KATA PENGANTAR
Om Swastiastu, Terima kasih kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas dari mata kuliah Arsitektur Perilaku, yang berjudul “Ambient Environment”. Penyusunan makalah ini juga tidak lepas dari pihak pihak lainnya. Kami juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini serta kepada tim dosen mata kuliah Arsitektur Perilaku. Mohon maaf jika dalam penulisan makalah ini hasilnya masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami berharap mendapat saran dan masukkan atas kekurangan dari makalah yang kami buat. Semoga makalah ini dapat memberi informasi dan wawasan kepada masyarakat untuk membantu meningkatkan ilmu pengetahuan bagi kita s emua.
Ubud, 27 september 2017
Kelompok 4a
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................... .............................................................. ........................................... .......................................... .................... DAFTAR ISI
………..................... ………................................ .......................... ........................... .......................... ......................... ......................... ................... .....
i ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................. ................................................................... .......................................... ............................ .......
1
1.1. Latar Belakang Masalah ........................................... ................................................................ .................................. .............
1
1.2. Rumusan Masalah ............................................. .................................................................. ......................................... ....................
2
1.3. Tujuan Penulisan .............................................. ................................................................... .......................................... .....................
2
1.4. Manfaat Penulisan ............................................. .................................................................. .......................................... .....................
2
BAB II PEMBAHASAN ........................................... ................................................................ .......................................... ................................. ............
3
2.1. Ambient Environment ........................................... ................................................................. ...................................... ................
3
2.2. Pengaruh Stress Terhadap Perilaku ........................................ ............................................................ ....................
10
BAB III PENUTUP ............................................ ................................................................. .......................................... .......................................... .....................
15
5.1. Kesimpulan...................................... Kesimpulan........................................................... ........................................... ....................................... .................
15
5.2. Saran........................................ Saran............................................................. ........................................... ........................................... ......................... ....
16
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Arsitektur merupakan tempat bernaung dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit. Arsitektur juga merupakan lingkungan binaan (built environment ) dan lingkungan buatan (built environment ) yang mempunyai bermacam-macam kegunaan. Menurut Robert Gutman, Arsitektur sesungguhnya merupakan kulit ketiga manusia. Arsitektur merupakan lingkungan buatan yang bukan saj a menghubungkan antara manusia dengan lingkungan melainkan sekaligus merupakan wahana ekspresi kultural untuk menata kehidupan jasmaniah, psikologis dan sosial manusia. Hubungan yang terjadi antara manusia dan lingkungan lebih umum dikenal dengan istilah interaksi antara manusia dengan lingkungan. Hal ini berada di antara sifat-sifat alami dari manusia dengan lingkungan dengan berbagai macam atributnya, baik fisik maupun non-fisik. Terjadinya interaksi antara manusia dengan lingkungan disebut dengan persepsi. sebuah persepsi akan muncul jika salah satu unsur tidak ada. Pola perilaku menjadi suatu hal yang sangat penting untuk membatasi situasi dan konteks situasi, serta untuk mengatakan bahwa ada batasan kebudayaan. Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah terlepas dari lingkungan yang membentuk diri mereka. Di antara sosial dan arsitektur di mana bangunan yang didesain oleh manusia, secara sadar atau tidak sadar, memengaruhi pola perilaku manusia yang hidup di dalam arsitektur dan lingkungannya tersebut. Kondisi lingkungan yang buruk juga akan berpengaruh pada kondisi psikis dan psikologi dari manusia ataupun civitas di dalamnya seperti timbulnya stress terhadap civitas yang ada di lingkungan tersebut, akibat stress maka munculah perilaku-perilaku buruk dari manusia yang terkadang bisa di luar akal sehat. Maka dari itu dapat dilihat bahwa lingkungan fisik berpengaruh besar terhadap pola prilaku masnusia, sehingga diharapkan pengamatan pada makalah ini dapat memperluas wawasan pengetahuan arsitek muda tentang bagaimana faktor – faktor lingkungan disekitar manusia dapat mempengaruhi kondisi psikis dan psikologis dari manusia tersebut, sehigga nantinya dapat menyusun program-program yang sesuai dengan perilaku yang timbul akibat dari pengaruh lingkungan sekitar. 1
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.3
1.4
1.2.1
Apa yang dimaksud dengan Ambient Condition ?
1.2.2
Apa kualitas fisik lingkungan yang mempengaruhi perilaku manusia?
