Nanoteknologi Nanoteknologi Untuk Agroindustri Dosen: Dr. Akhiru Akh iruddi ddi n Maddu, M.Si. M.Si.
REVIEW: EKSTRAKSI SELULOSA DAN PREPARASI NANOSELULOSA DARI SERAT SISAL
Oleh:
DEWI SARTIKA F361160121
SEKOLAH PASCASARJANA PASCASARJANA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
DAFTAR ISI
I. Pendahuluan.......................................................................................... 3 2. Metode Penelitian .................................................................................. 4 2.1 Bahan .............................................................................................. 4 2.2 Preparasi Sampel ............................................................................ 4 2.3 Ekstraksi Selulosa ............................................................................ 4 2.3.1 Proses Ekstraksi dengan menggunakan prosedur 1. ........... ..... 4 2.3.2 Proses Ekstraksi dengan menggunakan prosedur 2 ................ 5 2.4 Pembuatan Nanofiber ...................................................................... 5 2.5 Metode Karakterisasi ....................................................................... 5 2.5.1 TGA ........................................................................................... 5 2.5.2 Pengukuran DSC ...................................................................... 5 2.5.3 Spektrum FTIR .......................................................................... 6 2.5.5 Pemeriksaan AFM .................................................................... 6 2.5.6 XRD ........................................................................................... 6 3. Hasil dan Diskusi ................................................................................... 6 3.1 TGA (Thermogravimetric analysis) .................................................. 6 3.2 FTIR (Fourier Transform Infra Red) ................................................. 7 3.3 Difraksi sinar-X (XR-D) .................................................................... 9 3.4 DSC (Differential Scanning Calorimetry) ....................................... 10 3.5 SEM dan AFM ............................................................................... 10 3.6 Perbandingan Karakteristik antara Prosedur I dan II ..................... 12 4. Kesimpulan .......................................................................................... 12 5. Aplikasi Nanoselulosa dimasa akan datang ........................ ................ 13 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 14
2
EKSTRAKSI SELULOSA DAN PREPARASI NANOSELULOSA DARI SERAT SISAL Juan I. Mora´n Æ Vera A. Alvarez Æ Viviana P. Cyras Æ Analia Va´zquez Abstrak Dalam penelitian ini dilakukan studi kelayakan proses ekstraksi selulosa dari serat sisal, dengan dua prosedur yang berbeda. Adapun rangkaian proses ekstraksi nano selulosa antara lain dengan prosedur kimia seperti ; hidrolisis asam, klorinasi, ekstraksi basa, dan bleaching. Produk akhir dikarakterisasi dengan menggunakan Thermogravimetric Analysis (TGA), Infrared Spectroscopy (FTIR), X-Ray Diffraction (XRD), Differential Scanning Calorimetry (DSC) and Scanning Electronic Microscopy (SEM). Serangkaian prosedur ekstraksi menghasilkan selulosa murni. Kelebihan dan kekurangan dari masing masing prosedur juga dianalisis. Akhirnya, nanocellulose yang dihasilkan yang diperoleh dari hidrolisis asam merupakan hasil terbaik yang ditandai dengan Atomic Force Mikroskopi (AFM). I. Pendahuluan Serat alam merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan karena keberadaan serat alam yang melimpah dan sifatnya yang biokompatibel. Dalam aktivitas produksi material polimer, penggunaan serat alam memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan penggunaan bahan sintetik. Dengan densitas yang rendah dan sifat mekanik yang baik, serat alam banyak digunakan sebagai filler dari material polimer komposit (Kamel, 2007). Telah diketahui bahwa hampir semua serat alam dapat dijadikan sebagai sumber potensial untuk isolasi selulosa dalam ukuran nano (Frone, et.al., 2011). Beberapa penelitian sebelumnya telah membahas mengenai penggunaan selulosa berukuran nano yang diperoleh dari tunicin, kapas, ramie, dan selulosa bakterial (Siqueira, et.al., 2010). Dalam ukuran nano, selulosa mampu memberikan sifat fisika dan sifat