EVALUASI KARAKTERISTIK BATUAN DAN REMBESAN MINYAK PADA FORMASI KEREK TERHADAP POTENSI HIDROKARBON CEKUNGAN KENDENG, SEMARANG, JAWA TENGAH, INDONESIA Agatha Armadhea Vashti1, Imam Farchan Bagus Romario1, Rachdian Eko Suprapto1, Elok Annisa Devi1 21100112140064, 21100112130027, 21100112120005, 21100113120033
[email protected] Teknik Geologi, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
Abstrak Zona Kendeng merupakan sebuah cekungan yang terletak di back-arc basin dalam setting tektonik pulau Jawa. Cekungan ini tersusun atas Formasi Pelang, Formasi Kerek, Formasi Kalibeng, Formasi Pucangan, Formasi Kabuh dan Formasi Notopuro. Penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi karakteristik Formasi Kerek terhadap potensi hidrokarbon Zona Kendeng melalui metode pemetaan geologi permukaan, analisa laboratorium yang meliputi geokimia, petrografi dan SEM. Pemetaan permukaan bertujuan untuk menemukan rembesan minyak serta peta distribusi litologi. Data geokimia digunakan untuk mendapatkan data TOC, GC (Gas Chromatograph), GCMS (Gas Chromatograph Mass Spectrometry) dan Rock Eval Pyrolysis untuk menganalisa batuan induk. Metode petrografis dan SEM digunakan untuk menentukan karakteristik batuan secara detail. Dari hasil pemetaan lapangan, ditemukan 4 titik rembesan minyak di Formasi Kerek yaitu di daerah Bancak, Pudakpayung, Djuwangi, serta Woosegoro. Hasil analisa petrografis menunjukkan bahwa batuan pada Formasi Kerek memiliki permeabilitas rendah serta didominasi oleh batupasir kuarsa dan batulempung. Hasil SEM menunjukkan bahwa batuan pada formasi kerek telah mengalami diagenesa tingkat lanjut. Evaluasi batuan induk menunjukkan nilai Total Organic Carbon Formasi Kerek berkisar antara 0.42% hingga 0.67%, S2 antara 0.46 hingga 0.56 mg/g, dan Tmax berkisar pada 410°-430°. Data ini menunjukkan Formasi Kerek tidak potensial menjadi batuan induk dan belum cukup matang. Data GCMS menunjukkan kehadiran C27 sehingga dapat disimpulkan bahwa Kerek diendapkan di daerah marine karena organism yang terendapkan adalah alga (Hidayat& Fatima, 2007). Hasil pengamatan pada sampel rembesan minyak menunjukkan fraksi antara saturated hydrocarbon + aromatics = 69.85 wt%, hasil GC mendeteksi adanya biodegradasi, rasio BMI 2.41, yang mengindikasikan rembesan minyak berasal dari batuan induk yang sudah cukup matang. Analisa GCMS minyak rembesan menunjukkan kehadiran triterpana biomarker content (m/z = 191), yang mengindikasikan minyak berasal dari material organik bertingkat tinggi seperti tumbuhan darat dengan karakter resinitik. Berdasarkan data di atas, Formasi Kerek tidak potensial baik sebagai reservoir ataupun batuan induk untuk petroleum play zona Kendeng. Katakunci:Potensi Hidrokarbon, Zona Kendeng, Formasi Kerek, Rembesan Minyak, Evaluasi Geokimia
Pendahuluan Cekungan Kendeng merupakan cekungan yang terletak pada back-arc basin dalam setting tektonik pulau Jawa. Cekungan tergolong dalam morfologi flexural basin (Smyth, 2008). Susunan stratigrafi cekungan antara lain Formasi Pelang, Formasi Kerek, Formasi Kalibeng, Formasi Pucangan, Formasi Kabuh dan Formasi Notopuro. Penelitian ditujukan untuk mengetahui peran Formasi Kerek terhadap potensi hidrokarbon Cekungan Kendeng. Ciri khas Formasi Kerek ialah perselingan lempung, napal, napal, batupasir, tuf gampingan dan batupasir tufaan. Di mana perulangan ini menunjukkan struktur sedimen khas, yaitu graded bedding yang mencirikan gejala flysch. Berdasarkan fosil foraminifera planktonik dan bentoniknya, formasi ini terbentuk pada Miosen Awal – Miosen Akhir (N10 – N18) pada lingkungan shelf (Genevraye, 1972).
