BAB 1. PENDAHULUAN EPIDEMIOLOGI PENYAKIT FLU BURUNG
1.1. Latar Belakang Penyakit Flu Burung
Avian influenza pertama kali ditemukan menyerang di itali sekitar 100 tahun yang lalu. Wabah virus ini menyerang manusia pertama kali di Hongkong pada tahun 1997 dengan 18 korban dan 6 diantaranya meninggal3. Sejarah dunia telah mencatat tiga pandemi besar yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Pandemi pertama terjadi pada tahun 1918 berupa flu spanyol yang disebabkan oleh subtipe H1N1 dan memakan korban meninggal 40 juta orang. Pandemi ini sebagian besar terjadi di eropa dan amerika serikat. Pandemi kedua terjadi pada tahun 1918 berupa flu asia yang disebabkan oleh H2N2 dengan korban 4 juta jiwa. Pandemi terakhir pada tahun 1968 berupa flu hongkong yang disebabkan oleh H3N2 dengan korban 1 juta jiwa1.
Sampai bulan juni 2007 sebanyak 313 orang diseluruh dunia telah terjangkit virus AI dengan 191 diantaranya meninggal dunia. Kasus penyakit ini meningkat cepat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 tercatat terdapat 4 kasus, kemudian berkembang menjadi 46 kasus (2004), 97 kasus (2005), 116 kasus (2006), dan pada tahun 2007 pertanggal 15 juni sudah dilaporkan terjadi 50 kasus dengan angka kematian 60%. Negara yang terjangkit sebagian besar adalah negara-negara di asia (thailand, vietnam, kamboja, china, dan indonesia), tetapi saat ini telah menyebar ke irak dan turki2.
Kasus AI di Indonesia bermula dari ditemukannya kasus pada unggas di pekalongan, jawa tengah pada bulan agustus 20032. Menghadapi penyakit yang semakin merebak, pemerintah memutuskan untuk mrengimpor vaksin dalam jumlah terbatas dan dilakukan vaksinasi pada sejumlah unggas. Pada januari 2004, ketua I persatuan dewan hewan indonesia (PDHI), C.A. Nidom, mengumumkan bahwa identifikasi DNA dengan sampel 100 ayam yang diambil dari daerah wabah menunjukkan positif telah terjangkit flu burung1. Pada april 2004, dirjen bina produksi peternakan mengidentifikasi masuknya virus flu burung di indonesia, yakni penyelundupan vaksin flu burung, penyelundupan unggas, dan migrasi burung5.
Sampai akhirnya, pada akhir februari 2005 ribuan unggas, ayam, dan burung di lima kabupaten dan kota di jawa barat mati karena flu burung. Untuk pertama kalinya, kasus flu burung pada manusia di indonesia ditemukan pada bulan juli 2005. Kemudian, pemerintah menetapkan flu burung sebagai kejadian luar biasa (KLB) nasional mengingat banyaknya korban, baik unggas maupun manusia yang terjangkit virus flu burug. Sampai dengan september 2008 penyebaran flu burung pada manusia di Indonesia yang telah dikonfirmasi oleh Komnas Flu Burung Indonesia telah menyebar di 12 provinsi, yakni Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi selatan, Sumatera Selatan, Riau, dan Bali dengan jumlah kasus mencapai 137 dan 112 diantaranya meninggal dunia. jumlah kasus tterbanyak Jawa Barat dengan jumlah kasus 33 jiwa dan kasus meningggal 27 jiwa. sedangkan untuk daerah Tanggerang Banten memduduki peringkat terbanyak dengan jumlah kasus 25 jiwa dan meninggal 25 jiwa. Tanggerang merupakan salah satu daerah dengan kasus penularan Avian Influenza cukup tinggi. hingga saat ini Dinas Kesehatan Kabupaten Tanggerang Banten telah menetapkan 10 kecamatannya sebagai daerah epidemis atau wilayah penyebab dan penularan virus flu burung4
Wabah flu burung sangat merugikan masyarakat, selain dari segi kesehatan terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini disebabkan karena wabah flu burung membuat orang menjadi takut mengonsumsi daging ayam serta takut berpergian di daerah yang dinyatakan positif endemi flu burung, sehingga secara tidak langsung melumpuhkan sektor peternakan dan pariwisata di negara tersebut1. padahal jika dilihat dari data FAO pada tahun 2003 Asia tenggara termasuk Indonesia merupakan tempat peternakan unggas terbesar kedua terbesar didunia, sehingga bisa dibayangkan berapa banyak kerugian yang akan diderita apabila sektor peternakan unggas ini lumpuh5.