kimia yang lebih baik dibandingkan pada ukuran bulk ataupun mikronya (Peng, et.al., 2011). Selulosa tersusun oleh sekumpulan serat yang sangat kecil dengan ukuran lateral dalam skala nano (3-15 nm) dan panjang sekitar 1 μm (Ioelovich, 2006). Suatu rantai selulosa terdiri dari bagian amorf dan kristalin. Proses degradasi bagian amorf dari rantai selulosa ini akan menghasilkan nanokristalin selulosa yang memiliki sifat mekanik dan sifat termal yang unggul. Pengetahuan tentang struktur molekul selulosa sangat penting karena menjelaskan sifat karakteristik selulosa, seperti hidrofilisitas, kiralitas, biodegradabilitas dan fungsionalitas tinggi. Sebagai bahan terbarukan, selulosa dan turunannya telah dipelajari secara luas, dengan fokus pada sifat biologis, kimia, dan juga mekanisnya. Bahan berbasis selulosa dan turunannya telah digunakan selama lebih dari 150 tahun dalam berbagai macam aplikasi, seperti makanan, produksi kertas, biomaterial dan obat-obatan (Coffey et al., 1995; Lima dan Borsali, 2004). Dalam peelitian ini, selulosa diekstraksi dari serat sisal yang jumlahnya melimpah di Amerika Selatan. Serat sisal terdiri dari selulosa
3
(50-74%), lignin (8-11%), hemiselulosa (10-14%), pektin (1%) dan Lilin (2%) (Bledzki dan Gassan 1999; Hon 1996; Rowell dkk. 1996). Karena kandungan selulosa yang tinggi, ekstraksi selulosa dari serat sisal bisa menghasilkan jumlah nanofibers yang banyak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan selulosa dari serat sisal melalui dua prosedur yang berbeda dan untuk melakukan karakterisasi dari selulosa yang dihasilakan.Proses preparasi selulosa menjadi nanoselulosa untuk digunakan sebgaai nanofiller pada matriks biodegradable, dan dilakukan karakterisasi dengan analisis mikroskopis. 2. Metode Penelitian 2.1 Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah serat sisal dari Brascorda (Brasil). Selulosa mikrokristalin dari Sigma Aldrich (AS) dan lignin basa dari Granit SA (Swedia) yang digunakan sebagai referensi untuk perbandingan hasil analisis kimia. Adapun jenis pereaksi yang digunakan antara lain: toluena, etanol, sodium hidroksida, hidrogen peroksida, sodium borate, asam nitrat, asam asetat, sodium chlorite, sodium bisulphate, asam sulfat 2.2 Preparasi Sampel Serat sisal dicuci dengan air suling beberapa kali dan dikeringkan pada suhu 80 oC selama 24 jam. Dilakukan pengecilan ukuran dengan panjang 5-10 mm. Tahapan de-waxing dilakukan: serat sisal dididihkan dalam campuran toluena / etanol (2: 1 volume / volume) dalam soxhlet selama 6 jam. Serat kemudian disaring, dicuci dengan menggunakan etanol selama 30 menit dan dikeringkan. Selanjutnya, dua prosedur yang berbeda digunakan untuk ekstraksi selulosa : 2.3 Ekstraksi Selulosa 2.3.1 Proses Ekstraksi dengan menggunakan prosedur 1. Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan pada proses ekstraksi selulosa dengan menggunakan prosedur 1 adalah sebagai berikut : 1. Perlakuan pendahuluan dengan NaOH 0,1 M dalam volume 50% etanol pada suhu 45 oC selama 3 jam dengan agitasi terus menerus. 2. treatment dengan menggunakan hidrogen peroksida pada PH = 11,5 (larutan buffer) dan pada suhu 45 oC : (a) 0,5% H2O2, (b) 1,0% H2O2, (c) 2,0% H2O2 dan 3,0% H2O2 selama 3 jam dengan dilakukan agitasi secara terus-menerus; 3. treatment dengan menggunakan 10% w/v NaOH-1% w/v, Na2B4O7- 10 H2O pada 28 oC selama 15 jam, dilakukan agitasi secara terus-menerus; 4. treatment dengan HNO3, 70% + HAc, 80% (1/10 v/v) pada 120oC selama 15 menit 5. Pencucian dengan etanol 95%, lalu cuci dengan air dan cuci lagi dengan etanol 95%; 6. pengeringan pada suhu 60 oC dalam oven sampai berat konstan, Prosedur ini sesuai yang dilakukan oleh Sun et al. (Sun dan Sun 2002; Sun et al. 2004). 4
