BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Sakramen berasal dari bahasa Latin; Sacramentumyang memiliki arti perbuatan kudus1. Dalam bidang hukum dan pengadilan Sacramentum biasanya diartikan sebagai barang kepunyaan (jaminan) yang ditaruhkan saat dua orang berselisih, jika salah satunya kalah maka jaminan tadi akan menjadi milik pihak yang menang. Dalam sejarah teologi Kristen istilah sacramentum menjadi bagian dari diskusi teologis kristiani sehingga dalam perkembangannya istilah sakramen digunakan dan diberi arti baru dalam kehidupan gereja. Sakramen adalah tanda atau jaminan memperoleh keselamatan. Namun bukan hanya tentang keselamatan tetapi juga secara fungsional, sakramen adalah sebuah alat karunia yang menyatakan kasih Allah untuk memperteguh kepercayaan/iman. Di sisi yang lain Pendampingan Pastoral sendiri juga memiliki fungsi yang sama yaitu menyokong/menopang sekaligus untuk mengutuhkan mereka yang sedang bergumul dengan kehidupannya baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat dan lingkungan. Dalam makalah ini, kami akan menjelaskan sejarah singkat mengenai perkembangan sakramen, arti sakramen dalam gereja, khususnya gereja Kristen dan Katholik, kemudian akan kami singgung beberapa hal mengenai validitas dan keabsahan pelayanan sakramen dalam gereja.
1
Majelis Sinode GPIB. Bahan Pelajaran Pelayanan Katekisasi Buku I. 1995. Jakarta: Penerbitan GPIB. Hal. 41.
Sakramen
1
B. RUMUSAN MASALAH 1.
Bagaimana sejarah Sakramen?
2.
Bagaimana pengertian Sakramen?
3.
Bagaimana pembagian Sakramen dalam Kristen dan Katholik?
4.
Bagaimana validitas dan keabsahan pelayanan sakramen dalam gereja?
C. TUJUAN 1. Untuk mengetahui sejarah Sakramen. 2. Untuk mengetahui pengertian Sakramen. 3. Untuk mengetahui pembagian Sakramen dalam Kristen dan Katholik. 4. Untuk mengetahui validitas dan keabsahan pelayanan sakramen dalam gereja.
Sakramen
2
BAB II PEMBAHASAN
A. SEJARAH SAKRAMEN Fr. Hardon membagi sejarah perkembangan Adorasi sakramen Mahakudus dalam beberapa periode, yaitu: 1. Zaman para Rasul sampai awal Abad Pertengahan 2. Zaman Abad Pertengahan sampai Konsili Trente 3. Perkembangan Adorasi Ekaristi 1. Zaman para Rasul sampai awal Abad Pertengahan Di zaman para Rasul, kepercayaan akan kehadiran Kristus secara nyata di dalam Ekaristi bertumbuh dari ajaran para Rasul, terutama, dari Rasul Paulus dan Rasul Yohanes. Mereka mengajarkan bahwa Ekaristi adalah Yesus Kristus yang secara nyata melanjutkan misi penyelamatan-Nya di antara umat manusia. Rasul Paulus dalam suratnya menegur jemaat di Korintus, yang melakukan pemecahan roti dengan cara yang menimbulkan perselisihan, padahal seharusnya Ekaristi adalah tanda yang indah untuk kasih Agape2, yang mempunyai efek mempersatukan Gereja sebagai satu tubuh3. Rasul Yohanes menyampaikannya begitu eksplisit hingga banyak di antara para murid-Nya saat itu, yang menganggap ajaran itu sulit untuk diterima, sehingga mereka meninggalkan Dia4. Setelah abad pertama berakhir, St. Ignatius dari Antiokhia menulis surat yang memperingatkan Gereja terhadap ajaran sesat Gnosticism, yang tidak percaya akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi. Iman akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi menyebabkan banyak rahib di abad-abad pertama (sampai pertengahan abad ke-3) menyimpan Ekaristi di ruang sel mereka, di gua-gua, sebagaimana terjadi di Gereja
2
Lihat 1Korintus 11 : 26. Lihat 1Korintus 10 : 16-17. 4 Lihat Yohannes 6 : 66. 3
Sakramen
3
Timur, yaitu di Palestina dan Mesir. Di abad kedua, para Paus telah mengirimkan Ekaristi kepada para uskup sebagai tanda kesatuan iman dan pada kesempatan tertentu, para Uskup melakukan hal yang sama kepada para imam di bawah kepemimpinan mereka. Setelah Konsili Nicea (325 Masehi), Ekaristi mulai disimpan di gerejagereja dan biara-biara. Alasan utamanya adalah agar dapat disimpan bagi orangorang sakit dan yang sedang mengalami ajal, maupun untuk perayaan lainnya. Maka kesakralan Ekaristi sudah diakui dan tempat penyimpanannya pun khusus agar terhindar dari bahaya profanasi. Sekitar tahun 800-an, Sakramen disimpan di gereja di dekat altar itu sendiri. Praktek menyimpan Ekaristi di biara-biara adalah kebiasaan yang universal sehingga tidak ada bukti yang menyatakan hal yang sebaliknya, bahkan sejak sebelum tahun 1000. Referensi tentang Sakramen tertulis dalam riwayat St. Basilius (wafat 379). Dikatakan bahwa St. Basilius membagi Hosti Ekaristi menjadi 3 bagian, bagian pertama dimakannya, bagian kedua diberikannya kepada rekan imamnya, dan bagian ketiga ditempatkannya di tempat emas berbentuk burung merpati yang digantung di atas altar. Menjelang akhir abad ke-11, Revolusi menghantam Gereja ketika Berengarius (999-1088), seorang pemimpin di Angers, Perancis, secara publik menolak bahwa Kristus secara nyata dan secara fisik hadir dalam rupa roti dan anggur. Begitu seriusnya kasus ini, sehingga Paus Gregorius VII memerintahkan Berengarius untuk menarik kembali ajarannya. Ini adalah pernyataan definitif pertama Gereja tentang apa yang selalu dipercaya, dan tidak pernah secara serius ditentang. Paus Gregorius VII sendiri adalah seorang rahib yang menjadi Paus, yang imannya akan Sakramen Mahakudus telah dipupuk selama bertahun-tahun dalam biara Benediktin. Gereja-gereja di Eropa mengalami apa yang disebut dengan Eucharistic Renaissance. Saat itulah ditetapkan adanya prosesi-prosesi Sakramen Mahakudus,
Sakramen
4
rumusan doa-doa yang adorasi. St. Fransiskus Asisi juga merupakan orang kudus yang mempunyai devosi kepada Kristus dalam Sakramen Mahakudus. Paus Urbanus IV di tahun 1264 kemudian menetapkan perayaan Tubuh Kristus (Corpus Christi). Paus Urbanus IV menugaskan St. Thomas Aquinas untuk menyusun Ibadah Harian untuk perayaan Corpus Christi, untuk diperingati setiap tahun di hari Kamis setelah hari Minggu Tritunggal Mahakudus. Tiga lagu karangan St. Thomas Aquinas adalah: 1. O, Salutaris Hostia: doa penyembahan/ adorasi kepada Kristus, Kurban yang menyelamatkan yang membuka pintu Surga bagi manusia. 2. Tatum Ergo Sacramentum: doa Adorasi kepada Sang Sabda yang menjadi manusia, di mana iman menopang apa yang tidak dapat dirasakan oleh perasaan. 3. Panis Angelicus, doa Adorasi kepada Sang Santapan Rohani, ketika mereka yang rendah hati memperoleh makanannya oleh Tuhan yang menjelma menjadi manusia. 2. Zaman Abad Pertengahan sampai Konsili Trente Sebelum Konsili Trente 1. Di abad ke-14, saat berkomunikasi dengan uskup Armenian yang memohon bantuan subsidi, Paus Klemens IV menanyakan apakah mereka mengakui iman Katolik yang penuh. 2. Dua puluh tahun kemudian Paus Gregorius XI menentang pandangan yang menganggap bahwa Kristus tidak tetap hadir dalam Ekaristi, ketika rupa Ekaristi diperlakukan dengan tidak hormat. 3. Terhadap pandangan Calixtines di abad ke-15, Konsili di Constance memutuskan untuk “menyatakan, mendekritkan dan menentukan”, sebagai artikel iman bahwa, “Keseluruhan Tubuh dan Darah Kristus benar-benar terkandung di dalam rupa roti saja dan di dalam rupa anggur saja.” Definisi ini ditegaskan oleh Paus Martinus V (1 September, 1425).
