BAB 1
PENDAHULUAN
Istilah geologi berasal dari bahasa Latin geos (bumi) dan logos (ilmu),
yang secara harafiah berarti ilmu yang mempelajari tentang bumi dan
merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam. Arti tersebut harus dirinci
lebih lanjut karena banyak ilmu pengetahuan (science) lainnya yang juga
mengkaji tentang bumi dengan cara dan maksud yang berbeda. Beberapa ilmu
lain tersebut pada awal suku katanya juga menggunakan kata geo, seperti
Geografi, Geofisika, dan Geodesi.
Bumi merupakan suatu materi yang selalu bergerak dan mengalami perubahan.
Geologi mempelajari bumi meliputi cara terjadinya, proses dan sejarah yang
berlangsung hingga saat ini, materi pembentuk bumi, struktur atau bangun
bumi, bentuk-bentuk permukaan dan prosesnya yang terjadi pada masa lalu,
kini dan yang akan datang. Selain itu geologi juga mempelajari makhluk
hidup yang pernah menghuni bumi pada masa lampau hingga makhluk hidup yang
ada sampai sekarang.
Cara kerja ahli geologi mirip dengan ahli arkeologi. Para arkeolog (ahli
purbakala) mempelajari kehidupan, kesenian, adat istiadat, peradaban
manusia zaman dulu sampai ribuan tahun yang silam, sedangkan para geologist
(ahli geologi) mempelajari bumi milyaran tahun yang lampau sejak jenis
manusia (Homo sapiens) belum ada dipermukaan bumi ini.
Para ahli purbakala mencoba merekonstruksi kejadian yang telah lama berlalu
tersebut berdasarkan peninggalan nenek moyang yang didapat dengan cara
melakukan penggalian. Bahan-bahan hasil penggalian ini sering kali disertai
jasad binatang-binatang maupun tumbuhan yang kini sudah musnah, seperti
dinosaurus, gajah raksasa atau mamouth. Apabila peninggalan nenek moyang
tidak ditemukan lagi karena manusia pada perioda yang lebih tua belum
muncul, maka penyelidikan para ahli purbakala berhenti hanya sampai di
sini. Selanjutnya pekerjaan tersebut diteruskan oleh ahli-ahli geologi
dengan menyelidiki lapisan-Iapisan galian yang lebih dalam lagi yang
terbentuk puluhan atau beratus juta tahun yang lampau.
Dalam usaha merekonstruksi dan menyusun biografi bumi, para geologist
menggunakan data yang berasal dari batuan serta sisa binatang purba dan
tumbuh-tumbuhan lainnya yang telah menjadi fosil. Dengan data-data
tersebut, para geologist dapat menelusuri perubahan-perubahan yang pernah
terjadi pada roman muka bumi, turun naiknya permukaan air laut, pembentukan
pegunungan, serta irama yang teratur dari evolusi makhluk hidup yang
dimulai dari binatang bersel tunggal sampai manusia yang ada sekarang. Ini
berarti geology adalah ilmu yang mempelajari evolusi anorganik dan organik
dari bumi.
Sebagai suatu ilmu pengetahuan alam, geologi memiliki beberapa cabang ilmu
lain, antara lain :
Petrologi (petros artinya batuan), yaitu ilmu yang mempelajari tentang
terjadinya batuan, penamaan dan klasifikasi, dan sebagainya.
Stratigrafi (stratum artinya lapisan), yaitu ilmu yang mempelajari
tentang posisi dan hubungan perlapisan batuan.
Geologi Struktur, yaitu ilmu yang mempelajari struktur atau bentuk
arsitektur batuan serta gaya dan proses-proses penyebabnya.
Sedimentologi, yaitu ilmu yang mempelajari macam-macam batuan sedimen,
proses-proses, dan tempat pembentukan serta klasifikasinya.
Paleontologi (palaios = purba; ontos = makhluk), yaitu ilmu yang
mempelajari fosil-fosil binatang dan tumbuhan.
Geomorfologi, yaitu ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk roman muka bumi
beserta proses-proses penyebabnya.
Geofisika, yaitu ilmu yang mempelajari sifat-sifat fisika batuan.
Geologi Minyak dan Gas Bumi, yaitu ilmu yang mempelajari penerapan
pengetahuan geologi untuk mencari (eksplorasi) sumber-sumber minyak dan
gas alam.
Geologi Teknik, yaitu ilmu yang mempelajari penerapan pengetahuan
geologi untuk kepentingan teknik sipil dan rekayasa pembangunan lainnya.
Penelitian bumi yang sesungguhnya baru dimulai tatkala industrialisasi
dunia meningkat yang terutama disebabkan semakin banyaknya kebutuhan bahan
tambang seperti batubara, minyak bumi, logam dasar, bahan bangunan, dan
cadangan air.
James Hutton (1785) mengemukakan prinsip atau pengertian dasar mengenai
pengetahuan bumi dengan menyatakan the present is the key to the past, yang
artinya waktu sekarang adalah kunci dari waktu yang lalu. Prinsip ini
kemudian dikembangkan oleh Charles Lyell (1830) dari Inggris yang dikenal
dengan konsep Uniformitarianism. Konsep tersebut menyanggah teori
sebelumnya, yaitu konsep Chatatrophism (malapetaka/bencana) yang
dikemukakan George Cuvier (1810) dari Perancis.
Konsep Katatrophisma (Chatatrophism) menyatakan bahwa gejala-gejala geologi
terjadi dengan perubahan-perubahan yang revolusioner. Dalam hal ini terjadi
law of faunal succession, yaitu kejadian malapetaka yang telah melanda bumi
beberapa kali dan memusnahkan kehidupan namun kemudian menghasilkan
kehidupan baru. Peristiwa serupa ini misalnya banjir besar yang pernah
terjadi pada zaman Nabi Nuh.
Hasil penelitian geologi memberikan andil besar dalam mendukung dan
memperkaya cabang-cabang ilmu pengetahuan lain, seperti hidrogeologi,
geologi teknik, volkanologi, paleontologi, dan lain-lainnya serta munculnya
ilmu baru, seperti geokimia dan geofisika.
Hukum-hukum dan dalil dari cabang-cabang ilmu pengetahuan seperti
fisika, kimia, dan biologi didasarkan dari hasil eksperimen atau percobaan-
percobaan. Dalam ilmu geologi sangatlah sulit melaksanakan hal seperti itu
karena tidak mungkin membuat kondisi-kondisi yang diperlukan untuk
berlangsungnya suatu proses anorganik, misalnya proses penyebab
terbentuknya pegunungan yang melewati masa jutaan tahun lamanya. Oleh
karena itu, metoda-metoda penelitian dalam geologi sangat berbeda dengan
metoda-metoda penelitian yang digunakan ilmu-ilmu lainnya, seperti fisika,
kimia, dan biologi. Prinsip utama metoda peneIitian geologi adalah dengan
pengamatan di lapangan (field check) terhadap singkapan lapisan batuan,
meliputi komposisi, tekstur, struktur, dan posisi/kedudukannya (consecutive
stratification of rocks).
Geologi sebagai ilmu telah mengalami revolusi dalam dua dekade terakhir ini
yang berdampak langsung terhadap industri dan juga dan juga dalam
pengembangan konsep-konsep yang sangat mendasar.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Keberhasilan, eksplorasi ilmiah ruang angkasa dan antar planet serta
eksplorasi samudera dalam.
2. Kemajuan luar biasa daIam teknologi eksplorasi yang dihasilkan industri
maupun Iuberan (spill over) dari eksplorasi Iuar angkasa.
3. Pemecahan masalah-masalah geologi dengan pendekatan ilmu fisika, kimia
dan biologi.
4. Penggunaan komputer.
Faktor-faktor tersebut di atas telah menyebabkan beberapa dampak, seperti :
1. Akumulasi data yang luar biasa yang disimpan dalam databank.
2. Pemahaman yang lebih mendalam tentang kerak bumi dari segi susunan
batuan, struktur, serta hubungan antar batuan tersebut.
3. Pemahaman yang mendalam bahwa proses-proses geologi merupakan proses
fisika, kimia, dan biologi.
4. Memungkinkan proses dan gejala geologi dijelaskan secara kuantitatif.
Perkembangan yang cepat dalam kuantifikasi geologi telah memungkinkan
penggunaan komputer untuk membantu memecahkan masalah geologi. Komputer
bukan saja sebagai alat penghitung (geokomputasi) tetapi merupakan alat
untuk menyimpan data (databank). Dampak dari ini semua menimbulkan
terjadinya revolusi dalam pemikiran geologi, yaitu:
1. Kuantifikasi geologi memungkinkan perkembangan yang cepat penggunaan
komputer dalam ilmu geologi.
2. Terjadinya pemikiran secara global sehingga dapat dipahami bahwa proses-
proses geologi itu berlaku dan saling berkaitan yang merupakan suatu
sistem.
3. Terjadinya review (perbaikan dan perubahan) terhadap azas atau falsafah
dan konsep dasar prinsip-prinsip geologi yang telah ada.
BAB 2
INTERIOR BUMI
Bumi merupakan salah satu planet yang ada di sistem tatasurya kita. Bumi
didiskripsikan berbentuk bulat pepat dan berputar pada poros pendeknya.
Jari-jari bumi ( 6.370 km, yang terdiri dari benda padat (batuan), benda
cair, dan gas.
Secara umum interior bumi terdiri dari daratan (benua, pulau-pulau, lembah-
lembah, dan pegunungan), dan lautan (lembah, palung, serta pegunungan bawah
laut). Puncak gunung tertinggi ( 8.000 m dpl (Pegunungan Himalaya),
sedangkan palung yang terdalam mencapai kedalaman ( 10.000 meter di bawah
muka laut (Palung Philipina).
Informasi utama dari susunan dalam bumi diketahui berdasarkan informasi
seismologi. Mengacu pada penyelidikan E. Wiechert (1890-an), H. Jeffreys
dan K.E. Bullen (1932-1942) mendefinisikan pembagian bentuk dalam (lapisan-
lapisan) dari interior bumi dengan menggunakan cepat rambat gelombang P dan
S. Interior bumi terdiri dari inti dalam, inti luar, mantel bawah, dan
mantel atas, serta kerak bumi (Gambar 2.1 dan 2.2), dimana :
Inti bumi (paling dalam), terdiri dari inti dalam (kedalaman 5.140-
6.371 km, padat, berat, dan sangat panas), inti luar (kedalaman 2.883-
5.140 km, cair atau lelehan lebih ringan, dan sangat panas).
Mantel, terdiri dari mesosfer (kedalaman 350-2.883 km, padat,
bertekanan tinggi, panas, dan keras), astenosfer (kedalaman 100-350
km, lemah, mudah terdeformasi oleh panas dan tekanan, serta plastis).
Litosfer (kerak bumi), kedalaman 0-100 km, padat, dingin, kaku, rapuh,
dan ringan, yang terdiri dari kerak benua (tebal), dan kerak samudera
(tipis).