2.3.2 Proses Ekstraksi dengan menggunakan prosedur 2 Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan pada proses ekstraksi selulosa dengan menggunakan prosedur 2 adalah sebagai berikut : 1. Perlakuan dengan 0,7 w/v% Natrium klorit NaClO2: Holoselulosa (selulosa + hemiselulosa) diproduksi dengan pelepasan lignin secara bertahap; pada pH 4 (larutan penyangga) dididihkan selama 2 jam dengan perbandingan serat dan liquid 1:50 dan ditreatmen dengan larutan sodium bisululfat 5% b / v; 2. perlakuan holoselulosa dengan larutan NaOH 17,5 w / v.%; 3. Penyaringan, pencucian dengan air suling dan pengeringan pada 60 oC dalam oven vakum sampai berat konstan. Prosedur diadaptasi dari karya Chattopadhavay Dan Sarkar (Chattopadhyay dan Sarkar 1946; Sarkar dkk. 1948). 2.4 Pembuatan Nanofiber Nanofibers diproduksi melalui hidrolisis asam sehingga diperoleh selulosa dari prosedur I dan II. Hidrolisis asam dilakukan dengan menggunakan asam sulfat (H 2SO4) larutan 60% pada 45 oC, 30 menit dilakukan agitasi terus menerus. 2.5 Metode Karakterisasi Produk akhir berupa nanoselulosa dari dua prosedur ekstraksi yang berbeda dikarakterisasi dengan menggunakan Thermogravimetric Analysis (TGA), Infrared Spectroscopy (FTIR), X-Ray Diffraction (XRD), Differential Scanning Calorimetry (DSC) and Scanning Electronic Microscopy (SEM), untuk melihat perbedaan karakteristik yang dihasilkan. 2.5.1 TGA TGA merupakan suatu teknik analisis termal dimana perubahan material diukur sebagai fungsi temperatur digunakan untuk mempelajari sifat termal dan perubahan fasa akibat perubahan entalpi dari suatu material. Pengukuran termogravimetri dinamis dilakukan dengan menggunakan alat Shimadzu TGA-DTG 50. dimana suhu untuk tes TGA berkisar antara 25oC sampai 700oC dengan laju pemanasan 10 oC / menit. Tes ini dilakukan di bawah Atmosfir nitrogen (20 ml / menit) untuk mencegah degradasi termoksidatif. 2.5.2 Pengukuran DSC DSC adalah suatu teknik analisa termal yang mengukur energi yang diserap atau diemisikan oleh sampel sebagai fungsi waktu atau suhu. Ketika transisi termal terjadi pada sampel, DSC memberikan pengukuran kalorimetri dari energi transisi dari temperatur tertentu. Pengukuran DSC dengan menggunakan Shimadzu DSC-50 dengan suhu berkisar antara suhu kamar sampai 400 oC pada laju pemanasan 2 oC/menit di bawah atmosfir nitrogen.
5
2.5.3 Spektrum FTIR Spekrofotometri Infamerah merupakan instrumentasi yang menggunakan radiasi sinar inframerah untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat pada senyawa organik. Prinsip kerja spektrofotometri IR adalah adanya interaksi energi dengan materi. Peralatan yang digunakan Adalah FTIR Genesis II. 2.5.4 Pemeriksaan SEM SEM (Scanning Electron Microscope) merupakan salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan elektron untuk menggambarkan bentuk permukaan dari material yang dianalisis. Pemindaian Fotografi Mikroskop Elektronik (SEM) Permukaan serat dan mikrofibril diambil dengan Pemindaian mikroskop elektron, denga menggunakan alat JEOL JSM-6100 2.5.5 Pemeriksaan AFM Atomic force microscopy (AFM) adalah suatu alat untuk melihat, memanipulasi atom-atom di dimensi nano. Alat digital NanoScope III dengan Sebuah Microscopy MultiMode Atomic Force (AFM) digunakan untuk melihat gambar kristal selulosa, dengan menggunakan Sel cair diisi dengan air. Gambar itu diperoleh dengan mode kontak 2.5.6 XRD Penentuan kristalinitas dapat dilakukan dengan analisa spektrofotometri XRD. Difraksi sinar X dari nanokristalin selulosa dilakukan pada suhu 2θ antara 5 sampai 40oC dengan laju scan 2 o/menit. Sebelum menggunakan XRD, seluruh sample dikeringkan pada suhu 50 oC selama 12 jam dengan oven. Kristalin indeks dari bahan dihitung dengan metode Segal (Segal et al., 1959). Alat yang digunakan yaitu diffraktometer PW1710 dilengkapi dengan Generator sinar-X (k = 0,129 nm). 3. Hasil dan Diskusi 3.1 TGA (Thermogravimetric analysis) Karena perbedaan struktur kimia antara hemiselulosa, selulosa dan lignin, mereka biasanya terurai pada suhu yang berbeda. Sebagai Contoh, Yang et al (2007) berdasarkan analisis termal, dekomposisi selulosa dimulai pada suhu 315°C dan bertahan hingga 400°C. Hemisellulosa memulai dekomposisi pada 220°C dan berlanjut hingga 315°C. Puncak dekomposisi tercapai pada suhu 268°C, 20% berat padatan menjadi residu pada suhu 700°C. Dekomposisi lignin mulai di bawah 200 oC dan bertahan di atas 700oC. Residu padat yang tersisa dari pyrolisis lignin adalah yang tertinggi (46 wt.%). Dalam semua kasus, penurunan massa dalam jumlah kecil ditemukan di kisaran 25-150 oC karena penguapan kelembaban bahan atau berat molekul senyawa yang tersisa dari prosedur isolasi. Dekomposisi serat sisal tanpa perlakuan menunjukkan beberapa tahapan, menunjukkan adanya perbedaan komponen yang terurai pada suhu yang berbeda. Dekomposisi selulosa yang diperoleh dari prosedur I dan II dimulai sekitar
6
255°C. Dalam kedua kasus tersebut, residu padat terbentuk pada 700°C mendekati 15-18 wt.%.
