di pintu, dan yang lainnya mengikuti kami dengan senapan laras panjang dari pemerintah, yang digunakannya untuk menakut-nakuti. Kami berjalan menuju jembatan dan menjumpai rombongan petani yang pulang dari kampung sebelah ke rumah mereka. Mereka memulai menyapa kami, dan kami pun membalas sapaan mereka. Hampir saja tak nampak di belakang kami ada seorang penjaga, sehingga mereka tahu bahwa kami ini orang penting dan segera menghormati. Berkata sahabatku padaku,
“Bagaimana kalau kita meminjam dari mereka dua ekor keledai yang dapat kita tunggangi dalam perjalanan ini?” Kaum itu akhirnya tahu maksud kami, dan mereka berseru dari hati mereka,
“Oh tentu, silakan, silakan!” Mereka mengangkatnya ke atas keledai itu. Aku melihat salah seorang dari mereka ada yang terus menerus menggaruk. Aku memperingati sahabatku seraya
berkata, “Jangan lupa kalau kutu busuk telah hinggap di tubuh orang - orang miskin itu!”
sahabatku berkata ketika ia memperbaiki posisinya di atas keledai, “Tak apa-
apa, nanti aku akan mengganti pakaianku sebelum tidur.” Aku pun ikut naik ke atas keledai. Kami menjanjikan para petani itu untuk mengembalikan keledai itu kepada mereka bersama penjaga kami, dan mereka merelakannya. Kami lalu mulai berjalan, dan sutradara itu gembira dengan tunggangan itu. Ia menoleh kepadaku, dan sambil tersenyum ia berkata, “Betapa mulianya mereka! Mungkin saja kutu busuk itu tinggal di tubuh mereka karena kemuliaan mereka kepada tamu! Walau bagaimanapun, aku tetap menghormati jiwa yang baik seperti ini dengan penuh penghormatan. Kau pasti akan mendapatkan perbedaan cara bermuamalah (berinteraksi_pen.) mereka jika kau datang ke desa Eropa lalu kau bertanya kepada penduduknya suatu hal yang remeh. Mereka akan mengatakan: „Tidak,
sungguh bangsamu tak ragu lagi sangat mulia.‟ Adapun kekotoran tampang adalah suatu hal yang mengherankan, dan aku tak tahu apa penyebabnya? Apakah itu disebabkan karena sedikitnya air, tapi kalian memiliki dua laut besar dan satu sungai
panjang, serta udara panas yang menggoda badan untuk mandi!” Tiba-tiba dia terdiam, dan tiba-tiba keluarlah teriakan yang meninggi dari
mulutnya, “Keledai ini akan membawa kita masuk ke dalam air!” Dia benar, keledai itu berjalan tak seperti biasanya. Dia tidak bisa diam ketika kami tunggangi. Dia meninggalkan jalan luas dan memilih untuk berjalan di pinggir jembatan parit itu. Tak tersisa antaranya dan jurang kecuali beberapa jengkal saja, sedangkan ia terkadang mempercepat langkahnya atau menabrakkan kakinya. Seolaholah ia tidak merasa aman atau nyaman. Ia berjalan menuju bahaya sambil bermainmain dengannya menggunakan ujung-ujung kakinya. Sebagaimana yang dilakukan para sufi yang meninggalkan jalan-jalan pemikiran ibadah, dan bermain dengan pemikiran mereka sendiri di pinggiran tanpa batas. Sejenak kami berjalan dengan keheningan sambil memperhatikan kebun, tumbuhan, dan air yang mengalir di parit. Cahaya bulan purnama itu telah memberikannya warna dan bentuk baru. Segala sesuatu di sekeliling kami terdiam. Udara itu seharusnya berhembus lebih lembut. Kami juga melihat semua makhluk di sekeliling kami seolah-olah terdiam dan tidak terdiam. Seolah-olah di sana ada nafas yang tersembunyi dan mengilhami segala sesuatu untuk menari-nari, yang tak mampu dirasakan dengan indera lahir kita. Terbayang oleh kita seakan telinga mendengar tawa bagai bisikan, dan gerakan bagai gerak tubuh yang mabuk, seakan-akan semua makhluk sedang bermandikan cahaya bulan.
Sutradara itu bergumam, “Sekarang aku melihat segala sesuatu sebagaimana orang memandang dari balik tirai yang dibuat para sutradara opera ketika mereka
mewujudkan mimpi. Aku tak mendapatkan jawaban.” Suasana kami kembali hening. Segala keindahan di sekeliling kami telah membuat lidah kami kelu untuk berbicara.
Sahabatku berbisik, “Alangkah indahnya desa ini!” Dia memperbaiki duduknya dan kembali bercerita tentang istri kamerawan yang telah tinggal di desa ini selama seminggu. Dia telah menuai kegembiraan dan ketakjuban terhadap desa ini. Dia berharap kalau kehidupannya berlangsung di tempat itu.
Berharap
seluruh
kehidupannya
disumbangkan
untuk
para
petani
itu
-
memperhatikan perbaikan kehidupan dan memperluas pengetahuan mereka, agar mereka merasakan keindahan dari apa yang telah diberikan oleh alam. Dia berkata bahwa matahari dan bulan di negara ini selalu bekerja seperti seorang penjahit ulung. Mereka berdua bagai memakaikan pakaian indah kepada seluruh makhluk! Kecuali petani, ia telah keluar dengan perhitungan. Karena kebutuhan pakaiannya bukanlah merupakan spesialisasi matahari dan bulan. Ya, segala sesuatunya bersih dan indah di desa ini, kecuali manusia! Nah, inilah keanehan yang selalu menyelubunginya!
Sambil menghela nafas aku berkata kepada sahabatku, “Aku juga merasa kan keanehan selama bertahun-tahun!”
Dia berkata, “Apa sebabnya? ” Aku pun berpikir dan seolah-olah hanya berbicara kepada diri sendiri, “Sebab? Sebabnya jelas! Baru saja kau sendiri yang mengatakannya tanpa kau sadari. Sebabnya adalah tak ada di Mesir, seorang perempuan pun yang seperti istri kamerawan itu. Sebabnya dapat kita simpulkan dengan jelas ketika kita kembali pada sejarah pedesaan Eropa. Ambillah contoh desa kalian di Perancis. Apa yang terjadi di dalamnya? Pada saat zaman Sistem Swastanisasi berada di tangan orang-orang ternama, merekalah yang memperbaiki pedesaan. Dimulai dengan pemimpin kawasan yang membangun istananya yang indah lagi bersih, dan dia tinggal di dalamnya bersama istri serta anakanaknya. Dia menjadikan para penduduk kawasan itu sebagai pembantunya yang bekerja untuk kepentingannya, dan sebaliknya ia bekerja demi pelindungan mereka. Sedangkan istrinya, ia melakukan pembinaan terhadap penduduk, agar ia dapat mengangkat derajat para penduduk desa itu. Karena dia yang selalu berdiam di de sa, maka ia mengadakan hubungan dengan istri para pembesar desa dan memasukkan pengetahuan tentang kebersihan serta kebaikan ke seluruh rumah. Dia telah menjadi satu-satunya konsultan kesehatan dan rumah di desa itu. Jika para perempuan ditimpa
penyakit, maka mereka menanyakan obat kepadanya. Dan jika terjadi sesuatu, maka mereka meminta nasihat darinya. Dia adalah pengatur keperluan rumah, kesehatan, kebersihan, dan budi pekerti bagi desa serta kawasan itu. Sebagaimana suaminya adalah sebagai pengatur masalah keamanan dan hukum. Istri itulah yang menjadi hakim penentu terhadap segala sesuatu yang bergulir dalam kehidupan masyarakat, sebagaimana suaminya adalah hakim mutlak bagi permasalahan perang atau perdagangan.
Perempuan
itulah
yang
mengatur
pesta-pesta,
mempersiapkan
masyarakat, menyebarkan contoh-contoh kebaikan seperti pakaian, akhlak, dan festival. Para istri orang kaya di desa atau keluarganya selalu mengikuti gaya hidupnya, sampai akhirnya datanglah zaman Demokras i. Keadaan itu tak berbeda juga. Di pedesaan, kedudukan istri yang mulia itu digantikan oleh istri raja besar atau istri orang desa yang kaya. Telah terwariskan segala sifat seorang nyonya yang mulia, dan orang-orang di bawahnya -yaitu para petani wanita- memperoleh kedudukan sebagai penyuluh. Adapun di daerah perkotaan, istri para pedagang dan saudagar telah mendapat tempat sebagai istri yang mulia dan mewariskan kewajiban yang sama terhadap masyarakat. Dialah yang mengunjungi desa-desa miskin, mengayomi orang sakit serta memberi mereka obat-obatan dan uang, membawakan untuk anak-anak manisan dan mainan. Tak pernah ada zaman di Eropa, yang mana wanitanya kosong dari kewajiban sebagaimana seorang pemimpin. Karena ia tahu, bahwa kata pemimpin bukanlah sebutan asal, melainkan menandakan pekerjaan dalam masyarakat yang membutuhkan waktu dan tenaga. Kata itu memiliki makna kekuasaan bagi siapa saja yang membutuhkan pertolongannya, baik itu di desa maupun di kota. Penamaan politik sosial masyarakat di Eropa telah berganti, tetapi kewajibannya belum berubah. Warna tangga sosial itu telah berwarna lain, tetapi tangga ini tetap berdiri karena ia termasuk rahasia kehidupan yang kekal. Memang seharusnya ada salah satu tingkatan yang lebih maju kekayaannya atau keilmuannya dari tingkatan yang lain, hanya saja yang terlihat di Eropa adalah bahwa setiap tingkatan yang berada di atas selalu menjulurkan tangannya kepada tingkatan di bawahnya. Ada ikatan erat antara tingkatan-tingkatan itu. Ada contoh dan teladan, yang diberikan oleh tingkatan atas kepada tingkatan bawah. Inilah yang terjadi di Eropa. Adapun di Mesir, tak terjadi seperti demikian. Sistem Swastanisasi di Mesir, berada di tangan Aristokrat asing seperti Mongol atau Turki Utsmani. Mereka tidak menganggap petani itu adalah pembantu mereka seperti halnya di Eropa, tetapi mereka menganggapnya sebagai seorang hamba sahaya sebagaimana anggapan orang Timur, bahkan lebih rendah daripada hamba mereka.