Sakramen
5
Konsili Trente Di abad ke-16, seluruh ajaran iman Katolik tentang Ekaristi Kudus ditentang oleh para Reformer Protestan. Sebagai konsekuensinya, Konsili Trente membahas mengenai hal ini secara menyeluruh. Konsili Trente mengajarkan, “Putera Allah yang Tunggal adalah untuk disembah di dalam sakramen Ekaristi, dengan penyembahan termasuk secara eksternal (kelihatan). Karena itu, sakramen adalah untuk dihormati dengan perayaan yang luar biasa dan dengan agung dibawa dari tempat ke tempat dalam prosesi menurut ritus dan kebiasaan universal yang layak dari Gereja yang kudus. Sakramen Ekaristi adalah untuk diperlihatkan secara publik agar dapat disembah.” Pernyataan ini disetujui oleh Paus Yulius III (11 Oktober 1551), dan menjadi dasar bagi ajaran dan kemajuan devosi kepada Sakramen Mahakudus. 3. Perkembangan Adorasi Ekaristi Sebelum akhir abad ke-16, Paus Klemens VIII di tahun 1592, yang mengeluarkan dokumen historis yang disebut Quarant Ore (Empat puluh jam). Devosi ini mencakup 40 jam doa tanpa henti di hadapan Sakramen Mahakudus. Doa ini dilakukan tanpa henti sehingga di gereja-gereja yang berbeda (yang ditentukan oleh Paus) pada hari-hari tertentu, dilakukan devosi 40 jam, Sekitar seabad kemudian, di tahun 1731, Paus Klemen XIII mengeluarkan instruksi yang lebih detail tentang devosi tersebut, yaitu bahwa: 1.
Sakramen Mahakudus ditempatkan terekspos di altar tinggi (high altar).
2.
Patung-patung, relikwi dan gambar-gambar yang ada di sekitar altar agar digeserkan atau diselubungi dengan kain.
3.
Hanya klerus yang dapat melayani eksposisi Sakramen Mahakudus di altar tersebut.
4.
Harus ada penyembah yang hadir tiada terputus di hadapan Sakramen Mahakudus, dan harus melibatkan imam, atau klerus dari ordo yang utama.
5.
Tidak boleh ada Misa yang dilakukan di altar eksposisi tersebut. Secara berangsur-angsur, devosi 40 jam ini tersebar ke seluruh dunia. Kebiasaan penyembahan ini telah ada sejak abad ke-4, umumnya dilakukan
delapan hari setelah Baptisan. Jadi telah lama sebelum ditentukannya perayaan Sakramen
6
Corpus Christi, kebiasaan menyembah sakramen Mahakudus telah dilakukan baik oleh para religius maupun awam. Walaupun sudah sejak lama tradisi penyembahan Sakramen Mahakudus ini dikenal, namun dapat dikatakan bahwa baru sejak Konsili Trente, penyembahan abadi ini berkembang mendunia. Para reformer Protestan di Inggris yang di abad ke-16 menentang kehadiran Kristus dalam Ekaristi, tiga abad kemudian kembali menyakini kehadiran Kristus dalam Ekaristi, sebagaimana dipelopori oleh the Anglican Sisterhood of St. Margaret (1854). Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus sesering mungkin dianjurkan dalam Kitab Hukum Kanonik. KHK 1917 mengajarkan agar umat setia mengunjungi Sakramen Mahakudus sesering mungkin (Kan. 1273). KHK 1983, secara lebih jelas lagi menyatakan, “Kecuali ada alasan yang berat, gereja yang di dalamnya Sakramen Mahakudus tersimpan, harus dibuka kepada umat beriman selama beberapa jam setiap hari, supaya mereka dapat berdoa di dapan sakramen Mahakudus (Kan. 937). Anggota dari lembaga-lembaga religius setiap hari harus “menyembah Tuhan sendiri yang hadir dalam Sakramen Mahakudus” (Kan. 663,2). Kongres Ekaristi Pernyataan secara publik tentang iman akan Kehadiran Kristus yang nyata dalam Sakramen Ekaristi dalam kongres Ekaristi, telah dilakukan di Abad Pertengahan. Tetapi kongres internasional pertama tentang Ekaristi dilakukan di tahun 1881, atas prakarsa Marie-Marthe Tamisier seorang awam wanita yang mempunyai devosi kepada Sakramen Mahakudus sejak masa kanak-kanak. Di tahun 1886, di kongres ke-5 yang diadakan di Toulous, 1500 uskup dan imam dan 30,000 awam turut berpartisipasi dalam kongres tersebut. Sampai sekarang kongres Ekaristi telah dilaksanakan di seluruh benua. Paus Yohanes Paulus II menghadiri kongres tersebut di tahun 1980, dan menyatakan peran utama kongres tersebut bagi seluruh umat.5
5
Dikutip dari http://www.katolisitas.org/13443/sejarah-adorasi-sakramen-mahakudus/ diakses pada 12 Mei 2015.