Gambar 1. 2 (a) Analisis termal (b) kurva DTGA dari lignin, serat sisal, selulosa komersial dan selulosa dengan perlakuan 1 dan 2 Selulosa diperoleh dari prosedur I dan II mulai terdekomposisi pada suhu yang lebih rendah dibandingkan selulosa komersial selain itu, jumlah padatan residu yang lebih tinggi yang dihasilkan oleh selulosa dengan perlakuan. Hal ini mengindikasikan kehadiran sejumlah kecil hemiselulosa atau lignin yang bertahan pada prosedur ekstraksi. Namun, perbedaan dalam suhu awal untuk proses dekomposisi bisa jadi karena distribusi ukuran, berat molekul antara satu dan yang lainnya. Selanjutnya, perbedaan jumlah residu disebabkan karena prosedur kimia yang digunakan, yang mana dapat menginduksi pembentukan abu yang lebih tinggi (1,6 wt.% dan 15-18 wt.%). Hal ini sesuai dengan hasilnya diperoleh oleh Sun et al. (2004). 3.2 FTIR (Fourier Transform Infra Red) Melalui FTIR memungkinkan kita untuk melakukan pencirian struktur kimia dengan mengidentifikasi gugus fungsional hadir di setiap sampel. Spektrum inframerah selulosa, hemiselulosa dan lignin dipelajari dalam literatur (Yang et al. 2007; Alvarez dan Vazquez 2006; Oh et al., 2005; Nelson dan O'Connor 1964). Tipe gugus fungsional dan gugus yang sesuai untuk setiap komponen ditunjukkan pada Tabel 1 (Oh et al 2005; Nelson Dan O'Connor 1964). Ketiga bahan tersebut terdiri dari alkana, ester, aromatik, keton dan alkohol, dengan gugus fungsional yang mengandung oksigen berbeda. Seperti yang terlihat pada gambar. 1a, b, c. Semua sampel menyajikan dua daerah absorbansi utama. yang pertama pada panjang gelombang rendah di kisaran 700-1,800 cm -1, dan yang kedua di atas panjang gelombang dengan kisaran 2.700-3,500 cm -1. Namun puncak penyerapannya yang spesifik dapat diidentifikasi untuk setiap komponen tertentu (Gambar 3).
