77
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. HASIL PENELITIAN TERHADAP KASUS-KASUS CYBER CRIME YANG PERNAH TERJADI DI INDONESIA Dalam Penulisan Skripsi ini, penulis akan menguraikan proses peradilan terhadap kasus-kasus menyangkut cyber crime yang perkaranya sudah diproses di tingkat pengadilan negeri. Kasus tersebut dijelaskan dan dianalisa secara terpisah satu persatu di bawah ini : 1. Putusan Nomor 94/Pid.B/2002/PN.SLMN a.n. Petrus Pangkur als Bony Diobok-obok. a. Kasus Posisi Pada hari sabtu tanggal 8 Maret 2001, sekitar jam 03.00 WIB di warung internet naganet Jl. Pringgodani Nomor 66 Depok, Sleman telah melakukan sesuatu perbuatan mengambila suatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, yang dilakukan oleh tersangka dengan masuk ke tempat kejahatan itu atau dapat mencapai barang yang diambilnya dengan jalan kunci palsu, perintah palsu. Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara terdakwa melakukan chatting (yaitu menggunakan fasilitas yang tersedia di internet yang memungkinkan seseorang berkomunikasi secara langsung dengan lawan bicara pada saat yang sama) dan minta
kartu kredit pada
78
seseorang di bandung yang namanya sering berubah-berubah dan diberi dua nomor kredit masing-masing : 1) Visa 4388 5750 4013 6827 Expiration Date 06/03 2) Visa 4388 5750 4013 3033 Expiration Date 06/03 Nomor kartu kredit tersebut adalah milik orang lain dan oleh terdakwa namanya telah diubah menjadi Bony di Obok-obok, selanjutnya terdakwa berbelanja melalui website, http://www.agv.com email;
[email protected] sedangkan terdakwa menggunakan alamat email:
[email protected] dan
[email protected], dengan alamat Gg. Ujung Brojo 009 Yogyakarta. Terdakwa memesan helm sepeda motor merek AGV HDI sepeda motor X Vent 1 (satu) pasang sarung tangan merk AGV Y-402 putih biru hitam ukuran M seharga $ 365,93 atau Rp. 3.293.370,belum termasuk ongkoskirim. Selanjutnya barang pesanan oleh pihak Perusahaan AGV dikirimkan ke alamat tujuan di Yogyakarta melalui jasa pengiriman UPS. Paket tidak dapat dikirikan ke alamat yang bersangkutan dengan alasan alamat penerima tidak jelas, sehingga kemudian terdakwa mengambil paket kiriman tersebut dikantor UPS Yogyakarta. Akibat perbuatan terdakwa. Perusahaan AGV di Amerika Serikat yang dalam hal ini diwakili oleh Gian Luca Manzo dirugikan sebesar US $ 499,00 atau senilai kurang lebih Rp. 4.491.000,- . b. Putusan Hakim Berdasarkan tuntutan Jaksa penuntut Umum, Majelis Hakim memutuskan :
79
a. Menyatakan terdakwa Petrus Pungkur als Bonny Diobok-obok tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencurian dalam keadaan yang memberatkan sebagaimana dakwaan kesatu penuntut umum. b. Membebaskan terdakwa oleh karena dari dakwaan kesatu penuntut umum. c. Menyatakan terdakwa Petrus Pangkur als Bonny Diobok-obok terebukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penipuan” sebagaimana dalam dakwaan kedua penuntut umum. d. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan. e. Menetapkan
masa
penahan
yang
telah
dijalani
terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. f. Memerintahkan supaya terdakwa tetap ditahan, g. Menetapkan barang bukti : a. 1 (satu) buah helm merk AGV b. 1 (satu) pasang sarung tangan c. 2 (dua) lembar invoice No.0032135 dan No. 522121940. d. 1 (satu) lembar print out e-mail. Dikembalikan kepada yang berhak yaitu AGV Inc, Amerika Serikat. h. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 3000,Hal-hal yang memberatkan :
80
-
Perbuatan terdakwa dapat menjadi contoh yang kurang baik bagi masyarakat terutama dalam pemanfaatan teknologi informasi.
-
Perbuatan terdakwa dapat menurunkan citra atau martabat bagi bangsa Indonesia di mata masyarakat internasional khususnya Amerika Serikat sebagai pihak yang dirugikan.
