TATALAKSANA AIRWAY DAN BREATHING
Oleh:
Febrina A.H Sibarani
105070107111002
Romi
105070107111020
Farahdila Adline
105070107111003
Vauziah
105070107111015
Pembimbing: dr. Taufiq Agus Siswagama, Sp.An
LABORATORIUM LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG 2015
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dinilai sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi tindakam operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut the American
College
of
Emergency
Physicians
states
dalam
melakukan
penatalaksanaan kegawatdaruratan memiliki prinsip awal, dalam mengevaluasi melaksanakan, dan menyediakan terapi pada pasien-pasien dengan trauma yang tidak dapat di duga sebelumnya serta penyakit lainnya. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pertolongan. Semakin cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula pasien tersebut mendapat pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian. (Walls & Murphy, 2012).
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : primary survey dan secondary survey . Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan primary survey untuk untuk mengidentifikasi masalahmasalah yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan secondary survey . Primary survey bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa pasien. Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu primary survey pada penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien (Mancini, 2011).
Tatalaksana airway merupakan hal yang terpenting dalam primary dalam primary survey dan membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan –lahan –lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang (Kovacs, 2011).
Sedangkan breathing sendiri adalah upaya memberikan pernapasan atau ventilasi. Penilaian pernapasan (breathing) dengan memantau atau observasi dinding dada pasien dengan cara melihat (look) naik dan turunnya dinding dada, mendengar(listen) udara yang keluar saat ekspirasi, dan merasakan (feel) aliran udara yang menghembus di pipi penolong (Benumof, 2010). Berkaitan dengan pentingnya tatalaksana airway maupun breathing pada saat dilakukan primary survey maka pada makalah ini akan dibahas mengenai tatalaksana airway dan breathing.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana tatalaksana airway pada penderita gawat darurat ? 2. Bagaimana tatalaksan breathing pada penderita gawat darurat?
2.3 Tujuan 1. Mengetahui tatalaksana airway pada penderita gawat darurat. 2. Mengetahui tatalaksan breathing pada penderita gawat darurat.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Jalan Nafas
Gambar 2.1 Anatomi Jalan Nafas (Morgan et al, 2006)
Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabungdi bagian posterior dalam faring (gambar 2.1). Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring,
nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring
dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar
lidah,
secara
fungsional
epiglotis
memisahkan
orofaring
dari
laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9
kartilago : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme (Morgan et al, 2006) 2.1.1 Pengetahuan tentang hipofaring penting untuk tatalaksana airway Batas hipofaring disebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra cervical. Bila hipofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan
laring
tidak
langsung
atau
dengan
laringoskop
pada
pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak dibawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekuangan yang dibentuk
oleh
ligamentum
glossoepiglotika
medial
dan
ligamentum
glossoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantongpil”, sebab pada beberapa orang kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu (Morgan et al, 2006).
Gambar 2.2 Anatomi Jalan Nafas (Morgan et al, 2006)
Daerah yang sering mengalami sumbatan jalan napas adalah hipofaring, terjadi pada pasien koma ketika otot lidah dan leher yang lemas tidak dapat mengangkat dasar lidah dari dinding belakang faring. Ini terjadi jika kepala pada posisi fleksi atau posisi tengah. Oleh karena itu ekstensi kepala merupakan langkah pertama yang terpenting dalam resusitasi, karena gerakan ini akan meregangkan struktur leher anterior sehingga dasar lidah akan terangkat dari dinding belakang faring. Kadang-kadang sebagai
