Sejarah Hukum Lingkungan di Indonesia
Perkembangan yang berarti yang bersifat universal dan menjalar keseluruh pelosok dunia dalam bidang peraturan perundang-undangan lingkungan hidup terjadi setelah adanya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia si Stockholm, Swedia pada tanggal 5-16 Juni 1972. Konferensi ini lahir mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup seluruh makhluk di dunia. A. Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia dan Pembangunan Nasional di Bandung Dalam rangka persiapan menghadapi Konferensi Lingkungan Hidup PBB tersebut, Indonesia telah menyusun “Laporan Nasional” tentang keadaan Lingkungan Hidup di Indonesia. Untuk itu diselenggarakan seminar lingkungan petama yang bertema “Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia dan Pembangunan Nasional” di Universitas Padjadjaran Bandung pada Mei 1972. Dalam seminar tersebut juga telah disampaikan beberapa pemikiran dan saran Prof. Dr. Mochtar Kusuma Atmaja, S.H., LL.M tentang bagaimana pengaturan hukum mengenai masalah lingkungan hidup manusia. B. Konferensi Stockholm Konferensi ini dihadiri 113 negara dan beberapa puluh peninjau serta mensahkan hasil-hasilnya berupa : 1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia, terdiri atas: Preamble dan 26 asas yang lazim disebut Stockholm Declaration. 2. Rencana Aksi Lingkngan Hidup Manusia (Action Plan), terdiri dari 109 rekomendasi termasuk di dalamnya 18 rekomendasi tentang Perencanaan dan Pengelolaan Pemukiman Manusia. 3. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang pelaksanaan Rencana Aksi tersebut, yang terdiri dari : a. Dewan Pengurus (Govering Council) Program Lingkungan Hidup (UN Environment Programme = UNP); b. Sekretariat, yang dikepalai oleh seorang Direktur eksekutif
c. Dana Lingkungan Hidup; d. Badan Koordinasi Lingkungan Hidup; e. Resolusi khusus bahwa menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Dunia. Konferensi ini menggugah semangat bangsa-bangsa di dunia untuk memberikan perhatian lebih pada permasalahan lingkungan hidup, termasuk Indonesia yang memulai penanganan secara langsung terhadap pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup. C. Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Ada beberapa alasan perlunya dibuat suatu undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup secara lengkap, yakni : 1. Telah banyak dikeluarkan peraturan yang mengatur tentang lingkungan hidup oleh Pemerintah Kolonial Belanda maupun Pemerintah Republik Indonesia yang masih bersifat sektoral, tersebar dan tidak lengkap, serta banyak yang tidak dapat dijalankan k arena sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup yang dikembangkan saat ini. 2. Adanya petunjuk dalam Repelita III, Bab 7 tentang “Sumber Alam dan Lingkungan Hidup” yang mengisyaratkan untuk segera membuat suatu undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang masalah lingkungan. 3. Indonesia sedang memasuki tahap industrialisasi bersamaan dengan peningkatan pengembangan pertanian, dimana perkembangan kesadaran lingkungan sudah meningkat di kalangan produsen selaku “perusak lingkungan potensial” dan dikalangan konsumen selaku “penderita kerusakan potensial”. Dari alasan tersebutlah kemudian Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) menyusun RUU Lingkungan Hidup, dimana diletakkan landasan hukum bagi penggalian kembali lingkungan hidup untuk dikelola bagi kesejahteraan generasi kini dan nanti sepanjang masa. Akhirnya pada tanggal 11 Maret 1982, disahkanlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. D. Konferensi Rio de Janeiro