Pada Formasi Kerek ditemukan 4 titik lokasi rembesan minyak, yaitu di daerah Bancak, Pudakpayung, Djuwangi, serta Wonosegoro. Keempat rembesan merupakan indikasi keberadaan hidrokarbon pada Cekungan Kendeng. Untuk mengetahui informasi awal mengenai potensi hidrokarbon dan probabilitas petroleum system yang bekerja pada lokasi daerah penelitian ini, dilaksanakan pemetaan geologi permukaan, analisis laboratorium meliputi petrografi, geokimia serta evaluasi data stratigrafi dan hasil analisa. Metodologi Metode penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data yang objektif dan valid dari penelitian ini, diantaranya melalui: 1. Pemetaan Geologi Permukaan
1
Pemetaan ini dilakukan dengan menyusuri sungai pada daerah penelitian. Di mana, umumnya singkapannya berada pada bagian dasar sungai serta tebing di lajur sungai. Singkapan tersebut kemudian dianalisa lanjut melalui proses pengamatan, pengukuran, plotting peta, deskripsi dan dokumentasi singkapan. Fokus dari pemetaan ini ialah peta distribusi sebaran litologi yang memiliki indikasi potensi hidrokarbon dan lokasi rembesan minyak. Pada fase pemetaan juga dilakukan pengukuran stratigrafi terukur untuk mengetahui disitribusi batuan secara detail. 2. Analisis Laboraturium Proses ini meliputi analisis petrografi batuan sampel. Batuan sampel diambil di daerah Djuwangi, Bancak, Ngawi serta Kendal. Analisis SEM dilakukan pada salah satu sampel dari Kendal untuk melakukan pengamatan detail terhadap karakteristik batuan dari Formasi Kerek. Analisis selanjutnya adalah analisis geokimia terhadap batuan sampel dan rembesan minyak di daerah Pudakpayung. Analisis ini bertujuan mendukung evaluasi potensi hidrokarbon, terdiri dari TOC (Total Organic Carbon) dan Rock Eval Pyrolysis untuk menganalisa batuan induk. Dilanjutkan dengan analisa GC (Gas Chromatograph) dan GCMS (Gas Chromatograph Mass Spectrometry) untuk mengetahui asal material organik, lingkungan pengendapan serta mengetahui keterkaitan antara rembesan minyak dengan batuannya. 3. Evaluasi Evaluasi dilakukan pada hasil pemetaan geologi serta hasil analisis laboratorium untuk mengetahui korelasi indikasi permukaan berupa distribusi batuan dan rembesan minyak dengan pengamatan lebih lanjut sehingga mendapatkan pembahasan yang relevan. Hasil dan Analisis 1. Geologi Daerah Penelitian Morfologi Kota Semarang memiliki ketinggian beragam, yaitu antara 0,75 – 348 m di atas permukaan laut, dengan topografi terdiri atas daerah pantai/pesisir, dataran dan perbukitan dengan kemiringan lahan berkisar antara 0% – 45%. Morfologi daerah Semarang berdasarkan pada bentuk topografi dan kemiringan lerengnya dapat dibagi menjadi 4 (empat) satuan morfologi yaitu: Dataran rendah, dataran bergelombang, dataran tinggi, dan perbukitan. Struktur Geologi Struktur geologi yang terdapat di daerah Semarang umumnya berupa sesar yang terdiri dari sesar normal, sesar geser dan sesar naik. Sesar normal relatif berarah barat - timur sebagian agak cembung ke arah utara, sesar geser berarah utara selatan hingga barat laut tenggara, sedangkan sesar normal relatif berarah barat - timur. Sesar-sesar tersebut umumnya terjadi pada batuan Formasi Kerek, Formasi Kalibening dan Formasi Damar yang berumur kuarter dan tersier. Stratigrafi Pemetaan geologi diprioritaskan pada singkapan yang diperkirakan sebagai batuan induk karena ‘mengeluarkan’ minyak. Di daerah penyelidikan,
batuan induk diperkirakan terdapat dalam batuan lempung karbonatan yang terdapat pada satuan perselingan batulempung – batupasir karbonatan yang terdapat pada Formasi Kerek bagian bawah. Formasi Kerek termasuk ke dalam cekungan kendeng yang berumur tersier dan terendapakan dalam cekungan tipe flexural basin (Smyth, 2008). Dari hasil pengukuran stratigrafi terukur pada beberapa titik yaitu Banyumeneng, Bancak, Wonosegoro, Kedungjati, dan Kaliputih dihasilkan beberapa kolom stratigrafi yang kemudian dikompositkan menjadi satu kolom ms berdasarkan perubahan stacking pattern dan karakter litologi yang kemudian dicocokkan dengan stratigrafi penuh cekungan kendeng (Gambar 1). Litologi yang ditemukan berupa batulempung dengan sifat karbonatan, batupasir karbonatan yang terdapat pecahan-pecahan cangkang pada tubuh batuannya, dan batugamping kalkarenit. Litologi batulempung merupakan litologi yang dominan pada formasi kerek bagian bawah dengan ciri berwarna abu-abu kehitaman, pecahan blocky hingga choncoidal, dan semen karbonatan. Kemudian berubah menjadi batupasir di bagian tengah hingga atas dengan ketebalan 20 cm – 3 m dengan ciri berwarna kuning kecoklatan, berukuran halus-sangat kasar, bersifat karbonatan yang perlahan mengkasar menjadi batugamping kalkarenit dengan ketebalan 1 – 4 m ukuran butir 1 cm – 2 cm dan menjadi bagian top dari formasi kerek. Struktur Sedimen yang hadir dari pengukuran stratigrafi terukur ini berupa parallel lamination, cross lamination, convolute, slump structure, bioturbasi, dan ripple pada batupasir. 