1.2.3
Apa pengaruh Stress terhadap perilaku manusia ?
Tujuan Penulisan 1.3.1
Untuk mengetahui arti dari Ambient Condition.
1.3.2
Untuk mengetahui bagaimana lingkungan memengaruhi perilaku.
1.3.3
Unuk mengetahui bagaimana pengaruh Stress terhadap perilaku manusia.
Manfaat Penulisan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak khususnya kepada mahasiswa dalam memahami pengaruh li ngkungan terhadap perilaku.
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 AMBIENT ENVIRONMENT
Ambient environtment banyak mengandung pengertian, Menurut Holahan (1982) kebisingan dapat menjadi penyebab reaksi fisiologis sistematis yang secara khusus diasosiasikan dengan stress. Sementara menuruk Crook dan Langdon mengatakan terdapat hubungan antara kebisingan dengan aspek-aspek fisik, dan kesehatan mental. Menurut Rahardjani (1987) dan Ancok (1989) kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu dan mempengaruhi perilaku. Kualitas fisik yang dimaksud yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna.Menurut Ancok (1989), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Emosi yang sernakin tidak terkontrol akan mempengaruhi hubungan sosial di dalam maupun di luar rumah. Sementara itu, kebisingan rnenurut Rahardjani (1987) juga akan berakibat menurunnya kemampuan untuk mendengar dan turunnya konsentrasi belajar pada anak. Sedangkan menurut Ancok (1988) sampah, polusi, dan debu adalah sumber penyakit fisik dan ketegangan jiwa. Sedangkan menurut Sarwono (1992) terdapat tiga kategori sti mulus yang dijadi kan acuan dalam hubungan lingkungan dengan tingkah laku, yaitu: stimulus fisik yang merangsang indra , stimulus sosial, dan ,gerakan . Stimulus fisik inilah yang dapat disebut sebagai ambient environment. 2.1.1 Faktor-faktor Lingkungan 1.
Suhu dan Polusi Udara
Suhu menunjukkan derajat panas dari suatu benda atau keadaan. Suhu udara misalnya, menunjukkan seberapa panas kondisi udara tersebut. Suhu udara sendiri berbeda-beda di tiap wilayah. Di daerah pegunungan atau daerah yang tinggi misalnya, relatif lebih dingin dibanding daerah pantai atau daerah lain yang letaknya di dataran rendah. Begitu pula suhu udara di musim dingin yang tentunya lebih rendah dibanding suhu udara pada musim panas. Menurut Holahan (1982) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku. Beberapa studi korelasional di beberapa kota di Amerika Serikat menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara musim panas dengan tingkat mortalitas. Bahkan pada tahun
3
1976 terjadi peningkatan angka mortalitas yang tajam sampai dengan 50 % di beberapa area (Schuman dalam Holahan, 1982). Studi lain menunjukkan adanya hubungan antara meningkatnya tingkat polusi udara dengan munculnya penyakit- penyakit pernapasan seperti asma, infeksi saluran pernapasan, dan flu di beberapa kota di Amerika Serikat. Pada efek perilaku, riset laboratorium menunjukkan bahwa temperatur yang terlalu tinggi teryata memengaruhi perilaku sosial. Dua buah studi membuktikan bahwa seseorang dalam keadaan temperatur tinggi (lebih dari 100 derajat F) t ernyata memiliki penilaian yang tidak jelas pada kuisioner yang diberikan bila dibandingkan dengan yang dalam kondisi nyaman.