Konferensi ini diadakan dalam rangka pelaksanaan resolusi Sidang Umum PBB No. 45/211 tertanggal 21 Desember 1990 dan Keputusan No. 46/468 tertanggal 13 April 1992. Konferensi ini dinamakan United Nations Coference on Environment Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) dan dilaksanakan di Rio de Janeiro pada tanggal 3-14 Juni 1992. Dari Konferensi Rio dapat deperoleh dua hasil utama : 1. Rio telah mengaitkan dengan sangat erat dua pen gertian kunci yaitu pembangunan seluruh bumi dan perlindungan lingkungan. 2. Bahwa jalan yang dilalui kini telah diterangi oleh penerang baru, yaitu semangat Rio, yang meliputi tiga dimensi, yaitu dimensi intelektual, ekonomi, dan politik. Dimensi intelektual merupakan pengakuan bahwa planet bumi adalah suatu perangkat luas tentan g ketergantungan satu dengan yang lain. Lalu dimensi ekonomi merupakan pengakuan bahwa pembangunan berlebih atau pembangunan yang kurang menyebabkan keprihatinan yang sama, yaitu kedua-duanya secara bertahap perlu diganti dengan pembangunan seluruh bumi. Kemudian dimensi politik adalah adanya kesadaran yang jelas tentang kewajiban politik, kewajiban untuk jangka panjang. KTT Rio juga mengasilkan apa yang disebut “Agenda 21”, yang pada dasarnya menggambarkan kerangka kerja dari suatu rencana kerja yang disepakati oleh masyarakat internasional, yang bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan pada awal abad ke-21. E. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Konferensi Rio juga mengilhami pemerintah RI untuk mengubah UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup menjadi UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disahkan pada tanggal 19 September 1997. Yang menjadi pertimbangan perubahan ini adalah karena kesadaran dan kehidup an masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang sedemikian rupa sehingga perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. RUU PLH yang dihasilkan DPR telah mengalami perubahan dan penyempurnaan yang cukup substansial dibanding RUU yang diajukan oleh pemerintah (Presiden). Perubahan tersebut tidak hanya dari jumlah pasalnya saja, dari 45 menjadi 52, namun juga beberapa hal prinsip seperti perubahan pada pasal kelembagaan, termasuk kewenangan Menteri Lingkungan, impor B3, hak-
hak prosedural seperti hak gugat organisasi lingkungan, dan pencantuman dasar hukum bagi gugatan perwakilan (representative action). F. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No 23 tahun 1997 dianggap memiliki banyak kelemahan terutama dalam hal penanganan kasus sengketa lingkungan hidup pada kala itu. Jika ditelusuri lebih jauh, setidaknya tiga masalah mendasar yang terlupakan dalam UU 23 tahun 1997, yakni : 1. Persoalan subtansial yang berkaitan dengan; pendekatan atur dan awasi (command and control) AMDAL maupun perizinan; lemahnya regulasi audit lingkungan; belum dijadikannya AMDAL sebagai persyaratan izin dan tidak tegasnya sanksi bagi p elanggaran Amdal; penormaan yang multi tafsir; lemahnya kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Pegawai Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH); delik pidana yang belum mengatur hukuman minimum; multi tafsir soal asas subsidiaritas dan belum adanya regulasi aturan yang spesifik yang berhubungan dengan perubahan iklim dan pemanasan global. 2. Masalah
struktural
yaitu
berkelanjutan (sustainable
berhubungan
development) yang
dengan belum
paradigma
pembangunan
dijadikan maenstream dalam
memandang lingkungan. 3. Problem kultural yaitu masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang lingkungan. Karena adanya banyak kelemahan-kelemahan tersebutlah mengapa pada akhirnya UU No. 23 Tahun 1997 diganti dengan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No 32 tahun 2009 tidak sekedar menyempurnakan sejumlah kelemahan mendasar dalam UU sebelumnya, tetapi juga secara komprehensif mengatur segala hal yang berkaitan dengan problem lingkungan. UU ini pada akhirnya akan berorientasi pada penguatan institusional terutama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan peran seluruh elemen untuk memandang kasus lingkungan sebagai problem bersama yang subtansial.
