BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Ilmu pengetahuan saat ini sudah berekembang sejalan dengan berkembangnya
peradaban manusia, Dengan kemajuan ilmu pengetahuan tersebut manusia
dimudahkan dalam melakukan mobilisasi kehidupan, manusia bisa merasakan
kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi
dan lain sebagainya. Bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan sarana
untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya
Begitu besarnya kontribusi ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia,
sehingga ilmu pengetahuan begitu terbuka dan dikembangkan terus menerus.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ilmu yang berkembang itu membawa
manfaat bagi manusia ataupun tidak ?, dalam makalah ini akan ditinjau
kajian aksiologi nilai kegunaan ilmu dengan lebih menspesialisasikan yaitu
ilmu manajemen pendidikan.
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian aksiologi ?
2. Kajian apa saja yang terdapat dalam aksiologi ?
3. Apa saja teori nilai dan tingkatan nilai ?
4. Apa tujuan dan manfaat ilmu manajemen pendidikan ?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian aksiologi
2. Untuk mengetahui kajian-kajian apa saja dalam aksiologi
3. Untuk mengetahui teori-teori nilai dan tingkatan nilai
4. Untuk mengetahui tujuan dan manfaat mempelajari ilmu manajemen
pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AKSIOLOGI
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang
umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan.[1] Menurut Harold H.
Titus[2] secara etimologis, aksiologi berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari dua kata yaitu axios yang berarti layak atau pantas dan logos
yang berarti ilmu atau studi mengenai. Dari pengertian secara etimologis
tersebut, berikut beberapa makna terminologis aksiologi, yaitu :
1. Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis nilai-
nilai ialah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status
epistemologis dari nilai-nilai itu.
2. Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai-
nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.
3. Aksiologi adalah studi filosofi tentang hakikat-hakikat nilai.[3]
Jujun S. Suriasumantri[4] memiliki pendapat sendiri mengenai aksiologi,
menurutnya, aksiologi adalah nilai kegunaan ilmu. Jika diartikan, menurut
Lorens Bagus[5] nilai berasal dari bahasa Latin Valere yang berarti
berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, atau kuat. Sedangkan menurut K.
Bertens[6] nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang
dicari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan,
singkatnya sesuatu yag baik. K. Bertens juga melanjutkan kutipan tentang
nilai dari Hans Jonas yang mengartikan bahwa nilai adalah the addressee of
a yes, yang artinya sesuatu yang ditujukan dengan 'ya' kita. Dalam artian
sesuatu yang kita iyakan atau kita aminkan. Kemudian nilai juga selalu
mempunya konotasi positif.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa aksiologi
adalah ilmu yang menyelidiki dan menganilisis hakikat nilai kegunaan ilmu,
yang mana aksiologi menitik beratkan pembahasan kepada nilai, dan
pembahasan seputar nilai dari sebuah ilmu. Dari definisi aksiologi di atas,
terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai
yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Dalam Encyclopedia of Philosophy[7] dijelaskan bahwa aksiologi disamakan
dengan value dan valuatin yaitu :
1. Nilai sebagai suatu kata benda abstrak. Dalam pengertian sempit,
berupa sesuatu yang baik, menarik, dan bagus. Adapun dalam pengertian
luas berupa kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
2. Nilai sebagai benda konkret, contohnya ketika kita berkata sebuah
nilai atau nilai-nilai, ia sering kali dipakai untuk merujuk kepada
sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai.
3. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai,
memberi nilai, dan dinilai. Menilai sama dengan evaluasi yang
digunakan untuk menilai perbuatan.
Menurut perspektif Bertens[8], salah satu cara untuk melakukan
pertimbangan tentang nilai yaitu dengan cara membandingkannya dengan fakta.
Berbicara tentang fakta, ini berarti sesuatu yang ada atau yang sedang
berlangsung dan berbicara mengenai nilai, ini berarti sesuatu yang berlaku,
sesuatu yang memikat. Perbandingan antara fakta dan nilai dapat
diilustrasikan dengan contoh kasus gunung meletus, fakta melukiskan
kejadian gunung meletus dengan data-data objektif. Sedangkan nilai
melukiskan kejadian gunung meletus sebagai objek penilaian.