BAB 2. PEMBAHASAN EPIDEMIOLOGI PENYAKIT FLU BURUNG
2.1 Triad Epidemiologi
2.1.1. Agent
Virus penyebab flu burung tergolong family orthomyxoviridae2. Virus terdiri atas 3 tipe antigenik yang berbeda, yaitu A, B, dan C. Virus influenza A bisa terdapat pada unggas, manusia, babi, kuda, dan kadang-kadang mamalia yang lain, misalnya cerpelai, anjing laut, dan ikan paus. Namun, sebenarnya horpes alamiahnya adalah unggas liar. Sebaliknya, virus influenza B dan C hanya ditemukan pada manusia1. Penyakit flu burung yang disebut pula avian influenza disebabkan oleh virus influenza A2. Virus ini merupakan virus RNA dan mempunyai aktivitas haemaglutinin (HA) dan neurominidase (NA). Pembagian subtipe virus berdasarkan permukaan antigen, permukaan hamagluinin, dan neurominidase yang dimilikinya1.
Gambar 3. Agent penyakit flu burung (avian influenza virus)
2.1.2. Host
Host sendiri merupakan adalah organisme tempat hidup agent tertentu yang dalam suatu keadaan menimbulkan penyakit pada organisme tersebut. Jika membicarakan masalah penyakit flu burung pada manusia maka host yang dimaksud adalah manusia. Faktor intristik pada flu burung diantaranya kekebalan tubuh (imunitas) dan pola pikir seseorang1.
Flu burung sebenarnya tidak mudah menular dari hewan yang telah terinfeksi, namun jalan untuk penularan itu akan semakin mudah apabila seseorang itu berada dalam kondisi yang lemah dan tidak memiliki system imun yang baik, begitu pula dengan pola pikir orang yang masih tidak percaya dan terkesan meremehkan bahaya penyakit ini.
Gambar 2. Host berupa hewan
Gambar 3. Host berupa manusia
2.1.3 Environment
Faktor lingkungan ini dibagi menjadi tiga:
a) Lingkungan Biologis
Faktor lingkungan biologis pada penyakit flu burung yaitu agent. Agent merupakan sesuatu yang merupakan sumber terjadinya penyakit yang dalam hal ini adalah virus aviant influenza (H5N1). Sifat virus ini adalah mampu menular melalui udara dan mudah bermutasi. Daerah yang diserang oleh virus ini adalah organ pernafasan dalam, hal itulah yang membuat angka kematian akibat penyakit ini sangat tinggi8.
b) Lingkungan Fisik
· Suhu
Pada suhu lingkungan yang tidak optimal baik suhu yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah akan berpengaruh terhadap daya tahan tubuh seseorang pada saat itu sehingga secara tidak langsung berpengaruh terhadap mudah tidaknya virus menjangkiti seseorang. Selain itu virus flu burung juga memerlukan suhu yang optimal agar dapat bertahan hidup8.
· Musim
Faktor musim pada penyakit flu burung terjadi karena adanya faktor kebiasaan burung untuk bermigrasi ke daerah yang lebih hangat pada saat musim dingin. Misalkan burung-burung yang tinggal di pesisir utara Cina akan bermigrasi ke Australia dan Asia Tenggara pada musim dingin, burung-burung yang telah terjangkit tersebut akan berperan menularkan flu burung pada hewan yang tinggal di daerah musim panas atau daerah tropis tempat burung tersebut migrasi8.
· Tempat tinggal
Faktor tempat tinggal pada penyakit flu burung misalnya apakah tempat tinggal seseorang dekat dengan peternakan unggas atau tidak, di tempat tinggalnya apakah ada orang yang sedang menderita flu burung atau tidak8.
c) Lingkungan sosial
Faktor lingkungan sosial meliputi kebiasaan sosial, norma serta hukum yang membuat seseorang berisiko untuk tertular penyakit. Misalnya kebiasaan masyarakat Bali yang menggunakan daging mentah yang belum dimasak terlebih dahulu untuk dijadikan sebagai makanan tradisional. Begitu pula dengan orang- orang di eropa yang terbiasa mengonsumsi daging panggang yang setengah matang atau bahkan hanya seper-empat matang. Selain itu juga pada tradisi sabung ayam akan membuat risiko penyakit menular pada pemilik ayam semakin besar8.