Perkembangan Masalah Lingkungan
A. Masalah LH Secara Umum Pembangunan, konkritnya kegiatan manusia dalam menjalani dan memperbaiki hidup dan kehidupannya senantiasa menggunakan unsur-unsur SDA dan LH, dan berlangsung pada LH tertentu. Kegiatan ini merupakan tuntutan hidup yang sangat manusiawi bahkan merupakan suatu kemutlakan bila manusia ingin tetap eksist dalam kehidupan berbudaya ini secara wajar yang tidak boleh dipertentangkan dengan tuntutan ekologi agar tetap stabil dan dinamis, dan bukan soal pilihan satu diantara keduanya. Di sinilah berakar masalah LH yang hakiki. Pembangunan tersebut dalam dirinya mengandung "perubahan besar" seperti perubahan struktur ekonomi, struktur fisik wilayah; struktur pola konsumsi; dan tentunya struktur SDA dan LH, termasuk teknologi dan sistem nilai. Dengan demikian, apabila perubahan-perubahan tersebut menimbulkan tekanan yang melampaui batas-batas keseimbangan/keserasian SDA dan LH, maka manusia telah menghadapi masalah LH. Sesaran sederhana dapat dikatakan sebagai degradasi atau mundurnya kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan (LH) pada hakikatnya adalah nilai yang dimiliki lingkungan untuk kesehatan manusia, keamanan dan bentuk-bentuk penggunaan lainnya serta lingkungan hidup itu sendiri (nilai intrinnsik). Adapun wujud atau bentuk masalah LH dalam realitasnya dapat berupapencemaran, atau perusakan, atau pencemaran dan perusakan LH secara b ersamaan dan berakumulasi. Masalah LH ini dapat berupa pencemaran dan perusakan LH yang disebabkan oleh tindakan manusia (masalah LH "antropologeniK'), dan juga dapat disebabkan oleh peristiwa alam (masalah LH "geologis"). Sebagai
catatan,
bahwa
yang
dapat
dikendalikan
oleh
manusia, termasuk pengaturan dan penerapan hukumnya, hanyalah masalah LH anntropogenik, yakni mengendalikan kegiatan manusia yang berdimensi SDA/LH, dengan AMDAL, Penataan Ruang, Baku mutu, audit lingkungan misalnya. Adapun yang bersifat geologis, hanya dapat diupayakan agar akibatnya terhadap kehidupan manusia dapat diperkecil, misalnya membuat tanggul
penahan
lahar seperti
di
lereng
Merapi,
dsb. Perkembangan hukum lingkungan sendiri merupakan akibat timbulnya kesadaran tentang. masalah lingkungan hidup dalam tahun-tahun tujuh puluhan.
Di
sinilah
antara
lain
letak pentingnya memahami
(setidaknya
mengenal) masalah
LH ini dalam kajian/pelajaran hukum lingkungan, yang merupakan dasar dan akar tumbuh dan berkembangnya hukum lingkungan. “Hukum lingkungan, bermula dari masalah lingkungan hidup”. Substansi dan dasar pemikiran hukum lingkungan dapat dihami secara lebih baik dengan adanya pemahaman (pengetahuan) pada akar-akarnya. Disini pulalah letak makna hukum lingkungan sebagai "hukum fungsional. Kembali kepada masalah LH antropogenik, "semakin tinggi tingkat intentitas kegiatan manusia- yang umumnya sejalan dengan tingkat kemajuan ekonomi dan iptek/kebudayaan yang dicapai, semakin besar pula kemungkinan terjadinya p encemaran dan perusakan LH tersebut, baik secara yuridis terlebih-lebih secara ekologis (pencemaran atau perusakan LH secara yuridis menurut system hukum lingkungan Indonesia atau UUPLH, tidak identik de ngan pencemaran atau perusakan LH secara ekologis atau fisik). Ini berarti bahwa masalah LH secara prinsipil tidaklah menurun, melainkan semakin meningkat sesuai dengan hukum termodinamika I & II serta asas-asas dalam kajian LH, kecuali dengan kesadaran dan tindakan manusia yang berwawasan LH diwujudkan secara berkelanjutan dengan belajar dari pengalaman dan sejarah pertumbuhan yang dicapai peradaban manusia. Contoh: 1.
Kasus Smog Los Angeles: Tahun 1950 an, Los Angeles mengalami "smog", yakni asap yang menebal yang menyerupai kabut menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit misterius seperti yang menyerang ayam, sapi, dan domba mati. Keadaan inilah yang mengilhami terbitnya buku "The Silent Spring" (Musim Semi yang Sunyi).oleh Rachel Carson, 1962 yang menggambarkan betapa para petani berbicara tentang banyaknya penyakit dalam keluarganya, para dokter menyaksikan penyakit baru yang muncul pada pasiennya, dll.