Gambar 2.1 Interior dalam kerak bumi
Gambar 2.2 Komposisi (susunan) irisan dalam bumi
Kerak benua didominasi oleh batuan yang kaya silikat, di dekat permukaan
kaya alumunium (SiAl), dan pada kedalaman yang besar kaya akan magnesium
(SiMa) (Gambar 2.2).
Pada batas bawah kerak bumi terjadi penambahan cepat rambat gelombang dan
disebut dengan bidang diskontinuitas Mohorivicic. Hal ini juga berarti
terjadinya perubahan komposisi mineral batuan (spesies mineral) yang
diinterpretasikan sebagai perubahan komposisi dari gabro menjadi suatu
batuan ultrabasa (mineral dunit atau eklogit).
Kerak bumi yang merupakan bagian teratas dari interior bumi yang langsung
kontak dengan oksigen dan sebagai tempat akumulasi mineral-mineral batuan
merupakan sasaran utama dari ilmu genesa endapan bahan galian untuk dapat
mengetahui sebaran mineral-mineral berharga. Keterdapatan mineral-mineral
berharga tersebut sangat bergantung pada jumlah (konsentrasi) mineral-
mineralnya, letak dan bentuk endapannya.
2.1 Kerak Bumi
Kerak bumi (earthcrust) merupakan padatan yang relatif dingin, rapuh, dan
kaku (rigid) dengan berat jenis lebih rendah sehingga seolah-olah mengapung
di atas mantel. Bagian ini merupakan bagian yang berada di permukaan bumi
sampai kedalaman (100 km.
Perbedaan panas yang sangat tinggi antara bagian bumi yang tengah dengan
bagian bumi yang lebih luar mengakibatkan terjadinya perbedaan tekanan
dimana tekanan pada bagian dalam lebih besar sehingga pergerakan magma
menghasilkan aliran konveksi di dalam mantel. Lelehan magma yang lebih
panas bergerak ke atas dan lelehan magma yang lebih dingin tenggelam
(seperti gerakan air panas dan air dingin pada waktu kita menjerang air di
atas kompor, lihat Gambar 2.3).
Akibat aliran konveksi lelehan magma tersebut, lapisan kerak bumi yang
padat dan relatif rapuh yang ada di atasnya (mengapung) ikut bergerak
sesuai dengan gerakan lelehan magma. Pada suatu tempat tertentu, lapisan
kerak bumi akan retak dan bergerak saling menjauh, dan rekahan yang
ditinggalkannya akan segera terisi oleh lelehan magma yang kemudian juga
akan membeku (disebut sebagai daerah regangan dimana lempengan kerak bumi
yang saling berdekatan menjauh), contohnya pada laut yang dalam di tengah
samudera (Atlantik, Pasifik, dll).
Gambar 2.3 Sketsa aliran panas pada pemanasan air di atas kompor (kiri),
dan sketsa aliran konveksi magma (kanan)
Pada bagian bumi yang lain akan terjadi tumbukan antara lempeng-lempeng
yang saling mendekat, sehingga akan terjadi penunjaman dari salah satu
lempeng tersebut. Lempeng yang lebih tipis (lempeng samudera) akan menunjam
di bawah lempeng benua yang relatif lebih tebal, dan sering disebut sebagai
sebagai zona subduksi (subduction zone). Pada bagian yang menunjam akan
meleleh menjadi magma dan bagian dari lempeng yang lain akan mengalami
perlipatan, pengangkatan, dan pensesaran (Gambar 2.4).
Kadang-kadang bagian-bagian tertentu pada zona retakan/bukaan akibat
terbentuknya sesar-sesar tersebut diterobos oleh lelehan batuan panas dari
mantel (magma) dan membentuk kantong-kantong lelehan batuan panas yang
disebut sebagai dapur magma (magma chamber).
Apabila penerobosan tersebut berlangsung hingga mencapai permukaan bumi,
maka terjadilah pembentukan deretan gunung berapi. Magma yang keluar akan
menghasilkan material hasil letusan gunung api, yang berupa tuffa, lahar,
maupun aliran lava panas yang akan membentuk batuan lava di permukaan.
Magma yang tidak mencapai permukaan akan membeku di dalam bumi dan
membentuk berbagai macam jenis batuan beku.
Gambar 2.4 Sketsa terbentuknya zona subduksi
2.2 Pembentukan Batuan
Batuan merupakan suatu bentuk padatan alami yang disusun oleh satu atau
lebih mineral, dan kadang-kadang oleh material non-kristalin. Kebanyakan
batuan terbentuk dari beberapa tipe/jenis mineral (heterogen), dan hanya
beberapa yang tersusun atas satu mineral atau monomineral (homogen).
Tekstur batuan memperlihatkan karakteristik komponen penyusun batuan,
sedangkan struktur batuan memperlihatkan proses pembentukannya (dekat atau
jauh dari permukaan).
Batuan kristalin terbentuk dari tiga proses (fisika-kimia) dasar, yaitu
kristalisasi dari suatu larutan panas (magma), presipitasi dari larutan,
serta rekristalisasi dari suatu bentuk padatan. Proses-proses tersebut
menghasilkan tipe atau produk akhir dari batuan sesuai dengan kondisi atau
tahapan pembentukannya, dan kadang-kadang muncul sebagai suatu produk
residual. Berdasarkan proses pembentukannya, batuan dapat dikelompokkan
sebagai batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf.
2.2.1 Batuan Beku
Batuan beku merupakan produk akhir dari magma, yang merupakan suatu
massa larutan silikat panas, kaya akan elemen-elemen volatil, dan
terbentuk jauh di bawah permukaan bumi melalui reaksi panas (fusion)
dari massa padatan. Bagian dari pelarutan pada bagian tengah lapisan
kerak bumi (hasil dari magma primer), biasanya mempunyai komposisi
basaltik, dan muncul di permukaan bumi melalui proses erupsi membentuk
batuan volkanik atau ekstrusif, atau melalui penginjeksian pada
perlapisan atau rekahan-rekahan dalam kerak bumi pada kedalaman yang
bervariasi membentuk batuan hipabissal (hypabyssal rocks). Magma-magma
yang berasal dari larutan basaltik yang melalui proses differensiasi
kadang-kadang juga muncul ke permukaan bumi.
Mineral-mineral yang pertama kali mulai mengkristal dari basalt (pada
temperatur 11000C–12000C) membentuk mineral spinels (kromit) dan
sulfida serta logam-logam berharga (seperti platinum), yang sering
dikenal sebagai mineral-mineral aksesoris yang terbentuk dalam jumlah
yang sedikit pada tipe batuan tersebut. Kadang-kadang silikat yang
kaya akan besi dan magnesium (olivin), sodium dan kalsium (piroksen),
serta kadang-kadang juga mengandung potasium dan air (mika dan
amfibol) mengkristal pada temperatur terendah (pada range temperatur
pembentukan). Seri (reaksi-reaksi) pembentukan mineral pada batuan
beku (basaltis) dipelajari oleh N.L. Bowen, dan urutannya dikenal
dengan Deret Reaksi Bowen (Bowen Reaction Series) seperti yang
terlihat pada Gambar 2.5 dan 2.6.
Gambar 2.5 Deret Reaksi Bowen
Gambar 2.6 Deret Reaksi Bowen memperlihatkan sekuen kristalisasi dari
larutan magma
Pada deret ini dapat dipresentasikan dua urutan pararel, yaitu :
Seri continous, dimana tipe plagioklas berupa feldspar (mineral-
mineral felsik) yang terbentuk setelah kristalisasi. Dengan proses
yang berkesinambungan dengan turunnya temperatur, terbentuk
komposisi yang kaya akan kalsium (anortit) sampai dengan komposisi
yang kaya akan sodium (albit).
Seri discontinous, dimana mineral-mineral besi dan magnesium
terbentuk pada awal kristalisasi dari larutan dan terendapkan
dengan sempurna membentuk mineral-mineral baru dengan suatu sekuen
reaksi yaitu :
Olivine ( hypersthene ( augit ( hornblende ( biotit
Berdasarkan letak dan bentuknya, batuan beku dapat digambarkan seperti
yang terlihat pada Gambar 2.7.
Batuan beku dapat dikelompokkan berdasarkan perbedaan susunan
kimianya, yaitu:
Batuan beku asam, dengan kandungan SiO2 > 55% (granit, monzonit).
Batuan beku sedang, dengan kandungan SiO2 50-55% (granodiorit,
diorit, andesit).
Batuan beku basa, dengan kandungan SiO2 < 50% (basalt, gabro).
Batuan beku sangat basa (ultra basa), tidak mengandung SiO2, tetapi
mengandung banyak plagioklas dan ortoklas (peridotit, hazburgit).
Gambar 2.7 Sketsa pembentukan, letak dan bentuk batuan beku
2.2.2 Batuan Sedimen
Perubahan iklim (panas, dingin, kering, hujan) dan reaksi dengan zat-
zat lain yang ada di permukaan bumi, termasuk juga perbuatan manusia
dan makhluk hidup lainnya, mengakibatkan batuan yang ada di permukaan
bumi terubahkan (terombak) sehingga menjadi tidak kuat dan kompak
lagi. Akibatnya, batuan tersebut akan mudah tererosi dan tertransport
oleh aliran sungai.
Secara umum, proses-proses penghancuran pada bagian yang tinggi
(lapuk, longsor, dan erosi), proses-proses pengangkutan dari tempat
yang tinggi ke tempat yang lebih rendah oleh media air, serta proses-
proses pengendapan (sedimentasi) pada bagian yang lebih rendah atau
tenang (danau, sungai, lembah, rawa, dan laut), selalu berlangsung di
muka bumi. Kegiatan atau proses-proses tersebut terus berlangsung
sampai ribuan atau jutaan tahun, sehingga akan terjadi pengompakan dan
membentuk batuan-batuan sedimen yang kompak (batupasir, batulanau,
batulempung, breksi, batugamping, dll) (Gambar 2.8).
Kekuatan batuan sedimen sangat bervariasi, tergantung dari tingkat
konsolidasi (umur), tingkat pelapukan, dan kandungan materialnya.
Batuan sedimen akan berkekuatan tinggi dan keras jika terkonsolidasi
kuat, berumur sudah tua (Tertier atau lebih), masih segar, mengandung
material/mineral keras dan kuat (kuarsa, fragmen batuan beku, dll).
Sedangkan batuan sedimen yang masih berumur muda (belum terkonsolidasi
dengan baik, dan mengandung banyak air atau terdiri dari material
lunak, akan bersifat lemah dan mudah digali/dibongkar.
" "
" "
Gambar 2.8 Sketsa proses-proses pelapukan, erosi, transportasi, dan
pengendapan batuan sedimen (atas). Sketsa perlapisan pada batuan
sedimen (bawah).