Hal-hal yang meringankan : -
Terdakwa masih muda dan belum pernah dihukum,
-
Terdakwa adalah mahasiswa yang berkeinginan untuk melanjutkan kuliahnya,
-
Terdakwa sopan dan mengaku terus terang sehingga memperlancar jalannya sidang,
-
Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya tersebut kelak di kemudian hari.
a. Analisa Putusan Atas dasar uraian kasus atas nama terdakwa Petrus Pangkur als Bonny Diobok-obok tersebut, maka akan penulis sampaikan analisa sebagai berikut : Perbuatan terdakwa Petrus Pungkur als Bonny Diobok-obok telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana penipuan yang dilakukan terdakwa melalui e-mail. Terdakwa melakukan pemesanan barang melalui sebuah situs pembelajaran online yang ada di Amerika Serikat menggunakan kartu kredit yang diperoleh dalam chatting. Berdasarkan keterangan ahli R.M Roy Suryo, pakar telematika, sebagaimana sifat dari internet yang seolah-olah lintas batas, belanja
81
secara online dapat dilakukan oleh siapa saja dengan melakukan browsing ke alamat situs yang bersangkutan dan pembayaran dilakukan dengan menggunakan kartu kredit. Seseorang bisa saja mendapatkan nomor kartu kredit darimanapun, bisa karena berbelanja maupun melalui jasa internet yaitu e-mail atau chatting. Seseorang bisa memesan suatu barang melalui jasa internet dengan alamat pengirim ke pihak lain dan dengan menggunakan kartu kredit yang tidak ada hubingannya dengan kedua orang tersebut. Perkara penipuan melalui email di Yogyakarta ini merupakan perkara Cyber Crime yang pertama kali terjadi di Indonesia dan berhasil diungkap oleh jajaran Kepolisian dan diproses ke persidangan oleh Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Sleman Yogyakarta. Perkara penipuan kartu kredit melalui e-mail ini yang lazim disebut carding, merupakan salah satu bentuk cyber crime yang paling banyak terjadi di Indonesia sehingga Indonesia mendapat predikat nomor dua negara asal carder terbesar di dunia. Pertimbangan hakim menyebutkan bahwa meskipun ketentuan khusus yang mengatur mengenai cyber crime di Indonesia belum ada pada waktu itu, akan tetapi merupakan tugas hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup di masyarakat serta hakim tidak boleh menolak terhadap perkara yang diajukan kepadanya oleh karena hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Sehingga meskipun carding belum ada ketentuan khusus yang mengaturnya, hakim
82
menerapkan ketentuan yang ada dalam hukum pidana nasional terhadap perkara carding ini. Menurut penulis, dalam menjatuhkan putusan, majelis hakim Pengadilan Negeri Sleman telah melakukan suatu “penemuan hukum” dengan menyatakan bersalah kepada terdakwa telah melakukan pencurian (Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP), dalam hal ini telah diketahui bahwa tindakan kejahatan dalam bentuk konvensional, tetapi telah berbentuk kejahatan di dunia maya (cyber crime), yang mana pengaturan secara hukum positif Indonesia belum ada pada saat itu, hal ini tidak sesederhana sebagaimana menghukum pelaku pencurian listrik, karena cyber crime dilakukan melewati batas teritorial suatu negara dengan cara-cara melalui media internet yang dilakukan secara elektronik. Berdasarkan fakta-fakta dalam pemeriksaan sidang Pengadilan, dapat disimpulkan oleh majelis hakim bahwa cyber crime dalam bentuk carding tersebut telah dilakukan oleh terdakwa, oleh karenanya terdakwa dihukum telah melanggar ketentuan Pasal 363 (1) ke-5 KUHP. Namun demikian, dalam salah satu pertimbangan hukum yang memberatkan adalah tindakan terdakwa telah menurunkan atau martaat bangsa Indonesia di mata masyarakat internasional, tetapi majelis hakim Pengadilan Negeri Sleman hanya menjatuhkan hukuman selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan penjara, hal ini dirasakan terlalu ringan dibandingkan dengan perbuatan yang telah dilakukan yakni
83
citra atau martabat bangsa Indonesia dan menurunkan kepercayaan Indonesia di mata dunia Internasional. Dalam memberikan hukuman bersalah kepada terdakwa Petrus Pangkur Bonny Diobok-obok telah melakukan tindak pidana pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP, disini hakim menggunakan penafsiran, namun masalahnya apakah semua unsurunsur tindak pidana pencurian itu ditafsirkan, hal ini tentu dilarang karena penggunaan penafsiran boleh dilakukan sepanjang tidak menimbulkan delik baru, apabila semua unsur delik ditafsirkan dengan memperluas arti suatu peraturan hukum maka akan timbul suatu delik baru. Apabila ditinjau dari locus delictie carding ini maka, tindak pidana dilakukan di warung internet Naganet Jl. Pringgodani Nomor 66 depok Sleman, akan tetapi perusahaan AGV yang dirugikan atas perbuatan ini berada di Amerika Serikat. Penentuan locus delictie carding ini memakai teori tempat dimana pelaku melakukan suatu tindak pidana, sehingga perkara tersebut disidangkan di Pengadilan Negeri Sleman. Menurut penulis, bisa saja Petrus Pangkur als Bonny diobokobok dapat saja diadili di Amerika, dimana akibat tindak pidana tersebut dirasakan. Hal ini juga atas dasar teori locus delictie, tempat tindak pidana adalah di tempat terjadinya suatu akibat.