Menurut mereka, anjing dan kuda lebih mempunyai kemuliaan di mata mereka daripada para petani itu, yaitu petani yang berbicara bukan dengan bahasa mereka dan lahir di negeri yang bukan negeri mereka. Orang desa Perancis menganggap yang mulia itu adalah tuan, tetapi tuan itu menganggap orang desa sepertinya adalah orang Perancis, dia berperang bersamanya. Adapun Tuan Turki Utsmani menganggap petani Mesir dari tanah kotor. Mereka takkan pernah memberikannya peluang untuk masuk tentara atau mengikuti pesta dan pertemuan. Demikianlah pekerjaan laki-laki. Adapun pekerjaan wanita -istri para lelaki itu, yang kebanyakannya adalah dari selir-selir berkulit putih- tak ada pekerjaan lain kecuali memuaskan nafsu tuannya. Dengan kata lain, ia telah ditempatkan dalam posisi haram, tanpa kepribadian, tanpa kepentingan, dan tanpa pekerjaan kecuali segala sesuatu yang biasanya dilakukan oleh wanita yang dimiliki. Ditambah lagi, perasaannya
akan pengucapan kata „petani‟ yang merendahkan kedudukannya. Dialah orang yang diperintahkan, hina, tak bisa diharapkan, dan tak dapat mengangkat kedudukan dirinya atau orang lain. Oleh karena itu, kehidupan sosial masyarakat di Mesir terbelah menjadi dua kubu, yang mana satu sama lainnya tak saling menolong, sehingga tangga sosial masyarakat itu tampak berbentuk aneh: satu golongan di atas dan satu golongan di bawah, dan tak ada di antara keduanya kecuali kekosongan. Tingkatan-tingkatan di antara keduanya telah hancur tergusur. Berakhirlah Sistem Swastanisasi di Mesir, kemudian datanglah zaman modern. Dan tentu saja keadaan ini belum juga bisa berubah. Jadi, seorang raja kaya atau petani kaya yang telah menduduki tempat Tuan Utsmani telah diwarisi tabiat dan wataknya. Raja petani ini menikahi selir-selir putih dan menjadikan mereka dalam keharaman. Terkadang ia juga mengambil anak-anak keturunan petani sepertinya.
Kemudian bid‟ah taklid Turki , yaitu menikahi selir putih itu, mulai sirna. Muncullah kebangsaan Mesir, yang bersamaan dengannya bermunculan juga dasardasar dan aliran-aliran baru, yaitu seorang wanita Mesir dapat belajar di sekolahsekolah dan universitas, tentang bagaimana cara berbicara di hadapan masyarakat. Mereka memperbanyak lafadz kemerdekaan dan persamaan dengan kaum pria. Mereka menuntut segala macam haknya di sana sini. Hal itu didorong oleh keinginannya untuk mengikuti saudarinya di Eropa. Cahaya itu telah sedikit memasuki kepalanya lewat pendidikan, tetapi jiwanya kebanyakan masih seperti jiwa seorang selir putih. Ia masih jauh untuk dapat menjadi seorang Nyonya seperti di Eropa. Nyonya yang menjadikan dirinya sebagai pengemban tugas di masyarakat; melakukan pengayoman orang-orang fakir, pengobatan penduduk desa yang sakit, perbaikan kerusakan rumahnya, dan
perombakan segala keburukan di lingkungannya. Nyonya yang menjadikan dirinya sebagai seseorang yang berkepribadian di samping suaminya, bertanggung jawab atas sesuatu yang tak dapat dia tangani. Nyonya seperti ini yang merupakan unsur kekuatan dalam suatu masyarakat, yang belum kita dapati. Tetapi yang kita dapati sekarang adalah wanita yang memakai pakaian baru lagi megah, mengikuti gaya para Nyonya. Mereka telah mahir dalam beberapa hal ketika tampil dalam pesta, akting sinema, dan pandai berbicara dalam beberapa bahasa.
Tetapi...” Aku tak dapat melanjutkan kisahku, karena tiba-tiba suara aneh terdengar berlalu di udara yang tenang, dan membuat perasaan ini merinding. Waktu itu kami telah berjalan hingga sampai pada suatu rumah besar yang bagus. Tak ada satupun cahaya atau suara yang keluar dari rumah tersebut, kecuali suara aneh itu. Kami menoleh ke arah penjaga kami dengan gemetar. Ia menenangkan kami sambil berkata,
“Ini adalah istana Pasha.” Kemudian ia mengatakan bahwa tak ada yang tinggal di dalamnya kecuali kepala kampung yang mendiami lantai dasar. Adapun lantai atas ditempati oleh burung hantu, yang merupakan sumber dari suara aneh itu. Lalu ia menjelaskan seluk beluk istana itu dengan segala perabotan yang ada di dalamnya, dan ia berkata dengan logat
pedesaannya, “Andaikan kalian berkesempatan masuk dan berkeliling di dalamnya, itu akan lebih baik! Tak ada yang menyainginya kecuali istana Beik Abdul Ghani!” Lalu kami menanyakan tentang istana yang terakhir itu dan ia berkata bahwa istana itu ada di seberang jembatan, bertempat di kampung yang luas milik Beik itu. Dia berkata bahwa istana itu juga tertutup, karena Beik beserta istri dan anaknya tinggal di Kairo. Aku tak dapat menahan diriku hingga aku menoleh kepada sahabatku seraya
berkata, “Bukankah kamu lihat istri-istri Pasha dan Beik itu? Mereka meninggalkan pekerjaan sebagai „Nyonya‟ di sini dan tinggal di kota Kairo, agar bisa setiap malam pergi ke bioskop-bioskop. Demikianlah yang dilakukan perempuan-perempuan kita
sekarang setelah mereka keluar dari sangkar „selir putih‟! Itulah sahabatku, sesungguhnya „Nyonya‟ yang patut menyandang gelar ini adalah istri temanmu sang kamerawan itu. Dialah yang telah mewariskan kepribadian para nyonya yang mulia itu. Jadi aku paham bagaimana ia bisa menjadi bermanfaat bagi kemanusiaan di manapun ia berada. Ia ingin tinggal di sini agar dapat mengangkat derajat petani miskin ini, dan dia tidak mengikat diri dengannya kecuali dengan hubungan kemanusiaan. Engkau menanyakanku sebab tentang kekotoran petani ini dan aku telah mengatakan, serta akan selalu berkata padamu bahwa penyebabnya adalah perempuan. Pada hari perempuan
Mesir mampu membebaskan diri dari ruh „selir putih‟ dan bersema yam ruh „para nyonya‟, maka pada saat itu marilah kita lihat pedesaan serta para petani Mesir.”
=9=
Ketika sampai pada tengah malam, kami kembali ke rumah. Sahabatku
mengantark u ke depan pintu kamar seraya berkata, “Tidur lah yang nyenyak.” Aku langsung mengingat hantu dan suara perhiasan di tengah malam. Sebagaimana yang kalian ketahui bahwa waktu keluar para hantu itu selalu melegenda,
maka aku hanya berdiri terpak u. Sahabatku berkata, “Ada apa denganmu?” “Tidur pada saat seperti ini adalah mustahil, panas dan banyak nyamuk.” Kemudian aku menarik tangannya dan berkata, “Ayo kita kembali naik ke atas loteng.” “Terserah e ngkau.” Kami pun naik lalu duduk di kursi, beristirahat sejenak setelah mengendarai keledai. Tak lama kemudian sutradara itu berbalik menoleh dan berkata padaku,
“Bagaimana kalau kita ambil kesempatan ini untuk kembali berbicara tentang skenario.” Aku mengeluh dalam hatiku , “Uh, aku lari dari hantu di bawah , tapi dapat skenario di atas!” Sutradara itu tak membiarkan aku berpikir sejenak, ia langsung berkata, “Apa
pendapatmu tentang sikap „Hasan‟?” Aku menoleh heran kepadanya, “Hasan siapa?” “Bapaknya Mahdi.” “Mahdi itu siapa?” “Aneh! Ya salah seorang tokoh dalam kisah kita.” “Oh, maaf.” “Apa kau kira kalau sikap cintanya terhadap Aminah itu hal b iasa? ” “Aminah siapa?” “Kamu aneh! Ya seorang tokoh dalam skenario kita juga.” “Oh, maafkan saya.” “Kamu cepat sekali lupa, tapi tak apa- apa.” Dia memandangku dengan pandangan maklum yang membuatku malu. Aku melihat bahwa lebih aman kalau aku menjauh dari perbincangan ini, maka aku bangkit mencari sesuatu yang dapat menyibukkan kami dari kisah itu. Aku menemukan tangga
kayu yang tersandar di dinding kamar di atas loteng, yang dahulu digunakan sebagai menara sarang burung merpati. Aku pun menaiki tangga itu hingga sampai ke puncak menara. Tempat itu adalah tempat tertinggi di rumah itu, atau bahkan tempat tertinggi di desa itu. Dari sana aku dapat melihat pemandangan kebun, parit, jalan, dan tempat tinggal penduduk. Aku berdiri di puncaknya sambil menikmati pemandangan indah. Lalu aku memanggil temanku dan dia pun naik. Dia berdiri di sampingku sambil memperhatikan pepohonan kurma yang gemulai bergerak bersama angin, dan cahaya bulan
menerawang
di
antara
dedaunannya.
Sahabatku
tak
dapat
menahan
kekagumannya, lalu berteriak, “Lihat! Pepohonan itu seperti seorang wanita yang
bergerak gemulai mengenakan jilbab dari sutra!” Kami memperhatikan segalanya dengan ketenangan, dan keheningan itu menyelubungi desa. Segala sesuatu di sana telah tertidur. Tiba-tiba sahabatku menunjuk
pada beberapa rumah petani di sekeliling kami dan berbisik, “Lihat di atas loteng ini . ” Aku menengok ke arah yang ia maksud dan berbisik, “Apa?” “Tidakka h kau lihat di sana?” Aku memperhatikan pandanganku dan berkata, “Katakan padaku apa yang kau lihat?” Dia berkata padaku dengan nada heran, “Udara yang naik ke loteng itu diselubungi kehitam-hitaman, tak ada yang dapat melihatnya kecuali mata yang indah lagi bercahaya. Lihat, ia bergoyang bagaikan batang kurma yang mabuk bermain dengan angin. Pepohonan itu adalah keindahan desa yang telah menjadikan malam sebagai waktu yang tepat untuk bertemu dengan para perindu yang menunggu di bawah
dinding!” Aku menahan tawaku dan berkata padanya, “Sekarang ini kita sangat jauh dari kisah Romeo dan Juliet. Para wanita itu juga meninggalkan kamar dan naik ke loteng
karena lari dari panas, kutu busuk, dan nyamuk. Tak ada alasan lain selain itu.” Tetapi sahabatku tidak menghiraukan perkataan ini karena ia tidak ingin melihat sekelilingnya itu sebagai hakikat yang nyata. Bagai orang yang bermimpi ia kembali berkata bahwa Aminah, tokoh dalam kisahnya, sebaiknya keluar pada malam hari seolah-olah ia hantu yang mengintai kekasihnya Mahdi dari atas loteng, dan Mahdi melihatnya bagai matahari yang terbit dari Timur yang sinarnya telah membuat bulan sakit. Warnanya telah menerangi wajah dan matanya yang berkilauan, hingga membuat burung-burung berkicauan di pagi yang indah. Aminah hampir saja tak melihat kekasihnya
menaiki
tembok,
karena
takut
kalau
keluarganya
mengetahui
kedatangannya. Maka ia meneriakkan sesuatu padanya... Sahabatku menoleh dan
berkata padaku, “Di sini mulailah dialog itu, apa yang sebaiknya wanita ini katakan?” Aku menjawabnya dengan kesombongan yang tersembunyi, Ia berkata, "Mengapa dan bagaimana kau datang ke sini sedangkan tembok ini tinggi. Oh, kalau keluargaku melihatmu pasti mereka akan membunuhmu." Lalu ia menjawab, "Cinta itu telah meminjamkan sayapnya padaku untuk memanjat tembok ini. Tumpukan batu tak mungkin bisa menahan cinta. Cinta itu telah meminjamkan kepandaian padaku, maka aku meminjamkannya mataku. Aku bukanlah seorang pelaut, tetapi jika kau adalah sebuah pesisir di salah satu Samudra, niscaya aku segera mengembangkan layar dan mengarungi lautan untukmu." Aminah kembali berkata, "Aku takut keluargaku
memergokimu di sini lalu mereka membunuhmu." Mahdi menjawab, „Sayang sekali, sungguh kedua matamu itu lebih sangat berbahaya bagiku daripada dua puluh kapak
mereka." Aminah berkata, „Apa kau benar -benar mencintaiku? Kau bilang iya." Mahdi menjawabnya, "Iya, aku bersumpah demi bulan yang menyinari pepohonan kurma ini." Aminah berkata, "Tidak, jangan bersumpah demi bulan. Bulan ini berubah-ubah setiap saat. Aku takut cintamu padaku seperti itu dan tidak kokoh. Jangan, jangan bersumpah. Cukuplah kebahagiaanku dengan melihatmu. Kebahagiaanku malam ini belum sempurna karena ia telah datang dengan tiba-tiba bagai kilat menyambar, yang lenyap
cahayanya sebelum kita bisa berteriak „ada kilat!.” Sahabatku menoleh sambil seolah-olah marah padaku. Dia berkata, “Apa kau mengejekku? Itu kan dialognya Shakespear!”(begini bkn tulisannya?)
