BAB II PEMBAHASAN 2. Definisi Etika Secara garis besar dapat diartikan sebagai serangkaian prinsip atau nilai moral, berarti keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya. Perilaku etis sangat diperlukan oleh masyarakat agar dapat berfungsi secara teratur dan sebagai panduan untuk menilai benar/salahnya perbuatan/perilaku. Menurut Josephson Institute terdapat 6 (enam) nilai inti etis mengenai perilaku etis : a. Dapat dipercaya (Trustworthiness) Mencakup kejujuran yaitu menuntut itikad baik untuk mengemukakan kebenaran, intergritas berarti tindakan seseorang sesuai dengan kesadaran tinggi dalam situasi apapun, dan reliabilitas dimana melakukan semua usaha yang masuk akal untuk memenuhi komitmen serta loyalitas adalah tanggung jawab untuk mengutamakan dan melindungi berbagai kepentingan b.
masyarakat dan organisasi tertentu. Penghargaan (Respect) Mencakup gagasan seperti kepantasan
(Civility),
kesopansantunan
c.
(courtesy), kehormatan, toleransi dan penerimaan. Pertanggungjawaban (Responsibility) Mencakup bertanggung jawab atas tindakan seseorang serta dapat menahan
d.
diri dan berusaha sebaik mungkin dan memberi teladan dengan contoh. Kelayakan (Fairness) Mencakup isu-isu tentang kesamaan penilaian, sikap tidak memihak, proporsionalitas, keterbukaan, dan keseksamaan. Perlakuan yang layak
e.
berarti bahwa situasi serupa akan ditangani dengan cara yang konsisten. Perhatian (Caring) Mencakup kesungguhan dalam memperhatikan kesejahteraan pihak lain
f.
melalui tindakan. Kewarganegaraan (Citizenship) Termasuk kepatuhan pada
undang-undang
serta
melaksanakan
kewajibannya sebagai warga negara. Faktor utama yang mempengaruhi seseorang bertindak tidak etis sebagai berikut: a. Standar etika seseorang berbeda dengan masyarkat umum Salah satu contoh ekstrem ketika orang-orang berperilaku melanggar hampir semua standar etika yang dianut oleh setiap orang seperti para pengedar narkoba dan sebagian besar orang tersebut tidak menunjukkan rasa
penyesalan saat mereka tertangkap, dikarenakan standar etika mereke berbeda dengan yang berlaku di masyrakat secara keseluruhan. Contoh lain, manakala orang lain melanggar nilai etis menurut kita, diantaranya berlaku curang dalam pengisian SPT pajaknya, memperlakukan orang lain dengan rasa permusuhan. Jika orang lain memutuskan bahwa perilaku ini etis dan dapat diterima, maka akan ada konflik nilai etis yang b.
tidak mungkin terselesaikan. Orang memilih untuk bertindak mementingkan diri sendiri Sebagian besar perilaku tidak etis disebabkan oleh tindakan yang mementingkan diri sendiri seperti contoh skandal politik akibat adanya keinginan untuk mendapatkan kekuasaan politik. Kasus diatas orang tersebut mengetahui bahwa perilakunya tidak benar tetapi ia memilih untuk tetap melakukan disebabkan pengorbanan pribadi untuk bertindak secara etis.
2.1
Pentingnya Nilai-Nilai Etika dalam Auditing Beragam masalah etis berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan
auditing. Banyak auditor menghadapi masalah serius karena mereka melakukan hal-hal kecil yang tak satu pun tampak mengandung kesalahan serius, namun ternyata hanya menumpuknya hingga menjadi suatu kesalahan yang besar dan merupakan pelanggaran serius terhadap kepercayaan yang diberikan. Untuk itu pengetahuan akan tanda-tanda peringatan adanya masalah etika akan memberikan peluang untuk melindungi diri sendiri, dan pada saat yang sama, akan membangun suasana etis di lingkungan kerja. Masalah-masalah etika yang dapat dijumpai oleh auditor yang meliputi permintaan atau tekanan untuk: a.
Melaksanakan tugas yang bukan merupakan kompetensinya
b.
Mengungkapkan informasi rahasia
c.
Mengkompromikan
integritasnya
dengan
melakukan
pemalsuan,
penggelapan, penyuapan dan sebagainya. d.
Mendistorsi obyektivitas dengan menerbitkan laporan-laporan yang menyesatkan.
2.2
Dilema Etika Dilema etika adalah situasi yang dihadapi seseorang di mana keputusan
mengenai perilaku yang pantas harus dibuat.
Auditor banyak menghadapi
dilema etika dalam melaksanakan tugasnya. Bernegosiasi dengan auditan jelas merupakan dilema etika. Ada beberapa alternatif pemecahan dilema etika, tetapi
harus berhati-hati untuk menghindari cara yang merupakan rasionalisasi perilaku tidak beretika. Berikut ini adalah metode rasionalisasi yang biasanya digunakan bagi perilaku tidak beretika: a.
Semua
orang
melakukannya.
Argumentasi
yang
mendukung
penyalahgunaan pelaporan pajak, pelaporan pengadaan barang/jasa biasanya didasarkan pada rasionalisasi bahwa semua orang melakukan hal yang sama, oleh karena itu dapat diterima. b.
Jika itu legal, maka itu beretika. Menggunakan argumentasi bahwa semua perilaku legal adalah beretika sangat berhubungan dengan ketepatan hukum. Dengan pemikiran ini, tidak ada kewajiban menuntut kerugian yang telah dilakukan seseorang.
c.
Kemungkinan ketahuan dan konsekuensinya. Pemikiran ini bergantung pada evaluasi hasil temuan seseorang. Umumnya, seseorang akan memberikan hukuman (konsekuensi) pada temuan tersebut.