84
2. Putusan Nomor 2098/Pid.B/2005/PN.JS atas nama terdakwa EMILIA KAROLINA. 1. Kasus Posisi Pada tanggal 12 Desember 2004 sampai dengan tanggal 30 januari 2005, bertempat di warnet PT. Starnet beralamat di Plaza Blok M 05 FL/536 Jakarta Selatan, di warnet Sport@Net beralamat di Melawai III No.12 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, telah mengancam dengan sesuatu kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum dari orang atau barang dengan sesuatu kejahatan tehadap jiwa orang yang dilakukan dengan tulisan atau dengan perjanjian tertentu. Perbuatan terdakwa dilakukan bermula ketika tahuan 2002, terdakwa berkenalan dan menjalin hubungan cinta degan DEWA PUTU DIRGA. Namun sekitar bulan Juli 2004 terdakwa mengetahui bahwa DEWA PUTU DIRGA telah menjalin hbungan cinta dengan seseorang wanita warga negara Amerika Serikat bernama KATHRYN HOPKINS dan telah memutuskan hubungan cintanya dengan terdakwa melalui e-mail. Atas dasar peristiwa tesebut, terdakwa merasa marah, kesal, kecewa dan sedih, kemudian terdakwa meminta penjeasan dari DEWA PUTU DIRGA melalui e-mail, namun jawaban dari DEWA PUTU DIRGA tidak dapat diterima oleh terdakwa. Sehingga terdakwa mengancam melalui e-mail akan menghilangkan nyawa DEWA PUTU DIRGA dan keluarganya, kekasihnya DEWA PUTU DIRGA, KATHRYN HOPKINS, serta mengancam menaruh menaruh bom dan
85
akan menghancurkan falls church City Public School di Virginia USA tempat KATHRYN HOPKINS bekerja. Terdakwa melakukan pengancaman melalui e-mail yang dikirimkan dari warnet Sport@Net di Jl. Melawai III No.12 Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menggunakan user name ABDUL AZIZ ynag beralamat
[email protected] ditujukan ke alamat e-mail server milik falls church city public school Virginia USA yaitu
[email protected],
[email protected] dan beberapa server lainnya di Virginia USA. Selain itu dilakukan terdakwa di warnet PT. Starnet Plaza Blok M 05 FL/536 Jakarta Selatan dengan menggunakan user name SRI KUSUMANINGSIH dengan alamat e-mail
[email protected] Akibat dari e-mail berisi ancaman yang dikirimkan ke KATRYN HOPKINSS dan Falls Church City Public School Virginia tsebut, menimbulkan ketakutan luar biasa di sekolah tersebut, sehingga sekolah tersebut dikosongkan, dan guru-guru disuruh pulang, rapat sekolah dibatalkan, sekolah ditutup dan tetap di bawah pengawasan polisi dan anjing pelacak didatangkan untuk melakukan pelacakan. b. Putusan Hakim Atas dasar tuntutan dari jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim mengadili sebagai berikut : -
Menyatakan terdakwa EMILIA KAROLINA terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak
86
pidana sebagaimana dalam pasal 336 ayat (2) KUHP, yaitu “Pengancaman dengan Kejahatan yang dilakukan secara tertulis” -
Menghukum terdakwa dengan hukuman penjara selama 3 bulan penjara;
-
Menyatakan barang bukti tetap terlampir dalam berkas.
-
Membebankan terdakwa sebesar Rp. 1000,Hakim juga mencantumkan hal-hal yang menjadi pertimbangan
dalam putusannya yaitu : Hal-hal yang memberatkan : - (tidak ada) Hal-hal yang meringankan : 1. Bahwa perbuatan terdakwa dilakukan hanya semata-mata oleh dorongan emosional/kekecewaan/sedih diakibatkan harapannya untuk menjalin rumah tangga yang telah dibinannya sekian lama telah gagal akibat diputuskan oleh DEWA PUTU DIRGA dengan suatu alasan yang sulit diterima. 2. Bahwa perbuatan terdakwa dilakukan hanya semata-mata sebagai tindakan pribadi tanpa adanya rencana pelaksanaan atau bekerjasama dengan pihak lain apalagi dalam bentuk organisasi kejahatan. 3. Bahwa terdakwa telah menyesal atas perbuatannya. 4. Bahwa terdakwa belum pernah dihukum dan masih muda.