Sambil tersenyum aku berkata, “Apa boleh buat, kamu hanya melihat sesuatu dengan mata khayalan dan cerita. Sesungguhnya hakikat yang aku ketahui bahwa di desa seperti ini tak pernah kulihat kecintaan yang tinggi seperti itu, yang telah menyusup ke dalam bingkainya bulan, matahari, angin, bunga, dan e mbun. Jikalau saja kecintaan seperti itu ada, pastilah ada kebersihan di sini. Pastilah akan ada suatu perasaan, dan pastilah akan muncul suatu keindahan. Bagi seorang wanita tak ada keinginan untuk bersolek atau berperasaan tentang segala sesuatu yang indah, kecuali karena panah cinta. Segala sesuatu yang berkaitan dengan cinta di sini tidak lain adalah cinta pada binatang atau cinta hamba sahaya; yaitu sesuatu yang rendah lagi hina yang datang dan pergi tanpa bekas, kecuali bekas kebendaan biologis yang biasanya ada pada golongan monyet atau beruk. Adapun cinta yang datang hingga membuka mata dan jiwa untuk melihat kebaikan serta beberapa perasaan yang tinggi, takkan pergi sampai membentuk pemiliknya menciptakan suatu bentuk baru, dan menampilkan suatu kewibawaan! Kecintaan itu adalah sebaik-baik sekolah tinggi bagi perasaan
manusia. Kecintaan itu adalah sesuatu yang mengalir darinya seni dan keindahan, yang keduanya merupakan pilar kemanusiaan. Kecintaan itu takkan kita dapati di dunia ini sekarang, karena keberadaannya bermakna bahwa manusia yang lebih tinggi telah ada, dan hal inilah yang tak mungkin kita terima setelah adanya semua makhluk miskin ini. Mungkin kau bertanya, mengapa tidak ada kecintaan seperti itu di sini? Maka aku akan menjawab sekali lagi, karena penyebab itu tetap menjadi penyebab. Sesungguhnya cinta mulia itu takkan muncul di suasana kehambaan, takkan tumbuh kecuali di bumi kemerdekaan ruhani. Seorang wanita Mesir yang merawat selir takkan memahami cinta itu kecuali seperti halnya para selir itu memahaminya. Sesungguhnya cinta murni itu harus jatuh benih-benihnya dari langit, dan bukan dari dunia „haram‟ yang tertutup langitnya.
Di sini sahabatku memotong pembicaraanku dan berteriak, “Aneh, apakah belum berakhir zaman „haram‟ itu? Aku melihat wanita Mesir telah bepergian untuk belajar serta tampak modern.” Aku berkata padanya, “Iya, revolusi ini memang telah terjadi. Reformis sosial Qasim Amin telah berusaha sepanjang hidupnya demi menghancurkan belenggu
„haram‟ itu. Ia telah berhasil dan wanita telah menghancurkan belenggunya, lalu muncul di masyarakat seolah-olah ia adalah wanita modern. Ia gembira dan merasa bahwa ia telah sampai pada akhir. Tetapi sangat disayangkan! Jelas oleh mataku bahwa dia masih dalam belenggu lain yang tidak ia perhatikan! Mungkin harus ada usaha Qasim Amin berikutnya agar mampu menyelesaikan perjalanan itu! Memang wanita Mesir telah keluar dari penjara lahirnya, tapi ia belum dapat keluar dari penjara
batinnya! Yaitu penjara yang menyerupai „haram‟ batin, tapi ia tak merasakannya karena daya tangkap batinnya masih pendek. Sesungguhnya cinta mulia itu masih gamang, bukan hanya bagi wanita desa saja melainkan bagi wanita kota yang berpendidikan juga. Karena ruh selir putih yang utuh masih bersemayam dalam diri para perempuan itu. Jikalau didapati cinta mulia ini di desa atau kota, niscaya langsung didapati seni yang besar. Sesungguhnya aku, yang mana kapasitasku adalah seorang periwayat, tak mampu membuat dialog antara seorang wanita Mesir kepada seseorang yang dicintainya. Jika ada dua orang di taman yang disinari bulan, apa yang mereka berdua perbincangkan? Sangat sulit aku mengkhayalkan sesuatu yang indah yang terlintas di antara mereka berdua. Karena wanita itu meskipun telah bebas secara fisik, namun dia merasa masih ada sesuatu yang memenjarakannya. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakan kepada kekasihnya ketika bertemu nanti. Tak ada dalam sejarah hidup
sebelumnya yang dapat membantunya, tak ada lafadz sederhana yang mampu ia ungkapkan, dan tak ada sesuatu dalam pikirannya yang dapat menolongnya. Eropa itu berbicara tentang cinta karena di hadapan mereka ada gambar dewa Pipatris, kekasih penyair Danti dan Lora de Tofaz pendamping Petrorik. Sehingga terbayang di antara keduanya beberapa kejadian penting, dan teringat apa yang telah ia pelajari dari segala keindahan syair, kejadian, norma mulia yang melahirkan cinta suci lagi murni itu. Sesungguhnya seni, syair, dan sastra telah mengajarkan wanita Eropa apa yang harus dikatakan dan bagaimana bersikap jika ia mencinta. Karena seni dan sastra merupakan keharusan bagi nyonya besar istana sejak Zaman Swastanisasi. Jadi mereka sangat menguasai syair dan seniman, serta memahami segala hal yang dimaksud dari hasil karya seni itu. Lalu siapakah orangnya kalau bukan wanita, yang mampu merasakan keindahan alam dan perasaan?! Kemudian para nyonya istana itu mewariskan keahlian ini kepada wanita awam, sehingga mereka mampu menerima seni yang dengannya mereka memperindah ruhani mereka dengan memilih perhiasan yang dapat memperindah tubuh mereka. Akhirnya mereka bisa membuka salon kecantikan untuk para seniman dan penyair itu. Tentu saja itu merupakan warisan dari nyonya istana yang mampu mengolah keindahan. Seorang nyonya patut dikatakan nyonya sesungguhnya, jika telah mengalir di darahnya kebebasan dan kepemimpinan yang selalu membuatnya merasakan bahwa ia sedang menjaga sesuatu atau melindungi manusia. Oleh karena itu, Eropa selalu melakukan rutinitas nasional untuk melindungi para fakir miskin, anakanak, orang-orang sakit, dan sebisa mungkin para seniman; yakni sekelompok orang yang memerlukan perasaan seorang wanita lembut. Inilah makna kemerdekaan ruhani bagi wanita, yaitu kemerdekaan yang aku inginkan untuk anak-anak perempuan di Mesir dan Timur. Terkadang aku ditimpa kesulitan dari mereka karena aku bersungguh-sungguh memaksakan mereka agar mampu mencapai tujuan ini. Sungguh aku akan merasakan adanya revolusi besar-besaran jika jenjang tangga ini telah dicapai oleh kebangkitan
wanita Mesir dan Timur, yaitu dengan cara keluarnya mereka dari belenggu „haram‟ batin, menanggalkan segala bekas selir, da n sampai pada tingkatan „nyonya‟ yang dapat menciptakan serta melindungi sesuatu."
= 10 =
Sahabatku mengangkat kepalanya lalu menoleh padaku sambil berkata,
“Apakah wanita Mesir telah mendengar pendapatmu ini?” Segera aku berkata, “Aku takkan meninggalkan setiap kesempatan tanpa mengutarakan pendapatku padanya, karena aku adalah salah satu penulis yang paling keras menjaga kepentingannya. Sebaiknya aku mengatakan padamu sesuatu: Dalam diri wanita Mesir ada keutamaan besar, yaitu ia mampu berkembang cepat dalam kesenyapan. Oleh karena itu, aku berani berterus-terang padanya sampai menjurus pada kekerasan sebagaimana yang aku sebutkan tadi, agar ia mampu memandang kembali apa yang tertinggal ketika ia sedang melangkah luas. Dalam pikiranku bahwa kemudahan yang berkembang antara wanita Mesir penyebabnya ringan, yaitu kebiasaannya yang hanya menyimpan tabiat wanita Mesir terdahulu di bawah pakaian selir Utsmani. Kewajiban kita tidak lain adalah mengingatkannya untuk menanggalkan pakaian ini sedikit demi sedikit, agar tampaklah hakikat kebesarannya dulu; yaitu mampu mengatur rumah, kerajaan, memperhatikan kesenian, dan meletakkan dasardasar peradaban. Aku akan selalu berbicara seperti ini dan takkan berhenti darinya, walaupun dirintangi oleh kebencian umum, sampai nanti aku melihat wanita Mesir menanggalkan pakaian selir putih sehingga muncul di baliknya keturunan Nefertiti dan
Hatsyipsut!” Berkata sahabatku, “Tidakkah terpikirkan olehmu, daripada kau berpindah pindah hotel, lebih baik kau menikah agar dapat menanggalkan pakaian itu dengan
tanganmu sendiri?” Ak u berkata padanya dengan nada agak tinggi, “ Aku bisa menanggalkan pakaian seseorang? Lihatlah temanku, kau sesungguhnya tidak mengenaliku. Memang aku dahlulu ingin menikah dengan seorang wanita Mesir. Tetapi ada suatu hal yang menghadangku; yaitu aku tak tega dengannya karena kebiasaanku yang merepotkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh para dokter bahwa aku dalam keadaan yang sulit ini, mungkin dapat menyulitkannya, bahkan menyulitkan wanita Eropa yang terbiasa memahami suaminya dalam keadaan seperti ini, mempelajari akhlaknya dan tabiatnya dalam kesabaran penuh, serta menyediakan kehidupan yang sesuai dengannya. Sungguh meskipun aku ini terlihat keras berkata terhadap wanita Mesir, tapi sangat lembut terhadap mereka dan aku tak ingin mendorong mereka ke dalam cobaan berat
ini.” “Aku rasa ka u telah berlebihan.” “Aku tak berlebihan. Beban itu akan terasa berat baginya , dan aku ini seorang lelaki bebas yang hidup di udara bebas. Aku mungkin bisa mengendalikan sesuatu dari
atas secara global, dan bukan secara rinci. Barangsiapa yang ingin hidup bersamaku, maka ia harus menanggung segala kesusahan atau tanggung jawab, dan meninggalkan untukku global perusahaan atau sedikitnya permasalah besarnya. Ringkasnya, sebaiknya istriku itu menjadikan aku ini sebagai pemilik undang-undang yang memiliki dan tidak dapat menghukum! Aku juga memerlukan tangan-tangan mahir yang mampu menyembunyikan kekuasaannya di balik sarung tangan lembut, juga memerlukan politik yang mahir hingga aku tak merasakan kenyataan. Ia memberikan aku perasaan kebebasan mutlak, dan akulah pemegang perintah serta larangan. Setelah itu, terserah kalian bagaimana cara merampas dariku kebebasan itu dengan kelembutan yang tak nampak. Sangat berbahaya bagi siapa saja yang meletakkan belenggu di kakiku dan aku merasakan tusukannya! Tetapi keberhasilan yang cemerlang bagi siapa saja yang mampu mengikatku tanpa aku rasakan, yaitu dengan benang sutra lembut hingga aku dapat bergerak leluasa tanpa merasakan keberadaannya! Aku seorang lelaki yang tak suka membohongi diriku sendiri, tetapi aku suka orang la in berbohong kepadaku!”