2.2. Transmisi Penyakit Flu Burung
Variasi antigenik virus influenza sering ditemukan melalui drift dan shift antigenik9. Drift antigenik terjadi karena adanya perubahan struktur antigenik yag bersifat minor pada permukaan antegen H dan atau N, sedangkan shift antigenik terjadi karena adanya perubahan yang bersifat dominan pada struktur antigenik1. Pengaturan kembali struktur genetik virus pada unggas dan manusia diperkirakan merupakan suatu sebab timbulnya strain baru virus pada manusia yang bersifat pandemik (meluas ke berbagai negara). Dalam hal ini virus pada unggas dapat berperan pada perubahan struktur genetik virus influenza pada manusia dengan menyumbangkan gen pada virus galur manusia1,9.
Unggas yang menderita flu burung dapat mengeluarkan virus berjumlah besar dalam kotoran (feses) maupun sekreta yang dikeluarkannya. Menurut WHO, kontak unggas liar dengan ungas ternak menyebabkan epidemik flu burung di kalangan uggas. Penularan penyakit terjadi melalui udara dan eskret unggas yang terinfeksi. Virus flu burung mampu bertahan hidup dalam air sampai 4 hari pada suhu 22 derajat celius dan lebih dari 30 hari pada suhu 0 derajat celcius. Di dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas yang sakit, virus dapat bertahan lebih lama, namun akan mati pada pemanasan 60 detajat celcius selama 30 menit atau 90 derajat celcius selama 1 menit2.
Mekanisme penulara flu burung pada manusia melalui beberapa cara:
1. virus unggas liar unggas domestik manusia
2. virus unggas liar unggas domestik babi manusia
3. virus unggas liar unggas domestik babi manusia
Manusia
Gambar 4. transmisi penyakit flu burung
Sampai bulan maret 2006, penularan dari manusia ke manusia lain (human-to-human transmission) masih sangat jarang. Meskipun demikian, Para ahli mengkhawatirkan adanya kkasus-kasus klaster keluarga karena merupakan indikator peenularan antarmanusia. Munculnya kasus-kasus klaster dalam skala kecil dan simultan yangg diikuti klaster-klaster skala besar merupakan tanda munculnya pandemi2.
2.3. Riwayat Alamiah Penyakit Flu Burung
2.3.1. Masa Inkubasi dan Klinis
Virus mempunyai masa inkubasi yang pendek, yaitu antara beberapa jam sampai 3 hari, tergantung pada jumlah virus yang masuk, rute kontak, dan spesies unggas yang terserang1. Pada unggas masa ingkubasi mencapai 1 minggu6.
2.3.2. Masa Laten dan Periode Infeksi
Masa infeksi viirus ini 1 hari sebelum sampai 3-5 hari sesudah timbul gejala. Pada anak bisa sampai 21 hari6.
2.3.3. pencegahan
Dalam menanggulangi flu burung ada beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah pencegahan yang dilakukan pada orang-orang yang berisiko terjangkit flu burung, dapat dilakukan dengan cara:
a) Melakukan promosi kesehatan (promkes) terhadap masyarakat luas, terutama mereka yang berisiko terjangkit flu burung seperti peternak unggas8.
b) Melakukan biosekuriti yaitu upaya untuk menghindari terjadinya kontak antara hewan dengan mikroorganisme yang dalam hal ini adalah virus flu burung, seperti dengan melakukan desinfeksi serta sterilisasi pada peralatan ternak yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme pada peralatan ternak sehingga tidak menjangkiti hewan1,8.
c) Melakukan vaksinasi terhadap hewan ternak untuk meningkatkan kekebalannya. Vaksinasi dilakukan dengan menggunakan HPAI (H5H2) inaktif dan vaksin rekombinan cacar ayam atau fowlpox dengan memasukan gen virus avian influenza H5 ke dalam virus cacar1,8,9.
d) Menjauhkan kandang ternak unggas dengan tempat tinggal4,8.
e) Menggunakan alat pelindung diri seperti masker, topi, baju lengan panjang, celana panjang dan sepatu boot saat memasuki kawasan peternakan8.