Contoh kesimpulan sederhana yang bisa diambil dari kasus di atas adalah,
bagi wartawan foto yang hadir di tempat letusan gunung itu merupakan
kesempatan emas (nilai) untuk mengabdikan kejadian langka yang jarang bisa
dapat disaksikan. Tim pencinta alam yang datang dari jauh dan berencana
mendaki gunung tersebut, kecewa karena terpaksa membatalkan rencananya
untuk mendaki (nonnilai).
Berdasarkan contoh kasus tersebut kita dapat dengan jelas membedakan
antara fakta dan nilai. Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang,
sedangkan fakta menyangkut ciri-ciri objektif saja. Yang perlu ditekankan
adalah bahwa fakta selalu mendahului nilai.
Berdasarkan contoh kasus di atas mengutip dari K. Bertens[9] maka dapat
dibuat kesimpulan bahwa nilai memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Nilai berkaitan dengan subjek. Kalau tidak ada subjek yang menilai,
maka tidak ada nilai.
2. Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subjek membuat
sesuatu. Dalam pendekatan yang semata-mata teoritis, tidak akan ada
nilai.
3. Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambahkan oleh subjek pada
sifat-sifat yang dimiliki oleh objek.
B. KAJIAN UTAMA AKSIOLOGI
Sidi Gazalba[10] menuturkan bahwa dalam aksiologi dibicarakan tentang
kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia dan juga nilai-nilai yang
harus dilembagakan pada setiap dominannya. Aksiologi pada dasarnya bersifat
ide dan karena itu ia abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indra.
Yang dapat ditangkap dari aspek aksiologis adalah materi atau tingkah laku
yang mengandung nilai. Karena itu nilai bukan soal benar atau salah karena
ia tidak dapat diuji . Ukurannya sangat subjektif dan objek kajiannya
adalah soal apakah suatu nilai dekehendaki atau tidak. Berbeda dengan fakta
yang juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi rasional dapat memaksa
orang untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah dari suatu
fakta dapat dilakukan secara objektif dan empiris.
Menurut Runes dalam Dictionary of Philoshopy[11], masalah utama atau
kajian utama aksiologi berkaitan dengan 4 (empat) faktor penting, yaitu
sebagai berikut :
1. Kodrat nilai mengenai apakah nilai itu berasal dari keinginan
(voluntarisme : Spinoza), kesenangan (hedonisme : Epicurus),
masyarakat (Bentham : Meinong), kepentingan (Perry), prefensi
(martineau), keinginan rasio murni (Kant), pemahaman mengenai kualitas
tersier (Santayana), pengalaman sinoptik kesatuan pribadi
(personalisme : Green), berbagai pengalaman yang mendorong semangat
hidup (Neitzsche), relasi benda-benda sebagai sarana untuk menapai
tujuan dan konsekuensi yang sungguh-sungguh dapat dijangkau
(pragmantisme : Dewain).
2. Jenis-jenis nilai menyangkut perbedaan pandangan antara nilai
instrinsik, ukuran untuk kebijaksanaan nilai itu sendiri, dan nilai
instrumental yang menjadi penyebab (baik barang-barang ekonomis maupun
peristiwa-peristiwa alamiah mengenai nilai-nilai instrinsik).
3. Kriteria nilai, artinya menguji nilai yang dipengaruhi sekaligus oleh
teori psikolog dan logika. Penganut hedonisme menemukan bahwa ukuran
nilai terletak pada sejumlah kenikmatan yang dilakukan oleh seseorang
(Arisippus) atau masyarakat (Bentham). Penganut intuisionis
menonjolkan suatu wawasan yang paling akhir dalam keutamaan. Beberapa
penganut idealis mengakui sistem objek norma-norma rasional atau norma-
norma ideal sebagai kriteria (Plato). Seorang penganut naturaliss
menemukan keunggulan biologis sebagai ukuran standar.
4. Status metafisik. Nilai mempersoalkan tentang bagaimana hubungan
antara nilai dengan fakta-fakta yang diselidiki melalui ilmu-ilmu
kealaman (Koehler), kenyataan terhadap keharusan (Latze), pengalaman
manusia tentang nilai-nilai pada realitas kebebasan manusia (Hegel).