Maka tertawalah sahabatku itu dan berkata, “Aku kira keinginanmu itu tak sulit untuk didapat, tetapi aku kira kau belum ber usaha untuk mencarinya.” “Mencari?! Apakah aku mencari orang yang aka n meletakkan belenggu di tanganku? Tak pernah ada terciptakan seekor burung yang mencari seorang pemburu!
Meskipun demikia n...” “Meskipun demikian apa?” keluar dari mulutnya ucapan itu bagai ingin mengetahui rahasia di baliknya. Maka aku berkata padanya sambil mengingat-ingat, “Aku hampir saja menikah
sepuluh tahun yang lalu, tetapi...” Kemudian kembali aku mengingat-ingat tentang janji itu dan aku tersenyum. Terlintas dalam benakku gambar kejadian yang menahan keinginanku untuk melanjutkan pernikahan itu. “Pada suatu Ashar aku naik kendaraan yang ditarik dua ekor kuda, dan di sampingku ada salah seorang yang memperhatikan keperluanku. Kami melihat kusir itu mengayunkan cambuk ke arah salah satu kuda, maka kuda itu miring ke arah temannya seolah-olah ia mengadu kesakitan, dan kepala kedua kuda itu saling bersentuhan. Melihat hal itu kami mulai berbincang-bincang bahwa kendaraan kehidupan itu demikian; takkan terasa kepedihannya jika terikat antara kedua mempelai, ikatan yang menguatkan putaran rodanya, dan keduanya saling mendukung setiap datang Qadar dengan salah satu cambuknya. Lalu kami berkata, 'Siapa yang tahu kalau ini juga rahasia di balik kesulitan yang kita lihat di beberapa kota; yaitu ketika seseorang menggunakan satu kuda untuk kendaraannya.' Kemudian kami terus
berdiskusi hingga kami mengatakan, 'Mengapa kesulitan itu tidak berjalan di atas kendaraan kehidupan.' Saat itulah perkataan itu mulai ditujukan padaku, dan ia berterus terang kalau kendaraan hidupku setelah hari ini sebaiknya tidak aku tarik sendiri, karena ia bisa membebaniku sesuatu yang tak mampu aku topang, sedangkan aku adalah seorang lelaki yang berperangai aneh. Mungkin saja aku berjalan tidak jelas hingga membentur sesuatu di jalan karena tidak tahan dengan cambukan kusir. Atau siapa pula yang tahu kalau sewaktu-waktu aku membinasakan kusirku, dan aku lari sendiri membawa kendaraan itu tanpa penerang, terus berlari membawanya tanpa
petunjuk hingga akhirnya ak u menabrak tembok.” Segala
sesuatu
berakhir
dengan
teriakan
orang
yang
memperhatikan
keperluanku itu, 'Kamu harus menikah.' Maka aku berkata padanya, 'Tidak, aku bukan seperti halnya kuda itu. Tetapi aku adalah seekor keledai liar yang memiliki warna alami hitam putih (zebra_pen.), betapa indahnya ia jika menarik gerobak kota! Tetapi pelana itu tak dapat menyentuh kepalanya! Ia diciptakan untuk bermain di hutan dan hidup dalam kebebasan alami yang liar. Suatu mukjizat jika seseorang mampu membuat mereka menjadi jinak: Seorang wanita yang ditangannya cambuk dari sutera menaklukkannya dengan kesabaran, dan menari di atas pundaknya di gelanggang sirkus dengan diiringi musik romantis! Maka sampai akan ada seorang wanita Mesir yang menaklukkan keledai liar (zebra_pen.) di hutan Afrika kita, sampai sejauh itulah harapanku untuk menikah, da n itu sangat sedikit kemungkinannya!' Orang yang memperhatikan urusanku itu berteriak, 'Saudaraku, jangan mempersulit keadaan! Keledai liar atau keledai jinak, yang penting keduanya keledai! Mereka menikah, hidup, serta melahirkan keturunan jantan dan betina dalam lindungan Allah, dua puluh empat karat! Hal ini sudah tertuliskan untuk kita semua. Aku mohon dengarkanlah nasehatku, dan berusahalah sekuat mungkin untuk melakukannya!' 'Pada saat ini waktuku sempit.' Ia memotong ucapanku sambil berteriak, 'Serahkan padaku permasalahan itu.' Tak lewat satu bulan, aku menemukan orang mulia yang bertemu empat mata denganku dan meletakkan foto seorang wanita aneh. Ia berkata padaku: 'Apa kau suka?' Aku memperhatikan foto itu sejenak lalu aku berkata padanya, 'Dari sisi apa?' Dia berteriak padaku, 'Tolonglah Filsuf, apakah wajahnya cocok?' 'Cocok.' 'Selesai sudah.'
Kemudian ia menarik tanganku dan berkata, 'Cepat berikan foto terakhir milikmu.' 'Satu-satunya foto terakhir yang aku miliki adalah foto paspor.' 'Tidak bisa! Bangunlah, ayo kita buat foto lain!' Lalu ia menarik tanganku dan membawaku ke studio foto terkenal. Kamerawan itu meletakkan aku di depan papan bertirai hitam, dan ia ingin menarik tongkat dariku agar tanganku ini bisa diletakkan di atas Drabizin(bisa diterjemahin nggak?) palsu yang didatangkannya. Aku menolaknya, dan ia pun mengembalikan tongkatku. Orang yang datang bersamaku melihat berdiriku dan ia rupanya tidak menyukainya, maka ia berteriak kepada kamerawan itu, 'Dia berdiri di atas apa?' Kamerawan itu berkata, 'Dia berd iri di atas tangga.' Lalu ia berteriak, 'Apa hubungannya tangga dengan Drabizin? Coba buat dia berdiri di tengah-tengah taman dan letakkan mawar di sekelilingnya. Angkat tirai yang menyedihkan ini dari sisinya, dan letakkan penggantinya dengan gantungan melati atau serumpun anggur! Singkatnya, buat pemandangan yang menggembirakan.' Kemudian ia mendekati kamerawan itu dan membisikkan sesuatu di telinganya. Menganggukangguklah kepala kamerawan itu sambil berkata, 'Aku paham maumu.' Segera ia mendatangkan tirai merah, pemandangan hijau, dan beberapa rumpun bunga seraya berkata, 'Insya Allah aku akan membuatnya seperti bulan di langit!' Aku ingin berteriak takjub dengan mukjizat ini, tapi aku terdiam oleh pemandanganpemandangan indah itu. Lalu kamerawan itu masuk ke dalam sesuatu yang mirip dengan selimut hitam yang menutupi kameranya. Tak lama ia di dalamnya, lalu keluar seraya berteriak: 'Satu, Dua, Tiga! Selamat!' Aku meninggalkan tempatku berfoto dan mendatangi kamerawan itu sambil berpesan padanya, 'Fotonya harus alami, jangan membuat perubahan!' Tanpa kusadari, yang memperhatikan urusanku itu menarikku darinya dan mendorongku jauh-jauh, lalu berkata pada kamerawan itu, 'Jangan kau dengarkan perkataannya!' Kemudian ia menoleh padaku sambil berkata, 'Apa ada orang di dunia yang berkata pada kamerawan untuk tidak membuat perubahan? Khususnya untuk Tuan!' 'Yang penting, aku harus melihat negatifnya dulu.' Kamerawan itu berkata, 'Negatif foto bisa dilihat keesokan paginya.' Kami pergi untuk kembali lagi esok hari. Ketika tiba keesokan harinya, aku datang sendiri ke studio foto itu agar dapat melihat hasil negatif foto dengan sembunyisembunyi. Foto itu diperlihatkan padaku dan aku memperhatikan wajahku. Aku dapati kalau kumisku tidak sama panjangnya, salah satunya lebih pendek dari yang lainnya.