Sakramen
7
B. ARTI SAKRAMEN DALAM GEREJA Sakramen (sacrament), dengan kata sifat sakramental ( sacramental), dalam konteks tertentu dianggap sebagai suatu ritus agama Kristen yang mana merupakan perantara (penyalur) rahmat dari Allah. Kata “sakramen” berasal dari Bahasa Latin sacramentum yang akar katanya sacr, sacer, sacrare.6 Kata sacrare berarti menyucikan, menguduskan, atau mengkhususkan sesuatu atau seseorang bagi bidang yang suci atau kudus, yang secara umum berarti "menjadikan suci". Salah satu contoh penggunaan kata sacramentum adalah sebagai sebutan uang muka yang dibayar
dua
belah
pihak
yang
mengadakan
perkara
di
pengadilan;
sacrementuentum, merupakan jaminan bahwa pihak yang kalah sudah membayar kepada pengadilan semua ongkos perkara. Uang tersebut tidak akan dikembalikan. Pengertian lain juga sebutan untuk sumpah bakti yang diikrarkan para prajurit Romawi; istilah ini kemudian digunakan oleh Gereja dalam pengertian harfiahnya dan bukan dalam pengertian sumpah tadi.7 Selaras dengan dalamnya makna yang dikandungnya, Gereja-Gereja Timur biasa menyebut Sakramen dengan sebutan "Misteri" atau "Misteri Suci". Dalam masyarakat Romawi kuno, sacramentum digunakan dalam dua pengertian yakni: untuk menunjuk sumpah prajurit dan menunjuk pada uang jaminan atau denda. Orang Kristen pada abad kedua, menerjemahkan kata Yunani
mustήrion (musterion = misteri) dari kata muw (muo = menutup mulut dan mata). Pengertian misteri ini mengacu pada dua ciri pokok yakni: menunjuk pada tegangan dinamik antara Yang Ilahi dan yang manusiawi dan menunjuk pada sejarah penyelamatan Allah dalam diri Yesus Kristus. Pada abad kedua hingga abad keempat, pengertian mysterion-sacramentum masih melanjutkan gagasan makna mysterion biblis yang memuat dua ciri pokok tadi. Namun, pada abad kedua hingga abad ketiga, penggunaan mysterion dan sacramentum masih cukup rancu dan tidak seragam.
6
Joseph Pohle & Arthur Preuss. The Sacraments: A Dogmatic Treatise. (St.Louis: B.Herder Book Co,957). Hal. 5; E.Martasudjita. Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. 2007. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 61. 7 Strong. Systematic Theology. 1954. Philadelphia, PA: Judson Press. Hal. 930.
Sakramen
8
Di satu pihak, istilah mysterion dan sacramentum sering masih digunakan secara luas sebagaimana dimengerti dalam Kitab Suci. Di lain pihak, istilah mysterion dan sacramentum mulai dipakai untuk pengertian sakral atau suci, yakni upacara-upacara suci.8 Pada Abad-abad Pertengahan dan zaman Reformasi hingga awal abad keduapuluh, konsepsi sakramen mengalami penyempitan. Pada awal Abad-abad Pertengahan, ajaran sakramen di Barat masih dikuasai teologi Augustinus. Namun, sejak pertengahan abad keduabelas, karena pengaruh sistematisasi Skolastik yang dipengaruhi filsafat Aristoteles, pengertian sakramen sudah memfokuskan diri pada defenisi sakramen, jumlah sakramen, penetapan sakramen oleh Yesus dan daya guna sakramen.9 Misalnya Thomas Aquinas berpendapat bahwa secara pokok, sakramen berarti ritus atau upacara Gereja yang ditetapkan Yesus sendiri dan berjumlah tujuh buah dan berdaya guna secara ex opere operato.10 Pada pertengahan abad keduabelas, sakramen merupakan tanda yang mengerjakan apa yang ditandakan itu (sacramentum est signum quod efficit quod significant). Mulai saat itulah istilah “sakramen” bukan lagi dipahami sebagai dinamik misteri karya keselamatan Allah yang terwujud dalam Kristus, namun sebagai ritus atau upacara liturgi. Sakramen merupakan tanda pertemuan antar pribadi antara Allah dan manusia. Pertemuan ini dibahasakan baik lewat kata-kata, maupun lewat bahan-bahan atau materi.11 Sakramen adalah upacara atau ritus dalam agama Kristen yang menjadi mediasi, dalam arti menjadi simbol yang terlihat atau manifestasi dari Rahmat Tuhan yang tak tampak. Gereja mempunyai pendapat yang berbeda mengenai
8
Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. 2003. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 332; E.Martasudjita. Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. 2007. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 61-64. Penggunaan kata mysterion dan sacramentum untuk pengertian upacara suci ini dipengaruhi oleh kebudayaan kafir, khususnya dalam agama-agama misteri. 9 E.Martasudjita. Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. 2007. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 66. 10 Ex opere operato berarti kemujaraban dari sakramen itu dipahami tidak bergantung pada kualitas pribadi dari imam, tetapi pada kualitas yang melekat di dalam sakramen itu sendiri. Berbeda dengan ex opere operantis (secara harfiah berarti ‘melalui karya dari orang yang bekerja). Dalam hal ini kemujaraban sakramen itu dipahami bergantung pada moral pribadi dan kualitas rohani dari imam itu (Lih. Alister E.McGrath. Sejarah Pemikiran Reformasi. 2002. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal.215). 11 Niko Hayon. Ekaristi Perayaan Keselamatan Dalam Bentuk Tanda. 1986. Flores: Nusa Indah. Hal. 59.
Sakramen
9
jumlah dan pelaksanaan sakramen tersebut, namun mereka umumnya yakin bahwa kegiatan ini dimulai oleh Yesus. Sebuah sakramen biasanya dilakukan oleh seorang pastor atau pendeta kepada sang penerima, dan umumnya dipercayai melibatkan hal-hal yang tampak maupun yang tak tampak. Komponen yang tak tampak diyakini adalah rahmat Tuhan yang sedang bekerja di dalam para peserta sakramen, sementara komponen yang tampak melibatkan penggunaan air, anggur atau minyak yang sudah diberkati. Meskipun tidak semua orang dapat menerima semua sakramen, sakramensakramen secara keseluruhan dipandang sebagai sarana penting bagi keselamatan umat beriman, yang menganugerahkan rahmat tertentu dari tiap sakramen tersebut, misalnya dipersatukan dengan Kristud dan Gereja, pengampunan dosa-dosa, atau pun pengkhususan (konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu. Sakramen adalah bentuk upacara suci yang wajib dilakukan penganut Kristiani sepanjang hidup mereka. Gereja Katolik mengakui ada 7 sakramen, yaitu Baptis (masuk agama Kristen), Krisma (diberikan saat menginjak remaja), Ekaristi (yang biasa dilakukan umat Katolik di gereja tiap hari Minggu), Imamat (pentahbisan menjadi pastur), Pernikahan, Pengakuan Dosa, dan Pengurapan Orang Sakit (diberikan saat sakit parah dan hampir meninggal). Namun dalam gereja Protestan, hanya diakui dua sakramen, yaitu Baptis dan Ekaristi. Sakramen Ekaristi dalam ajaran Protestan juga tidak dilakukan setiap hari Minggu, namun hanya pada perayaan hari-hari besar saja.12 1. Katholik Dalam tradisi Kekristenan Barat, sakramen diartikan sebagai tanda yang terlihat, yakni kulit luar yang membungkus isinya, yaitu rahmat rohaniah. Katholik mempercayai tujuh sakramen. Ketujuh sakramen adalah sebagai berikut:
Pembaptisan (Permandian)
Ekaristi (Komuni Suci)
Penguatan (Krisma)
12
Dikutip dari http://mengakubackpacker.blogspot.com/201210/perbedaan-katolik-dan-kristenprotestan.html/ diakses pada 12 Mei 2015.
