RONGGO WARSITO (1)
KITAB JOYOBOYO & RONGGO WARSITO
BABAD TANAH JAWA
Bangsa ini telah meninggalkan sejarah. Apa yang dikatakan Bung
Karno : "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jas Merah)" telah
terabaikan. Padahal yang terjadi saat ini merupakan hasil dari
perjalanan sejarah. Dan apa yang terjadi saat ini telah
diprediksikan oleh para leluhur kita Prabu Jayabaya dan R.Ng.
Ronggowarsito, yang mana hasil karya mereka merupakan ayat-ayat
Allah. Perlu kiranya saya sampaikan cuplikan terjemahan bebas dari
karya mereka :
A. Prabu Jayabaya (Kitab Musarar) :
18. Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi kemudian berganti gajah
meta semune tengu lelaki. Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga
tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan. Waktu itu pajaknya
rakyat adalah.
Keterangan :
Lung Gadung Rara Nglikasi : Raja yang penuh inisiatif dalam segala
hal, namun memiliki kelemahan suka wanita (Soekarno). Gajah Meta
Semune Tengu Lelaki : Raja yang disegani/ditakuti, namun nista
(Soeharto).
19. Uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah
sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkhasiat, pemerintah
rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat
ditolak.
20. Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri
sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka.
Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram.
Keterangan :
- Bupati berdiri sendiri-sendiri : Otonomi Daerah.
- Jaman Kutila : Reformasi
- Raja Kara Murka : Raja-raja yang saling balas dendam.
- Panji Loro semune Pajang Mataram : Dua kekuatan dalam satu kubu
yang saling ingin menjatuhkan (Gus Dur - Megawati ).
21. Nakhoda ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya.
Sarjana tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan
diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu,
randa loro nututi pijer tetukar.
Keterangan :
- Nakhoda : Orang asing.
- Sarjana : Orang arif dan bijak.
- Rara Ngangsu, Randa Loro Nututi Pijer Atetukar : Ratu yang selalu
diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya
(Megawati).
22. Tan kober apepaes, sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang
yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang
Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut.
Keterangan :
Tan Kober Apepaes Tan Tinolih Sinjang Kemben : Raja yang tidak
sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan
(SBY/Kalla).
23. Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak
membuat kenyang. Hasilnya berkurang. Orang jahat makin menjadi-jadi,
orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan
negara.
24. Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-
ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat
dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan
Tuhan dan orang tua.
25. Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang
seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada
tanda negara pecah.
26. Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa
dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian
raja Kara Murka Kutila musnah.
27. Kemudian kelak akan datang Tunjung Putih semune Pudak
kasungsang. Lahir di bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar
Raja Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam
persidangan.
Keterangan :
- Tunjung Putih semune Pudak Kesungsang : Raja berhati putih namun
masih tersembunyi (Satriya Piningit).
- Lahir di bumi Mekah : Orang Islam yang sangat bertauhid.
28. Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah
Jawa. Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran.
Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
Keterangan :
- Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa : Orang Islam yang sangat
menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa.
29. Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar sebab saya
diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan
raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.
B. R.Ng. Ronggowarsito :
Dipaparkan ada tujuh satrio piningit yang akan muncul sebagai tokoh
yang dikemudian hari akan memerintah atau memimpin wilayah seluas
wilayah "bekas" kerajaan Majapahit , yaitu : Satrio Kinunjoro Murwo
Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput
Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Piningit Hamong
Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, Satrio Pinandito Sinisihan
Wahyu.
Berkenaan dengan itu, banyak kalangan yang kemudian mencoba
menafsirkan ke-tujuh Satrio Piningit itu adalah sebagai berikut :
1. SATRIO KINUNJORO MURWO KUNCORO. Tokoh pemimpin yang akrab dengan
penjara (Kinunjoro), yang akan membebaskan bangsa ini dari belenggu
keterpenjaraan dan akan kemudian menjadi tokoh pemimpin yang sangat
tersohor diseluruh jagad (Murwo Kuncoro). Tokoh yang dimaksud ini
ditafsirkan sebagai Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama
Republik Indonesia yang juga Pemimpin Besar Revolusi dan pemimpin
Rezim Orde Lama. Berkuasa tahun 1945-1967.
2. SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR. Tokoh pemimpin yang
berharta dunia (Mukti) juga berwibawa/ditakuti (Wibowo), namun akan
mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan, serba buruk dan juga
selalu dikaitkan dengan segala keburukan / kesalahan (Kesandung
Kesampar). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soeharto,
Presiden Kedua Republik Indonesia dan pemimpin Rezim Orde Baru yang
ditakuti. Berkuasa tahun 1967-1998.
3. SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR. Tokoh pemimpin yang
diangkat/terpungut (Jinumput) akan tetapi hanya dalam masa jeda atau
transisi atau sekedar menyelingi saja (Sumela Atur). Tokoh yang
dimaksud ini ditafsirkan sebagai BJ Habibie, Presiden Ketiga
Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1998-1999.
4. SATRIO LELONO TAPA NGRAME. Tokoh pemimpin yang suka mengembara /
keliling dunia (Lelono) akan tetapi dia juga seseorang yang
mempunyai tingkat kejiwaan Religius yang cukup / Rohaniawan (Tapa
Ngrame). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai KH. Abdurrahman
Wahid, Presiden Keempat Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1999-
2000.
5. SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH. Tokoh pemimpin yang muncul membawa
kharisma keturunan dari moyangnya (Hamong Tuwuh). Tokoh yang
dimaksud ini ditafsirkan sebagai Megawati Soekarnoputri, Presiden
Kelima Republik Indonesia. Berkuasa tahun 2000-2004.
6. SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO. Tokoh pemimpin yang berpindah
tempat (Boyong) dan akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka
gerbang menuju tercapainya zaman keemasan (Pambukaning Gapuro).
Banyak pihak yang menyakini tafsir dari tokoh yang dimaksud ini
adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia akan selamat memimpin bangsa ini
dengan baik manakala mau dan mampu mensinergikan dengan kekuatan
Sang Satria Piningit atau setidaknya dengan seorang spiritualis
sejati satria piningit yang hanya memikirkan kemaslahatan bagi
seluruh rakyat Indonesia sehingga gerbang mercusuar dunia akan mulai
terkuak. Mengandalkan para birokrat dan teknokrat saja tak akan
mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Ancaman bencana
alam, disintegrasi bangsa dan anarkhisme seiring prahara yang terus
terjadi akan memandulkan kebijakan yang diambil.
7. SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU. Tokoh pemimpin yang amat sangat
Religius sampai-sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan
(Pinandito) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum /
petunjuk Allah SWT (Sinisihan Wahyu). Dengan selalu bersandar hanya
kepada Allah SWT, Insya Allah, bangsa ini akan mencapai zaman
keemasan yang sejati.
3. Dari kajian karya-karya leluhur kita di atas menyiratkan bahwa
segala sesuatunya memang harus dan akan terjadi dan tidak dapat
ditolak. Sementara berkaitan dengan bencana terakhir yang terjadi,
yaitu meletusnya Gunung Merapi yang kemudian disusul dengan Gempa
Yogya dan Pangandaran, serta Semburan Lumpur Panas Sidoarjo yang tak
kunjung berhenti merupakan realita ucapan "Sabda Palon" kepada Prabu
Brawijaya dan Sunan Kalijaga.
Berikut ini saya paparkan Ramalan Sabdo Palon :
1. Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad
tentang negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan
pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh Punakawannya yang
bernama Sabda Palon Naya Genggong.
2. Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya: "Sabda-
Palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih
baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan baik."
3. Sabda Palon menjawab kasar: "Hamba tak mau masuk Islam Sang
Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa.
Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa.
Sudah digaris kita harus berpisah.
4. Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang
Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan
mengganti agama Budha (maksudnya Kawruh Budi) lagi, saya sebar
seluruh tanah Jawa.
5. Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi
makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila
belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya
kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan
laharnya.
6. Lahar tersebut mengalir ke barat daya. Baunya tidak sedap. Itulah
pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda
(Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi
takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila
diubah lagi.
7. Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun:
Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah
datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya
menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.
8. Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah
kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada
ditangan-Nya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini
ada yang membuatnya.
9. Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang
bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah
hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya
tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak
yang hilang di hutan.
10. Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang.
Kayupun banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab
orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis
banyak maling tapi siang hari banyak begal.
11. Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan.
Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan
keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya
musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah
Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia.
12. Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati.
Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-
pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat
persis lautan pasang.
13. Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan
kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai
terbawa sampai ke laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan gemuruh
suaranya.
14. Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan
serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak
yang meninggal sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur
lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.
15. Gempa bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia.
Tanahpun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke
dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang
sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh.
Kebanyakan mereka meninggal dunia.
16. Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang
sebentar tidak tampak lagi dirinya. Kembali ke alamnya. Prabu
Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara.
Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi, segala
itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.
Keterangan :
Tanggal 13 Mei 2006 lalu bertepatan dengan hari Waisyak (Budha) dan
hari Kuningan (Hindu), Gunung Merapi telah mengeluarkan laharnya ke
arah Barat Daya (serta merta pada waktu itu ditetapkan status Merapi
dari "Siaga" menjadi "Awas"). Dari uraian Ramalan Sabdo Palon di
atas, maka dengan keluarnya lahar Merapi ke arah Barat Daya
menandakan bahwa Sabdo Palon sudah datang kembali. 500 tahun setelah
berakhirnya Majapahit (Th 1500 an) adalah sekarang ini di tahun 2000
an.
4. Sampai dengan redanya, letusan Merapi hanya memakan korban 2
orang meninggal. Sebelum letusan itu Sri Sultan Hamengkubuwono X
menyatakan bahwa Merapi akan meletus dalam waktu 10 hari, ternyata
tidak terbukti. Karena ucapan yang mendahului kehendak Allah
(ndisiki kerso) yang tidak sepatutnya dilontarkan secara vulgar oleh
seorang "raja", maka Jogja pun digoyang gempa (disusul Pangandaran)
yang banyak memakan korban jiwa dan harta benda. Bahkan kita semua
tidak tersadar bahwa Merapi sebenarnya tetap meletus, namun
berpindah tempat di Sidoarjo dengan semburan lumpur panasnya yang
beracun. Semburan lumpur panas ini merupakan peristiwa yang sangat
luar biasa yang dampaknya akan banyak menyedot dana dan memakan
korban jiwa. Secara penglihatan spiritual, teknologi apapun dan
kesaktian paranormal/ulama se-nusantarapun tidak akan mampu
menghentikan semburan lumpur ini. Bahkan peristiwa ini akan
berpotensi memicu terjadinya chaos (goro-goro) yang pada gilirannya
akan dapat menjatuhkan pemerintah. Sementara bencana-bencana ini
akan terus berlanjut. Hanya seorang Waliyullah (kekasih Allah) saja
yang dapat meredakan semuanya. Namun sayang, orang seperti ini
selalu saja sangat tersembunyi.
5. Semua peristiwa alam yang terjadi adalah merupakan peristiwa
gaib, karena semua terjadi karena kehendak Yang Maha Gaib, Allah Aza
wa Jalla. Sehingga tidak dapat dilawan dengan kesombongan akal
pikiran. Solusi atau jawaban tentang apa yang terjadi pada bangsa
ini sebenarnya telah ada di dalam misteri bait-bait Ramalan
Joyoboyo, R.Ng. Ronggowarsito maupun Sabdo Palon. Kebenaran selalu
saja tersembunyi. Kata sandi dari jawaban misteri ini adalah :
JOGLOSEMAR. Joglo telah runtuh, yang ada tinggal Semar. Inilah
hakekat kondisi negara saat ini.
Sebagai panduan perlu saya garis bawahi kata kunci yang ada di dalam
bait-bait karya leluhur kita, yaitu :
1. Di dalam ramalan R.Ng. Ronggowarsito menyiratkan bahwa Satria VI
(Satriyo Boyong Pambukaning Gapura) harus menemukan dan bersinergi
dengan seorang spiritualis sejati satria piningit (tersembunyi) agar
kepemimpinannya selamat.
2. Dalam bait 22 ramalan Joyoboyo dikatakan "Di Semarang Tembayat
itulah yang mengerti dan memahami lambang tersebut."
3. Dari ucapan Sabdo Palon dalam ramalan Sabdo Palon tersirat bahwa
dengan fenomena alam yang digambarkan (seperti yang terjadi saat
ini) menandakan bahwa Sabdo Palon beserta momongan (asuhan) nya
telah datang untuk mem-Budi Pekertikan bangsa ini (secara rinci
terdapat di dalam Serat Darmogandul). Sabdo Palon secara hakekat
adalah Semar.
4. JOGLOSEMAR = Jogja - Solo - Semarang. Dari peristiwa gempa Jogja
telah membuktikan bahwa kerajaan Mataram Jogja & Solo sudah tidak
memiliki aura lagi. Hal ini terbukti dengan hancurnya Bangsal Traju
Mas (tempat penyimpanan pusaka kerajaan) dan Tamansari (tempat
pertemuan raja dengan Kanjeng Ratu Kidul). Hal lain adalah robohnya
gapura makam HB IX (Jogja) dan PB XII (Solo) di kompleks makam raja-
raja Imogiri, sebagai perlambang bahwa Keraton Jogja - Solo sudah
tidak memiliki aura dan kharisma. Sehingga yang tersisa
tinggallah "Semarang" (Mataram Kendal).
6. Sebagai masukan kepada Yang Mulia Presiden SBY guna mengatasi
carut marut yang terjadi pada bangsa ini, saya menyarankan :
"Kumpulkan ahli-ahli Thoriqoh negeri ini yaitu mursyid/syeh-syeh
yang telah mencapai maqom "Mukasyafah", Pedanda-pedanda sakti agama
Hindu, Bhiksu-bhiksu agama Budha yang telah sempurna, serta
kasepuhan waskito dari Keraton Jogja & Solo, untuk bersama-sama
memohon petunjuk kepada Allah SWT mencari siapa sosok orang yang
mampu mengatasi keadaan ini dan mencari jawab dari misteri ramalan
para leluhur di atas. Gunakan 4 point panduan saya untuk memandu
mereka. Insya Allah, jika Allah Aza wa Jalla memberikan ijin dan
ridho-Nya akan diketemukan jawabannya."
Rangga Warsita (2)
Ramalan 7 Satria Ronggowarsito
Raden Ngabehi Rangga Warsita
Raden Ngabehi Ronggowarsito (lahir: Surakarta, 1802 – wafat: Surakarta,
1873) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta.
Ia dianggap sebagai pujangga terakhir tanah Jawa.
" "
Asal-Usul
Nama aslinya adalah Bagus Burham. Lahir di Surakarta tanggal 15 Maret 1802.
Merupakan putra dari Mas Pajangswara putra Yasadipura II putra Yasadipura
I, pujangga besar Kasunanan Surakarta.
Ayah Bagus Burham merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya
adalah keturunan Kesultanan Demak. Bagus Burham juga memiliki seorang
pengasuh setia bernama Ki Tanujoyo.
Riwayat Masa Muda
Sewaktu kecil Burham terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya
untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang
Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap saja bandel,
bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia
mendapat "pencerahan" di Sungai Kedung Watu, sehingga berubah menjadi
pemuda alim yang pandai mengaji.
Ketika pulang ke Surakarta, Burham diambil sebagai cucu angkat Panembahan
Buminoto (adik Pakubuwana IV). Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten
Anom bergelar Mas Pajanganom tanggal 28 Oktober 1819.
Pada masa pemerintahan Pakubuwana V (1820 – 1823), karir Burham tersendat-
sendat karena raja baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto yang
selalu mendesaknya agar pangkat Burham dinaikkan.
Pada tanggal 9 November 1821 Burham menikah dengan Raden Ayu Gombak dan
ikut mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa
jenuh dan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burham
berkelana sampai ke pulau Bali di mana ia mempelajari naskah-naskah sastra
Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku
Puncak Kejayaan Karir
Bagus Burham diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden
Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara
Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian kakeknya (Yasadipura II),
Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga keraton Surakarta oleh Pakubuwana
VII pada tanggal 14 September 1845.
Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya
dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal
ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian.
Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan
keistimewaan Ranggawarsita. Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa
binatang. Ini merupakan simbol bahwa, Ranggawarsita peka terhadap keluh
kesah rakyat kecil.
Misteri Kematian
Patung Rangga Warsita di depan museum Radya Pustaka, Surakarta
Pakubuwana IX naik takhta sejak tahun 1861. Ia adalah putra Pakubuwana VI
yang dibuang ke Ambon tahun 1830 karena mendukung Pangeran Diponegoro.
Konon, sebelum menangkap Pakubuwana VI, pihak Belanda lebih dulu menangkap
juru tulis keraton, yaitu Mas Pajangswara untuk dimintai kesaksian.
Meskipun disiksa sampai tewas, Pajangswara tetap diam tidak mau membocorkan
hubungan Pakubuwana VI dengan Pangeran Dipanegara.
Meskipun demikian, Belanda tetap saja membuang Pakubuwana VI dengan alasan
bahwa Pajangswara telah membocorkan semuanya. Fitnah inilah yang
menyebabkan Pakubuwana IX kurang menyukai Ranggawarsita, yang tidak lain
adalah putra Pajangswara.
Hubungan Ranggawarsita dengan Belanda juga kurang baik. Meskipun ia
memiliki sahabat dan murid seorang indo bernama C.F. Winter sr., namun
gerak-geriknya tetap saja diawasi Belanda. Ranggawarsita dianggap sebagai
jurnalis berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat
juang kaum pribumi. Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya
Ranggawarsita pun keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani tahun
1870.
Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873.
Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya,
yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan
kalau Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa
mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.
Penulis yang berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan
Andjar Any (1979). Pendapat tersebut mendapat reaksi keras, terutama dari
pihak keraton Surakarta. Berbagai pendapat ditujukan untuk membantah bahwa
Ranggawarsita bukan mati dibunuh. Mereka tetap yakin kalau Ranggawarsita
adalah peramal ulung sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal hari
kematiannya sendiri. Pendapat kedua penulis dianggap merendahkan kehebatan
mata batin Ranggawarsita.
Kedua penulis tetap teguh pada pendapat mereka dengan disertai alasan-
alasan logis, bahwa Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati. Padahal
waktu itu yang berhak menjatuhi hukuman mati hanyalah pemerintah Hindia
Belanda. Jika benar demikian, hukuman mati ini justru meningkatkan derajat
Ranggawarsita di mata rakyat, karena pihak Belanda menganggapnya sebagai
tokoh berbahaya yang harus disingkirkan.
Ranggawarsita dimakamkan di Desa Palar, kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten.
Makamnya pernah dikunjungi dua presiden Indonesia yaitu Presiden Soekarno
dan Gus Dur pada masa mereka menjabat.
Ranggawarsita dan Zaman Edan
Istilah Zaman Edan konon pertama kali diperkenalkan oleh Ranggawarsita
dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu
bait yang paling terkenal adalah:
amenangi jaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.
yang terjemahannya sebagai berikut:
menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Syair di atas menurut analisis seorang penulis bernama Ki Sumidi Adisasmito
adalah ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan Pakubuwono IX yang
dikelilingi para penjilat yang gemar mencari keuntungan pribadi. Syair
tersebut masih relevan hingga zaman modern ini di mana banyak dijumpai para
pejabat yang suka mencari keutungan pribadi tanpa memedulikan kerugian
pihak lain.
Karya Sastra
Karya sastra tulisan Ranggawarsita antara lain,
Bambang Dwihastha : cariyos Ringgit Purwa
Bausastra Kawi atau Kamus Kawi – Jawa, beserta C.F. Winter sr.
Sajarah Pandhawa lan Korawa : miturut Mahabharata, beserta C.F. Winter
sr.
Sapta dharma
Serat Aji Pamasa
Serat Candrarini
Serat Cemporet
Serat Jaka Lodang
Serat Jayengbaya
Serat Kalatidha
Serat Panitisastra
Serat Pandji Jayeng Tilam
Serat Paramasastra
Serat Paramayoga
Serat Pawarsakan
Serat Pustaka Raja
Suluk Saloka Jiwa
Serat Wedaraga
Serat Witaradya
Sri Kresna Barata
Wirid Hidayat Jati
Wirid Ma'lumat Jati
Ramalan tentang Kemerdekaan Indonesia
Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri
bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa
dijalankan pasca Perang Diponegoro. Dalam suasana serba memprihatinkan itu,
Ranggawarsita meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku
Sapta Ngesthi Janma.
Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka
Lodang, dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan
diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala adalah dibalik dari
belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi,
yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia.
Pengalaman pribadi Presiden Soekarno pada masa penjajahan adalah ketika
berjumpa dengan para petani miskin yang tetap bersemangat di dalam
penderitaan, karena mereka yakin pada kebenaran ramalan Ranggawarsita
tentang datangnya kemerdekaan di kemudian hari.
Ranggawarsita pantas mendapat gelar pahlawan nasional, meskipun
perjuangannya tidak menggunakan pedang atau senapan, melainkan menggunakan
tinta yang sanggup membangkitkan semangat kaum pribumi dan meresahkan
pemerintah Hindia Belanda
Jalan Setapak Menuju Nusantara Jaya
bedah telisik spiritual wasiat nenek moyang
Ramalan 7 Satria Ronggowarsito
Dipaparkan ada tujuh satrio piningit yang akan muncul sebagai tokoh yang
dikemudian hari akan memerintah atau memimpin wilayah seluas wilayah
"bekas" kerajaan Majapahit , yaitu : Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio
Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono
Topo Ngrame, Satrio Piningit Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning
Gapuro, Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu.Berkenaan dengan itu, banyak
kalangan yang kemudian mencoba menafsirkan ke-tujuh Satrio Piningit itu
adalah sebagai berikut :
1. SATRIO KINUNJORO MURWO KUNCORO. Tokoh pemimpin yang akrab dengan
penjara (Kinunjoro), yang akan membebaskan bangsa ini dari belenggu
keterpenjaraan dan akan kemudian menjadi tokoh pemimpin yang sangat
tersohor diseluruh jagad (Murwo Kuncoro). Tokoh yang dimaksud ini
ditafsirkan sebagai Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama
Republik Indonesia yang juga Pemimpin Besar Revolusi dan pemimpin
Rezim Orde Lama. Berkuasa tahun 1945-1967.
2. SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR. Tokoh pemimpin yang berharta
dunia (Mukti) juga berwibawa/ditakuti (Wibowo), namun akan mengalami
suatu keadaan selalu dipersalahkan, serba buruk dan juga selalu
dikaitkan dengan segala keburukan / kesalahan (Kesandung Kesampar).
Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soeharto, Presiden Kedua
Republik Indonesia dan pemimpin Rezim Orde Baru yang ditakuti.
Berkuasa tahun 1967-1998.
3. SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR. Tokoh pemimpin yang diangkat/terpungut
(Jinumput) akan tetapi hanya dalam masa jeda atau transisi atau
sekedar menyelingi saja (Sumela Atur). Tokoh yang dimaksud ini
ditafsirkan sebagai BJ Habibie, Presiden Ketiga Republik Indonesia.
Berkuasa tahun 1998-1999.
4. SATRIO LELONO TAPA NGRAME. Tokoh pemimpin yang suka mengembara /
keliling dunia (Lelono) akan tetapi dia juga seseorang yang mempunyai
tingkat kejiwaan Religius yang cukup / Rohaniawan (Tapa Ngrame). Tokoh
yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai KH. Abdurrahman Wahid, Presiden
Keempat Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1999-2000.
5. SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH. Tokoh pemimpin yang muncul membawa
kharisma keturunan dari moyangnya (Hamong Tuwuh). Tokoh yang dimaksud
ini ditafsirkan sebagai Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima
Republik Indonesia. Berkuasa tahun 2000-2004.
6. SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO. Tokoh pemimpin yang berpindah tempat
(Boyong / dari menteri menjadi presiden) dan akan menjadi peletak
dasar sebagai pembuka gerbang menuju tercapainya zaman keemasan
(Pambukaning Gapuro). Banyak pihak yang menyakini tafsir dari tokoh
yang dimaksud ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia akan selamat
memimpin bangsa ini dengan baik manakala mau dan mampu mensinergikan
dengan kekuatan Sang Satria Piningit atau setidaknya dengan seorang
spiritualis sejati satria piningit yang hanya memikirkan kemaslahatan
bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga gerbang mercusuar dunia akan
mulai terkuak. Mengandalkan para birokrat dan teknokrat saja tak akan
mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Ancaman bencana alam,
disintegrasi bangsa dan anarkhisme seiring prahara yang terus terjadi
akan memandulkan kebijakan yang diambil.
7. SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU. Tokoh pemimpin yang amat sangat
Religius sampai-sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan
(Pinandito) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum / petunjuk
Allah SWT (Sinisihan Wahyu). Dengan selalu bersandar hanya kepada
Allah SWT, Insya Allah, bangsa ini akan mencapai zaman keemasan yang
sejati.
Rangga Warsita (3)
Bisu Sunyi Ronggowarsito
Des
Serat Kalatidha RADEN Mas Ngabehi Ronggowarsito
Label
Salah satu karya besar dari RADEN Mas Ngabehi Ronggowarsito, Serat
Kalatidha yang berisi gambaran zaman penjajahan yang disebut "zaman
edan".Lahir pada 15 Maret 1802 dengan nama asli Bagus Burham. Ayahnya
seorang carik Kadipaten Anom yang bernama Raden Mas Pajangswara. Ibunya
Raden Ayu Pajangswara merupakan keturunan ke-9 Sultan Trenggono dari
Demak.Pada 24 Desember 1873, meninggal dunia dengan tenteram. Tempat
peristirahatan terakhirnya terletak di Palar, sebuah desa kecil di wilayah
Klaten.
Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunyaturi
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sujana sarjana kelu
Kalulun kala tida
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda
Keadaan negara waktu sekarang, sudah semakin merosot.
Situasi (keadaan tata negara) telah rusah, karena sudah tak ada yang dapat
diikuti lagi.
Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah/aturan-aturan lama.
Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kala Tidha (jaman yang penuh keragu-
raguan).
Suasananya mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan.
Ratune ratu utama
Patihe patih linuwih
Pra nayaka tyas raharja
Panekare becik-becik
Paranedene tan dadi
Paliyasing Kala Bendu
Mandar mangkin andadra
Rubeda angrebedi
Beda-beda ardaning wong saknegara
Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik,
Patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka
masyarakat baik,
namun segalanya itu tidak menciptakan kebaikan.
Oleh karena daya jaman Kala Bendu.
Bahkan kerepotan-kerepotan makin menjadi-jadi.
Lain orang lain pikiran dan maksudnya.
Katetangi tangisira
Sira sang paramengkawi
Kawileting tyas duhkita
Katamen ing ren wirangi
Dening upaya sandi
Sumaruna angrawung
Mangimur manuhara
Met pamrih melik pakolih
Temah suka ing karsa tanpa wiweka
Waktu itulah perasaan sang Pujangga menangis, penuh kesedihan,
mendapatkan hinaan dan malu, akibat dari perbuatan seseorang.
Tampaknya orang tersebut memberi harapan menghibur
sehingga sang Pujangga karena gembira hatinya dan tidak waspada.
Dasar karoban pawarta
Bebaratun ujar lamis
Pinudya dadya pangarsa
Wekasan malah kawuri
Yan pinikir sayekti
Mundhak apa aneng ngayun
Andhedher kaluputan
Siniraman banyu lali
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka
Persoalannya hanyalah karena kabar angin yang tiada menentu.
Akan ditempatkan sebagai pemuka tetapi akhirnya sama sekali tidak benar,
bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali.
Sebenarnya kalah direnungkan, apa sih gunanya menjadi pemuka/pemimpin ?
Hanya akan membuat kesalahan-kesalahan saja.
Lebih-lebih bila ketambahan lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah
kerepotan.
Ujaring panitisastra
Awewarah asung peling
Ing jaman keneng musibat
Wong ambeg jatmika kontit
Mengkono yen niteni
Pedah apa amituhu
Pawarta lolawara
Mundhuk angreranta ati
Angurbaya angiket cariteng kuna
Menurut buku Panitisastra (ahli sastra), sebenarnya sudah ada peringatan.
Didalam jaman yang penuh kerepotan dan kebatilan ini, orang yang berbudi
tidak terpakai.
Demikianlah jika kita meneliti. Apakah gunanya meyakini kabar angin
akibatnya hanya akan menyusahkan hati saja. Lebih baik membuat karya-karya
kisah jaman dahulu kala.
Keni kinarta darsana
Panglimbang ala lan becik
Sayekti akeh kewala
Lelakon kang dadi tamsil
Masalahing ngaurip
Wahaninira tinemu
Temahan anarima
Mupus pepesthening takdir
Puluh-Puluh anglakoni kaelokan
Membuat kisah lama ini dapat dipakai kaca benggala,
guna membandingkan perbuatan yang salah dan yang betul.
Sebenarnya banyak sekali contoh -contoh dalam kisah-kisah lama,
mengenai kehidupan yang dapat mendinginkan hati, akhirnya "nrima"
dan menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan.
Yah segalanya itu karena sedang mengalami kejadian yang aneh-aneh.
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan nora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada
Hidup didalam jaman edan, memang repot.
Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya
jaman
tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan.
Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga walaupun orang yang
lupa itu bahagia namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa ingat
dan waspada.
Semono iku bebasan
Padu-padune kepengin
Enggih mekoten man Doblang
Bener ingkang angarani
Nanging sajroning batin
Sejatine nyamut-nyamut
Wis tuwa arep apa
Muhung mahas ing asepi
Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma
Segalanya itu sebenarnya dikarenakan keinginan hati. Betul bukan ?
Memang benar kalau ada yang mengatakan demikian.
Namun sebenarnya didalam hati repot juga. Sekarang sudah tua,
apa pula yang dicari. Lebih baik menyepi diri agar mendapat ampunan dari
Tuhan.
Beda lan kang wus santosa
Kinarilah ing Hyang Widhi
Satiba malanganeya
Tan susah ngupaya kasil
Saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
Marga samaning titah
Rupa sabarang pakolih
Parandene maksih taberi ikhtiyar
Lain lagi bagi yang sudah kuat. Mendapat rakhmat Tuhan.
Bagaimanapun nasibnya selalu baik.
Tidak perlu bersusah payah tiba-tiba mendapat anugerah.
Namun demikian masih juga berikhtiar.
Sakadare linakonan
Mung tumindak mara ati
Angger tan dadi prakara
Karana riwayat muni
Ikhtiyar iku yekti
Pamilihing reh rahayu
Sinambi budidaya
Kanthi awas lawan eling
Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma
Apapun dilaksanakan. Hanya membuat kesenangan pokoknya tidak menimbulkan
persoalan.
Agaknya ini sesuai dengan petuah yang mengatakan bahwa manusia itu wajib
ikhtiar,
hanya harus memilih jalan yang baik.
Bersamaan dengan usaha tersebut juga harus awas dan
waspada agar mendapat rakhmat Tuhan.
Ya Allah ya Rasulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang martani
Ing alam awal akhir
Dumununging gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan
Ya Allah ya Rasulullah, yang bersifat murah dan asih,
mudah-mudahan memberi pertolongan kepada hambamu disaat-saat menjelang
akhir ini.
Sekarang kami telah tua, akhirnya nanti bagaimana.
Hanya Tuhanlah yang mampu menolong kami.
Sageda sabar santosa
Mati sajroning ngaurip
Kalis ing reh aruraha
Murka angkara sumingkir
Tarlen meleng malat sih
Sanityaseng tyas mematuh
Badharing sapudhendha
Antuk mayar sawetawis
BoRONG angGA saWARga meSI marTAya
Mudah-mudahan kami dapat sabar dan sentosa,
seolah-olah dapat mati didalam hidup.
Lepas dari kerepotan serta jauh dari keangakara murkaan.