Lalu kami mencari jalan keluarnya. Aku berkata bahwa satu-satunya perubahan yang aku perbolehkan adalah dengan menambahkan bulu di kumis yang pendek agar menjadi sa ma panjang dengan yang lainnya. Lalu aku pergi, sementara hari semakin siang. Setelah itu aku bertemu dengan orang yang memperhatikan urusanku. Aku menceritakan padanya perihal kumis itu. Dia tidak terlihat heran karena ia juga berlalu di studio foto itu setelah kedatanganku. Ketika ia tahu permasalahan kumis itu, dia memerintahkan kepada kamerawan untuk melenyapkannya semua. Tatkala aku mendengar darinya perkataan itu, langsung saja aku berteriak, 'Dihilangkan semua?!' 'Memangnya kenapa?' 'Aku berkumis dan kalian melakukannya tanpa kumis, ini namanya penipuan!' 'Maaf saja, apa kita berbuat penipuan di Kompialah(hal.111)!' 'Memangnya penipuan itu hanya di Kompialah?!' 'Jadi maksud Anda agar keluarga Besan mengatakan kalau seseorang datang melamar dengan kumis dan janggut?!' 'Apa kita akan melakukan kecurangan?!' 'Apa kamu paham kalau foto calon pengantin wanita itu tidak ada kecurangan di dalamnya?' 'Sungguh aneh!' 'Tentu, hal itu sudah dipahami. Nanti akan jelas olehmu kalau yang kami lakukan ini tidak ada bandingannya dengan apa yang mereka lakukan. Tenang sajalah!' Maka langsung aku berkata, 'Alhamdulillah, aku sudah tenang. Jikalau hanya bentuk yang kita inginkan, jadi permasalahannya adalah...' Dia langsung memotong, 'Oh tidak. Permasalahan itu terbungkus dua puluh empat karat. Kekayaannya terkenal dan penyelidikan kita benar. Adapun keadaan ekonomimu sudah jelas.' 'Jadi itukah maksud kalian dari permasa lahan itu?' 'Tentu saja, memangnya apa selain itu?' Aku tak dapat menahan kesabaran. Aku bangun tanpa lama-lama menunggu kesulitan jawaban itu, lalu pergi. Dan sampai saat ini pemikiran untuk menikah itu telah hengkang dariku. Tak pernah kembali lagi hantunya kecuali bersamaan dengan ingatanku akan perbincangan ini sebagaimana yang kau dengar. Dengan mengingatnya aku langsung muak untuk melanjutkannya. Jadi perusahaan ini di antara dua jiwa yang saling mengikat janji satu sama lain dalam berjalan mengarungi rintangan kehidupan, dan senantiasa berdiri dengan jalan seperti ini. Jika cara ini cocok untuk kebanyakan orang, tapi apakah cocok juga untuk orang sepertiku, dimana kehidupan pemikirannya
telah mempengaruhi kepribadian temannya?! Oleh karena itu, aku memilih jalan selamat dan menolak untuk berpetualang. Khawatir kalau nanti aku jatuh dalam kesalahan yang dapat merusak seluruh kehidupanku. Kembalilah aku menyendiri. Penyedirian dingin yang menyelimutiku dari segala penjuru. Sesungguhnya aku ini hanyalah bagai sebuah kubu kosong di tengahtengah padang pasir salju. Aku meletakkan di dalamnya secara kebetulan, sebuah kuali bergolak yang mengepul uap darinya, yang tidak lain adalah pemikiran yang keluar dari jendelaku dan sampai kepada sekelompok manusia. Jika seorang wanita memasuki kubu ini, siapakah yang dapat menjamin apa yang akan dilemparkan wanita itu ke dalam kuali, dan apa pula yang akan menguap darinya setelah itu! Demikianlah aku menjalani hidup dengan berpindah-pindah, tersesat tanpa tahu tempat atau alamat yang jelas. Tak ada hotel atau penginapan yang tak pernah aku tempati, sampai suatu hari aku terguncang dengan keadaan ini serta tak ingin hidup terus seperti ini bagai kehidupan sebuah pemikiran yang kelam dan jiwa yang linglung. Maka aku ingin mencoba kehidupan baru untuk tetap tinggal di tempat yang aku pilih sendiri di salah satu kawasan indah di kota Kairo. Menjorok ke sungai Nil, terlihat dari jendelanya Benteng (Benteng Sholahuddin_pen.) dan Piramida. Aku sendiri yang memilih perabotannya, membuat kantor yang bagus, lemari-lemari buku, mobil, dan aku tinggal sendirian. Di sekelilingku hanya ada pembantu, koki, dan supir. Lalu apa yang terjadi? Aku tak mampu bertahan dengan kehidupan seperti itu selama satu tahun. Ketiga pembantuku satu persatu pergi dari pikiranku. Pembantu orang Noubi itu telah menghancurkan piringan-piringanku yang mahal. Aku menyelidikinya dan ternyata ia memata-mataiku. Ketika aku keluar pada pagi hari, dia memutar Gramofon dan meletakkan apa yang dia dapati dari piringan yang ternyata adalah piringan Beethoven dan Mozart. Dia merasa tidak enak bekerja kecuali dengan mendengarkan musik ini. Adapun koki, awalnya ia tampak mahir menggunakan tangannya. kemudian kemampuannya menurun, sampai-sampai makanan yang dibuatnya itu terasa hanya sebagai pekerjaan rutin, karena tak ada rasanya. Terkadang aku meninggalkan makanan yang tersedia untukku dan pergi ke restoran kota. Makanan untuk pembantuku itu bentuknya lain dari makananku. Kebanyakan makanannya lebih lezat. Bukan hanya itu, aku juga telah tahu kalau koki itu membuat makanan yang banyak untuk kemudian ia jual kepada para satpam tetangga. Dan pembantu itu mengundang seluruh temannya dari Noubi setiap Ashar setelah kepergianku, untuk minum teh bersama-sama. Hal itu tidak mengherankan bagiku. Sungguh, jumlah
pengeluaran untuk diriku sendiri tanpa kusadari adalah sama dengan jumlah pengeluaran untuk sebuah keluarga beranggotakan sepuluh orang. Hal itu tak ada yang mengingatkan padaku kecuali tamu yang lewat. Semua perbuatan ini tidak membuatku marah, tapi yang benar-benar membuatku naik pitam adalah ketika aku mendapatkan sebuah paku kecil di dalam salah satu macam makanan yang hampir saja aku telan. Pada saat itu kesabaranku habis. Aku memahami kalau pembantu tanpa pengawasan adalah salah satu bahaya umum. Suatu hari aku tak dapat menahan diriku dan berteriak, 'Demi Allah, aku pasti akan menikah dan aku serahkan diriku pada Allah!' Adapun supir, ia tak pernah mendengarkan perintahku ketika aku suruh untuk tidak mengebut. Aku benci kecepatan karena hal itu menghalangiku untuk berpikir. Meskipun aku telah mengatakan padanya bahwa aku tidak terburu-buru karena tak ada yang aku buru. Aku ini adalah musuh waktu dan zaman, sampai-sampai aku tak punya jam karena waktu menurutku bukanlah bagai emas melainkan bagai tanah seperti halnya tubuh kita. Tapi ia tetap saja melaju kencang seakan-akan ia ingin melemparku secepat mungkin, menyelesaikan urusan denganku lalu melakukan urusannya. Terkadang aku membiarkannya menunggu di pinggir jalan dan berjalan bebas sambil berpikir semauku. Kemudian aku tahu bahwa diriku tidak suka begadang, sangat pemalas, dan cukup berkata padanya setiap Ashar, 'Ayo keluar ke tempat yang penuh udara segar.' 'Di mana?' 'Pilih tempat semaumu sema umu.'.' Maka ia membawaku ke tempat yang ia pilih tanpa penolakan dariku. Terkadang ia berhenti sejenak seraya mengatakan bahwa udara di sini segar serta pemandangannya indah, dan aku tak berbicara karena pikiranku selalu berlainan arah dengannya selama ia tidak terburu- buru buru denganku, dan tidak berkata padaku „silakan‟, kecuali ketika melihat bahwa telah datang waktu untuk bergerak. Lalu ia membawaku ke tempat yang biasa aku minum teh. Jika aku memerintahkannya sore hari untuk pergi ke bioskop, dia sudah tahu bahwa dia tidak harus bertanya bioskop yang mana, tapi ia langsung membawaku berkeliling ke setiap tempat, lalu berhenti sejenak di salah satu pintunya. Jika aku turun, berarti kewajibannya telah berakhir. Tapi kalau aku belum turun, ia akan membawaku ke tempat lainnya. Jika kami telah melewati semuanya dan aku belum turun juga, dia dengan sendirinya akan membawaku pulang ke rumah dan un dari mobil tanpa berkata apa-apa. Dia telah berkata padaku „silakan‟, lalu aku tur un merasakan adanya kekuasaan yang luas di tangannya, maka ia memanfaatkannya belakangan ini, bagai orang bejat yang memanfaatkan kebebasan bangsa. Maka jika ia
ingin melaksanakan sala sala h satu sat u urusannya, ia ia berke liling ke tempa tempat-te t-tem mpat itu d e ngan cepat,
sehingga
aku
tak
mampu
terbangun
dari
perhatianku.
Kemudian
ia
mengembalikan aku ke rumah sebelum jam sembilan sambil berkata „silakan‟, dan aku turun tanpa menyadari apa yang telah terjadi. Suatu malam aku paham akan kemauannya, dan pada saat itu aku ingin sekali begadang. Aku tak dapat menahan diriku dan langsung saja aku berteriak, 'Maumu aku ini tidur Maghrib ya?! Demi Allah, aku takkan turun. tur un.'' Begitulah keadaanku di tempat tinggal pribadiku bersama para pembantu itu. Aku menetap seperti itu selama beberapa waktu. Aku memendam dalam diriku mikrobat revolusi besar terhadap sistem itu. Suatu hari rumah itu hening dari yang mereka sebut dirinya sebagai pembantu. Ketika menjelang pagi aku menyiapkan koper dan memanggil satpam pintu, meminta darinya agar mencarikan orang yang dapat menggantikan menjaga rumah beserta perabotannya ini. Dia mengatakan bahwa ada orang Inggris bersama istrinya, maka aku meninggalkan kepada mereka berdua segalanya, bahkan buku-bukuku. Aku keluar dari rumah itu tanpa membawa segala sesuatu, bahkan botol air, kalengan keju, selai, susu, teh, roti. Aku usir para pembantu, aku tinggalkan mobil, dan melaju sendiri mengenyam kemerdekaan baru. Aku berpindah-pindah hotel, mengelilingi jalan, melompat ke gerbong-gerbong trem dan bus, bercampur dengan masyarakat. Aku merasakan kalau darah itu kembali mengalir panas di urat-uratku, kakiku gembira telah kembali menyentuh tanah, pikiranku kembali meloncat bersemangat bersama perjalanan dengan kaki ke setiap penjuru, dan perhatian orang kepadaku menyuburkan kembali otakku yang dahulu terkurung lama di balik kaca. Aku berdiri memperhatikan penjual jagung. Sambil dia memanggangnya di atas gerobak kecilnya, aku bersenda gurau dengannya tanpa ada yang terburu-buru denganku atau mobil menungguku. Aku mendengarkan obrolan panjangnya pada malam itu bersama penyapu jalan, aku bergabung dengan mereka berdua dalam perbincangan, dan begadang bersama. Aku lihat penyapu jalan itu meladeni penjual jagung karena ingin mendapatkan jagung, dan penjual itu sama sekali tidak menyadarinya, dia tak pernah mengundangnya karena pekerjaan itu adalah pekerjaan, menurut ungkapan para pedagang. Aku akhirnya membeli dua jagung bakar, yang satu aku berikan kepada tukang sapu itu dan yang satu lagi untuk diriku. Maka tukang sapu itu dengan ikhlas berdoa untukku, lalu makan sambil bercerita sebuah kisah yang indah tenta ng orang awam padaku.
Kisah ini kembali terlintas di benakku ketika sutradara itu bertanya padaku dan sama sekali tidak kujawab kecuali dengan senyuman yang keluar karena mengingat cerita itu.