Gambar 2.1 Suhu Tubuh Manusia Sumber : http://majalah1000guru.net/
Pada penelitian lain oleh Bell dan Baron (dalam Holahan, 1982) rupa- rupanya gagal menemukan bahwa panas dapat mengurangi perhatian seseorang terhadap orang lain di dalam ruangan. Hal ini disebabkan karena adanya perasaan senasib dalam keadaan stres justru meniadakan efek negatif dari dari panas. Begitu pula suatu rangkaian studi yang dilakukan oleh Robert Baron dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) yang menemukan bahwa temperatur yang tinggi justru mengurangi tingkat agresi seseorang terhadap orang lain pada seting yang sama, yang diduga perasaan senasib yang menjadi faktor penyebabnya. Hal itu dapat dijelaskan dari proses biologis yang terjadi. Ketika suhu meningkat, maka suhu tubuh juga akan meningkat aliran darah membesar sehingga darah menjadi
4
lebih dingin dan mengalir ke permukaan kulit, kulit menjadi berwar na merah muda dan berkeringat serta detak jantung meningkat. Ini menyebabkan manusia menjadi lebih mudah emosi, meledak-ledak, dan membabi buta (Veitch & Arkkelin, 1995). Perilaku semacam ini dipercaya memperpendek usia individu. Pada musim-musim tertentu seperti musim panas atau musim kemarau emosi seseorang akan lebih mudah meledakledak dan kecenderungan agresivitas semakin tinggi. Banyak kebangkitan politik, pemberontakan, dan revolusi terjadi pada bulan-bulan yang panas (Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970). Reformasi 1998 juga misalnya terjadi pada bulan Mei dimana udara sedang berada dalam suhu yang tinggi sehingga menciptakan kecenderungan untuk meluapkan emosi. Pendekatan ini juga berlaku sebaliknya. Dalam konser-konser atau demonstrasi misalnya, kita sering melihat polisi menyemprotkan air kepada kerumunan massa. Tujuannya adalah mendinginkan suhu udara dengan harapan dapat meredam perilaku agresivitas massa. Ketika bekerja di perkantoran juga merupakan contoh yang sama di mana individu yang bekerja di kantor dengan AC sebagai pengkondisian udara maka kualitas kerja dari individu tesebut akan lebih baik daripada individu yang bekerja pada suhu yang lebih tinggi. Rahardjani (1987) melihat bahwa suhu dan kelembaban rumah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: warna dinding dalam dan luar rumah, volume ruang, arah sinar matahari, dan jumlah penghuni. Suhu yang paling nyaman adalah kurang lebih 25 derajat Celcius. Apabila suhu menjadi tidak nyaman (di atas 25 derajat Celcius), maka akan mengakibatkan tubuh berkeringat sehingga akan berakibat gangguan tidur pada malam harinya. Oleh karena itu, aliran udara menurut Mom dan Wielsebrom (dalam Siswanto, 1986) menjadi hal yang penting karena secara fisiologi aliran udara berfungsi sebagai pasokan oksigen untuk pernapasan; mengalirkan uap air yang berlebihan dan asap; mengurangi konsentrasi gas, bakteri, dan bau; mendinginkan suhu; dan membantu penguapan keringat manusia.
2.
Kebisingan
Menurut Sarwono ( 1992) terdapat tiga faktor yang menyebabkan suara secara psikologis dianggap bising, yaitu: volume, perkiraan, dan pengendalian. Dari faktor volume dikatakan bahwa suara yang makin kerasakan dirasakan mengganggu. Suara kendaraan di jalan raya dari jarak 17 meter (70dB)
5
sudah
mulai mengganggu pembicaraan melalui telepon dan suara truk pengaduk semen, sementara dari jarak yang sama (90dB) tentunya akan lebih mengganggu. Jikalau kebisingan dapat diperkirakan datangnya atau berbunyi secara te ratur, kesan gangguan yang ditimbulkan akan lebih kecil dibandingkan jika suara tersebut datangnya tiba- tiba atau tidak teratur. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51/Men/1999 tentang kebisingan adalah sebagai berikut;
Sumber: Jennie Babba, 2007
Jika seseorang terpapar pada suara di atas nilai kritis tertentu kemudian dipindahkan dari sumber suara tersebut, maka nilai ambang pendengaran orang tersebut akan meningkat; dengan kata lain, pendengaran orang tersebut berkurang. Jika pendengaran kembali normal dalam waktu singkat, maka pergeseran nilai
ambang ini terjadi
sementara. Fenomena ini dinamakan kelelahan auditorik. Faktor kendali berkaitan erat dengan faktor perkiraan. Jika kita menyetel musik cadas atau rnenyalakan gergaji mesin, kita tidak merasakannya sebagai kebisingan karena kita dapat rnengaturnya sekehendak kita kapan suara itu kita perlukan. Akan tetapi bagi orang lain yang tidak menginginkannya, hal itu merupakan kebisingan yang amat mengganggu. Menurut Holahan (1982) hasil penelitian laboratorium menunjukkan bahwa kebisingan secara fisiologis dapat menjadi penyebab reaksi fisiologis sistemik yang secara khusus dapat diasosiasikan dengan stres. Kebisingan dapat ditunjukkan dengan meningkatnya aktivitas elektrodermal, sekresi adrenalin, dan tekanan darah. Pada suatu tingkat tertentu, reaksi-reaksi fisiologis ini cenderung meningkat ketika kebisingan menjadi semakin intens, periodik, dan tanpa kontrol. Ketika 6
