PERCOBAAN 10 : Faktor Fisik Kebutuhan akan Oksigen
I. Tujuan Percobaan
Mengetahui kebutuhan akan oksigen bebas (atmosfer) dalam pertumbuhan mikroorganisme.
Mengetahui metode untuk menumbuhkan bakteri pada kondisi anaerob
II. Prinsip Percobaan
Dalam proses pertumbuhan, mikroorganisme memiliki kebutuhan yang berbeda-beda setiap jenisnya, salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan mikroorganisme adalah kebutuhan akan oksigen. Pada bakteri keberadaan oksigen menjadi salah satu faktor penting dalam pertumbuhannya. Tidak semua bakteri membutuhkan oksigen untuk tumbuh, terdapat beberapa bakteri yang sangat membutuhkan oksigen untuk tumbuh, sedikit oksigen atau tidak butuh oksigen sedikitpun dalam pertumbuhannya.
III. Teori Dasar
Oksigen sangat berperan sebagai penerima hidrogen. Mikroorganisme yang sangat tergantung dengan adanya oksigen untuk proses metabolismenya bersifat aerob obligat. Beberapa juga bersifat fakultatif, anaerob, dan ada pula bersifat anaerob obligat yang memerlukan zat lain sebagai penerima hidrogen.
Kebutuhan oksigen untuk oksidasi biologis yang terjadi dalam sel mikroorganisme dapat menggunakan senyawa–senyawa lain yang tergantung kepada jenis mikroorganismenya. Oksigen yang terdapat dalam senyawa– senyawa penyusun protoplasma, tidak berasal dari O2 udara, akan tetapi berasal dari senyawa–senyawa organik yang mengandung atom – atom oksigen dari air. Unsur oksigen tersedia dalam bentuk air. Selanjutnya oksigen juga terdapat dalam CO2 dan dalam banyak senyawa organik. (Moat, 2007). Pada respirasi aerob, oksigen berfungsi sebagai akseptor terminal. Pada proses ini, air akan mereduksi oksigen. Oksigen dari molekul kompleks oksigen hanya akan diinkorporasi ke dalam substansi sel. Untuk sumber karbon menggunakan metana atau hidrokarbon aromatik. Berdasarkan kebutuhan oksigen, mikroorganisme dapat dikelompokkan menjadi :
Gambar : Kebutuhan bakteri akan oksigen
Sumber : http://biologipedia.blogspot.co.id/2011/01/morfologi-mikroba.html
a. Mikroorganisme aerob
Mikroorganisme ini hidupnya sangat tergantung terhadap adanya oksigen. Oksigen akan digunakan untuk proses metabolisme. Mikroorganisme aerob ini menggunakan oksigennya untuk melangsungkan oksidasi biologis. Ini merupakan keuntukan bagi mikroorganisme tersebut karena banyaknya energi yang tersediadari oksidasi sempurna molekul glukosa lebih besar daripada energi dari fermentasi glukosa. (Sumarsih, 2003)
b. Mikroorganisme anaerob
Mikroorganisme ini menganggap adanya oksigen bersifat sebagai racun yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangbiakan. Mikroorganisme yang termasuk golongan ini tidak dapat menggunakan oksigen sebagai akseptor hidrogen. Adanya oksigen dapat meracuni mikroorganisme ini karena tidak adanya enzim katalase yang diproduksi menyebabkan senyawa hidrogen peroksida tidak dapat terurai sehingga dapat menimbulkan racun bagi mikroorganisme tersebut. Ada mikroorganisme lain yang termasuk golongan ini, bukan aerob bukan pula fermentatif. Bakteri ini adalah anaerob obligat tetapi bukannya menggunakan hasil antara metabolisme tersebut menggunakan ion–ion anorganik sebagai penerima elektron terakhir. (Linda 2008). Contohnya adalah Micrococcus denitrificans, Clostri-dium botulinum dan Clostridium tetani.
1. Pereduksi sulfat
Mikroorganisme ini menggunakan sulfat sebagai penerima elektron terakhir dengan mereduksinya sampai tahap sulfida. Mikroorganisme ini memerlukan bahan organik karbon, oleh karana itu mikroorganisme ini bersifat heterotrof. (Mokosuli, 2009)
2. Pereduksi nitrit
Mikroorganisme ini menggunakan nitrit sebagai akseptor elektron terakhir dan dipandang sebagai mikroorganisme anaerob fakultatif. Jika nitrat tersedia, maka dapat digunakan, jika tidak maka mikroorganisme ini akan melakukan metabolisme aerob atau metabolisme fermentasi.
3. Bakteri metan
Beberapa mikroorganisme dapat menggunakan karbondioksida sebagai akseptor elektron dan dapat mereduksinya menjadi metan. (Sumarsih, 2003)
c. Mikroorganisme Fakultatif Anaerob
Mikroorganisme ini dapat menyesuaikan hidupnya di lingkungan yang tidak mengandung oksigen. Jika ada oksigen, maka mikroorganisme ini akan memanfaatkan oksigen sebagai akseptor elektron akhir menggunakan oksigen untuk respirasi secara aerobik. Namun, jika tida ada oksigen, mikroorganisme ini akan melangsungkan fermentasi atau respirasi anaerob. (Minasari, Lisna, 2009) . Contoh bakteri anaerob fakultatif adalah Escherichia coli dan Lacto-bacillus .