Biarkanlah kami hanya memohon karunia pada MU agar mendapat ampunan
sekedarnya.
Kemudian kami serahkan jiwa dan raga dan kami.
Bisu Sunyi Ronggowarsito
Di Jawa pada paruh abad sembilan belas, ada empat kerajaan yang walau
secara politik dan militer mandul tapi saling berebut klaim sebagai satu-
satunya pewaris yang sah bagi budaya Jawa dan kejayaan Mataram dimasa
silam. Keempat kerajaan itu kasunanan dan mangkunegaran di Surakakarta,
kasultanan dan pakualaman di Jogjakarta.
Disisi lain jaman modal mulai merangsek di pedesaan Jawa, sejalan dengan
ide van den Bosch memperkenalkan tanam paksa. Tujuannya jelas. Komoditas
perkebunan sedang laku keras di pasar Eropa. Tentu agara keuntungan
maksimal, produksilah yang mesti digenjot. Tanam paksa itulah yang kemudian
mengubah wajah Jawa menjadi berbeda dalam arti yang sebenar-benarnya.
Tanam paksa dengan segala konsekwensinya tentu mengharuskan pegawai Belanda
bekerja lebih dekat dengan pegawai bumiputera. Tentunya hal tersebut
mensyaratkan banyak ahli tentang kejawaan berbangsa Belanda yang dapat
berbicara bahasa jawa dan memahami berbagai hal tentang jawa.
Latar belakang itulah yang mengilhami dibentuknya Instituut voor het
Javansche Taal di Surakarta. Belakangan lembaga inilah merupakan tempat
dimana ahli-ahli jawa kebangsaan Belanda mempelajari bahasa Jawa dan
melakukan kunjungan-kunjungan ke Dieng, Borobudur dan Prambanan untuk
mengetahui tradisi Jawa kuno.
Ditahun 1840 lembaga ini kemudian diganti dengan dengan Royal Academy yang
didirikan di Deft dan kemudian pindah ke Leiden dan berhubungan langsung
dengan Universitas Leiden. Untuk ini kita mesti mengingat Taco Rooda sang
pendiri Javanolog Belanda di Universitas Leiden. Yups, metode dan modal.
Begitulah budaya jawa ditaklukan oleh javanolog demi kepentingan kolonial.
Sepakat dengan Takashi Siraishi, minat besar javanologi Belanda terhadap
bahasa jawa kuno plus dengan dukungan dana, metode dan serta lembaga yang
kuat pada akhirnya membeberkan satu hal, yakni dangkalnya pemahaman orang
jawa terpelajar tentang tradisi jawa kuno itu sendiri. Javanolog-javanolog
itulah yang berhasil menemukan, mengembalikan serta kemudian membentuk dan
memberikan makna terhadap masa lalu jawa.
Disinilah letak menariknya peran R Ng Ranggawarsita (RW) sang pujangga
istana kasunanan Surakarta. Terjepit dan dimusuhi rajanya yang menjadi abdi
Kumpeni, Ronggowarsito memilih menyepi dalam karya-karyanya. Wajar kemudian
bila syair-syair Ronggowarsito lebih memilih nada-nada yang getir dan marah
yang disimpannya diam-diam. Kemarahan itulah yang kemudian mendapat tempat
ketika jawa mengalami kekacau-balauan. Hingga karya-karyanya kemudian
seolah menjadi masterpiece dari sastra jawa.
Ramalan? Tentu saja bukan, Ranggawarsita hanya memotret kekiniannya.
Kekinian ketika jawa secara teritori dan budaya takluk setakluk-takluknya
pada modal. Dimasa-masa awal para javanolog bekerja, pemahamannya RW akan
budaya Jawa kuno juga memberikan andil dan menempatkan dirinya menjadi
rujukan para javanolog-javanolog yang berniat mendalami budaya Jawa.
Benarkah Ronggowarsito memang mempunyai kemampuan mendalami kejawaan?
Mengutip dari sebuah wawancara dengan Tim Behrend, seorang ahli tentang
Jawa. RW ini, yang disebut sebagai pujangga Jawa terakhir sangat menarik.
Katanya, ketika orang Jawa membicarakan Ronggowarsito, mereka melukiskannya
bagaikan tokoh dunia impian yang bebas cacat. Hal ini absurd mengingat,
sampai saat ini belum pernah ada wacana kritis terfadap kesusasteraan Jawa
abad XVII sampai XIX. Sehingga kalau karya-karya RW dinyatakan mencapai
posisi terbesar atau terindah, apa ukurannya?
"Ah.. Masyarakat Jawa memang suka berandai-andai. Satrio piningit, zaman
edan, pujangga penutup, dan ini-itu ramalan serta perhitungan macam-macam,
tak semuanya punya dasar ilmiah," kata Tim Behrend.
"Siapa memastikan karyanya lebih bagus dari karya Yosodipuro I, Sindusatro,
atau Paku Buwono IV, pujangga yang juga datang dari Kraton Surakarta?"
tanya Tim. "RW seolah dijadikan lambang puncak keluhuran ala Jawa, tanpa
pernah ada upaya untuk mengembangkan pengkajian kritik ilmiah terhadap isi,
narasi, bahasa, berikut semua aspek lain dari karya tulisnya."
Pujian kepada RW menurut Tim, lebih banyak datang dari masyarakat awam.
Yakni, mereka yang belum pernah membaca karya asli Ronggowarsito atau belum
sempat membandingkannya dengan puisi Jawa lain. Baik yang sezaman dengan
Ronggowarsito maupun satu atau dua abad sebelumnya.
"Maka saya berpendapat, tak pernah ada dasar ilmiah atau kajian intelektual
untuk membandingkan karya Ronggowarsito dengan pujangga Jawa lainnya…"
Keraguan terhadap RW bukan hanya diungkapkan oleh Tim. Hal yang lebih fatal
terjadi ketika Van der Vlis melakukan banyak kesalahan dalam menafsirkan
prasasti di Candi Sukuh. Hal itu bisa terjadi karena dia terlalu percaya
pada terjemahan yang diberikan oleh RW. Dari arsip-arsip Hindia diketahui
pada saat ditemukan oleh Jahson, Residen Surakarta di tahun 1815. Kondisi
candi Sukuh sangat menyedihkan. Bangunannya nyaris runtuh dan memerlukan
restorasi total. Belakangan tafsir RW atas prasasti-prasasti di Candi Sukuh
yang diberikan kepada Van der Vlis menuai gugatan ilmiah.
Ya, kalah secara metodelogi kurang dukungan dana dan kebijakan politik yang
kolonial belakangan memang membuat suara RW tak lagi didengar. Setidaknya
oleh para javanolog-javanolog Belanda yang sangsi oleh kemampuannya. Tafsir
dan pemahamannya seringkali tak mempunyai dasar yang kuat. Karena lebih
didominasi oleh alam pikirannya sendiri dalam konteks kekinian RW hidup.
Ya, yang jaman edan adalah jaman kehidupannya.
zamanku
Mari jadikan ZAMANKU sebagai ajang diskusi untuk menggali berbagai misteri
di masa lalu, menyibak beragam peristiwa terkini, menggapai impian-impian
dan memprediksi kejadian di masa depan. Anda bebas mengupas berbagai topik
yang berkaitan dengan sejarah, agama, iptek, politik dan isu hangat
lainnya.
Ronggowarsito (4)
Kontroversi Serat Darmo Gandhul: Betulkah Ki Kalam Wadi adalah Ronggo
Warsito?
Kontroversi Serat Darmo Gandhul: Betulkah Ki Kalam Wadi adalah Ronggo
Warsito?
Masuknya Islam ke Tanah Jawa ternyata menyimpan cerita yang sungguh
luar biasa. Salah satunya terekam dalam Serat Darmo Gandhul yang
kontroversial itu. Dalam serat yang aslinya berbahasa Jawa Kuno itu
dipaparkan perjalanan beberapa wali, juga hambatan dan benturan
dengan budaya dan kepercayaan lokal.
Penulis serat ini tak menunjukkan jati diri aslinya. Ada yang menafsirkan,
pengarangnya adalah Ronggo Warsito. Ia pakai nama samaran Ki Kalam Wadi,
yang berarti rahasia atau kabar yang dirahasiakan. Ditulis dalam bentuk
prosa dengan pengkisahan yang menarik. Isi Darmo Gandhul tentu saja
mengagetkan kita yang selama ini mengira bahwa masuknya agama Islam
di Indonesia dilakukan dengan cara damai tanpa muncratan darah,
terpenggalnya
kepala dan tetesan air mata. Kaburnya para pemeluk Hindu dan Budha ke
berbagai
wilayah, misalnya ke Pulau Bali, ke kawasan pegunungan dan hutan rimba,
adalah salah satu pertanda bahwa mereka menghindari tindakan pembantaian
massal oleh sekelompok orang yang ingin menggulingkan kekuasaan berkedokkan
agama.
Terkait dengan kisah Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau
Jawa, kebetulan saya ada terjemahan Serat Darmo Gandhul yang aslinya
berbahasa Jawa Kuno. Yang saya kirimkan berikut ini adalah versi yang
tidak lengkap, bersumber dari Tabloid Posmo terbitan Surabaya. Anda bisa
baca dan menilai sendiri. Hanya agar lebih enak untuk dibaca, Posmo
menyuntingnya disana-sini. Yang perlu dicatat, pembaca sendiri harus
kritis menyikapi isi cerita yang mungin amat tendensius ini.
Serat Darmo Gandhul pernah diterbitkan oleh Dahara Prize - Semarang
berukuran 15 cm x 15 cm. Berikut ini adalah tulisan tentang Serat
Darmo Gandhul yang dimuat berseri di Tabloid Posmo terbitan Surabaya.
Isi dari serat ini rasanya masih relevan dikaitkan dengan zaman sekarang,
dimana mulai bermunculan kelompok fundamentalis Islam, terorisme yang
mengatas namakan agama, dan juga kelompok-kelompok yang bermimpi untuk
mendirikan kekhalifahan Islam di negeri ini, dan juga di negara-negara
Asia Tenggara lainnya.
Selamat membaca!
Tokoh terkait:
- Darmo Gandhul - murid Ki Kalam Wadi
- Ki Kalam Wadi - penulis serat
- Raden Budi - guru Ki Kalam Wadi
- Prabu Brawijaya - Raja Majalengka (Majapahit)
- Putri Campa (Dwarawati? Dara Petak?) - permaisuri Prabu Brawijaya
- Sayid Rahmad - kemenakan Putri Campa (Sunan Ampel)
- Sayid Kramat - Sunang Bonang
- Raden Patah (Babah) - putra Prabu Brawijaya/Adipati Demak/Senapati
Jimbuningrat/
Sultan Syah Alam Akbar Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid
Khak/Sultan Adi Surya Alam di Bintoro.
- Raden Kusen (Raden Husen/Raden Arya Pecattanda) - saudara kandung Raden
Patah (lain ayah)
- Ki Bandar - sahabat Sunan Bonang
- Bandung Bondowoso
- Nyai Plencing - dedemit
- Buta Locaya - raja dedemit (mantan Patih Sri Jayabaya)
- Ni Mas Ratu Pagedongan (Ni Mas Ratu Angin-Angin)
- Kyai Tunggul Wulung
- Kyai Patih
- Syech Siti Jenar
- Tumenggung Kertosono
- Sunan Giri
- Arya Damar - Bupati Palembang
- Patih Mangkurat
- Setyasena - komandan pasukan Cina Islam
- Bupati Pati
- Adipati Pengging
- Adipati Pranaraga
- Sabdo Palon
- Naya Genggong
________________________________________________________________
SERAT DARMO GANDHUL
____________________________________________________________________
Pertemuan Sunan Bonang dengan Raja Jin
Pada suatu hari, Darmo Gandhul bertanya kepada Ki Kalam Wadi tentang
asal mula orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berganti agama Islam.
Lantas, Ki Kalamwadi pun menjawab, "Aku tidak mengerti. Tetapi
guru yang dapat dipercaya menceritakan asal-usul orang Jawa meninggalkan
agama Budha dan berganti memeluk agama Islam. Ini memang perlu dikatakan,
agar orang yang belum tahu menjadi tahu."
Putri Campa
Pada zaman dulu Majapahit bernama Majalengka. Majapahit hanyalah kiasan.
Bagi yang belum tahu ceritanya, Majapahit dianggap sebagai nama kerajaan.
Prabu Brawijaya adalah raja terakhir yang berkuasa. Ia menikah dengan
Putri Campa yang beragama Islam. Putri inilah yang membuat Brawijaya
tertarik Islam. Ketika sedang beradu asmara, sang putri selalu membeberkan
keutamaan agama itu. Setiap dekat sang prabu, tiada kata lain yang
terucap dari Putri Campa kecuali kemuliaan agama Islam.
Tak lama kemudian datanglah kemenakan Putri Campa bernama Sayid Rahmad.
Ia mohon izin menyebarkan ajaran Islam di Majalengka. Sang Prabu
mengabulkan. Sayid Rahmad tinggal di desa Ngampeldento-Surabaya. Banyak
ulama dari seberang datang ke Majalengka. Mereka menghadap sang prabu
mohon izin tinggal di wilayah pesisir. Permohonan itu dikabulkan. Akhirnya
berkembang dan banyak orang Jawa memeluk agama Islam.
Perkembangan itu menempatkan seorang guru agama Islam tinggal di daerah
Bonang, termasuk wilayah Tuban. Sayid Kramat namanya. Ia maulana Arab
yang mengaku masih keturunan Nabi Muhammad. Orang-orang Jawa banyak
yang tertarik kepadanya. Penduduk Jawa yang tinggal di pesisir Barat
sampai Timur meninggalkan agama Budha dan memeluk agama Islam. Di
wilayah Blambangan sampai ke arah Barat menuju Banten pun banyak yang
mengikuti ajaran Islam.
Agama Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih 1.000 tahun. Menyembah
kepada Budi Hawa. Budi adalah Dzat Tuhan, sedangkan hawa adalah minat
hati. Manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat melaksanakan,
sedang yang menggerakkan semua ialah budi.
Raden Patah
Sang Prabu mempunyai seorang putra bernama Raden Patah. Ia lahir di
Palembang dari rahim seorang Putri Cina. Ketika Raden Patah dewasa, ia
menghadap kepada ayahnya bersama saudara lain ayah tetapi masih
sekandung, bernama Raden Kusen (Husein). Sang Prabu bingung memberi
nama putranya. Diberi nama dari jalur ayah, beragama Budha, keturunan
raja yang lahir di pegunungan. Dari jalur ibu disebut Kaotiang.
Sedangkan menurut orang Arab, ia harusnya dinamakan Sayid atau Sarib.
Sang Prabu memanggil patih dan abdi lain untuk dimintai pertimbangan.
Sang patih pun berpendapat, bila mengikuti leluhur kuno, putra sang Prabu
itu
dinamakan Bambang. Tetapi karena ibunya orang Cina, lebih baik dinamakan
Babah, yang artinya lahir di tempat lain. Pendapat patih ini disetujui
abdi yang lain. Sang Prabu pun berkata kepada seluruh pasukan bahwa
putranya diberi nama Babah Patah. Sampai saat ini, keturunan pembauran
antara Cina dan Jawa disebut Babah. Meski tidak menyukai nama pemberian
ayahnya itu, Raden Patah takut untuk menentangnya.
Babah Patah kemudian diangkat menjadi Bupati di Demak. Ia memimpin para
bupati di sepanjang pantai Demak ke Barat. Ia dinikahkan dengan cucu
Kyai Ageng Ngampel. Babah Patah tinggal di desa Bintara, Demak. Babah
Patah telah beragama Islam sejak di Palembang. Di Demak ia diminta untuk
menyebarkan agama Islam. Raden Kusen diangkat menjadi Adipati di Terung,
dengan nama baru Raden Arya Pecattanda.
Ajaran Islam makin berkembang. Banyak ulama berpangkat mendapat gelar
Sunan. Sunan artinya budi, sumber pengetahuan tentang baik dan buruk.