Batuan sedimen dapat tersebar sangat luas atau terbatas, tergantung
pada luas cekungan pengendapan dan material pembentuk yang tersedia,
juga pada kestabilan cekungan pada masa yang bersangkutan, serta dapat
juga bersamaan dengan pembentukan cebakan endapan berharga/bahan
tambang, misalnya :
Pada proses pelapukan ( endapan nikel, laterit, bauksit, dll.
Pada proses pengendapan ( pasirbesi, timah, besi, batubara,
pasir, kaolin, batugamping, dll
2.2.3 Batuan Hasil Aktivitas Gunung Api
Magma yang merupakan lelehan panas, pijar, dan relatif encer, dapat
bergerak dan menerobos ke permukaan bumi melalui rongga-rongga yang
terbentuk oleh proses tektonik (bidang sesar). Selain berupa padatan,
magma juga mengandung uap air dan gas yang bervariasi komposisinya.
Pada saat menerobos ke permukaan bumi, magma yang agak kental dan
bertekanan rendah maka akan muncul berupa lelehan lava panas yang
mengalir dari kepundan/kawah ke lereng gunung, dan secara perlahan-
lahan membeku mulai dari bagian ujung dan luarnya, sedangkan bagian
tengahnya masih akan mengalir dan meninggalkan rongga-rongga di dalam
lava (lava berongga).
Apabila magma tersebut encer dan bertekanan tinggi, maka akan terjadi
letusan gunung api. Sumbat kepundan akan hancur dan terlempar ke
sekitarnya. Bersamaan dengan itu, sebagian magma panas juga akan
terlempar ke udara. Akibat dari letusan tersebut, terjadi proses
pendinginan yang cepat sehingga magma akan membeku dengan cepat dan
membentuk gelas (obsidian), tuffa atau abu halus, lapili dan bom
(berupa batuapung dengan rongga-rongga gas). Material yang halus
(tuffa) akan terlempar jauh dan terbawa angin ke tempat yang lebih
jauh, sedangkan bom, lapilli, dan gelas, dan material-material lain
yang berukuran pasir dan kerikil akan jatuh di sekitar puncak gunung.
2.2.4 Batuan Metamorf
Batuan yang sudah ada/terbentuk, dapat juga mengalami perubahan
menjadi batuan lain oleh proses metamorfosa (suatu proses yang
dipengaruhi oleh aktivitas panas dan tekanan yang tinggi). Perubahan
temperatur, tekanan, atau temperatur dan tekanan (secara bersama)
dapat merubah struktur dalam (kristal) dari mineral-mineral yang
menyusun batuan tersebut. Dalam proses metamorfosa ini, dianggap tidak
ada penambahan unsur dari luar.
AB + CD ( AC + BD
Misalnya suatu batuan mengandung 2 mineral yang masing-masing
mempunyai unsur AB dan CD. Setalah proses metamorfosa yang terbentuk
adalah mineral baru dengan susunan unsur AC dan BD.
Contoh lain : CaCO3 (((( CaCO3
(batugamping) (marmer)
Secara umum, pada batuan metamorf dikenal mempunyai 3 (tiga) macam
struktur, yaitu :
gneiss, yang terdiri dari gabungan mineral-mineral pipih (mika)
dengan mineral bulat (kuarsa, garnet, silimanit, dll).
sekis, yang terdiri dari susunan mineral-mineral pipih (terutama
mika).
filit, yang terdiri dari mineral-mineral sangat halus (batu sabak).
2.2.5 Siklus Batuan
Secara alami semua batuan bisa berubah menjadi batuan lain seperti
yang terlihat pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9 Skema siklus batuan di alam
Keterangan :
1. Magma membeku membentuk batuan beku pada kerak bagian dalam.
2. Kerak dalam kalau terangkat ---> di permukaan bumi.
3. Aktivitas atmosfir akan merubah batuan menjadi lapuk, tererosi,
tertransportasi dan diendapkan menjadi sedimen.
4. Karena beban dan konsolidasi serta penyemenan, sedimen berubah menjadi
batuan sedimen yang kompak dan keras.
5. a. Batuan sedimen dapat terangkat ke permukaan bumi.
b. Atau mengalami proses metamorfosa menjadi batuan metamorf.
c. Batuan sedimen juga bisa tenggelam (penunjaman) dan meleleh menjadi
magma baru (mantel).
6. a. Batuan metamorf dapat terangkat ke permukaan bumi.
b. Atau tenggelam menjadi magma baru (mantel).
7. Batuan beku juga dapat mengalami metamorfosa menjadi batuan metamorf.
BAB 3
GEOMORFOLOGI
Geomorfologi merupakan suatu studi yang mempelajari asal (terbentuknya)
topografi sebagai akibat dari pengikisan (erosi) elemen-elemen utama, serta
terbentuknya material-material hasil erosi. Melalui geomorfologi,
dipelajari cara-cara terjadi, pemerian, dan pengklasifikasian relief bumi.
Relief bumi adalah bentuk-bentuk ketidakteraturan secara vertikal (baik
dalam ukuran ataupun letak) pada permukaan bumi, yang terbentuk oleh
pergerakan-pergerakan pada kerak bumi.
Konsep-konsep dasar dalam geomorfologi banyak diformulasikan oleh W.M.
Davis. Davis menyatakan bahwa bentuk permukaan atau bentangan bumi
(morphology of landforms) dikontrol oleh tiga faktor utama, yaitu struktur,
proses, dan tahapan. Struktur di sini mempunyai arti sebagai struktur-
struktur yang diakibatkan oleh karakteristik batuan yang mempengaruhi
bentuk permukaan bumi. Proses-proses yang umum terjadi, antara lain proses
erosional yang dipengaruhi oleh permeabilitas, kelarutan, dan sifat-sifat
lainnya dari batuan. Bentuk-bentuk pada muka bumi umumnya melalui tahapan-
tahapan, mulai dari tahapan muda (youth), dewasa (maturity), tahapan tua
(old age), lihat Gambar 3.1.
Pada umumnya, bentuk muka bumi tahapan muda belum terganggu oleh gaya-gaya
destruksional, sedangkan pada tahap dewasa perkembangan selanjutnya
ditunjukkan dengan tumbuhnya sistem drainage dengan jumlah panjang dan
kedalamannya yang dapat mengakibatkan bentuk aslinya tidak tampak lagi.
Proses selanjutnya membuat topografi lebih mendatar oleh gaya destruktif
yang mengikis, meratakan, dan merendahkan permukaan bumi sehingga dekat
dengan ketinggian muka air laut (disebut tahapan tua). Rangkaian
pembentukan proses (tahapan-tahapan) geomorfologi tersebut berlangsung
menerus dan dapat berulang, dan sering disebut sebagai Siklus Geomorfik.
Gambar 3.1 Sketsa yang memperlihatkan bentuk-bentuk permukaan bumi akibat
struktur geologi pada batuan dasarnya.
Gambar 3.2 Sketsa yang memperlihatkan perkembangan (tahapan) permukaan bumi
(landform). Dari (A s/d D) memperlihatkan tahapan geomorfik muda
sampai dengan tua.
Selanjutnya, dalam mempelajari geomorfologi diperlukan pemahaman istilah-
istilah katastrofisme, uniformiaterianisme, dan evolusi.
Katastrofisme merupakan pendapat yang menyatakan bahwa gejala-gejala
morfologi terjadi secara mendadak, contohnya letusan gunungapi.
Uniformitarianisme berpendapat bahwa proses pembentukan morfologi
berjalan sangat lambat atau terus-menerus, tapi mampu membentuk bentukan-
bentukan yang sekarang, bahkan banyak perubahan-perubahan yang terjadi
pada masa lalu juga terjadi pada masa sekarang, dan seterusnya (James
Hutton dan John Playfair, 1802).
Evolusi cenderung didefinisikan sebagai proses yang lambat dan dengan
perlahan-lahan membentuk dan mengubah menjadi bentukan-bentukan baru.
3.1 Proses-Proses Geomorfik
Proses-proses geomorfik adalah semua perubahan fisik dan kimia yang terjadi
akibat proses-proses perubahan muka bumi. Secara umum, proses-proses
geomorfik tersebut digolongkan sebagai berikut :
A. Proses-proses epigen (eksogenetik) :
Degradasi ; pelapukan, perpindahan massa (perpindahan secara gravity),
erosi (termasuk transportasi) oleh aliran air, air tanah, gelombang,
arus, tsunami, angin, dan glasier.
Aggradasi ; pelapukan, perpindahan massa (perpindahan secara gravity),
erosi (termasuk transportasi) oleh aliran air, air tanah, gelombang,
arus, tsunami, angin, dan glasier.
Akibat organisme (termasuk manusia)
B. Proses-proses hipogen (endogenetik)
Diastrophisme (tektonisme)
Vulkanisme
C. Proses-proses ekstraterrestrial, misalnya kawah akibat jatuhnya meteor.
Proses Gradasional
Istilah gradasi (gradation) awalnya digunakan oleh Chamberin dan Solisbury
(1904), yaitu semua proses yang menjadikan permukaan litosfir menjadi level
yang baru. Kemudian gradasi tersebut dibagi menjadi dua proses, yaitu
degradasi (menghasilkan level yang lebih rendah) dan agradasi (menghasilkan
level yang lebih tinggi).
Tiga proses utama yang terjadi pada peristiwa gradasi, yaitu :
Pelapukan, dapat berupa disentrigasi atau dekomposisi batuan dalam suatu
tempat, terjadi di permukaan, dan dapat merombak batuan menjadi klastis.
Proses ini belum termasuk transportasi.
Perpindahan massa (mass wasting), dapat berupa perpindahan (bulk
transfer) suatu massa batuan sebagai akibat dari gaya gravitasi. Kadang-
kadang (biasanya) efek dari air mempunyai peranan yang cukup besar, namun
belum merupakan suatu media transportasi.
Erosi, merupakan suatu tahap lanjut dari perpindahan dan pergerakan massa
batuan oleh suatu agen (media) pemindah. Secara geologi, proses erosi
pada umumnya dimasukkan sebagai bagian dari proses transportasi.
Secara umum, series (bagian/tahapan) proses gradisional sebagai berikut
landslides (dicirikan oleh hadirnya sedikit air, dan perpindahan massa yang
besar), earthflow (aliran batuan/tanah), mudflows (aliran berupa lumpur),
sheetfloods, slopewash, dan stream (dicirikan oleh jumlah air yang banyak
dan perpindahan massa pada ukuran halus dengan slope yang kecil).
