REINTERPRETASI TAFSIR HADITS: PENCIPTAAN PEREMPUAN DARI TULANG RUSUK LAKI-LAKI? Oleh : Muazzatun Adawiyah, M.S.I.1 Abstract : This paper discusses the hadith about the creation of women from men's ribs, so the question is what does not.? There is a difference of opinion among scholars about on this tradition, although this hadith is agreed upon in terms of chains and ahad hadith saheeh. Place the differences of the scholars is located at Matan hadith. Key words : Tafsir Hadis, Penciptaan Perempuan, Tulang Rusuk Laki-Laki A. Pendahuluan Perbedaan gender yang melahirkan ketidakadilan bahkan kekerasan terhadap perempuan, pada dasarnya merupakan konstruksi social budaya yang terbentuk melalui proses yang panjang. Namun karena konstruk social budaya semacam itu telah menjadi “kebiasaan” dalam waktu yang sangat lama, maka perbedaan gender tersebut menjadi keyakinan dan idiologi yang mengakar dalam kesadaran masing-masing individu, masyarakat, bahkan Negara sekalipun. Perbedaan gender dianggap sebagai ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah dan bersifat kodrati. Dan tidak dapat disangkal bahwa salah satu penyebab yang melanggengkan konstruksi social budaya yang mengakibatkan ketidakadilan gender tersebut adalah pemahaman agama. Agama Islam sendiri, menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi sejajar. Islam datang mendobrak budaya dan tradisi
patriarkhi bangsa Arab, bahkan dapat dikatakan dengan cara
revolusioner. Tradisi Arab pada saat itu secara umum menempatkan perempuan hampir sama dengan hamba sahaya dan harta benda. Mereka biasa mengubur hidup-hidup bayi perempuan, tidak memberi hak waris kepada perempuan, poligami dengan belasan istri, dan membatasi hak-hak perempuan baik dalam wilayah public maupun domestic.2 Islam datang dengan mengecam penguburan bayi-bayi perempuan, membatasi poligami, memberikan hak waris dan hak-hak lain kepada perempuan sesusai dengan fungsi dan peran social 1
Dosen Tafsir Hadis STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang Q.S. an-Nahl (16):58-59, menggambarkan nilai perempuan dalam pandangan orang-orang Arab waktu itu dengan pernyataan: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi khabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan atau akan menguburnya hidup-hidup ke dalam tanah? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” 2
perempuan saat itu. Dengan demikian semangat dan pesan universal yang dibawa Islam pada dasarnya adalah persamaan antara laki-laki dan perempuan serta berusaha menegakkan keadilan gender dalam masyarakat.3 Semangat Islam seperti itu kemudian diinterpretasi dan dipahami oleh orang-orang (Arab) yang mempunyai budaya dan idiologi patriarkhi, sehingga hasil penafsiran mereka menempatkan perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Penafsiran yang bias gender tersebut tidak hanya terjadi pada hal-hal yang spesifik tetapi juga pada hal-hal yang sangat mendasar seperti masalah awal penciptaan perempuan. Dengan penafsirannya, mereka meyakini bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga sejak semula perempuan bersifat derivative dan sekunder: perempuan diciptakan hanya sebagai pelengkap dan untuk melayani laki-laki. Jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan tidak setara oleh Allah, maka selamanya mereka tidak dapat menjadi setara. Pemahaman seperti ini kemudian menjadi keyakinan dan idiologi yang melekat dalam pikiran masyarakat. Dalam masyarakat Islam, keyakinan seperti itu disamping pengaruh dari luar Islam timbul dari penafsiran teks hadits yang menyatakan perempuan diciptakan dari tuklang rusuk laki-laki, yang diyakini sebagai sabda Nabi saw. Oleh karena itu, tulisan ini akan berusaha mengadakan pengkajian mendalam, baik dari segi sanad maupun matan hadits.
B. Matan Hadits Hadits ini diriwayatkan dengan matan yang berbeda-beda. Namun apabila dicermati, matan-matan hadits tersebut secara umum memiliki dua macam arti, yaitu (1) menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, (2) menggambarkan bahwa perempuan seperti tulang rusuk. Disini akan dikemukakan tiga macam matan hadits, yang semuanya berasal dari Shahih al-Bukhari. Pengutipan tiga macam hadits dari satu kitab ini untuk menunjukkan bahwa tiga macam matan hadits yang berbedabeda tersebut pada dasarnya merupakan satu hadits yang sama, atau dengan kata lain Nabi saw hanya mengatakan satu kali tetapi kemudian diriwayatkan dengan matan yang berbeda-beda. Ketiga matan hadits tersebut yaitu:
3
Lihat misalnya, Q.S. al-Hujurat(49): 13, Ali Imran(3): 195, an-Nisa‟(4): 124, dan at-Taubah(9): 71.