d. Mikroorganisme yang Mikroaerofil
Mikroorganisme ini tidak dapat hidup di suasana adanya oksigen maupun tanpa adanya oksigen dengan sempurna. Mikroorganisme ini hanya membutuhkan oksigen dalam kuantitas yang sangat sedikit, yakni 20% dalam atmosfer atau kurang dari persentasi oksigen dalam atmosfer. Pada media makanan padat didalam tabung reaksi, mikroorganisme ini dapat tumbuh pada suatu kedalaman dimana oksigen dapat masuk secara difusi kedalam medium. (Lud, 2006)
Toksisitas O2 terjadi akibat dari reduksi oleh enzim dalam sel menjadi hidrogen peroksida dan ion-ion peroksida. Mikroorganisme aerob dan anaerob aerotoleran dapat terlindung karena adanya superoksida dismutase, suatu enzin yang mengkatalisa reaksi:
2O2 - + 2H+ O2 + H2O2
Adanya katalase, suatu enzim yang mengkatalisa reaksi:
2H2O2 2H2O + O2
Satu pengecualian yang tersebut diatas ialah kuman asam laktat, kuman anerob yang aerotoleran dan tidak mengandung katalase. Kelompok ini malah mengandalkan peroksidase yang mereduksi H2O menjadi 2H2O dengan mengorbankan zat-zat organik yang dapat dioksidasi. Semua mikroorganisme yang anerob obligat tidak memiliki superoksidase dismutase dan katalase; enzim yang pertama perlu untuk dapat bertahan dalam suasana ada O2. (Minasari, Lisma, 2009)
e. Mikroorganisme Anaerob Aerotoleran
Mikroorganisme ini pada dasarnya tidak membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. Dalam keadaan tidak ada oksigen, mikroorganisme ini dapat tumbuh dengan baik. Berbeda dengan mikroorganisme Anaerob Obligate yang tidak dapat tumbuh dalam kondisi adanya oksigen, mikroorganisme Anaerob Aerotoleran masih dapat tumbuh dalam kondisi terdapat oksigen. Mikroorganisme ini dapat mentolerir keadaan oksigen dengan kadar yang sedikit.
IV. Alat dan Bahan
a. Alat
4 Cawan petri berisi medium agar nutrisi.
Pembakan bunsen
Jarum Inokulasi
Anaerobik Jar
b. Bahan
Kultur bakteri berumur 24-48 jam Bacillus cereus, Escherichia coli, Proteus vulgaris dan Pseudomonas.
V. Analisis dan Pembahasan
Pada percobaan 10, kami tidak mempraktekan secara langsung, melainkan kami diberikan demonstrasi oleh analis laboratorium. Cara kerja pada percobaan ini dimulai dengan menyiapkan dua cawan petri yang telah berisi medium agar nutrisi. Masing-masing cawan petri tersebut diinokulasi dengan kultur bakteri. Setelah cawan petri diinokulasi dengan kultur bakteri secara aseptik, tutup cawan petri. Masing-masing cawan petri akan diinkubasi dalam keadaan yang berbeda, yang satu akan diinkubasi dalam keadaan aerob pada suhu 37oC, sedangkan cawan yang lain akan diinkubasi dalam keadaan anaerob. Bungkus kembali cawan yang akan diinkubasi dalam keadaan aerob, sedangkan untuk cawan yang akan diinkubasi dalam keadaan anaerob biarkan saja tanpa pembungkus. Untuk inkubasi anaerob, digunakan peralatan anaerobic jar. Alat ini berbentuk seperti stoples dengan kaca tebal yang tersusun dari polikarbonat. Anaerobic jar ini mempunyai kapasitas 2,5-3,5 L.
Untuk dapat menciptakan keadaan anaerob dalam stoples ini dilengkapi dengan 2 sachet yang sangat krusial perannya dalam proses ini. Satu sachet besar dan satu sachet lebih kecil. Pada sachet besar berisi senyawa kimia, yakni Sodium Borohidrida (NaBH4), Sodium Bikarbonat (NaHCO3), Asam sitrat (C3H5O(COOH)3), dan Kobalt Klorida (CoCl2). Sedangkan pada sachet kecil berfungsi sabagai indikator, dan akan berubah warna, yang semula kuning berubah menjadi merah muda ketika keadaan anaerob sudah tercapai. Regaen anaerob yang baik akan langsung bereaksi dengan menghasilkan embun. Dihasilkannya embun merupakan salah satu ciri dari reaksi yang bersifat eksoterm dan melepaskan energi dan menghasilkan panas. Cawan petri yang akan diinkubasi pada keadaan anaerob ini dimasukkan dalam stoples dalam keadaan tidak terbalik. Hal ini berlawanan dengan inkubasi pada umumnya yang mengharuskan cawan dalam keadaan terbalik. Cawan petri diletakkan dengan keadaan tidak terbalik dengan tujuan untuk menghindari jatuhnya medium agar nutrisi yang disebabkan karena tekanan dalam anaerobic jar tersebut. Jika medium rusak, maka pertumbuhan mikroorganisme akan terganggu pula. Pada tutup anaerobic jar terdapat katup. Pada saat pengikatan oksigen oleh reagen, udara dalam jar akan berkurang sedikit demi sedikit sehingga menyebabkan tekanan didalam jar akan meningkat secara perlahan. Dalam beberapa hari, untuk membuka anaerobic jar kita perlu membuka katup ini sebelum membuka tutup secara keseluruhan. Hal ini bertujuan untuk menyamakan tekanan pada dalam jar dengan tekanan pada lingkungan.