= 11 =
Gemulai embun pagi mendatangi kami. Maka aku pun menghentikan pembicaraan. Berakhirlah urusanku untuk "menahan" sahabatku. Sekarang ia bebas untuk pergi dan berbuat semaunya. Adzan Shubuh berkumandang dari salah satu menara surau desa itu, dan kami melihat para petani bermunculan ke atas loteng untuk mengeluarkan binatang ternak menuju ladang. Kami mendengar suara kamerawan itu berteriak menyeru kami dari bawah rumah, mengajak kami untuk mengambil gambar matahari terbit. Kami melihat istrinya yang bersemangat itu sedang mengatur para pembantu dan menghangatkan susu, serta menyiapkan sarapan pagi. Kami tak sempat menghabiskan minuman kopi dan susu karena bergegas menuju pekerjaan. Aku mengingat keledaiku, maka aku pun mengutus seseorang untuk mengambilnya dari rumah kepada desa. Mereka mendatangkannya seraya berkata bahwa mereka telah membawanya keliling ke seluruh keledai, baik itu yang baru saja melahirkan atau yang sedang mengandung di desa ini, tapi ia tidak mau mendekati susunya dan tetap melakukan puasa sufi, sehingga kami rasa bahwa ia pasti akan mati. Maka sang sutradara berteriak: “Siapkan kamera kami sekarang untuk mengambil
gambar „Filsuf‟ sebelum ia menjumpa i ajalnya.” Mereka mendudukkan aku di atas alat giling gandum yang di belakangnya tampak tumpukan gandum, dan mereka mendorong anak keledai lemah itu ke sampingku. Keledai miskin itu bergerak sebagaimana yang mereka inginkan tanpa ada pemberontakan. Ia melihatku telah membuka kedua telapak tangan di atas paha, maka ia maju dan meletakkan kepalanya di antara kedua telapak tanganku itu. Sutradara itu
berteriak girang. “Ini sikap yang bagus, „Filsuf‟ itu berpikir sambil meletakkan kepalanya di telapak ta ngannya!” Maka aku memotong sambil menanggapi, “Kedua telapak tangan itu milikku.”
Kamerawan itu berkata sambil mengambil gambar, “Tak ada bedanya. Maksudku tak apa-apa, tak ada salahnya.”
Tak ada bedanya? Tidak, tapi di sana ada bedanya. „Filsuf‟ ini lebih berhak mendapat gelar seperti ini daripada aku, meskipun aku ini benar-benar seorang filsuf. Tidak tampak darinya bahwa ia mengetahui apa yang ia lakukan. Bentuk kamera itu
tidak mengundang perhatiannya sebagaimana yang dilakukan sebuah cermin, yang mampu membuatnya mengetahui dirinya sendiri. Itulah yang selalu ingin kami dapatkan, dan itulah maksud para filsuf di setiap waktu dan tempat. Adapun kamera itu adalah alat orang untuk mengambil gambar, tapi seorang filsuf sebenarnya tidak peduli akan pendapat orang terhadap dirinya!
Mereka selesai memotretnya dan kami menyerahkan „Filsuf‟ itu kepada salah seorang petani untuk mengembalikannya ke tempat dia menunggu Qada yang sudah pasti menjemput kita sepanjang masa. Kami berjalan menyusuri sawah ladang sampai hampir saja sendi-sendiku terasa mau copot. Adapun para sahabatku, mereka tak tampak merasa letih, karena mereka telah lama menggandrungi kehidupan di desa ini. Tak ada satu binatang pun yang lepas dari pemotretan mereka, dan tak ada satu pun peralatan tani yang lepas dari pengambilan gambar. Juga tak ada kakek tua, pemuda tegar, atau pemudi anggun yang tidak mereka berhentikan untuk diambil gambar nya, dibuat heran, dan direpotkan. Kemudian mereka memberikan setiap orang itu, beberapa peser uang logam perak yang khusus disiapkan untuk kepentingan seperti ini. Sehingga berkumpul di sekeliling kami orang tua, pemuda-pemudi, dan anak-anak beserta
binatang piaraan mereka. Setiap orang mengatakan, “Foto kami!”, “Tolonglah ambil gambar kami!” “Beri uangnya pak, lalu potret anak -anak itu!” Aku akhirnya meninggalkan mereka semaunya dan duduk meringkuk di pinggir jalan kampung
sambil menunggu waktu datangnya jalan keluar. Lalu berkata pada diriku sendiri, “Ah, andai saja datang sebuah bis dan aku letakkan kakiku di dalamnya.”
= 12 =
Akhirnya Ashar itu tiba, aku pun mengingatkan sahabatku akan waktu kepulanganku. Aku mengingatkannya akan keharusanku berada di Kairo pada sore itu. Ia lalu memerintahkan pembantu untuk menyiapkan mobil dan mengambil tas kecilku. Aku berpamitan kepada semuanya dan dengan basa-basi aku mengatakan pada meraka bahwa aku akan kembali lagi sesegera mungkin. Sutradara itu memerintahkan sang pembantu untuk mengantarkan aku sampai ke hotel dan mengatakan padaku bahwa ia akan datang ke Kairo dalam dua atau tiga hari lagi. Ia akan mengunjungiku, dan berpesan agar memfokuskan konsentrasiku pada permasalahan dialog itu. Ia berharap kalau aku dapat menuliskan sesuatu karena aku telah melihat keadaan desa tempat dilakukannya pengambilan gambar nanti. Ia juga menegaskan kalau akulah satusatunya orang yang ditunggu untuk memulai pengambilan gambar film itu, karena
segala sesuatu telah siap: skenario film, tempat syuting, semua aktor dan aktris telah ada, dan sekian rol film telah disediakan o leh per usahaan dan tersimpan ba ik d i gudang, di bawah kendali sutradara. Jadi segala sesuatu telah tersedia kecuali dialognya. Aku pun menenangkannya dalam dua kata. Dia menyalamiku tanganku dengan keras, dan mengantarku naik ke mobil, lalu kami melaju. Aku tiba di hotel sore itu dengan keletihan yang tak terhingga akibat begadang pada malam yang kelam itu. Segera aku naik ke kamarku. Aku menanggalkan pakaian yang berlapiskan debu serta kutu busuk. Aku mandi dan berendam dalam air hangat selama satu jam, lalu aku segera menuju tempat tidur. Aku pun tertidur pulas, tak tahu apa yang terjadi kecuali ketika aku terbangun pada keesokan paginya. Kehidupanku kembali berlalu seperti biasanya, dan terlupakan olehku segala kejadian yang baru saja berlalu serta apa yang har us aku lakukan nanti. Aku dis ibukkan oleh berbagai macam pekerjaan. Hari demi hari berlalu tanpa terasa, sampai ketika akhirnya datanglah sutradara itu pada suatu sore. Ketika kami bertemu, ia langsung
memulai pembicaraan dengan teriakan gembira, “Kami telah temukan seorang „Aminah‟ yang ca ntik!” Aku mengerutkan dahi. “Aminah?!” “Tokoh dala m kisah itu.” “Oh!” “Lihat.” Ia mengeluarkan dari kantungnya sebuah pas foto seorang wanita desa yang benar- benar cantik. Aku memperhatikannya sejenak dan berkata padanya, “Di
mana kau menemukannya?” “Aku takkan berbohong padamu. Bukan aku yang menemukannya. Kami telah mencari ke sana ke mari di desa itu atau di desa tetangga, orang yang pantas untuk memerankan Aminah. Maka kami akhirnya pergi ke or ang desa ternama „.........‟ yan g bekerja untuk perusahaan Eropa dan Amerika, yang bertempat tinggal di dekat Piramid. Ia telah terbiasa memahami wajah, kuda, unta, dan orang-orang yang cocok untuk memerankan seluruh film yang menayangkan tentang Mesir, Timur, pedesaan, atau padang pasir. Aku datang padamu sekarang untuk mengajakmu pergi ke tenda orang itu besok, karena akan ada atraksi kuda orang Badui. Ia juga akan memperlihatkan pada kita pemuda-pemudi desa untuk kita pilih menjadi pemeran-pemeran pembantu dalam film nanti. Oleh karena itu, engkau sebaiknya bersama kami mulai besok pagi." Aku membayangkan wajah hantu yang menggerayangiku pada hari ketika aku
pergi ke desa, maka aku berteriak, “Ini mustahil!” Aku menjelaskan berbagai macam alasan.
Akhirnya lelaki itu hanya mampu mengatakan, “Sedikitnya kau b isa hadir dalam makan malam.” “Makan malam apa?” Dia mengatakan padaku bahwa penanggung jawab keuangan dan kepegawaian telah menyiapkan sebuah tenda di samping Piramid untuk sebuah santap malam besok sore, dengan mengundang para keluarga Eropa yang bersangkut paut dengan kesenian ini.
“Yang ini juga tidak. Aku bukan orang yang suka berkumpul, jadi tak ada manfaatnya kalian mengundangku untuk datang ke makan malam itu. Tinggalkanlah
aku sendiri dengan urusanku,” kataku bersikeras. Dia lalu mengatakan bahwa selingan itu takkan melebihi dua jam, dan akan ada mobil yang membawaku kembali ke hotel sebelum jam delapan malam. Kemudian ia
bangkit minta izin dan berkata, “Sampai besok.” Ia pergi tanpa membicarakan satu hal pun tentang dialog itu dan aku pun gembira. Aku berkata dalam hati bahwa kebaikannya ini harus dibalas dengan kebaikan juga. Aku pun menguatkan tekad untuk mempelajari dialog itu pada Ashar besok. Ketika hari esok itu tiba, maka seperti biasanya aku dilalaikan oleh banyak hal, hingga datanglah petang. Aku berdiam sendiri d i kamarku. Sambil menanggalkan pakaian, aku melihat kesempatan datang untuk membuka lembaran skenario itu. Sambil menahan diri, aku mempelajari skenario itu dengan diselimuti hawa panas sehingga keringat bercucuran dari dahiku. Makna demi makna -kalaupun ada maknanya- melebur dekat dari pikiranku. Tak ada yang dapat menolongku dari keadaan itu kecuali suara telepon yang mengabarkan bahwa sebuah mobil telah menungguku di pintu hotel. Aku mengembalikan skenario itu pada tempatnya semula, lalu segera turun dan naik mobil itu hingga tiba di hadapan sebuah tenda yang terletak di padang pasir Piramid. Aku turun dan menuju ke sana. Aku melihat banyak undangan yang telah berdatangan, yang kebanyakan telah aku kenal sebelumnya. Mereka meletakkan meja makan di luar, dan meletakkan kursi-kursi panjang di atas pasir. Jadi, barangsiapa yang ingin duduk di kursi dia bisa duduk, dan barangsiapa yang ingin makan atau minum dia bisa mendekati meja makan itu. Kegembiraan serta kemeriahan menghiasi tempat itu. Sang sutradara setiap waktu mengumumkan bahwa akulah yang membuat dialognya, seolaholah ia ingin mempermalukan aku. Walau bagaimanapun, banyak orang yang berkata-
kata tentangku, “Rupanya sinema itu telah menarik perhatianmu!” Aku tak tahu apa yang harus aku jawab. Maka aku pun bergumam dengan perkataan yang tak jelas. Akhirnya aku menyelinap di antara para hadirin, dan duduk di
atas kursi panjang sambil memperhatikan padang pasir yang terbentang di hadapanku bagaikan lautan. Aku melihat cahaya bulan bermainan dengan pasir hingga terlihat bagai gelombang ombak. Aku memejamkan mataku sambil berkhayal sedang menaiki sebuah perahu layar menuju Eropa yang indah. Aku merasakan keberadaan seseorang di sampingku, yang duduk di sebuah bangku panja ng yang koso ng. Aku menoleh, dan ternyata ia adalah salah seorang wanita yang diundan. Ia ingin berbicara denganku. Tanpa membuang waktu lagi, ia langsung berkata, “Kamu suka menyendiri ya ? ” Aku berkata tanpa bergerak, seolah-olah aku berbicara pada diriku sendiri,
“Sudah ditakdirkan padaku begini.” “Aku lihat kamu lari dari semua orang.” “Sebelum mereka lari dariku.” Aku pun memilih untuk tetap diam. Ia tak tahu apa yang harus dibicarakan lagi,
lalu ia melihat ke langit dan berkata, “Bulan itu sungguh indah.” “Ia tela h mengubah dirinya hingga darahnya mengering dan beku, hingga ia takkan bangun kecuali oleh tusukan yang mengeluarkan racun. Ada beberapa permasalahan yang jika seseorang menusukkannya padaku pasti aku mengeluarkan komentar, la lu setelah itu aku kembali diam merenungi diriku.”