3. Kode Etik Kode etik merupakan wujud dari komitmen moral organisasi, yang berisi beberapa hal yang harus dilakukan oleh anggota profesi, dan sanksi jika anggota profesi melanggar kode etik tersebut. Tujuan utama kode etik adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan kelalaian, kesalahan atau pelecehan, baik disengaja maupun tidak disengaja oleh anggota profesi, dengan kata lain bermaksud melindungi keluhuran profesi dari perilaku perilaku menyimpang oleh anggota profesi. Agar kode etik dapat berfungsi dengan optimal, minimal ada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi yaitu harus dibuat oleh profesinya sendiri dan tidak akan efektif kode etik tersebut, apabila ditentukan oleh pemerintah atau instansi di luar profesi. Pelaksanaan kode etik harus diawasi secara terus-menerus dan setiap pelanggaran akan dievaluasi dan diambil tindakan oleh suatu dewan yang khusus dibentuk. 4. Kode Etik dalam Profesi Auditor Salah satu misi Institut Akuntan Publik Indonesia (“IAPI”) adalah untuk menyusun dan mengembangkan standar profesi dan kode etik profesi akuntan publik yang berkualitas dengan mengacu pada standar internasional. Sehubungan dengan hal tersebut, IAPI telah memberikan tanggung jawab kepada Dewan Standar Profesional Akuntan Publik IAPI untuk mengembangkan
dan menetapkan suatu standar profesi dan kode etik profesi yang berkualitas yang berlaku bagi profesi akuntan publik di Indonesia. Kode etik khusus bagi para akuntan publik diberlakukan oleh IAPI sejak 1 Januari 2010. Kode etik ini disebut Kode Etik Profesi Akuntan Publik. Kode etik ini disusun oleh IAPI berdasarkan acuan pada Code of Ethics for Professional Accountants yang diterbitkan oleh The International Ethics Standard Board for Accountants (IESBA-IFAC) Edisi tahun 2008. Code of Ethics yang diterbitkan oleh IFAC ( International Federation of Accountants ) tersebut terdiri dari 3 bagian, yaitu: Bagian A – General Application of the Code, Bagian B – Professional Accountants in Public Practice, dan Bagian C – Professional Accountants in Business. Bagian A dan B diadopsi oleh IAPI, sementara Bagian C masih dianggap belum relevan untuk dapat diadopsi. Dengan demikian, Kode Etik Profesi Akuntan Publik terdiri dari Bagian A dan Bagian B. Bagian A menetapkan prinsip dasar etika profesi dan memberikan kerangka konseptual untuk penerapan prinsip tersebut. Bagian B memberikan ilustrasi mengenai penerapan kerangka konseptual tersebut pada situasi tertentu. Setiap Praktisi wajib mematuhi dan menerapkan seluruh prinsip dasar dan aturan etika profesi yang diatur dalam Kode Etik ini, kecuali bila prinsip dasar dan aturan etika profesi yang diatur oleh perundang-undangan, ketentuan hukum, atau peraturan lainnya yang berlaku ternyata lebih ketat dari Kode Etik ini. Dalam kondisi tersebut, seluruh prinsip dasar dan aturan etika profesi yang diatur dalam perundang-undangan, ketentuan hukum, atau peraturan lainnya yang berlaku tersebut wajib dipatuhi, selain tetap mematuhi prinsip dasar dan aturan etika profesi yang diatur dalam Kode Etik ini 4.1
Bagian A (Prinsip-Prinsip Dasar Etika Profesi) Bagian A terdiri dari enam seksi yang menetapkan prinsip dasar etika
profesi dan memberikan kerangka konseptual untuk penerapan prinsip tersebut. Pedoman terhadap prinsip dasar etika profesi diberikan dalam kerangka konseptual tersebut. Praktisi wajib menerapkan kerangka konseptual tersebut untuk mengidentifikasi ancaman (threats) terhadap kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi dan mengevaluasi signifikansi ancaman tersebut. Pencegahan (safeguards) yang tepat harus dipertimbangkan dan diterapkan untuk menghilangkan ancaman tersebut atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima, sehingga kepatuhan terhadap prinsip dasar etika profesi tetap terjaga. Keenam seksi dalam Bagian A Kode Etik meliputi (1) Seksi 100 Prinsip-Prinsip Dasar Etika Profesi, (2) Seksi 110 Prinsip Intergritas, (3) Seksi 120 Prinsip
Objektivitas, (4) Seksi 130 Prinsip Kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian Profesional, (5) Seksi 140 Prinsip Kerahasiaan, Seksi 150 Prinsip Perilaku Profesinal, selain itu menyajikan 5 prinsip, antara lain: 1. Prinsip Integritas, Setiap Praktisi wajib untuk bersikap tegas, jujur, dan adil
dalam
hubungan
profesional
dan
hubungan
bisnisnya.
Praktisi tidak boleh terkait dengan laporan, komunikasi, atau informasi lainnya yang diyakininya terdapat; (1) Kesalahan yang material atau pernyataan yang menyesatkan; (2) Pernyataan atau informasi yang diberikan secara tidak hati-hati; atau Penghilangan atau penyembunyian yang dapat menyesatkan atas informasi yang seharusnya diungkapkan. 2.
Prinsip Objektivitas, Setiap Praktisi wajib untuk tidak membiarkan subjektivitas, benturan kepentingan, atau pengaruh yang tidak layak dari pihak-pihak lain memengaruhi pertimbangan profesional atau pertimbangan bisnisnya. Praktisi mungkin dihadapkan pada situasi yang dapat mengurangi objektivitasnya. Karena beragamnya situasi tersebut, tidak mungkin untuk mendefinisikan setiap situasi tersebut. Setiap Praktisi harus menghindari hubungan yang bersifat subjektif atau yang dapat mengakibatkan pengaruh yang tidak layak terhadap pertimbangan profesionalnya.
3.
Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional, Setiap praktisi wajib dalam memelihara pengetahuan dan keahlian profesional yang dibutuhkan untuk menjamin pemberian jasa profesional yang kompeten kepada klien atau pemberi kerja serta menggunakan kemahiran profesionalnya dengan saksama sesuai dengan standar profesi dan kode etik profesi yang berlaku dalam memberikan jasa profesionalnya sebagai berikut a. Pemberian jasa profesional yang kompeten membutuhkan pertimbangan yang cermat dalam menerapkan pengetahuan dan keahlian professional. Kompetensi profesional dapat dibagi menjadi dua tahap yang terpisah seperti pencapaian kompetensi profesional dan pemeliharaan kompetensi profesional. b. Pemeliharaan kompetensi profesional membutuhkan kesadaran dan pemahaman yang berkelanjutan terhadap perkembangan teknis profesi dan perkembangan bisnis yang relevan. Pengembangan dan pendidikan profesional yang berkelanjutan sangat diperlukan untuk meningkatkan dan memelihara kemampuan Praktisi agar dapat melaksanakan pekerjaannya secara kompeten dalam lingkungan profesional.
c. Sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional mengharuskan setiap Praktisi untuk bersikap dan bertindak secara hati-hati, menyeluruh, dan tepat waktu, sesuai dengan persyaratan penugasan. d. Setiap Praktisi harus memastikan tersedianya pelatihan dan penyeliaan yang tepat bagi mereka yang bekerja di bawah wewenangnya dalam kapasitas profesional. e. Bila dipandang perlu, Praktisi harus menjelaskan keterbatasan jasa profesional yang diberikan kepada klien, pemberi kerja, atau pengguna jasa profesional lainnya untuk menghindari terjadinya kesalahtafsiran atas pernyataan pendapat yang terkait dengan jasa profesional yang diberikan. 4.