Gambar : Anaerobic jar
Sumber : http://www.slideshare.net/shababali1/3-bio265-microbial-growth-instructor-dr-di-bonaventura
Senyawa-senyawa kimia yang berperan dalam tercapainya keadaan anaerob akan saling bergabung membentuk reaksi sebagai berikut :
NaBH4 + 2H2O NaBO2 + 4H2O
C3H5O(COOH)3 + 3NaHCO3 + COCl3 C3H5O(COONa)3 + 3CO2 + 3H2 + COCl2
2H2 + O2 + COCl2 2H2O +COCl2
Fungsi COCl2 hanya sebagai katalis untuk membantu terjadinya reaksi kimia. Hidrogen yang dihasilkan pada reaksi 2 akan bereaksi dengan oksigen yang ada dalam stoples dan reaksi akan berlangsung di palladium catalyst pellete. Keadaan anaerob akan tercapai jika oksigen yang ada dalam stoples telah habis berikatan dengan hidrogen dan indikator juga berubah warna.
VII. Kesimpulan
Masing-masing mikroorganisme memiliki tingkat kebutuhan oksigen yang berbeda-beda untuk melangsungkan metabolismenya. Ada yang bersifat aerob, anaerob, anaerob fakultatif, anaerob aerotoleran, dan mikroaerofilik. Setiap bakteri akan tumbuh dengan baik sesuai dengan jenisnya dan kebutuhannya akan oksigen.
VIII. Daftar Pustaka
http://www.medical-labs.net/gaspak-system-the-anaerobic-jar-2914/
(diakses tanggal 13 Oktober 2016 pukul 19.07)
http://classes.midlandstech.edu/carterp/courses/bio225/chap06/lecture2.htm
(diakses tanggal 12 Oktober 2016 pukul 19.21)
Barti, Setiani dan Mayrina Firdayati. 2013.Penuntun Praktikum Mikrobiologi Lingkungan. Bandung: ITB
MODUL V
FAKTOR FAKTOR FISIKA DAN KIMIA YANG MENGONTROL PERTUMBUHAN MIKROORGANISME
PERCOBAAN 11: Tekanan Osmosis Lingkungan
I. Tujuan Percobaan
Mengetahui kemungkinan akibat tekanan osmosis lingkungan pada mikroorganisme.
II. Prinsip Percobaan
Osmosis adalah pergerakan molekul air melalui membran semipermiabel dari larutan yang memiliki konsentrasi tinggi ke larutan yang konsentrasi rendah. Dimana larutan tersebut mengalir dari yang memiliki tekanan osmosis tinggi yaitu yang memiliki konsentrasi tinggi ( hipertonik ) mengalir pada larutan yang memiliki tekanan osmosis rendah dimana larutan tersebut memiliki konsentrasi yang rendah ( hipotonik). Sementara pada sel organisme osmosis ini akan selalu berlangsung untuk menyesuaikan kondisi sel dengan kondisi lingkungannya. Pada saat sel berada pada konsentrasi yang sangat tinggi maka dinding sel akan lisis, dan sel akan mengkerut, peristiwa ini dinamakan dengan peristiwa plasmolisis. Sementara pada kondisi konsentrasi yang sangat rendah, air di lingkungan akan masuk kedalam sel melalui membrane semipermiabel yang ada pada dinding sel maka sel akan menggembung, peristiwa ini dinamakan plasmotisis.
III. Teori Dasar
Tekanan Osmosis adalah gejala yang timbul ketika perbedaan konsentrasi larutan dimana Osmosis adalah pergerakan molekul air melalui membrane semipermiabel dari larutan yang memiliki konsentrasi tinggi ke larutan yang konsentrasi rendah. Dimana larutan tersebut mengalir dari yang memiliki tekanan osmosis tinggi yaitu yang memiliki konsentrasi tinggi ( hipertonik ) mengalir pada larutan yang memiliki tekanan osmosis rendah dimana larutan tersebut memiliki yang rendah ( hipotonik ).Pengaruh tekanan osmosis pada pertumbuhan bakteri disebabkan karena adanya perbedaan tekanan osmosis di dalam dan di luar sel yang akan menyebabkan gangguan pada sistem metabolisme di dalam sel bakteri jika lingkungan mempunyai tekanan osmosis yang besar akan dapat mengganggu metabolisme dalam sel. Meskipun demikian beberapa jenis bakteri dan juga mikroba lainnya ada yang mempunyai ketahanan terhadap tekanan osmosis tinggi, misalnya mikroba golongan osmofilik.(Waluyo,2005)
Pada umumnya mikrobia terhambat pertumbuhannya di dalam larutan yang hipertonis. Karena sel-sel mikrobia dapat mengalami plasmolisa. Didalam larutan yang hipotonis sel mengalami plasmoptisa yang dapat di ikuti pecahnya sel. Beberapa mikrobia dapat menyesuaikan diri terhadap tekanan osmose yang tinggi; tergantung pada larutanya dapat dibedakan jasad osmofil dan halofil atau halodurik. Medium yang paling cocok bagi kehidupan bakteri ialah medium yang isotonik terhadap isi sel bakteri. Jika bakteri di tempatkan di dalam suatu larutan yang hipertonik terhadap isi sel, maka bakteri akan mengalami plasmolisis. Larutan garam atau larutan gula yang agak pekat mudah benar menyebabkan terjadinya plasmolisis ini. Sebaliknya, bakteri yang ditempatkan di dalam air suling akan kemasukan air sehingga dapat menyebabkan pecahnya bakteri, dengan kata lain, bakteri dapat mengalami plasmoptisis. Berdasarkan inilah maka pembuatan suspense bakteri dengan menggunakan air murni itu tidak kena, yang digunakan seharusnyalah medium cair.Jika perubahan nilai osmosis larutan medium tidak terjadi sekonyong konyong, akan tetapi perlahan-lahan sebagai akibat dari penguapan air, maka bakteri dapat menyesuaikan diri, sehingga tidak terjadi plasmolisis secara mendadak. (Waluyo,2005)
Tekanan osmosis sebenarnya sangat erat hubungannya dengan kandungan air. Apabila mikroba diletakkan pada larutan hipertonis, maka selnya akan mengalami plasmolisis, yaitu terkelupasnya membran sitoplasma dari dinding sel akibat mengkerutnya sitoplasma. Apabila diletakkan pada larutan hipotonis, maka sel mikroba akan mengalami plasmoptisa, yaitu pecahnya sel karena cairan masuk ke dalam sel, sel membengkak dan akhirnya pecah. (Pelczar dan Chan,2006)
Berdasarkan tekanan osmose yang diperlukan dapat dikelompokkan menjadi :
