PROGRAM DRUG UTILIZATION REVIEW DI RS
Salah satu masalah penting yang dihadapi unit pelayanan kesehatan adalah rasionalitas penggunaan penggunaan obat. WHO mendefinisikan penggunaan penggunaan obat rasional sebagai berikut : pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dengan dosis yang sesuai, dan rentang waktu yang sesuai, dengan harga terendah. Penggunaan obat rasional membutuhkan pendekatan individual pada pasien. Keberhasilan terapi obat tergantung pada : •
•
Kemampuan dokter mendiagnosis masalah kesehatan utama, memilih dosis yang tepat, bentuk sediaan dan rute administrasi yang tepat, mengidentifikasi kemungkinan efek samping dan interaksi obat, dan mencegah terapi duplikasi. Kemampuan farmasis menyiapkan obat dan perawat memberikan obat pada pasien.
Penerapan Formularium RS dapat membantu optimalisasi pengobatan, menyediakan obat esensial dan mengontrol biaya terapi, sehingga merupakan dasar pengobatan rasional. Tetapi FRS yang sudah tepat tidak bisa menjamin obat telah diresepkan dan digunakan di gunakan dengan tepat pula. Salah satu mekanisme untuk menjamin ketepatan peresepan dan penggunaan obat adalah proses drug utilization review (DUR) review (DUR) atau evaluasi penggunaan penggunaan obat. Program DUR harus direncanakan dengan hati-hati oleh staf medis untuk menyertakan obatobat yang paling menimbulkan masalah bila tidak digunakan dengan tepat. Dengan membandingkan penggunaan obat sesungguhnya dengan standar atau pedoman pengobatan, DUR dapat mendeteksi terapi oabt yang tidak sesuai dan/atau tidak perlu. Program DUR dapat dirancang untuk memonitor obat tertentu, kelompok obat maupun obat-obat yang digunakan untuk penyakit tertentu. Bila suatu masalah teridentifikasi, dirancang suatu intervensi dan diterapkan untuk memperbaiki pola penggunaan obat. Intervensi yang dapat dilakukan meliputi program pendidikan, penyediaan informasi obat, perubahan kebijakan dan prosedur RS, serta perubahan formularium formularium RS. Beberapa istilah dalam DUR :
Kriteria : parameter yang telah ditentukan sebelumnya tentang peresepan dan penggunaan obat dan digunakan dalam program DUR untuk membandingkan dengan kenyataannya. Kriteria sebaiknya disusun atau diseleksi oleh tenaga kesehatan profesional. Threshold atau ambang batas : merupakan persentase, yang besarnya ditetapkan oleh komite DUR, yang menandakan titik dimana terjadi masalah terapi obat. Sebagai contoh, ambang 95% berarti komite DUR menentukan bahwa terjadi masalah bila kurang dari 95% data terkumpul untuk suatu kriteria menunjukkan kepatuhan/kesesuaian. kepatuhan/kesesuaian.
Prospective DUR : melibatkan perbandingan obat yang dipesan dengan kriteria sebelum pasien menerima obat. Jenis evaluasi ini ideal karena bersifat poten preventif, dan karena intervensi terpusat pada individu pasien. Concurrent DUR : melibatkan evaluasi obat yang dipesan selama terapi. Evaluasi jenis ini ideal karena penyesuaian terapi obat mungkin diperlukan berdasarkan perkembangan diagnosis dan tes laboratorium. Retrospective DUR : melibatkan evaluasi obat yang telah diresepkan dan digunakan. Evaluasi tipe ini paling mudah dan murah, namun tidak memungkinkan dilakukan intervensi untuk memperbaiki terapi yang telah diterima pasien yang digunakan sebagai objek penelitian. Intervensi : aktivitas yang diseleksi oleh komite DUR untuk mengoreksi masalah terapi obat yang teridenfikasi selama monitor dan evaluasi DUR. Program DUR dibagi menjadi 4 fase : perencanaan, pengumpulan data dan evaluasi, intervensi dan evaluasi program. FASE 1 : PERENCANAAN Langkah 1. Menbentuk komite DUR. Langkah 2. Menulis kebijakan dan prosedur Langkah 3. Menentukan semua bagian atau departemen di RS dimana obat digunakan (termasuk gawat darurat, ICU, bagian bedah, radiologi, dll ). Langkah 4. Identifikasi obat-obat yang berpeluang dimasukkan dalam program. Langkah 5. Penilaian sumber daya yang tersedia untuk penetapan kriteria, pengumpulan dan evaluasi data, dan pemilihan obat yang dimasukkan dalam program. Langkah 6. Untuk masing-masing obat, ditentukan aspek (indikasi, dosis, bentuk sediaan, dll) penggunaan obat yang dimonitor atau dievaluasi. Langkah 7. Pemilihan kriteria dan penentuan ambang batas. Langkah 8. Pemastian metodologi untuk pengumpulan dan evaluasi data, serta penyusunan jadwal.. Langkah 9. Edukasi staf RS tentang program DUR dan kriteria yang sudah ditentukan. FASE 2: PENGUMPULAN DATA DAN EVALUASI Langkah 10. Pengumpulan data. Langkah 11. Evaluasi data and penentuan apakah ada masalah penggunaan obat FASE 3: INTERVENTION Langkah 12. Diseminasi hasil pada staf RS. Langkah 13. Jika ditemukan masalah penggunaan oabt, dirancang dan diterapkan suatu intervensi. Langkah 14. Dilakukan pengumpulan data lagi untukm menentukan apakah penggunaan obat telah membaik setelah dilakukan intervensi. Langkah 15. Diseminasi hasil re-evaluasi.