tambahan diperlukan pendorongan mandibula kedepan untuk meregangkan leher anterior, lebih-lebih jika sumbatan hidung memerlukan pembukaan mulut. Hal ini akan mengurangi regangan struktur leher tadi. Kombinasi ekstensi kepala, pendorongan mandibula kedepan dan pembukaan mulut merupakan ”gerak jalan napas tripel”. Pada kira -kira 1/3 pasien yang tidak sadar rongga hidung tersumbat selama ekspirasi karena palatum molle bertindak sebagai katup. Selain itu rongga hidung dapat tersumbat oleh kongesti, darah atau lendir Jika dagu terjatuh, maka usaha inspirasi dapat ”menghisap” dasar lidah ke posisi yang menyumbat jalan napas. Sumbatan jalan napas oleh dasar lidah bergantung kepada posisi kepala dan mandibula serta dapat saja terjadi lateral, terlentang atau telungkup. Walaupun gravitasi dapat menolong drainase benda asing cair, gravitasi ini tidak akan meringankan
sumbatan
jaringan
lunak
hipofaring,
sehingga
gerak
mengangkat dasar lidah seperti diterangkan diatas tetap diperlukan (Morgan et al, 2006) Penyebab lain sumbatan jalan napas adalah benda asing, seperti muntahan atau darah dijalan napas atas yang tidak dapat ditelan atau dibatukkan keluar oleh pasien yang tidak sadar. Laringospame biasanya disebabkan oleh rangsangan jalan nafas atas pada pasien stupor atau koma dangkal. Sumbatan jalan nafas bawah dapat disebabkan oleh bronkospasme, sekresi bronkus, edema mukosa, atau benda asing (Morgan et al, 2006). Tanda dari obstruksi parsial dari jalan nafas ialah perubahan suara, suara nafas tambahan (contoh : stridor) dan upaya pernafasan meningkat. Obstruksi jalan nafas total ditemukan tidak adanya pergerakan nafas. Penuruna kesadaran merupakan akibat yang sering terjadi dari obstruksi jalan nafas baik parsial maupun total. Tanda paling sering dari obstruksi parsial dengan adanya suara mendengkur (snoring). Obstruksi jalan nafas yang tidak tertangani dengan cepat akan mengakibatkan terjadinya cardiac arrest . Untuk membuka jalan nafas dapat dilakukan manuver head-tilt dan chin-lift. Dengan peralatan yang memadai dapat dilakukan suction jika yang menjadi penyebab sumbatan adalah cairan seperti darah. Hal terpenting lainnya adalah pemberian oksigen pada penderita dengan kondisi kritis (Koster RW et al, 2010).
2.2 Tatalaksana Airway 2.2.1 Manual A irway Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin lift, jaw thrust, atau melakukan pemasangan airway orofaringeal serta nasofaringeal (Walls, 2010). Jaga agar jalan nafas tetap t erbuka dan periksa dengan cara : 1.
Lihat (look ), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang adekuat.
2.
Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
3.
Rasa (feel ), merasa adanya hembusan nafas.
Gambar 2.3 Look, Listen, Feel ( European Resusciation Council Guidelines for Resusciation 2010)
Pada kasus dengan kecurigaan adanya cidera cervical maka manuver pembebasan airway yang dianjurkan adalah chin lift tanpa hiperekstensi leher dan jaw thrust. Saat penderita dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian terhadap airway harus tetap dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale (GCS) sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway definitif (Walls & Murphy, 2012)
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran,
maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan juga dengan menggunakan alat bantu berupa airway orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama melakukan prosedur-prosedur ini harus dilakukan imobilisasi segaris (in-line immobilization) (ATLS, 2004)
Teknik-teknik mempertahankan airway : 1. Head tilt Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermitten (Alkatri, 2007).
2. Chin lift Jari -jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara hati-hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal (Arifin, 2012)
Gambar 2.4 Head-tilt, chin-lift (E uropean R esus ciation Council Guidelines for R esus ciation 2010) 3. Jaw Thrust Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada maxila (Arifin, 2012).
Gambar 2.5 J aw Thr us t (E uropean R esus ciation Council Guidelines for R esus ciation 2010)
2.2.2
Definitif A ir way Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal,
dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain (ATLS, 2004):
Adanya apnea
Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara –cara yang lain
Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau vomitus
Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)
Ketidakmampuan
mempertahankan
oksigenasi
pemberian tambahan oksigen lewat masker wajah.
Gambar 2.6 Pipa Orotrakeal
Gambar 2.7 Pipa Nasotrakeal
yang
adekuat
dengan
Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering digunakan. Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang harus diperhatikan pada pasien yang membutuhkan perbaikanairway. Faktor yang
paling
menentukan
dalam
pemilihan
intubasi
orotrakeal
atau
nasotrakeal adalah pengalaman dokter. Kedua teknik tersebut aman dan efektif apabila dilakukan dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi yang jelas untuk melakukan airway surgical .