1. Mikroba osmofil, adalah mikroba yang dapat tumbuh pada kadar gula tinggi.
2. Mikroba halofil, adalah mikroba yang dapat tumbuh pada kadar garam halogen yang tinggi,
3. Mikroba halodurik, adalah kelompok mikroba yang dapat tahan (tidak mati) tetapi tidak dapat tumbuh pada kadar garam tinggi, kadar garamnya dapat mencapai 30 %. (Pelczar dan Chan,2006)
Contoh mikroba osmofil adalah beberapa jenis khamir. Khamir osmofil mampu tumbuh pada larutan gula dengan konsentrasi lebih dari 65 % (aw = 0,94). Contoh mikroba halofil adalah bakteri yang termasuk Archaebacterium, misalnya Halobacterium. Bakteri yang tahan pada kadar garam tinggi, umumnya mempunyai kandungan KCl yang tinggi dalam selnya. Selain itu bakteri ini memerlukan konsentrasi Kalium yang tinggi untuk stabilitas ribosomnya. Bakteri halofil ada yang mempunyai membran purple bilayer, dinding selnya terdiri dari murein, sehingga tahan terhadap ion Natrium.(Waluyo,2005)
Larutan garam atau larutan gula yang agak pekat mudah benar menyebabkan terjadinya plasmolisis ini. Sebaliknya, bakteri yang ditempatkan di dalam air suling akan kemasukan air sehingga dapat menyebabkan pecahnya bakteri dengan kata lain bakteri dapat mengalami plasmoptisis. Jika perubahan nilai osmosis larutan medium tidak terjadi, akan tetapi perlahan – lahan sebagai akibat dari penguapan air, maka bakteri dapat menyesuaikan diri, sehingga tidak terjadi plasmolosis secara mendadak. (Dwidjosepoetro, 1995)
Osmosis adalah difusi melintasi semipermiabel yang memisahkan dua macam larutan dengan konsentrasi solut yang berbeda. Pada sel hewan yang tidak mempunyai dinding yang kaku, dapat teramati penyusutan sel yang sesungguhnya sebagai akibat plasmolisis. Bakteri memiliki dinding sel yang kaku yang dapat mempertahankan perubahan tekanan osmosik, sehingga biasanya tidak menunjukkan perubahan bentuk ataupun ukuran yang menyolok bila terjadi plasmolisis atau plasmoptisis.(Pelczar dan Chan,2006)
Bahan yang diinokulasikan pada medium disebut inokulum dengan menginokukasi medium agar nutrien dengan metode cawan tuang sel – sel itu akan terpisah sendiri – sendiri setelah inkubasi, sel – sel mikroba individu itu memperbanyak diri sedemikian lipatnya sehingga di dalam waktu 18 – 24 jam terbentuklah massa jel yang dapat dilihat dan dinamakan koloni. Koloni ini tampak oleh mata telanjang. (Pelczar dan Chan,2006)
IV. Alat dan Bahan
Alat
Pembakar bunsen
Jarum Inokulasi
Delapan tabung reaksi berisi agar nutrisi miring terbagi menjadi dua seri dimana tiap seri memiliki empat macam konsentrasi NaCl; 0,5% ; 5% ; 10% ;15%
Bahan
Kultur bakteri dengan media kaldu nutrisi berusia 24-48 jam Staphylococcus aureus, Escherichia coli.
V. Data
Hasil 11
No.
Hasil Pengamatan
Keterangan
1.
1. 0,5%
2. 5%
Sumber : Kelompok 2
3. 10%
Sumber : Kelompok 3
4. 15%
Sumber : Kelompok 4
Bakteri : Staphylococcus aureus
Sumber Media : Suspensi Kultur berumur 24-48 jam
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
Tanggal Pengamatan : 5 Oktober 2016
Pengamatan :
1. 0,5%
2. 5%
3. 10%
4. 15%
Sumber : Kelompok
2.
1. 0,5%
Sumber : Kelompok 5
2. 5%
Sumber : Kelompok 6
3. 10%
Sumber : Kelompok 7
4. 15%
Sumber : Kelompok 8
Bakteri : Escherichia coli
Sumber Media : Suspensi Kultur berumur 24-48 jam
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
Tanggal Pengamatan : 5 Oktober 2016
Pengamatan :
1. 0,5%
2. 5%
3. 10%
4. 15%
Sumber : Kelompok5
3.
1. 0,5%
2. 5%
Sumber : Kelompok 10
3. 10%
4. 15%
Sumber : Kelompok 4
Bakteri : Pseudomonas
Sumber Media : Suspensi Kultur berumur 24-48 jam
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
Tanggal Pengamatan : 5 Oktober 2016
Pengamatan :
1. 0,5%
2. 5%
3. 10%
4. 15%
Sumber : Kelompok 10
VI. Analisis
Percobaan 11 bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui pengaruh faktor fisik ( konsentrasi NaCl) terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, percobaan ini mampu menentukan pertumbuhan bakteri yang terbanyak serta yang lebih sedikit berdasarkan jumlah koloninya oleh pengaruh faktor fisik dari lingkungannya (konsentrasi NaCl). Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, terlihat bahwa mikroba yang tumbuh pada tekanan osmotik, semakin besar kadar atau persentase NaCl yang diberikan, akan semakin banyak pula bakteri tumbuh yang ditandai dengan semakin banyak jumlah koloni bakteri yang tumbuh. Begitu juga pada paparan waktu yang lebih lama pertumbuhan koloni bakteri semakin banyak.