FASE 4: EVALUASI PROGRAM Langkah 16. Evaluasi semua aktivitas program DUR pada akhir tahun evaluasi, dan merencanakan aktivitas untuk tahun berikutnya.
FASE 1 : PERENCANAAN Langkah 1. Menbentuk komite DUR.
Seperti halnya penyusunan Formularium RS, DUR merupakan tugas staf medis dibantu farmasis dan perawat. Jika di RS sudah ada Komite FRS, komite ini yang bertanggung jawab terhadap program DUR atau bisa dibentuk subkomite DUR. Komposisi anggota komite DUR harus melibatkan tenaga profesional yang berkompeten dalam perbaikan terapi obat di RS, dan mempunyai akses langsung dengan semua bagian di RS dimana obat di gunakan. Kewajiban penting dari Komite DUR adalah penentuan kriteria. Keberhasilan DUR dalam perbaikan terapi obat dan mengontrol biaya obat sangat tergantung pada partisipasi aktif dokter, farmakologis klinis, farmasis klinis, dengan didukung pengetahuan tentang farmakoterapi dan farmakokinetika. Langkah 2. Menulis kebijakan dan prosedur
Berikut ini adalah elemen-elemen penting yang direkomendasikan dimasukkan dalam kebijakan dan prosedur DUR : a. Pernyataan program Harus dinyatakan bahwa program DUR bersifat berkelanjutan, dan merupakan suatu kebijakan, sehingga staf medik paham bahwa RS berkomitmen untuk menjamin penggunaan obat yang efektif dan aman, dan bahwa evaluasi penggunaan obat bukan aktivitas yang dilakukan setelah ada masalah namun merupakan kegiatan kontinyu. b. Pernyataan Misi Berikut ini contoh pernyataan sederhana, mencakup tujuan dan aktivitas utama dari program DUR : “Komite DUR, bekerja sama dengan Instalasi Farmasi, akan bertanggung jawab untuk menjamin penggunaan obat yang ssuai, aman dan efektif di RS. Hal ini akan dijalankan melalui pengembangan dan pelaksanaan program monitoring dan evaluasi yang sistematik, berkelanjutan dan berdasar kriteria, bekerja sama dengan Komite Formularium. Temuan dari monitoring dan evaluasi akan ditindaklanjuti dengan berbagai aktivitas, termasuk penambahan obat baru dalam Formularium, penghapusan obat dari Formularium, pembatasan penggunaan obat tertentu pada sebagian pasien atau penyakit, intervensi edukasi, untuk memperbaiki penggunaan obat.