tingkat
kebisingan tersebut sudah semakin menurun (mereda), seseorang boleh jadi menjadi teradaptasi dan terbiasa untuk melanjutkan kebisingan, walaupun tidak pada setiap orang. Holahan membedakan pengaruh kebisingan terhadap kinerja manusia menjadi empat efek, tiga di antaranya adalah efek fisiologis, efek kesehatan, dan efek perilaku. Pada efek kesehatan Holahan ( 1982) melihat bahwa kebisingan yang dibiarkan saja kita terima dalam intensitas tinggi dan dalam jangka waktu yang panjang ternyata dapat menjadi penyebab kehilangan pendengaran yang berarti. Pendapat ini diperkuat oleh basil studi Cameron dkk. (dalam Holahan, 1982)di beberapa keluarga di Detroit dan Los Angeles, yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara laporan mengenai kebisingan dengan laporan mengenai penyakit fisik yang amat akut dan kronis. Sementara studi lain oleh Crook dan Langdon (dalam Holahan, 1982) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kebisingan dengan aspek-aspek fisik dan kesehatan mental, seperti sakit kepala, kegelisahan, dan insomnia.
Ilustrasi Tekanan Suara (sumber : ilustraies for enginerrs) Efek kebisingan yang ketiga yang akan dibahas adalah efek perilaku. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebisingan yang tidak disukai telah mempengaruhi hilangnya beberapa aspek perilaku sosial. Penelitian Lawrence Ward dan Peter Snedfeld pada tahun 1973(dalam Holahan, 1982) yang dilakukan dengan cara membunyikan kebisingan lalu-Iintas dengan menggunakan tape recorder yang ditambah dengan loud speaker menunujukkan terjadinya penurunan partisipasi dan perhatian siswa-siswa di dalam kelas, para profesor juga kurang banyak menanyakan pendapat dari mahasiswanya. 7
3.
Angin
Udara sendiri tersusun oleh berbagai macam unsur. Mulai dari seberapa banyak uap air yang terkandung dalam udara yang biasa kita sebut sebagai kelembaban, hingga kandungan ion-ion dalam udara. Selain itu ada juga tekanan udara. Semua ini memiliki pengaruh masing-masing terhadap perilaku kita. Komposisi dan keadaan udara ini sendiri tentunya memiliki pengaruh terhadap perilaku kerja (Gifford, 1987). Angin misalnya memiliki pengaruh langsung dalam kehidupan kita. Teknologi kita banyak menggunakan angin dalam aktivitasnya misalnya untuk melaut, pembangkit listrik, penerbangan, dsb. Efek yang secara langsung dapat kita lihat adalah manusia cenderung enggan melaut at au terbang apabila kondisi angin sedang tidak bersahabat. Angin yang kencang dapat menurunkan kondisi afektif seseorang dan performa kerja (Veitch & Arkkelin, 1995). Misalnya dalam olahraga voli atau tenis. Tentu orang akan cenderung enggan melakukan aktivitas tersebut dalam kondisi cuaca yang berangin karena angin dapat berpengaruh dalam permainan mereka. Selain angin, tekanan udara juga memiliki pengaruh tersendiri terhadap diri kita. Sebuah penelitian di Jepang menyebutkan bahwa individu cenderung lebih mudah lupa pada hari yang memiliki tekanan udara yang rendah (Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970). Kelembaban juga memiliki pengaruh yang berbeda terhadap psikologis manusia dalam hal ini justifikasi. Angin kering (kelambaban udara yang rendah) berpengaruh pada rational judgement yang negatif terhadap seseorang (Veitch & Arkkelin, 1995). Sehingga jika seseorang berkenalan dengan orang asing pada kondisi tersebut, orang tersebut akan cenderung dinilai negatif dibanding ketika berkenalan dalam kondisi kelembaban yang tinggi. Komposisi udara lain yang turut berpengaruh pada perilaku manusia adalah konsentrasi ion. Konsetrasi ion positif dapat meningkatkan depresi, insomnia, dan migraine. Orang yang berada dalam kondisi ion positif cenderung memiliki mood yang buruk dan berperilaku aneh (Veitch & Arkkelin, 1995). Lain halnya dengan individu yang banyak menghirup ion negatif cenderung dapat meningkatkan fungsi kognitif, kapasitas kerja, dan efisiensi dalam bekerja. Konsep yang sama yang diadopsi dalam minuman-minuman isotonik yang mengandung banyak ion negatif. Tujuannya adalah meningkatkan konsentrasi dan semangat dalam 8
beraktivitas.