2. Petrografi dan SEM Data petrografi dan SEM didapatkan di beberapa lokasi pengambilan yang memiliki satuan litologi yang memiliki karakteristik sebagai bagian dari Formasi Kerek. Sampel petrografi diambil di daerah Juwangi, Simo, Bancak, Kemusu, dan Kaliputih. Analisa petrografi difokuskan pada beberapa parameter yang menjadi aspek penting dalam analisa peran litologi sebagai reservoar dalam sistem minyak bumi, yaitu rongga pori primer (besar butir, pemilahan, bentuk dan kebundaran butir, serta penyusunan butir), komposisi komponen (fragmen, semen, jenis porositas dan persentasenya). Di daerah Juwangi terdapat 4 sampel dengan komposisi utama tersusun oleh rework cangkang organisme, semen kalsit, dan jenis porositas intergranular. Nilai porositas pada sampel ini berkisar antara 6-15 %. Penamaan litologi pada daerah ini antara lain Biosparit (Folk, 1959), Packstone (Dunham, 1962), atau Sandy Micrite (Mount, 1985), Allochemical Sandstone (Mount,1985) (Gambar 2). Di daerah Simo terdapat 3 sampel dengan komposisi banyak tersusun atas mineral resisten yang mengindikasikan source batuan dari batuan vulkanik dengan komposisi plagioklas dengan kelimpahan 30%, kuarsa dengan kelimpahan 5%, piroksen dengan kelimpahan 5%, serta matriks yang dominan dengan kelimpahan 60%. Semen kalsit masih merupakan semen dominan pada daerah ini dengan jenis porositas berupa
2
intergranular dengan besaran berkisar 15-16 %. Jenis litologi pada daerah ini adalah Feldspathic graywacke (Dott, 1964) dan Arkosic arenite (Dott, 1964). Di daerah Bancak, Kemusu, dan Kaliputih menunjukkan dominasi litologi berupa Feldspathic graywacke (Dott, 1964) (Gambar 3) dengan persentase nilai porositas berkisar 1-20%. Litologi daerah Bancak merupakan daerah dengan rata-rata nilai porostitas yang besar diakibatkan oleh komposisi cangkang organisme yang menjadi komponen paling melimpah dan mengalami peningkatan akibat proses sekunder. Diagenesa pada batuan sedimen terdiri atas berbagai jenis seperti kompaksi, sementasi, rekristalisasi, autigenesis, inversion, replacement, pelarutan dan bioturbasi. Diagenesa tingkat lanjut secara umum menurunkan nilai porositas primer yang ada pada batuan. Dari beberapa sampel yang didapatkan selama penelitian, secara umum diagenesa lanjut yang dialami adalah kompaksi, sementasi, dan rekristalisasi. Hal itu terjadi karena adanya kontak komponen kristal vulkanik dengan fluida yang dilalui selama proses diagenesa. Pengendapan satuan litologi yang lebih muda dari formasi kerek menyebabkan kompaksi pada litologi di formasi kerek sehingga mengalami pemampatan. Pelarutan banyak terjadi pada komponen cangkang karbonat yang terangkut dan rework kedalam proses diagenesa. Pengamatan SEM dilakukan pada sampel daerah Kaliputih (Gambar 4) untuk meningkatkan efektifitas persentase porositas, jenis semen, dan tingkatan diagenesa yang dialami batuan. Semen kalsit secara umum merupakan komponenpada formasi kerek dan berasosiasi dengan semen feldspar seperti pirit dan klorit yang mengindikasikan komponen vulkanik yang berperan pada formasi kerek. Secara garis besar, diagenesa lanjut litologi di formasi kerek menurunkan nilai porositas primer. 3. Analisis Geokimia Hasil geokimia batuan dilakukan pada dua daerah yaitu di daerah Pudakpayung dan Bancak. Analisa geokimia yang dilakukan pada batuan tempat rembesan minyak keluar serta minyak yang dikeluarkan. Pengamatan karakteristik geokimia batuan yang meliputi potensi hidrokarbon, kematangan termal serta tipe kerogen dilakukan menggunakan metode Rock-eval Pyrolysis dan analisa TOC (Total Organic Carbon). Setelah mengetahui hasil dari karakteristik batuan, batuan yang memiliki cukup nilai pada TOC dan S2 pada batuan contoh, analisis sidik jari GC (Gas Chromatograph) dan GCMS (Gas Chromatograph Mass-Spectrometry) untuk mengetahui karakter bitumen melalui biomarker. Tes sidikjari ini juga dilakukan pada sampel minyak untuk mendapatkan parameter yang sama sehingga data geokimia batuan dan minyak dapat dikorelasikan satu sama lain. AnalisaTOC dan Rock-Eval Pada sampel batuan dari Pudakpayung mendapatkan hasil yang beragam mulai kategori ‘miskin’ hingga ‘sedang’. Kategori miskin berkisar yaitu sampel GK-03/03 dan GK-04/01 memiliki nilai TOC 0.46% dan 0.42% sedangkan kategori sedang