Mengenai status metafisik ada tiga jawaban penting yang diajukan,
yaitu :
a. Subjektivitas menganggap bahwa nilai yang terikat pada pengalaman
manusia, seperti halnya hedonisme, naturalisme, dan posistivisme.
b. Objektivitas logis menganggap bahwa nilai merupakan hakikat atau
subsistensi logis yang bebas dari keberadaannya yang diketahui,
tanpa status eksistensial atau tindakan dalam realitas.
c. Objektivitas metafisika menganggap bahwa nilai atau norma adalah
integral seperti yang dianut oleh Theisme, Absolutisme, dan
Realisme.
Mengenai hal tersebut sejalan dengan pemikiran Amyo dalam Ensiklopedi
Nasional Indonesia[12] bahwa pedoman untuk menguji nilai dipengaruhi
oleh psikologi maupun teori logika. Para hedonis menemukan pedoman
mengenai jumlah atu besarnya kenikmatan yang dirasakan seseorang atau
masyarakat sebagai barometer dari sistem nilai. Kaum Idealis
menjadikan sistem objektif mengenai norma-norma rasional atau yang
paling ideal sebagai kriteria. Dari berbagai corak aliran ini maka
hubungan antara nilai dan fakta dapat diselidiki melalui tiga hal.
Pertama, aliran naturalis potsitivisme yang menyatakan tidak ada
kaitan antara pengalaman manusia dengan sistem nilai. Kedua,
objektifisme logis yang menyatakan bahwa nilai merupakan esensi logis
dan substantif yang tidak ada kaitannya dengan status atau tindakan
eksistensi dalam realitas. Ketiga, aliran objektif metafisis yang
menyatakan nilai adalah norma ideal yang mengandung unsur integral
objektif dan aktif dari kenyataan metafisik.
C. TEORI NILAI DAN TINGKATAN NILAI
Ada beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teori nilai,
menurut Uyoh Sadullah[13] sebagai berikut :
1. Nilai objektif atau subjektif
Nilai itu objektif jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai, sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensi, makna, dan
validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa
mempertimbangkan apakah itu bersifat psikis atau fisik.
2. Nilai absolut atau berubah
Suatu nilai dikatakan absolut atau abadi, apabila nilai yang berlaku
sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku secara abadi
sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras,
maupun kelas sosial. Dipihak lain ada yang mengatakan bahwa semua nilai itu
relatif atau berubah sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.
Menurut Lorens Bagus[14], dalam wacana aksiologi terdapat tiga macam
teori mengenai nilai, dijabarkan sebagai berikut :
1. Teori objektivitas nilai
Teori ini merupakan teori nilai yang menyatakan bahwa nilai-nilai,
seperti kebaikan, kebenaran, keindahan, ada dalam dunia nyata dan
dapat ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau
hubungan nyata, dalam bentuk (rupa) yang sama sebagaimana kita dapat
menemukan objek-objek, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan.
2. Teori subjektivitas nilai
Teori ini memiliki pandangan bahwa nilai-nilai seperti kebaikan,
kebenaran, keindahan, tidak ada dalam dunia real objektif, tetapi
merupakan perasaan-perasaan, sikap-sikap pribadi, dan merupakan
penafsiran atas kenyataan.
3. Teori relativisme nilai
Teori ini memiliki prinsip-prinsip dalam memandang nilai, 1) bahwa
nilai bersifat relatif karena berhubungan dengan preferensi (sikap,
keinginan, ketidaksukaan, perasaa, selera dan sebagainya), baik secara
sosial dan pribadi, yang dikondisikan oleh lingkungan dan kebudayaan,
atau keturunan; 2) bahwa nilai-nilai berbeda (secara radikal dalam
bentuk hal) dari suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya; 3) bahwa
penilaian-penilaian seperti, benar atau salah, baik atau buruk, tepat
atau tidak tepat, tidak tepat diterapkan pada nya; dan 4) bahwa tidak
ada, dan tidak dapat ada nilai-nilai universal, mutlak, dan objektif
manapun yang dapat diterapkan pada semua orang pada segala waktu.