Kerahasiaan, Setiap praktisi wajib untuk tidak melakukan tindakantindakan sebagai berikut: a. Mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia yang diperoleh dari hubungan profesional dan hubungan bisnis kepada pihak di luar KAP atau Jaringan KAP tempatnya bekerja tanpa adanya wewenang khusus, kecuali jika terdapat kewajiban untuk mengungkapkannya sesuai dengan ketentuan hukum atau peraturan lainnya yang berlaku; dan b. Menggunakan informasi yang bersifat rahasia yang diperoleh dari hubungan profesional dan hubungan bisnis untuk keuntungan pribadi atau pihak ketiga. c. Setiap Praktisi harus tetap menjaga prinsip kerahasiaan, termasuk dalam lingkungan
sosialnya.
Setiap
Praktisi
harus
waspada
terhadap
kemungkinan pengungkapan yang tidak disengaja, terutama dalam situasi yang melibatkan hubungan jangka panjang dengan rekan bisnis maupun anggota keluarga langsung atau anggota keluarga dekatnya. d. Setiap Praktisi harus menjaga kerahasiaan informasi yang diungkapkan oleh calon klien atau pemberi kerja dan mempertimbangkan pentingnya kerahasiaan informasi terjaga dalam KAP atau Jaringan KAP tempatnya bekerja. e. Setiap praktisi harus menerapkan semua prosedur yang dianggap perlu untuk memastikan terlaksananya prinsip kerahasiaan oleh mereka yang bekerja di bawah wewenangnya, serta pihak lain yang memberikan saran dan bantuan profesionalnya. f. Kebutuhan untuk mematuhi prinsip kerahasiaan terus berlanjut, bahkan setelah berakhirnya hubungan antara Praktisi dengan klien atau pemberi kerja. Ketika berpindah kerja atau memperoleh klien baru, Praktisi berhak untuk menggunakan pengalaman yang diperoleh sebelumnya.
Namun demikian, Praktisi tetap tidak boleh menggunakan atau mengungkapkan setiap informasi yang bersifat rahasia yang diperoleh sebelumnya dari hubungan profesional atau hubungan bisnis. Berikut ini merupakan situasi-situasi yang mungkin mengharuskan Praktisi untuk mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia atau ketika pengungkapan
tersebut
dianggap
tepat
yaitu
pengungkapan
yang
diperbolehkan oleh hukum dan disetujui oleh klien atau pemberi kerja sebagai contoh pengungkapan dokumen atau bukti lainnya dalam siding pengadilan; atau Pengungkapan kepada otoritas publik yang tepat mengenai suatu pelanggaran hukum g. Pengungkapan yang terkait dengan kewajiban profesional untuk mengungkapkan, selama tidak dilarang oleh ketentuan hukum: 1) Mematuhi pelaksanaan penelaahan mutu yang dilakukan oleh organisasi profesi atau regulator; 2) Menjawab pertanyaan atau investigasi yang dilakukan oleh organisasi profesi atau regulator; 3) Melindungi kepentingan profesional
Praktisi
dalam
siding
pengadilan; atau Dalam mematuhi standar profesi dan kode etik profesi yang berlaku. h. Dalam memutuskan untuk mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia, setiap Praktisi harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1) Dirugikan tidaknya kepentingan semua pihak, termasuk pihak ketiga, jika klien atau pemberi kerja mengizinkan pengungkapan informasi oleh Praktisi; 2) Diketahui tidaknya dan didukung tidaknya semua informasi yang relevan. Ketika fakta atau kesimpulan tidak didukung bukti, atau ketika informasi tidak lengkap, pertimbangan profesional harus digunakan untuk menentukan jenis pengungkapan yang harus dilakukan; dan 3) Jenis komunikasi yang diharapkan dan pihak yang dituju. Setiap Praktisi harus memastikan tepat tidaknya pihak yang dituju dalam komunikasi tersebut. 5.
Perilaku Profesional mewajibkan untuk mematuhi setiap ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku, serta menghindari setiap tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi yang mengakibatkan terciptanya kesimpulan yang negative oleh pihak ketiga yang rasional dan memiliki pengetahuan mengenai semua informasi yang relevan, yang dapat menurunkan reputasi profesi.
Dalam memasarkan dan mempromosikan diri dan pekerjaanya, setiap praktisi tidak boleh merendahkan martabat profesi. Setiap Praktisi harus bersikap jujur dan tidak boleh bersikap atau melakukan tindakan sebagai berikut: a. Membuat pernyataan yang berlebihan mengenai jasa profesional yang dapat diberikan, kualifikasi yang dimiliki, atau pengalaman yang telah diperoleh; atau b. Membuat pernyataan yang merendahkan atau melakukan perbandingan yang tidak didukung bukti terhadap hasil pekerjaan Praktisi lain. 4.2
Bagian B (Aturan Etika Profesi) Bagian B Kode Etik memuat Aturan Etika Profesi yang terdiri dari 10
seksi yang tersebar dalam 224 paragraf. Bagian B memberikan ilustrasi tentang penerapan kerangka konseptual dan contoh-contoh pencegahan yang diperlukan untuk mengatasi ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar. Karena merupakan contoh-contoh, maka untuk menghindari agar tidak keliru penafsirannya, maka pada paragraf 200.1 dijelaskan bahwa contoh-contoh yang diberikan pada Bagian B Kode Etik bukan merupakan daftar lengkap mengenai situasi yang dihadapi Praktisi yang dapat menimbulkan ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar. Maka dari itu, Praktisi harus menerapkan kerangka konseptual dalam setiap situasi yang dihadapinya, karena tidak cukup bagi Praktisi untuk hanya mematuhi contoh-contoh yang diberikan tersebut. Setiap Praktisi tidak boleh terlibat dalam setiap bisnis, pekerjaan, atau aktivitas yang dapat mengurangi integritas, objektivitas, atau reputasi profesinya, yang dapat mengakibatkan pertentangan dengan jasa profesional yang diberikannya. Sepuluh seksi dalam Bagian B Kode Etik meliputi antara lain. 1.
Seksi 200 Ancaman dan Pencegahan
2.
Seksi 210 Penunjukan Praktisi, KAP, atau Jaringan KAP
3.
Seksi 220 Benturan Kepentingan
4.
Seksi 230 Pendapat Kedua
5.
Seksi 240 Imbalan Jasa Profesional dan Bentuk Remunerasi
6.
Seksi 250 Pemasaran Jasa Profesional
7.
Seksi 260 Penerimaan Hadiah atau Bentuk Keramah-Tamahan
8.
Seksi 270 Penyimpanan Aset Milik Klien
9.
Seksi 280 Objektivitas – Semua Jasa Profesional
10.
Seksi 290 Independensi dalam Perikatan Assurance.