dimiliki oleh sampel GK-01/04 (0.58%) dan GK-02/04 (0.67%). Tes berikutnya yaitu pyrolysis diaplikasikan pada batuan sampel dengan kadar TOC >0.5% karena pada kategori ini, material organik yang dapat merepresentasikan kematangan termal memiliki kadar yang memungkinkan (Peters & Cassa, 1994). Setelah dilakukan tes, didapatkan nilai S2 atau jumlah hidrogen yang dihasilkan oleh kerogen cukup rendah yaitu 0.46 – 0.56 mg/g. Kedua sampel batuan yang lolos kadar TOC juga diberlakukan tes kematangan termal yang dinyatakan dalam Tmax. Nilai Tmax pada batuan sampek GK-01/04 dan GK-02/04 adalah 410ºC dan 430ºC. Dari hasil Rock-Eval juga dapat disimpulkan bahwa tipe kerogen dari batuan sampel adalah tipe III seperti yang tercantum pada diagram Krevelen (Gambar 5) Sampel batuan dari Bancak memiliki nilai TOC yang masuk pada kategori miskin dan sedang. Sampel CKR-01/SP.06 (TOC<0.42%) dan CKR-43/SP.85 (TOC=0.32%) masuk pada kategori miskin. Untuk sampel CKR-19/SP.39 dan CKR-29/SP.55 masuk pada kategori sedang dengan nilai TOC masing-masing 0.56% dan 0.57%. Sama seperti sampel batuan di lokasi penelitian Pudakpayung, tes pirolisis hanya dilakukan pada batuan dengan kadar TOC > 0.5%. Adapun nilai S2 kedua sampel cukup rendah yaitu 0.25-1.33 mg/g. (Hidayat & Fatimah, 2007). Tes tingkat kematangan termal hanya dilakukan pada sampel batuan CKR-19/SP.39 karena nilai S2 pada sampel CKR-29/SP.55 sangat rendah (<0.5mg/g) sehingga tidak dianjurkan. Harga Tmax pada sampel batuan CKR-19/SP.39 adalah 420ºC (Hidayat & Fatimah, 2007). Tipe kerogen pada batuan setelah diplotkan pada diagram Krevelen menunjukkan kerogen tipe III yang cenderung menghasilkan gas (Gambar 6) Fraksinasi, Kromatografi Gas (GC) dan Kromatografi Gas Spektrometer Masa (GCMS) Hasil ekstraksi batuan sampel dari lokasi penelitian di Pudakpayung adalah (<1000ppm) serta fraksinasi batuan menyatakan keberadaan fraksi nonpolar yang dominan yaitu (>80 wt%). Hasil pengamatan pada sampel rembesan minyak menunjukkan fraksi antara saturat+aromatik = 69.85 wt%. Tes GC menunjukkan adanya konfigurasi antara n-alkana dan sidikjari hasil ekstrasi batuan. Hasil GC menunjukkan adanya karakter unimodal dengan puncak di n-C15 (Gambar 7). Perbandingan antara pristane/pytane (pr/ph) pada sampel batuan GK-01/04 menunjukkan nilai <2 (Kusuma, 2013). GC juga mendapati adanya indikasi biodegredasi pada rembesan minyak Pudakpayung (sampel MR01) yang ditunjukkan pada puncak masing-masing spike nalkana tidak terpisahkan dengan baik dan konfigurasi yang tidak terlihat (Gambar 7). Konfigurasi stereana (m/z = 217), menunjukkan kelimpahan C27 dan hasil konfigurasi dari biomarker triterpana (m/z = 191) tidak menunjukkan adanya kehadiran tumbuhan darat sama
3
sekali. Kematangan termal sampel batuan ditentukan melalui rasio dari C31 22S/22R homohopana yaitu 0.13 dan 0.38 serta C30 moretana/hopana ada nilai 0.38 dan 0.07.Hasil GCMS menunjukkan bahwa sampel minyak di Pudakpayung (MR01) telah ter-biodegradasi sehingga stereana (m/z = 217) C29, C28 and C27tidak terdeteksi secara jelas (Gambar 7). Pada rembesan minyak, ditemukan adanya kelimpahan dari resin bikadinana dengan rasio kematangan 2.41 pada puncak notasi W, T, T’ dan R’ (Gambar 7). Selain itu, berdasarkan hasil konfigurasi biomarker triterpana (m/z = 191), rembesan minyak memiliki kelimpahan resin tumbuhan darat oleanoida dan oleanana yang cukup tinggi (Kusuma, 2013). Hasil analisis ekstrasi pada batuan di Bancak menunjukkan jumlah (<1000ppm) dengan hasil fraksinasi non-polar dominan adalah (>80 wt%). Sedangkan fraksi hidrokarbon dominan ada sampel rembesan minyak di Bancak adalah (saturat+aromatik = 75,87 wt%). Dari hasil analisa GC dapat dilihat bahwa konfigurasi sidikjari n-alkana pada kedua ekstrak batuan sangat mirip yaitu menunjukkan karakter unimodal (satu gugusan n-alkana) dengan puncak pada n-C15 (Gambar 8). Perbandingan antara senyawa pristane/phytane (pr/ph) pada ekstrak batuan CKR-03/SP.39 menunjukkan nilai yang rendah (pr/ph<2). Konfigurasi biomarker stereana (m/z = 217), menunjukkan kelimpahan C27 dan hasil konfigurasi dari biomarker triterpana (m/z = 191) tidak menunjukkan adanya kehadiran tumbuhan darat sama sekali. Kematangan termal sampel batuan ditentukan melalui rasio dari C31 22S/22R homohopana yaitu 0.19 dan 0.47 serta C30 moretana/hopana ada nilai 0.44 dan 0.1 (Hidayat & Fatimah, 2007) GC mendeteksi adanya biodegradasi pada sampel minyak rembesan (OS3) di Bancak, terlihat pada puncak n-alkana yang tidak terpisahkan dengan baik serta konfigurasi n-alkana tidak terlihat (Gambar 8) akibat sudah mengalami proses biodegradasi tingkat lanjut. Hasil konfigurasi stereana (m/z 217) menunjukkan adanya indikasi biodegradasi sehingga senyawa-senyawa C29, C28 and C27tidak terdeteksi dengan baik. Ditemukan kehadiran resin bikadinana yang melimpah dengan rasio kematangan (BMI) 2.61 pada sampel minyak rembesan.Hasil konfigurasi biomarker triterpana (m/z=191) pada sampel minyak rembesan memperlihatkan adanya spesies angiosperma yang terdeteksi sebagai oleanoida dan oleanana yang merupakan tumbuhan darat tingkat tinggi (Hidayat & Fatimah, 2007). Pembahasan Potensi Hidrokarbon
