A. Pendahuluan
Dengan kemajuan ilmu manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi dan lain sebagainya. Simgkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di Bali 6 tahun yang lalu dan menciptakan senjata kuman yang dipakai sebagai alat untuk mrmbunuh sesama manusia. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yaang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
B. Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. [1]
Sedangkan logos yang berarti ilmu. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika. Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi :
1. Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.[2]
2. Menurut Wibisono dalam Surajiyo (2009), aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.[3]
3. Scheleer dan Langeveld memberikan definisi tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral.
4. Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.
5. Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.[4]
C. Objek Kajian Filsafat Aksiologis
Dalam aksiologis dibicarakan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia dan juga nilai-nilai yang harus dilembagakan pada setiap dominannya. Aksiologi pada dasarnya bersifat ide dan karena itu ia abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indra. Yang dapat ditangkap dari aspek aksiologis adalah materi atau tingkah laku yang mengandung nilai. Karena itu nilai bukan soal benar atau salah karena ia tidak dapat diuji . Ukurannya sangat subjektif dan objek kajiannya adalah soal apakah suatu nilai dekehendaki atau tidak. Berbeda dengan fakta yang juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi rasionaldapat memaksa orang untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah dari suatu fakta dapat dilakukan secara objektif dan empiris.[5]
Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia. Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: "Apa manfaat (untuk apa) ilmu bagi manusia?" (dalam psikologi, lihat juga "The New Science of Axiological Psychology" oleh Leon Pomeory). Dalam konteks ini, dapat ditambahkan pertanyaan: "Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan?". Dalam hal ini, persoalannya bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan. Secara epistemologis, persoalan ini berada di luar batas pengetahuan sains. Menurut Bertens, pertanyaan ini menyangkut etika: "Apakah yang bisa dilakukan berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya boleh dipraktikkan juga?". Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang dijawab oleh ilmu itu sendiri, melainkan harus dijawab oleh manusia di balik ilmu itu. Jawabnya adalah bahwa pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaannya, yakni sejauh ditentukan oleh kesadaran moral manusia. Namun, jadi, sejauh mana hak kebebasan untuk meneliti? Hal ini merupakan permasalahan yang pelik.[6]
Pedoman untuk menguji nilai dipengaruhi oleh psikologi maupun teori logika. Para hedonis menemukan pedoman mengenai jumlah atu besarnya kenikmatan yang dirasakan seseorang atau masyarakat sebagai barometer dari sistem nilai. Kaum Idealis menjadikan sistem objektif mengenai norma-norma rasional atau yang paling ideal sebagai kriteria. Dari berbagai corak aliran ini maka hubungan antara nilai dan fakta dapat diselidiki melalui tiga hal. Pertama, aliran naturalis potsitivisme yang menyatakan tidak ada kaitan antara pengalaman manusia dengan sistem nilai. Kedua, objektifisme logis yang menyatakan bahwa nilai merupakan esensi logis dan substnatif yang tidak ada kaitannya dengan status atau tindakan eksistensi dalam realitas. Ketiga, aliran objektif metafisis yang menyatakan nilai adalah norma ideal yang mengandung unsur integral objektif dan aktif dari kenyataan metafisik.[7]
Dengan demikian dalam filsafat aksiologis pembicaraan utama terkait erat dengan kaitan ilmu dan moral. Hal ini telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir antara lain Merton, Popper, Russel, dan pemikira lainnya. Pertanyaan umum yang sering muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah : apakah itu itu bebas dari sistem nilai ? Ataukah sebaliknya, apakah itu itu terikat pada sistem nilai?.[8]
Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari para ilmuwan. Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya pendirian terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama menghendai ilmu harus bersifat netral terhadap sistem nilai. Menurut mereka tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya dipergunakan untuk apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur. Kelompok kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan azas-azas moral.[9]
Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hatihati dengan mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut:[10]
1. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih terperinci yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
2. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan.
3. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya (objek ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah kehidupan.
4. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berazaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi an sich.
5. Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan / kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal.
Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup bila hanya dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjauan ontologis dan epistemologi diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah.
Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bumi berputar mengelilingi matahari, yang kemudian diperkuat oleh Galileo (1564- 1642) yang menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata surya yang akhirnya harus berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Moral reasioning adalah proses dengan mana tingkah laku manusia, institusi atau kebijakan dinilai apakah sesuai atau menyalahi standar moral. Kriterianya: Logis, bukti nyata yang digunakan untuk mendukung penilaian haruslah tepat, konsisten dengan lainnya.
Moralitas sebagai persoalan penting dalam aksiologi sering juga dipahami sebagai etika. Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a system of moral principles or rules of behavior. atau suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti the branch of philosophy that deals with moral principles, suatu cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics dengan maksud plural (jamak) berarti moral principles that govern or influence a person's behavior. prinsip-prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi. [11]
Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka "etika" berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.[12] Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah "etika" yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.
D. Aksiologi Nilai Kegunaan Ilmu
Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi, sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman.
Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi karena itu kita tidak bisa dipungkiri peradaban manusia berhutang budi pada sains dan teknologi. Berkat sain dan teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia.
Sejak dalam tahap-tahap pertama ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang, disamping lain ilmu sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun sebaliknya manusialah yang akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi.
Menghadapi kenyataan ini ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagai mana adanya mulai mempertanyakan hal yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan? Dimana batasnya? Kearah mana ilmu akan berkembang? Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia.
Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia pada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka.
Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuan terbagi kedalam golongan pendapat yaitu golongan pertama yang menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologi. Sebaliknya golongan kedua bahwa netralisasi terhadap nilai- nilai hanyalah terbatas pada metavisis keilmuan sedangkan dalam penggunaanya ilmu berlandaskan pada moral golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni: Ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang telah dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi- teknologi keilmuan.
Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuan telah mengetahui apa yang mungkin terjadi apabila adanya penyalahgunaan.Ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan tehnik perubahan sosial. Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S. Suriasumatri yaitu bahwa "pengetahuan adalah kekuasaan" apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.[13]
E. Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa "pengetahuan adalah kekuasaan" apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.[14]
F. Kaitan Aksiologi dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.[15]
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitian. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.[16]
G. Beberapa Penjelasan Aksiologi
1. Ilmu dan Moral
Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran, makin benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia mempunyai penalaran tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi oleh anlisis yang hakiki, atau sebaliknya makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta?. Masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan, maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah.
Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari objek yang di telaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Sokrates minum racun, John Huss dibakar sebagai contoh betapa ilmuan memiliki landasan moral, jika tidak ilmuan sangat mudah tergelincir dalam prostitusi intelektual.
2. Tanggung Jawab Sosial Ilmuan
Seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial di bahunya. Bukan saja karena ia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung dengan di masyarakat yang yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam keberlangsungan hidup manusia.
Sampai ikut bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan. Sering dikatakan bahwa ilmu itu bebas dari sistem nilai. Ilmu itu sendiri netraldan para ilmuanlah yang memberikannya nilai.
3. Nuklir dan Pilihan Moral
Seorang ilmuan secara moral tidak akam membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan itu adalah bangsanya sendiri. Seorang ilmuan tidak boleh berpangku tangan, dia harus memilih sikap, berpihak pada kemanusiaan. Pilihan moral memang terkadang getir sebab tidak bersifat hitam di atas putih. Seperti halnya yang terjadi pada Albert Einstein diperintahkan untuk membuat bom atom oleh pemerintah negaranya.
Seorang ilmuan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuannya, apapun juga bentuknya dari masyarakat luas serta apapun juga konsekuensi yang akan terjadi dari penemuannya itu. Seorang ilmuan tidak boleh memutar balikkan temuannya jika hipotesis yang dijunjung tinggi tersusun atas kerangkan pemikiran yang terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan karena bertentangan dengan fakta-fakta pengujian
4. Revolusi Genetik
Revolusi Genetik merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuwan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaah itu sendiri. Hal ini buka berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu saja banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan itu dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi.
Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi objek penelaah yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri. Pembahasan ini berdasarkan kepada asumsi bahwa penemuan dalam riset genetika akan dipergunakan dengan itikad baik untuk keluhuruan manusia.[17]
H. Kesimpulan
Jika Ilmu Pengetahuan Tertentu dikaji dari ketiga aspek (ontologi, epistemologi dan aksiologi), maka perlu mempelajari esensi atau hakikat yaitu inti atau hal yang pokok atau intisari atau dasar atau kenyataan yang benar dari ilmu tersebut.Contohnya :Membangun Filsafat Teknologi Pendidikan perlu menelusuri dari aspek : Ontologi eksistensi (keberadaan) dan essensi (keberartian) ilmu-lmu Teknologi Pendidikan.Epistemologi metode yang digunakan untuk membuktikan kebenaran ilmu-ilmu Teknologi Pendidikan.Aksiologi manfaat dari ilmu Teknologi Pendidikan. Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus diperhatikan sebaik-baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi meninjaunya dari segi aksiologi keilmuwan
Ilmu memiliki fungsi yang bersifat estetik, yang kalau kita konsumsikan dengan baik, memberikan kenikmatan batiniah atau kepuasan jiwa. Jiwa kita tergetar, terharu, tersenyum oleh komunikasi aristik, menyebabkan dunia makna yang tak terjangkau kasat mata. Jiwa kita bertambah kaya, persepsi kita bertambah dewasa, yang selanjutnya akan mengubah sikap dan kelakuan kita.
http://khaidiralibatubara.blogspot.co.id/2015/09/aksiologi-sains.html
AKSIOLOGI FILSAFAT ILMU
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam manusia, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan. Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai? Bagian dari filsafat pengetahuan membicarakan tentang ontologis, epistomologis dan aksiologi, Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian aksiologi?