Orang yang berbudi baik patut dimintai ajarannya tentang ilmu lahir
batin. Pada waktu itu para ulama baik budinya, belum memiliki kehendak
yang jelek. Banyak yang mengurangi makan dan tidur. Sang Prabu Brawijaya
berpikir, para ulama bersarak Budha itu mengapa disebut Sunan? Mengapa
juga masih mengurangi makan dan tidur?
Sunan Bonang
Pada waktu itu Sunan Bonang akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya.
Di utara Kediri, yakni di daerah Kertosono, rombongan terhalang air
sungai Brantas yang meluap. Sunan Bonang dan dua sahabatnya menyeberang.
Tiba di timur sungai, Sunan Bonang menyelidiki agama penduduk setempat.
Sudah Islam atau masih beragama Budha. Ternyata, kata Ki Bandar,
masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan Bandung Bondowoso.
Menganggap Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka. Hari Jumat Wage wuku
wuye adalah hari raya mereka. Setiap hari itu, mereka bersama-sama
makan enak dan bergembira ria. Kata Sunan Bonang, "Kalau begitu, orang
disini semua beragama Gedhah. Artinya, tidak hitam, putih pun tidak.
Untuk itu tempat ini kusebut Kota Gedhah.¨ Sejak itu, daerah di
sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.
Perawan Tua
Hari terik. Waktu sholat dhuhur tiba. Sunan Bonang ingin mengambil air
wudlu. Namun karena sungai banjir dan airnya keruh, maka Sunan Bonang
meminta salah satu sahabatnya untuk mencari air simpanan penduduk. Salah
satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang dimaksud. Sesampai
di desa Patuk ada sebuah rumah. Tak terlihat laki-laki di sini. Hanya ada
seorang gadis beranjak dewasa sedang menenun. "Hai gadis, aku minta
air simpanan yang jernih dan bersih," kata sahabat itu.
Perawan itu terkejut. Ia menoleh. Dilihatnya seorang laki-laki. Ia salah
paham. Menyangka lelaki itu bermaksud menggodanya. Ia menjawab kasar:¡
"Kamu baru saja lewat sungai. Mengapa minta air simpanan. Disini
tidak ada orang yang menyimpan air kecuali air seniku ini sebagai
simpanan yang jernih bila kamu mau meminumnya."
Mendengar kata-kata kasar itu, sahabat itu langsung pergi tampa pamit.
Mempercepat langkah sambil mengeluh sepanjang perjalanan. Tiba di hadapan
Sunan Bonang, peristiwa tak menyenangkan itu disampaikan.
Mendengar penuturan itu Sunan Bonang naik pitam. Keluarlah kata-kata
keras. Sunan menyabda tempat itu akan sulit air. Gadis-gadisnya tidak akan
mendapat jodoh sebelum usianya tua. Begitu juga dengan kaum jejakanya.
Tidak akan kawin sebelum menjadi jejaka tua. Terkena ucapan Sunan Bonang,
aliran
sungai Brantas menyusut. Aliran sungai berbelok arah. Membanjiri desa-desa,
hutan, sawah, dan kebun. Prahara datang diterjang arus sungai yang
menyimpang. Dan setelah itu kering seketika. Sampai kini daerah Gedhah
sulit air. Perempuan-perempuannya menjadi perawan tua. Begitu juga kaum
laki-lakinya. Mereka terlambat berumah tangga.
Demit
Kemudian, Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Di daerah
ini ada demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing. Menempati sumur
Tanjungtani yang sedang dikerumuni anak cucunya. Mereka lapor, bahwa
ada orang bernama Sunan Bonang suka mengganggu kaum mahluk halus
dan menonjolkan kesaktian. Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing
membalas Sunan Bonang. Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai
mati agar tidak suka mengganggu lagi.
Mendengar usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan
berangkat menemui Sunan Bonang. Tetapi anehnya, para setan itu tidak
bisa mendekati Sunan Bonang. Badannya terasa panas seperti dibakar.
Setan-setan itu berhamburan. Lari tunggang langgang. Mereka lapor ke
Kediri menemui rajanya.
Raja mereka bernama Buta Locaya, tinggal di Selabale, di kaki Gunung
Wilis. Buto Locaya semula adalah patih raja Sri Jayabaya, bernama Kyai
Daha. Ia dikenal sebagai cikal bakal Kediri. Ketika Raja Jayabaya
memerintah daerah ini, namanya diminta untuk nama negara. Ia diberi nama
Buta Locaya dan diangkat patih Prabu Jayabaya. Buta sendiri artinya
bodoh. Lo bermakna kamu. Dan Caya dapat dipercaya. Bila disambung, maka
Buta Locaya mempunyai makna orang bodoh yang dapat dipercaya.
Sebutan itu hampir menyerupai sebutan kyai, yang bermula dari Kyai Daha
dan Kyai Daka. Kyai artinya melaksanakan tugas anak cucu dan orang di
sekitarnya. Kisah soal kyai ini bermula saat Sang Raja ke rumah
Kyai Daka. Sang Prabu dijamu Kyai Daka. Sang Prabu suka dengan keramahan
itu. Nama Kyai Daka pun diminta untuk desa yang kemudian berganti
Tunggul Wulung. Seterusnya ia diangkat menjadi panglima perang.
Ketika Prabu Jayabaya muksa (mati bersama raganya hilang) bersama Ni
Mas Ratu Pagedongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga ikut muksa.
Ni Mas kemudian menjadi ratu setan di Jawa. Tinggal di Laut Selatan dan
bergelar Ni Mas Ratu Angin-Angin.
Semua mahluk halus yang ada di Laut Selatan tunduk dan berbakti kepada
Ni Mas Ratu Angin-Angin. Buta Locaya menempati Selabale, sedangkan Kyai
Tunggul Wulung tinggal di Gunung Kelud menjaga kawah dan lahar agar
tidak merusak desa sekitar.
Ketika Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di kursi emas
beralas kasur babut dihias bulu merak. Ia sedang ditemani patihnya,
Mega Mendung dan dua anaknya, Panji Sekti Diguna dan Panji Sari Laut.
Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis. Ia
melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan
ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing juga memaparkan
kesedihan para setan dan penduduk daerah itu.
Mendengar laporan Nyai Plencing, Buta Locaya murka. Tubuhnya bagaikan
api. Ia memanggil anak cucu dan para jin untuk melawan Sunan Bonang.
Para setan dan jin itu bersiap berangkat. Lengkap dengan peralatan
perang. Mengikuti arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum. Di tempat
ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia, berganti nama Kyai Sumbre.
Sementara setan dan jin yang beribu-ribu jumlahnya tidak menampakkan
diri. Kyai Sumbre berdiri di bawah pohon. Menghadang perjalanan Sunan
Bonang yang datang dari utara.
Sebagai orang sakti, Sunan Bonang tahu ada raja setan dan jin sedang
menghadang perjalanannya. Tubuh Sunan yang panas menjelma bagai bara
api. Para setan dan jin yang beribu-ribu itu menjauh. Tidak tahan
menghadapi wibawa Sunan Bonang. Namun tatkala berhadapan dengan Kyai
Sumbre, Sunan Bonang juga merasakan hawa panas. Dua sahabatnya pingsan
dan demam.
Debat soal Tuhan dan kebenaran
Debat sengit antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya makin seru. Sunan
Bonang dengan tegas menyatakan bahwa daerah tersebut dikatakan Gedah
karena tidak jelas agamanya. "Kusabdakan sulit air karena ketika
aku minta air tidak diberi. Sungai ini kupindah alirannya agar kesulitan
mendapatkan air. Sedangkan jejaka dan perawan kusabdakan sulit mendapat
jodoh karena yang kumintai air itu perawan desa."
Buta Locaya menjawab, bahwa itu tidak seimbang. Salah yang tak seberapa,
apalagi hanya dilakukan oleh seseorang, tetapi penderitaannya dirasakan
oleh banyak orang. Bila dilaporkan kepada penguasa, tentu akan mendapatkan
hukuman berat karena telah merusak sebuah daerah. Sunan Bonang menjawab,
ia pun tak takut dilaporkan Raja Majalengka.
Ketika Buta Locaya mendengar kata-kata itu, ia pun marah. Katanya
masygul: "Ucapan tuan bukan ucapan yang paham aturan negara. Itu pantas
diucapkan oleh orang yang tinggal di rumah madat, mengandalkan kesaktian.
Janganlah sombong. Mentang-mentang dikasihi tuan berkawan dengan malaikat,
lalu berbuat sekehendak hati tidak melihat kesalahan, menganiaya orang
lain tanpa sebab. Meskipun di Jawa ini akan ada orang yang lebih kuat
daripada tuan, tapi mereka baik budi dan takut kepada laknat dewa. Tuan
akan dijauhi orang-orang baik budi bila tetap berbuat demikian. Apakah
tuan termasuk orang seperti Aji Saka murid Ijajil? Aji Saka menjadi raja
di Jawa hanya tiga tahun, lalu pergi sambil membawa seluruh sumber air
di Medang. Ia Hindu. Suka membuat sulit air."
"Tuan mengaku sunan seharusnya berbudi baik, menyelamatkan orang banyak,
tetapi ternyata tidak demikian. Tuan layak seperti setan yang menampakkan
diri, tidak tahan digoda anak kecil. Lekas naik darah. Sunan apakah itu?
Jika memang sebagai Sunan manusia sesungguhnya, tentu suka berbuat
kebajikan. Tuan menyiksa orang tanpa dosa, itulah jalan celaka, tanda
bahwa tuan telah menciptakan neraka jahanam. Bila telah jadi lalu tuan
tempati sendiri, mandi di dalam air mendidih."
"Hamba ini bangsa mahluk halus, tidak berteman dengan manusia, tetapi
hamba masih memperhatikan nasib manusia. Marilah semuanya yang rusak
itu tuan kembalikan kepada keadaan semula. Sungai yang kering dan daerah
yang terlanda banjir hamba mohon untuk mengembalikan. Semua orang Jawa
yang beragama Islam akan hamba teluh supaya mati, hamba akan meminta
bantuan Kangjeng Ratu Angin-Angin di Laut Selatan."
Begitu mendengar kemarahan Buta Locaya, Sunan Bonang menyadari
kesalahannya.
Ia berkata, "Buta Locaya, aku Sunan tidak diperkenankan meralat ucapanku.
Aku hanya bisa membatasi saja. Kelak, bila telah berlangsung 500
tahun, sungai ini dapat kembali seperti semula."
Mendengar jawaban itu, bertambah marahlah Buta Locaya. "Kembalikan
sekarang juga. Bila tidak, tuan akan hamba ikat."
"Sudah, jangan berbantah lagi. Aku mohon diri akan berjalan ke timur.
Buah Sambi ini kunamakan cacil karena keadaan ini seperti anak kecil
yang sedang berkelahi. Setan dan manusia saling berebut kebenaran
tentang kerusakan yang ada di daerah dan kesedihan manusia dengan
setan. Kumohonkan kepada Tuhan, buah sambi menjadi dua macam, daging
buahnya menjadi asam. Bijinya mengeluarkan minyak sebagai lambang muka
yang masam. Tempat perjumpaan ini kuberi nama Singkal di sebelah
utara dan di sini bernama Desa Sumbre. Sedangkan tempat kawan-kawanmu di
selatan kuberi nama Kawanguran."
Debat soal Tuhan
Setelah berkata demikian, Sunan Bonang meloncat ke arah timur sungai.
Terkenal sampai kini di Kota Gedah ada desa yang bernama Singkal, Sumbre
dan Kawanguran. Kawanguran artinya pengetahuan, Singkal artinya susah
kemudian menemukan akal.
Buta Locaya memburu kepergian Sunan Bonang, yang menyaksikan arca kuda
yang berkepala dua di bawah pohon Trenggulun. Banyak buah trenggulun
yang berserakan. Sunan Bonang kemudian memegang parang dan kepala arca
kuda itu dipenggalnya.
Ketika Buta Locaya melihat Sunan Bonang memenggal kepala arca itu,
semakin bertambahlah kemarahannya. "Arca itu buatan sang Prabu Jayabaya
sebagai lambang tekad wanita. Kelak di zaman Nusa Srenggi, barang
siapa yang melihat arca itu, akan mengetahui tekad para wanita Jawa.
Sunan Bonang pun berkata, "Kau ini bangsa hantu. Jadi kalau berani
berdebat dengan manusia, namanya hantu yang sombong."
"Apa bedanya. Tuan Sunan, saya ratu hantu."
Sunan Bonang berkata, "Trenggulun ini kuberi nama Kentos sebagai
peringatan kelak, bahwa aku berdua debat dengan hantu yang sombong
tentang kerusakan arca."
Ki Kalam Wadi berkata: Terkenal sampai kini, buah trenggulun bernama
kentos karena ucapan Sunan Bonang. Semua itu menurut cerita guruku
bernama Raden Budi."
Sunan Bonang kemudian berjalan ke utara. Ketika menjelang salat asar,
beliau akan bersiap salat. Di luar desa ada sumur tetapi tiada timba.
Sumur itu kemudian digulingkan. Dengan begitu Sunan Bonang dapat bersuci
untuk bersalat. Terkenal sampai sekarang, sumur itu bernama sumur gumuling.
Setelah salat, Sunan melanjutkan perjalanan. Sesampai di desa Nyahen,
ada patung raksasa perempuan berada di bawah pohon dadap yang berbunga.
Sangat banyak dan berguguran di sekitarnya. Patung raksasa itu kelihatan
merah menyala, marak oleh bunga yang berjatuhan.
Melihat patung itu, Sunan Bonang keheranan. Patung itu berukuran sangat
besar. Arca itu tampak duduk ke arah barat setinggi 16 kaki. Lingkar
pinggulnya 10 kaki. Jika dipindahkan tidak akan terangkat oleh 800 orang
kecuali dengan alat. Bahu kanannya dipatahkan, dan dahinya diludahi.
Buta Locaya marah lagi. "Tuan ternyata orang jahil, patung yang masih
baik dirusak tanpa alasan. Kini menjadi jelek. Padahal patung itu karya
Sang Prabu
Jayabaya. Apakah hasilnya bila tuan merusak patung itu?"
"Patung itu kurusak agar tidak disembah banyak orang, agar tidak diberi
sesaji dan diberi kemenyan. Orang yang memuja berhala itu kafir, rusak
lahir batin."
Kata Buta Locaya, "Orang Jawa kan sudah tahu bahwa itu patung dari batu
yang tidak berdaya dan berkuasa. Bukan Tuhan, maka mereka layani.
Diberi nyala kemenyan, diberi sesaji, agar para hantu tidak menempati
tanah dan kayu yang dapat menghasilkan untuk manusia. Para hantu mereka
tempatkan di patung itu, lalu tuan usir ke mana? Telah lazim setan tinggal
di
gua, arca, dan makan bau-bauan harum. Bila menyantap bebauan harum, hantu
akan merasa nyaman. Lebih senang lagi bila tinggal di patung yang utuh. Di
tempat sepi dan rindang atau di bawah pohon besar. Mereka menyadari bahwa
alam halus
berbeda dengan alam manusia."
Sunan Bonang khilaf
"Nabi itu kan manusia kekasih Tuhan? Mendapat wahyu agar pandai. Awas
penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi. Sedangkan yang
membuat arca batu adalah Prabu Jaya Baya, kekasih Tuhan pula, mendapatkan
wahyu mulia. Dia pun pandai dan kaya ilmu. Awas penglihatannya, mengetahui
hal-hal yang belum terjadi. Tuan perpedoman kitab, orang Jawa pun
berpedoman petuah dari para leluhurnya. Sama-sama menghargai kabar, lebih
baik menghargai
kabar dari leluhur sendiri dengan peninggalan masih bisa disaksikan."
"Pulau Jawa ini tanah suci dan mulia, dingin dan panasnya cukup. Tanah
berpasir murah air. Apa saja ditanam dapat tumbuh. Pria tampak tampan,
wanita kelihatan cantik, serba luwes tutur katanya. Bila tuan ingin
melihat pusat dunia, yang hamba duduki inilah adanya. Silakan tuan
ukur. Seandainya tidak benar, pukullah."