7
Gambar 2. FTIR Spektra dari selulosa, selulosa komersial, dan komersial lignin. Lignin menampilkan puncak karakteristik di kisaran 1,500-1,600 cm 1 sesuai dengan getaran rangka aromatiknya, Selain itu, karena kehadirannya kelompok fungsional seperti methoxyl -O-CH3, C-O-C dan aromatik C = C, absorbansi di wilayah 1.830 cm -1 dan 1.730 cm -1 seperti yang diamati oleh Reddy et al (2005). Selulosa komersial dan selulosa dari Prosedur II menyajikan pita serapan pada puncak 1.652 cm -1. Di suatu sisi, selulosa dari Prosedur I mempresentasikan pada puncak 1.728 cm -1 , mengenai hal ini, ada beberapa kemungkinan yang dipaparkan oleh beberapa penulis (Sun dan Sun 2002; Alvarez dan Vazquez 2006; Cyras dkk. 2004) menunjukkan bahwa asetilasi dapat ditemukan dengan adanya gugus ester asetil pada puncak 1,745 cm -1 . Penggunaan asam asetat sebagai langkah penting untuk menghasilkan selulosa pada prosedur I, memungkinkan terjadinya proses asetilisasi. Namun, gugus ini tidak hadir pada spektrum berdasarkan selulosa yang diperoleh dengan ini prosedur. Puncak hadir di 1.728 cm -1 sesuai dengan spektrum selulosa yang diperoleh dengan prosedur 1, hal ini disebabkan karenakehadiran hemiselulosa dalam jumlah yang kecil, yang mengandung C = O lebih tinggi berkisar antara 1.765-1.715 cm-1. Kemungkinan lain disebabkan karena penyerapan karboksil atau aldehida (1.728 cm -1) Bisa timbul dari ikatan terbuka cincin glikopirosa atau oksidasi gugus C-OH, dan juga pada tititk 1,620 cm-1 sesuai dengan gugus karbonil. Puncak di titik 1.728 cm -1 dapat dikaitkan dengan proses oksidasi dapat dilihat dari selulosa yang diperoleh berwarna kuning. Lojewska et al., (2005), mengamati ikatan OH dari senyawa pengikat air pada titik 1.640 cm -1. Semua spektrum FTIR dikembangkan setelah dilakukan proses pengeingan dengan hati-hati, namun airnya teradsorpsi di dalam molekul selulosa sangat sulit untuk diekstraksi karena interaksi selulosa-air, seperti yang dijelaskan oleh Baird et al., ( 2006) dalam analisis komputasional yang dilakukan pada molekul selulosa. Dalam analisis spektrum, jelaslah bahwa tidak ada sisa lignin dalam selulosa yang didapat. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya pita penyerapan yang terkait dengan getaran cincin aromatik (1.500-1.600 cm -1).
8
Tabel 1. Absorbansi gugus fungsional dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Fiber Wave numb er Fungsion Compounds -1 Component (cm ) al Groups Cellulose
4000-2,995 2,890 1,640 1,270 –1,232 1,170-1,082 1.108
OH H –C –H Fiber-OH C –O –C C –O –C OH
Acid, Methanol Alkyl, aliphatic Adsorber water Aryl-alkyl ether Pyranose ring skeletal C-OH
Hemicellulose
4,000 –2,995 2,890 1,765 –1,715 1,108
OH H –C –H C=O OH
Acid, methanol Alkyl, aliphatic Ketone and carbonyl C –OH
Lignin
4,000-2,995 2,890 1,730 –1,700 1,632 1,613, 1,450 1,430 1,270 –1,232 1,215 700 –900
OH H –C –H
Acid, methanol Alkyl, aliphatic Aromatic Benzene stretching ring Aromatic skeletal mode Methoxyl – O –CH3 Aryl-alkyl ether C –OH Aromatic hydrogen
C=C C=C O –CH3 C –O –C C –O C –H
3.3 Difraksi sinar-X (XR-D) XR-D digunakan untuk menganalisis kristalinitas selulosa yang dihasilkan, Hasil analisis ditunjukkan pada Gambar. 4. Dapat dilihat bahwa selulosa hadir dalam bentuk selulosa I, dan bukan selulosa II, karena tidak adanya sepasang intensitas puncak utama (Bhatnagar dan Sain 2005; Deraman et al., 2001).
Gambar 4. XRD dari Selulosa Komersial dan selulosa yang Diperoleh dari Prosedur 1 dan 2.