2. Apa fungsi aksiologi ?
3. Apa saja pendekatan – pendekatan dalam aksiologi?
4. Apa kaitan aksiologi dengan filsafat ilmu?
Tujuan
1. Untuk menjelaskan pengertian aksiologi
2. Untuk mengetahui fungsi aksiologi
3. Untuk mengetahui pendekatan-pendekatan dalam aksiologi
4. Untuk mengetahui kaitan aksiologi dengan filsafat ilmu
BAB II
AKSIOLOGI ILMU
Pengertian Aksiologi Ilmu
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Aksiologi ilmu (nilai) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil, dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu kedalam praksis.[1] Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu :
1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika
2. Estetic Expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan
3. Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.[2]
Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara yaitu:
Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung dari pengalaman.
Obyektivisme logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan.
Fungsi Aksiologi
Aksiologi ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk mengantisipasi perkembangan dan teknologi (IPTEK) tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja aksiologi antara lain :
1. Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan menemukan kebenaran yang hakiki.
2. Dalam pemilihan objek penelaahan dapat dilakukan secara etis, tidak mengubah kodrat manusia, dan tidak merendahkan martabat manusia.
3. Pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan untuk dapat meningkatkan taraf hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta memberikan keseimbangan alam lewat pemanfaatan ilmu.[3]
Pendekatan-Pendekatan dalam Aksiologi
Pendekatan-pendekatan dalam aksiologi dapat dijawab dengan tiga macam cara, yaitu :
1. Nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai merupaka reaksi-reaksi yang diberkan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka.
2. Nilai-Nilai merupakan kenyataan-kenyataan yang ditinjau dari segi ontologi namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.
3. Nilai-Nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan.[4]
Hubungan Aksiologi dengan Filsafat Ilmu
Kaitan Antara Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu adalah Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian.
Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya.
Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif .
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Aksiologi ilmu (nilai) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992).
Kaitan Antara Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu adalah Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Aksiologi membberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah nilai. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan nilai. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma nilai.
B. Saran
Seorang pendidik hendaknya tahu akan pentingya hakekat nilai yang akan diajarkan kepada para anak didiknya, sehingga anak didik mengetahui etika keilmuan yang bermoral dalam ilmu yang dipelajarinya.
Semoga makalah ini bisa menjadi bahan acuan dan semangat untuk mengkaji dan membuat makalah yang semakin baik. Pembahasan makalah ini mungkin masih kurang sempurna. Oleh karena itu penulis masih membutuhkan saran dan perbaikan dari para pembaca.
http://zudi-pranata.blogspot.co.id/2014/01/filsafat-ilmu-aksiologi.html
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam. Spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaniahnya (esoteris) ketimbang aspek jasmaniahnya (eksoteris). Dalam aspek kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat, ketimbang kehidupan dunia yang fana. Sedangkan dalam kaitannya pemahaman keagamaan, ia lebih menekankan aspek esoterik ketimbang eksoterik. Tasawuf lebih menekankan penafsiran batini ketimbang penafisran lahiriah.
Mengapa tasawuf lebih menekankan spiritualitas dalam berbagai aspeknya ? Ini karena para ahli tasawuf, yang kita sebut sufi, mempercayai keutamaan spirit ketimbang jasad, mempercayai dunia spiritual ketimbang dunia material. Secara ontologis mereka percaya bahwa dunia spiritual lebih hakiki dan real dibanding dengan dunia jasmani. Bahkan sebab terakhir dari segala yang ada ini, yang kita sebut Tuhan, juga bersifat spiritual. Karena itu realitas sejati bersifat spiritual, bukan seperti yang dibayangkan kaum materialis bahwa yang real adalah yang bersifat material. Begitu nyata status ontologis " Tuhan " yang spiritual tersebut, sehingga para sufi berkeyakinan bahwa Dialah satu-satunya Realitas Sejati; Dialah asal atau awwal dan sekaligus tempat kembali. Hanya kepada-Nya lah para sufi mengorientasikan jiwa mereka, karena Dialah buah kerinduan mereka, dan kepada-Nyalah mereka akan berpulang untuk selama-lamanya.
Dalam sejarah dan perkembangannnya, tasawuf di zaman Rasulullah SAW, secara teori belum tampak, bahkan bisa kita katakan belum ada. Namum amalan-amalan yang kemudian dilakukan oleh para sufi sampai saat ini semuanya berasal dari cara hidup Rasulullah, para sahabat dan sampai para tabi'in.
Sebelum tasawuf muncul ke permukaan, yang muncul terlebih dahulu adalah "praktek zuhud". Zuhud inilah yang merupakan cikal bakal dari munculnya tasawuf. Pada perkembangan selanjutnya yaitu pada abad ke 3 dab ke 4 H. mulailah kajian-kajian tentang tasawuf. Dalam kajian tersebut terdapat dua kecenderungan para tokoh tasawuf. Yaitu pertama cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat akhlak nyang didasarkan pada al-Qur'an dan sunnah ( tasawuf sunni ) dan kedua, cenderung pada kajian tasawuf filsafat. Dimana pada tasawuf yang berlatang belakang filasafat ini banyak berbaur dengan kajian filsafat metafisik.