f) Memasak dengan matang daging sebelum dikonsumsi. Hal ini bertujuan untuk membunuh virus yang terdapat dalam daging ayam, karena dari hasil penelitian virus flu burung mati pada pemanasan 60°C selama 30 menit3,4,8.
g) Melakukan pemusnahan hewan secara massal pada peternakan yang positif ditemukan virus flu burung pada ternak dalam jumlah yang banyak8.
h) Melakukan karantina terhadap orang-orang yang dicurigai maupun sedang positif terjangkit flu burung8.
i) Melakukan surveilans dan monitoring yang bertujuan untuk mengumpulkan laporan mengenai morbilitas dan mortalitas, laporan penyidikan lapangan, isolasi dan identifikasi agen infeksi oleh laboratorium, efektifitasvak sinasi dalam populasi, serta data lain yang gayut untuk kajian epedemiologi1,8.
Gambar 5. Pemusnahan hewan yang terjangkit flu burung
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah pencegahan yang dilakukan dengan tujuan untuk mencegah dan menghambat timbulnya penyakit dengan deteksi dini dan pengobatan tepat. Dengan melakukan deteksi dini maka penanggulangan penyakit dapat diberikan lebih awal sehingga mencegah komplikasi, menghambat perjalanannya, serta membatasi ketidakmampuan yang dapat terjadi. Pencegahan ini dapat dilakukan pada fase presimptomatis dan fase klinis. Pada flu burung pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan screening yaitu upaya untuk menemukan penyakit secara aktif pada orang yang belum menunjukkan gejala klinis. Screening terhadap flu burung misalnya dilakukan pada bandara dengan memasang alat detektor panas tubuh sehingga orang yang dicurigai terjangkit flu burung bias segera diobati dan dikarantina sehingga tidak menular pada orang lain8.
3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier adalah segala usaha yang dilakukan untuk membatasi ketidakmampuan. Pada flu burung upaya pencegahan tersier yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengobatan intensif dan rehabilitasi1,8.
2.3.3. pengobatan
Pengobatan penderita flu burung disarankan sebagai berikut4:
1. oksigenasi jika terjadi sesak nafas.
2. Pemberian cairan parental jika terjadi dehidrasi
3. Pemberian obat antivirus oseltamivir 75mg dosis tunggal selama 7 hari
4. Penderita mandapat terapi suportif: nutrisi dengan gizi cukup baik sehingga daya tahan tubuh meningkat
BAB 3. Kesimpulan dan Saran
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa flu burung merupakan salah satu jenis penyakit yang disebabkan oleh virus dimana virus ini dapat menular antarhewan seperti unggas dan kucing, antar hewan dengan manusia, maupun antar manusia. Flu burung dapat menular melalui udara maupun melalui kotoran serta cairan tubuh sehingga penularannya sangat cepat, selain itu virus avian influenza tergolong virus yang sangat mudah mengalami mutasi sahingga tidak jarang antar virus flu burung daerah satu dengan daerah lain terdapat perbedaan.
Faktor penyakit flu burung secara garis besar yaitu host, agent, dan faktor lingkungan.
Untuk menanggulangi flu burung dapat dilakukan dengan 3 tahap pencegahan yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
3.2.Saran
Flu burung merupakan penyakit yang sangat berbahaya karena penularannya yang sangat cepat dan memiliki angka kematian yang tinggi, namun sebenarnya kita tidak perlu terlalu takut, karena sebenarnya flu burung dapat dengan mudah dicegah hanya dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), karena itu mari budayakan PHBS mulai dari diri sendiri, keluarga sampai masyarakat.
GUMBORO PADA AYAM BROILER MODERN
Potensi genetik ayam broiler terus ditingkatkan untuk menghasilkan ayam-ayam yang efektif dalam pemanfaatan pakan sehingga tujuan untuk memproduksi daging semakin efisien. Konversi pakan pada ayam broiler yang tadinya diatas 2 sekarang sudah dapat ditekan menjadi sekitar 1.6 – 1.7 . Dampak dari tingginya tingkat produktivitas tersebut adalah ayam menjadi semakin rentan terhadap berbagai perubahan lingkungan dan ancaman penyakit, sehingga membutuhkan manajemen pemeliharaan yang lebih baik.