Audit membutuhkan pengabdian yang besar pada masyarakat dan komitmen moral yang tinggi. Masyarakat menuntut untuk memperoleh jasa para auditor publik dengan standar kualitas yang tinggi, dan menuntut mereka untuk bersedia mengorbankan diri. Itulah sebabnya profesi auditor menetapkan standar teknis dan standar etika yang harus dijadikan panduan oleh para auditor dalam melaksanakan audit Standar etika diperlukan bagi profesi audit karena auditor memiliki posisi sebagai orang kepercayaan dan menghadapi kemungkinan benturanbenturan kepentingan. Kode etik atau aturan etika profesi audit menyediakan panduan bagi para auditor profesional dalam mempertahankan diri dari godaan dan dalam mengambil keputusan-keputusan sulit. Jika auditor tunduk pada tekanan atau permintaan tersebut, maka telah terjadi pelanggaran terhadap komitmen pada prinsip-prinsip etika yang dianut oleh profesi. Oleh karena itu, seorang auditor harus selalu memupuk dan menjaga kewaspadaannya agar tidak mudah takluk pada godaan dan tekanan yang membawanya ke dalam pelanggaran prinsip-prinsip etika secara umum dan etika profesi. etis yang tinggi; mampu mengenali situasi-situasi yang mengandung isu-isu etis sehingga memungkinkannya untuk mengambil keputusan atau tindakan yang tepat. 4.3
Pendekatan Kerangka Konseptual Kode etik mengharuskan praktisi selalu menerapkan kerangka konseptual
untuk mengidentifikasi ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar serta menerapkan pencegahan. Bagian B Kode Etik selalu menyebutkan identifikasi ancaman dan penerapan pencegahan tersebut, yang harus dilakukan ketika praktisi terlibat dalam melakukan pekerjaan profesionalnya antara lain: 1. Ancaman terhadap kepatuhan Praktisi pada prinsip dasar etika profesi dapat terjadi dalam situasi tertentu ketika Praktisi melaksanakan pekerjaannya. Karena beragamnya situasi tersebut, tidak mungkin untuk menjelaskan setiap situasi yang dapat menimbulkan ancaman tersebut beserta pencegahan yang tepat dalam Kode Etik ini. Pencegahan yang diterapkan untuk menghadapi ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi dapat berbeda untuk situasi yang berbeda. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan sifat perikatan dan penugasan pekerjaan. Kerangka konseptual mengharuskan praktisi untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menangani setiap ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar etika
profesi dengan tujuan untuk melindungi kepentingan publik, serta tidak 2.
hanya mematuhi seperangkat peraturan khusus yang dapat bersifat subjektif. Suatu kerangka yang diberikan dalam kode etik ini dapat membantu Praktisi dalam mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggapi ancaman terhadap
3.
kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi. Setiap praktisi harus mengevaluasi setiap ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi ketika ia mengetahui, atau seharusnya dapat mengetahui, keadaan atau hubungan yang dapat mengakibatkan pelanggaran
4.
terhadap prinsip dasar etika profesi. Faktor-faktor kualitatif dan kuantitatif harus diperhatikan oleh Praktisi dalam mempertimbangkan signifikansi suatu ancaman. Jika Praktisi tidak dapat menerapkan pencegahan yang tepat, maka ia harus menolak untuk menerima perikatan tersebut atau menghentikan jasa profesional yang
5.
diberikannya, atau bahkan mengundurkan diri dari perikatan tersebut. Praktisi mungkin melanggar suatu ketentuan dalam Kode Etik ini secara tidak sengaja. Tergantung dari sifat dan signifikansinya, pelanggaran tersebut mungkin saja tidak mengurangi kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi jika pelanggaran tersebut dapat dikoreksi sesegera mungkin ketika ditemukan dan pencegahan yang tepat telah diterapkan.
4.4 Ancaman dan Pencegahan Kode Etik mengenai evaluasi ancaman memberikan catatan kepada Praktisi untuk tidak hanya menerima informasi atas adanya ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar, tetapi juga harus mengupayakan untuk mengetahui atas sesuatu yang sesungguhnya dapat diketahui yang merupakan ancaman terhadap prinsip dasar tersebut. Ancaman terhadap prinsip dasar yang dimaksud dalam Kode Etik ini diklasifikasikan menjadi 5 jenis ancaman, antara lain: 1. Ancaman Kepentingan Pribadi, Ancaman yang terjadi aebagai akibat dari kepentingan keuangan maupun kepentingan lainnya dari Praktisi maupun 2.
anggota keluarga langsung atau anggota keluarga dekat dari praktisi. Ancaman Telaah Pribadi, Ancaman yang terjadi ketika pertimbangan yang diberikan sebelumnya harus dievaluasi kembali oleh Praktisi yang
3.
bertanggungjawab atas pertimbangan tersebut. Ancaman Advokasi, Ancaman yang terjadi ketika Praktisi menyatakan sikap atau pendapat mengenai suatu hal yang dapat mengurangi objektifitas selanjutnya dari Praktisi tersebut.
4.
Ancaman Kedekatan, Ancaman yang terjadi ketika Praktisi terlalu bersimpati terhadap kepentingan pihak lain sebagai akibat dari kedekatan
5.
hubungannya. Ancaman Intimidasi, Ancaman yang terjadi ketika Praktisi dihalangi untuk
bersikap objektif. Pencegahan yang dapat menghilangkan ancaman tersebut atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima dapat diklasifikasikan sebagai berikut. 1. Pencegahan yang dibuat oleh profesi, peundang-undangan, atau peraturan. Pencegahan ini mencakup beberapa hal seperti persyaratan pendidikan, pelatihan,
dan
pengalaman
untuk
memasuki
profesi,
persyaratan
pengembangan dan pendidikan profesional berkelanjutan, peraturan tata kelola perusahaan, standar profesi, prosedur pengawasan dan pendisiplinan dari organisasi profesi atau regulator, dan penelaahan eksternal oleh pihak ketiga yang diberikan kewenangan hukum atas laporan, komunikasi, atau 2.
informasi yang dihasilkan oleh praktisi. Pencegahan dalam lingkungan kerja, Pencegahan ini dibahas dalam Bagian B dari Kode Etik. Pencegahan tertentu dapat meningkatkan kemungkinan untuk mengidentifikasi atau menghalangi perilaku yang tidak sesuai dengan etika profesi. Pencegahan tersebut dapat dibuat oleh profesi, perundangundangan, peraturan, atau pemberi kerja, yang mencakup antara lain. a) Sistem pengaduan yang efektif dan diketahui secara umum yang dikelola oleh pemberi kerja, profesi atau regulator, yang memungkinkan kolega, pemberi kerja, dan anggota masyarakat untuk melaporkan perilaku Praktisi yang tidak professional atau yang tidak sesuai dengan etika profesi. b) Kewajiban yang dinyatakan secara tertulis dan eksplisit untuk melaporkan pelanggaran etika profesi yang terjadi.