Sakramen
10
Pernikahan (Perkawinan)
Imamat (Pentahbisan)
Rekonsiliasi (Pengakuan Dosa, Sakramen Tobat)
Pengurapan orang sakit (Sakramen Minyak Suci)
a. Pembaptisan (Permandian) Baptisan (bahasa Yunani : Baptizo), berarti dimandikan, dibersihkan, atau diselamkan, mati dan bangkit di dalam Kristus. Melambangkan bahwa manusia mati terhadap dosa bersama dengan Kristus, dan dibangkitkan untuk suatu hidup baru. Karena manusia dilahirkan kembali oleh air dan Roh Kudus, dan hidup baru tersebut menunjukkan kita dibersihkan dari dosa. Cara Baptisan : Pertama : Menyiramkan, baptisan ini dilakukan dengan menyiramkan air ke kepala yang menerima baptisan dengan satu keyakinan, bahwa air itu bukanlah air biasa, melainkan air yang berisikan Firman dan Titah Allah yang telah dikuduskan. Bukan karena air itu si penerima baptisan mendapat Keselamatan dari keampunan dosa, melainkan Firman Tuhan itu, maka baptisan itu menyelamatkan. Kedua : Memercikkan, baptisan ini dilakukan dengan memercikkan berulang kali ke atas kepala yang menerima baptisan. Baptisan seperti ini biasanya dilakukan dalam gereja Katolik dan gereja Ortodok Ketiga : Menyelamkan, biasanya orang yang dibaptis diselamkan di dalam kolam air, di sugai dan sejenisnya secara langsung, ini mengikuti baptisan tradisi Yahudi yang dilakukan Yohanes dan Petrus di sugai dan umumnya dilakukan oleh Pentakosta dan Kharismatik. Dalam keadaan darurat, siapapun yang berniat untuk melakukan apa yang dilakukan Gereja, bahkan jika orang itu bukanlah seorang Kristiani, dapat membaptis. Pembaptisan membebaskan penerimanya dari dosa asal serta semua dosa pribadi dan dari hukuman akibat dosa-dosa tersebut, dan membuat orang yang dibaptis itu mengambil bagian dalam kehidupan Tritunggal Allah melalui "rahmat yang menguduskan" (rahmat pembenaran yang mempersatukan pribadi yang bersangkutan dengan Kristus dan Gereja-Nya). Pembaptisan juga membuat penerimanya mengambil bagian dalam imamat Kristus dan merupakan landasan Sakramen
11
komuni (persekutuan) antar semua orang Kristen. Pembaptisan menganugerahkan kebajikan-kebajikan "teologis" (iman, harapan dan kasih) dan karunia-karunia Roh Kudus. Sakramen ini menandai penerimanya dengan suatu meterai rohani yang berarti orang tersebut secara permanen telah menjadi milik Kristus. Baptisan Kudus diperintahkan oleh Yesus sendiri yang dikatakan dalam Matius 29 : 19-20, "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadaMu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." Demikian juga perintah Tuhan Yesus dalam Markus 16 : 16 "Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum." Inilah yang menjadi dasar baptisan, bukan imansi anak yang dibaptis, melainkan ajaran tentang perjanjian Allah yang diberi kepada setiap manusia. Baptisan adalah juga merupakan janji-janji Allah sebagai tanda yang diberitakan di dalam Injil. Pengertian nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus berarti bahwa orang itu diselangkan dalam karya penyelamatan Bapa, Anak, dan roh Kudus. Maka hidupnya bukan lagi dikuasai oleh keinginannya sendiri, tetapi dikuasai oleh kehendak Allah. Oleh karena itu, jelaslah bahwa baptisan kudus adalah tanda atau gambaran yang menunjuk kepada pengampunan dosa dan hidup yang kekal sedangkan sakramen sebagai materai atau cap berfungsi untuk menguatkan atau mengokohkan kepercayaan kepada janji Allah atau untuk memateraikan atau menandai janji Allah dalam Injil bahwa korban Kristus mempersatukan kita dalam kematian, kebangkitan, kenaikan Yesus ke sorga yang dikaruniai sebagai pengampunan dosa & hidup yang kekal. b. Ekaristi (Komuni Suci) "Dan ketika Yesus dan murid-murid-Nya sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat dan memecah-mecahakannya kepada mereka dan berkata, "Ambillah, inilah tubuhKu," sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka semua dan mereka semua minum dari cawan itu. Dan berkata kpd mereka, "Inilah darahKu, darah perjanjian yang ditumpahkan Sakramen
12
bagi banyak orang." Berdasarkan perkataan-perkataan inilah maka beberapa kali dalam setahun jemaat Protestan mengadakan kebaktian khusus untuk merayakan Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus adalah Perjamuan yang tergolong kepada Perjanjian yang diadakan Allah dengan umat-Nya di bukit Golgota (Perjanjian yang Baru), dimana anak domba Paskah telah dikorbankan satu kali untuk selama-lamanya (I Kor. 5:17). Bila pada perayaan Perjamuan Kudus kita menerima roti dan anggur, maka dengan “Firman yang kelihatan” ini ditegaskan dan diberi jaminan kepada kita bahwa kita boleh ambil bagian dalam keselamatan yang dikerjakan Kristus bagi manusia. Sebab, dengan menerima tanda-tanda roti dan anggur itu kita dijadikan satu dengan Kristus di dalam kematian-Nya. Perjamuan Kudus adalah tanda yang ditetapkan Tuhan untuk mengingatkan semua orang yang percaya kepada-Nya kepada sengsara dan pengorbanan-Nya untuk menebus dosa kita dan menyediakan kehidupan kekal bagi kita. Dengan menerima tanda itu kita boleh yakin bahwa sekarang pun kita telah menerima keselamatan itu, dan itu sepenuhnya akan kita nikmati ketika kita bersama dengan Dia merayakan Perjamuan Agung bersama Dia di kerajaanNya yang kekal, setelah Ia datang kembali membarui dunia ini. Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan bertindak selaku pribadi Kristus sendiri. Imam biasanya adalah pelayan Komuni Suci, umat awam dapat diberi wewenang dalam lingkup terbatas sebagai pelayan luar biasa Komuni Suci. Ekaristi dipandang sebagai "sumber dan puncak" kehidupan Kristiani, tindakan pengudusan yang paling istimewa oleh Allah terhadap umat beriman dan tindakan penyembahan yang paling istimewa oleh umat beriman terhadap Allah, serta sebagai suatu titik dimana umat beriman terhubung dengan liturgi di surga. Betapa pentingnya sakramen ini sehingga partisipasi dalam perayaan Ekaristi (Misa) dipandang sebagai kewajiban pada setiap hari Minggu dan hari raya khusus, serta dianjurkan untuk hari-hari lainnya. Dianjurkan pula bagi umat yang berpartisipasi dalam Misa untuk, dalam kondisi rohani yang layak, menerima Komuni Suci. Menerima Komuni Suci dipandang sebagai kewajiban sekurang-kurangnya setahun sekali selama masa Paskah. Sakramen
13
Makna Roti dan Anggur di Perjamuan Kudus 1. Roti melambangkan Tubuh Kristus, ingatan dan memperingati tubuh Yesus yang disalibkan. Makan tubuh Kristus dalam arti dipersatukan dengan Dia, dengan menerima apa yang dilakukan-Nya bagi manusia, (Yoh 6:48-58). Makan roti mengingatkan bahwa Yesus menjadi manusia supaya tubuh manusiawi itu disalibkan. Ia menderita dan mati serta bangkit, untuk menciptakan Tubuh baru, yaitu jemaat-Nya. 2. Anggur melambangkan darah Kristus yang ditumpahkan untuk menyucikan dosa-dosa manusia. Darah ditumpahkan pada/dari tubuh Yesus yang terpaku di kayu salib untuk pengampunan atau penghapusan dosa seluruh manusia. Darah yang adalah hidup, ditumpahkan agar memberi hidup kekal bagi manusia. Minum anggur dari cawan pada Perjamuan Kudus, mengingatkan bahwa Yesus sendiri telah minum cawan murka Tuhan Allah yang seharusnya diterima manusia. Sikap pada Perjamuan Kudus :
Berusaha untuk hadir, karena Tuhan Yesus sendirilah yang mengundang untuk datang pada meja perjamuan
Mempersiapkan diri untuk hadir. Menyelidiki dan mengaku dosa, berdamai dengan sesama manusia, serta mohon pengampunan dari Tuhan Allah. Kita datang ke hadapan Tuhan Allah sebagai orang yang berdosa yang sudah ditebus oleh Kristus
Dengan makan dan minum pada meja Perjamuan Kudus, ini berarti ada suatu penyerahan diri kepada Tuhan Allah. Karena Yesus telah menyerahkan Diri-Nya sebagai ganti manusia, maka setiap menghadiri Perjamuan Kudus menunjukkan bahwa seseorang mau menjadi persembahan yang hidup dan berkenan kepada Tuhan Allah, Roma 12:1-2 Perintah mengenai perjamuan kudus itu terdapat dalam Matius 26 : 26-29 ;
Markus 19 : 22-25 ; Lukas 22 : 15-20 ; 1 Korintus 11 : 23-25. c. Penguatan (Krisma) Penguatan atau Krisma adalah sakramen ketiga dalam inisiasi Kristiani. Sakramen ini diberikan dengan cara mengurapi penerimanya dengan Krisma, Sakramen
14
minyak yang telah dicampur sejenis balsam, yang memberinya aroma khas, disertai doa khusus yang menunjukkan bahwa, baik dalam variasi Barat maupun Timurnya, karunia Roh Kudus menandai si penerima seperti sebuah meterai. Melalui sakramen ini, rahmat yang diberikan dalam pembaptisan "diperkuat dan diperdalam"13. Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam keadaan layak (artinya bebas dari dosa apapun yang diketahui dan yang belum diakui) agar dapat menerima efek sakramen tersebut. Pelayan sakramen ini adalah seorang uskup yang ditahbiskan secara sah; jika seorang imam (presbiter) melayankan sakramen ini hubungan dengan jenjang imamat di atasnya ditunjukkan oleh minyak (dikenal dengan nama krisma atau myron) yang telah diberkati oleh uskup dalam perayaan Kamis Putih atau pada hari yang dekat dengan hari itu. Di Timur sakramen ini dilayankan segera sesudah pembaptisan. Di Barat, di mana administrasi biasanya dikhususkan bagi orang-orang yang sudah dapat memahami arti pentingnya, sakramen ini ditunda sampai si penerima mencapai usia awal kedewasaan; biasanya setelah yang bersangkutan diperbolehkan menerima sakramen Ekaristi. Kian lama kian dipulihkan urut-urutan tradisional sakramensakramen inisiasi ini, yakni diawali dengan pembaptisan, kemudian penguatan, barulah Ekaristi. d. Pernikahan (Perkawinan) Pernikahan atau Perkawinan, adalah suatu sakramen yang mengkonsekrasi penerimanya guna suatu misi khusus dalam pembangunan Gereja, serta menganugerahkan rahmat demi perampungan misi tersebut. Sakramen ini, yang dipandang sebagai suatu tanda cinta-kasih yang menyatukan Kristus dengan Gereja, menetapkan di antara kedua pasangan suatu ikatan yang bersifat permanen dan eksklusif, yang dimeteraikan oleh Allah. Dengan demikian, suatu pernikahan antara seorang pria yang sudah dibaptis dan seorang wanita yang sudah dibaptis, yang dimasuki secara sah dan telah disempurnakan dengan persetubuhan, tidak dapat diceraikan sebab di dalam kitab suci tertulis Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah 13
Joseph Martos. Doors to the Sacred: A Historical Introduction to Sacraments in the Catholic Church. Revised Ed. 2001. Liguori, MO: Liguori Publications.