“Permasalahan apakah yang menusukmu sekara ng?” “Diriku sendiri. Maukah kau aku tunjukkan bentuk diriku sebagaimana yang aku lihat sekara ng ini? Aku ini sebuah ba ngunan yang berdiri di atas air yang mengalir , atau sebuah istana yang dibangun di atas pasir. Tak ada sesuatu pun pada diriku yang dapat bertahan kekal. Aku tidak memuja sesuatu, tidak menghormati seseorang, dan tidak memandang serius kecuali pada satu hal: yaitu pemikiran. Cahaya yang terang ini ada di puncak Piramid yang memiliki empat sudut: keindahan, kebaikan, kebenaran, dan kebebasan. Piramid inilah sesuatu yang teguh dalam keberadaanku. Sebagaimana yang kau lihat, aku ini bukanlah orang yang suka berkumpul. Aku bukanlah orang yang pandai berkata-kata, s uka berguyon dalam kumpulan, dan tak b isa berbicara d i hadapan orang banyak. Jika kau hadir dalam suatu undangan, para hadirin takkan dapat menunggu lama kehadiranku melebihi angin lalu, dan memandang seperlunya tanpa terlihat cahaya keberadaannya. Sejak lama orang yang mengetahuiku berselisih pendapat denganku, dan mereka masih saja demikian sekarang. Di antara sebagian orang ada yang menganggap aku ini sederhana. Ini benar, dan aku takkan mengatakan
lebih dari itu.” Wanita itu terdiam sebentar, lalu berkata, “Aku telah membaca salah satu bukumu dan kau telah mengarang sejumlah tulisan dengan jiwa besar, kocak, dan
dengan ungkapan yang ringan. Maka demikianlah aku menggambarkan dirimu dalam
kehidupan nyata.” “Maa f, aku telah memupuskan prasangkamu.” “Tidak, prasangkaku tidak pupus. Tapi engkau bagai bulan yang bercahaya dari jauh.” Lalu aku langsung menyambung perkataannya, “Dan jika aku mendekatinya, aku mendapatinya sebagai sosok yang gelap.”
Segera ia berkata dengan nada memohon, “Maaf, aku tidak bermaksud berandai-andai sejauh ini.”
“Seharusnya memang demikian, agar ada kesamaan antara kebenaran dan keindahannya, meskipun demikian itulah kebenaran yang sesungguhnya.” “Engkau berlebihan dalam menyikapi dirimu.” “Tidak.” “Aku lihat kau sekarang misalnya, telah memulai pembicaraan yang menarik.” “Karena kamu tahu bagaimana cara memasukkan perkataan yang aku perhatikan. Aku seperti ular malas di hari-hari musim dingin yang tetap diam melingkar, tapi menurut orang lain aku seorang yang mahir lagi cerdik. Suatu hari berkata salah seorang yang memperhatikanku, 'Kamu aneh, kau bisa tidak tahu sesuatu yang seharusnya semua orang tahu, dan mengetahui sesuatu yang orang tidak tahu!' Berkata pula pemilik motel tempat aku tinggal selama beberapa hari, 'Izinkanlah aku mengungkapkan sesuatu yang menyatakan tentang pendapatku akan dirimu. Terkadang kamu terlihat tidak tahu apa yang kau inginkan, bahkan terkadang tampak darimu, aku mohon maaf jika perkataan ini kasar, bahwa kau kurang cerdas dan sederhana dalam berpikir. Tetapi terkadang juga tampak melebihi kami dalam kecekatan ataupun pemikiran. Tak ragu lagi, kau ini adalah salah satu teka-teki!' Di setiap tempat aku mendengar ada orang yang mengatakan hal seperti itu padaku. Oleh karena itu, aku kehilangan
kejelasan
dalam
mengarungi
kehidupan.
Kegamangan
ini
telah
mempengaruhi kepribadianku sehingga aku senantiasa mencarinya. Sejak kecil aku sering berlama-lama memperhatikan sampai berlalu kehidupanku, sambil berharap dalam setiap perkembangannya agar dapat kembali normal seperti sedia kala. Keadaanku selalu saja seperti anak keledai yang kami temukan dan kami beri nama
„Filsuf‟. Ia terlahir sejak dua hari, dan pergi dari botol susu menuju hadapan cermin lemari untuk memperhatikan dirinya! Begitulah diriku. Sejak kecil aku lari dari kemegahan kehidupan yang menghanyutkan
para
pemuda-pemudi,
menuju
sebuah
cermin
agar
dapat
memperhatikan diriku di dalamnya. Perhatian itu lebih jauh dari perhatian Nersis akan dirinya di sungai Ghadran. Perhatian itu bukanlah perhatian kebanggaan dan kecongkakan, melainkan perhatian orang yang sedang mencari dalam kebingungan. Akulah orang yang paling menerobos penjuru diri sendiri, karena aku meyakini bahwa alam itu takkan bersemayam pada diriku, hingga ia takkan memberiku satu cahaya pun. Aku adalah sebuah jasad kelam yang menerangi (sebagaimana yang kau katakan) dengan pemikiran yang keluar dariku, dan tak ada lagi hal lain kecuali itu. Tapi sesungguhnya aku ini adalah sebuah tanah tandus dimana semuanya bebatuan yang tak dapat ditempati oleh manusia. Apakah kau pernah mendengar seseorang tinggal di suatu masyarakat tanpa teman? Akulah orang yang tinggal sendirian dalam masyarakat tanpa teman itu. Aku tak melihat orang kecuali berkepentingan untuk berbincangbincang sedikit perihal sastra, pemikiran, atau kesenian, yaitu orang-orang yang seprofesi denganku. Dengan terpaksa aku berjumpa dengan mereka. Adapun sisa kehidupanku adalah jauh dari masyarakat. Aku tidak menanyakan orang lain dan orang pun tak menanyakan tentang diriku, karena aku tidak memiliki sifat yang dapat menarik perhatian orang lain atau meladeni mereka ketika bersahabat denganku. Aku senantiasa berusaha mencari dan menggali di seluruh penjuru diriku, dengan harapan dapat menemukan di antara celahnya sebuah logam berharga yang sed ikit berca haya. " Lalu aku terdiam dan wanita itu tak berani untuk bicara. Ketika telah tampak di wajahnya tanda-tanda ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba salah seorang undangan menemuinya sehingga ia sibuk berbicara padanya. Aku kembali menutup mata dan menyerahkan khayalanku. Malam indah bersama angin lembut saling berdampingan mendatangkan kantuk di kelopak mataku, hingga aku tak merasakan sesuatu di sekelilingku kecuali jatuhnya penutup ringan dari wol, yang diletakkan oleh tangan lembut untuk menutupi tubuhku. Kemudian datang beberapa bisikan yang sampai ke pikiranku, setiap kali diriku terjaga oleh beberapa sebab. Terbayangkan olehku bahwa
aku mendengar seseorang berkata, “Apakah dia t idur?” Maka berkata suara lembut seorang wanita, “Sebenarnya aku ingin bertanya padanya. ”
Lalu suara lain menjawabnya, “Jangan kau bangunkan dia, tidurnya itu sudah pulas.” Wanita itu berkata, “Dia aneh. Kami ingin ia berbincang -bincang dengan kami, tetapi ia malah melewati malam tanpa begadang.” Lalu suara yang aku kenal menjawabnya.
= 13 =
Sahabatku sang sutradara itu mengunjungiku pada keesokan harinya dan
berkata padaku dengan nada bercampur sedikit kesombongan, “Saya harap kau telah tertidur nyenyak tadi malam.” Aku berkata padanya, “Semoga saja hal itu tidak mengecewakan para tamumu.” “Tentu tidak, kalau saja hal itu terjadi pada orang lain pasti akan timbul makna lain. Tapi hal itu datang dari dirimu dan kamu boleh berbuat apa saja.”
“Apa yang kau maksud?” “Maksudku, bahwa bagi seorang seniman hal itu adalah suatu kebebasan yang tak dapat dirasakan oleh orang lain. Dahulu seorang pelukis besar bernama Picasso menghadiri pesta-pesta malam dengan seragam kerja yang bersimbahan cat, sedangkan
orang lain tidak boleh datang kecuali dengan „Frak.‟ Begitu pulalah keadaannya dalam kebanyakan pertemuan yang aku ikuti: orang yang hadir dan juga hilang, serta yang bersama kami, tapi ia tidak bersama kami. Kemudian mereka kembali berbahagia seperti semula sampai akhirnya malam semakin larut dan tibalah waktu pulang. Mereka melihat bahwa aku harus dibangunkan, maka mereka pun membangunkan aku. Mereka menyiapkan tempatku di mobil dan aku pun
meninggalkan mereka dengan keadaan setengah sadar.” “Terima kas ih atas semua kemurahanmu yang kau berikan padaku.” “Memang nyatanya demikian. Aku tak menginginkan apapun darimu kecuali satu hal!” “Satu saja?” “Iya. Aku telah menunggu tema dialog itu, dan aku mengira kalau kau akan mengutaraka nnya sedikit kepada hadirin.” Aku langsung memotongnya. “Aku berbicara di hadapan hadirin?! Siapa yang bilang padamu bahwa aku biasa berbicara di hadapan para hadirin atau yang tak hadir.”
Dia berkata sambil memandangku, “Aku dahulu tidak tahu kebiasaanmu, tapi sekarang aku telah memahaminya. Kau tidak berbicara di hadapan orang tetapi kau membuat dialog yang harus diutaraka n oleh para pemeran kisahmu.”
Dia melihat padaku dengan pandangan cemas dan berkata, “Apa kau tidak bisa begitu juga?” “Aku tak bisa.” Tampak darinya bahwa ia tidak paham denganku. Ia terus saja memandangiku dengan pandangan penuh tanda tanya sambil menunggu jawaban. Aku berkata padanya,
“Telah jelas olehku suatu hal yang tak kuketahui sebelum melihatmu, yaitu seorang penulis yang sesungguhnya tak mungkin menikmati pekerjaannya di sinema, karena dalam sinema itu segalanya tunduk di bawah sutradara. Jadi, sutradara film adalah pengatur segala sesuatu dan dialah yang menciptakan suasana pekerjaan dengan tabiatnya. Pembuat skenario, penulis dialog, pengatur gambar, pengatur suara, kamerawan, para pemeran film dan seterusnya itu, hanyalah unsur-unsur atau bagianbagian
yang
terpecah-belah.