9
Hasil menunjukkan bahwa indeks kristalinitasnya hampir serupa untuk ketiga jenis selulosa (Indeks kristalinitas = 75 ± 1). Hal ini disebabkan karena hemiselulosa bersifat acak, adanya struktur amorf, dapat disimpulkan bahwa sampel yang dibuat dengan prosedur I dan II bisa saja meenyisahkan sedikit atau tidak ada sama sekali hemiselulosa pada serat aslinya. 3.4 DSC (Differential Scanning Calorimetry) Teknik Differential Scanning Calorimetry (DSC) digunakan untuk membandingkan sifat termal sSelulosa komersial dan selulosa yang diperoleh melalui prosedur I dan II. Hasil pengukuran DSC ditunjukkan pada Gambar. 5. Pada semua termogram, dari 30 ° C sampai 140 ° C Puncak endotermik terjadi karena adanya penguapan air. Selulosa komersial menunjukkan puncak endotermik yang tajam pada 330 ° C, sesuai dengan puncak dari bagian kristalnya. Selulosa yang diperoleh dari prosedur I dan II tidak menunjukkan puncak yang jelas. Selulosa diperoleh dengan prosedur II menunjukkan puncak endotermik pada 190 ° C. Pada penelitian sebelumnya (Mwaikambo et al 2002), penurunan posisi puncak terjadi karena peningkatan jumlah amorf selulosa dan dan reduksi kristalin selulosa yang panjang. Ditemukan bahwa indeks kristalinitasnya hampir sama; Sebagai konsekuensinya, pergeseran puncaknya lebih mungkin karena Berat molekulnya lebih luas dan distribusi ukuran kristal selulosa. Sebagai hasilnya, puncak endotermik bisa jadi ditumpangkan ke reaksi degradasi (eksotermik puncak). Kehilangan massa selama analisis DSC terjadi juga untuk semua sampel (71 ± 3%). terjadi degradasi yang cukup besar selama pengukuran.
Gambar 5. Thermogram DSC untuk selulosa prosedur 1 dan 2 dan selulosa komersil. 3.5 SEM dan AFM Gambar 7 menunjukkan hasil SEM dari serat sisal asli dan selulosa yang diperoleh melalui dua tahapan yang berbeda. Diameter serat sisal asli ada di sekitar 100-500µm (Gambar 6a). Setiap serat disusun oleh beberapa mikrofibril dengan kisaran diameter
10
8-12 µm. Setiap serat menunjukkan struktur yang kompak, menunjukkan kesejajaran arah dalam sumbu serat dengan beberapa komponen nonfibrosa pada permukaan serat (Doraiswammy dan Chellamani 1993; Garcı'a-Jaldon dkk. 1998). Sebelumnya diperlihatkan bahwa setelah pemberian perlakuan kimia melalui (Prosedur I dan II), sebagian besar lignin dan hemiselulosa dihilangkan, Diameter serat berkurang sampai hampir diperoleh selulosa murni. Mikrofibril selulosa dari serat asli dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan fibril dengan diameter sekitar 7-31 µm (Gambar 7).
Gambar 6. SEM Pada berbagai tahap Proses Ekstraksi selulosa: a) Serat Sisal; B) Treatment I, Prosedur 1; C) treatment II, Prosedur 1; D) Treatment III, Prosedur 1; E) Treatment I, Prosedur 2 dan F) treatment II, Prosedur 2
Diameter rata-rata dari mikrofibril selulosa yang diperoleh melalui prosedur I dan II ditunjukkan pada Tabel 2. Dari tanaman, serat alami yang diekstrak dengan metode mekanis. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Serat ini memiliki diameter dalam kisaran mikron. Setelah itu pada prosedur kimia dilakukan penghilangan komponen serat yang berbeda menghasilkan epengecilan diameter (dengan memisahkan makro ke mikro fibril) serta perubahan komposisi serat (pemurnian selulosa). Serat dasar menunjukkan struktur helicoidal (berhubungan dengan rantai selulosa) yang tampak jelas setelah semua prosedur ekstraksi berlangsung. Mungkin sajas serat yang dibentuk menjadi rantai nano, dapat dipisahkan dengan hidrolisis asam. prosedur dengan hidrolisis asam mempengaruhi total Integritas serat. Setelah selulosa disiapkan, hidrolisis asam dilakukan untuk menghasilkan nanofibers selulosa. Gambar 8. menunjukkan mikrograf AFM dari nanoselulosa yang diperoleh. Gambar ini menunjukkan bahwa setelah hidrolisis asam, Diameter serat selulosa berada di kisaran Nanometer dengan ukuran rata – rata 30,9 ± 12,5 nm (Gambar 8).