Sakramen
15
menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: ”Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina." (Markus 10 : 1–12). Sakramen ini menganugerahkan kepada pasangan yang bersangkutan rahmat yang mereka perlukan untuk mencapai kekudusan dalam kehidupan perkawinan mereka serta untuk menghasilkan dan mengasuh anak-anak mereka dengan penuh tanggung jawab. Sakramen ini dirayakan secara terbuka di hadapan imam (atau saksi lain yang ditunjuk oleh Gereja) serta saksi-saksi lainnya, meskipun dalam tradisi teologis Gereja Latin yang melayankan sakramen ini adalah kedua pasangan yang bersangkutan. Demi kesahan suatu pernikahan, seorang pria dan seorang wanita harus mengutarakan niat dan persetujuan-bebas (persetujuan tanpa paksaan) masingmasing untuk saling memberi diri seutuhnya, tanpa memperkecualikan apapun dari hak-milik esensial dan maksud-maksud perkawinan. Jika salah satu dari keduanya adalah seorang Kristen non-Katolik, maka pernikahan mereka hanya dinyatakan sah jika telah memperoleh izin dari pihak berwenang terkait dalam Gereja Katolik. Jika salah satu dari keduanya adalah seorang non-Kristen (dalam arti belum dibaptis), maka diperlukan izin dari pihak berwenang terkait demi sahnya pernikahan. e. Imamat (Pentahbisan) Imamat atau Pentahbisan adalah sakramen yang dengannya seseorang dijadikan uskup, imam, atau diakon, sehingga penerima sakramen ini dibaktikan sebagai citra Kristus. Hanya uskup yang boleh melayankan sakramen ini. Pentahbisan seseorang menjadi uskup menganugerahkan kegenapan sakramen Imamat baginya, menjadikannya anggota badan penerus (pengganti) para Sakramen
16
rasul, dan memberi dia misi untuk mengajar, menguduskan, dan menuntun, disertai kepedulian dari semua Gereja. Pentahbisan seseorang menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Kepala Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup yang bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi. Pentahbisan seseorang menjadi diakon mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Hamba semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang bersangkutan, khususnya pada kegiatan Gereja dalam mengamalkan cintakasih Kristiani terhadap kaum papa dan dalam memberitakan firman Allah. Orang-orang yang berkeinginan menjadi imam dituntut oleh Hukum Kanonik (Kanon 1032 dalam Kitab Hukum Kanonik) untuk menjalani suatu program seminari yang selain berisi studi filsafat dan teologi sampai lulus, juga mencakup suatu program formasi yang meliputi pengarahan rohani, berbagai retreat, pengalaman apostolat (semacam Kuliah Kerja Nyata), dst. Proses pendidikan sebagai persiapan untuk pentahbisan sebagai diakon permanen diatur oleh Konferensi Wali Gereja terkait. f. Rekonsiliasi (Pengakuan Dosa, Sakramen Tobat) Sakramen rekonsiliasi adalah yang pertama dari kedua sakramen penyembuhan, dan juga disebut Sakramen Pengakuan Dosa, Sakramen Tobat, dan Sakramen Pengampunan14. Sakramen ini adalah sakramen penyembuhan rohani dari seseorang yang telah dibaptis yang terjauhkan dari Allah karena telah berbuat dosa. Sakramen ini memiliki empat unsur: penyesalan si peniten (si pengaku dosa) atas dosanya (tanpa hal ini ritus rekonsiliasi akan sia-sia), pengakuan kepada seorang imam (boleh saja secara spirutual akan bermanfaat bagi seseorang untuk mengaku dosa kepada yang lain, akan tetapi hanya imam yang memiliki kuasa untuk melayankan sakramen ini), absolusi (pengampunan) oleh imam, dan penyilihan.
14
David Noel Power. Sacrament: The Language of God's Giving. 1999. New York: Herder & Herder.
Sakramen
17
"Banyak dosa yang merugikan sesama. Seseorang harus melakukan melakukan apa yang mungkin dilakukannya guna memperbaiki kerusakan yang telah terjadi (misalnya, mengembalikan barang yang telah dicuri, memulihkan nama baik seseorang yang telah difitnah, memberi ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan). Keadilan yang sederhana pun menuntut yang sama. Akan tetapi dosa juga merusak dan melemahkan si pendosa sendiri, serta hubungannya dengan Allah dan sesama. Si pendosa yang bangkit dari dosa tetap harus memulihkan sepenuhnya kesehatan rohaninya dengan melakukan lagi sesuatu untuk memperbaiki kesalahannya: dia harus 'melakukan silih bagi' atau 'memperbaiki kerusakan akibat' dosa-dosanya. Penyilihan ini juga disebut 'penitensi'" (KGK 1459). Pada awal abad-abad Kekristenan, unsur penyilihan ini sangat berat dan umumnya mendahului absolusi, namun sekarang ini biasanya melibatkan suatu tugas sederhana yang harus dilaksanakan oleh si peniten, untuk melakukan beberapa perbaikan dan sebagai suatu sarana pengobatan untuk menghadapi pencobaan selanjutnya. Imam yang bersangkutan terikat oleh "meterai pengakuan dosa", yang tak boleh dirusak. "Oleh karena itu, benar-benar salah bila seorang konfesor (pendengar pengakuan) dengan cara apapun mengkhianati peniten, untuk alasan apapun, baik dengan perkataan maupun dengan jalan lain" (kanon 983 dalam Hukum Kanonik). Seorang konfesor yang secara langsung merusak meterai sakramental tersebut otomatis dikenai ekskomunikasi (hukuman pengucilan) yang hanya dapat dicabut oleh Tahta Suci (kanon 1388). g. Pengurapan Orang Sakit Pengurapan Orang Sakit adalah sakramen penyembuhan yang kedua. Dalam sakramen ini seorang imam mengurapi si sakit dengan minyak yang khusus diberkati untuk upacara ini. "Pengurapan orang sakit dapat dilayankan bagi setiap umat beriman yang, karena telah mencapai penggunaan akal budi, mulai berada dalam bahaya yang disebabkan sakit atau usia lanjut" (kanon 1004; KGK 1514). Baru menderita sakit ataupun makin memburuknya kondisi kesehatan membuat sakramen ini dapat diterima berkali-kali oleh seseorang.
Sakramen
18
Dalam tradisi Gereja Barat, sakramen ini diberikan hanya bagi orang-orang yang berada dalam sakratul maut, sehingga dikenal pula sebagai "Pengurapan Terakhir", yang dilayankan sebagai salah satu dari "Ritus-Ritus Terakhir". "RitusRitus Terakhir" yang lain adalah pengakuan dosa (jika orang yang sekarat tersebut secara fisik tidak memungkinkan untuk mengakui dosanya, maka minimal diberikan absolusi, yang tergantung pada ada atau tidaknya penyesalan si sakit atas dosa-dosanya), dan Ekaristi, yang bilamana dilayankan kepada orang yang sekarat dikenal dengan sebutan "Viaticum", sebuah kata yang arti aslinya dalam bahasa Latin adalah "bekal perjalanan". 2. Kristen Bagi Gereja Protestan, kata "menjadi perantara" atau "menyalurkan" digunakan hanya dengan pemahaman bahwa sakramen adalah suatu simbol atau peringatan yang terlihat dari rahmat yang tak terlihat. Gereja-Gereja Pentakosta klasik, kaum Injili, Nazarin dan Fundamentalis, menganut suatu bentuk imamat yang unik. Karena alasan ini, kebanyakan denominasi lebih suka menggunakan istilah “Fungsi Imamat” atau “Ordinansi”. Keyakinan ini menjadikan ordinansi efektif dalam hal ketaatan dan partisipasi orang-orang percaya serta kesaksian pimpinan dan anggota jemaat. Cara pandang ini bersumber dari pengembangan konsep "imamat setiap orang percaya". Kegiatan ordinansi lebih ditekankan peran imamat dari pada peran sakramentalnya sehingga ordinansi lebih dipandang sebagai suatu tindakan pengorbanan yang dipersembahkan oleh orang-orang percaya dari pribadinya masing-masing, dari pada sebagai suatu ritual yang mengandung kuasa sendiri.15 Beberapa denominasi Kristen Protestan, termasuk Anglikan dan Kaum Katolik-Lama (bukan Gereja Katolik), tidak sepaham dalam hal jumlah dan pelaksanaan sakramen, namun umumnya sakramen-sakramen diyakini telah dilembagakan oleh Yesus. Kebanyakan hanya mengakui beberapa sakramen saja dari 7 sakramen yang diakui oleh Gereja Katolik dan Ortodoks. Pembaptisan dan 15
Dikutip dari https://www.academia.edu/8164320/PERBEDAAN_ANTARA_AJARAN_ GEREJA_KATOLIK_ROMA_DAN_REFORMATOR_ISTIMEWA_LUTHER_TENTANG_SAK RAMEN/ diakses pada 12 Mei 2015.
