LAPORAN REFLEKSI KASUS STASE ILMU KESEHATAN ANAK INKOMPATIBILITAS INKOMPATIBILITAS ABO
MARDYLLA NUR FITRIANY / 20120310060 20120310060 I.
PENGALAMAN
II.
MASALAH YANG DIKAJI
1. Bagaimana
patofisiologi Hemolytic
Disease
of
Newborn
(HDN) ABO
/
Inkompatibilitas ABO ? 2. Bagaimana penegakan diagnosa pada Hemolytic Disease of Newborn (HDN) ABO (HDN) ABO / Inkompatibilitas ABO ? 3. Bagaimana tatalaksana Hemolytic tatalaksana Hemolytic Disease of Newborn (HDN) ABO/ (HDN) ABO/ Inkompatibilitas ABO ? 4. Apakah pemeriksaan penunjang pada Hemolytic Disease of Newborn (HDN) ABO/ (HDN) ABO/ Inkompatibilitas ABO ?
III.
ANALISIS KRITIS
1. Bagaimana
patofisiologi Hemolytic
Disease
of
Newborn
(HDN) ABO
/
Inkompatibilitas ABO ? Penyakit Hemolitik Pada Inkompatibilitas ABO (ABO-HDN)
Inkompatibilitas ABO adalah salah satu penyebab penyakit hemolitik pada bayi baru lahir yang merupakan faktor resiko tersering kejadian hiperbilirubinemia (Behrman, 2000). Manifestasi Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari inkompatibilitas sebagian besar kasusnya ringan, diantaranya yaitu: a.
Ikterus sebagai satu-satunya manifestasi klinis dari Inkompatibilitas ABO.
b.
Bayi biasanya tidak terkena secara menyeluruh pada saar lahir
c.
Tidak ada pucat, dan hidrops fetalis sangat jarang.
d.
Hati dan limpa tidak sangat membesar, jika ditemukan.
Ikterus biasanya muncul dalam 24 jam pertama. Kadang-kadang penyakit ini menjadi berat serta tanda-tanda kernikterus berkembang dengan cepat. (Behrman, 1999) Patofisologi yang dapat menjelaskan timbulnya reaksi hemolitik pada inkompatibilas ABO akibat kesalahan transfusi adalah akibat antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko. Sedangkan patofisologi yang dapat menjelaskan timbulnya penyakit inkompabilitas Rh dan ABO adalah terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah j anin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan. Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin. Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan berikutnya. Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan
pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin pada bayi. Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus. Gejala lain yang mungkin hadir adalah peningkatan kadar insulin dan penurunan kadar gula darah, dimana keadaan ini disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops fetalis ditujukkan oleh adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang memberikan gambaran membengkak (swollen). Penumpukan cairan ini menghambat pernafasan normal, karena paru tidak dapat mengembang maksimal dan mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut untuk jangka waktu tertentu akan mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia dapat menimbulkan masalah jantung (Leveno, et al., 2004)(Benson & Pernoll, 2009) (Bherman, et al., 2000).
2. Bagaimana penegakan diagnosa pada Hemolytic Disease of Newborn (HDN) ABO / Inkompatibilitas ABO ? Pemeriksaan Diagnostik
ABO incompatibility atau inkompatibilitas ABO didiganosis dengan: a. Tes darah tali pusat untuk mengetahui ketidakcocokan b. Hitung darah lengkap untuk mengetahui atau menunjukan adanya sel-sel darah yang rusak dan hemolisis. c. Pemeriksaan tingkat kadar bilirubin (tingkat bilirubin tinggi) Diagnosis dugaan didasarkan pada adanya inkompatibilitas ABO, uji Coombs direk positif lemah sampai sedang, dan adanya sferosit pada pulasan darah, yang kadang-kadang memberi kesan adanya sferositosis herediter. Hiperbilirubinemia sering merupakan satu-satunya kelainan laboratorium. Kadar hemoglobin biaasanya normal tetapi dapat serendah 10-12 g/dL (100-120 g/L). retikulosit dapat naik sampai 10-15 %, dengan polikromasia yang luas dan kenaikan jumlah sel darah merah berinti. Pada 10-15% bayi yang terkena, kadar serum bilirubin tak terkonjugasinya dapat mencapai 20 mg/dL atau lebih jika tidak dilakukan fototerapi. (Behrman, 1999) 3. Bagaimana tatalaksana Hemolytic Disease of Newborn (HDN) ABO/ Inkompatibilitas ABO ?
Tidak ada penatalaksanaan khusus pada bayi dengan ikterus karena inkompatibilitas ABO selain penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara umum. Katz dan kawan-kawan (1982) menemukan bahwa 62% bayi yang mengalami hemolitik memerlukan pengobatan dan yang paling sering diperlukan adalah fototerapi. Fototerapi biasanya dapat mengatasi ikterik pada bayi yang terkait dengan inkompatilitas ABO. Kalau tidak, pengobatan diarahkan pada korelasi tingkat anemia atau hiperbilirubinemia yang membahayakan dengan jalan transfuse tukar memakai darah. Transfuse tukar memakai darah yang golongannya sama seperti golongan darah ibu (tipr Rh harus diuji silang dengan darah bayi). Indikasi untuk prosedur ini sama dengan indikasi yang diuraikan sebelumnya pada penyakit hemolitik karena inkompatibilitaas Rh. (Behrman, 1999). Menurut American Academy of Pediatric indikasi transfuse tukar yaitu apabila bayi menunjukkan tanda-tanda ensefalopati bilirubin akut atau apabila kadar bilirubin total lebih dari sama dengan 25 mg/dL pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih. Transfuse tukar sekarang jarang digunakan karena efektifnya fototerapi dan juga dengan pertimbangan terhadap resiko komplikasi yang banyak ditimbulkan dari transfuse tukar tersebut.