Dari sedikit latar belakang masalah di atas inilah penulis ingin mencoba membahas atau mengkaji tentang tentang tasawuf, model tasawuf yang pertama yaitu : tasawuf sunni.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang penulis sampaikan pada makalah ini, kami mencoba ingin membahas tentang
1. Ontologi tasawuf sunni
2. Epistemologi tasawuf sunni
3. Aksiologi tasawuf sunni.
4. Kesimpulan
C. Tujuan Penulisan Makalah
Ada beberapa tujuan yang ingin kami dapatkan dalam penulisan makalah ini, di antaranya aialah ;
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat ilmu.
2. Ingin mengetahui lebih mendalam keberadaan tasawuf, terutama tasawuf sunni.
3. Ingin mengetahui nilai apa yang terdapat pada dunia tasawuf, yang bisa membawa atau mempengaruhi para pengikutnya begitu baik dan tunduk atas aturan-aturan yang telah ditentukan.
BAB II
PEMBAHASAN STRUKTUR TASAWUF SUNNI.
A. Ontologi Tasawuf Sunni.
Mengawali pembahasan pada bab II ini, kami ingin mengemukakan pengertian tasawuf dari beberapa tokoh sufi atau ilmuan yang mengkaji tentang disiplin ilmu tasawuf, baik kajiannya tentang tasawuf falsafi maupun tasawuf sunni. Dalam hal ini akan kami sampaikan pengertian tasawuf baik secara etimologi maupun secara terminologi.
Definisi tasawuf secara etimologi / bahasa :
1. Abu ar-Rahman al-Biruni (w.440 H/1048 M. dalam kitabnya " Tahqiq ma lil hindi min maqulah " menyatakan bahwa tasawuf secara etimologi berasal dari bahasa Yunani " suf " yang berarti " pecinta hikmah ". kemudian istilah ini dinisbatkan kepada "ahl shuffah " atau orang-orang yang timggal di bangku-bangku yang terbuat dari batu beranda mesjid pada masa Rasulullah.[1]
2. Prof. Dr. Harun Nasution, menyebutkan bahwa asal-usul kata al-tasawuf dan al-sufi, ialah berasal dari kata suf yaitu wol. Yang dimaksud bukanlah wol dalam arti modern, wol yang dipakai orang-orang kaya, tetapi wol primitif dan kasar yang dipakai di zaman dahulu oleh orang-orang miskin di Timur Tengah. Di zaman itu pakaian kemewahan ialah sutra.[2]
3. Di dalam Ensiklopedi Islam disebutkan ada tujuh versi mengartikan asal-usul kata tasawauf. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Saff yang artinya barisan dalam shalat berjama'ah. Ada yang mengatakann bahwa tasawuf berasal dari kata Saufanah ; yaitu sejenis buah-buahan kecil yang berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir. Ada pula yang mengatakan tasawuf berasal dari kata Suffah yang artinya pelana yang biasa dipakai bantal tidur oleh para sahabat Nabi SAW di samping masjid Nabi saw. Pendapat lain mengatakan bahwa Tasawuf merujuk pada kata Safwah yang berarti sesuatu yang terpilih. Ada pula yang merujuk pada kata Safa yang berati bersih. Ada yang mengatakan dari bahasa Yunani yaitu Theosophi (theo= Tuhan, Sophos = hikmah. Juga ada yang mengatakan berasal kata Suf yang artinya wol atau kain bulu kasar.[3]
Itulah beberapa definisi tasawuf sacara terminologi yang dapat kami kemukakan dalam makalah ini. Selanjutnya definisi tasawuf secara terminologi ialah :
1. Menurut Muhammad Zaki Ibrahim, tasawuf adalah : jalan menuju kedekatan kepada Allah SWT. dengan cara melepaskan diri dari segala sesuatu yang rendah dan hina dan berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah SAW.[4]
2 Bisyr bin Haris, ia mengatakan bahwa sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT.
3. Sahl at-Tustari, ia mengatakan bahwa sufi ialah orang yang bersih dari kekeruhan, penuh dengan renungan, putus hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah SWT. dan baginya tiada beda antara harga emas dan pasir.
4. Al-Junaid al-Bagdadi (w. 289 H), ia mengatakatan bahwa tasawuf ialah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekan sifat basyariah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat-sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji terhadap Allah SWT, dan mengikuti syari'at Rasulullah SAW.
5. Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi, ia memberikan definisi bahwa tasawuf ialah menjabarkan ajaran-ajaran al-Qur'an dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid'ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringan-ringankan ibadah.