4.5
Penyelesaian Masalah yang Terkait dengan Etika Profesi Praktisi mungkin diharuskan untuk menyelesaikan masalah dalam
penerapan prinsip dasar etika profesi ketika mengevaluasi kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi. Ketika memulai proses penyelesaian masalah yang terkait dengan etika profesi, baik secara formal maupun informal, setiap Praktisi baik secara individu maupun bersama-sama dengan koleganya, harus mempertimbangkan beberapa hal seperti fakta yang relevan, masalah etika profesi yang terkait, prinsip dasar etika profesi yang terkait dengan masalah etika profesi yang dihadapi, prosedur internal yang berlaku dan tindakan alternatif.
Setelah
mempertimbangkan
hal-hal
tersebut,
Praktisi
harus
menentukan tindakan yang sesuai dengan prinsip dasar etika profesi yang diidentifikasi beserta akibat dari tindakan tersebut. Jika masalah etika profesi tersebut tetap tidak dapat diselesaikan, maka Praktisi harus berkonsultasi dengan pihak yang tepat pada KAP atau Jaringan KAP tempatnya bekerja untuk membantu menyelesaikan masalah etika profesi tersebut. Praktisi harus mempertimbangkan untuk melakukan konsultasi dengan pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola perusahaan, seperti komite audit jika masalah etika profesi melibatkan konflik dengan, atau dalam organisasi klien atau pemberi kerja. Praktisi sangat dianjurkan untuk mendokumentasikan substansi permasalahan dan rincian pembahasan yang dilakukan atau keputusan yang diambil yang terkait dengan permasalahan tersebut. Jika masalah etika profesi yang signifikan tidak dapat diselesaikan, maka Praktisi dapat meinta nasihat profesional dari organisasi profesi yang relevan atau penasihat hukum untuk memperoleh pedoman mengenai penyelesaian masalah etika profesi yang terjadi tanpa melanggar prinsip kerahasiaan. Jika setelah mendalami semua kemungkinan yang relevan, masalah etika profesi tetap tidak dapat diselesaikan, maka Praktisi harus menolak untuk dikaitkan dengan hal yang menimbulkan masalah etika profesi tersebut. Dalam situasi tertentu, merupakan suatu langkah yang tepat bagi Praktisi untuk tidak melibatkan dirinya dalam tim perikatan atau penugasan tertentu, atau bahkan mengundurkan diri dari perikatan tersebut atau dari KAP atau Jaringan KAP tempatnya bekerja. 5. Definisi Audit Kecurangan Menurut Alison, 2006 mendefinisikan kecurangan (Fraud) sebagai bentuk penipuan yang disengaja dilakukan dan menimbulkan kerugian tanpa disadari oleh pihak yang dirugikan, sebaliknya memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan. Kecurangan umumnya terjadi karena adanya tekanan untuk melakukan penyelewengan atau dorongan memanfaatkan kesempatan yang ada dan adanya pembenaran (diterima secara umum) terhadap tindakan tersebut. Karakteristik Kecurangan Akuntansi, dilihat dari pelaku Fraud dapat digolongkan menjadi dua jenis : a.
Pihak perusahaan terdiri dari 1) Manajemen untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah saji yang timbul karena kecurangan pelaporan keuangan (misstatements arising from fraudulent financial reporting). Kecurangan pelaporan keuangan
biasanya dilakukan karena adanya dorongan dan ekspektasi terhadap prestasi kerja manajemen. Salah saji yang timbul karena kecurangan terhadap pelaporan keuangan lebih dikenal dengan istilah irregulatities (ketidakberesan). Bentuk kecurangan seperti ini seringkali dinamakan kecurangan manajemen (management fraud), misalnya berupa : manipulasi, pemalsuan, atau pengubahan terhadap catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang merupakan sumber penyajian laporan keuangan, kesengajaan dalam salah menyajikan atau sengaja menghilangkan (intentional omissions) suatu transaksi, kejadian, atau informasi penting dari laporan keuangan. 2) Pegawai untuk keuntungan individu, yaitu salah saji yang berupa
penyalahgunaan aktiva (misstatements arising from misappropriation of assets). Kecurangan jenis ini biasanya disebut kecurangan karyawan
(employee
fraud).
Salah
saji
yang
berasal
dari
penyalahgunaan aktiva meliputi penggelapan aktiva perusahaan yang mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Penggelapan aktiva umumnya dilakukan oleh karyawan yang menghadapi masalah keuangan dan melihat adanya peluang terhadap kelemahan pengendalian internal perusahaan serta pembenaran terhadap tindakan tersebut. Contoh salah saji jenis ini adalah : penggelapan terhadap penerimaan kas, pencurian aktiva perusahaaan, b.
mark-up harga dan transaksi tidak resmi. Pihak diluar perusahaan, yaitu pelanggan, mitra usaha dan pihak asing yang dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan melalui persaingan dalam berbisnis.
5.1
Mendeteksi Kecurangan (Fraud Auditing) Penelitian tradisional tentang kecurangan dilakukan pertama kali oleh
Donald Cressey pada tahun 1950 yang menimbulkan pertanyaan mengapa kecurangan dapat terjadi. Hasil dari penelitian itu memunculkan faktor-faktor pemicu kecurangan yang saat ini dikenal dengan “Fraud Triangle”. Penelitian tersebut Cressey mewawancarai 200 pelaku kecurangan atas tindakan kecurangan berupa penggelapan.
(Sumber : Donald Cressey, 1950) Kesimpulan dari penelitian tersebut bahwa setiap kecurangan yang dilakukan oleh para pelaku memenuhi tiga faktor penting sebagai faktor pemicu kecurangan antara lain : 1.
Pressure merupakan dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan fraud, contohnya hutang atau tagihan yang menumpuk, gaya hidup mewah, ketergantungan narkoba, dll. Pada umumnya yang mendorong terjadinya fraud adalah kebutuhan atau masalah finansial. Tapi banyak juga yang hanya terdorong oleh keserakahan.
2.
Opportunity merupakan peluang yang memungkinkan fraud terjadi. Biasanya disebabkan karena internal control suatu organisasi yang lemah, kurangnya pengawasan, dan/atau penyalahgunaan wewenang. Di antara 3 elemen fraud triangle, opportunity merupakan elemen yang paling memungkinkan untuk diminimalisir melalui penerapan proses, prosedur, dan control dan upaya deteksi dini terhadap fraud.
3.
Rationalization, menjadi elemen penting dalam terjadinya fraud, dimana pelaku mencari pembenaran atas tindakannya, misalnya: Bahwasanya tindakannya untuk membahagiakan keluarga dan orang-orang yang dicintainya, Masa kerja pelaku cukup lama dan dia merasa seharusnya berhak mendapatkan lebih dari yang telah dia dapatkan sekarang (posisi, gaji, promosi, dll.), dan perusahaan telah mendapatkan keuntungan yang sangat besar dan tidak mengapa jika pelaku mengambil bagian sedikit dari keuntungan tersebut.