Pelapukan batuan
Pelapukan merupakan suatu proses penghancuran batuan menjadi klastis dan
tekikis oleh gaya destruktif. Proses pelapukan terjadi oleh berbagai proses
destruktif, antara lain :
Proses fisik dan mekanik (desintegrasi), seperti pemanasan, pendinginan,
pembekuan, kerja tumbuh-tumbuhan dan binatang , serta proses-proses
desintegrasi mekanik lainnya
Proses-proses kimia (dekomposisi) dari berbagai sumber, seperti
oksidasi, hidrasi, karbonan, serta pelarutan batuan dan tanah. Proses
dekomposisi ini banyak didorong oleh suhu dan kelembaban yang tinggi,
serta peranan organisme (tumbuh-tumbuhan dan binatang).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelapukan, antara lain :
Jenis batuan, yaitu komposisi mineral, tekstur, dan struktur batuan
Kondisi iklim dan cuaca, apakah kering atau lembab, dingin atau panas,
konstan atau berubah-ubah.
Kehadiran dan kelebatan vegetasi
Kemiringan medan, pengaruh pancaran matahari, dan curah hujan.
Proses pelapukan berlangsung secara differential weathering (proses
pelapukan dengan perbedaan intensitas yang disebabkan oleh perbedaan
kekerasan, jenis, dan struktur batuan). Hal tersebut menghasilkan bentuk-
bentuk morfologi yang khas, seperti:
bongkah-bongkah desintegrasi (terdapat pada batuan masif yang
memperlihatkan retakan-retakan atau kekar-kekar),
stone lattice (perbedaan kekerasan lapisan batuan sedimen yang
membentuknya), mushroom (berbentuk jamur),
demoiselles (tiang-tiang tanah dengan bongkah-bongkah penutup),
talus (akumulasi material hasil lapukan di kaki tebing terjal),
exfoliation domes (berbentuk bukit dari batuan masif yang homogen, dan
mengelupas dalam lapisan-lapisan atau serpihan-serpihan melengkung).
" " "
"(a) "(b) "
Gambar 3.3 (a) Kenampakan bentuk talus, (b) Suatu exfolation domes
Perpindahan massa (mass wasting)
Gerakan tanah sering terjadi pada tanah hasil pelapukan, akumulasi debris
(material hasil pelapukan), tetapi dapat pula terjadi pada batuan dasarnya.
Gerakan tanah dapat berjalan sangat lambat hingga cepat. Menurut Sharpe
(1938), kondisi-kondisi yang menyebabkan terjadinya perpindahan massa,
adalah :
Faktor-faktor pasif
1. faktor litologi : tergantung pada kekompakan atau rapuh material
2. faktor statigrafi : bentuk-bentuk pelapisan batuan dan kekuatan-
kerapuhan, atau permeable-impermeablenya lapisan
3. faktor struktural : kerapatan joint, sesar, bidang geser-foliasi
4. faktor topografi : slope dan dinding (tebing)
5. faktor iklim : temperatur, presipitasi, hujan
6. faktor organic : vegetasi
Faktor-faktor aktif
7. proses perombakan
8. pengikisan lereng oleh aliran air
9. tingkat pelarutan oleh air atau pengisian retakan
Proses Diastromisme dan Vulkanisme
Diastromisme dan vulkanisme diklasifikasikan sebagai proses hipogen atau
endapan karena gaya yang bekerja berasal dari dalam (bagian bawah) kerak
bumi. Proses-proses diastropik dapat dikelompokkan menjadi 2 tipe yaitu :
orogenik (pembentukkan pegunungan)
epirogenik (proses pengangkatan secara regional).
Vulkanisme termasuk pergerakan dari larutan batuan (magma) yang menerobos
ke permukaan bumi. Akibat dari pergerakan (atau penerobosan) magma tersebut
akan memberikan kenampakan yang muncul di permukaan berupa badan-badan
intrusi, atau berupa deomal folds (lipatan berbentuk dome) akibat terobosan
massa batuan tersebut), sehingga perlapisan pada batuan di atasnya menjadi
tidak tampak lagi atau telah terubah.
3.2 Satuan Morfologi
Bentuk-bentuk pada permukaan yang dihasilkan oleh peristiwa-peristiwa
geomorfik berdasarkan kesamaan dalam bentuk dan pola aliran sungai dapat
dikelompokkan ke dalam satuan yang sama. Tujuan dari pengelompokan ini
adalah memisahkan daerah konstruksional dengan daerah detruksional.
Kemudian, masing-masing satuan dapat dibagi lagi menjadi sub-satuan
berdasarkan struktur dan tahapan (untuk konstruksional) serta berdasarkan
deposisional (untuk destruksional).
3.2.1 Sungai
Pada hakekatnya, aliran sungai terbentuk oleh adanya sumber air
(hujan, mencairnya es, dan mata air) dan adanya relief dari permukaan
bumi. Sungai-sungai juga mengalami tahapan geomorfik yaitu perioda
muda, dewasa, dan tua.
Sungai muda dicirikan dengan kemampuan mengikis alurnya dan
ditunjukkan dengan gradien sungai yang cukup terjal. Sungai muda
biasanya sempit dengan tebing terjal yang terdiri dari batuan dasar.
Gradien sungai yang tidak teratur (tidak seragam) disebabkan oleh
variasi struktur batuan (keras-lunak). Sungai pada stadium dewasa
mengalami pengurangan gradien sungai sehingga kecepatan aliran dan
daya erosi (pengikisan) berkurang dan mulai terjadi pengendapan.
Proses seperti ini disebut dengan graded. Jika sungai utama mengalami
graded berarti sungai tersebut telah tercapai kedewasaan awal, dan
jika cabang-cabang sungai tersebut juga telah mengalami graded maka
telah mencapai kedewasaan lanjut, dan jika alur-alur sungai juga telah
mengalami graded, maka sungai tersebut telah mencapai perioda tua.
Pada umumnya, aliran sungai dikendalikan oleh struktur batuan dasar,
kekerasan batuan, dan struktur geologi, serta beberapa hal lainnya
membentuk pola-pola aliran sungai (Gambar 3.4), antara lain :
Pola dendritik, dengan pola aliran menjari dan menyebar seperti
dahan-dahan pohon, mengalir ke semua arah, dan menyatu di induk
sungai. Pada umumnya, pola tersebut terdapat pada daerah dengan
struktur batuan yang homogen atau pada lapisan endapan sedimen yang
horizontal.
Pola aliran rektangular, dibentuk oleh cabang-cabang sungai yang
berbelok, berliku-liku, dan menyambung dengan membentuk sudut-sudut
tegak lurus, yang umumnya dikendalikan oleh pola kekar dan sesar
yang berpola berpotongan secara tegak lurus. Pada umumnya, pola ini
terdapat pada daerah batuan kristalin, serta perlapisan batuan
keras yang horizontal.
Pola aliran trelis, berbentuk pola trali pagar. Sungai-sungai yang
lebih besar cenderung mengikuti singkapan dari batuan lunak. Pola
ini umum dijumpai pada daerah yang terlipat dan miring kuat.
Pola aliran radial, dengan pola sentrifugal dari suatu puncak.
Misalnya, aliran sungai pada pegunungan kubah atau gunung api muda.
Pola aliran anular, merupakan aliran sungai dimana sungai-sungai
besarnya mengalir melingkar mengikuti struktur dan batuan yang
lunak, dan pada umumnya pola ini terbentuk pada daerah kubah
struktural yang telah terkikis dewasa. Dengan demikian, pola aliran
anular merupakan variasi dari pola aliran trelis.
Pada sungai yang telah mencapai stadium dewasa, terdapat dataran
banjir yang terbentuk dari pengendapan material klastis yang
diendapkan pada daerah di dekat sungai dan membentuk point bar. Pada
sisi kiri kanan sungai sering terbentuk akumulasi yang tebal sedimen
sepanjang sungai dan membentuk tanggul alam (natural levees). Jika
arus aliran sungai makin melemah, material klastis yang terbawa oleh
aliran sungai terendapkan pada tekuk lereng, sisi dalam meander,
pertemuan antara dua aliran sungai, dan perubahan gradien. Jika
endapan aluvial sungai yang telah terbentuk kemudian terkikis kembali
oleh aliran sungai akan terbentuk undak-undak sungai, dan merupakan
peremajaan sungai pada masa dewasa atau tua (Gambar 3.5).
Jika aliran sungai dari mulut lembah di daerah pegunungan memasuki
wilayah dataran, maka material klastis yang dibawanya akan terendapkan
dan kemudian menyebar meluas dengan sudut kemiringan makin melandai.
Fraksi kasar akan terakumulasi di dekat mulut lembah dan fraksi halus
akan terdapat pada dataran, dan dikenal dengan kipas aluvial. Kipas
aluvial dapat terjadi pada kaki-kaki gunungapi, kaki tebing dari
gawir, dll.
Gambar 3.4 Sketsa pola-pola aliran sungai
Selanjutnya, material klastis yang terbawa oleh aliran sungai hingga
laut akan membentuk delta. Bentuk-bentuk delta dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain bentuk sungai, gradien sungai, besarnya beban,
kuat arus laut, arah arus laut, dan sebagainya.
"(a) "
" (b) "
Gambar 3.5 (a) Sketsa bentuk tanggul alam (natural levees) dan point bar.
(b) Kenampakan foto udara undak-undak sungai dan
meander sungai yang terbentuk.
3.2.2 Dataran dan Plateau
Dataran dan plateau adalah wilayah-wilayah dengan struktur yang
relatif horizontal. Dataran mempunyai relief rendah dengan lembah-
lembah dangkal, sedangkan plateau mempunyai relief yang tinggi dengan
lembah-lembah yang dalam. Secara umum dapat dibedakan beberapa jenis
dataran, antara lain :
Dataran pantai (coostal plains) yang terbentuk oleh timbulnya dasar
laut,
Interior plains, yang mirip dengan dataran pantai tetapi yang
terletak sudah jauh dari laut,
Dataran danau (lake plains), terbentuk oleh timbulnya dasar danau
karena pengeringan danau,
Dataran lava (lava plains) dan plateau lava (lava plateau),
terbentuk oleh aliran lava encer,
Dataran endapan glasial (till plains), terdiri dari endapan glacial
yang menutupi topografi tidak rata,
Dataran aluvial (alluvial plains), yang terbentuk dari endapan
aluvial dari kipas aluvial di kaki pegunungan hingga jauh ke
dataran banjir dan dataran pantai.
Plateau pada stadium muda merupakan daerah dengan lapisan horizontal
dan kebanyakan telah terkikis dalam oleh aliran sungai. Daerah plateau
dapat lebih tinggi terhadap sekitarnya dan dibatasi oleh gawir atau
dapat pula lebih rendah dari pegunungan disekitarnya. Plateau dewasa
mempunyai kenampakan umum mirip dengan pegunungan biasa namun
kecenderungan lapisan batuannya horizontal. Plateau tua umumnya
merupakan daerah dataran yang luas yang telah mengalami pengikisan
dengan perlapisan yang horizontal. Bukit-bukit sisa erosi yang juga
berstruktur horizontal disebut sebagai mesa (dengan ketinggian 150-200
m). Dimensi mesa yang lebih kecil dinamakan butte, dan jika lebih
sempit dan tinggi seperti pilar-pilar disebut dengan pinnacles atau
needles.