c. Anggota komite Umumnya komite DUR terdiri dari tenaga profesional yang bertanggung jawab terhadap penggunaan obat di bagian farmasi, spesialis (bedah, gawat darurat, anak, dll), bagian informasi obat, dan perawat. Panitia Ad hoc dapat dibentuk khusus untuk penentuan kriteria, evaluasi data dan merancang intervensi. Ketua dan sekretaris komite sebaiknya ditunjuk atau dipilih berdasarkan kebijakan RS. Biasanya farmasis atau farmakologis klinis berperan sebagai sekretaris. d. Frekuensi pertemuan Frekuesi pertemuan sangat bergantung pada jangkauan program, yang ditentukan berdasarkan sumber daya yang tesedia dan kebutuhan klinis. Jadwal minimal harus mencakup pertemuan tahunan, pertemuan untuk penentuan kriteria, evaluasi data, merancang intervensi, dan mengevaluasi program. e. Siklus program Siklus program DUR harus melibatkan 4 aktivitas berdasrkan fase, yaitu perencanaan, pengumpulan data dan evaluasi, intervensi dan evaluasi program. Siklus tahunan adalah yang terbaik. f. Aspek penggunaan obat yang akan dievaluasi Aspek penggunaan obat akan berbeda tiap obat dan tiap RS, karena perbedaan pola pasien, kapasitas laboratorium, spesialiasi, dan anggaran untuk obat. Salah satu pendekatan, adalah dengan mengklasifikasikan aspek ke dalam : justifikasi (dasar kebenaran) penggunaan, indikator proses, dan indikator hasil.
Parameter justifikasi penggunaan menetapkan pada kondisi bagaimana obat yang akan dievaluasi seharusnya diresepkan, yaitu merupakan indikasi obat. Contoh, indikasi ceftazidime adalah untuk infeksi Pseudomonas aeruginosa; atau digoxin, digunakan bila terjadi takhiaritmia atrial. Indikator proses, merupakan parameter yang menggambarkan berbagai aspek terapi yang akan dievaluasi, meliputi : •
Indikasi
•
Efek samping
•
Manajemen overdosis
•
Preparasi
•
Rute Administrasi
•
Interaksi obat-obat dan obat-makanan
•
Monitoring/tes laboratorium
•
Edukasi pasien
Indikator hasil , merupakan hasil dari terapi. Contoh : indikator hasil untuk ceftazidime adalah: penurunan demam sedikitnya 1 oC dalam 3 hari setelah dosis pertama, eradikasi
bakteri yang ditandai dengan kultur negatif dalam 24 jam setelah penghentian ceftazidime; dan white blood count (WBC) ada dalam rentang normal. Indikator juga bisa mencakup biaya terapi. g. Persyaratan Penetapan kriteria Persyaratan untuk kriteria penggunaan obat harus disusun menggunakan berbagai sumber, termasuk literatur ilmiah, pengalaman RS, pedoman terapi, dan lain-lain. h. Diseminasi informasi Hasil monitoring dan evaluasi didiseminasikan pada personil RS yang terkait. Hal ini akan membantu mencegah persepsi negatif dari staf medik. i. Tipe intervensi Intervensi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki penggunaan obat: •
Program edukasi berkelanjutan
•
Pedoman tertulis penggunaan obat
•
Pembuatan form pesanan untuk obat khusus
•
Perubahan kebijakan RS dan prosedur
•
Penambahan atau penghapusan obat dalam formularium
•
Pembatasan peresepan
•
Konseling formal atau nonformal
j. Evaluasi Program Program DUR dievaluasi pada tiap akhir siklus, sehingga peningkatan dapat dibuat, dan untuk menilai dampak klinis dan ekonomis pada RS. Langkah 3. Menentukan semua bagian atau departemen di RS dimana obat digunakan (termasuk gawat darurat, ICU, bagian bedah, radiologi, dll).
Umunya program DUR tidak diberlakukan terhadap semua obat yang digunakan di RS dalam setiap siklus programnya. Beberapa bagian, seperti farmasi, bedah, anak, masuk dalam program DUS setiap tahun, tapi bagian lains eperti radiologi hanya dimasukkan misalnya setiap tiga atau empat tahun sekali. Langkah 4. Identifikasi obat-obat yang berpeluang dimasukkan dalam program.