Tekanan osmosis juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri karena merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Pekat atau encernya konsentrasi pada bahan kimia dan lamanya berada di bawah pengaruh larutan, merupakan faktor-faktor yang diperhitungkan. Berdasarkan hasil percobaan ini terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan garam dan glukosa serta paparan waktu , pertumbuhan bakteri semakin sedikit. Pada percobaan 11, kami menggunakan bakteri Escherichia coli dengan konsentrasi NaCl sebesar 5%. Dari hasil percobaan, terjadi pertumbuhan bakteri yang cukup tinggi. Namun jika dibandingkan dengan percobaan yang menggunakan konsentrasi NaCl sebesar 0,5% , hasil yang kami dapatkan lebih sedikit. Konsentrasi NaCl sangat berpegaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme, jika konsentrasinya sangat tinggi, sel akan mengalami plasmolisis yaitu kondisi dimana semua sel kehilangan air karena konsentrasi larutan yang lebih tinggi (hipertonik) dan sel akan mengkerut. Dari hasil pengamatan dapat kita lihat bahwa bakteri Escherichia coli masih dapat tumbuh dalam konsentrasi NaCl yang tinggi 15% hal ini menandakan bahwa bakteri Escherichia coli merupakan bakteri Halofilik yaitu bakteri yang tahan dalam kondisi salinitas (kadar garam) yang tinggi.
Pada percobaan yang menggunakan bakteri Staphylococcus terjadi kejanggalan, pada hasil percobaan didapatkan bahwa pertumbuhan bakteri Staphylococcus pada konsentrasi 15% sangat tinggi, sementara pada konsentrasi NaCl 0,5 % pertumbuhannya tidak signifikan. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri yang tidak sesuai, salah satunya kesalahan praktikan dalam menginokulasikan kultur biakan murni ke media. Selain itu, pada percobaan yang menggunakan bakteri Pseudomonas pertumbuhan bakteri menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi NaCl. Hal ini membuktikan bahwa bakteri Pseudomonas tidak termasuk kedalam bakteri halofilik.
Pertumbuhan bakteri yang banyak dan ada pula yang sedikit tersebut membuktikan adanya tekanan osmosis. Menurut Waluyo (2005),Pengaruh tekanan osmosis pada pertumbuhan bakteri disebabkan karena adanya perbedaan tekanan osmosis di dalam dan di luar sel yang akan menyebabkan gangguan pada sistem metabolisme di dalam sel bakteri jika lingkungan mempunyai tekanan osmosis yang besar akan dapat mengganggu metabolisme dalam sel. Meskipun demikian beberapa jenis bakteri dan juga mikroba lainnya ada yang mempunyai ketahanan terhadap tekanan osmosis tinggi, misalnya mikroba golongan osmofilik.
Larutan garam dan larutan gula yang agak pekat mudah benar menyebabkan terjadinya plasmolisis ini. Sebaliknya, bakteri yang ditempatkan di dalam air suling akan kemasukan air sehingga dapat menyebabkan pecahnya bakteri, dengan kata lain, bakteri dapat mengalami plasmoptisis. Berdasarkan inilah maka pembuatan suspense bakteri dengan menggunakan air murni itu tidak kena, yang digunakan seharusnyalah medium cair. Jika perubahan nilai osmosis larutan medium tidak terjadi sekaligus, akan tetapi perlahan-lahan sebagai akibat dari penguapan air, maka bakteri dapat menyesuaikan diri, sehingga tidak terjadi plasmolisis secara mendadak. (Waluyo,2005).
VII. Kesimpulan
Setiap bakteri memiliki karakteristik yang berbeda dan kebutuhan yang berbeda untuk pertumbuhannya. Salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan bakteri yaitu salinitas lingkungannya. Bakteri yang mampu tumbuh dalam kondisi garam yang sangat tinggi termasuk dalam bakteri Halofil yang sebagian besar diantaranya merupakan kelompok dari Archaebacteria. Pada percobaan 11 terjadi perbedaan pertumbuhan pada setiap bakteri. Pada umumnya, pertumbuhan bakteri akan menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi NaCl pada lingkungannya. Karena pertambahan konsentrasi NaCl akan mempercepat proses Plasmolisis pada sel bakteri tersebut.
VIII. Daftar Pustaka
Entijang, Indan . 2003 . Mikrobiologi dan Parasitologi . P.T. Citra Aditya Bakti : Bandung.
Suharjono . 2006 . Komunitas Kapang Tanah di Lahan Kritis Berkapur DAS Brantas Pada Musim Kemarau. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Brawijaya : Malang.
Hasanah Uswatun, Neneng.2015."Praktikum Mikrobiologi".
PERCOBAAN 12 : Agen Chemotherapeutic
I. Tujuan Percobaan
Mengetahui pengaruh antibiotika sebagai agen chemotherapeutic mengontrol pertumbuhan mikroorganisme.