3.2.3 Pegunungan Kubah (dome mountains)
Kubah diartikan sebagai struktur dari suatu daerah yang luas dengan
sifat lipatan regional dengan sudut kemiringan yang kecil. Ada
beberapa sebab terbentuknya kubah, antara lain oleh intrusi garam atau
diapir, intrusi lakolit, dan intrusi batuan beku seperti batolit.
Dalam tahapan muda, pegunungan kubah akan dikikis oleh sungai-sungai
namun belum dalam, bentuk kubah masih utuh, pengikisan dimulai di
puncak dengan membentuk cekungan erosi. Kadang-kadang, inti kubah yang
keras tampak di dasar cekungan erosi kubah. Pada tahapan dewasa,
pengikisan di puncak makin meluas dan mendalam. Undak-undak gawir
terbentuk sesuai dengan banyaknya lapisan-lapisan yang resistan, serta
punggungan-punggungan dengan lapisan miring (hogbacks) (Gambar 3.6).
Pada tahapan tua, bentuk akhir dari pengikisan kubah akan membentuk
peneplane dan pola aliran annular hampir hilang. Kubah besar dan
tinggi dihasilkan oleh intrusi-intrusi batolit, sedangkan kubah yang
lebih kecil dihasilkan oleh intrusi lakolit, dan kubah landai
dihasilkan oleh sill. Kubah-kubah kecil dapat dihasilkan oleh intrusi
garam atau diapir lempung.
Gambar 3.6 Sketsa bentuk (morfologi) hogbacks
Punggungan-punggungan lapisan miring (hogbacks) dapat terbentuk oleh
beberapa kejadian, antara lain kubah, antiklin, sesar, intrusi, dan
sebagainya. Faltion merupakan hogbacks yang letaknya paling dekat
dengan inti kubah yang keras seperti batuan kristalin dengan ujung
atas umumnya runcing (Gambar 3.7).
Inti kubah yang terdiri dari batuan kristalin sering memberi arti
sebagai sumber mineral logam. Dalam pertambangan, sering dijumpai
kubah-kubah garam yang tentunya memberi makna sebagai sumber garam.
Jika tidak berpotensi akan mineral, inti kubah yang bertekstur kasar
biasanya merupakan daerah hutan dan sekaligus merupakan daerah tadah
hujan. Lereng-lereng terjal dari hogbacks sebaiknya juga dimanfaatkan
sebagai daerah hutan untuk mencegah longsoran dan untuk tujuan
konservasi air.
Gambar 3.7 Sketsa suatu bentuk pegunungan kubah yang telah mengalami erosi
lanjut
3.2.4 Pegunungan Lipatan (Folded Mountains)
Istilah pegunungan lipatan digunakan untuk suatu jenis pegunungan
dengan struktur lipatan yang relatif sederhana. Pada tahapan muda,
morfologinya masih menggambarkan adanya lingkungan antiklin dan
sinklin. Bila erosi terus berlanjut, maka pengikisan sungai lateral
dapat menajam ke hulu dan juga sepanjang puncak antiklin. Pada tahapan
dewasa, pengikisan di puncak antiklin dapat berlanjut melebar ke arah
dalam sepanjang puncak antiklin dan akhirnya terbentuk lembah antiklin
dengan kenampakan morfologi terhadap struktur geologi menjadi terbalik
(interved relief), bukit-bukit antiklin (anticlinal ridges), dan
lembah-lembah sinklin (sinclinal ridges), serta bukit-bukit yang
terbentuk oleh lapisan-lapisan yang miring searah disebut bukit-bukit
homoklin (homoclinal ridges). Pada tahapan tua, daerah pegunungan
lipatan oleh pengikisan menjadi peneplane dan sungai mengalir di
dataran tersebut seolah tanda mengindahkan adanya lapisan lunak
ataupun keras (Gambar 3.8).
Gambar 3.8 Sketsa bentuk morfologi pegunungan lipatan (atas), dan hasil
proses erosi pada pegunungan lipatan (bawah)
Daerah pegunungan lipatan umumnya berbukit-bukit terjal, dengan lembah-
lembah yang panjang, adanya perulangan antara lembah lebar dan lembah
sempit akibat perbedaan kekerasan batuan, adanya gawir terjal dan
pegunungan landai pada hogbacks atau homoclinal ridges.
Daerah pegunungan lipatan yang terdiri dari batuan-batuan sedimen
sering pula mengandung nilai-nilai ekonomis, seperti batugamping,
batulempung, batupasir kuarsa, gipsum, dan sebagainya.
3.2.5 Pegunungan Patahan (Block Mountains)
Pegunungan patahan merupakan hasil deformasi oleh sesar. Pada tahapan
muda, pegunungan patahan memperlihatkan gawir-gawir terjal yang
memisahkan antara satu blok pegunungan dengan blok yang lain atau
antara blok pegunungan dengan blok lembah. Pada umumnya, bidang gawir
tajam relatif rata dan belum tersayat oleh lembah-lembah. Blok dapat
berbentuk persegi, berundak, atau membaji, tergantung kepada pola
sesar.
Gambar 3.9 Sketsa proses geomorfik pada pegunungan patahan
Pada tahapan dewasa, bagian muka atau punggungan blok terkikis namun
pada beberapa kenampakan bagian muka dari blok masih lebih terjal
daripada bagian punggungan, masih terlihat adanya kelurusan garis
dasar sesar, adanya triangular facets yang merupakan sisa-sisa bidang
sesar setelah terkikis, adanya dataran aluvial berupa kipas aluvial
yang terletak berjajar dalam garis lurus sepanjang kaki bidang muka
dan blok, serta munculnya mata air. Pada tahapan tua, daerah
pegunungan patahan mendatar dan kehilangan bentuk simetrinya dengan
daerah aluvial yang meluas (Gambar 3.9).
3.2.6 Gunungapi
Pertumbuhan gunungapi merupakan salah satu dari bentuk konstruksional,
dimana pembentukannya dapat terjadi melalui letusan, longsoran,
injeksi kubah lava, dan sebagainya diselingi dengan erosi. Pada
umumnya, proses erosi berjalan lebih lambat dari proses pembentukan
gunungapi (Gambar 3.10). Disamping itu, gunungapi dapat pula mengalami
proses konstruksi lain, seperti sesar dan lipatan.
Gambar 3.10 Sketsa pertumbuhan gunung api
Gunungapi yang telah mencapai tahapan dewasa oleh letusan baru dapat
segera menjadi muda kembali. Perubahan-perubahan bentuk oleh
kegiatannya dapat terjadi seperti pembentukan kubah lava, aliran lava,
aliran lahar, pembentukan kerucut porositer, pembentukan kaldera.
Bentuk-bentuk gunungapi dipengaruhi oleh letusan dan aliran lava. Pada
letusan gunungapi akan menghasilkan tufa dan breksi vulkanik membentuk
cinder cones. Compasite cones terbentuk jika kegiatan erupsi letusan
dan aliran lava terjadi secara bergantian. Kerucut gunung api
sederhana mempunyai kawah (crater). Pada letusan-letusan yang berulang
pada titik yang berbeda dalam suatu kawah dapat menghasilkan kawah
ganda (nested craters), dan pada letusan dahsyat dapat menghasilkan
kaldera (kawah yang sangat besar, berdinding terjal, dan umumnya
mempunyai dasar kawah yang rata). Gunungapi baru dapat tumbuh di dasar
kaldera, dan disebut gunungapi sekunder.
Gunungapi di dalam tahapan tua sudah tidak memperlihatkan bentuk
kerucut lagi. Hanya sisa diatrema saja yang kadang-kadang terlihat
mencuat diantara dataran, dan disebut volcanic necks (Gambar 3.11).
Gambar 3.11 Gambar suatu bentuk sisa gunung api (volcanic neck)
3.3 Analisis Morfologi
Analisis pada suatu daerah (secara regional) dapat dilakukan pada foto
udara atau pada peta topografi. Analisis morfologi dapat dilakukan dengan
pemisahan-pemisahan unsur-unsur morfologi menjadi bagian-bagian yang lebih
kecil. Analisis dilakukan dengan memperhatikan tujuan semula, mungkin
berupa tujuan-tujuan ilmiah atau tujuan-tujuan aplikasi. Analisis morfologi
yang lazim diadakan adalah elevasi, sudut lereng, pola kontur, bentuk
bukit, pola bukit, bentuk aliran, pola aliran, kerapatan sungai, luas DAS,
tekuk lereng/gradien, dan lain-lain.
Dalam melakuan pemerian geomorfologi pada suatu daerah (wilayah) dapat
dilakukan secara empiris atau deskriptif. Pemerian empiris dilakukan dengan
mengemukakan apa adanya, seperti bukit, lembah, atau pegunungan dan
diuraikan menurut bentuk, ukuran, posisi, dan warna. Contohnya, sederet
perbukitan yang terdiri dari batugamping dan batulempung, dengan lebar
wilayah perbukitan tersebut lebih kurang 5 km dan panjang 20 km, dengan
puncak-puncaknya setinggi 900-1250 m dpl … dan seterusnya. Sedangkan
pemerian secara deskriptif (explanation) dilakukan dengan menggunakan
istilah-istilah yang lebih tepat karena mengandung arti genetik dari
permasalahan morfologi dan sekaligus mengandung arti bentuk, ukuran,
komposisi, lokasi, dan sebagainya. Contoh, terdapat sederet pegunungan
lipatan selebar 5 x 20 km membentuk bukit-bukit hogback dan lembah-lembah
homoklin, terdiri dari batugamping dan batulempung, … dan seterusnya.
Pada pengamatan melalui peta topografi, analisis dilakukan terhadap pola
kontur (tata letak, bentuk-bentuk lengkungan dan kelurusan, kerapatan garis
kontur, dan pola-pola kontur yang khas).
Daerah di muka bumi yang mempunyai kesamaan dalam bentuk-bentuk dan pola
aliran sungai dimasukkan ke dalam satuan yang sama. Satuan morfologi pada
orde satu dapat dikelompokkan sebagai pegunungan dan dataran. Pada orde
kedua, pegunungan dapat diuraikan lagi sebagai pegunungan plateau,
pegunungan kubah, pegunungan lipatan, pegunungan kompleks, dan gunungapi.
Sedangkan pada dataran, orde kedua dapat diuraikan lagi sebagai dataran
pantai, dataran banjir, dataran danau, dataran aluvial, dan dataran
glasial.
3.4 Penerapan Geomorfologi Sebagai Salah Satu Alat Dalam Eksplorasi
Sebelum pelaksanaan kegiatan (survei) lapangan, sebaiknya dilakukan
terlebih dahulu pengenalan bentang alam (landform) melalui analisis foto
udara atau analisis peta topografi (berdasarkan pola kontur). Kegiatan ini
sangat membantu untuk memberikan gambaran (interpretasi awal) tentang
sejarah geologi, struktur, dan litologi regional daerah yang akan
diobservasi.