4. Apakah pemeriksaan penunjang pada Hemolytic Disease of Newborn (HDN) ABO/ Inkompatibilitas ABO ? Pemeriksaan penunjang yang berguna terutama ialah dengan pemeriksaan darah. Pengukuran status anemia akan lebih akurat menggunakan darah vena sentral atau arteri dibandingkan dengan menggunakan darah kapiler. Pemeriksaan darah akan memberikan gambaran sel darah merah yang ternukleasi, retikulositosis, polikromasia, anisositosis, sferosit, dan fragmentasi sel. Hitung retikulosit dapat mencapai 40% pada pasien tanpa intervensi intrauterine. Hitung sel darah merah yang ternukleasi meningkat disertai peningkatan palsu leukosit, menunjukkan keadaan eritropoiesis. Sferosit lebih umum ditemukan pada kasus inkompatibilitas ABO. Hitung retikulosit yang rendah dapat diamati pada bayi yang sudah melakukan transfusi intravaskuler, disertai dengan konsentrasi hemoglobin normal, dan temuan apus darah yang normal. Pemeriksan Coombs, terutama yang direk berguna untuk mengetahui apakah terdapat antibodi maternal pada sirkulasi darah korda fetus. Janin kemudian dievaluasi dengan uji Coombs direk, karena antibodi anti-sel darah merah yang dihasilkan oleh
ibu Rh-negatif umumnya diserap oleh eritrosit janin D-positif. Neonatus juga dievaluasi dengan uji Coombs direk. Antibodi ibu yang terdeteksi pada janin saat lahir , secara bertahap lenyap dalam periode 1 hingga 4 bulan. Jika ditemukan antibodi sel darah merah ibu, antibodi itu perlu diidentifikasi dan ditentukan apakah IgG atau IgM. Hanya antibodi IgG yang menimbulkan kekhawatiran karena antibodi IgM biasanya tidak melewati plasenta dan menyebabkan hemolisis. Titer antibodi dikuantifikasi kemudian. Jika antibodinya ialah IgG dan diketahui menyebabkan anemia hemolitik, dan jika titer di atas ambang kritis diindikasikan untuk evaluasi lebih lanjut. Untuk antibodi titer-D, titer di bawah 1:16 biasanya tidak menyebabkan kematian janin pada penyakit hemolitik, meskipun hal ini bervariasi antara lab. Titer yang sama atau lebih dari kritis ini menandakan kemungkinan penyakit hemolitik yang parah. Pemeriksaan Coombs ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu jenis direk dan indirek. Uji Coombs indirek dan direk biasanya akan positif pada ibu dan bayi baru lahir yang terkena pada inkompatibilitas Rh. Tidak seperti allo-imunisasi Rh, test antibodi direk akan positif hanya pada 20-40% bayi dengan inkompatibilitas ABO. Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Dalam uji laboratorium, bilirubin diperiksa sebagai bilirubin total dan bilirubin direk. Sedangkan bilirubin indirek diperhitungkan dari selisih antara bilirubin total dan bilirubin direk. Ikterik kerap nampak jika kadar bilirubin mencapai >5 mg/dl. Kadar bilirubin (total) pada bayi baru lahir bisa mencapai 15 mg/dl, namun jika masih <15mg/dl masih dikatakan ikterus fisiologis dan akan hilang dalam 14 hari, sedangkan jika kadarnya>15 mg/dl maka hal tersebut sudah masuk ke dalam ikterus patologik (Kliegman, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Richard E. 1999. Ilmu kesehatan Anak Nelson. Vol 1 ed. 15. Jakarta: EGC 2.Behrman, R.E., Kliegman, R., and Arvin, A.M., 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, terj. A. Samik Wahab. Ed.15; Vol.2. Jakarta: EGC. 3. Leveno,KJ, et al. 2009. Kelahiran Preterm. Dalam: Komara, Egi Yudha dan Nike Budhi Subekti (editor). Obstetri Williams. Jakarta: EGC. 4. Leveno, Kenneth J. Obstetri Williams : Panduan Ringkas. Ed. 21. Jakarta : EGC 5.Stovall, Thomas G. Obstetrics and Gynecology Associates: ABO incompatibility (http://walnuthillobgyn.com/abo-incompatibility/) 6. Straight, Barbara R. 2004. Panduan Belajar: Keperawatan Ibu-bayi Baru Lahir. Jakarta: EGC 7. Yamamoto F. 2004. Review: ABO blood group system — ABH oligosaccharide, antigens, anti-A and anti-B, A and B glycosyltransferases, and ABO genes. Journal of Blood Group Serology and Education. Vol.20. No.1. 8. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, et al. Nelson textbook of pediatrics.19 th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.p.619. 9. Hansen TWR. Neonatal jaundice. Medscape 2017 Februari 21. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/974786-overview#a0101