6. Abu Yazid al-Bustami, ia secara lebih luas mengatakan bahwa arti tasawuf ialah mencakup tiga aspek. Yaitu 1. Takhalli ( melepaskan diri dari perangai yang tercela), 2. Tahalli ( menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji), dan 3. Tajalli ( mendekatkan diri kepada Tuhan). [5]
7. Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdy mengatakan : tasawauf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkan dari (sifat-sifat) yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju (keridhaan) Allah dan meninggalkan (larangan-Nya) menuju kepada (perintah-Nya).[6]
8 Dr. Syekh H. Jalaluddin, yang kita dapati dalam Bukunya Seribu Satu wasiat terakhir, mengatakan :
êãSièf^eã
Artinya : berkekalan memperhambakan diri lahir dan bathin kepada Allah serta berkekalan hadir hati beserta Allah.[7]
9. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa tasawuf sejatinya adalah : menjernihkan hati dari noda, dosa dan tipu muslihat nafsu, dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT dan selalu merasa membutuhkani-Nya.[8]
10. Dr. Abdul Halim memberikan komentarnya, bahwa tasawuf merupakan " wasilah wa thariqah " atau sarana dan jalan, sekaligus juga "ghayah" atau tujuan. Sarana dan jalannya berupa " mujahadah" dengan berupaya menbersihkan dan mensucikan hati dari segala noda, dosa dan tipu daya nafdsu dan tujuannya adalah " musyahadah" atau ma'rifat kepada Allah SWT. [9]
11. Menurut Prof. Dr, K.H. Said Agil Siraj, dalam sebuah pengantar buku yang berjudul " Mengurai tasawuf, Irfan dan Kebatinan, yang ditulis oleh Muhsin Labib, ia mengatakan " tasawuf adalah ajaran dan keyakinan bahwa manusia senantiasa ingin meraih kesucian diri dan damba untuk berdekatan dengan Dia Yang Mahasuci. Untuk bisa berdialog dengan Yang Mahasuci, maka manusia lebih dulu harus mensucikan diri: mulai dari penyucian hati, pikiran, tutur kata dan perilaku serta harta. Lebih lanjut ia menyampaikan pendapatnya seorang sufi besar yang bernama " Sirri as-Siqti" mengatakan : seorang sufi adalah orang yang hatinya tidak tercemari oleh selain Yang Mahasuci, dan hidupmya diarahkan demi menghadapi ridha dan kodrat Ialahi.[10]
Sedangkan inti dari tasawuf sunni adalah tasawuf yang segala amalan-amalan dan tata-caranya sesuai dengan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat-sahabatnya berdasrkan al-Qur'an dan Al-Sunnah.
1. Pandangan Kaum Sufi Tantang Tuhan
Sebagai sebuah sistem spiritual, tasawuf tentu memiliki basis filosofis. Basis tersebut tidak lain daripada basis atau prinsip bagi seluruh yang ada di alam semesta ini, yaitu Tuhan. Tuhan adalah basis ontologis bagi segala sesuatu, yang tanpa-Nya , segala yang ada ini akan kehilangan pijakannya. Para sufi menyebut prinsip ini sebagai Kebenaran ( al-Haqq ). Disebut al-Haqq, karena Dialah satu-satunya yang ada dalam arti yang sesungguhnya, yang mutlak, sementara yang lain bersifat nisbi atau majazi.
Para sufi menggambarkan Tuhan sebagai sebuah prinsip yang menyeluruh dan paripurna. Daria sudut pandang waktu, Dialah asal dan tempat kembali segala yang ada. Dari sudut ruang, Dia adalah yang Lahir dan yang Batin, yakni yang imanen dan yang transenden . Dan konsep Realitas yang paripurna ini sepenuhnya didasarkan pada ayat al-Qur'an, tepatnya surah al-Hadid ayat : 3 .
Artinya ; Dialah yang awal dan yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin.
Esensi dari sebuah sistem mistisime adalah perasaan dekat dengan Tuhan. Dan perasaan dekat ini dinyatakan dalam perasaan sufi akan kehadiran Tuhan di mana pun ia berada. Kehadiran Tuhan ia rasakan baik dalam dirinya maupun di alam yang mengelilinginya. Tentang kedekatan dan kehadiran Tuhan di mana-mana ini, para sufi menemukan basis-basisnya dalam al-Qur'an sendiri, yaitu dalam surah al-Baqarah ayat 115 .
Artinya; Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Artinya; Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku , maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang-orang yang berdoa. ( al-Baqarah ayat : 186)
Artinya; Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, ( Q. Surah Qaf ayat : 16.
Dalam hal cinta atau Mahabbah sebagai basis konseptual sufi adalah surah Ali Imran ayat 31, secara hipotetik menyatakan kemungkinan terjadinya cinta timbal balik antara Tuhan dan hamba-Nya.
Artinya; Katakanlah " jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Di samping al-Qur'an, hadits-hadits Nabi juga memberi basis yang sama-sama kuatnya terhadap konsep-konsep tertentu para sufi. Di antaranya ialah hadits yang menyatakan " barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Hadits ini talah diambil oleh para sufi sebagai basis makrifat, yakni pengetahuan sejati yang diperoleh secara langsung dari sumbernya sendiri.