II. Prinsip Percobaan
Agen chemotherapeutic adalah senyawa kimia yang digunakan dalam pengobatan infeksi. Modus kerjanya adalah mengganggu metabolisme mikroba, menghasilkan efek mematikan atau statis pada mikroorganisme, tanpa efek yang sama bagi hostnya. Agen chemotherapeutic terbagi menjadi dua kategori yaitu Antibiotik yang disintesa dan dikeluarkan oleh bakteri, aktinomisetes dan jamur yang dapat merusak atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Beberapa antibiotika saat ini sudah merupakan hasil sintesa atau modifikasi laboratorium, namun asalnya tetap dari sel hidup, dan Obat Sintetis yang disintesa di laboratorium, untuk menggunakannya, kita harus mengetahui modus kerjanya, kemungkinan efek sampingnya yang merugikan untuk host dan jangkauan aktivitas antimikrobanya. Mekanisme aksi spesifik dari tiap obat akan berbeda. Pengaruh lama pemakaian obat akan memberikan efek samping yang sistemik bagi hostnya, terutama adanya kerusakan jaringan yang permanen.
III. Teori Dasar
Antibiotik merupakan suatu senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau yang diproduksi secara sintetis kimia yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Aktivitas antibiotika dibagi dua yaitu bakteriostatik dan bakterisid. Pengertian dari bakteriostatik yakni aktivitas antibiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri. Contoh senyawa yang memiliki sifat bakteriostatik di antaranya tetrasiklin,kloramfenikol, eritromisin, sulfonamid dan trimetoprim. Sedangkan aktivitas antibiotik yang bersifat bakterisid yang berarti dapat membunuh bakteri. Yang termasuk dalam bakterisid di antaranya penicillin, sefalosporin, aminoglikosid dan basitrasin. Berdasarkan daya basmi, antibiotik dikelompokkan menjadi antibiotik spektrum luas dan antibiotik spektrum sempit. Antibiotik spektrum luas memiliki daerah kerja yang luas juga karena antibiotik ini mampu bekerja aktif pada bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Sedangkan antibiotik spektrum sempit hanya mampu bekerja aktif pada bakteri gram negatif.
Berdasarkan mekanisme kerjanya terhadap bakteri, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut (Stringer, 2006) :
Inhibitor sintesis dinding sel bakteri memiliki efek bakterisid dengan memecah enzim dinding sel dan menghambat enzim dalam sintesis dinding sel. Contohnya antara lain golongan β-Laktam seperti penisilin, sefalosporin, karbapenem, monobaktam, dan inhibitor sintesis dinding sel lainnya seperti vancomysin, basitrasin, fosfomysin, dan daptomysin.
Inhibitor sintesis protein bakteri memiliki efek bakterisidal atau bakteriostatik dengan cara menganggu sintesis protein tanpa mengganggu sel-sel normal dan menghambat tahap-tahap sintesis protein. Obat- obat yang aktivitasnya menginhibitor sintesis protein bakteri seperti aminoglikosida, makrolida, tetrasiklin, streptogamin, klindamisin, oksazolidinon, kloramfenikol.
Mengubah permeabilitas membran sel memiliki efek bakteriostatik dan bakteriostatik dengan menghilangkan permeabilitas membran dan oleh karena hilangnya substansi seluler menyebabkan sel menjadi lisis. Obatobat yang memiliki aktivitas ini antara lain polimiksin, amfoterisin B, gramisidin, nistatin, kolistin.
Menghambat sintesa folat mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat seperti sulfonamida dan trimetoprim. Bakteri tidak dapat mengabsorbsi asam folat, tetapi harus membuat asam folat dari PABA (asam para amino benzoat), dan glutamat. Sedangkan pada manusia, asam folat merupakan vitamin dan kita tidak dapat menyintesis asam folat. Hal ini menjadi suatu target yang baik dan selektif untuk senyawa-senyawa antimikroba.
Mengganggu sintesis DNA mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat seperti metronidasol, kinolon, novobiosin. Obat-obat ini menghambat asam deoksiribonukleat (DNA) girase sehingga mengahambat sintesis DNA. DNA girase adalah enzim yang terdapat pada bakteri yang menyebabkan terbukanya dan terbentuknya superheliks pada DNA sehingga menghambat replikasi DNA.
Kerja antibiotik secara tidak langsung dikode oleh gen, namun antibiotik diproduksi dalam sel dengan reaksi katalis enzim. Enzim disusun berdasarkan intruksi dari gen spesifik. Melalui fusi sel, gen akan saling berkombinasi dan mensintesis enzim-enzim baru, sehingga mikroba dapat menghasilkan antibiotik baru.
Berdasarkan daya hambat antibiotik, terdapat 2 pola hambat antibiotik terhadap kuman yaitu (Anonim, 2008) :
Time dependent killing
Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal jika kadarnya dipertahankan cukup lama di atas Kadar Hambat Minimal kuman. Contohnya pada antibiotik penisilin, sefalosporin, linezoid, dan eritromisin.
Concentration dependent killing.
Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal jika kadarnya relatif tinggi atau dalam dosis besar, tapi tidak perlu mempertahankan kadar tinggi ini dalam waktu lama. Contohnya pada antibiotik aminoglikosida, fluorokuinolon, dan ketolid.
Perlakuan terhadap penyakit dengan substansi kimiawi disebut chemotherapy sedangkan substansi kimianya disebut chemoteurapeutic agent. Dalam kegunaannya, agen chemoteurapeutic ini harus memiliki syarat :
1. Menghambat pertumbuhan parasit tanpa merusak sel inang (host)
2. Kemampuan kontak dengan parasit melalui penetrasi sel dan jaringan inang dalam konsentrasi yang efektif
3. Mencegah timbulnya mekanisme pencegahan secara alami dari inang seperti fagositosis dan produksi antibodi.
Pemilihan agen chemoteurapeutic yang terbaik memiliki kriteria :
1. Toksisitas yang selektif
2. Kepekaan patogen
3. Aktivitas spektrum
4. Kemungkinan adanya reaksi yang merugikan
5. Tempat infeksi dan distribusi obat dalam inang
6. Metabolisme obat antimikroba
7. Lamanya waktu pengobatan
8. Interaksi obat antimikroba
IV. Alat dan Bahan
Alat
Cawan Petri berisi media agar nutrisi
Pembakar Bunsen
Swab kapas steril
Kertas Isap
Pinset
Bahan
Kultur biakan bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Proteus vulgaris dan Bacillus cereus
Larutan anti mikroba; penicillin, streptomycin, tetrasiklin atau kloromfenikol.