4.
Warna dan Pencahayaan
Psikologi warna banyak sekali diterapkan pada interior. Terutama interior dengan kebutuhan khusus karena warna sangat mempengaruhi kesan dari ruangan itu sendiri. Setiap warna memiliki potensi untuk memberikan kesan positif maupun negatif kepada pengguna ruang. Yang akan mempengaruhi perilaku pengguna dan juga keadaan psikologi pengguna. Bagi desain interior dan arsitek, lighting atau tata cahaya merupakan salah satu elemen desain yang tidak kalah pentingnya dengan desain bangunan itu sendiri. Selain sebagai penerang ruangan, lighting mampu menampilkan nilai estetika dan atmosfer ruangan, yang memanjakan mata serta memberi dampak pada suasana hati penghuni. Dengan mengatur arah jatuhnya cahaya, mengatur warna cahaya dan letak armatur lampu, kita dapat menciptakan efek “dramatis” sesuai dengan konsep ruangan yang kita inginkan. Berikut merupakan beberapa contoh warna dan pengaruhnya terhadap psikologi manusia :
Pengaruh Warna Lampu Pada Ruangan
Warna Merah : warna merah merupakan warna yang dominan, warna merah dapat menaikan denyut jantung, laju pernafasan, dan dapat meningkatkan agresivitas, memicu emosi, serta dapat bersifat menekan serta sering diasosiasikan dengan darah, merah, berani, bahaya, dan kebahagiaan. 9
Warna Biru : warna biru memiliki karakteristik sejuk , pasif. melambangkan ketenangan, dapat memberikan rasa damai dan tenang. Dan dapat juga memberikan kesan dingin dan tidak bersahabat, atau bahkan dapat menyebabkan depresi.
Warna Kuning : warna kuning memiliki kesan ceria dapat meningkatkan rasa percaya diri, dan memberikan kesan bersahabat.
Warna Hijau : memiliki karakter yang hampir sama dengan warna biru,warna hijau juga memberi kesan tenang dan damai relative lebih netral dibandingkan warna lain. Karena merupakan warna alam dapat membuat perasaan menjadi rileks.
Warna Putih : Warna putih memberi kesan suci, bersih, steril, dan netral dan memiliki karakter yang positif dan sederhana.
Warna Hitam : Warna hitam dapat membuat takut, depresi sedih, murung, dan juga menekan. Selain daripada itu warna hitam juga dapat memberi kesan positif yakni sifat formal , tegas dan kukuh serta kuat.
Warna Ungu : memberikan kesan mewah, spiritual, dapat juga meningkatkan percaya diri.
2.2 Pengaruh Stres Terhadap Perilaku Manusia 2.2.1
Stres dan Prilaku
Stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. (Lazarus dan Folkman, 1986). Stres juga adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis ( Chapplin, 1999). Stres juga diterangkan sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan kepada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya. (McGrath, dan Wedford dalam Arend dkk, 1997). Maka, stres dapat diartikan di mana individu tertekan dalam lingkungan yang sulit dan tidak dapat diatasi oleh individu itu sendiri. Stres bisa positif dan bisa negatif. Para peneliti berpendapat bahwa stres tantangan, atau stres yang menyertai tantangan di lingkungan kerja, sangat berbeda dengan stres hambatan, atau stres yang menghalangi dalam mencapai tujuan. 10
Meskipun riset mengenai stres tantangan dan stres hambatan baru tahap permulaan, bukti awal menunjukan bahwa stres tantangan memiliki banyak implikasi yang lebih sedikit negatifnya dibanding stres hambatan. Menurut Hendro Prabowo 1998 terdapat 3 faktor yang menyebabkan manusia atau individu menjadi stress, yaitu: 1.
Faktor lingkungan
Ketidakpastian lingkungan memengaruhi tingkat stres para karyawan dan organisasi selain memengaruhi desain struktur sebuah organisasi. Perubahan dalam siklus bisnis menciptakan ketidakpastian ekonomi, misalnya, ketika ekonomi memburuk orang merasa cemas terhadap kelangsungan pekerjaannya. 2.