87
c. Putusan Hakim Berdasarkan uraian kasus diatas, penulis akan menganalisa kasus tersebut sebagai berikut : Pelaku tindak pidana tersebut adalah EMILIA KAROLINA telah melakukan pengancaman dengan kejahatan yang dilakukan secara tertulis terhadap DEWA PUTU DIRGA, KATHRYN HOPKINS dan institusi Sekolah yaitu Falls Church City Public School yang berada di Amerika Serikat. Ancaman tersebut dilakukan beberapa kali melalui faximili dan e-mail. Akibat ancaman yang dilakukan EMILIA KAROLINA telah terjadi ketakutan pada diri KATHRYN HOPKINS beserta keluarga, DEWA PUTU DIRGA, dan terhadap sekolah tersebut. Ancaman yang dilakukan EMILIA KAROLINA tersebut dilakukan beberapa kali melalui faximili dan e-mail, dapat dikategorikan sebgai cyber crime karena menggunakan sarana internet untuk melakukan tindak pidana tersebut. Tindak pidana yang dilakukan EMILIA KAROLINA tersebut menurut kongres PBB X tentang Prevention of Crime and the Treatment of Offender di Vienna, 10-17 April 2000, termasuk sebagai cyber crime dalam pengertian lebih luas, yakni segala perilakutidak sah yang dilakukan atas bantuan, atau dalam hubungan dengan, suatu jaringan sistem komputer. Sebagaimana dalam penanganan perkara carding terhadap terdakwa Petrus Pangkur als Bonny Diobok-obok, Majelis hakim pengadiln Negeri Jakarta Selatan yang menyidangkan perkara e-mail
88
threatning terhadap terdakwa Emilia Karolina juga melakukan suatu “penemuan hukum” dengan menyatakan bersalah kepada terdakwa telah melakukan pengancaman Pasal 336 ayat (2) KUHP. Penafsiran yang digunakan hakim adalah penafsiran ekstensif, dimana dalam perbuatan terdakwa yakni melakukan pengancaman melalui e-mail ditafsirkan sebagaimana pengancaman yang tercantum dalam pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP. Padahal apabila ditelaah lebih lanjut, pengancaman
melalui
e-mail
berbeda
dengan
pengancaman
sebagaimana tersebut dalam KUHP, dalam hal inilah hakim melakukan penemuan hukum, bahwa pengaturan mengenai cyber crime belum secara tegas diatur dalam hukum positif namun kemudian digunakan KUHP untuk mengakomodasi kejahatan ini. Apabila ditinjau dari locus delictie tindak pidana tersebut dapat diuraikan sebagai berikut, bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh EMILIA KAROLINA dilakukan di dua tempat berbeda yakni bertempat di warnet PT. Starnet beralamat di Plaza Blok M 05 FL/536 Jakarta Selatan, dan di warnet spor@net beralamat di melawai III No.12 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Tempat tindak pidana tersebut termasuk ke dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Akan tetapi tindak pidana pengancaman tersebut membawa dampak yang meluas yakni di Virginia, salah satu negara bagian dari Amerika Serikat, dimana KATHRYN HOPKINS dan Falls Churcs City Public School berada.