McKinstry (1948) dalam tulisannya membahas penggunaan petunjuk geomorfik
dalam pekerjaan eksplorasi, dan mengelompokkan tiga petunjuk dalam
pencarian endapan mineral, yaitu :
Beberapa endapan mineral memperlihatkan suatu bentuk topografi yang khas,
Topografi suatu daerah dapat memberikan suatu struktur geologi dimana
suatu endapan mineral dapat terakumulasi,
Dengan mempelajari sejarah geomorfik suatu daerah memungkinkan untuk
dapat memperkirakan kondisi-kondisi fisik dimana mineral-mineral
terakumulasi atau terkayakan.
Tidak semua tubuh bijih mempunyai ekspresi permukaan (topografi) yang khas,
namun ada beberapa diantaranya dapat diprediksikan dari kenampakan
permukaan (topografi) seperti singkapan bijih, gossan, atau mineral-mineral
residual, serta kenampakan struktur geologi seperti fractures, sesar, dan
zona-zona breksiasi. Sebagai contoh, sebaran Pb-Zn di Broken Hill Australia
membentuk suatu punggungan yang menyolok, urat-urat kuarsa masif di Santa
Barbara Meksiko memperlihatkan bentuk yang menyolok karena cenderung lebih
resisten terhadap pelapukan dari batuan-batuan di sekitarnya. Menurut
Schmitt (1939), ekspresi topografi merupakan suatu akibat dari laju
oksidasi, termasuk daya tahannya terhadap pelapukan dan erosi.
Pada endapan residual, konsep-konsep geomorfologi yang dapat diterapkan,
antara lain :
Pelapukan dan erosi merupakan proses yang mutlak dan selalu terjadi di
muka bumi,
Hasil pelapukan suatu batuan mungkin dapat menghasilkan suatu konsentrasi
endapan mineral ekonomis,
Produk dari tahap akhir siklus morfologi pada umumnya tertinggal
membentuk suatu endapan residual yang insitu,
Tahapan-tahapan awal dari siklus geomorfik pada umumnya bersifat
mengikis, mengerosi, tertransport, dan terendapkan pada suatu tempat.
Sedangkan pada endapan placers (residual, kolovial, eluvial, aluvial, dan
endapan pantai), konsep-konsep geomorfologi yang dapat diterapkan, antara
lain masing-masing tipe endapan placers merupakan hasil dari siklus
geomorfik yang terbatas dan diendapkan pada kondisi topografi tertentu, dan
mempunyai ekspresi topografi yang khas.
BAB 4
STRATIGRAFI
Stratigrafi berasal dari kata strati (dalam bahasa latin stemere / stratum
/ strata) yang berarti lapisan dan grafi (dalam bahasa latin graphicus)
yang artinya gambaran. Dengan demikian, stratigrafi dapat diartikan sebagai
suatu ilmu yang mempelajari gambaran serta hubungan lapisan dengan batuan
lainnya dalam ruang dan waktu geologi.
Stratigrafi memiliki unsur ruang dan waktu. Unsur ruang yang paling dominan
adalah batuan itu sendiri, sedangkan unsur waktu menjawab masalah "kapan"
yang dapat diketahui dengan fosil, lapisan, paleomagnet, radioaktif, jejak
belah (fission track), dan sekuen stratigrafi.
4.1 Hukum Dasar Stratigrafi
4.1.1 Hukum Steno (1669)
Superposition / Hukum Superposisi, yaitu lapisan yang lebih muda
selalu berada di atas lapisan batuan yang lebih tua pada sekuen yang
normal,
Horizontality / Hukum Akumulasi Vertikal, yaitu lapisan sedimen
terendapkan secara horizontal dan relative sejajar terhadap
permukaan lapisan dimana sedimen tersebut terendapkan,
Original Continuity / Hukum Kesinambungan Lateral, yaitu pada
dasarnya batas hasil suatu pengendapan berupa bidang perlapisan akan
menerus dan terhenti oleh pembajian pada cekungan pengendapan pada
waktu pengendapannya.
4.1.2 Uniformitarianism (Hutton, 1785)
The present is the key to the past.
Perubahan yang terjadi sangat lambat menuju perubahan besar. Proses di
bumi yang terjadi secara berulang disebut dengan siklus.
4.1.3 Faunal succession (Abbe, 1777)
Umur lapisan batuan ditunjukkan dengan fosil-fosil, dengan asumsi
setiap fosil akan berbeda pada setiap perbedaan umur geologi.
Kelebihan dari hukum tersebut adalah adanya data umur relatif suatu
lapisan batuan secara tegas karena fosil memiliki kisaran hidup
tertentu, sedangkan kelemahannya adalah tidak adanya penetapan batas
fisik satuan genesa secara tegas karena waktu hidup suatu kehidupan
(fosil) yang dapat memotong bidang perlapisan.
4.1.4 Strata Identified by Fossils (Smith, 1816)
Urutan lapisan sedimen dapat dilacak secara lateral dengan mengenali
kumpulan fosilnya, meskipun kriteria litologinya tidak menentu.
4.2 Perlapisan, Lapisan, Bidang Perlapisan
4.2.1 Perlapisan
Perlapisan adalah sifat utama dari batuan sedimen hasil dari proses
pengendapan yang menghasilkan bidang-bidang batas satuan sedimentasi.
Cara mengenali perlapisan, antara lain dengan :
- perubahan macam batuan, susunan mineralogi, tekstur (besar butir),
warna, struktur sedimen, dan kekerasan batuan
- penyebaran fosil / mineral / butiran
- jejak binatang (bioturbasi)
- kick (loncatan yang terjadi karena perbedaan respon terhadap aliran
listrik) dalam log listrik
4.2.2 Lapisan
Lapisan adalah satuan stratigrafi terkecil (mm-m) yang terdiri atas
satu macam batuan yang homogen, dibatasi oleh bidang perlapisan pada
bagian bawah dan atas. Menurut Modern Stratigraphy, lapisan berarti
material yang serupa (homogen) disebarkan oleh media (angin, air,
es/gletser) dalam kondisi yang serupa. Lapisan menghilang secara
lateral dengan perubahan berangsur, perubahan secara tajam
(interfingering), dan membaji.
4.2.2.1 Bentuk Lapisan
Lempeng pipih merata (dimensi ke satu arah lebih kecil daripada
dua dimensi lainnya)
Bentuk lensa (membaji ke segala arah)
Prisma (membaji ke dua arah)
Nodular
4.2.2.2 Lapisan Penunjuk
Lapisan merupakan indikator kesamaan waktu (key bed, marker bed).
Lapisan penunjuk dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu
lithologic key bed (berdasarkan litologinya), paleo marker
(berdasarkan aspek paleontologinya / fosil), dan electric marker
(lapisan penunjuk elektris).
Syarat lapisan penunjuk, antara lain :
relatif tipis dengan penyebaran yang luas
memiliki keseragaman dalam sifat litologi pada seluruh tempat
lapisan tersebar sehingga mudah dikenali kembali
lapisan pada semua lokasi terbentuk pada waktu yang sama
lapisan tidak berulang.
4.2.3 Bidang Perlapisan
Bidang perlapisan adalah suatu bidang yang diwujudkan dengan
penyebaran suatu mineral tertentu, besar butir atau bidang sentuhan
yang tajam antara dua macam litologi yang berlainan. Bidang perlapisan
bersifat sangat interpretatif, tidak berarti harus ada bidang
perlapisan yang membatasinya.
4.3 Hubungan Stratigrafi
Beberapa hubungan stratigrafi, antara lain :
Vertikal
- Selaras (conformable, conformity)
Siklus sedimentasi berlangsung secara menerus (transgresi, regresi,
maupun kombinasi diantara keduanya).
- Ketidakselarasan (unconformable, unconformity)
Ketidakselarasan merupakan bidang stratigrafi yang menyatakan adanya
interupsi dalam catatan stratigrafi (stratigraphicairecords) karena
erosi permukaan, orogenesa, atau epirogenesa.
- Diasterm
Diasterm merupakan ketidakmenerusan dalam sedimentasi akibat erosi di
bawah permukaan atau karena non deposisi.
Lateral
- Fasies, merupakan kesamaan endapan yang dipandang dari aspek fisika,
kimia, biologi dalam satu kesamaan waktu (Sandi Stratigrafi Indonesia,
1996 ps.9)
4.4 Unconformity
Proses erosi / ketidakselarasan terjadi karena adanya proses pengangkatan,
perlipatan, erosi, dan denudasi yang menyangkut proses orogenesa.
Angular unconformity
Angular unconformity adalah bidang ketidakselarasan dimana lapisan batuan
sedimen di bawah bidang ketidakselarasan tersebut membentuk sudut dengan
lapisan batuan sedimen di atas bidang ketidakselarasan.
Nonconformity
Nonconformity adalah bidang ketidakselarasan di antara batuan sedimen
dengan batuan kristalin, dimana batuan kristalin terbentuk terlebih
dahulu baru kemudian dibatasi bidang ketidakselarasan dan batuan sedimen.
Dalam nonconformity, umur batuan perlu diperhatikan.
Disconformity / Parallel Unconformity
Disconformity adalah bidang ketidakselarasan yang sejajar dengan arah
lapisan batuan, baik yang berada di atasnya maupun di bawah bidang
ketidakselarasan.
Beberapa kriteria ketidakselarasan, antara lain :
Basal conglomerate (konglomerat alas)
Konglomerat alas adalah batuan dimana fragmennya cenderung membulat yang
berasal dari batuan yang lebih tua dan menunjukkan adanya gap
sedimentasi.
Bidang / permukaan erosi
Perbedaan kedudukan satuan batuan yang menyolok
Paleontological gap
Satuan batuan terpancung (truncation)
Perbedaan sifat kelistrikan
Warna oksidasi
4.5 Pengukuran Penampang Stratigrafi
Pengukuran penampang stratigrafi lebih dikenal dengan MS (Measure Section).
Kegiatan ini bertujuan, antara lain :
mendapatkan data litologi detail dari satuan batuan,
ketebalan yang teliti dari satuan batuan,
mempelajari hubungan stratigrafi antar satuan batuan,
mengetahui urut-urutan sedimentasi,
menafsirkan lingkungan pengendapan dan umur.
Tahapan pelaksanaan pengukuran penampang stratigrafi :
pengukuran dari dasar penampang
menentukan satuan batuan dengan memberi patok pada batas satuan
jika jurus dan kemiringan perlapisan berubah-ubah, maka pengukuran
dilakukan pada alas dan atap satuan atau dengan perhitungan rata-ratanya
pengukuran azimuth dan slope
jarak terukur di lapangan
deskripsi litologi dan pengamatan struktur sedimennya
penentuan posisi singkapan (jika dijumpai singkapan)
BAB 5
MINERALOGI
Mineral didefinisikan sebagai bahan/zat anorganik padat yang homogen,
terbentuk di alam dan mempunyai susunan kimia dan sistem kristal tertentu.