Yang paling penting untuk dipahami saat ini adalah bagaimana pentingnya mencapai target yang harus dicapai dalam pemeliharan ayam broiler. Terdapat berbagai target yang harus dicapai dalam budidaya ayam broiler, misalnya berat badan ayam. Sejak awal, anak ayam umur sehari sampai umur 7 hari merupakan waktu kritis, dan target berat badan harus dapat dicapai karena akan sangat mempengaruhi performan ayam di umur-umur selanjutnya. Laju pertumbuhan berat badan dan pencapaian berat badan tersebut dipengaruhi berbagai faktor seperti kualitas udara, kualitas air dan kualitas pakan. Faktor biosekuritipun memegang peranan yang sangat penting terkait banyaknya agen bibit penyakit yang dapat mengancam produktifitas anak ayam.
Salah satu agen penyakit yang sangat mempengaruhi keberhasilan produksi ayam broiler modern adalah penyakit gumboro. Hal ini tentu sangat merugikan peternak, dikarenakan penyakit Gumboro akan menimbulkan sejumlah kematian anak ayam, peningkatan ayam afkir dan penurunan kinerja yang disebabkan oleh adanya kepekaan terhadap berbagai penyakit dan stress. Berbagai aspek manajemen seperti stress lingkungan, biosekuriti, lokasi peternakan dan sistem perkandangan yang kurang ideal akan mendukung tejadinya kasus penyakit Gumboro. Program vaksinasi terhadap Gumboro telah dilakukan oleh hampir seluruh peternak, namun dikarenakan kurang optimalnya program vaksinasi, kasus Gumboro masih tetap dapat muncul. Hal tersebut didukung pula oleh sifat virus Gumboro yang stabil pada kondisi fisik dan kimiawi lingkungan, serta sangat mudah menular dan tahan hidup di lingkungan kandang sampai 120-an hari setelah bersih kering kandang.
Hal yang perlu diwaspadai adalah penyakit Gumboro merupakan penyakit yang bersifat imunosupresi dikarenakan virus Gumboro dapat merusak morfologi dan fungsi organ limfoid primer, terutama bursa fabricius. Rusaknya bursa fabricius akan mengakibatkan suboptimalnya pembentukan antibodi terhadap berbagai program vaksinasi, sehingga kepekaan terhadap berbagai agen penyakit menjadi meningkat.
Pencegahan IBD dengan Vaksinasi
Berdasarkan berbagai macam dampak penyakit Gumboro, perlu dilakukan tindakan pencegahan dengan melakukan vaksinasi, baik pada ayam pedaging, ayam petelur maupun ayam pembibit. Program vaksinasi untuk penanggulangan penyakit Gumboro sangat diperlukan untuk mengurangi gejala klinis dan mortalitas dan terpenting mencegah adanya efek imunosupresi pada anak ayam.
Namun tentu saja tidak cukup penanggulangan penyakit Gumboro hanya dengan melakukan tindakan vaksinasi saja. Agar vaksinasi dapat berhasil perlu beberapa upaya pendukung lainnya, seperti biosekuriti ketat dan tatalaksana peternakan yang optimal.
Prinsip utama vaksinasi terhadap penyakit adalah vaksin harus diberikan terlebih dahulu sebelum terjadinya infeksi lapangan, vaksin tersebut harus dapat menstimulasi pembentukan antibodi secara cepat dan tinggi, kemudian melakukan tindakan biosekuriti yang ketat untuk mencegah jumlah virus lapang lebih besar dari jumlah antibodi yang terbentuk dalam tubuh ayam. Bila Jumlah virus lapang tidak dapat diperkecil oleh tindak biosekuriti yang dilakukan, setinggi apapun titer antibodi yang dihasilkan oleh vaksin akan tidak mampu untuk mencegah terjadinya penyakit.
Pada umumnya para peternak Broiler memiliki pertanyaan yang sama : kapan waktu (umur ayam) yang tepat untuk melakukan vaksinasi?
Teori yang telah ada menyebutkan bahwa bila dilakukan vaksinasi dengan menggunakan vaksin IBD aktif (strain intermediate dan intermediate plus) pada ayam dengan antibodi asal induk (Maternal Antibodi-MAb) masih tinggi, maka antigen vaksin akan dinetralisasi oleh antibodi asal induk, sebagai akibatnya, vaksin tidak akan dapat menstimulasi terjadinya kekebalan. Pada sisi lain, pelaksanaan vaksinasi tidak dapat menunggu waktu yang terlalu lama sampai titer antibodi asal induk menjadi terlalu rendah karena dapat menyebabkan ayam terlalu lama tidak terproteksi terhadap virus gumboro asal lapang yang ganas.