Dari dasar hasil penelitian yang dilakukan oleh Donald Cressey ini juga, memunculkan banyak pendapat-pendapat lain yang kian beragam, diantaranya : Ramos (2003) dikutip dari Rosyid, menggambarkan penyebab kecurangan dalam bentuk segitiga (The fraud triangle), sebagai berikut : 1.
Penyalahgunaan wewenang / jabatan (Occupational Frauds): kecurangan yang dilakukan oleh individu-individu yang bekerja dalam suatu organisasi
2.
untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Kecurangan organisatoris (Organisational Fraud): kecurangan yang dilakukan
3.
oleh
organisasi
itu
sendiri
demi
kepentingan
/
keuntunganorganisasi itu. Skema kepercayaan (Confidence Schemes). Dalam kategori ini, pelaku membuat suatu skema kecurangan dengan menyalahgunakan kepercayaan korban. Seiring dengan perkembangan ekonomi saat ini yang merupakan hasil dari
proses pembangunan, teah membuat dunia usaha semakin semarak, kompleks, variatif dan dinamis. Masing-masing perusahaan berusaha untuk menggali segala potensi yang ada agar tetap bertahan dan memenuhi kebutuhan pelanggannya. Namun, seperti juga yang dialami oleh negara-negara maju maupun Negara berkembang, setiap pencapaian kemampuan di bidang ekonomi, cenderung diiringi pula dengan munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru, baik di bidang ekonomi maupun sosial. Para pelaku kejahatan tersebut cenderung untuk mencari dan memanfaatkan berbagai kelemahan yang ada dalam prosedur, tata kerja, perangkat hukum, kelemahan para pegawai maupun pengawasan yang belum sempat dibenahi. Berbagai cara dan usaha telah dilakukan oleh hamper seluruh perusahaan untuk mencegah terjadinya kecurangan baik dengan cara mempromsikan integritas, maupun pengenaan sanksi yang sepadan dengan perbuatan yang dilakukannya. Namun, risiko kecurangan tetap mungkin saja terjadi dalam suatu perusahaan. Hal
yang
menjadi
prtanyaan
selanjutnya
adalah
bagaimana
menilai
kemungkinan masalah demikian muncul. Dengan memahami gejala kecurangan (Red Flags) manajemen dapat mengidentifikasikan kondisi kecurangan yang kemungkinan besar akan terjadi atau telah terjadi.Dengan belajar dari kecurangan yang pernah terjadi,maka kecurangan dapat sedini mungkin ditangani oleh manajemen atau internal auditor. 6. Professional Liability
Professional liability adalah pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan suatu jasa profesi. Adapun yang disebut profesional masih belum ada definisi komprehensif mengenai siapa yang dimaksud dengan seorang profesional. Namun demikian seorang profesional memiliki persamaan karakteristik, diantaranya adalah memiliki keahlian khusus yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan, memiliki kemampuan mengendalikan dan mengatur etika profesi dan profesional memberikan advis atau jasa biasanya dengan imbalan berupa uang. Adapun auditor merupakan sebuah profesi yang memberikan jasa terkait audit dan menuntut profesionalitas dalam melaksanakan profesinya. Di Indonesia terdapat IAPI atau Institut Akuntan Publik Indonesia sebagai payung organisasi profesi seorang auditor dimana mereka membuat beberapa regulasi baik berupa aturan maupun kode etik dalam rangka mempertahankan eksistensi profesi akuntan publik di Indonesia. 6.1 Aturan Etika Akuntan Publik Berdasarkan aturan etika, seorang profesional akuntan publik harus memiliki karakteristik yang mencakup: 1. Penguasaan keahlian intelektual yang diperoleh melalui pendidikan dan 2.
pelatihan. Kesediaan melakukan tugas untuk masyarakat di tempat instansi kerja
3. 4.
maupun untuk auditan. Berpandangan obyektif. Penyediaan layanan dengan standar pelaksanaan tugas dan kinerja yang tinggi. Penerapan aturan etika dilakukan untuk mendukung
tercapainya tujuan
profesi akuntan publik seperti bekerja dengan standar profesi yang tinggi, mencapai tingkat kinerja yang diharapkan dan mencapai tingkat kinerja yang memenuhi persyaratan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, ada tiga kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Kredibilitas akan informasi dan sistem informasi. 2. Kualitas layanan yang didasarkan pada standar kinerja yang tinggi. 3. Keyakinan pengguna layanan bahwa adanya kerangka etika profesional dan standar teknis yang mengatur persyaratan-persyaratan layanan yang tidak dapat dikompromikan. 6.2 Kewajiban Hukum Auditor Kewajiban Hukun Auditor terlihat dari tanggung jawab auditor, pemahaman dan hukum auditor. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan 1. Tanggung Jawab Auditor Dalam hal terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh seorang Akuntan Publik dalam memberikan jasanya, baik atas temuan-temuan bukti
pelanggaran apapun yang bersifat pelanggaran ringan hingga yang bersifat pelanggaran berat, berdasarkan PMK No. 17/PMK.01/2008 hanya dikenakan
sanksi
administratif,
berupa:
sanksi
peringatan,
sanksi
pembekuan ijin dan sanksi pencabutan ijin. Penghukuman dalam pemberian sanksi hingga pencabutan izin baru dilakukan dalam hal seorang Akuntan Publik tersebut telah melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam SPAP dan termasuk juga pelanggaran kode etik yang ditetapkan oleh IAPI, serta juga melakukan pelanggaran peraturan perundangundangan yang berlaku yang berhubungan dengan bidang jasa yang diberikan, atau juga akibat dari pelanggaran yang terus dilakukan walaupun telah mendapatkan sanksi pembekuan izin sebelumnya, ataupun tindakan-tindakan yang menentang langkah pemeriksaan sehubungan dengan adanya dugaan pelanggaran profesionalisme akuntan publik. Akan tetapi, hukuman yang bersifat administratif tersebut walaupun diakui merupakan suatu hukuman yang cukup berat bagi eksistensi dan masa depan dari seorang Akuntan Publik , ternyata masih belum menjawab penyelesaian permasalahan ataupun resiko kerugian yang telah diderita oleh anggota masyarakat, sebagai akibat dari penggunaan hasil audit dari Akuntan Publik tersebut. Selama melakukan audit, auditor juga bertanggungjawab
dalam
hal
(Boynton,2003,h.68) antara lain : a)
Tanggung jawab untuk mendeteksi kecurangan ataupun kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja, diwujudkan dalam perencanaan dan pelaksanaan audit untuk mendapatkan keyakinan yang memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material yang disebabkan oleh kesalahan ataupun kecurangan.