V. Data
No.
Hasil Pengamatan
Keterangan
1
Bakteri : Escherichia coli
Sumber Media : Suspensi Kultur berumur 24-48 jam
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
Tanggal Pengamatan : 5 Oktober 2016
Pengamatan :
1. Tetrasiklin
2. Tiamfenikol
3. Kloroamfenikol
2
Bakteri : Staphylococcus aureus
Sumber Media : Suspensi Kultur berumur 24-48 jam
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
Tanggal Pengamatan : 5 Oktober 2016
Pengamatan :
4. Tetrasiklin
5. Tiamfenikol
6. Kloroamfenikol
3
Bakteri : Proteus vulgaris
Sumber Media : Suspensi Kultur berumur 24-48 jam
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
Tanggal Pengamatan : 5 Oktober 2016
Pengamatan :
A. Tetrasiklin (Kelompok 7)
B. Tiamfenikol (Kelompok 8)
C. Kloroamfenikol (Kelompok 9)
4
5510101111
5
5
10
10
11
11
Bakteri : Bacillus cereus
Sumber Media : Suspensi Kultur berumur 24-48 jam
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
Tanggal Pengamatan : 5 Oktober 2016
Pengamatan :
10. Tetrasiklin
11. Tiamfenikol
5. Kloroamfenikol
VI. Analisis
Pada percobaan 12 kami menggunakan antibiotik kloroamfenikol dengan bakteri Staphylococcus pada cawan petri nomor 2. Antibiotik merupakan agen chemotherapeutic yang berfungsi sebagai pengobatan infeksi dan mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap mutan atau transforman. Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri. Antibiotika berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desinfektan membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman untuk hidup. Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun seperti strychnine, antibiotika dijuluki "peluru ajaib": obat yang membidik penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif atau gram positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut. Pada percobaan 12 digunakan 3 antibiotik yang berbeda yaitu Tetrasiklin, Tiamfenikol dan Kloroamfenikol.
Antibiotic golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan ialah klortetrasiklin yang dhasilkan oleh Streptomyces aureofaciens. Kemudian ditemukan oksitetrasiklin dari Sterptomyces rimosus. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin,tetapi juga ddapat diperoleh dari species Streptomyces lain. Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air,tetapi merupakan bentu garam natrium atau garam HCl-nya mudah larut. Dalam keadaan kering,bentuk basa dan garam HCl tetrasiklin bersifat relative stabil. Dalam larutan,kebanyakan tetrasiklin sangat labil jadi cepat berkurang potensinya. Tetrasklin memperlihatkan spectrum antibakteri yang luas meliputi kuman gram positif dan negative,aerobic dan anaerobic. Selain itu juga aktif terhadap spiroket, mikroplasma, riketsia, klmidia, legionela, dan protozoa tertentu. Pada umumnya tetrasiklin tidak digunakan untuk pengobatan infeksi oleh sterptokokus karena ada obat lain yang lebih efektif yaitu penisilin G,eritromiin,sefaloporin : kecuali doksisiklin yang digunakan untuk pengobatan sinusitis pada orang dewasa yang disebabkan oleh Str. Pneumoniae dan Stepyogenes. Banyak strain S. Aureus yang resisten terhadap tetrasiklin.
Efektivitasnya tinggi terhadap infeksi batang gram-negatif seperti Brucella, Francisella tularensis, Pseudomonas mallei, Pseuodomonas pseudomallei, Vibrio cholera, Campylobacter fetus, Haemophilus ducreyi dan Calymmatobacterium granulomatis, Yersinia pestis, Pasteurella multocida,Spirillium minor, Leptotrichia buccalis, Bordetella pertusis, Acinetobacter dan Fusobacterium. Strain tertentu H.influinzae mungkin sensitif, tetapi E.colli, Klebsiella, Enterbacter, Proteus indol positif dan Pseudomonas umumnya resisten. Tetrasiklin tidak menghambat fungi. Mereka secara temporer menekan sebagian flora perut normal, tapi dapat saja menyebabkan superinfeksi, khususnya dengan pseudomonas yang resisten terhadap tetrasiklin, proteus, stafilokokus, dan ragi.
Kloramfenikol (chloramphenicol) adalah antibiotik yang digunakan secara luas pada infeksi bakteri. kloramfenikol (chloramphenicol) adalah antibiotika jenis bakteriostatik dengan menghambat sistesis protein dengan cara menghambat aktivitas peptidil transferase dari ribosom bakteri, secara spesifik mengikat residu A2451 dan A2452 dari 23s rRNA subunit ribosom 50s untuk mencegah terjadinya ikatan peptida. Kegunaan obat kloramfenikol (chloramphenicol) adalah untuk pengobatan demam tifus, paratifus, infeksi Salmonella sp, H.influenzae, terutama infeksi Lympogranulloma psitatacosis, bakteri gram negatif penyebab bakteria meningitis, infeksi kuman yang resisten terhadap antibiotik lain, tidak untuk hepatobilier dan gonorrhoea. Mekanisme kerja kloramfenikol menghambat sistesis portein pada bakteri dan dalam jumlah terbatas, pada sel eukariot. Obat ini segera berpenetrasi ke sel bakteri, kemungkinan melalui difusi terfasilitasi. Kloramfenikol terutama bekerja dengan memikat subunit ribosom 50 S secara reversibel (di dekat tempat kerja antibiotic makrlida dan klindamisin, yang dihambat secara kompetitif oleh obat ini). Walaupun pengikatan tRNA pada bagian pengenalan kodon ini ternyata menghalangi pengikatan ujung tRNA aminosil yang mengandung asam amino ke tempat akseptor pada subunit ribosom 50 S. interkasi antara pepdiltranferase dengan substrat asam aminonya tidak dapat terjadi, sehingga pembentukan ikatan peptide terhambat.