Beberapa contoh mineral dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Contoh beberapa mineral
"Komposisi "Sistem kristal"Nama mineral "
"kimia " " "
"Ca Co3 "Rombohedral "Kalsit "
"Ca Co3 "Ortorombik "Aragonit "
"PbS "Isometrik "Galena "
"Fe2O3 "Rombohedral "Hematit "
"Fe2O4 "Isometrik "Magnetit "
"NaCl "Isometrik "Halit "
"CaSO4 "Ortorombik "Anhidrit "
"CaSO4 . 2H2O "Monoklin "Gipsum "
"C "Isometrik "Intan "
"C "Heksagonal "Grafit "
"FeS2 "Isometrik "Pyrit "
"FeS "Heksagonal "Pyrotit "
Ada bahan lain yang tidak dapat disebut sebagai mineral, misalnya SiO2
(opal, karena amorf), C (batubara, karena merupakan bahan organik), H2O
(air, karena bukan benda padat).
Mineral dapat berupa bahan berharga/bahan tambang, seperti Cu5FeS4 (bornit,
merupakan bijih tembaga), CuFeS4 (kalkopirit, merupakan bijih tembaga),
Fe2O3 (hematit, merupakan bijih besi), Fe3O4 (magnetit, merupakan bijih
besi), dll. Mineral juga dapat berupa gangue (pengotor) bahan tambang
(dibuang), misalnya SiO2 (kuarsa, pada tambang timah), FeS2 (pirit, pada
tambang tembaga, emas), Na-Ca Si3O8 (felspar, pada tambang timah primer),
dll.
BAB 6
STRUKTUR GEOLOGI
Struktur geologi adalah suatu struktur atau kondisi geologi yang ada di
suatu daerah sebagai akibat dari terjadinya perubahan-perubahan pada batuan
oleh proses tektonik atau proses lainnya. Dengan terjadinya proses
tektonik, maka batuan (batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf)
maupun kerak bumi akan berubah susunannya dari keadaannya semula. Struktur
geologi (makro) yang penting untuk diketahui, antara lain bidang
perlapisan, sistem sesar, sistem perlipatan, sistem kekar, dan bidang
ketidakselarasan.
6.1 Bidang Perlapisan
Bidang perlapisan hanya ditemukan pada batuan sedimen, yaitu suatu bidang
yang memisahkan antara suatu jenis batuan tertentu dengan batuan lain yang
diendapkan kemudian. Misalnya batas antara lapisan batupasir dengan
batugamping, atau batas lapisan batupasir yang satu dengan batupasir
lainnya yang dapat dibedakan (Gambar 6.1). Biasanya batuan sedimen terdiri
dari banyak sekali lapisan-lapisan yang berurutan dari tua ke muda,
sehingga banyak pula bidang perlapisannya. Bidang perlapisan tersebut
merupakan bagian yang lemah dibandingkan dengan kekuatan batuan sedimennya,
karena itu dalam analisis kemantapan posisinya menjadi sangat penting.
Gambar 6.1 Skema susunan perlapisan batuan sedimen
6.2 Sistem Sesar
Sesar atau patahan (fault) adalah suatu bidang yang terbentuk karena
kekuatan batuan tidak dapat menahan lagi tekanan/beban yang ada sehingga
akhirnya batuan tersebut patah. Setelah terjadinya sesar tersebut, kedua
bagian yang tadinya berhubungan dapat bergeser naik, turun, atau bergeser
secara mendatar (Gambar 6.2).
Sesar yang terbentuk karena proses tektonik yang kuat umumnya tidak berdiri
sendiri (tunggal), tetapi akan menghasilkan sesar-sesar lain yang lebih
kecil di sekitarnya sehingga dapat membentuk suatu sistem sesar yang
kompleks (Gambar 6.3).
Gambar 6.2 Sketsa beberapa tipe sesar tunggal
Gambar 6.3 Sketsa sistem sesar.
6.3 Sistem Perlipatan
Karena aktivitas tektonik, lapisan batuan sedimen yang relatif elastis akan
mengalami tekanan yang tinggi dan terlipat, dan membentuk sistem sinklin-
antiklin. Pada sistem perlipatan maka lapisan batuan yang tadinya mendatar
akan berubah posisinya menjadi miring dengan sudut kemiringan (dip) dan
jurus (strike) yang bervariasi (Gambar 6.4 dan 6.5).
Gambar 6.4 Sketsa sistem perlipatan
Gambar 6. 5 Sketsa bidang perlipatan
" " "
" " "
"(a) "(b) "
Gambar 6.6 (a) Sketsa macam-macam perlipatan, (b) Sketsa Perlipatan yang
tersesarkan normal
Apabila besarnya tegangan yang bekerja pada batuan sedimen tersebut
melampaui batas elastisnya, maka sistem tersebut akan mengalami penyesaran
dan pergeseran (Gambar 6.6). Sedangkan kalau tidak terlalu besar, maka pada
bagian-bagian tertentu mungkin akan terbentuk sistem kekar tarik (pada
batuan yang rapuh/getas).
Perlipatan menghasilkan bagian punggungan perlipatan yang disebut sebagai
antiklin dan bagian lembah yang disebut sebagai sinklin. Jarak antara
antiklin dengan sinklin di dekatnya juga bervariasi, tergantung pada
besarnya gaya yang membentuknya. Demikian juga mengenai kemiringan yang
terbentuk pada perlipatan tersebut, yaitu tergantung pada amplitudo dan
frekuensi yang terjadi.
Lapisan batuan yang tidak mendatar lagi (miring) posisinya dinyatakan dalam
jurus dan kemiringannya (strike/dip-nya), sehingga dibutuhkan interpretasi
untuk mengkorelasikannya (Gambar 6.7).
Gambar 6.7 Beberapa kemungkinan interpretasi singkapan yang telah mengalami
perlipatan.
6.4 Sistem Kekar
Seperti juga pada sesar dan perlipatan, kekar umumnya terbentuk karena
proses tektonik yang terjadi pada suatu daerah tertentu. Dalam hal ini
kekar merupakan akibat lanjutan dan proses pembentuk sesar atau perlipatan.
Kalau kekuatan suatu batuan (kuat tekan atau kuat tarik) tidak sanggup lagi
melawan tegangan yang ada, maka batuan tersebut akan pecah atau retak. Jika
ukuran dari retakan tersebut besar dan terjadi pergeseran yang besar
disebut sesar, sedangkan dalam ukuran retakan tersebut kecil (hanya sampai
beberapa meter) dan relatif tidak terjadi pergeseran disebut sebagai kekar
(Gambar 6.8).
Pada suatu batuan yang sama dalam daerah yang relatif kecil sering terdapat
beberapa pasang kekar yang berbeda (sistem kekar). Kekar-kekar yang
mempunyai orientasi (jurus dan kemiringan) sama disebut sebagai satu set
kekar. Dalam suatu sistem kekar bisa terdapat lebih dari satu set kekar.
Gambar 6.8 Sketsa sistem kekar dan bidang kekar.
Permukaan bidang kekar ada yang halus, kasar, bergelombang, licin,
tergantung pada jenis batuan, kekuatan batuan, besarnya gaya, dan jenis
gaya yang bekerja padanya.
Dalam analisis kekar, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah ukuran kekar
(persistensi), kekasaran bidang kekar, bukaan kekar (separation), isi
bukaan kekar (infilling), ada/tidaknya air pada kekar, besar aliran air
pada sistem kekar, orientasi bidang kekar (jurus dan kemiringan), jumlah
set kekar pada daerah yang sama, dan kerapatan/jarak kekar
6.5 Pengaruh Struktur
6.5.1 Terhadap kekuatan/kestabilan batuan
Adanya struktur sangat mempengaruhi kekuatan batuan, karena bidang-
bidang struktur tersebut jelas mengganggu kontinuitas kekuatan batuan,
baik dalam skala besar maupun kecil. Misalnya batuan beku yang utuh
kuat sekali dan stabil tetapi apabila ada kekar atau sesar kekuatannya
akan berkurang (Gambar 6.9), sedimen berlapis (Gambar 6.10), dan
batuan terkekarkan (Gambar 6.11).
Gambar 6.9 Pengaruh kekar pada blok batuan.
Gambar 6.10 Pengaruh kekar pada bidang perlapisan.
Gambar 6.11 Batuan yang terkekarkan memberikan indikasi longsoran membaji
6.5.2 Terhadap mineralisasi
Struktur (terutama sesar dan sistem kekar), yang terbentuk sebelum
mineralisasi sangat penting artinya karena merupakan saluran dan
tempat berkumpulnya mineral berharga, terutama dalam pembentukan
endapan hidrothermal (Gambar 6.12). Contohnya endapan-endapan
hidrothermal Au, Cu, Pb, Zn, dll.
Gambar 6.12 Sketsa cebakan hidrothermal
Struktur yang terbentuk sesudah mineralisasi atau terbentuknya suatu
cebakan bahan galian akan memindahkan bahan galian tersebut ke tempat
lain, sehingga sulit dicari atau hilang (Gambar 6.13).
Gambar 6.13 Sketsa perpindahan cebakan bahan galian
BAB 7
GEOLOGI SEJARAH
Suatu penelitian terhadap fosil fauna dan flora menunjukkan adanya
pergantian atau perubahan bentuk yang bertahap dari fosil-fosil tersebut.
Perubahan ini disebabkan oleh proses perkembangan organisme yang progresif.
Dalam batuan-batuan yang paling tua banyak dijumpai organisme-organisme
primitif yang terendapkan sebagai fosil. Fosil-fosil ini tidak dapat
dihitung kembali berapa usianya, karena itu fosil-fosil seperti ini
dinamakan guide fossil (fosil penunjuk).
Berdasarkan adanya pergantian bentuk organisme yang jelas, para ahli
membuat pembagian skala waktu geologi yang cocok untuk menyusun sejarah
bumi. Adapun pembagian skala tersebut adalah (dari yang besar) Kurun, Masa
(Era), Zaman (Period System), Kala (Division). Lihat Tabel 7.1.
Nama-nama Zaman pada Masa Paleozoikum, yaitu Kambrium, Silur, Devon, dan
Perm berasal dari lokasi tempat ditemukannya ciri-ciri fosil yang pertama
kali. Nama Zaman Karbon menandakan terbentuknya endapan batubara di daerah
Donets, Moscow, dan daerah-daerah lainnya. Nama Zaman Trias karena batuan
pada periode tersebut terdiri atas tiga formasi yang berbeda, yaitu bagian
bawah, tengah, atas.
Periode Jura berasal dari nama pegunungan yang terdapat di Perancis dan
Swiss. Sedangkan Zaman Kapur karena batuan pada zaman tersebut banyak
mengandung chalk atau kapur.