89
Pengadilan yang mengadili tindak pidana tersebut adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menurut Hakim ketua sidang pengadilan tersebut, Sulthoni hal ini atas dasar bahwa tindak pidana tersebut dilakukan di daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hal ini juga berdasar pada teori locus delictie dimana perbuatan tersebut, yaitu di daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Akibat dari tindak pidana tersebut dirasakan di luar negeri yaitu di Virginia Amerika Serikat, meskipun dilakukan di Indonesia, sehingga dapat disidangkan di Indonesia atas dasar prinsip teritorial dalam pasal 2 KUHP. Ketentuan pasal 2 KUHP berbunyi : “Ketentuan pidana
dalam
perundang-undangan
Indonesia
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”. Bunyi pasal tersebut menyebutkan bahwa semua tindak pidana yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia berlaku hukum Pidana Indonesia, dan dapat diajukan dalam persidangan di Indonesia menurut daerah hukum yang bersangkutan. Sehingga berdasarkan ketentuan pasal 2 KUHP tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Berwenang untuk mengadili perkara tersebut. Menurut penulis, perkara pengancaman melalui e-mail yang dilakukan oleh terdakwa EMILIA KAROLINA ini dapat juga disidangkan di Virginia negara bagian Amerika Serikat. Karena akibat dari perbuatan terdakwa berdampak di Virginia Amerika Serikat. Hal
90
ini didukung dengan wawancara yang dilakukan penulis dengan Penyidik perkara tersebut. Bahwa Penyidik telah mengadakan koordinasi dengan interpol kepolisian Virginia negara bagian Amerika Serikat sehingga akhirnya diputuskan untuk disidangkan di Indonesia mengingat terdakwa berada di Indonesia dan saksi-saksi juga berada di Indonesia, sesuai dengan pasal 84 ayat (2) KUHP. Apabila
perkara
tersebut
disidangkan
di
Virginia
ada
kemungkinan terdakwa dijerat pasal terorisme ketentuan perundangundangan di Amerika karena hal ini dapat dikategorikan sebagai ancaman teror melalui e-mail, selain itu ancaman pidananya sangat berat sehingga koordinasi yang dilakukan penyidik kepolisian Indonesia dengan kepolisian Virginia akhirnya memutuskan untuk diadili di Indonesia. Hal ini juga atas dasar teori locus delictie, tempat tindak pidana adalah di tempat terjadinya suatu akibat. Dari uraian kasus diatas, tampak jelas bahwa masalah cyber crime, khususnya dalam proses penyidikan dan penentuan locus delictie
amat ditentukan oleh kemampuan pihak penyidik untuk
mengungkapkan perkara yang terjadi. Dari uraian kasus-kasus di atas tampak amat sederhana dan terkesan tidak terlalu sulit untuk melakukan penipuan dalam bentuk penyalahgunaan kartu kredit (Credit Card Fraud). Hanya dengan melakukan transaksi melalui internet dan menggunakan “i.d” palsu maka transaksi dapat berjalan.
91
Dari data yang ada, ternyata kasus Credit Card Fraud adalah kasus yang sangat dominan terjadi, pada tahun 2003, kasus seperti ini paling banyak terjadi di wilayah hukum Yogyakarta. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dari data di bawah ini ;
Tabel 2 Tabulasi Cyber Crime di Indonesia Tahun 2003 No. 1.
Modus operandi Credit Fraud
2.
Perbankan
4
3.
E-mail Threats Terorisme
2
4.
Jumlah Total :
Total 152
1
152
Lokasi Korban 84 USA 25 Kanada 11 Spanyol 8 Jerman 8 Australia 4 Inggris 3 Denmark 1 Perancis 1 Austria 3 Jepang 3 Singapura 1 Korea 2 Jakarta 1 Solo 1 Yogyakarta 1 Jerman 1 Australia Australia Amerika Serikat Inggris Jepang Korea Dll. 159
Lokasi Tersangka 62 43 36 24 18 12 3 3 17
Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Barat Jakarta Sumatera Jawa Timur Kalimantan Sulawesi Lain-lain
2 USA 1 Malaysia 1 Australia 1 Bandung 1 Yogyakarta 1 (Imam Samudra)
225
92
Berdasarkan data cyber crime di Indonesia pada tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Bareskrim Polri, wajar apabila Indonesia dijuluki sebagai negara penghasil cyber crime, sehingga Indonesia sempat diboikot oleh negara-negara lain, dalam hal transaksi online. Apablia dilihat dari data tersebut, Yogyakarta yang merupakan kota pelajar justru memiliki angka carder paling tinggi. Seperti yang dikatakan R.M Roy Surya, pakar telematika asal Yogyakarta, bahwa pelaku carder ini relatif masih anakanak muda, dilakukan karena keisengan belaka. Carder biasanya dilakukan bukan sebagai profesi namun hanya sekedar coba-coba saja, kebanyakan dilakukan justru oleh orang-orang yang terpelajar, yakni mahasiswa. Keterampilan untuk mengoperasikan komputer dan internet merupakan suatu keahlian yang secara khusus dipelajari, namun untuk melakukan kejahatannya itu sendiri biasanya hanya sekedar coba-coba. Seperti yang dilakukan oleh Danny Firmansyah yang melakukan pemboblan terhadap situs Komisi Pemilihan Umum, yang dilakukannya atas dasar tertantang oleh pernyataan anggota KPU bahwa sistem pengamanan tabulasi data internet tersebut tidak dapat ditembus.