"Yang membuat arca itu adalah tuanku Prabu Jayabaya. Dapatkah tuan
menebak sesuatu yang belum terjadi? Sudahlah, hamba persilakan tuan
pergi dari sini. Bila menolak akan hamba panggilkan adik hamba dari
Gunung Kelud. Tuan akan kami keroyok. Dapatkah tuan menang? Lalu akan
hamba bawa ke dalam kawah Gunung Kelud, apakah tuan tidak susah? Inginkah
tuan tinggal di Batu seperti hamba? Mari ke Selabale menjadi murid
hamba."
Sunan Bonang: "Tak sudi mengikuti kata-katamu. Kau hantu brekasaan."
"Meskipun hamba hantu, tetapi hamba raja. Abadi selamanya. Tuan belum
tentu seperti hamba. Tekad tuan kotor, suka mengganggu dan menganiaya.
Tampak disini masih sering melakukan kesalahan menentang adat, menentang
agama, merusak kebaikan, mengganggu agama leluhur. Tuan dapat disiksa
dan dibuang ke Menado."
Sunan Bonang tak menggubris. Ia berkata: "Dadap ini bunganya kunamai
celung, buahnya bernama kledung, karena aku kecelung (sesat) pemikiran
dan salah bicara. Jadi saksi ketika aku berdebat dengan hantu,
kalah pengetahuan dan pemikiran.
Sampai kini buah dadap bernama kledung, bunganya bernama celung.
"Sudah, aku akan pulang ke Bonang."
"Ya sudah, silakan tuan pergi. Di sini tak ayal akan membikin panas,
bila terlalu lama di sini akan menimbulkan kesusahan, menyebabkan mahal
air, dan mengurangi air."
Prabu Brawijaya murka
Prabu Brawijaya amat murka ketika mendapat laporan sang Patih tentang
adanya surat dari Tumenggung di Kertosono, yang memberitahukan bahwa
telah terjadi kerusakan di wilayah itu akibat ulah Sunan Bonang.
Segera ia mengutus Patih ke Kertosono, meneliti keadaan sebenarnya.
Setelah tiba, Sang Patih melaporkan semua yang telah terjadi. Namun,
ia tak bisa menemukan Sunan Bonang, karena telah mengembara tak tahu
kemana.
Berikut babak lanjutan dari Serat Darmo Gandhul. Saking murkanya, Prabu
Brawijaya mengharuskan semua ulama Arab yang ada di Pulau Jawa pergi.
Hanya di Demak dan Ngampel Gading saja yang diperbolehkan tinggal dan
menyebarkan agama Islam. Apabila menolak akan dibunuh. Pernyataan tersebut
juga dibenarkan oleh patihnya, karena ulama Giripura telah tiga tahun
tidak menghadap untuk menyampaikan upeti, bahkan mendirikan kerajaan
sendiri. Sedang ulama santri Giri punya gelar yang melebihi sang Prabu.
Maka, diseranglah Giri hingga kocar-kacir.
Menyadari kekeliruannya karena tidak menghadap Majalengka, Sunan Bonang
mengajak Sunan Giri ke Demak. Di sana, mereka menyatu dengan pasukan
Adipati Demak dan mengajak menyerbu ke Majalengka. Kata Sunan Bonang,
"Ketahuilah, kini saatnya kehancuran kerajaan Majalengka yang telah berumur
103 tahun. Menurut pertimbanganku, kamulah yang berhak menjadi Raja.
Rusaklah Kraton Majalengka dengan cara halus.
Jangan sampai ketahuan. Menghadaplah ke ayahandamu pada acara Grebeg Maulud
dengan senjata perang. Ajaklah seluruh Bupati dan para Sunan beserta
bala tentaranya."
Provokasi
Adipati Demak yang memang putra Prabu Brawijaya semula tidak mau
mengikuti saran Sunan Bonang. "Saya takut merusak negeri Majalengka.
Melawan ayah, apalagi melawan seorang raja yang telah memberikan
kebahagiaan
dan kebaikan di dunia. Kata Kakek saya di Ampelgading, saya tidak boleh
melawan ayahanda meski beragama Budha ataupun kafir."
Mendengan jawaban demikian, Sunan Bonang berkata, "Meskipun melawan
ayah dan raja, tidak ada jeleknya karena dia kafir. Merusak kafir tua
kamu akan masuk surga. Kakekmu itu santri yang iri, gundul dan bodoh
tak bernalar. Seberapakah pengetahuan santri Ngampel Gading? Anak kelahiran
Campa tak mungkin menyamaiku Sayid Kramat, Sunan Bonang yang dipujikan
manusia sedunia, keturunan rasul anutan semua umat Islam."
"Meski kamu dosa, toh hanya kepada satu orang. Tetapi, semua manusia
se-Jawa masuk Islam. Hal demikian, alangkah banyaknya pahala yang kau
terima. Tuhan masih cinta kepadamu. Sesungguhnya, orang tuamu itu
menyia-nyiakan dirimu. Buktinya, kamu diberi nama Babah. Babah itu
artinya tidak baik. Hidup hanya untuk mati. Benih Jawa yang dibawa
Putri Cina. Maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang,
orang keturunan raksasa. Itu memutus cinta namanya. Ayahmu tetap berhati
tidak baik. Karena itu, balaslah dengan halus. Pokoknya jangan kelihatan."
(Dalam hati, "isaplah darahnya, kunyahlah tulangnya")
Kemudian, Sunan Giri menyambung, "Aku tidak berdosa, dicari ayahmu
didakwa mendirikan kerajaan karena aku tidak menghadap ke Majalengka.
Katanya, bila aku tertangkap akan diikat rambutku dan disuruh memandikan
anjing. Banyak orang Cina yang datang ke Jawa. Di Giri banyak yang ku-
Islamkan.
Sebab, menurut Qur-an, bila mengislamkan orang kafir, kelak mendapatkan
surga."
"Kedatanganku ke sini untuk minta perlindunganmu. Aku takut kepada patih
dan ayahmu yang sangat benci kepada santri yang suka berzikir. Katanya,
sakit ayan pagi dan sore. Bila kamu tidak membela, rusaklah agama Islam
ini."
Jawab sang Adipati Demak, "Ayahanda memburu tuan itu betul. Karena tuan
Sunan mendirikan kraton. Tidak menyadari bahwa hal itu harus tunduk
perintah raja yang lebih berkuasa. Maka, sudah sewajarnya bila diburu,
dihukum mati, karena Sunan tidak menyadari makan minum di Pulau Jawa."
Namun, Sunan Bonang berkata lagi, "Jika tidak kau rebut sekarang, kau
akan rugi. Setelah ayahmu turun, tahta itu tentu bukan untukmu melainkan
diserahkan kepada Adipati Pranaraga karena dia putra paling tua.
Atau kepada menantunya, Ki Andayaningrat di Pengging."
"Kamu anak muda, tidak berhak menjadi raja. Mati melawan kafir mati
sabilillah, mati menerima surga. Sudah biasa bagi orang Islam dalam
melawan orang kafir. Aku sudah tua, ingin menyaksikan dirimu menjadi
raka, merestui kedudukanmu sebagai raja di Jawa, memimpin rakyat Jawa,
memulai agama suci, dan menghilangkan agama Budha."
Panjang lebar nasihat Sunan Bonang agar Adipati Demak bangkit amarahnya,
dan mau merusak Majalengka. Bahkan, diberi contoh kisah-kisah nabi yang
mau melawan orang tuanya karena kafir.
Tak setuju serbu Majapahit, Syech Siti Jenar dibunuh
Singkat cerita, tak lama kemudian para sunan dan bupati di pesisir utara
datang semua ke Demak. Berkumpul untuk mendirikan masjid. Kemudia
sembahyang
bersama di masjid yang baru didirikan. Usai sembahyang pintu masjid
ditutup. Sunan Bonang berkata kepada semua yang hadir di situ, bahwa Bupati
Demak akan dinobatkan sebagai raja dan akan menggempur Majapahit. Bila
semua setuju akan segera dimulai.
Semua sunan dan bupati setuju. Hanya Syech Siti Jenar yang tidak. Maka,
Sunan Bonang marah dan menghukum mati Syech Siti Jenar. Yang disuruh
membunuh adalah Sunan Giri. Setelah sepakat, Adipati Demak diangkat
menjadi raja menguasai tanah Jawa bergelar Senapati Jimbuningrat dengan
patih dari atas angin bernama Patih Mangkurat.
Esok harinya, Senopati Jimbuningrat bergegas dengan perangkat senjata
perang berangkat menuju Majapahit diiringkan para sunan dan bupati.
Berjalan berarakan seperti Grebeg Maulud. Semua pasukan tak ada yang
mengetahui tujuan itu selain para tumenggung, para sunan dan para ulama.
Sunan Bonang dan Sunan Giri akhirnya tidak jadi ikut dengan alasan
telah lanjut usia. Keduanya hanya akan salat di dalam masjid dan merestui
perjalanan. Bagaimana cerita di perjalanan tidak dijelaskan panjang lebar.
Terjadi peperangan
Alkisah, sepulang dari Giri sang Patih melaporkan hasil penaklukan
terhadap Giri yang dipimpin oleh orang Cina beragama Islam bernama
Setyasena. Ia membawa senjata pedang bertangkai panjang. Pasukannya
berjumlah tiga ratus yang pandai bersilat dengan kumis panjang
berkepala gundul, berpakaian serba putih seperti haji.
Dalam berperang mereka lincah seperti belalang. Sementara pasukan
Majapahit menembaki. Akibatnya, pasukan Giri tampak jatuh berjumpalitan
tidak mampu menerima peluru. Senapati Setyasena menemui ajal. Pasukan Giri
melarikan
diri ke hutan dan gunung. Sebagian juga berlayar dan lari ke Bonang dan
terus
diburu oleh pasukan Majapahit. Sunan Giri dan Sunan Bonang yang ikut
dalam perahu itu dikira melarikan diri ke Arab dan tidak kembali ke
Majapahit. Maka Sang Prabu memerintahkan patih untuk mengutus ke Demak
lagi, memburu Sunan Giri dan Sunan Bonang karena Sunan Bonang telah
merusak tanah Kertosono. Sedangkan Sunan Giri telah memberontak, tidak
mau menghadap raja, bertekad melawan dengan perang.
Sang Patih keluar dari hadapan Raja untuk kemudian memanggil duta yang akan
dikirim ke Demak. Tetapi, tiba-tiba datang utusan dari Bupati Pati
menyerahkan surat (terkenal dengan Menak Tanjangpura) mengabarkan bahwa
Adipati Demak Babah Patah telah menobatkan diri sebagai Raja Demak.
Sedangkan yang mendorong penobatan itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri.
Para Bupati di Pesisir Utara dan semua kawan yang sudah masuk Islam
mendukung. Raja baru itu bergelar Prabu Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam
Akbar Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak, atau Sultan
Adi Surya Alam di Bintoro.
Pasukannya berjumlah tiga puluh ribu lengkap dengan senjata perang,
terserah kepada Patih cara menghadap kepada raja. Surat dari Patih itu
bertanggal 3 Maulud tahun Jimakir 1303 masa kesembilan wuku Prabangkat.
Kyai Patih sedih sekali, menggeram sambil mengatupkan giginya. Sangat
heran kepada orang Islam yang tidak menyadari kebaikan sang raja.
Selanjutnya, kyai patih melapor kapada raja untuk menyampaikan isi
surat itu.
Mendengar laporan patih, Sang Prabu sangat terkejut. Diam membisu, lama
tak berkata. Dalam hatinya sangat heran kepada putranya dan para Sunan
yang memiliki kemauan seperti itu. Mereka diberi kedudukan akhirnya
malah memberontak dan merusak Majapahit. Sang raja tak habis pikir,
alasan apa yang mendasari perbuatan mereka. Dicarinya penalaran-penalaran
tetapi tidak tercapai lahir batin. Tidak masuk akal akan perbuatan
jelek mereka itu. Pikiran sang raja sangat gelap. Kesedihan itu
dikiaskan bagaikan hati kerbau yang habis dimakan kutu babi hutan.
Sang Prabu juga bertanya kepada sang Patih, apa alasan Adipati Demak dan
para ulama serta bupati tega melawan Majapahit? Patih pun menjawab tak
mengerti. Ki Patih juga heran, pemikiran orang Islam ternyata tidak
baik, diberi kebaikan membalas dengan kejahatan.
Kemudian, Sang Prabu berkata bahwa kejadian itu akibat kesalahannya
sendiri. Yang meremehkan agama yang telah berlaku turun-temurun dan
begitu mudah terpikat kata-kata Putri Campa, sehingga mengizinkan para
ulama menyebarkan agama Islam. Dari kebingungan hatinya, ia menyumpahi
orang-orang Islam. "Kumohonkan kepada Dewa yang Agung, balaslah kesedihan
hamba. Orang-orang Islam kelak terbaliklah agamanya, menjelma menjadi
orang-orang kucir, karena tak tahu kebaikan. Kuberi kebaikan membalas
dengan kejahatan." Sabda sang raja yang berada dalam kesedihan itu
disaksikan oleh jagad.
Terbukti dengan adanya suara menggeletar membelah bumi. Terkenal sampai
sekarang, ulama terbaik namanya, tengkuknya dikucir putih.
Tentang kedatangan musuh, yaitu santri yang akan merebut kekuasaan,
Sang Prabu meminta pertimbangan dari Patih. Sang Prabu kecewa, mengapa
hanya untuk menguasai Majapahit harus dengan cara peperangan. Seumpama
diminta dengan cara baik-baik pun tentu akan diberikan karena Sang Raja
telah lanjut usia.
Patih menjawab, lebih baik menyongsong musuh dengan pasukan secukupnya
saja. Jangan sampai merusak bala pasukan. Patih diminta memanggil Adipati
Pengging dan Adipati Pranaraga karena putra yang ada di Majapahit belum
saatnya maju berperang. Setelah memerintahkan demikian, sang prabu
meloloskan diri pergi ke Bali diikuti Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Ketika memberi perintah itu, Pasukan Demak telah mengepung istana.
Maka Sang Raja segera pergi dengan terburu-buru.
Ronggowarsito (5)
PUJANGGA
R. Ng. Ronggowarsito
KOLOTIDO
Salah satu cuplikan karya sastra tembang "Sinom" dalam "Serat Kalatido"
bab.8, seperti di bawah ini :
Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi
melu edan ora tahan
yen tan melu anglakoni boya kaduman melik
kaliren wekasanipun
Dillalah karsaning Allah
Sakbeja-bejane wong kang lali
luwih beja kang eling lan waspada..
Apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia kurang lebih berbunyi :
Mengalami jaman gila, serba repot dalam bertindak,
ikut gila tidak tahan
jika tidak ikut berbuat gila tidak memperoleh bagian hak milik,
akhirnya menjadi ketaparan.
Namun dari kehendak Allah,
seuntung untungnya orang yang lupa diri,
masih lebih babagia orang yang ingat dan waspada.
Kemudian gubahan ini diakhiri dengan sebaris gatra yang bersandiasma,
berbunyi "bo-RONG ang-GA sa-WAR-ga me-SI mar-TA-ya". Mengandung arti rasa
berserah diri kehadapan Yang Maha Esa yang rnenguasai alam sorga, tempat
yang memuat kehidupan langgeng sejati.
Masyarakat Jawa tidak akan gampang melupakan sastrawan dan pujangga besar
bernama Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito. Tokoh yang hidup pada masa ke-
emasan Keraton Surakarta tersebut adalah pujangga besar yang telah
meninggalkan 'warisan tak terharga' berupa puluhan serat yang mempunyai
nilai dan capaian estika menakjubkan. Ketekunannya pada sastra, budaya,
teologi serta ditunjang bakat, mendudukkan ia sebagai pujangga terakhir
Keraton Surakarta.
R. Ng. Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil Bagus Burham pada tahun
1728 J atau 1802 M, putra dari RM. Ng. Pajangsworo. Kakeknya, R.T.
Sastronagoro yang pertama kali menemukan satu jiwa yang teguh dan bakat
yang besar di balik kenakalan Burham kecil yang memang terkenal bengal.