Penamaan Masa Kenozoikum dimulai setelah adanya tanda tanda terdapatnya
dunia hewan. Mulai Neogen hewan vertebrata bentuknya mendekati seperti yang
ada sekarang. Manusia mulai muncul pada Zaman Kuarter.
" "
"Tabel 7.1 Skala Waktu Geologi (Umur Relatif) "
"KURUN "MASA "ZAMAN "KALA "Juta Thn."
"FANEROZ"KENOZO"KUARTER "Recent "10 ribu "
"OIKUM "IKUM " " "th. "
" " " "Holosen"1 "
" " " "Plistos"2 "
" " " "en " "
" " "TER"Neogen "Pliosen"10 "
" " "SIE" " " "
" " "R " " " "
" " " " "Miosen "23 "
" " " "Paleogen "Oligose"34 "
" " " " "n " "
" " " " "Eosen " "
" " " " "Paleose"70 "
" " " " "n " "
" "MESOZO"KAPUR " "135 "
" "IKUM " " " "
" " "JURA " "180 "
" " "TRIAS " "200 "
" "PALEOZ"PERM " "270 "
" "OIKUM " " " "
" " "KARBON " "350 "
" " "DEVON " "400 "
" " "SILUR " "430 "
" " "ORDOVISIUM " "490 "
" " "KAMBRIUM " "540-600? "
"KRIPTOZ"ARKEOZ"PRAKAMBRIUM " " "
"OIKUM "OIKUM " " " "
" " " " " "
" " " " " "
" " " " " "
" " " " " "
" " " " " "
Pra-Kambrium (? - 600 juta tahun yang lalu).
Kehidupan pertama muncul berupa algae, jamur, binatang laut berkulit
lunak.
Kambrium (600 - 500 juta tahun yang lalu).
Muncul trilobita dan artropoda primitif lainnya serta moluska menguasai
lautan.
Ordovisium (500 - 430 juta tahun yang lalu).
Berkembang invertebrata di laut, binatang laut, koral, gulma laut,
berbagai artropoda, dan muncul ikan primitif (vertebarata pertama
muncul).
Silur (430 - 400 juta tahun yang lalu).
Trilobita berkurang, ikan berahang muncul. Beberapa tumbuhan rudimenter
mulai hidup di daratan.
Devon (400 - 350 juta tahun yang lalu).
Macam dan ukuran vertebrata laut bertambah. Beberapa jenis ikan
mengembangkan paru-paru serta sirip menjadi amphibi. Untuk yang pertama
kali daratan ditumbuhi tanaman besar yang menyerupai pohon.
Gambar 7.1 (a) Grafit yang terdiri atas karbon (C) merupakan unsur penting
dalam proses terjadinya awal kehidupan yang sangat sederhana pada
Zaman Pra-Kambrium.
(b) Fosil Trilobita yang muncul pada Zaman Kambrium.
Karbon (350 - 270 juta tahun yang lalu).
Reptilia pertama muncul, amphibi dan ikan tumbuh subur. Hutan dikuasai
serangga raksasa.
Perm (270 - 200 juta tahun yang lalu).
Reptilia mengalahkan amphibi sebagai vertebrata darat terkuat. Serangga
modern muncul. Trilobita punah.
Trias (200 - 180 juta tahun yang lalu).
Vertebrata, terutama reptilia mendesak invertebrata sebagai bentuk
kehidupan yang dominan. Dinosaurus dan mamalia pertama muncul. Lobster
dan antropoda rumit muncul di laut.
Jura (180 - 135 juta tahun yang lalu).
Dinosaurus mencapai puncaknyai reptilia masih berkuasa. Mamalia makin
berlimpah, burung pertama, dan binatang berdarah panas muncul.
Kapur (135 - 70 juta tahun yang !alu)
Dinosaurus punah, populasi mamalia terus bertambah. Banyak pohon modern
berkembang, misalnya bire, elm, dan mapel.
Tersier (70 - 2 juta tahun yang lalu).
Ikan bertulang berlimpah, beberapa hiu sepanjang 18 - 24 meter muncul.
Mamalia mulai menguasai Bumi, antara lain kucing bergigi pedang dan kuda
purba.
Plistosen (2 - 0 juta tahun yang lalu).
Zaman mamalia berlanjut dengan suatu penambahan penting, yaitu pertama
kali munculnya manusia primitif (1,5 - 2 juta tahun yang lalu). Muncul
manusia modern, yaitu homosapiens (0,5 juta tahun yang lalu).
Gambar 7.2 (a) Fosil Uintacyon, binatang karnivora sebesar kucing yang
hidup sekitar 55 juta tahun lalu.
(b) Selaput bekas daun pohon Platanus yang hidup pada Kala Miosen.
BAB 8
GEOLOGI EKONOMI
Dalam dunia geologi, penemuan bahan galian adalah sekumpulan massa
pemineralan (mineralization) bahan galian logam maupun nonlogam (dalam
batubara berupa singkapan lapisan) di suatu daerah yang belum pernah
ditemukan atau dilaporkan sebeIumnya. Penemuan ini dapat diketahui dari
kegiatan eksplorasi terutama pada tahapan awal (reconnaissance).
Dalam prakteknya, keterdapatan (occurence) bahan galian yang ditemukan
harus dikaji secara geologi dan nilai ekonomisnya. Hasil kajian geologi itu
memberikan kemungkinan bahwa mineral yang ditemukan merupakan :
- Cerminan dari potensi suatu bahan galian di tempat itu,
- Bagian dari cebakan di tempat lain yang berpotensi, dan
- Mineralisasi yang memiliki sifat sama dengan dengan terbentuknya
batuan secara umum.
Sedangkan faktor nilai ekonomis dalam tahap eksplorasi awal terutama
tergantung pada mutu atau kadar.
Kegiatan eksplorasi mineral bahan galian logam, nonlogam serta batubara
adalah proses pemilahan daerah mineralisasi yang bersifat multi tahap.
Secara umum, eksplorasi dimulai dari kajian pustaka dan penyelidikan umum
(reconnaissance) pada daerah luas dan dilanjutkan dengan mempersempit
daerah fokus, dan secara berangsur-angsur dievaluasi sampai dihasilkan
evaluasi rinci untuk daerah sasaran kecil.
Pentahapan ini dimaksudkan agar cebakan yang ditemukan dapat ditambang
secara ekonomis. Karena eksplorasi berkaitan dengan masalah ketertambangan
.dari cebakan yang ditemukan, maka eksplorasl mineral merupakan aktivitas
ekonoml, yaitu penanaman modal untuk menemukan suatu cebakan dengan biaya
semurah mungkin.
Ketertambangan suatu cebakan / endapan bahan galian dlpengaruhi oleh faktor
eksternal, antara lain harga produk (komoditi), teknologi penambangan
pengolahan, dan letak geografi cebakan. Adanya faktor eksternal ini
mengakibatkan eksplorasi mineral bersifat dinamis.
Penemuan massa pemineralan pada tahap eksplorasi awal yang terbukti
merupakan bagian dari cebakan bervolume atau bertonase besar pada tahap
eksplorasi rinci dan akan dapat ditambang secara ekonomis, dinamakan
penemuan bahan galian ekonomis. Pedoman yang dipakai untuk menentukan suatu
penemuan dalam eksplorasi awal mempunyai peluang menjadi penemuan ekonomis
adalah kadar dan parameter keterdapatan secara geologi dari cebakan. Angka
kadar yang menjadi pedoman diatas dinamakan kadar ekonomis (cut off grade),
sementara untuk parameter geologi adalah tebal urat atau rapat urat kecil
(untuk batubara berupa tebal lapisan).
Pada kenyataannya, istilah penemuan diartikan menjadi dua, yaitu :
1. Hanya untuk yang ekonomis.
Pendapat ini terutama dilontarkan oleh para ahli yang menkaji ekonomi
eksplorasi untuk kebijakan ekonomi makro. Alasannya adalah bahwa nilai
uang dari penemuan hanya dapat ditentukan dari data cebakan yang sudah
ditambang kotor atau netto, atau yang diharapkan menjadi tambang segera
setelah eksplorasi selesai.
2. Mencakup baik yang ekonomis maupun yang tidak ekonomis.
Penemuan di suatu kawasan atau secara regional perlu diketahui, demikian
pula yang akan ditambang. Angka nisbah penemuan mineral yang telah
menjadi tambang terhadap jumlah penemuan merupakan probabilitas adanya
cebakan yang dapat menjadi ekonomis. Nisbah ini dinamakan nisbah
keberhasilan (success ratio)
Ekonomi eksplorasi merupakan salah satu aspek dari disiplin ekonomi mineral
(mineral economics) yang menerapkan prinsip ekonomi terhadap masalah-
masalah dalam eksplorasi mineral. Menurut Snow & Mackenzie (1981),
lingkungan atau faktor yang mempengaruhi eksplorasi untuk mewujudkan
penemuan ekonomis, secara singkat terdiri atas :
- Cebakan yang belum diketemukan pada kedudukan fisiogoegrafi dan geologi
tertentu, dan
- Sumber daya dana, keterampilan manusia, teknologi dan waktu.
Dalam perspektif yamg lebih luas (makro), kegiatan eksplorasi merupakan
awal dan paling strategis dari proses pemasokan mineral bagi industri
pertambangan yang menjadi salah satu bidang ekonomi mineral. Banyak aspek
atau kegiatan dalam sektor pertambangan yang tercakup dalam bidang geologi
ekonomi, antara lain :
- Ketersediaan sumber daya mineral (meliputi kuantitas, kualitas, dan
lokasinya)
- Faktor pemasokan dan permintaan sumber daya mineral secara nasional
maupun internasional
- Eksplorasi, persiapan (development), produksi dan pengolahan
- Pasar, kegunaan mineral, sampai formulasi kebijakan mineral ( Buck, W.K.
1973).
Eksplorasi mineral memerlukan prinsip ekonomi karena eksplorasi itu
dipandang sebagai penanaman modal oleh yang membiayainya. Jadi, dari segi
bisnis (perusahaan) eksplorasi merupakan aktifitas ekonomi. Untuk
organisasi/perusahaan tambang, penanaman modal itu dimaksudkan untuk
mengembangkan produk baru yang menjamin atau memperluas kedudukan pasar
perusahaan ( Akin,1987).
Kesadaran terhadap prinsip ekonomi merupakan suatu syarat bagi pelaku
eksplorasi mineral dari pendidikan atau pengalaman kerja agar dapat
bertugas secara efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyo Agung., 2004. Pengantar Ilmu Kebumian. Penerbit : Pustaka Setia,
Bandung.
Judson, Sheldon., Kauffman, Marvin., Leet, Don., 1987. Physical Geology,
Prentice Hall, Inc.
Foster, Robert J., General Geology, A Bell & Howel Company.