Tidak mungkin dan tidak perlu memonitor dan mengevaluasi semua obat yang digunakan di RS. Komite DUR harus menentukan obat prioritas, yang perbaikan penggunaannya akan menghasilkan dampak klinis dan ekonomis yang besar, antara lain obat-obat yang: •
Biaya tinggi, volume tinggi, obat yang penting secara klinis (bisa diidentifikasi dan dipilih dengan analisis ABC/VEN)
•
Digunakan oleh pasien beresiko tinggi (geriatri, ICU, anak, dll)
•
Mempunyai efek samping bermakna, indeks terapi sempit
•
Digunakan dalam diagnosis yang paling umum
•
Dalam pertimbangan untuk ditambahkan dalam formularium, dan
•
Baru saja ditambahkan dalam FRS
a. Biaya tinggi, volume tinggi, obat yang penting secara klinis (bisa diidentifikasi dan dipilih dengan analisis ABC/VEN) Sebuah alat yang banyak digunakan untuk identifikasi obat sebagai target DUR adalah analisis ABC/VEN. Analisis ABC adalah metode dimana obat dibagi berdasarkan penggunaan per tahun ( unit cost times annual consumption): Kelas A (10 - 20% item yang biayanya 75-80% dari total pembiayaan obat), Kelas B (10 - 20% item dan mencapai 15 - 20% dari pembiayaan), Kelas C (60 -80% item dan menelan 5 -10% dari pembiayaan). Dari hasil analisis ABC, maka obat-obat yang masuk dalam kelompok A potensial untuk dimasukkan dalam program DUR. Analisis VEN merupakan sistem penetapan prioritas pemilihan, pengadaan dan evaluasi obat, dimana obat diklasifikasikan berdasarkan dampak kesehatannya : Vital, Esensial dan Nonesensial. Obat Vital : Obay yang potensial sebagai life-saving (misal, vaksin), obat yang penghentiannya menyebabkan efek signifikan sehingga harus selalu tersedia (misal propranolol, insulin, steroid). Obat Esensial: Obat yang efektif melawan penyakit yang kurang parah, tapi sangat signifikan. Obat Non-esensial: Obat untuk penyakit self-limiting , obat yang efikasinya dipertanyakan dan obat yang mempunyai biaya tinggi tapi dengan keuntungan terapi yang terbatas. Jika dibutuhkan, klasifikasi yang lebih detil dapat dilakukan , seperti : • •
•
Terapi etiotrof : terapi ditujukan pada penghilangan penyebab penyebab penyakit Terapi patogenik : terapi ditujukan pada penghilangan atau penekanan mekanisme perkembangan penyakit Terapi simtomatik : terapi ditujukan pada penghilangan atau penurunan manifestasi penyekit tertentu
•
Terapi penggantian : terapi ditujukan pada ketidakcukupan senyawa aktif endogen
•
Terapi pencegahan : terapi ditujukan untuk pencegahan penyakit
Contoh obat-obat yang berdasarkan analisis ABC/VEN masuk dalam kelompok A, esensial dan biaya tinggi : Cyclosporine 100mg tablet Immunoglobulin 1ml ampule Ondensetron 4mg tablet Nimodipine 30mg tablet Lovastatin 40mg tablet
Imipenem/Cilastatin 500mg vial Ceftazidime 1.0 gm vial
Penggunaan yang tepat obat-obat ini mempunyai dampak klinis dan ekonomis, sehingga komite DUR harus memertimbangkan masukknya obat-obat ini dalam program. b. Digunakan oleh pasien beresiko tinggi (geriatri, ICU, anak, dll) Sebagai contoh, RS harus mengidentifikasi obat-obat berikut yang penting penggunaannya pada pasien geriatri: Theophylline Cimetidine Nitroglycerine Heparin Chlorpromazine Carbamazepine Fenoterol Daftar sejenis harus disusun juga untuk unit gawat darurat, anak, atau pasien beresiko lain. c. Mempunyai efek samping bermakna, indeks terapi sempit Ummnya obat dengan indeks terapi sempit juga menyebabkan efek samping serius, dan biasanya membutuhkan perhitungan hati-hati dosis inisial, monitoring rutin laboratorium, penyesuaian dosis, dan manajemen efek samping. Contoh obat-obat dengan indeks terapi sempit adalah : Gentamicin Chloramphenicol Phenylbutazone Sulfadimezine Quinidine Phenacetin Digoxin Metamizole d. Digunakan dalam diagnosis yang paling umum Program DUR terhadap obat-obat yang digunakan dalam diagnosis yang paling umum juga berdampak besar pada klinis maupun ekonomis. Informasi tentang diagnosis bisa didapat dari bagian rekam medis ata statistik RS. e. Dalam pertimbangan untuk ditambahkan dalam formularium, dan
Komite FRS biasanya menangani permintaan tertulis penambahan suatu obat untuk dimasukkan dalam FRS, kemudian melakukan evaluasi DUR sebelum memutuskan untuk memasukkan obat tersebut. f. Baru saja ditambahkan dalam FRS Obat yang sangat efektif bisa ditambahkan langsung ke dalam FRS sebelum digunakan secara rutin oleh staf medis, namun sebaiknya obat ini kemudian jadi prioritas program DUR. Langkah 5. Penilaian sumber daya yang tersedia untuk penetapan kriteria, pengumpulan dan evaluasi data, dan pemilihan obat yang dimasukkan dalam program.