Bila tantangan virus gumboro asal lapang sangat tinggi tentunya perlu dilakukan vaksinasi sesegera mungkin. Oleh sebab itu, sebagian peternak menggunakan cara atau metode perhitungan tertentu untuk dapat memperkirakan waktu yang tepat untuk dapat melakukan vaksinasi gumboro.
Prinsip menentukan pada umur berapa ayam dapat divaksinasi tersebut sangat sederhana yaitu dengan mengetahui level titer maternal antibodi pada umur awal ayam (0 s/d 4 hari), dan karena penurunan titer terjadi secara teratur (skala log2), maka dapat diperkirakan kapan level titer maternal antibodi menjadi rendah sehingga memungkinkan dilakukannya vaksinasi.
Faktor-Faktor yang harus diperhatikan sewaktu melakukan estimasi waktu pelaksanaan vaksinasi yang optimal, adalah sebagai berikut :
1. Jumlah sample per Flok minimal 18 sampel yang diperlukan untuk mendapatkan sample yang representative dari suatu flok. Namun banyak pihak melakukan efisiensi biaya dengan hanya mengambil 10 – 15 sampel per flok (yang berasal dari beberapa kandang). Hal tersebut tentunya dapat dilakukan dengan syarat pengambilan sample harus sebaik mungkin, sehingga didapat jumlah serum per sample yang cukup dan berkualitas baik (tidak lisis dan tidak berlemak) sehingga dapat mewakili status kekebalan dari flok.
2. kualitas Sampel Ayam yang baik harus berasal dari ayam yang sehat untuk mendapatkan gambaran serologis flok yang representative. Sangat tidak disarankan mendapatkan sample yang berasal dari ayam dehidrasi atau sakit.
Bila dua kondisi tersebut di atas tidak didapat maka perkiraan tanggal vaksinasi gumboro tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya.
Penurunan level maternal antibodi berbeda antara setiap tipe ayam. Terjadinya penurunan level maternal antibodi adalah sebagai akibat metabolisme dan pertumbuhan anak ayam. Perhitungan waktu paruh maternal antibodi, untuk broiler 3 sampai 3,5; breeder 4,5 dan layer 5,5. (berdasarkan pengukuran dengan virus neutralization test). Perhitungan waktu paruh maternal antibodi tersebut dapat berbeda tergantung situasi lapangan.
Level antibodi pada umumnya bertahan selama 4 hari pertama dikarenakan penyerapan kuning telur mengkompensasi penurunan titer sebagai akibat metabolisme dan pertumbuhan ayam. Sejak umur 4 hari, kadar titer darah turun 1 log2 per waktu paruh. Pada perhitungan tersebut, kolekting sampel dibawah umur 4 hari akan mengkompensasi fenomena tersebut.
Ide penggunaan perhitungan tersebut didasari bahwa waktu pelaksanaan vaksinasi tidak mungkin dapat menunggu waktu yang terlalu lama sehingga semua ayam memiliki titer MAb yang cukup rendah, karena hal tersebut akan meningkatkan resiko ayam terserang gumboro. Alasan lain untuk tidak perlu menunda pelaksanaan vaksinasi sampai semua ayam memiliki titer maternal antibodi yang cukup rendah dikarenakan virus vaksin aktif gumboro akan akan menyebar sampai beberapa hari setelah pelaksanaan vaksinasi. Maka, ayam yang akan mengalami 'kegagalan vaksinasi' dikarenakan antigen vaksin ternetralisir oleh MAb yang cukup tinggi, akan divaksinasi kembali oleh ayam yang lain (diasumsikan bahwa minimal 75% ayam telah berhasil divaksinasi).