Faktor organisasi
Banyak faktor di dalam organisasi yang dapat menyebabkan stres. Tekanan untuk menghindari kesalahaan atau menyelesaikan tugas dalam waktu yang mepet, beban kerja yang berlebihan, atasan yang selalu menuntut dan tidak peka, dan rekan kerja yang tidak menyenangkan adalah beberapa di antaranya. Hal ini dapat mengelompokkan faktor-faktor ini menjadi tuntutan tugas, peran, dan antar pribadi. Tuntutan tugas adalah faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang. Tuntutan tersebut meliputi desain pekerjaan individual, kondisi kerja, dan tata letak fisik pekerjaan. Sebagai contoh, bekerja di ruangan yang terlalu sesak atau di lokasi yang selalu terganggu oleh suara bising dapat meningkatkan kecemasan dan stres. Dengan semakin pentingnya layanan pelanggan, pekerjaan yang menuntut faktor emosional bisa menjadi sumber stres. Tuntutan peran berkaitan dengan tekanan yang diberikan kepada seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkannya dalam organisasi. Konflik peran menciptakan ekspektasi yang mungkin sulit untuk diselesaikan atau dipenuhi. Tuntutan antarpribadi adalah tekanan yang diciptakan oleh karyawan. Tidak adanya dukungan dari kolega dan hubungan antarpribadi yang buruk dapat meyebabkan stres, terutama di antara para karyawan yang memiliki kebutuhan sosial yang tinggi. 3.
Faktor pribadi
Faktor-faktor pribadi terdiri dari masalah keluarga, masalah ekonomi pribadi, serta kepribadian dan karakter yang melekat dalam diri seseorang. Survei nasional secara konsisten menunjukkan bahwa orang sangat mementingkan hubungan keluarga dan pribadi. Berbagai kesulitan dalam hidup 11
perkawinan, retaknya hubungan, dan kesulitan masalah disiplin dengan anak-anak adalah beberapa contoh masalah hubungan yang menciptakan stres. Masalah ekonomi karena pola hidup yang lebih besar pasak daripada tiang adalah kendala pribadi lain yang menciptakan stres bagi karyawan dan mengganggu konsentrasi kerja karyawan. Studi terhadap tiga organisasi yang berbeda menunjukkan bahwa gejala-gejala stres yang dilaporkan sebelum memulai pekerjaan sebagian besar merupakan varians dari berbagai gejala stres yang dilaporkan sembilan bulan kemudian. Hal ini membawa para peneliti pada kesimpulan bahwa sebagian orang memiliki kecenderungan kecenderungan inheren untuk mengaksentuasi aspek-aspek negatif dunia secara umum. Jika kesimpulan ini benar, faktor individual yang secara signifikan memengaruhi stres adalah sifat dasar seseorang. Artinya, gejala stres yang diekspresikan pada pekerjaan bisa jadi sebenarnya berasal dari kepribadian orang itu.
2.2.2
Pengaruh Stres Terhadap Lingkungan
Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan terhadap stres psikologis, Zimring (dalam Prawitasari, 1989) mengajukan dua pengandaian. Yang pertama, stress dihasilkan oleh proses dinamik ketika orang berusaha memperoleh kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dengan apa yang disajikan oleh lingkungan. Stres bisa mempengaruhi perilaku individu dalam lingkungan. Pengandaian kedua adalah bahwa variable transmisi harus diperhitungkan bila mengkaji stress psikologis yang disebabkan oleh lingkungan binaan. Misalnya perkantoran, status, anggapan tentang kontrol, pengaturan ruangan dan kualitas lain dapat menjadi variable transmisi yang berpengaruh pada pandangan individu terhadap situasi yang dapat dipakai untuk menentukan apakah situasi tersebut menimbulkan stress atau tidak. Menurut Veitch dan Arkkelin (1995) stres dicirikan sebagai proses yang membuka pikiran, sehingga akan bertemu dengan stressor, menjadi sadar akan bahaya, memobilisasi usaha untuk mengatasinya, mendorong untuk melawannya, serta yang membuat gagal atau berhasil dalam beradaptasi. Lingkungan sangat mempengaruhi tingkah laku dan pola pikir manusia. Dalam kehidupannya, manusia selalu berinteraksi dan tergantung dengan lingkungan. Keadaan lingkungan yang kondusif akan membuat manusia nyaman dan selalu dalam keadaan homeostasis. Namun, lingkungan terkadang memberikan efek negatif pada manusia yang dapat menyebabkan stress. Stress tidak dapat dihindarkan. Namun demikian, 12