Sakramen
19
Ekaristi dipandang sebagai dua sakramen ketuhanan yang berdasar pada Kitab Injil dan Perjanjian Baru, merupakan "sakramen-sakramen yang diperintahkan, yang mendasar, dan yang utama, yang dianugerahkan bagi keselamatan manusia," serta menganggap kelima ritus sakramental lainnya sebagai "sakramen rendah" yang merupakan turunan dari kedua sakramen utama tadi —yang adalah misteri-misteri “injili” atau “dominikal”. Beberapa golongan (khususnya Anabaptis dan kelompok-kelompok Persaudaraan) mengakui upacara pembasuhan kaki sebagai sakramen (lihat Injil Yohanes 13:14), dan beberapa golongan lainnya (misalnya Polish National Catholic Church of America) ingin agar mendengarkan Pembacaan Injil dianggap sebagai suatu sakramen pula. Jumlah, nama dan makna sakramen-sakramen serta penambahan sakramen-sakramen baru berbeda-beda antara satu denominasi dengan denominasi lainnya. Gereja Bala Keselamatan tidak mempraktekkan sakramen-sakramen formal dengan berbagai macam alasan, termasuk adanya keyakinan bahwa lebih baik bila berkonsentrasi pada realitas di balik simbol-simbol; meskipun demikian, Gereja ini tidak melarang warganya untuk menerima sakramen-sakramen di denominasidenominasi lain.16 Para Reformator tidak sepenuhnya menerima ketujuh sakramen yang dipahami dan diimani oleh Katolik.17 Menurut para Reformator, sakramen hanya ada dua sakramen yang ditetapkan Allah dalam Alkitab yakni : Sakramen Baptisan dan Sakramen Perjamuan Kudus.18 Sakramen adalah tanda dan materi yang kudus serta kasatmata, yang telah ditetapkan oleh Allah. Melalui penerimaan sakramen, diterangkan-Nya dan dimeteraikan-Nya kepada kita secara lebih jelas lagi janji 16
Ibid,. Misalnya, Luther semula mengakui tiga dari ketujuh sakramen itu yakni: Baptisan, Perjamuan Kudus dan Tobat, namun di kemudian hari, Luther hanya mengakui dua saja yakni: Baptisan dan Perjamuan Kudus. 18 Dale Appleby. Memperkenalkan Gereja Anglikan. 2005. Jakarta: All Saints Anglican Church. Hal. 51. Gereja Anglikan juga mengakui hanya ada dua sakramen, yaitu: Pembaptisan dan Perjamuan Tuhan. Sakramen yang diangkat Kristus bukan saja merupakan lencana atau tanda yang menyatakan bahwa seseorang beragama Kristen. Sakramen ini juga merupakan saksi yang dapat dipercaya akan kehendak baik Allah kepada kita, dan tanda yang membawa kasih karunia-Nya kepada kita. Allah bekerja secara tidak kelihatan dalam kita melalui sakramen, tidak saja untuk menghidupkan iman kita, tetapi juga memperkuat iman kita kepada-Nya. 17
Sakramen
20
Injil, yaitu bahwa Dia menganugerahkan kepada kita pengampunan semua dosa dan hidup yang kekal, hanya berdasarkan rahmat, karena kurban Kristus yang satusatunya, yang telah terjadi di kayu salib (Roma 4:11).19 Yang paling utama, sakramen adalah suatu perbuatan atau pekerjaan Allah. Tuhanlah yang melakukan sakramen, bukan manusia. Tuhan menghampiri manusia, bukan sebaliknya. Dahlenburg mengatakan, “Kita harus membedakan antara sakramen (sacrament) dan kurban (sacrifice). Sakramen adalah dari Tuhan kepada manusia sedangkan kurban adalah dari manusia kepada Allah”.20
C. VALIDITAS DAN KEABSAHAN PELAYANAN SAKRAMEN Sebagaimana dijelaskan di atas, efek dari sakramen-sakramen timbul ex opere operato (oleh kenyataan bahwa sakramen-sakramen tersebut dilayankan). Karena Kristus sendiri yang bekerja melalui sakramen-sakramen, maka efektivitas sakramen-sakramen tidak tergantung pada kelayakan si pelayan. Meskipun demikian, sebuah pelayanan sakramen yang dapat dipersepsi akan invalid, jika orang yang bertindak selaku pelayan tidak memiliki kuasa yang diperlukan untuk itu, misalnya jika seorang diakon merayakan Misa. Sakramensakramen juga invalid jika "materi" atau "formula"nya kurang sesuai dari pada yang seharusnya. Materi adalah benda material yang dapat dipersepsi, seperti air (bukannya anggur) dalam pembaptisan atau roti dari tepung gandum dan anggur dari buah anggur (bukannya kentang dan bir) untuk Ekaristi, atau tindakan yang nampak. Formula adalah pernyataan verbal yang menyertai pemberian materi, seperti (dalam Gereja Barat), "Aku membaptis engkau dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus". Lebih jauh lagi, jika si pelayan positif mengeluarkan beberapa aspek esensial dari sakramen yang dilayankannya, maka sakramen
19
Zakharias Ursinus & Caspar Olevianus. Katekismus Heidelberg: Pengajaran Agama Kristen. 2005. Jakarta: BPK Gunung Mulia. cet.ke-27. Hal. 37. 20 G.D.Dahlenburg. Pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen. 1997. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 19. Pendapat ini tentunya belum tentu menjadi pendapat langsung dari Luther karena pemahaman para Reformator, Tubuh dan Darah Kristus dalam Perjamuan Kudus adalah kurban penghapusan dosa-dosa manusia yang berasal dari Allah. Artinya, kurban tidak selamanya dari manusia kepada Allah, tetapi bisa juga kurban dari Allah kepada manusia itu sendiri.