Sastronagoro kemudian mengambil inisiatif untuk mengirimnya nyantri ke
Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kyai Kasan Besari.
Sebagai putra bangsawan Burham mempunyai seorang emban bernama Ki Tanujoyo
sebagai guru mistiknya. Di masa kematangannya sebagai pujangga,
Ronggowarsito dengan gamblang dan wijang mampu menuangkan suara jaman dalam
serat-serat yang ditulisnya. Ronggowarsito memulai karirnya sebagai
sastrawan dengan menulis Serat Jayengbaya ketika masih menjadi mantri carik
di Kadipaten Anom dengan sebutan M. Ng. Sorotoko. Dalam serat ini dia
berhasil menampilkan tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo yang
konyol dan lincah bermain-main dengan khayalannya tentang pekerjaan.
Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi
kehidupan. Pemikirannya tentang dunia tasawuf tertuang diantaranya dalam
Serat Wirid Hidayatjati, pengamatan sosialnya termuat dalam Serat
Kalatidha, dan kelebihan beliau dalam dunia ramalan terdapat dalam Serat
Jaka Lodhang, bahkan pada Serat Sabda Jati terdapat sebuah ramalan tentang
saat kematiannya sendiri.
Pertama mengabdi pada keraton Surakarta Hadiningrat dengan pangkat Jajar.
Pangkat ini meembuatnya menyandang nama Mas Panjangswara., adalah putra
sulung Raden Mas Tumenggung Sastranegara, pujangga kraton Surakarta..
Semasa kecil beliau diasuh oleh abdi yang amat kasih bernama Ki Tanudjaja.
Hubungan dan pergaulan keduanya membuat Ranggawaraita memiliki jiwa cinta
kasih dengan orang-orang kecil (wong cilik). Ki Tanudjaja mempengaruhi
kepribadian Ranggawarsita dalam penghargaannya kepada wong cilik dan
berkemampuan terbatas. Karena pergaulan itu, maka dikemudian hari, watak
Bagus Burham berkembang menjadi semakin bijaksana.
Menjelang dewasa (1813 Masehi), ia pergi berguru kepada Kyai Imam Besari
dipondok Gebang Tinatar. Tanggung jawab selama berguru itu sepenuhnya
diserahkan pada Ki Tanudjaja. Ternyata telah lebih dua bulan, tidak maju-
rnaju, dan ia sangat ketinggalan dengan teman seangkatannya. Disamping itu,
Bagus Burham di Panaraga mempunyai tabiat buruk yang berupa kesukaan
berjudi. Dalam tempo kurang satu tahun bekal 500 reyal habis bahkan 2 (dua)
kudanyapun telah dijual. Sedangkan kemajuannya dalam belajar belum nampak.,
Kyai Imam Besari menyalahkan Ki Tanudjaja sebagai pamong yang selalu
menuruti kehendak Bagus Burham yang kurang baik itu. Akhirnya Bagus Burham
dan Ki Tanudjaja dengan diam-diam menghilang dari Pondok Gebang Tinatar
menuju ke Mara. Disini mereka tinggal di rumah Ki ngasan Ngali saudara
sepupu Ki Tanudjaja. Menurut rencana, dari Mara mereka akan menuju ke
Kediri, untuk menghadap Bupati Kediri Pangeran Adipati cakraningrat. Namun
atas petunjuk Ki Ngasan Nga1i, mereka berdua tidak perlu ke Kediri,
melainkan cukup menunggu kehadiran Sang Adipati Cakraningrat di Madiun
saja, karena sang Adi pati akan mampir di Madiun dalam rangka menghadap ke
Kraton Surakarta.
Selama menunggu kehadiran Adipati Cakraningrat itu, Bagus Burham dan Ki
Tanudjaja berjualan 'klitikan' (barang bekas yang bermacam-macam yang
mungkin masih bisa digunakan). Di pasar inilah Bagus Burham berjumpa dengan
Raden kanjeng Gombak, putri Adipati Cakraningrat, yang kelak menjadi
isterinya.
Kemudian Burham dan Ki Tanudjaja meninggalkan Madiun. Kyai Imam Besari
melaporkan peristiwa kepergian Bagus Burham dan Ki Tanudjaja kepada
ayahanda serta neneknya di Solo/Surakarta. Raden Tumenggung Sastranegara
memahami perihal itu, dan meminta kepada Kyai Imam Besari untuk ikut serta
mencarinya. Selanjutnya Ki Jasana dan Ki Kramaleya diperintahkan
mencarinya. Kedua utusan itu akhirnya berhasil menemukan Burham dan Ki
Tanudjaja, lalu diajaknyalah mereka kembali ke Pondok Gebang Tinatar, untuk
melanjutkan berguru kepada Kyai Imam Besari.
Ketika kembali ke Pondok, kenakalan Bagus Burham tidak mereda. Karena
kejengkelannya, maka Kyai Imam Besari memarahi Bagus Burham. Akhirnya Bagus
Burham menyesali perbuatannya dan sungguh-sungguh menyesal atas tindakannya
yang kurang baik itu. Melalui proses kesadaran dan penghayatan terhadap
kenyataan hidupnya itu, Bagus Burham menyadari perbuatannya dan menyesalkan
hal itu. Dengan kesadarannya, ia lalu berusaha keras untuk menebus
ketinggalannya dan berjanji tidak mengulangi kesalahannya, ia juga berusaha
untuk memperhatikan keadaan sekitarnya, yang pada akhirnya justru
mendorongnya untuk mengejar ketinggalan dalam belajar. Dengan demikian
muncul kesadaran baru untuk berbuat baik dan luhur, sesuai dengan
kemampuannya.
Sejak saat itu, Bagus Burham belajar dengan lancar dan cepat, sehingga Kyai
Imam Besari dan teman-teman Bagus Burham menjadi heran atas kemajuan Bagus
Burham itu. Dalam waktu singkat, Bagus Burham mampu melebihi kawan-
kawannya. Setelah di Pondok Gebang Tinatar dirasa cukup, lalu kembali ke
Surakarta, dan dididik oleh neneknya sendiri, yaitu Raden Tumenggung
Sastranegara. Neneknya mendidik dengan berbagai ilmu pengetahuan yang amat
berguna baginya. Setelah dikhitan pada tanggal 21 Mei l8l5 Masehi, Bagus
Burham diserahkan kepada Gusti Panembahan Buminata, untuk mempelajari
bidang Jaya-kawijayan (kepandajan untuk menolak suatu perbuatan jahat atau
membuat diri seseorang merniliki suatu kemampuan yang melebihi orang
kebanyakan), kecerdas-an dan kemampuan jiwani.Setelah tamat berguru, Bagus
Burham dipanggil oleh Sri Paduka PB.IV dan dianugerahi restu, yang terdiri
dari tiga tingkatan, yaitu :
" "Pertama : Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk"
" "mengatasi pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan "
" "pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta "
" "kasih dan mengakibatkan Bagus Burham memiliki jiwa "
" "halus, teguh dan berkemauan keras. Pendidikan dan "
" "pembentukan kepribadian untuk mengatasi pubersitas. "
" "Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari,"
" "yang didasari oleh cinta kasih dan mengakibatkan Bagus"
" "Burham memiliki jiwa halus, teguh dan berkemauan "
" "keras. Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk "
" "mengatasi pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan "
" "pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta "
" "kasih dan mengakibatkan Bagus Burham memiliki jiwa "
" "halus, teguh dan berkemauan keras. "
Kedua : Pembentukan jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden Tumenggung
Sastranagara, seorang pujangga berpengetahuan luas. Dalam hal pendidikan,
RT. Sastranagara amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama
Jarwa. Dari neneknya, Bagus Burham mendapatkan dasar-dasar tentang sastra
Jawa. Pembentukan jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden Tumenggung
Sastranagara, seorang pujangga berpengetahuan luas. Dalam hal pendidikan,
RT. Sastranagara amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama
Jarwa. Dari neneknya, Bagus Burham mendapatkan dasar-dasar tentang sastra
Jawa.
Ketiga : Pembentukan rasa harga diri, kepercayaan diri dan keteguhan iman
diperoleh dari Gusti Pangeran Harya Buminata. Dari pangeran ini, diperoleh
pula ilmu Jaya-kawijayan, kesaktian dan kanuragan. Proses inilah proses
pendewasaan diri, agar siap dalam terjun kemasyarakat. dan siap menghadapai
segala macam percobaan dan dinamika kehidupan.Bagus Burham secara kontinyu
mendapat pendidikan lahir batin yang sesuai dengan perkembangan sifat-sifat
kodratiahnya, bahkan ditambah dengan pengalamannya terjun mengembara
ketempat-tempat yang dapat menggernbleng pribadinya. Seperti pengalaman ke
Ngadiluwih, Ragajambi dan tanah Bali. Disamping gemblengan orang-orang
tersebut diatas, terdapat pula bangsawan keraton yang juga memberi dorongan
kuat untuk meningkatkan kemampuannya, sehingga karier dan martabatnya
semakin meningkat. Tanggal 28 Oktober 1818, ia diangkat menjadi pegawai
keraton dengan jabatan Carik Kaliwon di Kadipaten Anom, dengan gelar Rangga
Pujangga Anom, atau lazimnya disebut dengan Rangga Panjanganom.
Bersamaan dengan itu, Mas Rangga Panjanganom melaksanakan pernikahan dengan
Raden Ajeng Gombak dan diambil anak angkat oleh Gusti panembahan Buminata.
Perkawinan dilaksanakan di Buminata. Saat itu usia Bagus Burham 21 tahun.
Setelah selapan (35 hari) perkawinan, keduanya berkunjung ke Kediri, dalam
hal ini Ki Tanudjaja ikut serta. Setelah berbakti kepada mertua,
kemudianBagus Burham mohon untuk berguru ke Bali yang sebelumnya ke
Surabaya. Demikian juga berguru kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih,
Kyai Ajar Wirakanta di Ragajambi dan Kyai Ajar Sidalaku di Tabanan-Bali.
Dalam kesempatan berharga itu, beliau berhasil membawa pulang beberapa
catatan peringatan perjalanan dan kumpulan kropak-kropak serta peninggalan
lama dari Bali dan Kediri ke Surakarta.
Sekembali dari berguru, ia tinggal di Surakarta melaksanakan tugas sebagai
abdi dalem keraton. Kemudian ia dianugerahi pangkat Mantri Carik dengan
gelar Mas ngabehi Sarataka, pada tahun 1822. Ketika terjadi perang
Diponegoro (th.1825-1830), yaitu ketika jaman Sri Paduka PB VI, ia diangkat
menjadi pegawai keraton sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom dengan gelar
Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang selanjutnya bertempat tinggal di Pasar
Kliwon. Dalam kesempatan itu, banyak sekali siswa-siswanya yang terdiri
orang-orang asing, seperti C.F Winter, Jonas Portier, CH Dowing, Jansen dan
lainnya. Dengan CF.Winter, Ranggawarsita membantu menyusun kitab
Paramasastra Jawa dengan judul Paramasastra Jawi. Dengan Jonas Portier ia
membantu penerbitan majalah Bramartani, dalam kedudukannya sebagai
redaktur.Majalah ini pada jaman PB VIII dirubah namanya menjadi Juru
Martani. Namun pada jaman PB IX kembali dirubah menjadi Bramartani.
Setelah neneknya RT. Sastranegara wafat pada tanggal 21 April 1844, R.Ng.
Ranggawarsita diangkat menjadi Kaliwon Kadipaten Anom dan menduduki jabatan
sebagai Pujangga keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1845. Pada tahun
ini juga, Ranggawarsita kawin lagi dengan putri RMP. Jayengmarjasa.
Ranggawarsita wafat pada tahun 1873 bulan Desember hari Rabu pon tanggal
24. Inalilahi waina ilahi rojiun.*
Sarah Serat Sabdo Jati Ronggo Warsito
SARAH SERAT SABDOJATI
Serat Sabdojati digubah oleh Pujangga Penutup tanah Jawa, Raden
Ngabehi Ranggawarsita pada 27 Oktober 1873. Gelar pujangga penutup
disematkan kepada Beliau karena keluasan pemikiran, dan yang lebih utama
karena kemampuannya dalam melahirkan karya-karya secara "utuh" serta
mendobrak "kesakralan" kepujanggaan yang selama ini menghegemoni khasanah
intelektual Jawa. Ia mempu memberikan sentukan dan terobosan-terobosan baru
dalam kesustraan Jawa Klasik. Dapat dikatakan, Beliaulah renaissance Sastra
Jawa.
Secara sematik, Sabdojati terdiri dari dua suku kata; sabda dan jati. Sabda
adalah ucapan yang berpetuah, sedangkan jati berasal dari kata sejati, yang
berarti kembali kepada hakikat; yang sesungguhnya. Jadi sabdojati dapat
diartikan sebagai hakikat sebuah petuah atau dapat juga diartikan sebagai
ucapan yang sesungguh-sungguh ucapan.
Serat Sabdajati adalah karya terakhir yang digubah oleh Ki Pujangga,
tepatnya delapan hari sebelum Ki Pujangga menghadap Sang Pujangga. Memuat
Sembilan belas tembang dengan lirik Megatruh. Megatruh sendiri berasal dari
dua suku kata, megat dan ruh. Megat berarti memisahkan, memutuskan,
sedangkan ruh diambil dari kosakata Bahasa Arab yang berarti roh. Jadi
megatruh berarti memutuskan hubungan selain daripadaNya, dengan
berkonsentrasi pada jalan pulang ke kehadirat Ilahi. Dengan kata lain
megatruh adalah sebuah sasmita, tanda-tanda, ketika ruh harus terpisah
dengan badan, dia harus bisa memisahka atau memutuskan segala hubungan yang
sifatnya keduniawian.
Untuk lebih jelasnya, berikut saya kutipkan kesembilan belas Pupuh Megatruh
dalam Serat Sabdajati dan sedikit penjelasan meski dengan segala
keterbatasan yang ada. Mohon bimbingan pada "Para Winasis" apabila ada
kesalahan baik dalam penerjemahan ataupun dalam penafsiran.
Megatruh
1. Hawya pegat ngudiya ronging budyayu, Margane suka basuki, Dimen luwar
kang kinayun, Kalis ing panggawe sisip, Ingkang taberi prihatos.
Janganlah berhenti, selalu berusaha berbuat kebajikan, agar mendapat
kegembiraan, keselamatan serta tercapai segala cita-cita, terhindar dari
perbuatan yang bukan-bukan, caranya haruslah gemar prihatin.
Ketika seseorang sudah menyadari akan keterbatasan usia di dunia,
hendaklah ia selalu berdaya upaya dalam berbuat kebajikan pada sesama.
Kebajikan yang ditebarkan, tidaklah secara spesifik terjutu pada satu
person atau satu golongan tertentu, tapi kebajikan yang ditebarkan
secara menyeluruh; menjadi rahmat sekalian alam.
Dengan menebarkan kebajikan, ia akan mendapatkan kegembiraan. Ketulusan
dari laku kebajikan akan membuahkan sebuah rasa senang dari si pemberi
dan si penerima. Perasaan tersebut sedemikian kuatnya hingga tak kan
ternilai dengan hal-hal yang sifatnya material. Ia tak terlukiskan
dengan kata-kata atau apa pun. Kegembiraan hakiki.
Perbuatan baik dapat membawa kita pada keselamatan. Dalam falsafah Jawa
kita mengenal pepatah "sapa nandhur bakal ngunduh", siapa yang menanam
akan menuai. Ketika kita menanam kebaikan, maka yang kita tuai adalah
kebaikan juga. Dan dalam kebaikan yang kita tanam itu akan memberi efek
baik pula pada lingkungan sekitarnya. Hal itu dapat menghindarkan kita
dari keinginan untuk berbuat buruk serta dapat memproteksi kita dari
keburukan yang akan menimpa kita.