b)
Tanggung jawab untuk melaporkan kecurangan jika terdapat bukti adanya kecurangan. Laporan ini dilaporkan oleh auditor kepada pihak manajemen, komite audit, dewan direksi
c)
Tindakan pelanggaran hukum oleh klien, Auditor bertanggung jawab atas salah saji yang berasal dari tindakan melanggar hukum yang memiliki pengaruh langsung dan material pada penentuan jumlah laporan keuangan. Untuk itu auditor harus merencanakan suatu audit untuk mendeteksi adanya tindakan melanggar hukum serta mengimplementasikan rencana tersebut dengan kemahiran yang cermat dan seksama.
d)
Tanggungjawab untuk melaporkan tindakan melanggar hukum. Apabila suatu tindakan melanggar hukum berpengaruh material terhadap laporan
keuangan, auditor harus mendesak manajemen untuk melakukan revisi atas laporan keuangan tersebut. Apabila revisi atas laporan keuangan tersebut kurang tepat, auditor bertanggung jawab untuk menginformasikannya kepada para pengguna laporan keuangan melalui suatu pendapat wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar bahwa laporan keuangan disajikan tidak sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Lebih jauh Soedarjono dalam Sarsiti (2003) mengungkapkan bahwa auditor memiliki beberapa tanggung jawab yaitu: a)
Tanggung jawab terhadap opini yang diberikan. Tanggung jawab ini hanya sebatas opini yang diberikan, sedangkan laporan keuangan merupakan tanggung jawab manajemen. Hal ini disebabkan pengetahuan auditor terbatas pada apa yang diperolehnya melalui audit. Oleh karena itu penyajian yang wajar posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum, menyiratkan bagian terpadu tanggung jawab manajemen.
b) Tanggung jawab terhadap profesi. Tanggung jawab ini mengenai mematuhi standar/ketentuan yang telah disepakati IAI, termasuk mematuhi prinsip akuntansi yang berlaku, standar auditing dan kode etik akuntan Indonesia. c)
Tanggung jawab terhadap klien. Auditor berkewajiban melaksanakan pekerjaan dengan seksama dan menggunakan kemahiran profesionalnya, jika tidak dia akan dianggap lalai dan bisa dikenakan sanksi.
d) Tanggung jawab untuk mengungkapkan kecurangan. Bila ada kecurangan yang begitu besar tidak ditemukan, sehingga menyesatkan, akuntan publik harus bertanggung jawab. e)
Tanggung jawab terhadap pihak ketiga, Tanggung jawab ini seperti investor, pemberi kredit dan sebagainya. Contoh dari tanggung jawab ini adalah tanggung jawab atas kelalaiannya yang bisa menimbulkan kerugian yang cukup besar, seperti pendapat yang tidak didasari dengan dasar yang cukup.
f)
Tanggung jawab terhadap pihak ketiga atas kecurangan yang tidak ditemukan. Dengan melihat lebih jauh penyebabnya, jika kecurangan karena prosedur auditnya tidak cukup, maka auditor harus bertanggung jawab.
2.
Pemahaman Hukum dan Kewajiban auditor Banyak profesional akuntansi dan hukum percaya bahwa penyebab utama
tuntutan hukum terhadap kantor akuntan publik adalah kurangnya pemahaman
pemakai laporan keuangan tentang perbedaan antara kegagalan bisnis dan kegagalan audit, dan antara kegagalan audit serta risiko audit. Berikut ini defenisi mengenai kegagalan bisnis, kegagalan audit dan risiko audit menurut Loebbecke dan Arens (1999,h.787) : a) Kegagalan bisnis terjadi jika perusahaan tidak mampu membayar kembali utangnya atau tidak mampu memenuhi harapan para investornya, karena kondisi ekonomi atau bisnis, seperti resesi, keputusan manajemen yang buruk, atau persaingan yang tak terduga dalam industri itu. b) Kegagalan audit terjadi jika auditor mengeluarkan pendapat audit yang salah karena gagal dalam memenuhi persyaratan-persyaratan standar auditing yang berlaku umum. c) Risiko Audit, risiko dimana auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan disajikan dengan wajar tanpa pengecualian, sedangkan dalam kenyataannya laporan tersebut disajikan salah secara material. Bila di dalam melaksanakan audit, akuntan publik telah gagal mematuhi standar profesinya, maka besar kemungkinannya bahwa business failure juga dibarengi oleh audit failure. Dalam hal yang terakhir ini, akuntan publik harus bertanggung jawab. Sementara, dalam menjalankan tugasnya, akuntan publik tidak
luput
dari
kesalahan.
Kegagalan
audit
yang
dilakukan
dapat
dikelompokkan menjadi ordinary negligence, gross negligence, dan fraud (Toruan,2001,h.28). Ordinary negligence merupakan kesalah yang dilakukan akuntan publik, ketika menjalankan tugas audit, dia tidak mengikuti pikiran sehat (reasonable care). Dengan kata lain setelah mematuhi standar yang berlaku ada kalanya auditor menghadapi situasi yang belum diatur standar. Dalam hal ini auditor harus menggunakan “common sense” dan mengambil keputusan yang sama seperti seorang (typical) akuntan publik bertindak. Sedangkan gross negligence merupakan kegagalan akuntan publik mematuhi standar profesional dan standar etika. Standar ini minimal yang harus dipenuhi. Bila akuntan publik gagal mematuhi standar minimal (gross negligence) dan pikiran sehat dalam situasi tertentu (ordinary negligence), yang dilakukan dengan sengaja demi motif tertentu maka akuntan publik dianggap telah melakukan fraud yang mengakibatkan akuntan publik dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Sebagian besar profesional akuntan setuju bahwa bila suatu audit gagal mengungkapkan kesalahan yang material dan oleh karenanya dikeluarkan jenis pendapat yang salah, maka kantor akuntan publik yang bersangkutan harus
diminta mempertahankan kualitas auditnya. Jika auditor gagal menggunakan keahliannya dalam pelaksanaan auditnya, berarti terjadi kegagalan audit, dan kantor akuntan publik tersebut atau perusahaan asuransinya harus membayar kepada mereka yang menderita kerugian akibat kelalaian auditor tersebut. Kesulitan timbul bila terjadi kegagalan bisnis, tetapi bukan kegagalan audit. Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan bangkrut, atau tidak dapat membayar hutangnya, maka umumnya pemakai laporan keuangan akan mengklaim bahwa telah terjadi kegagalan audit, khususnya bila laporan audit paling akhir menunjukkan bahwa laporan itu dinyatakan secara wajar. Lebih buruk jika terdapat kegagalan bisnis dan laporan keuangan yang kemudian diterbitkan salah saji, para pemakai akan mengklaim auditor telah lalai sekalipun telah melaksanakannya sesuai dengan standar auditing yang berlaku umum. Akuntan publik bertanggung jawab atas setiap aspek tugasnya, termasuk audit, pajak, konsultasi manajemen, dan pelayanan akuntansi, sehingga jika benar-benar terjadi kesalahan yang diakibatkan oleh pihak akuntan publik dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum. Beberapa faktor utama yang menimbulkan kewajiban hukum bagi profesi audit diantaranya adalah (Loebbecke dan Arens,1999,h.786): a.