dengan memahami stressor dan stress itu sendiri, kita dapat meminimalkan st ress yang tidak diperlukan, dan membuat diri kita lebih sehat , baik secara fisik , maupun mental. Untuk itulah kita perlu belajar untuk hidup bersama dengan stress. Beberapa upaya yang dapat dilakukan manusia untuk meminimalisasikan munculnya stress antara lain dengan beristirahat cukup, berolahraga teratur, rekreas i, menjaga menu dan pola makan. Bangunan yang tidak memperhatikan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial merupakan sumber stress bagi penghuninya. Apabila perumahan tidak memperhatikan kenyamanan penghuni, misalnya pengaturan udara yang tidak memadai, maka penghuni tidak dapat beristirahat dan tidur dengan nyaman. Akibatnya penghuni sering kali lelah dan tidak dapat bekerja secara efektif dan ini akan mempengaruhi kesejahteraan fisik maupun mentalnya. Demikian pula apabila perumahan tidak memperhatikan kebutuhan rasa aman warga, maka hal ini akan berpengaruh negatif pula. Penghuni selalu waspada dan akan mengalami kelelahan fisik maupun mental. Hubungan antar manusia sangat penting, untuk itu perumahan juga sebaiknya memperhatikan kebutuhan tersebut. Pembangunan perumahan yang tidak menyediakan tempat umum dimana para warga dapat berinteraksi satu sama lain akan membuat mereka sulit berhubungan satu sama lain. Atau perumahan yang tidak memperhatikan ruang pribadi masing-masing anggotanya akan dapat merupakan sumber stress bagi penghuninya (Zimring dalam Prawitasari, 1989). Fontana (1989) menyebutkan bahwa stress lingkungan berasal dari sumber yang berbeda-beda seperti tetangga yang ribut, kecemasan finansial atas ketidakmampuan membayar pengeluaran-pengeluaran rumah tangga, dll. Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada di dalamnya (Holahan, 1982). Stressor lingkungan, menurut stokols (dalam Brigham, 1991), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat. 2.2.3
Pengaruh Stres Terhadap Individu
Stokols (dalam Brigham, 1991) menyatakan bahwa apabila kepadatan tidak dapat diatasi, maka akan menyebabkan stress pada individu. Stress yang dialami individu dapat memberikan dampak yang berbeda tergantung pada kemampuan individu dalam menghadapi stress. Individu yang mengalami stress umumnya tidak mampu melakukan interaksi sosial dengan baik, sehingga dapat menurunkan perilaku untuk membantu orang lain (intensi prososial). Penelitian-penelitian tentang hubungan 13
kepadatan dan perilaku prososial di daerah perkotaan dan pedesaan telah banyak dilakukan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Milgram (1970) ditemukan bahwa orang yang tinggal di kota sedikit dalam memberikan bantuan dan informasi bagi orang yang tidak dikenal daripada orang yang tinggal di daerah pedesaan. Begitu pula dalam mengizinkan untuk menggunakan telepon bagi orang lain yang memerlukan (Fisher, 1984). Adapun proses tersebut dapat menunjukkan bahwa kepadatan mempunyai hubungan terhadap perilaku prososial seseorang. Hal ini dapat dijelaskan oleh teori stimulus overload dari Milgram (dalam Wrightsman & Deaux, 1984). Dalam teori ini menjelaskan bahwa kondisi kota yang padat yang dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor seperti perbedaan individu, situasi dan kondisi sosial kota mengakibatkan individu mengalami stimulus overload (stimulus yang berlebihan), sehingga individu harus melakukan adaptasi dengan cara memilih stimulus-stimulus yang akan diterima, memberi sedikit perhatian terhadap stimulus yang masuk. Hal ini dilakukan dengan menarik diri atau mengurangi kontak dengan orang lain, yang akhirnya dapat mempengaruhi perilaku menolong pada individu.