Mengenai tingkatan nilai, terdapat beberapa pandangan yang berkaitan
dengan tingkatan nilai, sebagai berikut :
1. Kaum idealis
Kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai,
dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual
(nilai material).
2. Kaum realis
Kaum realis menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan
atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum
alam dan aturan berfikir logis.
3. Kaum pragmantis
Menurut kaum pragmantis, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang
lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai
instrumental.[15]
Dalam perspektif Max Scheler[16], ada empat gugus nilai atau tingkatan
nilai yang mandiri dan jelas perbedaannya antara yang satu dengan yang
lainnya. Gugus nilai tersebut adalah :
1. Gugus nilai yang pertama dan yang paling rendah adalah segala nilai
dalam dimensi "yang menyenangkan" dan "yang tidak menyenangkan", yang
mana gugus nilai ini dalam arti perasaan badani. Nilai-nilai
didasarkan atas perasaan secara fisik dan menghasilkan perasaan nikmat
dan sakit.
2. Gugus nilai yang kedua, yaitu nilai-nilai disekitar "perasaan vital",
yang berkaitan bukan dengan fungsi-fungsi indrawi tertentu, melainkan
dengan kehidupan dalam keutuhannya. Nilai-nilai tersebut di sekitar
"yang luhur" dan "yang kasar", yang "kuat" dalam arti kesehatan fisik,
dan yang "lemah" dalam arti ringkih, sakitan, dan sebagainya. Di sini
terdapat segala macam perasaan "hidup naik daun" atau "menurun",
perasaan sehat badan atau sakit, kuat atau lemah, dan sebagainya.
3. Gugus nilai yang ketiga, yaitu nilai-nilai rohani yang mana nilai-
nilai rohani tidak lagi bergantung pada dimensi ketubuhan. Nilai
rohani itu sendiri ada tiga macam yaitu :
1) Nilai-nilai estetis, yaitu nilai di sekitar "yang indah" dan "yang
jelek".
2) Nilai-nilai "benar" dan "tidak benar", dalam arti "dapat
dibenarkan" dan "tidak dapat dibenarkan", yaitu nilai-nilai seperti
adil dan tidak adil.
3) Nilai-nilai pengetahuan murni, pengetahuan demi pengetahuan. Dalam
wilayah nilai-nilai rohani termasuk kegembiraan dan kesedihan
rohani, serta kita dirangsang untuk menjawab dengan sikap-sikap
seperti "merasa senang" atau "tidak senang" dengannya, setuju atau
tidak setuju, mengakui dan tidak mengakui, dan sebagainya.
4. Gugus nilai yang keempat dan tertinggi adalah nilai-nilai sekitar
"yang kudus" (das Heilige) dan "yang profan" (das unheilige). Di sini
termasuk "kebahagiaan (religius)" dan "keputusasaan (religius)", sikap-
sikap yang menjawab pertanyaan nilai-nilai yang kudus seperti
"kepercayaan" dan "tidak mau percaya".
D. NILAI KEGUNAAN ILMU MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
Aksiologi merupakan suatu pendidikan yang menguji dan mengitegrasikan
semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain nilai-nilai
tersebut ditanamkan dalam pribadi para pemimpin pendidikan (kepala
sekolah), guru, staf dan anak didik. Sesuai dengan tujuannya, maka manfaat
manajemen pendidikan yaitu:
1. Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang Aktif,
Inovative, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM);
2. Terciptanya peserta didik yang aktif mengembangkan potensinya untuk
memiliki kekuatan spritual keagamaan pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara;
3. Terpenuhinya salah satu dari 4 kompetensi tenaga pendidik dan
kependidikan (tertunjangnya kompetensi profesional sebagai pendidik
dan tenaga kependidikan sebagai manajer);
4. Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien;
5. Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas
administrasi pendidikan (tertunjangnya profesi sebagai manajer
pendidikan atau konsultan manajemen pendidikan); Keenam, teratasinya
masalah mutu pendidikan.[17]
Kemanfaatan teori Manajemen pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu
yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-
baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab.