Komite dapat menyusun sendiri kriteria, meminta partisipasi para spesialis dan staf klinik, atau menggunakan kriteria yang sudah baku dan tidak bias dari literatur. Kolektor data harus dipilih hati-hati, dan harus terlatih dengan informasi kesehatan pasien (karena umumnya digunakan data rekam medis). Pengetahuan tentang nama dan kekuatan obat juga penting. RS yang baru pertama melakukan program DUR bisa memilih 12 obat dalam satu tahun, sehingga monitoring dan evaluasi dapat diselesaikan dalam satu bulan untuk masing-masing obat. Langkah 6. Untuk masing-masing obat, ditentukan aspek (indikasi, dosis, bentuk sediaan, dll) penggunaan obat yang dimonitor atau dievaluasi.
Tidak mungkin untuk menilai semua aspek dalam penggunaan obat yang telah diseleksi, sebaiknya dipilih aspek yang paling penting yang akan dimonitor dan dievaluasi, antara lain : •
Indikasi
•
Koontraindikasi
•
Efek samping
•
Manajemen overdosis
•
Dosis
•
Terapi duplikasi
•
Preparasi
•
Administrasi
•
Interaksi obat-obat dan obat-makanan
•
Monitoring/tes laboratorium
•
Edukasi/instruksi pada pasien
•
Hasil terapi
•
Biaya seluruh terapi
Contohnya, komite telah memilih ceftazidime, heparin, dan salbutamol untuk evaluation. Untuk masing-masing obat, komite mengidentifikasi aspek penting pelayanan dan alasan pemilihan aspek ini : Ceftazidime merupakan sefalosforin gengerasi tiga, bersifat bakterisidal, mahal, spektrum luas. Luasnya penggunaan obat ini memberikan dampak ekonomis pada biaya. Diketahui bahwa obat ini sering digunakan untuk infeksi ringan, tanpa dilakukan uji sensitivitas dan kultur, sehingga memungkinkan perkembangan resistensi, dan menjadi tidak efektif lagi saat dibutuhkan pasien untuk infeksi yang lebih serius. Selain itu, obat ini sering diberikan bersama antibiotik bakteriostatik lain seperti eritromisin. Dengan pertimbangan di atas, aspek penting yang digunakan adalah : indikasi, uji laboratorium, dan interaksi obat-obat. Heparin adalah obat yang sering digunakan dan berpotensi menyebabkan konsekuensi bahaya apabila tidak digunakan dengan tepat, selain itu sering digunakan pada pasien dengan kondisi kritis. Perdarahan internal atau bahkan kematian dapat terjadi bila heparin digunakan pada keadaan kontraindikasi, bila efek samping atau overdosis tidak diatasi dengan tepat, atau penetapan dosis tidak benar (seharusnya dilakukan tes laboratorium). Pasien yang menggunakan heparin biasanya juga menerima obat-obat lain, sehingga potensial terjadi interaksi obat. Dengan pertimbangan di atas, dilakukan monitoring terhadap : konraindikasi, efek samping, dosis, manajemen overdosis, tes laboratorium dan interaksi obat. Salbutamol merupakan bronkodilator simpatomimetik selektif yang sering digunakan untuk asma dan chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Tes kekuatan ekspirasi perlu dilakukan untuk menentukan apakah pasien memang membutuhkan salbutamol. Walaupun bekerja pada reseptor selektif di bronkhial, tapi dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan takhikardi, dan aritmia jantung. Pasien yang tidak bisa menggunakan bentuk sediaan inhaler membutuhkan bentuk sediaan oral. Pasien sering membutuhkan inhaler setelah keluar dari RS, tapi obat menjadi tidak efektif bila penggunaan inhaler tidak tepat. Edukasi pada pasien tentang penggunaan inhaler yang tepat sangat penting. Sehingga aspek penggunaan untuk salbutamol meliputi : tes pernafasan, dosis, bentuk sediaan, dan edukasi pasien. Langkah 7. Pemilihan kriteria dan penentuan ambang batas.