Ketika kebaikan sudah berbuah kebaikan dan dapat menepis keburukan yang
ada, ia akan memuluskan jalan kita pada tujuan yang kita harapkan. Ia
akan memotivasi kita agar tetap pada jalan yang akan membawa kita pada
tujuan. Untuk lebih memudahkan pencapaian tujuan tersebut, hendaklah
kita selalu dalam laku prihatin, artinya selalu memproteksi diri pada
hal-hal selain yang mengarah pada tujuan, yaitu selalu berada pada
jalan keilahian. Laku prihatin dapat juga diartikan sebagai suluk.
2. Ulatna kang nganti bisane kepangguh, Galedehan kang sayekti, Talitinen
awya kleru, Larasen sajroning ati, Tumanggap dimen tumanggon.
Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama segala sesuatu
sebagaimana adanya. Telitilah jangan sampai salah, endapkan didalam hati,
agar mampu menangkap dan menempatkan.
Dalam menjalankan laku prihatin ini, hendaklah kita selalu membaca.
Membaca tanda, membaca rupa, membaca gejala. Pembacaan tersebut
hendaklah sedemikian teliti, hinga tak kan meninggalkan sekecil apa pun
hal yang terlewatkan. Hal itu disebabkan karena dari hal-hal yang kecil
itulah sebuah hakikat dari sesuatu biasa akan menampakkan dirinya.
Karena hakikat selalu tersembunyi pada hal-hal yang kelihatannya remeh;
pada hal-hal yang tak terduga.
Tidak sekadar membaca. Kita juga diharapkan mempu untuk memilah,
menyaring, untuk kemudian mengambilnya sebagai hikmah. Dalam memilah
kita menggunakan potensi akal, sedangkan dalam menyaring kita
menggunakan hati. Istilah yang dipakai dalam syair di atas, kita harus
mampu mengendapkannya di dalam hati, artinya hati haruslah dijadikan
pertimbangan utama dalam setiap langkah yang kita ambil.
Segala sesuatu yang telah dianalisa oleh akal, haruslah melalui
pengendapan di dalam hati sebelum kita mengambilnya sebagai sebuah
ilmu. Kedua proses inilah yang menjadi landasan kita dalam menangkap
realitas untuk kemudian menyikapinya. Dengan mengetahui segala sesuatu
sebagaimana adanya serta melalui pengendapan di dalam hati, akan
mempermudah kita di dalam menyikapi segalas sesuatu, serta mempunyai
kebijakan di dalam menempatkannya dalam segala situasi dan kondisi.
"Anggon mongso", pandai membaca situasi dan kondisi.
3. Pamanggone aneng pangesthi rahayu, Angayomi ing tyas wening, Eninging
ati kang suwung, Nanging sejatining isi, Isine cipta sayektos.
Cara menempatkannya adalah dengan senantiasa menyelaraskan dengan
keindahan, melindungi di dalam kejernihan hati. Kejernihan hati yang
kosong, namun sebenarnya berisi. Isinya adalah cipta yang sejati.
Hendaklah kita selalu menempatkan diri pada keindahan. Baik keindahan
di dalam maupun keindahan di luar. Keindahan di dalam adalah
keselarasan atau keharmonisan yang ada di dalam jiwa kita, sedangkan
keindahan di luar adalah keindahan yang berada di luar diri kita.
Keindahan di luar meliputi; keindahan warna, keindahan bentuk,
keindahan suara, dan keindahan rupa. Dalam laku spiritual, kita harus
berada dan meliputi keindahan, karena Tuhan menciptakan segala sesuatu
itu indah.
Endapkanlah setiap pikiran dalam memproteksi diri. Setiap pikiran,
seliar apa pun, haruslah diendapkan dulu di dalam hati, sebelum kita
menyikapi realitas yang tertangkap. Dengan cara seperti itu, setiap
pikiran yang muncul akan terkendalikan, karena selalu melelui proses
pengendapan. Endapan pikiran itulah yang kemudian "angayomi ing tyas
wening" memproteksi di dalam hati yang jernih.
Hendaklah kita mengosongkan hati kita dari segala sesuatu, bahkan
kosong dari kedirian kita sendiri. Kita harus dapat menghancurkan ego
kita, karena Hakikat Keindahan tidak akan menerima dualitas. Dia adalah
Maha Pencemburu, tak rela bila diduakan. Tiada tempat bagi aku dan
engkau. Yang ada hanyalah Dia. Itulah makna dari "suwung sejatining
isi", kosong tapi hakikatnya berisi. Dan isi dari kekosongan itu adalah
"cipta sayektos", Realitas Sejati.
4. Lakonana klawan sabaraning kalbu, Lamun obah niniwasi, Kasusupan setan
gundhul, Ambebidung nggawa kendhi, Isine rupiah kethon.
Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran hati. Sebab jika
bergeser (dari hidup yang penuh kebajikan) akan menderita kehancuran.
Kemasukan setan gundul, yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.
Segala bentuk laku, harus kita jalankan dengan penuh kesabaran hati.
Kesabaran di sini adalah sebentuk ketegaran dari tiap godaan yang
mungkin timbul dalam laku spiritual. Kita harus mampu memfokuskan tiap
daya, cipta, dan rasa kita pada satu titik tujuan, yaitu Kebenaran. Dan
kita haruslah meneguhkannya, jangan sampai bergeser sedikitpun pada
tujuan tersebut.
Kebergeseran dari tujuan, akan membawa kita pada penderitaan, bahkan
kehancuran. Penderitaan di sini bukanlah kekurangan akan gemerlapnya
harta dunia, tapi penderitaan akibat keterpisahan dari Sang Kekasih;
keberjarakan antara pecinta dan Kekasih. Keterpisahan akan menyebabkan
kerinduan, dan kerinduan itulah yang dimaksudkan dengan penderitaan.
Apabila kerinduan akibat keterpisahan itu berlarut, itulah kehancuran
yang sesungguhnya. Si pencinta selalu terpisah dari Sang Tercinta.
Idiom setan gundul dalam syair ini bukan hanya mengacu pada bentuk,
tapi juga tabiat dari setan gundul itu sendiri. Wujud Setan gundul
adalah sebentuk anak kecil dengan kepala gundul, tanpa sehelai pun bulu
yang menempel di tubuhnya, baik di wajah ataupun di bagian mana pun
dari tubuhnya. Ia licin dan lucu. Apabila tidak terbentuk suatu image
tentang setan gundul yang menggelikan, kita akan merasa tergoda untuk
bercanda bahkan berkawan dengan dia. Lucu dan menggemaskan.
Kebiasaan setan gundul adalah mencuri uang. Ia akan mempersembahkan
hasil curiannya pada majikan yang dipertuannya. Dalam syair di atas
setan gundul yang menggoda membawa kendi yang penuh berisi uang.
Sebentuk godaan duniawi yang sangat menggiurkan. Tidak membawa kendi
berisi uang pun, setan gundul sudah identik dengan penghasil uang,
apalagi bila ia membawa kendi yang penuh berisi uang. Jadi, idiom setan
gundul digunakan oleh Ki Pujangga sebagai bentuk godaan akan
gemerlapnya harta dunia.
5. Lamun nganti korup mring panggawe dudu, Dadi panggonaning iblis, Mlebu
mring alam pakewuh, Ewuh mring pananing ati, Temah wuru kabesturon.
Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan, sudah jelas akan menjadi
sarang iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, mamasuki alam
kecanggungan, tidak dapat berbuat dengan itikad hati yang baik, hingga
jiwanya menjadi terganggu.
Apabila kita tergoda pada perbuatan yang tidak mengarah pada tujuan
hidup kita, sudah pasti hati kita akan menjadi sarang iblis. Iblis
adalah makhluk yang selalu mengajak kita pada segala sesuatu yang dapat
membelokkan hati kita pada jalan keilahian. Sebuah kenaifan apabila
kita menempatkannya di dalam hati kita, kita akan selalu dibawanya pada
jalan yang akan menjauhkan kita pada Kebenaran.
Seseorang yang hatinya menjadi sarang iblis akan senantiasa mendapatkan
kesulitan dan kerepotan. Kesulitan dan kerepotan di sini bukanlah
kesulitan dan kerepotan dalam hal keduniawian. Bisa saja dia tercukupi
kebutuhan hidupnya. Kesulitan di sini adalah kesulitan dalam menemukan
jalan kebenaran, jalan keilahiahan. Karena iblis akan selalu berusaha
menutupi, bahkan membelokkan.
Kebenaran akan semakin terhijab. Ia akan menjadi orang yang serba
canggung; berbuat ini salah, itu salah, hingga tidak ada keberanian
untuk melakukan sesuatu karena selalu dihantui pada kesalahan-
kesalahan. Hal itu terjadi karena dalam tiap tindakannya tidak didasari
pada pengendapan atau penyaringan di dalam hati. Ketakutan yang
menghantui dirinya, pada titik tertentu akan menbuat jiwanya menjadi
terganggu. Ia tidak akan bisa berpikir secara jernih, apalagi
menggunakan hatinya sebagai penyaring. Hatinya akan mati, ia akan
menjadi orang yang tanpa perasaan.
6. Nora kengguh mring pamardi reh budyayu, Hayuning tyas sipat kuping,
Kinepung panggawe rusuh, Lali pasihaning Gusti, Ginuntingan dening Hyang
Manon
Bila sudah terlanjur demikian, tidak tertarik terhadap perbuatan yang
menuju kepada kebajikan. Segala yang baik-baik lari dari dirinya, sebab
sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek. Sudah melupakan cinta
kasih Tuhan. Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping dari dirinya.
Orang yang sudah terlanjur terganggu kejiwaannya akibat hatinya telah
menjadi sarang iblis, ia tidak akan tertarik pada perbuatan yang dapat
membawanya kepada kebajikan. Hatinya telah dikuasai oleh iblis, dan
hati adalah sentral dari seluruh organ tubuh. Jadi seluruh organ
tubuhnya akan senantiasa dikendalikan oleh iblis. Sinonim dari iblis
adalah kesesatan dalam pembangkangan.
Segala kebajikan akan menjauh darinya, karena iblis akan selalu
membawanya menjauh dari kebajikan tersebut. Jiwa dan raganya sudah
dikuasai oleh kekuatan keburukan, ia akan menolak segala kebaikan yang
mendekatinya.
Kesadaran akan keberadaan ketuhanan sudah terlupakan, bahkan hilang
sama sekali dari dalam dirinya. Ia tidak lagi menyadari cinta kasih
Tuhan yang selalu mencintai dan mengasihinya. Sedemikian kuat iblis
menguasai hati seseorang hingga mampu menolak kesadaran akan cinta
kasih Tuhan.
Semua ajaran yang pernah diterimanya tentang Tuhan, sudah musnah dari
dirinya. Ia menjadi serpihan yang tak kan bisa tersusun lagi menjadi
sebuah bentuk. Semua jalan yang pernah ia kenal dalam menuju ke
kehadirat Ilahi, sudah terlupakan, bahkan hilang sama sekali.
7. Parandene kabeh kang samya andulu, Ulap kalilipen wedhi, Akeh ingkang
padha sujut, Kinira yen Jabaranil, Kautus dening Hyang Manon.
Namun demikian yang telah "melihat", matanya bagai kemasukan pasir, banyak
yang menyerah pada keadaan, menganggap bahwa Jabaranil adalah utusan Tuhan.
Bagi orang yang "melihat" kebaikan dan keburukan di muka bumi, ia masih
tidak mampu untuk membedakannya. Tidak mampu memilah; mana yang baik
dan mana yang buruk, mana yang nyata dan mana yang semu. Karena
demikian tipis bedanya. Orang yang melihat bagaikan matanya kemasukan
pasir. Ia tidak akam mampu mengamati dengan teliti karena terhalang
oleh keragu-raguan pada dirinya.
Tak sedikit mereka yang menyerah pada keadaan. Yang terjadi biarlah
terjadi, dan tidak berusaha untuk peduli. Ia hanya mementingkan
kepentingannya sendiri. Dengan kata lain, ia hanya memperhatikan
keindahan di dalam, tanpa memperhatikan keindahan di luar. Ia tidak
sadar, keindahan di luar juga sangat berpengaruh di dalam spiritualitas
seseorang. Ketidakpedulian terhadap lingkungan sekitar akan memunculkan
egoisme, kedirian. Dan ego tidak akan mungkin dapat mendekat pada
Kebenaran.
Jabaranil adalah satu sosok person yang penuh misteri. Dia berwujud
sesosok manusia yang mengaku mendapatkan wahyu keilahiahan dan mendapat
wewenang untuk membimbing manusia ke jalan "yang benar". Ia pandai
merayu dengan iming-iming gemerlapnya harta dunia bahkan kebahagiaan di
akhirat kelak. Ia juga pandai memutarbalikkan fakta, hingga tiada lagi
batas antara kesesatan dan kebenaran; dia sesat dan menyesatkan. Itulah
kenapa saya tetap menggunakan bahasa aslinya, tidak mencoba untuk
menterjemahkannya. Angapan bahwa Jabaranil adalah utusan Tuhan, bermula
dari ketidakmampuan dalam pemilahan, hingga yang semu dianggap nyata.
Fenomena ini di kemudian hari kita kenal dengan istilah "nabi palsu".
Kunci dari syair ini adalah pada kata "andulu". Andulu secara harfiah
bermakna melihat. Tapi dapat juga dipakai untuk maksud mendeteksi
dengan indera. Jadi, syair ini adalah salah satu bentuk kritisisasi
terhadap keterbatasan indera. Indera hanya mampu menangkap realitas
dengan batas-batas tertentu saja. Ia tidak mempunyai kemampuan untuk
memaknai, apalagi memahamkan.
8. Yeng kang uning marang sejatining dawuh, Kewuhan sajroning ati, Yen
tiniru ora urus, Uripe kaesi-esi, Yen niruwa dadi asor
Namun bagi yang menyadari akan hakikat perintah, sebenarnya repot didalam
pikiran melihat contoh-contoh tersebut. Bila diikuti hidupnya akan tercela,
akan disia-siakan, akhirnya menjadi sengsara.
Bagi yang menyadari akan keberadaan Relaitas Sejati, ia juga akan
mengerti tentang apa yang sebenarnya diinginkanNya. Namun ia juga tidak
luput dari kebingungan di dalam dirinya. Ia akan mengalami kesulitan di
dalam mengungkapkan pengalaman-pengalaman spiritualnya. Keinginan untuk
menyampaikan kebenaran terhalang oleh minimnya bahasa untuk
menjelaskannya.
Pengalaman spiritual yang dialaminya sendiri, sangatlah berbeda dengan
realitas yang tampak di dunia. Dan apabila dia sudah tidak mampu lagi
membendung "kebenaran" tersebut, maka kebenaran itu dengan sendirinya
akan keluar dari dalam dirinya, baik melalui ucapan ataupun melalui
perbuatan. Baik hal itu disadari ataupun tidak. Kebenaran akan keluar.
Ketidaksiapan orang-orang di sekitarnya dalam menerima kebenaran
tersebut, akan menyebabkan ia dikucilkan dari masyarakat. Dianggap
gila, tidak waras, bahkan dianggap sesat. Ia akan disia-siakan oleh
masyarakat. Hal itulah yang membuatnya mengalami penderitaan di dunia.
9. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung, Anggelar sakalir-kalir, Kalamun
temen tinemu, Kabegjane anekani, Kamurahane Hyang Manon.
Tidak percaya kepada kegaiban Ilahi, yang menitahkan bumi dan langit, siapa
yang berusaha dengan setekun-tekunnya dalam menemukan kebenaran, ia akan
memegang keberuntungan. Semua itu karena kemurahhatian Tuhan.
Itulah hukuman bagi orang yang tidak mampu menyimpan rahasia Ilahi. Ia
mengungkapkan kebenaran tidak pada tempatnya. Ia tidak menyadari,
kebenaran yang diperolehnya adalah hadiah yang disematkan untuk dirinya
sendiri. Agar dia selalu terbimbing di dalam jalan keilahiahan.
Tuhanlah yang menitahkan bumi dan langit, dan Dia berkuasa penuh
atasnya. Hanya Dialah yang mampu menyingkapkan kebenaran, karena Dia
adalah Kebenaran itu sendiri.