Karakter yang dihasilkan dari pengukuran stratigrafi terukur tersebut menunjukkan bahwa batuan dari formasi kerek ini terendapkan pada lingkungan laut dalam yang memiliki kelerengan yang tinggi sesuai dengan karakkter endapan pada flexural basin (Satyana, 2006). Hal ini ditunjukkan oleh endapan flysch (batulempung sisipan batupasir) dengan sifat karbonatan yang menunjukkan bahwa batuan ini terbentuk pada lingkungan laut yang dalam. Struktur sedimen convolute dan slump mengindikasikan lingkungan yang memiliki kelerengan tinggi sehingga batuan terendapkan dengan mekanisme turbidit akibat gaya gravitasi (Shanmugam, 2000). Adanya potensi hidrokarbon ini ditunjang dengan ditemukannya beberapa rembesan minyak pada lokasi penelitian formasi kerek seperti pada daerah Bancak, Pudakpayung, Djuwangi, Wonosegoro, dan Suruh. Rembesan minyak ini muncul akibat adanya suatu celah yang tidak tertutup dari suatu system hidrokarbon sehingga minyak dapat naik dan muncul ke permukaan dari reservoirnya. Rembesan minyak dan batuan tersebut dianalisis untuk menunjukkan kecocokan karakter dari suatu system hidrokarbon. Rembesan minyak yang hadir dominan berwarna hitam dan diperkirakan keluar melalui litologi batupasir. Stratigrafi cekungan kendeng, (Subroto dkk, 2007) menunjukkan bagian bawah formasi kerek berupa flysch yang kemudian semakin ke atas berubah menjadi batupasir dan batugamping kalkarenit (gambar 1). Hal ini memungkinkan munculnya spekulasi bahwa bagian bawah formasi kerek yang disusun oleh batulempung dianggap potensial menjadi sebuah batuan induk, dengan batupasir sebagai reservoir dari suatu system hidrokarbon. Hasil penelitian kecocokan batulempung Formasi Kerek sebagai batuan induk akan dibahas melalui analisis geokimia. Sedangkan analisis petrografi dan SEM akan memberikan gambaran kesesuaian batupasir Formasi Kerek sebagai reservoir. Evaluasi Formasi Kerek sebagai reservoir Reservoir adalah bagian kerak bumi yang mengandung minyak dan gas bumi. Cara terdapatnya minyakbumi dibawah permukaan haruslah memenuhi beberapa syarat, yang merupakan unsur-unsur suatu reservoir minyak bumi. Unsur tersebut adalah : o Batuan reservoir, sebagai wadah yang diisi dan dijenuhi oleh minyak dan gas bumi. Biasanya batuan reservoir berupa lapisan batuan yang bertongga-rongga ataupun berpori-pori o Lapisan penutup (cap rock), yaitu suatu lapisan yang tidak permeabel atau lulus minyak, yang terdapat di atas suatu reservoir dan meghalang-halangi minyak dan gas yang keluar dari reservoir o Perangkap reservoir, yaitu suatu struktur pembentuk reservoir yang bentuknya sedemikian rupa sehingga lapisan beserta penutupnya merupakan bentuk konkav ke bawah dan menyebabkan minyak- dan gas bumi berada di bagian teratas reservoir. Porositas dan permeabilitas sangat erat kaitannya, sehingga dapat dikatakan bahwa permeabilitas tidak mungkin tanpa adanya porositas, walaupun sebaliknya belum tentu demikian. Batuan dapat bersifat sarang tapi
4
tidak permeabel. Perbedaan porositas dan permeabilitas ialah porositas menentukan jumlah cairan yang terdapat sedangkan permeabilitas menentukan jumlahnya yang dapat diproduksikan (Pyne, 1942) Formasi Kerek sebagai reservoir dalam beberapa parameter : 1. Menurut Mutting (1934), batuan pasir yang menghasilkan minyak bumi biasanya tidak banyak yang lebih halus daripada 0,09 mm dan jarang sekali lebih kasar dari 0,21 mm. Pasir yang ukurannya sama kalau diendapkan akan memberikan porositas 39 % dan jika diagitasikan dapat menjadi 38, atau lebih kecil lagi tetapi biasanya lebih besar dari 30 %. Hubungan antara ukuran pori dengan permeabilitas adalah bahwa di bawah tekanan yang sama, dengan pori 5x lebih besar aka didapatkan minyak 25x lebih banyak. 2. Pemilahan, keseragman suatu batuan sangat menentukan besarnya pori yang terbentuk dan berhubungan pula dengan bentuk dan penyusunan butirnya 3. Kompaksi dan sementasi. Kompaksi dan sementasi akan menyusutkan pori-pori yang telah ada. Kompaksi dapat menghubungkan porostitas tapi juga dapat menurunkan nilai ruang dari batuan yang terkena. Secara umum, formasi kerek memiliki persebaran batupasir yang cukup luas tetapi dalam ketebalan yang terbatas karena sifatnya sebagai perselingan dari batulempung. Batupasir penyusun formasi kerek dan potensinya sebagai batuan reservoar sebagai berikut : 1. Batupasir kuarsa, merupakan salah satu batupasir yang berperan sangat baik sebagai reservoar karena pemilahannya sangat baik, butirannya berbentuk bundar dan padanya tidak terdapat matriks kecuali semen saja. Pada beberapa sampel yang diambil di daerah penelitian, kuarsa merupakan komponen dominan yang ada pada batupasir, tetapi bercampur dengan mineral feldspar dan rework dari fosil serta matriks yang berukuran lebih halus. Sehingga formasi kerek diinterpretasikan tidak memiliki ketebelan batupasir kuarsa yang cukup sebagai reservoir. 2. Batupasir graywacke. Terdiri atas berbagai macam jenis fragmen yang berasar dari rombakan selama proses diagenesa. Komposisi fragmen dan matriks pada batupasir graywacke mengindikasikan pengurangan nilai porositas yang berkurang bergantung pada tingkat kehalusan matriksnya. Pemilahan yang tidak baik pada batupasir graywacke semakin mengindikasikan peran batupasir ini kurang baik sebagai batuan reservoir. Secara umum daerah penelitian tersusun atas litologi ini dan sesuai dengan indikasi mekanisme turbidit yang mengontrol proses pengendapan formasi kerek.