Kriteria merupakan pernyataan tentang penggunaan obat yang tepat. Metode untuk menyusun kriteria antara lain:
Menggunakan kriteria yang sudah baku, seperti Pedoman Terapi Standar yang disusun oleh WHO, DepKes, atau kelompok spesialis. Kriteria seperti ini tidak bias, disusun oleh para ahli, serta telah teruji klinis. Mengadopsi kriteria yang sudah ada dan dimodifikasi sesuai kebutuhan RS. Menyusun sendiri kriteria, berdasar pedoman diagnosis dan terapi RS
Berikut ini contoh bagaimana RS memilh kriteria untuk obat anti-inflamasi non steroid:
Di RS ini, rematik artritis dan inflamasi merupakan penyakit yang paling umum dan banyak pasien mendapatkan terapi kronis. Analisis ABC menunjukkan bahwa biaya untuk obat-obat mencapai 15% dari total anggaran obat:
Asetosal diclofenac flurbiprofen ibuprofen naproxen piroxicam
Diketahui bahwa peresepan yang tidak tepat obat-bat ini dapat menyebabkn terjadi komplikasi. Komite membatasi aspek evaluasi pada kontra indikasi dan interaksi. Karena komite tidak punya akses pada kriteria yang sudah baku, maka kriteria berikut disusun berdasarkan literatur ilmiah, serta pengalaman ahli rematologi : Kontra indikasi : gangguan renal kronis, hipersensitivias terhadap asetosal dan AINS, penyakit tukak dan erosi saluran cerna, riwayat koagulopati, gagal jantung kongestif, kehamilan, menyusui. Ascites dan sirosis. Interaksi obat : antikoagulan tak langsung, cyclosporine, methotrexate, ACE inhibitor, corticosteroids. Langkah 8. Pemastian metodologi untuk pengumpulan dan evaluasi data, serta penyusunan jadwal.
Sebelum melakukan monitoring dan evaluasi, metodologi pengumpulan data harus sudah dibakukan meliputi : elemen data, sumber data, formulir yang digunakan, penanggung jawab dan jumlah sampel. Elemen data : Menggambar kan masing-masing elemen data yang harus dikumpulkan selama evaluasi, seperti : Nama dokter, spesialitas, nama obat, dosis, jumlah obat, durasi terapi, harga, dll. Sumber data : Diidentifikasi apakah elemen data dapat ditemukan pada sumber data terpilih. Misalnya : rekam medis, laporan hasil laboratorium, rekam farmasi, dll. Formulir : Seetlah elemen data ditentukan, disusun formulir yang akan digunakan untuk melaporkan data yang disusun secara sistematis, dan memastikan semua data yang dibutuhkan sudah tercantum dalam formulir. Formulir harus dirancang untuk memudahkan analisis akhir. Penanggung jawab : Adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pengumpulan, penataan, dan pelaporan data.
Ukuran sampel : Diputuskan berapa banyak data yang harus dikumpulkan dengan mempertimbangkan aspek berikut : tujuan evaluasi, penggunaan bulanan atau tahunan dari obat, waktu, sumber daya dan biaya. Pertimbangan lain penentuan jumlah sampel adalah : Untuk obat yang sering diresepkan, hanya dibutuhkan 30-50 kasus, atau persen tertentu. Untuk obat yang jarang diresepkan, tapi penting secara klinis atau ekonomis, perlu dikumpulkan data sepanjang waktu evaluasi. Juga harus dipertimbangkan apakah data akan dikumpulkan secara prospektif, konkuren atau retrospektif. Prospective DUR monitoring , membandingkan obat yang dipesan dengan kriteria dan melakukan intervensi sebelum pasien menerima obat. Keuntugan utamanya adalah potensial dalam pencegahan, dan perlu digunakan bila ketidahpatuhan pada kriteria akan menghasilkan konsekuensi serius. Dampak dari DUR ini bersifat langsung, berbagai masalah penggunaan obat dapat terdeteksi dan diceah, termasuk : •
Dosis yang tidak tepat
•
Bentuk sediaan atau rute administrasi ang tidak tepat
•
Durasi terapi yang tidak tepat
•
Itnteraksi obat-obat
•
Duplikasi terapi
•
Kontraindikasi obat-penyakit
•
Alergi obat dan efek samping lain
•
Permintaan uji laboratorium/monitoring yang tidak tepat.