Kloramfenikol juga dapat menghambat sistesis protein mitokondria pada sel mamalia, kemungkinan karena ribosom mitokondria lebih menyerupai ribosom bakteri (keduanya 70 S) dari pada ribosom sitoplasma 80 S pada sel mamalia. Peptidiltransferase ribosom mitokondria, dan bukan ribosom sitoplasma, rentan terhadap kerja penghambtan kloramfenikol. Sel eritropoietik mamalia tampaknya terutama peka terhadap obat ini. Kloramfenikol memiliki aktivitas antimikroba berspektrum luas. Galur dianggap peka apabila dapat dihambat oleh konsentrasi 8 µg/ml atau kurang, kecuali N. gonnorhoeae, S. pneumoniae, dan H. influenza, yang memiliki batas MIC yang lebih rendah. Kloramfenikol terutama bersifat bakteriostatik, walupun dapat bersifat bakterisida terhadap spesies tertentu, seperti N. gonnorhoeae, S. pneumoniae, dan H. influenza.Lebih dari 95% galur bakteri gram-negatif berikut ini dihambat secara in vitro oleh kloramfenikol 8,0 µg/ml atau kurang., yakni N. gonnorhoeae, S. pneumoniae, dan H. influenza. Demikian juga, kebanyakan juga bakteri anaerob, termasuk kokus gram-positif dan Clostridium spp, serta batang-batang negative termasuk B. fragilis dihambat oleh obat ini pada konsentrasi tersebut. Beberapa kokus gram-positif aerob, termasukStreptococcus pyogenes, Streptococcus agalactiae (streptokokus kelompok B), dan S. pneumonia peka terhadap 8 µg/ml. galur S. aeruscenderung tidak begitu rentan, dengan MIC yang lebih besar dari 8 µg/ml. kloramfenikol aktif terhadap Mycoplasma, Chlamydia, dan Rickettsia. Bakteri dikatakan resistensi bila pertumbuhannya tidak dapat dihambat oleh antibiotika pada kadar maksimum yang dapat ditolerir oleh pejamu.
Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil transferase yang diperantarai oleh faktor-R yang menimbulkan ketidakmampuan organisme untuk mengakumulasikan obat sehingga menimbulkan resistensi. Resistensi terhadap P.aeruginosa. Proteus dan Klebsiella terjadi karena perubahan permeabilitas membran yang mengurangi masuknya obat ke dalam sel bakteri. Beberapa strain D. Pneumoniae, H. Influenzae, dan N. Meningitidis bersifat resisten. Obat ini juga efektif terhadap kebanyakan strain E.Coli, K. Pneumoniae, dan P. Mirabilis, kebanyakan Serratia, Providencia dan Proteus rettgerii resisten, juga kebanyakan strain P. Aeruginosa dan S. Typhi.
Tiamfenikol adalah antibiotik spektrum luas yang mempunyai cara kerja seperti kloramfenikol. Tiamfenikol kurang aktif dibandingkan dengan kloramfenikol, namun sama efektifnya dan efek bakterisidnya lebih baik terhadap Haemophilus spp dan Neisseria spp. Tiamfenikol bekerja dengan cara berikatan dengan ribosom bakteri secara reversiblesehingga menghambat sintesis protein dari bakteri yang peka, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan bakteri. Tiamfenikol merupakan turunan dari Kloroamfenikol sehingga mekanisme kerjanya tidak jauh berbeda dengan Kloroamfenikol. Dari seluruh hasil percobaan, dapat kita lihat bahwa Tetrasiklin memiliki pengaruh paling kuat dalam mengontrol dan menghambat pertumbuhan bakteri.
VII. Kesimpulan
Antibiotik yang digunakan pada percobaan 12 memiliki sifat yang berbeda satu sama lain. Selain itu, setiap bakteri memiliki resistensi pada antibiotik tertentu, seperti bakteri Escherichia coli dan Bacillus aureus yang resisten terhadap antibiotik Tetrasiklin. Sementara Kloramfenikol dan Tiamfenikol memiliki aktivitas antimikroba berspektrum luas.
VIII. Daftar Pustaka
Dwidjoseputro. 2008. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan. Surabaya. 206 hlm.
Irianto, K. 2007. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Yrama Widya. Bandung. 256 hlm.
Lay, B.W. & Hastomo. 1990. Mikrobiologi. Rajawali Press. Jakarta. 514 hlm.
http://classes.midlandstech.edu/carterp/courses/bio225/chap06/lecture2.htm (diakses tanggal 25 Oktober 2016 pukul 19.54)
Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi : ulasan bergambar Ed.2. Jakarta : Widya Medika.
TIM MIKROBIOLOGI FK Universitas Brawijaya.2003.Bakteriologi. Medik.Malang : Bandung Publising
Harvey A. Richard.Farmakologi.1995.Widya Medika : Jakarta