استْصْاباالٌساء فاءى الوراة خلقت هي ضلع ّاى اعْج شىء فى الضلع اعالٍ فاءى ذُبت تقٍوَ كسرتَ ّاى تركتَ لن ٌزل اعْج فاستْصْا بالٌساء “Saling berpesanlah kalian (bermakna:tawsāau) untuk berbuat baik kepada kaum perempuan, karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian yang paling atas. Maka jika kamu berusaha untuk meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya, dan jika kamu membiarkan sebagaimana adanya, maka ia kanan tetap dalam keadaan bengkok. Maka saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada kaum perampuan.” الوراة كالضلع اى اقوتِا كسرتِا ّاى استوتعت بِا استوتعت بِا ّفٍِا عْج “perempuan bagaikan tulang rusuk, jika kamu berusaha meluruskannya, kamu akan mematahkannya. Dan jika kamu ingin mengambil manfaat darinya, maka kamu akan memperoleh manfaat itu sementara dia dalam keadaan bengkok.” ٍهي كاى ٌؤ هي باهلل ّالْم االخر فال ٌؤذي جارٍ ّاستْصْا بالٌساء خٍرا فاءًِي خلقي هي ضلع ّاى اعْج شًء فً الضلع اعال فاءى ذُبت تقٍوَ كسرتَ ّاى تركتَ لن ٌزل اعْج فاستْصْا بالٌساء خٍرا “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka janganlah menyakiti tetangganya, dan saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada kaum perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian paling atas. Maka jika kamu berusaha meluruskannya kamu akan mematahkannya, dan jika kamu membiarkannya ia akan tetap dalam keadaan bengkok. Maka saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada kaum perempuan.” Setelah melihat ketiga matan hadits di atas, dapat dikatakan bahwa matan hadits pertama dan ketiga (yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk) berbeda dengan matan hadits kedua (prempuan bagaikan tulang rusuk), atau dengan kata lain kedua macam matan hadits tersebut, yaitu antara matan pertama dan ketiga dengan matan kedua, merupakan hadits yang berdiri sendiri. Memang dapat dikatakan demikian apabila hanya dilihat dari riwayat al-Bukhari. Namun apabila dilihat juga dari riwayat yang lain, riwayat Ibnu Hanbal misalnya, akan didapatai bahwa matan haditsnya sama dengan matan hadits pertama dan ketiga, namun jalur sanadnya hampir sama dengan jalur sanad hadits kedua dan berbeda sama sekali dengan jalur sanad hadits pertama dan ketiga (lihat lampiran). Hal ini jug diperkuat oleh kenyataan bahwa sebagian besar hadits ini diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah, bahkan riwayat al-Bukhari dan Muslim semuanya berasal dari Abu Hurairah. Sementara itu, riwayat dari selain Abu Hurairah, terutama dari Abu Zarr, juga mempunyai matan yang berbedabeda (lihat lampiran). C. Sanad Hadits
Hadits diatas diriwayatkan oleh lima penyusun kitab hadits, yaitu al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, Ahmad Ibnu Hanbal, dan ad-Darimi, dengan jalur sanad yang berbeda-beda. Sementara sahabat yang meriwayatkan hadits ini ada empat orang, yaitu Abu Hurairah, „Aisyah, Samrah, dan Abu Zarr. Kelima penyusun kitab hadits tersebut semuanya meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah. Sementara jalur „Aisyah dan Samarah hanya diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Hanbal dan jalur Abu Zarr disamping diriwayatkan oleh Ahmad juga oleh ad-Darimi. Untuk meringkas pembahasan tentang sanad hadits, dalam tulisan ini hanya diteliti dua jalur sanad sebagai sampel, yaitu dari riwayat al-Bukhari dan dari riwayat Muslim. Supaya dapat dilihat secara jelas, kedua jalur periwayatan tersebut digambarkan dalam bentuk skema sanad hadits. Skema Sanad hadits Nabi Muhammad SAW Abu Hurairah Al-A‟raj (3) Abu az-Zinad (3)