Juga hadits qudsi yang artinya : maimunah r.a. berkata : Nabi SAW. Bersabda : Allah ta'ala berfirman " Tidak ada cara yang dapat mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku seperti melaksanakan fardhu-fardhu-Ku, dan sesungguhnya ia mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan hal-hal yang sunnah sehingga cintalah Aku kepadanya. Dan sesudah Aku mencintainya Aku menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan, tangan yang dengannya ia memukul , lidah yang dengannya ia berkata, dan hatinya yang dengannya ia berfikir. Bila ia meminta kepada-Ku, Aku memberi dan bila ia berdoa Aku menerima doanya. ( H.R. Ibn Assunni ).[11]
2. Pandangan Kaum Sufi Tentang Hakikat
Kaum sufi berpendapat bahwa, syari'at adalah cara formal untuk melaksnakan peribadatan kepada Allah, yang dirujuki oleh al-Qur'an sebagai tujuan penciptaan manusia. Seangkan hakekat yakni tasawuf, adalah seperti yang diisyaratkan dalam definisi ihsan: "Engkau beribadah seakan-akan melihat Tuhan, dan seandainya engkau tiadak melihat-Nya, niscaya Dia melihatmu", merupakan pelengkap dari ibadah tersebut. Oleh karena itu, antara syariat dan hakekat atau tarekat seharusnya tidak boleh dipisahkan tanpa menimbulkan masalah.
Syariat yang dilakukan tanpa memperhatikan unsur hakekat adlah seperti sebuah bangunan kosong dan belum dihias. Sedangkan hakekat tanpa syariat akan seperti hiassan yang tanpa dihias.sehingga akan menjadi barang tumpukan yang acak. Oaleh karena itu sepatutnyalah aspek penting dari agama kita itu tidak dihayati secara terpisah, tetapi dilaksanakan sebagai dua hal yang saling melengkapi, dan harus diperlakukan secara seimbang. Penekanan yang berat sebelah pada salah satu aspek dari keduanya hanya akan melahirkan ahli-ahli eksoterik formal ( alh-zhahir), yang tidak bisa mengapresiasikan dimensi spirirtual dari ibadah formal meraka, atau kalau tidak, ahl esoterik yang sama sekali meningglkan ibadah-ibadah formal yang merupakan kewajiban bagi setiap-setiap individu muslim.
Sebenarnya ahl tokoh tasawuf sunni seperti al-Ghazali dalam karyanya utamanya, Ihya' "Ulum al-Din, al-Ghazali bukan hanya membicarakan keutamaan-keutamaan spiritualitas Islam dan nilai-nilainya yang luhur, tetapi bahkan dalam kitab itu, selain membahas aspek-aspek formal ibadah, seperti thaharah, salat, zakat, puasa dan haji beliau juga membahas aspek spiritual dari bab-bab itu.[12]
Tarekat dan hakekat adalah sambung menyambung antara satu sama lain. Oleh karena itu pelaksanaan agama Islam, tidak sempurna jika tidak mengerjakan empat hal. Yakni syari'at, tarekat, hakekat dan Ma'rifat. Maka apabila syari'at merupakan peraturan, tarekat merupakan pelaksanaan, maka hakekat merupakan tujuan pokok yakni pengenalan Tuhan yang sebenarnya.
Umpamanya dalam masalah bersuci atau thaharah menurut syari'at bersih diri dengan air. Menurut tarekat bersih diri lahir dan bathin dari hawa nafsu. Menurut hakekat beresih ahti dari selain Allah. Seumpama untuk mencapai ma'rifat terhadap Allah. Dengan contoh shalat, menurut syariat bila sewseworang shalat wajib menghadap kiblat, karena ada ayat al-Qur'an menyebutkan " hadapkanlah mukamu ke Masjidil Haram (ka'bah) di Mekah. Menurut tarekat, hati wajib menghadap Allah berdasarkan karena ada firman Allah yang menganjurkannya " Sembahlah Aku. Menurut hakekat, bahwa kita menyembah Allah seolah-olah Allah itu terlihat. Karena memang ada hadits yang menjadi dasarnya. "Engkau beribadah seakan-akan melihat Tuhan, dan seandainya engkau tiadak melihat-Nya, niscaya Dia melihatmu". Menurut ma'rifat, ialah mengenal Allah untuk siapa dipersembahkan amal ibadah itu yang dengan khusyu' seorang hamba Allah dalam shalat merasa berhadapan dengan Allah. Karena memang Allah menganjurkan kepada kita dalam bershalat untuk mengingat Allah. " Bershalatlah untuk mengingat Aku.[13]
B. Epistemologi Tasawuf Sunni.
Kalau di atas telah kami sampaikan tentang ontologi tasawuf sunni, maka dalam sub bab ini kami sampaikan tentang epistemologi tasawuf sunni. Sebagaimana kita ketahui bahwa tasawuf terbagi menjadi dua, yaitu tasawuf falsafi dan tasawus sunni. Di mana kedua tasawuf ini hingga kini masih eksis sampai saat ini.