2.2.3 Komplikasi Tatalaksana A irway Komplikasi
dari
penatalaksanaan
airway
dapat
menyebabkan
terjadinya morbiditas dan mortilitas. Untuk mencegah terjadinya kegagalan dalam penatalaksanaan airway yang harus diperhatikan adalah teknik dalam melakukan pemeriksaan, perencanaan yang baik, komunikasi yang baik, kerjasama dalam tim, pengetahuan dan teknik dalam menggunakan alat. Semua
kegagalan
teknik
penatalaksanaan
airway
dapat
diantisipasi
sebelumnya. Institusi maupun individu harus menyiapkan kemampuan dalam menangani kesulitan dalam penatalaksanaan airway. Aspirasi
pulmonal
merupakan
masalah
utama
yang
dapat
menyebabkan kematian. Dalam banyak kasus hal tersebut berkaitan dengan adanya faktor resiko dan perhatian yang kurang optimal. Komplikasi pada tatalaksana airway terlihat signifikan sering terjadi di instalasi gawat darurat dibandingkan di ruang operasi. 2.3 Fisiologi Pernafasan Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otototot. Seperti yang telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga (Sherwood, 2001). Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke
dalam
rongga
toraks,
menyebabkan
volume
toraks
berkurang.
Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun
tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi (Sherwood, 2001). Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gasgas melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 µm). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan dengan uap air. Perbedaan tekanan karbondioksidaantara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus. Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir(Sherwood, 2001) . Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paruparu normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal; fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak diakui sebagai faktor utama (Sherwood, 2001). Proses terjadinya pernapasan terbagi 2 yaitu : 1. Inspirasi (menarik napas) 2. Ekspirasi (menghembus napas) Inspirasi adalah proses yang aktif, proses ini terjadi bila tekanan intra pulmonal (intra alveol) lebih rendah dari tekanan udara luar. Pada tekanan biasa, tekanan ini berkisar antara -1 mmHg sampai dengan -3 mmHg. Pada inspirasi dalam tekanan intra alveoli dapat mencapai -30 mmHg. Menurunnya tekanan intra pulmonal pada waktu inspirasi disebabkan oleh mengembangnya rongga toraks akibat kontraksi otot-otot inspirasi. Ekspirasi adalah proses yang pasif, proses ini berlangsung bila tekanan intra pulmonal lebih tinggi dari pada tekanan udara luar sehingga udara bergerak keluar paru. Meningkatnya tekanan di dalam rongga paru terjadi bila volume rongga paru mengecil akibat proses penguncupan yang disebabkan oleh daya elastis jaringan paru (Sherwood, 2001) .
Penguncupan paru terjadi bila otot-otot inspirasi mulai relaksasi. Pada proses ekspirasi biasa tekanan intra alveoli berkisar antara + 1 mmHg sampai dengan + Bahan yang dapat mengganggu sistem pernapasan adalah bahan yang mudah menguap dan terhirup saat kita bernafas. Tubuh memiliki mekanisme pertahanan untuk mencegah masuknya lebih dalam bahan yang dapat mengganggu sistem pernapasan, akan tetapi bila berlangsung cukup lama maka sistem tersebut tidak dapat lagi menahan masuknya bahan tersebut ke dalam paru-paru. 3 mmHg (Sherwood, 2001). Debu, aerosol dan gas iritan kuat menyebabkan refleks batuk atau spasme laring (penghentian napas), bila zat-zat tersebut masuk ke dalam paru-paru
dapat
menyebabkan
bronchitis
kronik,
edema
paru
atau
pneumonitis. Para pekerja menjadi toleran terhadap paparan iritan berkadar rendah dengan meningkatkan sekresi mucus, suatu mekanisme yang khas pada bronchitis dan juga terlihat pada perokok tembakau (Sherwood, 2001).
2.3.1 Kelainan pada Sistem Pernapasan a. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) ARDS terjadi karena adanya cairan yang mengumpul di alveoli paruparu. Dengan banyaknya cairan di dalam alveoli, berarti oksigen sulit untuk mencapai aliran darah. Hal ini membuat organ-organ penting dalam tubuh yang membutuhkan oksigen menjadi terganggu. ARDS biasanya terjadi pada orang yang sudah sakit kritis atau pada orang yang mengalami trauma berat. Gejala utama dari ARDS adalah sesak napas berat, yang biasanya memberat dalam hitungan jam sampai hari. Resiko kematian karena ARDS meningkat sesuai bertambahnya usia dan keparahan penyakit (Sudoyo, 2009)
Gambar 2.8 Acute Respiratory Distress Syndrome
b.