Malik (2) Abd al-Aziz Ibn Abdullah (3) Al-Bukhari
Abu Hazim (3) Maysarah(3)
Zaidah (3) Husain Ibn Ali Abu Bakar Ibn Ali Syaibah Muslim
Dari skema sanad diketahui bahwa baik riwayat al-Bukhari maupun Muslim sama-sama berasal dari Abu Hurairah. Hanya saja al-Bukhari melalui jalur sanad al-A‟raj_az-Zinad_Malik_‟Abd al-Aziz Ibn Abdullah, sementara Muslim melalui jalur sanad Abu Hazim_Maysarah_Zaidah_Husain Ibn „Ali Bakr Ibn Abi Syaibah. Dalam tulisan ini, penilaian mengenai sahabat mengikuti pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil (as-sahābah kulluhum „udūl), dalam arti mereka tidak mungkin berdusta dalam meriwayatkan hadits dari Nabi, sehingga tidak perlu dilakukan
penilaian terhadap mereka.4 Karena itu, penilaian ta‟dil dan tarjih hanya dilakukan terhadp para periwayat setelah sahabat, dalam hal ini adalah setelah Abu Hurairah. Pada skema sanad di atas, semua periwayat yang ada pada dua jalur sanad tersebut memiliki nilai ke-siqah-an dalam peringkat (martabah) yang tinggi, sebagainana yang ditunjukkan dengan angka dalam kurung. Peringkat-peringkat tersebut adalah peringkat pertama (mā ra‟aitu afdala minhu, mā ra‟aitu atqana minhu), peringkat kedua (siqah ma‟mūn-wara‟-faqîh-„ālim-hujjah), dan peringkat ketiga (siqah, siqah imam fî al-hdîs, dan siqah sahib as-sunnah). Di samping itu masing-masing periwayat saling bertemu (liqa‟), atau setidaknya sejaman (mu‟āsarah) dengan periwayat sebelum dan sesudahnya, karena masing-masing periwayat tersebut menerima riwayat (tahammul) dari periwayat sebelumnya dan meriwayatkan (ada‟) kepada periwayat sesudahnya.5 Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa hadits yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, mempunyai sanad yang bernilai shahih (shahih al-isnād). Namun demikian suatu hadits dipandang shahih apabila memang terbukti shahih baik sanad maupun matannya. Karena itu, berikut akan dilihat bagaimana pandangan para ulama dan sarjana mengenai matan hadits tersebut.
D. Pandangan Ulama tentang Matan Hadits Hadits dan al-Qur‟an merupakan sumber ajaran Islam yang paling otoritatif. Namun al-Qur‟an dan hadits sebagai sebuah teks sangat terbuka untuk diinterpretasi dari berbagai sudut pandang. Hasil interpretasi dari al-Qur‟an dan hadits tentu saja bukan al-Qur‟an dan hadits itu sendiri, karena hasil interpretasi pada dasarnya merupakan hasil dialog antara teks dengan penafsir yang dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, politik, bahkan kepentingan-kepentingan tertentu dari penafsir. Karena itu interpretasi dari satu teks al-Qur‟an dan hadits dapat menghasilkan beragam penafsiran. Disamping itu hadits Ahad, tidak seperti al-Qur‟an dan hadits mutawatir, karena kepastian datang dari Nabi masih bersifat dugaan (dzanni al-Wurūd) maka ulamapun sering berbeda pendapat untuk dapat menerimanya.
4
5
Muhammad „Ajjaj al-Khatib, Ūsul al-Hadits: „Ulūmuh wa mustalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 392.
Bandingkan Ibid., hlm. 275-276. Penilaian di atas didasarkan pada Ibn Hajar al-Asqalani, Tahzîb (T. pt.: Dar al-Fikr, 1984). Masing-masing periwayat tersebut adalah al-A‟raj, XII: 76, Abu az-Zinad, V: 178-179, Malik, X: 5-8, dan Abd al-Aziz Ibn Abdullah, VI: 308 dari jalur periwayatan al-Bukhari. Sementara dari jalur periwayatan Muslim adalah Abu Hazim, IV: 123, Maysarah, X: 345, Zaidah, III: 264, Husain ibn „Ali, II: 308, dan Abu Bakar Ibn Abi syahibah, VI: 3-4.