11
3.6 Perbandingan Karakteristik antara Prosedur I dan II Saat membandingkan kedua prosedur, penting memperhatikan perbedaan dalam hal produktivitas, dampak lingkungan, kualitas serat dan distribusi ukuran. Pada prosedur I membutuhkan lebih banyak tahapan, lebih banyak waktu daripada Prosedur II, akan tetapi treatment ini bersifat ramah lingkungan karena tidak menggunakan klorin. Karena itu biaya produksi yang lebih tinggi diimbangi dengan dampak polusi yang lebih rendah. Serat yang diperoleh dengan menggunakan prosedur II menunjukkan distribusi ukuran yang lebih sempit, dan juga jumlah cacat permukaan yang lebih rendah. Karena itu, perlu mencapai kualitas serat selulosa yang lebih tinggi seperti pada Prosedur II, namun dengan proses yang lebih aman seperti prosedur I. 4. Kesimpulan Pada penelitian ini, dilakukan evaluasi terhadap dua prosedur yang berbeda untuk proses ekstraksi serat sisal. Karakterisasi dilakukan dengan TGA, FTIR, DSC dan XRD, untuk mencirikan selulosa yang diperoleh. Tidak ada komponen yang dapat dipastikan setelah analisis TGA. FTIR mengkonfirmasi pemindahan hemiselulosa dan Lignin; Hasil ini didasarkan pada karakteristik puncak bahan lignoselulosa. Selanjutnya, XRD Tes menunjukkan bahwa kristalinitasnya sama untuk semua Selulosa, Kurva DSC menunjukkan superposisi puncak yang sesuai dengan fusi dan degradasi. Teknik ini bahan yang diperoleh adalah selulosa dengan sedikit atau bahkan tidak terdapat hemiselulosa atau lignin dalam jumlah signifikan. Saat membandingkan Prosedur I dan II dalam hal produktivitas, dampak lingkungan, kualitas serat dan distribusi ukuran, dan banyak perbedaan muncul. Hal yang menjadi catatan pertama adalah kurang
12
ramah lingkungan, yang kedua waktu proses yang lama, diameter distribusi serat lebih homogen Dari pemindaian mikroskop elektron; berbeda Morfologi diamati pada masing-masing prosedur. Setelah selulosa didapat dari hidrolisis asam yang dilakukan terhadap nanofibers. Serat ini akan digunakan di masa depan dan berkontribusi dalam produk biodegradable Nanocomposites dengan sifat yang telah disempurnakan. 5. Aplikasi Nanoselulosa dimasa akan datang Nanoteknologi adalah salah satu faktor paling penting dalam pertumbuhan ekonomi global dan kesejahteraan di abad ini serta menjadi keahlian baru dalam bidang material, alat, dan sistem yang akan menciptakan sebuah revolusi dalam teknologi dan industri (Rezanezhad, Nazanezhad, & Asadpur, 2013) Salah satu industri nanomaterial yang paling unik adalah nanoselulosa. Nanoselulosa secara luas digunakan dalam pengobatan dan farmasi, elektronik, membran, bahan berpori, kertas, dan makanan karena ketersediaan, biokompatibilitas, penguraian hayati, dan keberlanjutannya (Rezanezhad et al., 2013). Nanoselulosa dapat menjadi inovasi polimer dalam penelitian dan aplikasi. Struktur supramolekul yang luar biasa dan karakteristik produk yang luar biasa, molekul yang tinggi dan kristalinitas selulosa yang tinggi dengan kadar air hingga 99% sehingga nanoselulosa memerlukan perhatian yang tinggi di bidang aplikasi selulosa (Kramer et al, 2005). Perkembangan teknologi dewasa ini yang menuntut dihasilkannya produk yang ramah lingkungan dan lebih ekonomis, membuat setiap industri berusaha memanfaatkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Di dalam pembuatan komposit, bahan pengisi yang mengandung selulosa menjadi perhatian yang besar karena kemampuannya sebagai penguat pada polimer – polimer dengan titik peleburan yang rendah, salah satu alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan pengisi adalah selulosa yang diperoleh dari tandan kelapa (Abu Bakar 2009 dan Hidayani, 2012). Diantara aplikasi yang potensial untuk nanoselulosa mungkin dapat disebutkan seperti kertas, kardus, bionanokomposit pada pembungkus makanan, kosmetik, kesehatan, peralatan optik, farmasi, kimia dengan dispersi dan emisi Penggunaan nanokristal selulosa pada pembuatan nanokomposit menjadi kelas baru yang sangat menarik untuk dikembangkan karena menghasilkan sifat yang unik pada beberapa sektor industri (Souza et al, 2010).