Contoh : kriteria telah ditentukan bahwa dikontradindikasikan untuk pasien menerima antibiotik bakteriostatik dan bakterisidal bersama-sama. Jika pasien telah mendapat gentamisin, dan farmasis menerima permintaan eritromisin, farmasis tidak boleh memberikan eritromisin, tapi harus menghubungi dokter untuk melakukan perubahan. Begitu juga, kriteria sudah ditentukan bahwa pasien tidak boleh menerima gentamicin dan furosemide bersama-sama. Dalam kasus ini farmasis harus menghubungi dokter dan menyampaikan kemungkinan efek nefrotoksisitas dari gentamisin. Concurrent DUR monitoring , membamdingkan penggunaan obat dengan kriteria selama terapi, seperti pada prospective monitoring . Bedanya, pada concurrent monitoring , intervensi bersifat koreksi. Contoh : kriteria ditentukan bahwa dosis gentamisin harus dihitung berdasarkan berat badan, dan disesuaikan dengan tes ginjal dan pendengaran. Farmakologis klinis dan farmasis harus mencek parameter ini tiap hari, dan menghubungi dokter bila dosis tidak dihitung dengan tepat, atau diperlukan penyesuaian dosis.
Retrospective DUR monitoring , mengevaluasi obat yang telah diresepkan setelah diberikan pada pasien. Intervensi tidak dapat dilakukan untuk memperbaiki penggunaan obat pada pasien yang dievaluasi. Tapi dapat digunakan untuk memonitor aspek yang sama seperti pada prospective DUR, misalnya : Identikasi frekuensi peresepan obat tunggal atau kelompok obat Membandingkan peresepan antar dokter Membandingkan peresepan dengan pedoman terapi standar Monitoring penggunaan terapi obat dengan biaya tinggi Contohnya, RS melakukan DUR terhadap gentamisin, dengan kriteria menyatakan bahwa penggunaannya dikontraindikasikan pada gagal ginjal. Rekam medis pasien yang telah keluar RS pada bulan sebelumnya dievaluasi dan ternyata ada masalah peresepan. Staf medis memutuskan untuk melakukan evaluasi intensif semua obat golongan aminoglikosida, dan hasilnya ternyata sama. Kemudian program edukasi dilakukan tentang penggunaan antibiotik pada pasien gagal ginjal. Berdasarkan informasi yang didapat dari tahap sebelumnya, komite menyusun jadwal DUR tahunan. Langkah 9. Edukasi staf RS tentang program DUR dan kriteria yang sudah ditentukan.
Sebelum dilakukan pengumpulan data, edukasi penting untuk dilakukan pada staf medis dan farmasis tentang tujuan program DUR, untuk membangun dukungan pada program. Diseminasi dapat dilakukan lewat memo atau surat, namu sebaiknya dalam pertemuan internal untuk memungkinkan diskusi tentang program . FASE 2: PENGUMPULAN DATA DAN EVALUASI Langkah 10. Pengumpulan data. Prospective Pengumpulan data dalam prospective DUR dilakukan evaluasi terhadap permintaan obat dari dokter, yang tata caranya tergantung pada sistem distribusi di masing-masing RS. Pada sistem distribusi terpusat, dimana permintaan obat dievaluasi oleh farmasis di bagian farmasi sebelum distribusi dosis pertama, pengumpulan data dilakukan di bagian farmasi. Dalam sistem ward-stock , prospective DUR hanya mungkin dilakukan bila ada petugas pengumpul data yang mengevaluasi permintaan sebelum diberikan oleh perawat (jadi setidaknya harus ada farmasis di ruang perawatan). Concurrent Pengumpulan data pada Concurrent DUR serupa dengan prospective, dapat dilakukan di farmasi atau ruangan. Bedanya adalah pengumpulan data tidak dil akukan sebelum pemberian dosis pertama. Retrospective
Pada Retrospective DUR pengambilan data dilakukan di baian rekam medis. Elemen data yang tidak ada di rekam medis, seperti harga, dan lain-lain dapat dirujuk di bagian lain. Langkah 11. Evaluasi data and penentuan apakah ada masalah penggunaan obat
Evaluasi data merupakan tahapan penting dalam program DUR, karena kesimpulan yang dihasilkan dari analisis data dapat menghasilkan perubahan kebijakan RS, penambahan atau pengurangan FRS, pembatasan peresepan, dan konseling staf RS. Jika ambang batas dilampaui, informasi harus dicermati, data yang meragukan sebaiknya dikonfirmasi. Jika ambang batas 100% dicapai menunjukkan kepatuhan sempurna terhadap kriteria. Jika ambang batas ditetapkan 95%, tapi tidak tercapai (misalnya hanya 98%), komie DUR harus memutuskan apakah perlu dilakukan evaluasi terhadap penyebab ketidakpatuhan terhadap kriteria, yang nantinya dapat digunakan untuk mengevaluasi penetapan kriteria itu sendiri. Jika ambang batas tidak dicapai, berarti ada masalah penggunaan obat.Kasus ketidakpatuhan kemudian dievaluasi, untuk melihat apakah obat benarbeanr digunakan dengan tidak tepat. Jika komite menentukan ada masalah penggunaan obat, apakah terbatas pada individu tertentu atau terjadi secara luas, apakah terjadi di ruang atau departemen tertentu, dan sebagainya. FASE 3: INTERVENSI Langkah 12. Diseminasi hasil pada staf RS.