14
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengaruh Lingkungan (Ambient Environment) merupakan suatu keadaan penyebab reaksi fisiologis yang dapat mempengaruhi keadaan perilaku manusia. Dimana terdapat beberapa faktor pengaruh lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku, yaitu : suhu, polusi udara, angin, warna dan kebisingan. Suhu dan polusi udara dapat mempengaruhi perilaku dimana suhu yang paling nyaman pada sebuah ruang adalah kurang lebih 25 derajat Celcius. Namun jika suhu berubah menjadi di atas 25 derajat Celcius maka suhu tubuh juga akan meningkat dan aliran darah membesar sehingga darah menjadi lebih dingin dan mengalir ke permukaan kulit, kulit menjadi berwarna merah muda dan berkeringat serta detak jantung meningkat. Dalam keadaan seperti ini menyebabkan manusia lebih mudah emosi dan meledak-ledak sehingga dapat menurunkan kualitas kerja individu. Faktor kebisingan dapat menjadi penyebab yang dapat mempengaruhi perilaku dikarenakan oleh kebisingan yang diterima dengan intensitas yang tinggi dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan tekanan darah, emosi, mengganggu konsentarsi, dan merusak pendengaran sehingga dapat menimbulkan terjadinya gangguan psikologi dan stress. Angin dan keadaan udara memiliki pengaruh terhadap perilaku kerja dimana dalam komposisi udara terdapat konsetrasi ion positif yang dapat meningkatkan depresi, insomnia, dan migraine. Orang yang berada dalam kondisi ion positif cenderung memiliki mood yang buruk dan berperilaku aneh. Sedangkan individu yang banyak menghirup ion negatif cenderung dapat meningkatkan fungsi kognitif, kapasitas kerja, dan efisiensi dalam bekerja. Dari faktor-faktor teresebut dapat disimpulkan bahwa lingkungan merupakan salah satu aspek yang penting yang dapat mempengaruhi perilaku dan kualitas kerja individu
15
3.2 Saran
Sebagai seorang arsitek, dalam merancang sebuah bangunan perlu memahami dan memperhatikan faktor-faktor penting seperti pengaruh dari lingkungan dan pengaruh stresss terhadap perilaku sehingga mampu untuk menganalisis dengan tepat output yang terjadi dari faktor-faktor tersebut. Ketidaktepatan dalam menganalisis output dapat mempengaruhi perilaku yang tidak nyaman, sehingga faktor-faktor dari ambient environment sangat penting untuk dipertimbangkan dalam merancang.
16
DAFTAR PUSTAKA SUMBER INTERNET 1.
http://www.kompasiana.com/hadi_santa/pengaruh-kebisingan-temperatur-dan pencahayaan-terhadap-performa-kerja_550081c7813311791bfa78ae (diakses tanggal 27 September 2017 pukul 15.00)
2.
http://aditindi.blogspot.co.id/2011/02/kebisingan-mempengaruhi-perilaku.html (diakses tanggal 27 September 2017 pukul 15.00)
3.
http://berpikirberbeda.blogspot.co.id/2011/03/cuaca-iklim-dan-perubahan perilaku.html (diakses tanggal 27 September 2017 pukul 15.00)
4.
Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat . Depok : Universitas Gunadarma. (diakses melalui https://devianggraeni90.wordpress.com/2011/05/10/definisi-stres-keterkaitan-antarastres-dengan-lingkungan-dan-pengaruh-stres-terhadap-perilaku-individu-dalamlingkungan/ diakses tanggal 27 September 2017 pukul 15.00)
5.
Gifford, R. 1987. Environnmental Psychology: Principle and Practice. Boston: Allyn & Beacon. . (diakses melalui http://berpikirberbeda.blogspot.co.id/2011/03/cuacaiklim-dan-perubahan-perilaku.html diakses tanggal 28 September 2017 pukul 16.00)
6.
Mustaqim, Khusni. 2011. Cuaca, Iklim, dan Perubahan Perilaku. (Tersedia di http://berpikirberbeda.blogspot.co.id/2011/03/cuaca-iklim-dan-perubahan-perilaku.html diakses tanggal 28 September 2017 pukul 16.00)
7.
Retno Ninggalih. 2014. Suhu, Lingkungan, dan Perilaku Manusia . (Tersedia di http://majalah1000guru.net/2014/02/suhu-lingkungan-perilaku-manusia/ diakses tanggal 28 September 2017 pukul 16.00)
17
M.K. ARSITEKTUR DAN PRILAKU
AMBIENT ENVIRONMENT
Mahasiswa:
I Gusti Ngurah Agung Prabu N
(1504205005)
Gde Handika Eka Putra
(1504205018)
A.A Gd A. Dalem Bhajra G
(1504205020) ‘
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA 2017
1