Siapa pun yang dengan segala daya dan upaya berusaha dalam menemukan
Kebenaran, ia akan menemukannya. Dan dia akan memegang Kebenaran
tersebut dengan kuat, tak ingin melepaskannya lagi.
Itulah orang-orang yang beruntung; yaitu orang yang telah menemukan
Kebenaran dan memegangnya. Ia menjadikan Kebenaran sebagai pegangan
dalam tiap langkah yang diambilnya dalam menapaki kehidupan di dunia.
Semua itu ia dapatkan karena kemurahhatianNya. Tidak lain.
10. Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun, Yen temen-temen sayekti, Dewa aparing
pitulung, Nora kurang sandhang bukti, Saciptanira kelakon
Selalu memenuhi permohonan bagi yang meminta, bila dilakukan dengan setulus
hati. Tuhan akan selalu memberi pertolongan, tidak kurang bukti-bukti yang
tampak, sekehendaknya akan tercapai.
Tuhan akan mengabulkan setiap permintaan apabila itu dilakukan dengan
kesungguhan. Kesungguhan di sini bukan hanya dari segi pengucapan
ataupun niatnya saja, tapi haruslah dibarengi dengan ketulusan dalam
tindakan. Ia haruslah berusaha sekuat tenaga meraih apa yang menjadi
idam-idamannya. Itulah makna dari "sayekti". Dan Tuhan akan selalu
memberikan pertolongannya pada orang yang "sayekti".
Sudah banyak bukti yang tergelar di hadapan kita tentang pertolongan
Tuhan tersebut. Orang yang dengan kuat memegang Kebenaran, apa yang
diinginkannya akan tercapai. Karena dia sudah lebur di dalam Kebenaran
itu sendiri, hingga sudah tidak ada lagi dia, yang ada adalah Dia,
dengan D besar. Maka tidaklah dia melempar ketika dia melempar, tapi
Dia yang melempar. Tidaklah dia berkehendak ketika dia berkehendak,
tapi Dialah yang berkehendak.
11. Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur, Saka pengunahing Widi, Ambuka
warananipun, Aling-aling kang ngalingi, Angilang satemah katon
Sambil memberi petuah, Ki Pujangga dengan izin Tuhan akan membuka selubung
yang menjadi rahasia Tuhan. Selubung yang menutupi sebuah rahasia, sehingga
dapat diketahui.
Dengan seizin Tuhan, Ki Pujangga selain memberikan petuah-petuah
tentang kesempurnaan hidup, juga akan membuka sebuah selubung yang
selama ini menjadi rahasia Tuhan. Ia akan berusaha membukanya hingga
tidak ada lagi yang menutupinya. Membuka rahasia yang selama ini
tertutupi dan menyingkapkannya kepada khalayak.
12. Para jalma sajroning jaman pakewuh, Sudranira andadi, Rahurune saya
ndarung, Keh tyas mirong murang margi, Kasekten wus nora katon
Manusia-manusia yang hidup didalam zaman canggung, cenderung merusak.
Kerusakan yang ditimbulkannya makin menjadi-jadi. Banyak pikiran-pikiran
yang tidak berjalan diatas rel kebenaran, kasekten sudah tidak tampak.
Syair ini menggambarkan bagaimana terjadinya zamam "pakewuh", Zaman
Canggung; zaman serba salah. Zaman ini dicirikan dengan kecenderungan
pada manusia yang hidup di zaman itu untuk melakukan pengrusakan di
mana-mana. Dan kerusakan yang ditimbulkannya sedemikian hebat hingga
tidak mungkin lagi untuk ditanggulangi.
Dalam zaman "pakewuh", banyak pikiran orang-orang yang sudah tidak
berjalan lagi pada rel kebenaran. Mereka sudah dirasuki oleh nafsu
angkara, hingga tak sedikit pun kebenaran terbersit di dalam dirinya.
Kebenaran seolah-olah sudah lenyap dari muka bumi.
Kasekten sudah tidak Nampak di muka bumi. Sengaja saya tidak berusaha
menterjemahkan kata kasekten, karana takut memberikan pemahanam yang
keliru pada kata tersebut. Secara harfiah, kasekten diterjemahkan
sebagai kesaktian. Dalam kata kesaktian, kita akan terbawa pada suatu
sosok yang penuh dengan daya magis hingga mempu melakukan perbuatan
yang tidak masuk akal. Tapi keterangan ini juga masih rancu, terutama
bila dibandingakan dengan ahli klenik dan ahli magis.
Kasekten biasanya didapat dari sebuah laku. Dalam laku tersebut,
seseorang haruslah mampu melewati tahap-tahap tertentu dalam olah jiwa
dan raga. Kasekten adalah hasil maksimal yang diperoleh sang tapa dalam
laku. Dengan kasekten yang diperolehnya, ia akan menjadi orang yang
bijak, mampu memaksimalkan kekuatan fisik sekaligus kekuatan batinnya.
13. Katuwane winawas dahat matrenyuh, Kenyaming sasmita sayekti, Sanityasa
tyas malatkunt, Kongas welase kepati, Sulaking jaman prihatos
Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin dalam diri orang yang
mempunyai kasekten, merasakan sasmita tersebut, senantiasa merenung.
Angkara murka sudah mengalahkan cinta kasih. Zaman penuh keprihatinan
tersebut.
Melihat tanda-tanda yang diberikan Sang Waktu, para bijak semakin
prihatin. Ia makin tenggelam dalam perenungan. Kekacauan, kejahatan,
dan pengrusakan sudah mencapai puncaknya.
Angkara murka sudah merasuk dalam diri manusia yang hidup pada zaman
itu. Tak ada lagi cinta kasih tercermin dalam perbuatan manusia. Tanda-
tanda zaman jelas-jelas memprihatinkan.
14. Waluyane benjang lamun ana wiku, Memuji ngesthi sawiji, Sabuk tebu lir
majenum, Galibedan tudang tuding, Anacahken sakehing wong
Zaman Canggung itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877
(Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1. Itu bertepatan dengan tahun Masehi
1945). Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang
gila, hilir mudik menunjuk kian kemari, seolah menghitung banyaknya orang.
Ki Pujangga meramalkan berakhirnya Zaman Canggung itu adalah pada tahun
saka 1877, yang bertepatan dengan tahun 1945 masehi. Hal itu sudah
terbukti dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tahun
tersebut.
"Wiku memuji ngesti sawiji", selain menunjukkan suatu angka tahun, juga
merupakan kalimat yang mengandung suatu makna. Wiku berarti pertapa;
memuji berarti memuja atau mengagungkan; ngesti berarti memproteksi
diri demi satu tujuan mulia; sawiji berarti manunggal. Jadi wiku memuji
ngesti sawiji dapat diartikan sebagai seorang pertapa yang mengagungkan
nama Tuhan dengan suatu laku agar dia dapat manunggal dalam keilahian.
Ia juga meramalkan munculnya seorang tokoh yang berikat pinggang tebu.
Idiom tebu biasa digunakan oleh orang-orang Jawa untuk menggambarkan
seseorang yang mempunyai kebulatan tekat. Tebu berasal dari kata
"anteping kalbu", kebulatan batin. Orang yang berikat pinggang tebu
adalah orang yang mampu menyatukan segala daya dan upayanya untuk satu
tujuan demi keluhuran jiwa. Ikat pinggang biasa digunakan untuk
melambangkan orang yang bisa menyatukan massa; menyatukan orang-orang,
untuk satu tujuan. Dalam konteks ini adalah kemerdekaan Indonesia.
Tokoh tersebut digambarkan seperti orang gila. Idiom orang gila biasa
digunakan untuk orang yang terobsesi oleh idealimenya. Ia demikian
terhegemoni hingga semua ucapan dan tingkah lakunya mengarah pada
tujuannya tersebut. Dalam syair ini Ki Pujangga menggunakan kata
Majnun, sebuah nama yang tidak asing lagi di dunia tasawuf. Majnun
adalah tokoh yang tergila-gila pada Laila; seorang lelaki pemuja
wanita. Kalau mau kita artikan lebih dalam, Majnun dapat pula kita
maknai sebagai seseorang yang terobsesi oleh kegelapan; terpesona oleh
"gaibing Hyang Agung".
Sang tokoh juga digambarkan selalu hilir-mudik menunjuk kian kemari,
seolah menghitung banyaknya orang. Ini menggambarkan seorang orator
ulung yang dalam tiap orasinya selalu mendapatkan sambutan massa. Dari
sini saya mulai mencurigai seorang tokoh yang kharismanya sama persis
dengan tokoh yang digambarkan dalam syair tersebut. Dia adalah bapak
proklamator kita, Soekarno. Besar kemungkinan Beliaulah yang diramalkan
sebagai Majnun oleh Ki Pujangga.
15. Iku lagi sirap jaman Kala Bendu, Kala Suba kang gumanti, Wong cilik
bisa gumuyu, Nora kurang sandhang bukti, Sedyane kabeh kelakon
Disitulah baru mereda Zaman Kala Bendu. Diganti dengan Zaman Kala Suba.
Rakyat kecil bersuka ria, inilah tanda-tanda sebagai bukti bermulanya suatu
zaman. Tercapai satu tujuan bersama.
Pada saat berakhirnya Zaman Canggung, maka mulai meredalah zaman "Kala
Bendu". Zaman kala bendu adalah zaman yang digambarkan dengan kekacauan
dan pengrusakan yang demikian dahsyat, lebih dahsyat dari yang terjadi
pada Zaman Canggung. Kedahsyatan Zaman Kala Bendu sering digambarkan
dengan "bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap", bumi mengalami
kegoncangan yang dahsyat hingga langit menjadi tergetar.
Meredanya Zaman Kala Bendu adalah pertanda mulainya Zaman Kala Suba.
Zaman Kala Suba digambarkan dengan kesuka-riaan rakyat kecil karena
sudah terbebas dari penindasan. Mereka mulai menjalankan aktivitasnya
dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan damai. Roda
perekonomian mulai terbangun. Kebutuhan akan sandang dan pangan
tercukupi. Bukti inilah yang menguatkan tercapainya satu tujuan
bersama, yaitu kemerdekaan. Bermulanya suatu babak baru, keterbebasan
dari penjajahan.
16. Pandulune Ki Pujangga durung kemput, Mulur lir benang tinarik, Nanging
kaseranging ngumur, Andungkap kasidan jati, Mulih mring jatining enggon
Sayang sekali "penglihatan" Ki Pujangga belum sampai tuntas, bagaikan
menarik benang dari ikatannya. Namun karena umur sudah tua sudah merasa
hampir datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.
Syair ini menggambarkan suatu penyesalan dari Ki Pujangga, karena
Beliau tidak sempat "melihat" tanda-tanda hingga tuntas karena
keterbatasan umur. Ia tidak sempat menarik benang hingga tuntas dari
ikatannya. Masih ada rahasia yang belum sempat ia ungkapkan; sebuah
mesteri.
Beliau sudah melihat batas akhir dari hidupnya di dunia melalui mata
batinnya, "kasidan jati", tanda-tanda yang jelas; tidak ada keraguan di
dalamnya. Ia harus berpulang ke haribaan Hyang Agung.
17.Amung kurang wolung ari kang kadulu, Tamating pati patitis, Wus katon
neng lokil makpul, Angumpul ing madya ari, Amerengi Sri Budha Pon.
Yang terlihat hanya kurang 8 hari lagi, sudah ditentukan waktunya. Jelas
tertulis di Laufil Magfuz. Kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari
Rabu Pon.
Batas akhir hidup Ki Pujangga tinggal delapan hari lagi sejak syair ini
digubah. Akhir hayat seseorang sudah ditentukan. Ia tidak bisa mengelak
atau menangguhkan. Ia harus menghadap pada waktu yang telah ditentukan.
Seluruh catatan tentang perjalanan hidup seseorang sudah jelas tertulis
di Laufil Magfuz. Tidak ada satu pun kejadian yang terlewatkan dari
catatan tersebut. Seluruh makhluk masing-masing mempunyai catatan di
sana, tak terkecuali.
Dari sasmita yang diterima, Ki Pujangga mengetahui bahwa ia harus
menghadap Tuhannya tepat pada hari Rabu Pon.
18. Tanggal kaping lima antarane luhur, Selaning tahun Jimakir, Taluhu
marjayeng janggur, Sengara winduning pati, Netepi ngumpul sak enggon
Tanggal 5 bulan Sela tahun Jimakir Wuku Tolu, Windu Sengara, kira-kira
waktu Lohor. Ketika matahari tepat di tengah-tengah. Tiada mungkin
mengangguhkan kematian. Itulah saat yang ditentukan Ki Pujangga menyatu
dalam Ketunggalan.
Waktu yang ditentukan itu adalah tanggal 5 Bulan Sela (Dulkangidah)
Tahun Jimakir Wuku Tolu Sindu Senggara dalam perhitungan Tahun Saka,
bertepatan dengan tanggal 24 Desember tahun 1873 Masehi, kira-kira pada
tengah hari (waktu Lohor).
"Netepi kumpul sak enggon", dapat juga diartikan dengan "Manunggal".
Dari sini jelas bahwa kematian bagi Ki Pujangga adalah saat yang sangat
dinanti-nantikannya, karena ia akan menyatu dengan Hyang Agung. Saat
kekasih menyatu dengan Sang Kekasih.
19. Cinitra ri budha kaping wolulikur, Sawal ing tahun Jimakir, Candraning
warsa pinetung, Sembah mekswa pejangga ji, Ki Pujangga pamit layoti
Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802. Ki
Pujangga pamit pada jasad. (Sembah=2, Muswa=0, Pujangga=8, Ji=1, bertepatan
dengan tahun masehi 1873).
Karya ini ditulis sebagai bentuk permohonan pamit Ki Pujangga sebelum
Beliau berpulang ke haribaan Hyang Agung. Ditulis pada hari rabu,
tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802, bertepatan dengan tanggal 27
Oktober tahun 1873 Masehi.
Dalam menulis angka tahun, Ki Pujangga menggunakan kalimat "Sembah
mekswa pejangga ji". Sembah dapat diartikan sebagai penghormatan yang
setinggi-tingginya; mekswa berasal dari kata muswa, kembali kepada
kesucian, kekosongan; pejangga dari kata pujangga yang makna harfiahnya
adalah ular. Kata pujangga biasa digunakan untuk orang yang mempunyai
kebijaksanaan yang demikian panjang dan lentur dalam menyikapi setiap
permasalahan, ia bijak dalam membaca situasi dan kondisi, dan tahu
bagaimana dan dimana menempatkan kebijakan yang ada padanya. Biasanya
kata pujangga digunakan untuk merujuk pada orang bijak bestari. Kata ji
berasal dari kata sawiji yang merujuk pada ketunggalan. Jadi, kalimat
tersebut kira-kira berarti "penghormatan yang setinggi-tingginya dari
Ki Pujangga untuk seluruh makhluk yang akan ditinggalkannya di dunia.
Dia sendiri sudah memasuki alam kehampaan, di mana kediriannya sudah
musnah dan melebur dalam Ketunggalan. Ia akan berpulang ke haribaan
Sang Pujangga".
"Pamit layoti" adalah sebentuk ucapan perpisahan pada jasad yang akan
ditinggalkan. Kalimat ini ditujukan Ki Pujangga pada jasad yang selama
ini telah menampung "diri" dan dengan setia menemaninya selama hidup di
dunia. Ada kesan Ki Pujangga memberikan penghargaan dan terimakasih
sedalam-dalamnya pada jasad yang telah menampungnya. Hal itu menandakan
bahwa ia menjaga keharmonisan antara lahiriah dan batiniah; keindahan
di dalam sekaligus keindahan di luar, syarat utama dalam laku
spiritual.
Selamat berbahagia dalam "Penyatuan" Ki Pujangga, Sabdojatimu menjadi
suluh dalam gelapku.
senja kertamukti juli dua enam ribu delapan.
" "
" "
" "
" "
"Ramalan 7 Satria Ronggowarsito "
" "
" "
" "
" "
" "
" "
" "
" "
" "