Sakramen
21
tersebut invalid. Syarat terakhir berada di balik penilaian Tahta Suci pada tahun 1896 yang menyangkal validitas imamat Anglikan. Sebuah sakramen dapat dilayankan secara valid, namun tidak sah, jika suatu syarat yang diharuskan oleh hukum tidak dipenuhi. Kasus-kasus yang ada misalnya pelayanan sakramen oleh seorang imam yang tengah dikenai hukuman ekskomunikasi atau suspensi, dan pentahbisan uskup tanpa mandat dari Sri Paus. Hukum kanonik merinci halangan-halangan (impedimenta) untuk menerima sakramen imamat dan pernikahan. Halangan-halangan sehubungan dengan sakramen imamat hanya menyangkut soal keabsahannya, tetapi "suatu halangan yang bersifat membatalkan dapat menjadikan seseorang tidak berkapasitas untuk secara valid untuk mengikat suatu janji pernikahan" (kanon 1073). Dalam Gereja Latin, hanya Tahta Suci yang secara otentik dapat mengeluarkan pernyataan bilamana hukum ilahi melarang atau membatalkan suatu pernikahan, dan hanya Tahta Suci yang berwenang untuk menetapkan bagi orangorang yang sudah dibaptis halangan-halangan pernikahan (kanon 1075). Adapun masing-masing Gereja Katolik Ritus Timur, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu termasuk berkonsultasi dengan (namun tidak harus memperoleh persetujuan dari) Tahta Suci, dapat menetapkan halangan-halangan (Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur, kanon 792). Jika suatu halangan timbulnya hanya karena persoalan hukum Gerejawi belaka, dan bukannya menyangkut hukum ilahi, maka Gereja dapat memberikan dispensasi dari halangan tersebut. Syarat-syarat bagi validitas pernikahan seperti cukup umur (kanon 1095) serta bebas dari paksaan (kanon 1103), dan syarat-syarat bahwa, normalnya, mengikat janji pernikahan dilakukan di hadapan pejabat Gereja lokal atau imam paroki atau diakon yang mewakili mereka, dan di hadapan dua orang saksi (kanon 1108), tidaklah digolongkan dalam Hukum Kanonik sebagai halangan, tetapi sama saja efeknya. Ada tiga sakramen yang tidak boleh diulangi: Pembaptisan, Penguatan dan Imamat: efeknya bersifat permanen. Ajaran ini telah diekspresikan di Barat dengan citra-citra dari karakter atau tanda, dan di Timur dengan sebuah meterai (KGK 698). Sakramen
22
Akan tetapi, jika ada keraguan mengenai validitas dari pelayanan satu atau lebih sakramen-sakramen tersebut, maka dapat digunakan suatu formula kondisional pemberian sakramen misalnya: "Jika engkau belum dibaptis, aku membaptis engkau …" Para Pelayan Sakramen dalam Gereja Katolik Sakramen Pelayan Biasa Pelayan Luar Biasa Pembaptisan uskup, imam atau diakon; umat awam yang tetapi biasanya dikhususkan didelegasikan oleh uskup, bagi imam paroki setempat atau siapapun dalam keadaan darurat Penguatan uskup, vikaris jendral (vikjen) (dalam Gereja Barat) atau (dalam Gereja Katolik imam yang diberikan Ritus Timur) imam wewenang oleh hukum Gereja atau izin khusus Ekaristi uskup atau imam tidak ada Ekaristi uskup, imam, atau diakon akolit yang diberi (pembagian) – wewenang (jika klerus Komuni Suci tidak mencukupi) umat awam (jika klerus atau akolit tidak mencukupi) Ekaristi uskup, imam, atau diakon pelayan luar biasa Komuni (pengunjukan) Suci atau orang lain yang ditunjuk oleh pejabat gereja lokal Rekonsiliasi uskup atau imam tidak ada Pengurapan orang uskup atau imam tidak ada sakit Imamat Uskup (untuk alasan tidak ada keabsahan, sekurangkurangnya harus ada tiga orang uskup dalam suatu pentahbisan uskup) Pernikahan suami dan istri (tradisi Barat); tidak ada imam yang bertugas (tradisi Timur)
Sakramen
23
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setiap agama memiliki ritus untuk menyucikan diri mereka. Dalam Kristen, ritus tersebut disebut Sakramen.
Terdapat dua pendapat besar dalam pelaksanaan Sakramen. Katholik meyakini sakramen ada tujuh, sedangkan Protestan percaya ada dua.
Efektivitas sakramen-sakramen tidak tergantung pada kelayakan si pelayan.
B. SARAN Indonesia adalah bangsa yang begitu beragam, bahkan mungkin yang paling beragam di dunia. Oleh sebab itu, sepantasnya bagi kita untuk mengerti keberagaman itu. Termasuk ritus keagamaannya. Namun sayangnya, di negara kita, memahami budaya atau agama orang lain belum umum dilakukan, sehingga tugas kita untuk memberi pemahaman kepada yang lain bahwa mempelajari agama orang lain bukan hal yang tabu. Pemahaman tersebut bertujuan untuk meminimalisir kesalahpahaman beragama.
Sakramen
24
DAFTAR PUSTAKA
http://mengakubackpacker.blogspot.com/201210/perbedaan-katolik-dankristen-protestan.html/ diakses pada 12 Mei 2015. http://www.katolisitas.org/13443/sejarah-adorasi-sakramen-mahakudus/ diakses pada 12 Mei 2015. https://www.academia.edu/8164320/PERBEDAAN_ANTARA_AJARAN _GEREJA_KATOLIK_ROMA_DAN_REFORMATOR_ISTIMEWA_LUTHER_ TENTANG_SAKRAMEN/ diakses pada 12 Mei 2015. Alister E.McGrath. Sejarah Pemikiran Reformasi. 2002. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Dale Appleby. Memperkenalkan Gereja Anglikan. 2005. Jakarta: All Saints Anglican Church. David Noel Power. Sacrament: The Language of God's Giving. 1999. New York: Herder & Herder. E.Martasudjita. Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. 2007. Yogyakarta: Kanisius. G.D.Dahlenburg. Pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen. 1997. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Joseph Martos. Doors to the Sacred: A Historical Introduction to Sacraments in the Catholic Church. Revised Ed. 2001. Liguori, MO: Liguori Publications. Joseph Pohle & Arthur Preuss. The Sacraments: A Dogmatic Treatise. (St.Louis: B.Herder Book Co,957). Majelis Sinode GPIB. Bahan Pelajaran Pelayanan Katekisasi Buku I. 1995. Jakarta: Penerbitan GPIB Niko Hayon. Ekaristi Perayaan Keselamatan Dalam Bentuk Tanda. 1986. Flores: Nusa Indah. Strong. Systematic Theology. 1954. Philadelphia, PA: Judson Press. Urban, Linwood. Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. 2003. Jakarta: BPK
Sakramen
25
Gunung Mulia. Hal. 332; E.Martasudjita. Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. 2007. Yogyakarta: Kanisius. Zakharias Ursinus & Caspar Olevianus. Katekismus Heidelberg: Pengajaran Agama Kristen. 2005. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Sakramen
26