Acute Lung Oedem (ALO) Acute Lung Oedema (ALO) adalah akumulasi cairan di paru yang terjadi
secara mendadak dan membuat pasien dalam keadaan gawat darurat respirasi dan ancaman gagal nafas. ALO disebabkan oleh dua hal yaitu edema paru kardiogenik (penyakit pada arteria koronaria, kardiomiopati, gangguan katup jantung, hipertensi) dan edema paru non-kardiogenik (infeksi paru, lung injury , ARDS, neurogenik) (Sudoyo, 2009)
2.4 Tatalaksana Breathing
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan konstan O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus (Sherwood, 2001). Kegagalan dalam oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yang diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi jantung, dan akhirnya kematian (Hagberg et al, 2005). Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran darah keseluruhtubuh (Smith & Davidson, 2007). Airway yang baik tidak dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula (Dolan, 2008). Menjamin terbukanya airway merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen. Oksigenasi yang memadai menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai kejaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis (Ropollo et al, 2007). Pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-facemask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan pemasangan face-mask : 1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh 2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran) 3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka 5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien 6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan 7. Bila kesulitan, gunakan dengan keduatangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama) 8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa) 9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka, sementara tangan kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu ( squeeze-bag )
Gambar 2.9 Pemasangan face mask (Morgan et al, 2006)
Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya airway, penyebab lain harus dicari. Penilaian harus dilakukan dengan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultas pada toraks.
Gambar 2.7.Penilaian pada toraks
Penilaian awal tersebut dilakukan untuk menilai apakah terdapat keadaankeadaan seperti tension pneumotoraks, massive haemotoraks, open pneumotoraks dimana keadaan-keadaan tersebut harus dapat dikenali pada saat dilakukan primary survey. Bila ditemukannya keadaan-keadaan tersebut maka resusitasi yang dilakukan adalah : a. Memberikan oksigen dengan kecepatan 10 – 12 L/menit b. Tension pneumotoraks : Needle insertion (IV Cath No. 14) di ICR II linea mid claviculari c. Massive haemotoraks : Pemasangan Chest Tube d. Open pneumotoraks: Luka ditutup dengan kain kasa yang diplester pada tiga sisi (flutter -type valveefect) (Sitohang, 2012) Pulse oxymeter dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita. Pulse oxymeter adalah metoda yang non invansif untuk mengukur saturasi oksigen darah aterial secara terus-menerus (ATLS, 2004)
Alat-alat terapi oksigen yang bisa digunakan untuk meningkatkan oksigenasi antara lain: 1. Nasal Kanul Nasal kanul (prongs) merupakan alat sederhana untuk pemberian oksigen dengan memasukkan dua cabang kecil ke dalam hidung. Nasal kanul berguna untuk memberikan kira-kira 24-44% oksigen dengan kecepatan aliran 1-6 L/menit (aliran yang lebih dari 6L/menit tidak menghantarkan oksigen lebih banyak).
Gambar 2.10 Nasal Kanul
2. Sungkup Muka Sederhana atau sungkup muka Hudson Menutupi hidung dan mulut pasien, digunakan untuk inhalasi oksigen. Bagian ekshalasi pada kedua sisi masker memungkinkan dikeluarkannya karbondioksida yang dihembuskan. Sungkup muka sederhana ini memberikan oksigen dengan konsentrasi dan kecepatan aliran lebih tinggi dari nasal kanul, 40-60% pada kecepatan 5-8L/menit. Aliran oksigen tidak boleh kurang dari 6 lpm karena akan terjadi penumpukan CO 2 karena dead space mechanic.
Gambar 2.11 Sungkup Muka Sederhana
3. Sungkup Muka Non-Rebreathing atau Non-Rebreathing Mask ( NRBM) NRBM mengalirkan oksigen konsentrasi tertinggi. Pemberian oksigen melalui NRBM mencapai 90-100% dengan cara selain intubasi atau ventilasi mekanis, pada volume aliran 10-12 lpm. Katup satu arah pada masker dan antara kantung reservoir dan masker, mencegah udara ruangan dan udara yang dihembuskan pasien masuk ke dalam kantung sehingga hanya oksigen di dalam kantung yang dihirup. Untuk mencegah terbentuknya karbondioksida, NRBM tidak boleh mengempis secara total selama inspirasi.