13
DAFTAR PUSTAKA Alvarez VA, Vazquez A (2006) Influence of fiber chemical modification procedure on the mechanical properties and water absorption of MaterBi/Sisal fiber composites. Compos Part A: Appl S 37(10):1672 – 1680. Baird MS, Hamlin JD, O’Sullivan, Whiting A (2006) An insight into the mechanism of the cellulose dyeing process: molecular modelling and simulations of cellulose and its interactions with water, urea, aromatic azo-dyes and aryl ammonium compounds. Dyes Pigments, (in Press), It was not actualized Bhatnagar A, Sain M (2005) Processing of cellulose nanofiberreinforced composites. J Reinf Plast Comp 24(12): 1259 –1269 Bledzki A-K, Gassan J (1999) Composites reinforced with cellulose based fibres. Prog Polym Sci 24:221 –275. Deraman M, Zakaria S, Murshidi JA (2001) Estimation of crystallinity and cryistallite size of cellulose in benzylated fibres of oil palm empty fruit bunches by X-Ray Diffraction. J Appl Phys 40:311 –315 Chattopadhyay H, Sarkar PB (1946) A New Method for the Estimation of Cellulose. Proc Natl Inst Sci India 12(1):23 –46 Coffey D.G, Bell D.A. and Henderson A. (1995).Food Polysaccharides and their Applications.In: Stephen A.M, (Ed) Cellulose and cellulose derivatives. Marcel Dekker,New York, p124 Frone, A. N., Panaitescu, D. M., Donescu, D., Spataru, C. I., Radovici, C., Trusca, R., and Somoghi, R. (2011). “Preparation and characterization of PVA composites with cellulose nanofibers obtained by ultrasonication,” BioResources 6(1), 487-512. G. Siqueira, J. Bras, A. Dufresne, 2009. Cellulose whiskers versus microfibrils: Influence of the nature of the nanoparticle and its surface functionalization on the thermal and mechanical properties of nanocomposites. Biomacromolecules, 10 (2009), pp. 425-432. Garcı´a-Jaldon G, Dupeyre D, Vignon MR (1998) Fibers from semi-retted hemp bundles by steam explosion treatment. Biomass Bioenerg 14:251 –260 Hon DNS (ed) (1996) Chemical modification of lignocellulosic materials. Marcel Dekker, Inc., New York. Kramer, M. S., et al. 2005. Infant Growth and Health Outcomes Associated With 3 Compared To 6 Mo of Exclusive Breastfeeding. Am J Clin Nutr 2003;78:291-5. Kamel, S. 2007. Nanotechnology and its application in lignocellulosics composites, a mini review. Express Polymer Letters, 1: 546-575. Lima M. M., and Borsali R. D. (2004). Rodlike Cellulose Microcrystals: Structure, properties and applications. Macromolecular Rapid Communication, 25: 771 – 787. Lojewska J, Miskowiec P, Lojewski T, Pronienwicz LM (2005) Cellulose oxidative and hydrolytic degradation: in situ FTIR approach. Polym Degrad Stab 88:512 –520
14
Nelson ML, O’Connor RT (1964) Relation of certain infrared bands to cellulose crystallinity and crystal lattice type. Part II: a new infrared ratio for estimation of crystallinity in celluloses I and II. J Appl Polym Sci 8(3):1328 –1341 M. Ioelovich, O. Figovsky,2008. Nano-Cellulose as Promising Biocarrier", Advanced Materials Research, Vols. 47-50, pp. 1286-1289 Mwaikambo LY, Ansell MP (2002) Chemical modification of hemp, sisal, jute, and kapok fibers by alkalization. J Appl Polym Sci 84:2222 –2234. Oh SY, Yoo DI, Shin Y, Seo G (2005) FTIR analysis of cellulose treated with sodium hydroxide and carbon dioxide. Carbohyd Res 340:417 –428 Peng B, Dhar N, Liu H, Tam K. Chemistry and applications of nanocrystalline cellulose and its derivatives: a nanotechnology perspective. Can J Chem Eng. 2011;89:1191 –1206. Reddy N, Yang Y (2005) Structure and properties of high quality natural cellulose fiber from cornstalks. Polymer 46(15):5494 –5500 Rowell RM, Young RA, Rowell JK (eds) (1996) Paper and composites from agro-based resources. Lewis Publishers, Boca Raton, Florida Rezanezhad, S., Nazanezhad, N., & Asadpur, G. (2013). Isolation of Nanocellulose from Rice Waste via Ultrasonication, 2(Bharadwaj 2004), 282 –291. Sarkar PB, Mazumdar AK, Pal KB (1948) The hemicelluloses of jute fibre. J Tex Inst 39(T44):44 –58 Sun XF, Sun RC, Su Y, Sun JX (2004) Comparative study of crude and purified cellulose from wheat straw. J Agric Food Chem 52:839 –847 Yang H, Yan R, Chen H, Dong Ho L, Zheng C (2007) Characteristics of hemicellulose, cellulose and lignin pyrolysis. Fuel, (in press)
15