B. PROSPEK PENGATURAN CYBER CRIME DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Kasus kejahatan di dunia maya (cyber crime) memang sangat memprihatinkan bagi bangsa dan negara kita, karena negara kita berada pada urutan paling bawah untuk akses internet yaitu baru satu persen, namun urutan nomor dua di dunia untuk cyber crime.
93
Teknologi Informasi yang seharusnya dipergunakan yang seharusnya dipergunakan untuk kemajuan dibidang pembangunan justru disalahgunakan oleh banyak orang untuk kepentingan dan keuntungan pribadinya, hal ini sebenarnya telah diantisipasi dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang baru untuk disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dan baru efektif sekitar tahun 2010. Berbicara mengenai kejahatan, tidak dapat dilepaskan dari lima faktor yang saling berkaitan, yaitu pelaku kejahatan, modus kejahatan, korban kejahatan, rekasi sosial atas kejahatan dan hukum. Hukum memang
menjadi
instrumen
penting
dalam
pencegahan
dan
penanggulangan kejahatan, disamping instrumen-instrumen lain yang juga tidak kalah penting, akan tetapi untuk membuat suatu ketentuan hukum terhadap bidang yang berubah sangat cepat seperti teknologi informasi ini bukanlah suatu perkara yang mudah. Disinilah seringkali hukum (peraturan) tampak cepat menjadi usang manakala mengatur bidang yang mengalami perubahan cepat, sehingga situasinya seperti terjadi kekosongan hukum (recht vaccum). Terhadap kejahatan internet atau cyber crime ini tampaknya memang terjadi kekosongan hukum. Dunia hukum sebenarnya sedah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan yang bersifat tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik yang pada awalnya sulit dikategorikan sebagai delik pencurian tetapi akhirnya dapat diterima sebagai perbuatan pidana. Kenyataan saa ini yang berkaitan dengan
94
keiatan cyber tidak lagi bisa dibatasi oleh teritori suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku internet maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Disamping itu masalah pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat data elektronik belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia, tetapi dalam kenyataannya data dimaksud juga sangat rentanuntuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak diakibatkannya pun isa demikian cepat, bahkan sangat dasyat. Korban cyber crime dapat menimpa siapa saja, mulai dari perseorangan hingga Negara. Karakter cyber crime yang non violence menyebabkan korban seperti tidak kasat mata dan fear of crime atau rasa ketakutan atas kejahatan tidak mudah timbul. Padahal kerusakan yang ditimbulan oleh cyber crime lebih dahsyat daripada kejahatan-kejahatan lain. Rekasi sosial yang semakin keras terhadap cyber crime akan mendorong lahirnya pengaturan-pengaturan yang lebih ketat dalam lingkup cyberspace. Reaksi sosial masyarakat sangat bergantung dari seberapa besar rasa ketakutan masyarakat terhadap kejahatan tersebut dan kepedulian Negara terhadap cyber crime. Urgensi cyber law bagi Indonesia terletak pada keharusan Indonesia untuk mengarahkan transaksi-transaksi lewat Internet saat ini agar sesuai dengan standar etik dan hukum yang disepakati dan
95
keharusan untuk meletakan dasar legal dan kultural bagi masyarakat Indonesia untuk masuk dan menjadi pelaku dalam mesyarakat informasi. Untuk menuju kearah itu, maka dalam bidang hukum pemerintah harus melakukan kebijakan sebagai berikut. 1. Menetapkan Prinsip-prinsip Pembentukan dan Pengembangan Cyber Law, antara lain sebagai berikut a. Melibatkan berbagai unsur yang terkait, Pemerintah, swasta, profesional, dan Perguruan Tinggi; b. Memakai pendekatan yang moderat (jalan tengah) untuk mensintesiskan anatara prinsip-prinsip hukum tradisional dan norma-norma hukum baru yang akan dibentuk; c. Memperhatikan keunikan dari cyberspace atau Internet; d. Mendorong adanya kerjasama internasional mengingat sifat internet yang beroperasi secara virtual dan lintas batas; e. Menempatkan sektor swasta sebagai leader dalam persoalanpersoalan yang menyangkut industri dan perdagangan. f. Pemerintah harus mengambil peran tanggung jawab yang jelas untuk persoalan yang menyangkut kepentingan publik; g. Aturan hukum yang akan dibentuk tidak bersifat restriktif, melainkan harus bersifat preventif, direktif, dan futuristik. 2. Melakukan pengkajian terhadap perundang-undangan nasional yang memiliki kaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan munculnya persoalan-persoalan hukum akibat dari transaksi di internet. Beberapa contoh dapat diberikan di bawah ini misalnya ;
96
a. UU Hak cipta b. UU Merk c. UU Perlindungan Konsumen d. UU Penyiaran dan Telekomunikasi e. UU Perseroan Terbatas (PT) f. UU Penanaman Modal Asing g. UU Perpajakan] h. UU Kontrak i. UU Pidana
a) Pengaturan Cyber Crime dan Locus Delictie Cyber Crime dalam Rancangan KUHP. 1) Pengaturan Cyber Crime dalam Rancangan KUHP Cyber Crime sebagai salah satu bentuk kejahtan yang timbul karena perkembagan teknologi informasi harus segera dibuatkan ketentuan pengaturannya, sehingga pemanfaatan teknologi informasi tidak menyimpang dari tujuan pembagunan. Pemerintah harus segera membuat formulasi pengaturan pemanfaatan teknologi informasi ini, meskipun berbagai bentuk kejahtan teknologi informasi telah lebih dahulu muncul. Akan tetapi tidak pernah ada kata terlambat untuk mulai melakukan penertiban terhadap penggunaan teknologi informasi ini. Itikad baik dari Pemerintah ini harus didukung oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga perubahan yang diharapkan dapat efektif.