Gambar 2.12 Non-Rebreathing Mask (NRBM)
4. Ambubag atau Bag Valve Mask Ambubag terdiri atas bag yang berfungsi untuk memompa oksigen udara bebas, valve/pipa berkatup dan masker yang menutupi mulut dan hidung. Biasanya digunakan pada sistem pernapasan pasien yang henti napas atau yang napasnya tidak adekuat. Alat ini merupakan peralatan resusitasi untuk tenaga ahli. Konsentrasi oksigen yang dihasilkan dari ambubag sekitar 20% dna dapat ditingkatkan menjadi 100% dengan tambahan oksigen.
Gambar 2.13 Ambubag atau Bag Valve Mask
Tabel 2.1 pemilihan alat bantu oksigenasi Nilai Oksimetri
Arti Klinis
Pilihan Alat
95-100%
Dalam batas normal
O 24lpm nasal kanul
90-95%
Hipoksia ringan – sedang
Sungkup muka sederhana
85-90%
Hipoksia sedang – berat
NRBM
<85%
Hipoksia berat mengancam jiwa
Ventilator di ICU
BAB 3 KESIMPULAN
Airway merupakan komponen yang penting dari sistem pernapasan adalah hidung dan mulut, faring, epiglotis, trakea, laring, bronkus dan paru. Breathing (Bernapas) adalah usaha seseorang secara tidak sadar/otomatis untuk melakukan pernafasan. Tindakan ini merupakan salah satu dari prosedur resusitasi jantung paru (RJP). Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien.
Daftar Pustaka
American Collage of Surgeon, 2004. Advanced trauma Life Support for Doctors 7th Edition. Terjemahan Komisi Trauma Ikatan Ahli Bedah Indonesia.
Arifin, H., 2012. Airway Management. Dalam: Hakim, A.A., et al. Modul Keterampilan klinik. Medan: FakultasKedokteranUniversitas Sumatera Utara, 8-14.
Benumof J, Hargberg CA. 2007. Benumof's Airway. Management: Principles and Practice. 2nd ed. Philadelphia: Mosby. Elsevier.
Dolan, B., Holt, L., 2008. Trauma Life Support. In: Holt, L., ed. Accident and Emergency. 2th ed. Philadelphia: Elseiver.
Hagberg, C., Georgi, R., Krier, 2005. Complications of Managing the Aiway. In: Best Practise and Research Clinical Anaesthesiology. Elsevier 19 (4): 641. Available from:http://clinicaldepartments.musc.edu/anesthesia/education/medicalstudent/o utline/airway%20complications.pdf. [Accesed 28 Agustus 2015]
Kovacs G, Law JA. 2011. Airway Management in Emergencies. Shelton : PHMP-USA. Morgan Jr, G.E., S, Mikhail, M.S, Murray, M.J., 2006. Airway Management. In: Morgan Jr, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., ed. Clinical Anesthesiology . 4th ed. USA: The McGraw-Hill Companies.
Roppolo, L.P., Davis, D., Kelly, S.P., Rosen, P., 2007. General Approach to LifeThreatening Emergencies. In: Buono, C., Davis, D., barth, R., ed. Emergency Medicine Handbook Critical Concept for Clinical Practice. Philadelphia: Elseiver, 20-25. Sitohang. R., 2012. Aplikasi System ABCD pada Primary Survey Pasien Trauma. Dalam: Hakim, A.A., et al. ModulKeterampilanklinik. Medan: FakultasKedokteranUniversitas Sumatera Utara, 3-7.
Sherwood, L., 2001. Sistem Pernapasan. Dalam: Sherwood, L., ed. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC, 410-411.
Skeet, M., 1995. Tindakan Paramedis Terhadap Kegawatan dan Pertolongan Pertama. Edisi 2. Jakarta: EGC, 1-16.
Smith, T., Davidson, S., 2007. Dokter di Rumah Anda. Jakarta: Dian Rakyat, 290-296.
Walls RM, Murphy MF. 2012. Manual Of Emergency Airway Management. Philadelphia : Lippincot William & Wilkins
Sudoyo, Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid IV edisi V. PADDI FKUI : Jakarta