3. Batupasir arkose, terutama tersusun oleh kuarsa dan feldspar serta memiliki kebundaran yang kurang baik karena komponen kristal yang menyudut serta pemilahan yang kurang baik. Kegiatan vulkanisme yang mempengaruhi pengendapan di formasi kerek menghasilkan batupasir arkose yang cukup melimpah sebagai perselingan batulempung. Evaluasi Formasi Kerek sebagai batuan induk (source rock) o
Hasil TOC dan Rock Eval Hasil TOC dan Rock-eval pada batuan sampel baik dari Bancak maupun Pudakpayung menunjukkan bahwa kandungan organik material pada batuan Formasi Kerek cukup rendah (fair)dengan kisaran antara 0.56% - 0.67% (Peters & Cassa, 1994). Kadar material organik yang rendah tidak dapat diharapkan akan mendapatkan batuan induk yang potensial meskipun telah melewati tingkat kematangan termal batuan Selain itu, bedasarkan nilai Tmax yang didapat ketika batuan mengekstrak S2, batuan sampel dari formasi kerek termasuk pada batuan induk yang immature (Peters & Cassa, 1994). Kedua sampel juga menunjukkan adanya dominasi kerogen tipe III yang merupakan gas prone. o Korelasi batuan induk dan minyak (oil – source rock correlation)berdasarkan hasil GC dan GCMS Fraksi non-polar yang dominan pada kedua batuan menunjukkan tingkat kematangan termal yang rendah. Berbeda dengan sampel minyak yang memperlihatkan fraksi hidrokarbon yang dominan lebih sedikit sebagai indikasi bahwa minyak berasal dari batuan dengan kematangan termal lebih tinggi. Kedua batuan menunjukkan hasil kromatografi gas yang unimodal dengan puncak nC15 yang merupakan indikasi keterdapatan material organik kehidupan akuatik yaitu alga (Hidayat & Fatimah, 2007). Perbandigan nilai pristane/phytane yang < 2 memberikan indikasi bahwa material organik diendapkan dalam lingkungan yang tertutup serta miskin oksigen (reduktif) dan umumnya dijumpai pada sedimen-sedimen danau atau marin. Nilai CPI batuan yang berkisar pada 1.43 – 1.81 menunjukkan bahwa batuan memiliki nilai kematangan yang rendah, sesuai dengan hasil tes rock-eval. Berkebalikan dengan batuan yang belum matang, hasil GC menunjukkan adanya indikasi proses biodegradasi pada rembesan minyak. Hal ini terbaca melalui konfigurasi n-alkana yang tidak terpisahkan dengan baik akibat telah mengalami
5
biodegradasi tingkat lanjut. Kondisi ini secara tidak langsung menyatakan bahwa minyak rembesan telah cukup lama berada pada kondisi anaerobic sehingga bakteri dapat mengkonsumsi rantai hidrokarbon pada minyak. Atau dengan kata lain, minyak lebih matang dari batuan Formasi Kerek. Analisis selanjutnya menggunakan metode GCMS yang dapat memberikan spesifikasi komposisi material organik pada batuan maupun minyak. Melalui konfigurasi biomarker stereana (m/z = 217), pada sampel batuan dapat terbaca C29, C28 and C27 dengan jelas dan mengindikasikan kelimpahan algae asal lingkungan marine. Sedangkan padaminyak rembesan telah mengalami biodegradasi sehingga senyawa-senyawa C29, C28 and C27 tidak terdeteksi dengan baik. Kontribusi tumbuhan darat berkarakter resin bikadinana pada umumnya dijumpai pada hidrokarbon asal material organik yang diendapkan pada lingkungan delta. Pengaruh biodegradasi dan kehadiran senyawasenyawa resin bikadinana yang sangat dominan tidak memungkinkan untuk dilakukan penentuan tingkat kematangan termal dari minyak rembesan. Meskipun demikian rasio BMI (indek kematangan bikadinana) yang menunjukkan angka 2.41 dan 2.61 (Hidayat & Fatimah, 2007) menunjukkan bahwa minyak rembesan berasal dari batuan sumber dengan tingkat kematangan penuh (fully mature). Sidikjari biomarker triterpana (m/z=191) menunjukkan dengan lebih jelas mengenai tipe bahan organik serta tingkat kematangan termal antara minyak dan batuan. Selain unsur-unsur tumbuhan darat berkarakter resin, minyak rembesan juga memperlihatkan adanya kontribusi tumbuhan darat tingkat tinggi dari spesies angiosperma yang terdeteksi sebagai oleanoida dan oleanana. Resistensi yang tinggi senyawa-senyawa asal tumbuhan darat tersebut terhadap pengaruh degradasi termal maupun bakteri membuat kehadirannya menjadi sangat dominan pada minyak rembesan. Hal yang berbeda dijumpai pada ekstrak batuan, dimana unsur-unsur asal tumbuhan darat tidak terdeteksi sama sekali pada kromatogram ion triterpana (m/z 191), sekaligus membuktikan perbedaan sumber asal material organik dengan minyak rembesan. Melalui pendekatan analisis geokimia, batuan sampel dari Formasi Kerek tidak memiliki kecocokan dengan minyak rembesan. Selain itu, batuan sampel dari Formasi Kerek memiliki nilai kematangan termal dan kandungan material yang