Oleh karena itu nilai manajemen pendidikan tidak hanya bersifat intrinsik
sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan
ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui
kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang
positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai
mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan
administrasi pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini
relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat
nilai. Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula untuk menjembatani
persoalan yang sedang berlangsung maupun yang akan terjadi.
BAB II
KESIMPULAN
Aksiologi adalah ilmu yang menyelidiki dan menganilisis hakikat nilai
kegunaan ilmu, yang mana aksiologi menitik beratkan pembahasan kepada
nilai, dan pembahasan seputar nilai dari sebuah ilmu. aksiologi disamakan
dengan value dan valuatin yaitu :
1. Nilai sebagai suatu kata benda abstrak. Dalam pengertian sempit,
berupa sesuatu yang baik, menarik, dan bagus. Adapun dalam pengertian
luas berupa kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
2. Nilai sebagai benda konkret, contohnya ketika kita berkata sebuah
nilai atau nilai-nilai, ia sering kali dipakai untuk merujuk kepada
sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai.
3. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai,
memberi nilai, dan dinilai. Menilai sama dengan evaluasi yang
digunakan untuk menilai perbuatan
Dalam aksiologi dibicarakan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia dan juga nilai-nilai yang harus dilembagakan pada setiap
dominannya. Aksiologi pada dasarnya bersifat ide dan karena itu ia abstrak
dan tidak dapat disentuh oleh panca indra. Yang dapat ditangkap dari aspek
aksiologis adalah materi atau tingkah laku yang mengandung nilai. Terdapat
tiga macam teori mengenai nilai, dijabarkan sebagai berikut 1) Teori
objektivitas nilai 2) Teori subjektivitas nilai, dan 3) Teorirelatifisme
nilai
DAFTAR PUSTAKA
Batubara, Khaidar Ali. "Aksiologi Sains." Diakses Oktober 15, 2017.
http://khaidiralibatubara.blogspot.co.id/2015/09/aksiologi-sains.html.
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara WacanaYogya, 2004.
Man, Rahman. "Telaah Manajemen Pendidikan dalam Aspek Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi." Diakses November 3, 2017.
https://plus.google.com/108458248371227284254/posts/W6GzsafbiUk.
Rahmat, Aceng, Conny Setiawan, dan Dkk. Filsafat Ilmu Lanjutan. Diedit oleh
Sabarti Akhadiah dan Winda Dewi Listyasari. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2011.
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta, 2007.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2009.
Suseno, Franz Magnis. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. y: Kanisius, 2000.
Syam, Nina W. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2013.
Zaprulkhan. Filsafat Ilmu : Sebuah Analisis Kontemporer. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2016.
-----------------------
[1]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009). hlm. 319
[2] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara
WacanaYogya, 2004). Hlm. 82
[3]Zaprulkhan, Filsafat Ilmu : Sebuah Analisis Kontemporer (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2016). hlm. 82
[4] Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. hlm. 227
[5] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu : Sebuah Analisis Kontemporer. hlm. 83
[6] Ibid. hlm. 83
[7] Aceng Rahmat, Conny Setiawan, dan Dkk, Filsafat Ilmu Lanjutan, ed.
Sabarti Akhadiah dan Winda Dewi Listyasari (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011). hlm. 155
[8] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu : Sebuah Analisis Kontemporer. hlm. 84
[9] K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002). hlm.
139
[10]Khaidar Ali Batubara, "Aksiologi Sains," diakses Oktober 15, 2017,
http://khaidiralibatubara.blogspot.co.id/2015/09/aksiologi-sains.html.
[11] Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2013). hlm. 153-153
[12] Batubara, "Aksiologi Sains."
[13] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: CV.
Alfabeta, 2007). hlm. 38-39
[14] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu : Sebuah Analisis Kontemporer. hlm. 86
[15]Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan. hlm. 39-40.
[16] Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (y: Kanisius,
2000). hlm. 40-41
[17] Rahman Man, "Telaah Manajemen Pendidikan dalam Aspek Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi," diakses November 3, 2017,
https://plus.google.com/108458248371227284254/posts/W6GzsafbiUk.