Tasawuf monistik, yaitu tasawuf yang didasarkan pada konsep wahdatul wujud, al-hulul dan al-ittihad, yang kini dikenal dengan tasawuf falsafi. Tasawuf ini dikaitkan dengan tokoh-tokoh besar seperti AbuYazid al-Bustami, al-Hallaj, Ibn Arabi, Ibn Masarra, Ibn Sab'in, Suhrawardi al-Maqtul, Mulla Sadra, Sayid Haidar Amuli dan lainnya.[14]
Ajaran tasawuf yang seperti ini umumnya memadukan visi mistis dan rasional, Banyak ungkapan dan terminologi filsafat digunakan dalam tasawuf ini. Percampuran ini tidak lepas dari pertemuan ajaran-ajaran Yunani, Persia, India dan Kristen.Tasawuf yang demikian ini sangat esoterik, cenderung samar dan hanya dipahami oleh para penempuh jalannya. Kebanyakan sufi aliran ini menguasai pemikiran filsafat Yunani seperti yang digagas oleh Socrates, Plato, dan sebaginya.Tokoh-tokohnya antara lain, as-Suhrawardi, Ibn Masarra, Ibn Arabi ( yang mengenalkan konsep pantheisme atau kesatuan wujud), Ibn Sab'in. Konsep penyatuan makhluk dengan Tuhan ini juga tertuang dalam karya sastra para sufi. Di antaranya adalah dalam karya Ibn al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan sebagainya.[15]
Tasawuf Dualistik, yaitau tasawuf yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan teologi Asy'ariyah dan Syari'ah, yang disebut dengan tasawuf sunni. Tasawuf sunni berusaha mengintegrasikan dan mendamaikan tasawuf dengan syari'ah sejak pertengahan kedua abad ke-3 H atau ke-9 M. Di antara tokoh-tokoh itu ialah Abu Sa'id al-Kharraj, Abu al-Qasim Muhammad al-Kalabadzi dan Abu al-Qasim Abdul Karim al-Qusyairi. Usaha-usaha membangun tasawuf yang beraroma syari'at dan berbasis pada kalam sunni mencapai kematangan dan keberhasilan di tangan Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H / 1111 M).[16]
Meskipun al-Ghazali dianggap sebagai pahlawan dan pendiri tasawuf sunni dan sangat diagungkan oleh para penganutnya ahlusunah, al-Ghazali tidak mendpat legimitasidalam tarikat-tarikat yang bertebaran dalam dunia ahlusunnah. Para anggota tarikat lebih mengagungkan para syaikh dan para guru mereka.
Namun, tasawuf sunni sangatlah seragam, karena dalam kenyataannya muncul beragam mazhab dan pola tasawuf. Tasawuf sunni setidak-tidaknya ada dua ragam: 1. Tasawuf terlembagakan dengan pola pembaiatan (tarikat) yang juga disebut tasawuf amali. 2. Tasawuf tidak terlembagakan yang cenderung longgar karena ia hanya berupa ajaran-ajaran moral, seperti ajaran al-Ghazali dan al-Haddad yang juga sering disebut dengan tasawuf akhlaqi.[17]
Klasifikasi tasawuf falsafi dan tasawuf sunni ini, seakan-akan menghakimi bahwa tasawuf yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah adalah yang benar, dan dengan demikian yang benar-benar Islami adalah tasawuf sunni. Menurut klasifikasi ini, tasawuf falsafi adalah tasawuf yang menyimpang dari al-Qur'an dan sunnah serta membawa bid'ah dan ajaran-ajaran sesat. Dan karena itu, tidak sesuai ajaran Islam. Tentu saja para pendukung tasawuf falsafi menolak tuduhan bahwa tasawuf mereka menyimpang dari al-qur'an dan sunnah.
Apapun yang telah terjadi, Mistisime dalam Islam apakah itu aliran Falsafi atau sunni, yang merupakan lapis esoteris agama, dapat dijadikan sebagai titik temu dan ruang sejuk bagi seluruh umat Islam, baik penganut tasawuf falsafi atau sunni.
Metodologi Dalam Tasawuf
1. Takhalli.
Takhalli yaitu pengosongan diri dari sifat tercela dan egoisme. Juga berarti Pengosongan atau penceraian. Atau usaha mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha menundukkan dorongan hawa nafsu.
2. Tahalli.
Tahalli yaitu menghiasi diri dengan sifat terpuji. Melakukan segala hal yang diperintahkan oleh Allah, mengisi segala aktifitas yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dengan rajin beribadah baik yang wajib maupun yang sunnah, berakhlakul karimah.
3. Tajalli.
Tajalli adalah iluminasi ( pencerahan ) zat Tuhan ketika menampakkan diri dalam wujud yang dapa di kenal. Menurut para sufi, tajalli Tuhan ini merupakan tingkatan pengalaman rohani tertinggi, yang yang hanya dapat dicapai orang yang telah melampaui Takhalli dan Tahalli.
C. Aksiologi Tasawuf Sunni.
Setelah sedikit mengetahui keberadaan ontologi dan epistemolgi daripada taswauf sunni, maka kiranya kita dapat sedikit punya gambaran tentang aksiologi dari tasawuf sunni.