kecil sehingga bukanlah batuan induk yang potensial. Kemungkinan formasi batuan induk pada cekungan kendeng dapat beralih ke formasi di bawah Kerek, yaitu Pelang. Formasi Pelang tersusun atas lempung yang terdiri dari napal bersisipan batugamping. Napal berwarna abu-abu dan umumnya telah terlapukan. Kandungan napal Pelang yang memiliki kematangan termal C3122S/22R homohopana 0.47 jelas lebih matang daripada Formasi Kerek (Hidayat & Fatimah, 2007). Akan tetapi kematangan termal ini dapat disebabkan oleh posisi stratigrafi Pelang yang terkubur sangat dalam sehingga menginisasi peningkatan tekanan dan tempratur. Karena singkapan Formasi Pelang sangat terbatas, maka penyesuaian Formasi Pelang sebagai batuan induk memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Formasi Kerek terhadap potensi hidrokarbon cekungan Kendeng Formasi Kerek pada awalnya diperkirakan potensial untuk membentuk sebuah petroleum system sendiri dikarenakan disusun oleh litologi dominan batulempung pada bagian bawah, batupasir di atasnya dan batugamping berselingan batulempung berada pada stratigrafi paling atas. Dari hasil analisis geokimia dan rembesan minyak menunjukkan bahwa tidak terdapat kecocokan antara rembesan minyak dengan karakter batuan Formasi Kerek. Hidrokarbon yang muncul sebagai rembesan minyak tersebut diperkirakan berasal dari batuan yang lebih tua dari Formasi Kerek dan Formasi Pelang. Hal ini menunjukkan bahwa Formasi Kerek tidak cocok untuk menjadi batuan induk dari rembesan minyak yang hadir, dan kemungkinan potensial di masa mendatang karena masih bersifat immature, dan batuan induk dari rembesan hidrokarbon ini diperkirakan berasal dari batuan yang lebih tua dari Formasi Pelang. Terdapat kemungkinan bahwa Formasi Kerek potensial sebagai reservoir dari suatu petroleum system pada Cekungan Kendeng. Karakteristik batupasir pada Formasi Kerek menunjukkan bahwa batuan tersebut telah mengalami tahap diagenesis yang panjang sehingga kompaksi antar butiran meningkat dan menurunkan nilai porositas dari batuan itu sendiri akibat kompaksi dan pertumbuuhan semen pada celah batuan. Porositas batupasir pada Formasi Kerek ini memiliki nilai berkisar 3%-10% (Hertanto, 2010) dan dominan berupa porositas sekunder, nilai ini diperoleh berdasarkan analisis petrografi dan SEM untuk melihat pori dan semen pada batuan. Nilai porositas ini dinilai tidak efektif sebagai reservoir dari suatu petroleum system karena tergolong kecil dan tidak dapat mengalirkan fluida dengan baik, tetapi pada Formasi Kerek terdapat banyak sekali rekahan-rekahan yang muncul dikarenakan oleh deformasi. Rekahan-rekahan ini kemungkinan efektif untuk dapat membantu mengalirkan fluida pada batuan.
6
Untuk itu batuan Formasi Kerek dinilai tidak cukup potensial untuk menjadi sebuah reservoir tetapi masih ada kemungkinan fluida hidrokarbon tersimpan dan mengalir melalui rekahan-rekahan, ini membutuhkan penelitian yang lebih lanjut. Batuan penutup (cap rock) untuk petroleum system dari Cekungan Kendeng ini diperkirakan berasal dari Formasi Kerek maupun batuan yang berada di atasnya, yaitu Formasi Kalibeng. Formasi Kalibeng berpotensi menjadi batuan penutup dikarenakan batuan penyusunnya berupa batulempung pada bagian bawah dan batugamping pada bagian atas (Subroto, 2007). Batulempung Formasi Kalibeng menutup aliran fluida hidrokarbon yang mengalir pada Formasi Kerek sehingga hidrokarbon akan terakumulasi pada Formasi Kerek. Dari karakter stratigrafi Cekungan Kendeng, proses pemerangkapan hidrokarbon (trap) terdiri atas 2 jenis, yaitu stratigraphic trap dan structural trap dimana untuk stratigraphic trap hidrokarbon dapat terakumulasi karena Formasi Kalibeng sebagai cap rock dan structural trap dikarenakan overthrusting pada Cekungan Kendeng yang menyebabkan hidrokarbon dapat terakumulasi pada puncak-puncak antiklin, tetapi tidak potensial karena memiliki nilai porositas yang kecil dan perlu penyelidikan lebih lanjut untuk menentukan potensi dari Cekungan Kendeng. Kesimpulan 1. Hasil analisis menunjukkan bahwa rembesan minyak tersebut tersusun oleh material organik yang bersifat fluvio-deltaik, kelimpahan resin bikadinana yang tinggi, kematangan yang fully mature, dan sudah mengalami biodegradasi. 2. Analisis batuan menunjukkan bahwa material organic penyusun batuan berasal dari lingkungan marin, dan tingkat kematangan thermal yang rendah. 3. Batupasir pada Formasi Kerek memiliki nilai porositas berkisar 3%-10% dengan tingkat diagenesis yang telah mencapai tahap telogenesis. 4. Analisis Geokimia menunjukkan perbedaan karakter antara rembesan minyak dan batuan baik pada Formasi Kerek maupun Formasi Pelang. Rembesan minyak tidak berasal dari Formasi Kerek maupun Formasi Pelang, diperkirakan berasal dari formasi yang lebih tua dari kedua formasi tersebut. Oleh karena itu dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Formasi Kerek bukanlah batuan induk dari rembesan hidrokarbon yang muncul di lokasi penelitian. Rembesan minyak tersebut diperkirakan berasal dari batuan yang lebih tua dari Formasi Kerek maupun Formasi Pelang. Formasi Kerek tidak potensial menjadi sebuah reservoir tetapi masih ada kemungkinan dan harus dilakukan penelitian lanjut, diperkirakan sistem hidrokarbon pada Cekungan Kendeng terperangkap dengan sistem stratigraphic trap dan structural trap walaupun belum ditemukannya batuan yang potensial untuk menjadi reservoir.