2. Kasus Minamata - Jepang (diulas secara mendalam oleh Harada Masazumi, "Tragedi Minamata", 2005), yakni timbulnya penyakit baru di Teluk Minamata Jepang, laporan 1955 dan 1956, yang menyerang manusia dan hewan, seperti tulang penderita menjadi "rapuh", yang kemudian (1968) diketahui, ternyata penyebabnya dari limbah industri, termasuk pupuk pertanian. 3. Global: Salah satu masalah LH secara global yang dapat mengancam kehidupan umat manusia
adalah
"pemanasan
global",
yakni
naiknya
intensitas "Efek
Rumah
Kaca" ("Greenhouse Effect') yang
disebabkan meningkatnya gas
(C02)
dalam
atmosfir ("atmosphere") selimut bahan, gas berupa udara, yakni bahan udara di sekeliling bumi (yang merupakan bagian tak terpisahkan dengan "biosphere" dan "ecosphere" yang dapat menunjang kehidupan) yang juga disebut "gas rumah kaca" (GRK). Dampak rumah kaca ini pada prinsipnya diakibatkan pembakaran dalam berbagai kegiatan manusia (pabrik, transportasi, dll). Catatan: Secara filosofis, sumber masalah LH (al): Tidak tahu, tidak mampu, dan tidak peduli untuk mencegah/mengatasinya. 4. Negara maju dan Negara miskin: Meskipun secara ekologis bumi ini dipandang sebagai satu
ekosistem
besar,
namun
adanya
bangsa- antara Negara- maju dengan Negara
perbedaan
karakteristik Negara -bangsa-
miskin/berkembang
membawa
pula
karakteristik pada masalah lingkungan hidup yang dihadapi masing-masing Negara yang bersangkutan. Negara "Maju": Masalah LH yang dominan dihadapi Dunia/Negara-negara maju adalah pencemaran !_H pada SDA tanah, air dan udara akibat kemajuan industri (dalam
arti
luas). Negara
"Miskin":, Masalah
LH
yang
dihadapi
pada
Dunia/Negara-negara miskin atau berkembang didominasi oleh "perusakan" LH terutama pada lahan, hutan dsb, serta pencemaran LH dari limbah domestik (miskin biaya dan iptek). Jadi kemajuan dan keterbelakangan sama-sama menimbulkan masalah LH, meskipun dengan sumber penyebab dan karakteristik yang berbeda. Selain akibat perbuatan manusia, masalah LH juga dapat terjadi karena peristiwa alam yang juga besar akibatnya pada kehidupan manusia (sosiosistem). Letusan gunung api, gempa bumi dan Tsunami (gelombang pasang) merupakan bagian dari peristiwa alam yang membawa masalah LH bahkan kemusnahan. Letusan Gunung Tambora 1816, mengakibatkan (>) 90.000 orang meninggal; Letusan Gunung Krakatau 1883; Letusan Gunung Merapi 1994; Tsunami NTT 1994; Bahorok Sumatera Utara 2003, dan Gempa/Tsunami Aceh/Tailand/Srilangka 2004 yang menyebabkan ratusan ribu jiwa meninggal, gempa bumi DIY dan beberapa daerah selatan Jawa 27 Mei 2006, dll merupakan sebagian kecil dari begitu banyak peristiwa alam yang membawa mala petaka bagi kehidupan manusia. Semburan/banjir Lumpur panas Sidoarjo Jatim akhir 2005sekarang juga didominasi oleh faktor alam, meskipun terjadinya dengan campur tangan manusia. "Banjir” yang sering terjadi akhir-akhir ini dan sangat merugikan kehidupan manusia (desakota). Banjir bandang yang melanda DKI Jakarta, Th. 2002 dan masih terus berlangsung, dan
beberapa daerah lainnya (Depok, Bandung, Samarinda, dll) merupakan bagian kecil dari fenomena ini. Sepintas adalah peristiwa alam, tetapi sesung guhnya merupakan perpaduan (akumulasi) antara pengaruh aktivitas manusia dengan peristiwa alam, baik pada Negara maju maupun pada Negara berkembang/miskin. Penimbunan/bangunan pada situs kantong-kantong resapan air di daerah kota, dan semakin berkurangnya hutas secara kuantitas dan kualitas akibat kegiatan manusia, merupakan faktor penyebab fenomena ini.