97
Salah satu upaya Pemerintah untuk mengakomodasi perubahan sosial akibat perkembangan teknologi informasi adalah dengan menyusun Rancangan KUHP yang didalamnya sudah mulai memuat mengenai tindak pidana terhadap Informatika dan Telematika. Ketentuan ini diatur dalam bagian kelima mengenai tindak Pidana terhadap Informatika dan Telematika. Ketentuan ini diatur dalam bagian kelima mengenai tindak Pidana terhadap Informatika dan Telematika yang terdiri dari delapan pasal, yaitu paragraf 1 mengenai Penggunaan dan Perusakan Informasi elektronik dan Domain yang berisi tiga pasal, dari pasal 368 s.d. pasal 370. kemudian diatur dalam paragraf 2 mengenai Tanpa hak mengakses komputer dan sistem elektronik tanpa hak,yang terdiri dari empat pasal. Paragraf tiga mengatur mengenai Pornografi anak melalui komputer, yaitu pasal 374. 2) Pengaturan Locus Delictie Cyber Crime dalam Rancangan KUHP. Pengaturan locus delictie
tindak pidana dan secara khusus
mengenai cybercrime dalam rancangan KUHP tahun 2004, terdapat dalam pasal 3 yang berbunyi : Ketentuan
pidana
dalam
peraturan
perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang melakukan : a. Tindak Pidana di Wilayah Negara Republik Indonesia; b. Tindak Pidana dalam kapal atau pesawat udara Indonesia; atau
98
c. Tindak pidana di bidang teknologi informasi yang akibatnya dirasakan atau terjadi di wilayah indonesia dan dalam kapal atau pesawat udara Indonesia.
Ketentuan ini mengandung asas teritorial diperluas. Perluasan asas teritorial ini dimaksudkan untuk menjaring tindak pidana dalam kapal atau pesawat udara Indonesia, tetapi juga untuk menjaring tindak pidana di dunia maya (cyber crime) yang dilakukan di luar wilayah Indonesia tetapi akibatnya dirasakan atau terjadi di Indonesia. Ketentuan asas ini berlakubagi siapa saja, tanpa melihat kewarganegaraan pembuat. Ketentuan pasal ini menyiratkan bahwa terhadap cyber crime, terlepas dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri namun berakibat di Indonesia maka bisa dikenakan hukum Indonesia terhadap pelakunya. Tempat tindak pidana diatur dalam pasal 10 yang menyebutkan bahwa : Tempat tindak Pidana adalah : a. Tempat pembuat melakukan perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. b. Tempat terjadinya akibat yang dimaksud dalam peraturan perundangundangan atau tempat yang menurut perkiraan pembuat akan terjadi akibat tersebut. Berdasarkan pengaturan mengenai cyber crime dan locus delictie cyber crime ini, menurut penulis merupakan langkah tepat yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah. Mengingat perkembangan teknologi informasi
99
yang semakin pesat tidak menutup kemungkinan meningkatnya kejahatan yang timbul karena perubahan sosial ini, sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Tubagus Ronny Nitibaskara bahwa crime is a product of society its self. Pengaturan cyber crime dalam UU ITE telah sesuai dengan teori-teori locus delictie yang dianut oleh hukum pidana Nasional. Hal ini berarti bahwa teori locus delictie masih relevan diterapkan kasuistis cyber crime. b) Pengaturan Locus Delictie Cyber Crime dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi. Selanjutnya dalam rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, untuk menjamin adanya kemampuan menangani kejahatan terhadap setiap orang atau badan hokum yang melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi di Wilayah Negara Republik Indonesia dan atau Negara lain yang memiliki yurisdiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut. Negara lain yang mempunyai yurisdiksi sebagaimana dimakseud dalam ayat (1), apabila : a. Kejahatan dilakukan oleh warga negara dari Negara yang besangkutan; b. Kejahatan dilakukan terhadap warga Negara dari Negara yang bersangkutan; c. Kejahatan tersebut juga dilakukan di Negara yang bersangkutan;
100