Sutradaralah
yang
mengumpulkannya
dan
mengarahkannya kepada sesuatu yang ia inginkan. Perumpamaannya adalah seperti seorang penulis dalam bidangnya. Seorang penulis yang sesungguhnya adalah juga yang menundukkan segala sesuatu di bawah kehendaknya. Dialah yang mengumpulkan gambar, pertunjukan, penelitian, percobaan, kejadian di masyarakat, berita sejarah, dan legenda para pendahulu. Lalu ia meramu dari semua ini atau dari sebagian darinya, sebuah unsur kesenian yang berdiri dengan sendirinya. Seorang penulis sesungguhnya bukanlah yang memaparkan dengan bahasanya suatu kalimat besar lagi indah, tapi adalah yang menciptakan suatu dunia yang penuh dengan orang-orang yang hidup berjalan dan merasakan tanpa memb utuhkan pena orang lain dala m menciptakan lingkungan seperti ini. Shakespear, Muller dan Joteh, adalah para penulis yang sesungguhnya karena kisah-kisah mereka mampu menggambarkan bagi kemanusiaan, sebuah dunia besar nan indah, dengan hanya membaca sendiri tanpa membutuhkan suatu sanggar atau pun pemeran. Meskipun bekas-bekas mereka sangat memerlukan pemeranan agar orang-orang yang kita sebut-sebut sebagai penulis itu dapat berdiri di dalamnya. Seorang penulis yang sesungguhnya itu adalah yang menyeluruh, bukan yang sebagian saja. Bahkan tingkatan para penulis itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat kemampuan mereka akan keseluruhan dan kesempurnaan itu. Jadi para penulis besar menurutku adalah mereka yang diberi langit, semua kunci perasaan manusia. Mereka mampu membuat menangis, membuat tertawa, mengangkat perasaan dan pemikiran ke puncak khayalan, syair, dan tasawuf. Juga mereka mampu menurunkannya ke tengahtengah kenyataan kehidupan dunia. Oleh karena itu pulalah ketiga orang yang tadi aku sebutkan adalah para penulis besar yang sempurna. Shakespear di komedi, drama dan syairnya, telah mengelilingi semua yang manusia sebut dengan perasaan, serta karyanya telah tergantung di dunia pemikiran yang terkenal. Begitu pula Muller, dia telah menunjukkan dengan kisah-kisahnya kalau ia mampu bersenda gurau. Adapun sisi baiknya, dia benar-benar orang yang cerdas lagi sempurna ketika kebanyakan orang tampak kehebatannya hanya terbatas di salah satu sisi perasaan kemanusiaannya saja.
Dunia-dunia yang mereka ciptakan bagai bintang-bintang terang yang berenang-renang di alam pemikiran, tapi sinarnya hanya berada di lingkaran cahaya dunia ini. Kemudian sesungguhnya seorang penulis besar seperti seorang sutradara film, mampu meletakkan tabiatnya dalam s uatu karya yang b ukan ciptaannya. Contohnya S hakespear telah t urun dalam kebanyakan kisah-kisah Itali, Muller dalam kebanyakan kisah-kisah Spanyol, dan Goethe dalam kebanyakan legenda-legenda zaman pertengahan. Maka seorang penulis besar bagai seorang pahlawan besar yang terkadang berada di tanah yang bukan miliknya,
ia
mampu
menaklukkannya,
meletakkan
sistem
pemerintahannya,
mewarnainya dengan warna pemikiran serta kebudayaannya, lalu meletakkan bendera
kepandaiannya agar sejarah mengetahuinya.” Aku kembali terdiam dan menoleh pada sahabatku yang berkata dengan nada
sedih, “Dan hasilnya?” Aku bangkit mengambil lembaran-lembaran kisahnya dan memberikan
padanya. Lalu aku mengeluarkan daftar cek sambil berkata, “Hasilnya adalah, aku akan mengembalikan uang kalian da n kita batalkan perjanjian ini.” Lelaki itu terdiam sambil menunduk sejenak, lalu ia mengangkat kepalanya
seraya berkata, “Saya harap kau menunggu sejenak dan izinkan aku berkata kasar padamu, bahwa kau adalah orang termalas yang pernah aku jumpai. Semua perkataan yang baru saja kau ucapkan hanya sebuah alasan yang mampu membebaskanmu dari pekerjaan ini, tapi aku ingin kau memikirkannya sejenak, karena pengunduran dirimu
itu mer upakan kej utan bagiku yang takkan dapat k uterima.” Aku berpikir sejenak, lalu berkata, “Semoga kau benar. Mungkin saja karen a panas, letih, dan susah payah. Walau bagaimanapun, tak ada harapan aku bekerja di sini. Jadwal keberangkatanku telah dekat. Jika kau melihat dialog itu dapat aku bawa ke Swiss, aku yakin mampu menyelesaikannya selama dua pekan di atas pegunungan indah, danau, dan udara bersih itu. Perjalanan dengan pesawat terbang sangat cepat. Jika kau mau aku bisa mengirimkan padamu hasil buatanku sedikit demi sedikit, dan akan tiba padamu dalam jangka waktu dua hari. Jika kau mau, setelah itu aku akan ke Perancis untuk bertemu dengan Tuan „......‟ untuk menolongnya meletakkan istilah-
istilah Perancis. Bagaimana pendapatmu?” Lelaki itu berpikir sejenak, lalu berkata, “Aku tak bisa menjanjikanmu hal itu. Aku harus mengatur waktu bersama para kamerawan dan para pembantu, a gar aku dapat melihat kemampuan pengambilan gambar tanpa dialog di beberapa bagian film,
hingga kami dapat menghindari hari libur yang panjang.” Dia bangkit dan pergi untuk kembali ke desa itu keesokan paginya.
= 14 =
Hari demi hari berlalu dan sahabatku sang sutradara itu tak tampak batang hidungnya. Tinggal dua hari lagi jadwal waktu keberangkatan kapal laut yang telah aku pesan tiketnya, dan aku tak cemas akan hal itu, apalagi memikirkannya. Tak ada sesuatu pun yang dapat membebaskan aku dari panasnya musim panas di Kairo, maka
aku berkata pada diriku sendiri, “Aku akan membawa kisahnya dan menulis dialog untuknya dari Eropa, semoga saja aku dapat mengirimkan sedikit dialog padanya agar
dapat menenangkan hatinya.” Pada hari berikutnya aku pergi ke Alexa ndria, lalu aku berlayar hingga tiba di Losirin dimana di sana ada konser perdana musik Tuskanini. Di sinilah aku melupakan Mesir dan segala pekerjaannya. Aku tidak mengingat skenario, film, sutradara, dialog, dan aku lupa juga mengatakan padanya tentang kepergianku dan
tempat tinggalku, bahkan aku juga melupakan keledaiku „Filsuf‟; keadaannya, cerminnya, pengajarannya, dan apa saja yang terjadi padanya. Aku meninggalkan Swiss menuju Perancis. Aku berjalan-jalan di gunung Safo yang tinggi dan aku lelap dalam ketenangan. Aku tidak membuka satu lembar pun, tidak membaca satu buku pun, tidak melayangkan satu surat pun, dan tidak membawa pena atau kertas, tapi aku membawa tongkat gunung yang berujung besi. Di tanganku yang lain aku membawa tongkat pancing dan kaleng makanan yang aku bawa mengelilingi danau-danau kecil sambil bermain-main memancing ikan yang berkeliaran di bawah hidungku serta meremehkan makananku. Aku kembali ke Mesir sebelum bulan September. Aku menemukan dua surat menungguku yang datang dari para pengacara perusahaan. Yang pertama berisikan perjanjian serta perintah untuk melaksanakannya, dan yang kedua tindak lanjut akibat dari keterlambatan. Ketika itu aku terjaga dari mimpi musim panas dan ingat akan segala sesuatu. Aku mengeluarkan buku tulis skenario dari tas dan bertekad untuk bekerja. Wisata itu telah memberiku semangat baru hingga aku mau membuka kisah
itu, dan aku berkata pada diriku sendiri, “Sedikitnya aku akan berbuat sesuatu, lalu aku akan menelpon sutradara itu agar ia melihat bahwa aku tidak melupakannya sepanjang waktu. Tetapi bacaan itu tak menambah keyakinan padaku kecuali keyakinan bahwa pekerjaan ini mustahil bagiku. Para tokoh dalam kisah itu sangat jauh dari perasaanku, aku tidak melihat mereka, tidak mengetahui mereka. Mereka itu asing bagiku, bagaimana mungkin aku bisa membuatkan perkataan yang keluar dari mulut mereka
sebagaimana dokter gigi membuatkan gigi emas palsu di mulut orang?” Maka dengan
putus asa aku meletakkan kembali lembaran itu. Aku bangkit menulis surat kepada
sutradara itu agar menemuiku, dan aku berteriak di dalam kamar, “Aku harus memahamkan lelaki ini bahwa aku tidak bisa membuatkan pembicaraan orang lain,
tetapi aku bisa membuat orang yang dapat berbicara!” Suasana politik pada waktu itu begitu menegangkan. Telah tersebar kerusakan
di jiwa bangsa yang menamakan dirinya „mulia‟. Mereka meninggalkan pengajaran orang-orang yang telah mengetahui dirinya sendiri sehingga mereka dapat menyingkap keindahan dan kebersihan demi kemanusiaan. Dan menyerahkan urusan kepemimpinan kepada mereka yang tidak tahu bahwa dirinya bodoh sehingga muncullah di dalamnya hawa nafsu bejat, kezhaliman, dan pertumpahan darah. Sutradara itu tidak mengetahui keberadaanku di Kairo ketika telah dimulai pembantaian manusia. Dia mendatangik u sambil berkata, “Peperangan itu telah menghentikan penyempurnaan film ini, dan kami beberapa hari lagi akan pergi. Aku mohon maaf atas surat-surat tercatat, karena kepergianmu dan pemutusan kabar darimulah yang memaksa kami melakukan hal itu agar kami dapat berapologi di
hadapan per usahaan tentang tanggung jawab keterlambatan itu.” Aku berkata padanya, “Lalu perjanjian yang ada di antara kita?” Dia menjawab, “Tentu saja tetap berlanjut hingga pekerjaan ini dimulai kembali.” “Kapan?” “Setelah perang.” “Aku berpikiran untuk membatalkan perjanjian itu.” “Mengapa? Jangan buru-buru putus asa. Waktu di hadapan kita sangat luas untuk berpikir panjang dan bekerja lambat, kami tentunya akan mengingatmu ketika
kami memerlukanmu.” Selain urusanku kepada perusahaan ini dan sedikitnya menyelesaikan situasi untuk sementara waktu, penyelesaian ini tak kuduga. Hatiku sangat tenang
mendengarnya. Maka aku berkata pada sahabatku sang sutradara, “Marilah ikut aku ke restoran hotel, aku mengundangmu makan malam.” Dia berkata padaku ketika kami turun dengan lift ke ruang makan di lantai
dasar, “Saya harap ini bukan makan malam perpisahan.” “Saya harap demikian juga.” Kami duduk dan ia memulai bicara, “Aku punya kabar buruk untukmu.” Aku menoleh padanya dengan cemas, “Apa?” Dia me njawab dengan nada memelas, “Temanmu „Filsuf‟...”