Jika analisis data DUR telah lengkap, hasilnya harus dilaporkan pada dokter dan staf lain yang relevan seperti farmasis dan perawat. Hasil dapat didiseminasikan melalui mekanisme : Pertemuan dokter mingguan Diseminasi lewat majalah / newsletter Pertemuan ad hoc Mepresentasikan hasil di tempat-tempat pertemuan seperti ruang perawat di tiap bangsal Langkah 13. Jika ditemukan masalah penggunaan oabt, dirancang dan diterapkan suatu intervensi.
Intervensi dapat berupa edukasi atau operasional, sedangkan targetnya bisa individu yang tidak patuh pada kriteria atau kelompok. Jika ditemukan ada masalah penggunaan obat, komite harus : 1. Melakukan satu atau lebih intervensi yang akan memperbaiki penggunan obat : a. Intervensi edukasi, meliputi : Program edukasi sesaat atau berkelanjutan Konseling formal dan informal Surat pada dokter Newsletters, pedoman penggunaan obat dan media indormasi lain b. Intervensi operasional, meliputi:
Pengembangan formulir permintaan obat Perubahan kebijakan dan prosedur RS Penambahan atau pengurangan FRS Pembatasan peresepan Implementasi atau revisi pedoman terapi standar Pembelian peralatan baru Perubahan staf
2. Identifikasi target Target untuk intervansi tergantung pada masalah. Jika ketidakpatuhan terhadap kriteria bersifatluas, intervensiditujukan pada seluruh staf medis, atau kelompok spesialis. Jika hanya sebagian kecil dokter atau staf tidak patuh, intervensi dapat dilakukan langsung pada dokter atau staf yang tidak patuh. Dalam DUR prospektif, target intervensi selalu dokter. 3. Membentuk penanggung jawab untuk merancang dan melakukan intervensi Intervensi dapat dirancang dan dilakukan oleh anggota komite, staf RS atau ahli dari luar RS. Ketua komite bertanggung jawab untuk pengiriman surat dan aktivitas konseling. Intervensi lain seperti tulisan di media informasi, rancangan kebijakan baru, membutuhkan keterlibatan staf RS lain. Ahli dari luar dapat diminta untuk memberikan eduksi pada staf RS. Langkah 14. Dilakukan pengumpulan data lagi untuk menentukan penggunaan obat telah membaik setelah dilakukan intervensi.
apakah
Dilakukan monitoring pola peresepan untuk menilai efektivitas intervensi. Re-evaluasi bisa dilakukan 6-12 bulan setelah intervensi, dan dilakukan di tempat dan data yang sama dengan sebelum intervensi. Jika re-evaluasi masih menyisakan ada masalah, komite perlu memfokuskan pada re-evaluasi kriteria yang bermasalah. Langkah 15. Diseminasi hasil re-evaluasi. Diseminasi hasil re-evaluasi dilakukan sepert pada langkah 12.
FASE 4: EVALUASI PROGRAM Langkah 16. Evaluasi semua aktivitas program DUR pada akhir tahun evaluasi, dan merencanakan aktivitas untuk tahun berikutnya.
Pada akhir siklus evaluasi, komite DUR harus melakukan evaluasi terhadap program DUR, bila perlu membuat perubahan kebijakan dan prosedur. Pertimbangan lain dalam evaluasi program adalah : Apakah obat yang dipilih untuk program sudah sesuai Apakah aspek penting sudah ditetapkan dalam program Apakah ambang batas telah sesuai Apakah masalah teridentifikasi
Apakah intervensi sudah sesuai Apakah masalah penggunaan obat terpecahkan atau teapi pengobatan menjadi lebih baik Apakah DUR mempunyai dampak pada insiden efek samping obat, interaksi obatobat atau kesalahan pemberian obat Apakah shasil didiseminasikansesuai kebijakan
Apakah DUR berdampak pada finansial di RS