B. Masalah LH di Indonesia Mengakhiri uraian ini, dikemukakan masalah LH yang aktual dihadapi dalam PLH Indonesia. Masalah LH dalam PLH Indonesia timbul sebagai "pengaruh sampingan" dari aktivitas manusia yang berdimensi LH, yang membawa "perubahan" besar pada komponen LH, baik fisik maupun sosial budaya, dengan kemungkinan "risiko" LH yang timbul dan perubahan tersebut. Timbulnya masalah LH tersebut diakibatkan/ dipengaruhi oleh 4 faktor pokok, yaitu : 1. Perkembangan penduduk dan masyarakat Ciri kependudukan Indonesia adalah : a. Jumlahnya makin bertambah b. Sebagian besar berusia muda (63% < 30 th - data 1993); c. Tidak tersebar merata (Jawa-Madura 840 jiwa/km2, Kalimantan 18, Irian/Papua 7,5 jiwa/km2). d. Jadi ada yang jenuh, dan ada yang belum dimanfaatkan secara optimal; Sulawesi 69 jiwa/km2 e. Besarnya jumlah penduduk yang hidup/memperoleh pendapatan di sektor pertanian (52,2% hidup di pedesaan -1993); f. Tingginya tingkat pengangguran (2,2 jt = 2,79% -1993) -sumber kerawanan sosial dan ekonomi. 2. Perkembangan SDA dan LH a. Permintaan
akan
SDA
(tanah-lahan
dan
air)
menghadapi
tekanan yang
cukup besar akibat kepadatan penduduk (Jawa-Madura), dan tingkat pendapatan
(Y)
yang rendah. Sementara itu, lading perpindah (chifting cultivation) di luar Jawa membawa 100.000 ha menjadi lahan kritis/tahun
b. Kemiskinan
dan
keterbelakangan
(penghayatan
keperluan untuk mencoba SDA secara tepat
dan
LH)
mendesak
efisien, sehingga kurang
memperhatikan factor (kelestarian fungsi) LH. c. Kemampuan alam menahan air makin berkurang.
3. Perkembangan teknologi dan kebudayaan Negara maju mengembangkan teknologi padat modal dan hemat tenaga kerja sesuai dengan kondisi Negara yang bersangkutan, membawa pada penemuan teknologi baru, yang tidak/belum mampu dilakukan oleh Negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Teknologi membawa perubahan pada kemampuan pemanfaatan SDA dan LH, dan
kebudayaan
yang
memerlukan
proses
penyesuaian
bagi
kebudayaan
tertentu termasuk Indonesia. 4. Perkembangan ruang lingkup Internasional Dalam dunia Internasional, Negara maju sangat besar pengaruhnya di bidang teknologi, pandangan dsb terhadap Negara berkembang termasuk Indonesia. Negara maju tersebut menempatkan "kebebasan mekanisme pasar" sebagai prinsip pokok. Dalam mekanisme ini, "harga" merupakan pedoman bagi kegiatan produksi dan konsumsi. Masalahnya, "harga" berlaku terhadap barang yang dimiliki perorangan (manusia/badan huk um/orang). Udara, air, taut, danau, hutan, berikut isinya tidak dimiliki orang, dan tersedia secara gratis "tanpa harga" Teknologi produksi dan pola konsumsi tumbuh berkembang tanpa memperhitungkan pengaruhnya terhadap LH, termasuk SDA yang belum memiliki atau belum diketahui manfaatnya, sehingga luput dari perhitungan ekonomi pembangunan. Kemusnahannya tidak dirasakan sebagai suatu kerugian Sejalan dengan cars pandang tersebut, maka pengelolaan alam tidak disertai upaya pembaharuan. Sampah, kotoran, pencemaran, limbah sebagai hasil kegiatan industri tidak termasuk perhitungan biaya perusahaan, yang kesemuanya itu dibuang secara gratis di muka bumi ini.
Kondisi ini menyebabkan berlangsungnya pembangunan (ekonomi) yang merusak LH (bukan pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan). Jadi pembangunan menghasilkan kemajuan (ekonomi) yang disertai dengan degradasi LH (pencemaran dan kerusakan LH). Fenomena demikian ini bertolak belakang dengan filosofi PLH sebagaimana diharapkan, yakni pembangunan
untuk meningkatkan
taraf
hidup
manusia
secara
sosial
budaya
yang
sekaligus memelihara keseimbangan LH, sehingga tetap mampu mendukung kehidupan umat manusia pada setiap tahap kemajuan yang dicapai secara lintas generasi. Masalah LH muncul, justru karena diantara pembangunan ekonomi (dalam arti luas) dengan PLH bukan soal pilihan satu diantara dua. Sekiranya pilihan yang dijadikan dasar, maka masalah LH dalam arti dan pemahaman kekinian menjadi tidak ada, setidaknya tidak menjadi masalah yang penting dalam setiap aktivitas manusia