Nilai-nila yang terkandung dalam tasawuf sunni diantaranya ialah dalam hal beribadah harus betul-betul ikhlas, dan mencari ridha-Nya, harus menjadi contoh dan selalu berada di depan sebagaimana shalat mengambil barisan yang pertama.
Dalam menata hati, tasawuf akan dapat mengantarkan hati yang kotor menjadi jernih dan bersih, sehingga tiada lain segala bentuk ibadahnya akan mampu mengantarkan sufi menjadi makrifatullah.
Tatacara mendekatkan diri kepada Allah, maka seorang sufi harus betul-betul mahabbah atau cinta kepada Allah dengan cara melakukan seluruh yang wajib dan juga memperbanyak ibadah sunnah. Karena bila sudah demikian apa yang ia lakukan semata-mata atas bimbingan dan petunjuk Allah SWT.
Tasawuf yang benar, sejati dan lurus atau sufi yang telah melakukan ibadah dengan lurus dan istiqomah, akan dapat mencapai sebagai tingkatan ihsan di atas dari dua tingkatan yang lainnya yaitu tingkatan Islam dan Iman. Tingkatan Ihsan ialah yang ditunjukkan oleh hadits shahih " Ihsan itu ialah kamu beribadah kepada Allah, seolah-olah kamu melihat-Nya. Kalaupun kamu tidak melihat-Nya, namun sesungguhnya Dia melihatmu.[18]
Islam adalah penyerahan diri secara zahir, Iman adalah keyakinan batin. Sedangkan Ihsan adalah pencapaian dua hakekat zahir dan batin. Hal itu karena ilmu semestinya diamalkan. Sedangkan untuk mencapai kesempurnaan derajat Ihsan, amal itu semestinya dilakukan dengan ikhlas. Ikhlas ialah seorang hamba dengan ilmu atau amalnya tidak dimaksudkan untuk yang lain, tapi hanya bagi Allah Azza wa Jalla.
Bila seseorang dalam kehidupan dan bermasyarkat, tasawuf atau mistisisme selalu berada pada dirinya, maka dalam keadaan bagaimanapun ia tidak akan beranai melanggar aturan Allah. Karena kapanpun dalam kondisi apapun Allah selalu mengawasinya. Umat islam akan semakin mampu meningkatkan etos kerja dengan baik manakala dalam kehidupan bekerja dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan tarekat atau tasawuf.
BAB III
KESIMPULAN
Dari bahsan makalah ini dapat kami simpulkan sebagai berikut :
1. Tasawuf ialah, ajaran (cara) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah, dengan cara berusaha keras menjauhi sifat-sifat buruk (tercela) dan larangan-larangan-Nya, selalu menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji dan dengan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menjalankan perintah-perintah-Nya untuk mencari keridhaan-Nya, agar memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya. Atau bahasa mudah, singkat dan simpelnya adalah Taqwa.
2. Tokoh yang mengintegrasikan tasawuf dan syariah adalah al-Ghazali. Di dalam tasawuf sunni ada dua ragam yaitu :
a. Tasawuf terlembagakan dengan pola pembaiatan (tarikat) yang juga disebut tasawuf amali.
b. Tasawuf tidak terlembagakan yang cenderung longgar karena ia hanya berupa ajaran-ajaran moral, seperti ajaran al-Ghazali dan al-Haddad yang juga sering disebut dengan tasawuf akhlaqi.
3. Seorang sufi yang sudah istiqamah dalam beribadah akan mengantarkan dirinya yang ihsan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abuddin Nata, Prof.Dr. H. Akhlak Tasawuf, Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada, 1996.
----------Al-Qur'an dan terjemahnya
Ade Armando, dkk, Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar-6, Jakarta : P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam -6, Jakarta : P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
Harun Nasution, Prof.DR. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya-1, Jakarta : UI-Press, 1978.
Harun Nasution, Prof.DR. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya-2, Jakarta : UI-Press, 1978.
Djamaluddin Ahmad al-Buny, Menyelami Samudra Bashirah Shufiyah Jejak Pengabdian Sufi Menapak Jalan Ma'rifah, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2002
Kharisudin Aqib, DR. M.Ag., Inabah " Jalan Kembali " dari Narkoba, Stres & Kehampaan Jiwa. Surabaya : Bina Ilmu, 2005
Mustafa Zahri, Dr. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Suarabaya : Bina Ilmu, 1976
Mustafa, H.A. Akhlak Tasawuf, Bandung : Penerbit Pustaka Setia, 2005
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, Irfan &Kebatinan, Jakarta : Lentera, 2004.
Sayyid Nur bin Sayyid Ali, Tasawuf Syar'I Kritik atas Kritik, Jakarta : Penerbit Hikmah, 2003.
Muhammad Tajuddin Bin Almanawi Alhaddadi, Al-Ahaditsul Qudsiyah, Surabaya : PT. Bina Ilmu, t.t.
Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi, Bandung : Hikmah , 2002
http://mbahshol.blogspot.co.id/2011/11/tasawuf-sunni-dalam-filsafat-ilmu.html