Menurut teori tersebut, vaksin Gumboro memiliki perbedaan breaktrough titer (kondisi jumlah titer/level maternal antibodi yang tidak akan menetralisir antigen vaksin gumboro). Vaksin gumboro "hot" dan intermediate plus dapat menembus level titer maternal antibodi yang lebih tinggi dibanding vaksin intermediate. Untuk vaksin intermediate plus seperti IBD Blen, angka breaktrough titer adalah 500 (Idexx-Elisa), sedangkan untuk vaksin intermediate seperti Bursa Blen M, angka breaktrough titer adalah 125 (Idexx-Elisa). Jika menggunakan vaksin yang lain, maka angka breaktrough titer didapat sesuai informasi dari produsen/distributor vaksin. Seperti BUR 706 yang tidak memiliki breaktrough titer, karena jenis antigen virus vaksin strain 706-nya yang tidak dapat dinetralisir oleh maternal antibodi, sehingga dapat dipergunakan tanpa harus mengetahui kondisi titer maternal antibodi dan dapat dipergunakan sebagai vaksin dini pada umur 1 hari.
Seringkali hasil pemeriksaan serologis menunjukkan level titer yang rendah dan titer yang tidak seragam keseragaman, maka rumus perhitungan tersebut menyarankan untuk melakukan Dua Kali Vaksinasi. Sebagai contoh, perhitungan memakai formulasi perhitungan umur (hari) yang tepat untuk dapat melakukan vaksinasi sebagai berikut : 18 sampel yang didapat dari ayam Broiler berumur 1 hari, dan di uji dengan Elisa-Idexx, kisaran titer maternal antibodi yang didapat adalah: terendah 235 dan tertinggi 4886. Vaksin yang ingin digunakan peternak adalah IBD Blen dengan breaktrough 500 (Elisa-Idexx). Ayam dengan titer maternal antibodi terendah dapat divaksinasi pada hari ke- 3 (Umur 3 hari). Ayam dengan titer maternal antibodi tertinggi dapat divaksinasi pada hari ke- 13 (Umur 13 hari). Jadi, perbedaan pelaksanaan vaksinasi dengan menggunakan titer tertinggi dan terendah sebesar 10 hari. Hal ini menunjukkan adanya tingkat keseragaman titer maternal antibodi yang rendah.
No TITER No TITER No TITER No TITER
1 235 6 1075 11 1364 16 3968
2 379 7 1171 12 1658 17 4328
3 802 8 1299 13 3724 18 4886
4 885 9 1332 14 3802
5 938 10 1342 15 3835
Tabel 1. Contoh Titer hasil pemeriksaan serologis terhadap MAb Gumboro pada ayam Broiler dengan menggunakan kit Idexx-Elisa.
Tabel 2. Contoh Grafik titer hasil pemeriksaan serologis terhadap MAb Gumboro pada ayam Broiler dengan menggunakan Kit Idexx Elisa
Untuk kasus-kasus tersebut di atas, Peternak disarankan melakukan vaksinasi terhadap gumboro menggunakan BUR 706 dihari pertama, kemudian diberikan vaksin kedua IBD Blen pada kisaran umur 14 – 18 hari. Perhitungan perkiraan pelaksanaan vaksinasi gumboro tersebut didasarkan atas waktu paruh maternal antibodi yang dihitung berdasarkan uji netralisasi virus (VN test). Prinsip penggunaan Rumus perhitungan berlaku selama terdapat korelasi yang tepat antara waktu paruh sebagaimana dihasilkan uji Elisa dan Uji netralisasi virus.
Namun, ada 2 kendala yang terus berputar terkait dengan pelaksanaan dan penggunaan program perlindungan bursa tersebut. Hal pertama adalah sulitnya harga pronak yang terus berfluktuasi dan kadang berada dibawah harga pokok sehingga peternak berusaha menekan biaya serendah mungkin dan yang kedua adalah biaya sapronak (yang telah tertekan) sulit untuk lebih ditekan lagi. Contoh lebih mudahnya adalah untuk Program Perlidungan Pernafasan (misal untuk penyakit ND), peternak Broiler, umum menggunakan 2 kali vaksin aktif dan 1 kali vaksin in-aktif, sedangkan untuk Program Bursal Shield, peternak Broiler umumnya hanya menggunakan satu kali vaksin aktif, padahal tantangan virus lapang menuntut adanya Program Perlindungan Bursa yang serial, atau lebih dari satu kali penggunaan vaksin
Program Vaksinasi Gumboro.
Untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit Gumboro, PT Romindo Primavetcom sejak tahun 1992 telah memperkenalkan program vaksinasi terhadap penyakit gumboro (Bursal Shield Program) yang telah terbukti efektif untuk perlindungan terhadap penyakit Gumboro sehingga peternak terhindar dari kerugian. Program Perlindungan Bursa untuk ayam pedaging seperti tabel berikut :
Program Vaksinasi Gumboro untuk Broiler pada Daerah Resiko Tinggi dengan vvIBD
Program I
Vaksinasi Awal :
Menggunakan vaksin aktif BUR 706
Pada umur 1 hari,
Cara pemberian : spray, tetes mata.
Vaksinasi Penguat :
Menggunakan vaksin aktif : Intermediate plus (IBD Blen) , pada umur 14-18 hari
Cara pemberian : air minum, cekok mulut.
Program II Vaksinasi Awal :
Menggunakan vaksin aktif BUR 706
Pada umur 1 hari,
Cara pemberian : spray, tetes mata.
Vaksinasi Penguat :
Menggunakan vaksin in-aktif : IBD killed (Gumboriffa/Gumbopest) , pada umur minggu pertama
Cara pemberian : suntikan sub kutan
Konsep Perlindungan Bursa tersebut di atas memiliki dua buah program untuk pemeliharaan ayam Broiler. Program I direkomendasikan untuk farm Broiler dengan tatalaksana all in-all out, dengan flok tertentu telah terjadi out break gumboro. Dan Program II direkomendasikan untuk farm Broiler dengan tatalaksana multiple-age. Pada penggunaan kedua program tersebut harus terus dimonitor agar keberhasilan vaksinasi terus terjaga, terutama kesesuaian umur pada program vaksinasi penguat/booster.
Konsep Perlindungan Bursa tersebut harus didukung dengan kualitas vaksin yang baik. Kualitas vaksin ditentukan oleh cara pembuatan vaksin, distribusi dan penyimpanan vaksin, kemampuan vaksin menggertak kekebalan ayam dan masa kedaluarsa vaksin. Selain dari masalah kualitas vaksin, yang harus diperhatikan peternak adalah cara pemberian vaksin/metode vaksinasi yang akan sangat mempengaruhi hasil vaksinasi. Selain itu faktor lain yang memegang andil keberhasilan vaksinasi adalah keterampilan vaksinator yang terlatih, peralatan vaksinasi beserta sarana/prasarana peternakan ayam yang mendukung, dan status kesehatan ayam sewaktu pelaksanaan vaksinasi. Semua parameter tersebut di atas memegang kunci penting dalam penanggulangan penyakit Gumboro.
BUR 706® merupakan produk vaksin aktif untuk Vaksinasi Dini Gumboro pada anak ayam umur sehari. BUR 706® merupakan vaksin aktif dengan kandungan antigen Gumboro yang telah diattenuasi. BUR 706® mengandung strain S 706 yang merupakan strain antigen gumboro low-intermediate yang tidak akan terpengaruh oleh level titer antibodi asal induk. BUR 706® akan memberikan perlindungan yang lebih kuat pada Bursa Fabricius dan Thymus dari serangan penyakit gumboro pada usia dini.
IBD Blen® merupakan vaksin aktif untuk melindungi terhadap virus Gumboro yang sangat ganas. IBD Blen® merupakan vaksin aktif dengan kandungan antigen Gumboro strain Winterfield yang merupakan strain intermediate plus yang aman. IBD Blen® akan memberikan perlindungan yang lebih kuat pada Bursa Fabricius dan Thymus dari serangan penyakit gumboro yang ganas.
GUMBOPEST® merupakan vaksin inaktif gabungan untuk melindungi ayam terhadap serangan Gumboro dan sekaligus melindungi ayam dari serangan penyakit Newcastle Disease. GUMBOPEST® merupakan vaksin inaktif 0,3 dengan teknologi pemurnian dan konsentrasi antigen yang lebih tinggi dengan kontak permukaan antigen yang lebih luas sehingga akan lebih mudah dan cepat menstimulasi terbentuknya antibodi sehingga kekebalan terhadap gumboro dan Newcastle Disease akan lebih efektif dan optimal. GUMBOPEST® merupakan vaksin inaktif dengan dosis 0,3 ml dengan adjuvant khusus dan tidak akan menimbulkan lesi pada jaringan otot tempat penyuntikan dan dengan mikrodepo partikel antigen akan memberikan kontak permukaan lebih banyak yang didukung konsistensi adjuvan yang tepat sehingga partikel antigen akan terdistribusi ke jaringan lebih cepat dan segera menggertak terjadinya antibodi.