Referensi [1] de Genevraye, P., and Samuel, L., 1972, The geology of Kendeng Zone (East Java). Proceedings of Indonesian Petroleum Association 1st Annual Convention, Jakarta, p. 17–30. [2] Hertanto, Vahyu Vanny. 2010. Studi Diagenesis Batupasir Formasi Kerek Pada Daerah Kaliputih dan Sekitarnya, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Universitas Diponegoro [3] Hidayat, Rachmad. Fatimah. 2007. Inventarisasi Kandungan Minyak Dalam Batuan Daerah Kedungjati, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Bandung: Proceeding Pemaparan Hasil Kegiatan Lapanga dan Non Lapangan Tahun 2007 Pusat Sumberdaya Geologi [4] Koesomadinata, R. P. 1980. Geologi Minyak dan Gas Bumi. Contrib. Dept. Geol. Inst. Techn. Bandung. [5] Kusuma, Roni C. Mustika, Astri I. Atmaja, Dian A. Vashti, Agatha A. 2013. Study of Hydrocarbon Potential Kerek Formation in Case Study at Pudakpayung District, Semarang, Central Java. Jakarta: IPA [6] Peters, Kenneth E. Cassa, Mary Rose. 1994. Applied Source Rock Geochemistry. USA: AAPG Memoir 60 [7] Ramadhan, Bondan. Maha, Mahap. Hapsoro, Satrio Esti. Budiman, Agung. Fardiansyah, Iqbal. 2015. Unravel Kendeng Petroleum System Enigma : Recent Update From Transect Surface Observation of Kedungdjati-Djuwangi-Ngawi Area. Jakarta: IPA [8] Romadhona, Aldilla, F. 2010. Laporan Pemetaan Geologi Mandiri Daerah Djuwangi dan Sekitarnya, Kecamatan Juwangi Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah. Universitas Diponegoro. [9] Satyana. 2006. Deepwater Plays of Java, Indonesia: Regional Evaluation on Opportunities and Risks. Jakarta: IPA [10] Shanmugam, G. 2006. Deep Water Processes and Facies Models : Implications for Sandstone Petroleum Reservoirs. Amsterdam. Elsevier. [11] Smyth, Hall, R. Nichols, Gary. 2008. Cenozoic volcanic history of East Java, Indonesia : The Stratigraphic Record of eruption on an Active Margin. USA: The Geological Society of America. [12] Subroto, E.A., Noeradi, D., Priyono, A., Wahono, H.E., Hermanto, E., Praptisih, Santoso, K. 2007.The Paleogene Basin Within The Kendeng Zone, Central Java Island, and Implications to Hydrocarbon Prospectivity. Jakarta: IPA [13] Yusuf, Muhammad Azka. 2012. Laporan Pemetaan Mandiri Geologi Kecamatan Simo dan Sekitarnya, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Indonesia. Universitas Diponegoro
7
Lampiran
(b)
Gambar 1. Stratigrafi Cekungan Kendeng secara kesluruhan (Subroto dkk, 2007) pada bagian bawah dominan oleh batulempung yaitu Formasi Pelang dan Formasi Kerek bagian bawah. Untuk Formasi Kerek menunjukkan dominasi batupasir.
(c)
(d)
(a)
(e) Gambar 2. (a) Biosparit (Folk, 1959) dari STA Batugamping Pejal F. Kalibeng, Juwangi (Romadhona, 2010), (b) Biosparit (Folk, 1959) dari STA Batugamping Pejal F. Kerek, Juwangi (Aldilla F Romadhona, 2010), (c) Arkose wacke (Dott, 1964) Bukti proses pelarutan berupa cangkang yang tidak utuh (Petrografi nikol bersilang pada conto P 01) (Vahyu Vanny H, 2010), (d) Packed Biomicrite (Folks, 1952) Packstone (Dunham, 1962) Sementasi kembali (petrografi nikol bersilang pada conto P 02), (e) Carbonate Feldsphatic Arenite (Dott, 1964) Penggantian (replacement) mineral felspar dengan mineral karbonat (petrografi nikol bersilang pada conto P 04)
8
Gambar 5. Diagram Van Krevelenn Sampel Pudakpayung (Kusuma, 2013) menunjukkan bahwa material organic tergolong dalam tipe III atau gas prone
Gambar 3. Feldspathic graywacke (Dott, 1964) pada STA batupasir tufaan, Desa Tjandi (Yusuf, 2012) Gambar 6. Diagram Van Krevelenn Sampel Bancak (Kusuma, 2013) menunjukkan bahwa material organic tergolong dalam tipe III atau gas prone
(a)
Gambar 7. Hasil GC dan GCMS sampel batuan dan sampel rembesan minyak Pudakpayung
(b) Gambar 4. (a) Semen kalsit dan klorit pada foto SEM 01 (b) Semen pirit pada foto SEM 04
Gambar 8. Hasil GC dan GCMS sampel batuan dan sampel rembesan minyak Bancak
9