Meningkatnya kesadaran pemakai laporan keuangan akan tanggung jawab akuntan publik
b.
Meningkatnya perhatian pihak-pihak yang terkait dengan pasar modal sehubungan dengan tanggung jawab untuk melindungi kepentingan investor
c.
Bertambahnya kompleksitas audit yang disebabkan adanya perubahan lingkungan yang begitu pesat diberbagai sektor bisnis, sistem informasi, dsb
d.
Kesediaan kantor akuntan publik untuk menyelesaikan masalah hukum diluar pengadilan, untuk menghindari biaya yang tinggi. Auditor secara umum sama dengan profesi lainnya merupakan subjek
hukum dan peraturan lainnya. Auditor akan terkena sanksi atas kelalaiannya, seperti kegagalan untuk mematuhi standar profesional di dalam kinerjanya. Profesi ini sangat rentan terhadap penuntutan perkara (lawsuits) atas kelalaiannya yang digambarkan sebagai sebuah krisis (Huakanala dan Shinneke,2003,h.69). Lebih lanjut Palmrose dalam Huanakala dan Shinneka menjelaskan bahwa litigasi terhadap kantor akuntan publik dapat merusak citra atau reputasi bagi kualitas dari jasa-jasa yang disediakan kantor akuntan publik tersebut. Menurut
Rachmad Saleh AS dan Saiful Anuar Syahdan (Media akuntansi, 2003) tanggung jawab profesi akuntan publik di Indonesia terhadap kepercayaan yang diberikan publik seharusnya akuntan publik dapat memberikan kualitas jasa yang dapat dipertanggungjawabkan dengan mengedepankan kepentingan publik yaitu selalu bersifat obyektif dan independen dalam setiap melakukan analisa serta berkompeten dalam teknis pekerjaannya. Terlebih-lebih tanggung jawab yang dimaksud mengandung kewajiban hukum terhadap kliennya. Kewajiban hukum auditor dalam pelaksanaan audit apabila adanya tuntutan ke pengadilan yang menyangkut laporan keuangan menurut Loebbecke dan Arens serta Boynton dan Kell yang telah diolah oleh Azizul Kholis, I Nengah Rata, Sri Sulistiyowati dan Endah Prepti Lestari (2001) adalah sebagai berikut: a.
Kewajiban kepada klien (Liabilities to Client) Kewajiban akuntan publik terhadap klien karena kegagalan untuk melaksanakan tugas audit sesuai waktu yang disepakati, pelaksanaan audit yang tidak memadai, gagal menemui kesalahan, dan pelanggaran kerahasiaan oleh akuntan publik.
b.
Kewajiban kepada pihak ketiga menurut Common Law (Liabilities to Third party) Kewajiban akuntan publik kepada pihak ketiga jika terjadi kerugian pada pihak penggugat karena mengandalkan laporan keuangan yang menyesatkan.
c.
Kewajiban Perdata menurut hukum sekuritas federal (Liabilities under securities laws) Kewajiban hukum yang diatur menurut sekuritas federal dengan standar yang ketat.
d.
Kewajiban kriminal (Crime Liabilities) Kewajiban hukum yang timbul sebagai akibat kemungkinan akuntan publik disalahkan karena tindakan kriminal menurut undang-undang.
Sedangkan kewajiban hukum yang mengatur akuntan publik di Indonesia secara eksplisit memang belum ada, akan tetapi secara implisit hal tersebut sudah ada seperti tertuang dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), Standar Akuntansi Keuangan (SAK), Peraturan-Peraturan mengenai Pasar Modal atau Bapepam, UU Perpajakan dan lain sebagainya yang berkenaan dengan kewajiban hukum akuntan (Rachmad Saleh AS dan Saiful Anuar Syahdan,2003). Keberadaan perangkat hukum yang mengatur akuntan publik di Indonesia sangat dibutuhkan oleh masyarakat termasuk kalangan profesi untuk melengkapi aturan main yang sudah ada. Hal ini dibutuhkan agar disatu sisi kalangan profesi dapat menjalankan tanggung jawab profesionalnya dengan tingkat kepatuhan yang
tinggi, dan disisi lain masyarakat akan mempunyai landasan yang kuat bila sewaktu-waktu akan melakukan penuntutan tanggung jawab profesional terhadap akuntan publik. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kewajiban hukum bagi seorang akuntan publik adalah bertanggung jawab atas setiap aspek tugasnya sehingga jika memang terjadi kesalahan yang diakibatkan oleh kelalaian pihak auditor, maka akuntan publik dapat dimintai pertanggung jawaban secara hukum sebagai bentuk kewajiban hukum auditor.
6.3 Tanggapan Profesi Terhadap Kewajiban Hukum AICPA dan profesi mengurangi resiko terkena sanksi hukum dengan langkah-langkah berikut : 1.
Riset dalam auditing
2.
Penetapan standar dan aturan.
3.
Menetapkan persyaratan untuk melindungi auditor
4.
Menetapkan persyaratan penelaahan sejawat .
5.
Melawan tuntutan hukum
6.
Pendidikan bagi pemakai laporan
7.
Memberi sanksi kepada anggota karena hasil kerja yang tak pantas
8.
Perundingan untuk perubahan hukum
6.4 Tanggapan Akuntan Publik Terhadap Kewajiban Hukum Dalam meringankan kewajibannya auditor dapat melakukan langkahlangkah berikut : 1.
Hanya berurusan dengan klien yang memiliki integritas
2.
Mempekerjakan staf yang kompeten dan melatih serta mengawasi dengan pantas
3.
Mengikuti standar profesi
4.
Mempertahankan independensi
5.
Memahami usaha klien
6.
Melaksanakan audit yang bermutu
7.
Mendokumentasika pekerjaan secara memadai
8.
Mendapatkan surat penugasan dan surat pernyataan
9.
Mempertahankan hubungan yang bersifat rahasia
10. Perlunya asuransi yang memadai 11. Mencari bantuan hokum
REFERENSI Boynton, C William, Johnson N Raymond dan Kell G. Walter, 2003. Modern Auditing, buku satu, edisi ketujuh diterjemahkan oleh Paul A. Rajoe, dkk, Penerbit Erlangga, Jakarta. Harahap, Sofyan S, 2002. Corporate accountability, Media Akuntansi, No.29/November-Desember/2002, Penerbit Intama Artha Indonusa, Jakarta Toruan, L Henry, 2001. Tanggung jawab akuntan publik, Media Akuntansi, No.18/Juni/2001, Penerbit Intama Artha Indonusa, Jakarta