d. Kejahatan dilakukan terhadap suatu Negara atau fasilitas Pemerintah dari Negara yang bersangkutan di luar negeri termasuk fasilitas kantor perwakilan atau tempat fasilitas pejabat diplomatik atau konsuler dari Negara yang bersangkutan. e. Kejahatan dilakukan dalam pesawat udara yang dioperasikan oleh Pemerintah negra yang bersangkutan, atau; f. Kejahatan dilakukan dalam Kapal berbendera negara tersebut atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan Undang-Undang Negara yang bersangkutan pada saat Kejahatan itu dilakukan. Lebih jauh, Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang teknologi Informasi ini berlaku juga terhadap tindak pidana pemanfaatan teknologi informasi yang dilakukan : a. Terhadap warga Negara Republik Indonesia yang berkedudukan di luar wilayah Negara Republik Indonesia; b. Terhadap Fasilitas Negara Republik Indonesia di luar negaeri, termasuk fasilitas pejabat diplomatic dan konsuler Republik Indonesia. c. Dalam kapal yang berbendera Negara Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan; atau d. Oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia.
101
c) Pengaturan Locus Delictie Cyber Crime dan Locus Delictie cyber Crime dalam Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi eletronik disusun mengingat perkembangan teknologi Informasi yang seolaholah tidak mengenal batas-batas territorial melahirkan aktivitasaktivitas baru yang harus diatur oleh hukum. Kejahatan yang ditimbulkan oleh Teknologi Informasi perlu diantisipasi sehingga lahirlah Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai regulasi mengatur aktivitas-aktivitas yang melibatkan teknologi Informasi. Undang-Undang ini mengatur mengenai pengelolaan informasi dan transaksi elektronik yang mempunyai
peran
penting
dalam
meningkatkan
perdagangan
perekonomian nasional. Mengenai locus delictie dalam Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur dalam Pasal 2: “Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum Indonesia”. Bunyi pasal tersebut menyiratkan bahwa semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap orang Indonesia maupun bukan orang Indonesia, dan dilakukan di Indonesia atau diluar Indonesia, tetapi akibatnya di Indonesia dapat dikenakan ketentuan Undang-Undang ini.
102
Dalam penyelesaian perkara cyber crime terutama dalam hal perdebatan mengenai penentuan locus delictienya, terdapat dua cara untuk menentukan locus delictie pelaku cyber crime, yaitu : a.
Darimana pelaku melakukan akses atau membuka jaringan internet pada atau di komputer untuk “yang pertama kalinya”, sehingga akan diketahui berapa nomor IP Address (alamat Internet Provider) yang digunakan pelaku, baik pada saat pelaku melakukan serangan atau gangguan internet maupun saat pelaku menawarkan barang atau sesuatu melalui internet.
b. Cara yang lain adalah, akibat yang ditimbulkan dari kejahatan yang dilakukan, khususnya terhadap kasus serangan terhadap internet atau jaringan website oleh pelaku, dengan kata lain posisi atau lokasi komputer atau jaringan internet yang menjadi korban.
Era perdagangan bebas sebagai konsekuensi dari globalisasi menempatkan peranan komputer dan internet ke dalam tempat yang sangat strategis karena menghadirkan suatu dunia tanpa batas jarak, ruang dan waktu serta diharapkan dapat meningkatkan produktivitas serta efisiensi yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seiring dengan semakin luasnya penggunaan komputer dan internet maka aktivitas kejahatan yang menggunakan media komputer dan internet semakin meningkat, cepat dan sulit diprediksi. Dengan kondisi yang demikian diperlukan suatu aturan hukum yang akan
103
mengarahkan kegiatan pemanfaatan teknologi informasi kepada pemanfaatan yang baik, bertanggung jawab dan mempunyai nilai positif bagi masyarakat pada umumnya dan bukan aturan yang bersifat restriktif dan cepat memerlukan revisi.