Mengenai hadits yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk ini karena merupakan hadits ahad (walaupun sanadnya shahih) para ulama dan sarjana masih berbeda pendapat mengenai keotentikan hadits tersebut sebagai sabda Nabi saw. Apabila dicermati, secara umum mereka terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang menganggap hadits tersebut sebagai sabda Nabi dan kedua, kelompok yang berpendapat bahwa matan hadits tersebut tidak shahih sehingga harus ditolak. Kelompok pertama, yaitu kelompok yang menerima hadits tersebut, juga terbagi menjadi dua pandangan. Pandangan pertama, memahami hadits tersebut secara tekstual, sehingga menurut mereka perempuan (Hawwa) benar-benar diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Hadits ini bahkan dijadikan sebagai argument untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an tentang awal penciptaan manusia, khususnya an-Nisa‟ (4) ayat 1. Dalam menafsirkan kata nafs wāhidah dalam ayat tersebut, mereka mengartikannya dengan Adam, dan kata zaujaha dengan Hawwa. Dengan demikian ayat tersebut berarti: “Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dari nafs wãhidah (Adam) dan darinya (Adam) Allah menciptakan pasangannya (Hawwa).” Kemudian sesuai informasi hadits di atas yang dipahami secara tekstual, mereka berpendapat bahwa penciptaan Hawwa tersebut adalah dari tulang rusuk Adam.6 Pandangan ini jelas melahirkan pandangan negative terhadap perempuan, karena perempuan dianggap sebagai bagian dari laki-laki dan diciptakan hanya sebagai pendamping dan pelengkap lakilaki. Pendapt bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki ini, setidaknya menurut tim penterjemah al-Qur‟an Depag RI, merupakan pendapat mayoritas ulama tafsir.7 Para ulama yang berpendapat seperti ini, untuk menyebut sebagiannya, adalah Jalaluddin as-Suyuti, Ibnu Katsir, alQurtubi, al-Biqa‟i, dan Abu Sa‟ud.8 Sementara itu pandangan kedua, dari kelompok pertama, berpendapat bahwa hadits itu shahih, baik sanad maupun matannya, namun harus dipahami secara metaforis. Pandangan ini timbul dari tarik menarik antara apa yang dipahami dari teks hadits dengan apa yang dipahami dari al-Qur‟an. 6
Lihat misalnya Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ahmad al-Qurtubi, al-Jãmi‟ li Ahkãm al-Qur‟ãn, (Kairo: Dar al-Katib al-Arabi li at-Taba‟ah wa an-Nasyr, 1967), I: 301-302, V: 1-2. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Azim, (Ttp.: Isa al-Babi alHalabi wa Syurakah, t.t.), I: 448. 7 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 14. F. 263. 8 M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 299.
Pandangan kedua ini umumnya berpendapat bahwa kata nafs wāhidah dalam Q.S. an-Nisa‟(4) ayat 1 bukan berarti Adam, tetapi “jenis yang satu”, sehingga kata zaujahā (pasangannya), yang diyakini sebagai Hawwa, diciptakan pula dari“bahan atau jenis yang satu”tersebut sebagaimana penciptaan Adam. Karena itu, supaya hadits shahih itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an, maka menurut mereka, secara rasional hadits tersebut tidak dapat dipahami dengan makna tekstual. Oleh karena itu, diperlukan interpretasi secara metaforis, yaitu bahwa hadits tersebut berisi pesan kepada kaum laki-laki agar menghadapi perempuan dengan cara yang baik, bijaksana, dan tidak kasar.9 Adapun kelompok kedua, adalah kelompok yang menolak ke-shahih-an hadits tersebut. Mereka seperti halnya pandangan kedua dari kelompok pertama, berpendapat bahwa kata nafs wāhidah dalam Q.S. an-Nisa‟(4) ayat 1, berarti “jenis yang satu”, sehingga tidak ada perbedaan antara penciptaan Adam dan penciptaan Hawwa, keduanya diciptakan dari bahan (nafs, jenis) yang sama. Dengan demikian, menuut mereka ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung paham yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Karena itu, hadits yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki harus ditolak karena tidak sesuai dengan ayat al-Qur‟an. Pemahaman bahwa perempuan (Hawwa) diciptakan dari tulang rusuk (Adam), menurut mereka tampaknya timbul dari ide yang tercantum (dimasukkan) dalam Perjanjian Lama (Kitab Kejadian II ayat 21-22). Menurut mereka, jika saja tidak ada informasi dari Perjanjian Lama tersebut, niscaya pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam) tidak akan pernah terlintas dalam pikiran orang Islam.10 Lebih lanjut, Riffat Hassan menyatakan bahwa teologi perempuan yang terkandung dalam hadits tersebut dengan didasarkan pada pandangannya menyangkut ontology, biologi, dan psikologinya jelas bertentangan dengan yang tersebut dan tersirat dalam al-Qur‟an, karena itu, hadits tersebut harus ditolak atas dasar isinya sendiri.11 Dengan demikian, secara umum terdapat tiga pendapat mengenai matan hadits ini, pertama, memandang hadits tersebut shahih dan memahaminya secara tekstual. Ini berarti, menurut mereka
9
Lihat Ibid., hlm. 300. Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam al-Qur‟an, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 50. 10 Bandingkan M.Quraih Shihab, Wawasan …., hlm.300-301. 11 Riffat Hassan, “Isu Kesetaraan Laki-laki-Perempuan dalam Tradisi Islam” dalam Fatimah Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Dihadapan Allah, Terj. Tim LSPPA, (Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa, 1995), hlm. 60.
perempuan (Hawwa) memang diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Kedua, menerima keshahihan hadits tersebut, namun memahaminya secara metaforis, yaitu bahwa laki-laki harus menghadapi perempuan dengan cara, baik, bijaksana, dan tanpa kekerasan. Ketiga, menolak hadits tersebut karena, menurut mereka, bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang menyatakan bahwa laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawwa) diciptakan dari bahan atau jenis yang sama.
E. Reinterpretasi Makna Hadits Hadits tersebut secara tekstual memiliki arti bahwa perempua diciptakan dari tulang rusuk, atau perempuan seperti tulang rusuk. Dalam teks hadits yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, tidak dijelaskan siapa perempuan yang dimaksud dan diciptakan dari tulang rusuk siapa. Namun, teks hadits inilah yang berkembang di masyarakat, bahkan mereka memberikan penafsiran lebih lanjut bahwa perempuan yang dimaksud dalam teks hadits itu adalah perempuan pertama, yaitu Hawwa, dan dia diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang merupakan manusia pertama. Pemahaman seperti itu yang merupakan hasil penafsiran karena tidak disebutkan sama sekali dalam teks hadits12 dianggap sebagai hadits Nabi itu sendiri, dan dijadikan otorisasi bagi ajaran Islam setelah al-Qur‟an. Pemahaman bahwa Hawwa (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk Adam (laki-laki) yang diyakini berasal dari hadits Nabi tersebut kemudian menjadi doktrin teologi yang dipercayai oleh kebanyakan masyarakat Islam. konsepsi teologis ini jelas membawa implikasi-implikasi lebih lanjut, baik psikologis, social, budaya, ekonomi maupun politik yang bersifat “misoginis”. Karena perempuan merupakan makhluk sekunder yang keberadaannya hanya sebagai pelengkap dan untuk melayani kaum laki-laki dalam segala bidang baik pada wilayah domestic maupun publik. Pemahaman yang sebenarnya bukan hadits ini oleh mayoritas ulama, sebagaiman telah dikemukakan, digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan awal penciptaan manusia, khususnya Q.S. an-Nisa‟ (4) ayat 1. Mereka, dengan berargumen pada pemahaman dari hadits ini dan
12
Kata “Hawwa” sama sekali tidak terdapat dalam teks-teks hadits yang berkaitan dengan masalah ini. Dalam riwayat Ibnu Majjah memang terdapat kata “Hawwa”, namun yang diriwayatkan tersebut bukan sabda Nabi, tetapi ucapan Imam Syafi‟I, kenapa pada air kencing bayi laki-laki yang masih menyusu cukup dipercikkan air untuk membersihkannya sedangkan air kencing bayi perempuan harus dicuci, ini karena Hawwa (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk yang pendek milik Adam (laki-laki), sehingga apabila air kencing bayi laki-laki itu berasal dari air dan tanah sementara air kencing bayi perempuan berasal dari daging dan darah (lihat lampiran).
cerita-cerita isrāiliyyāt (dan inilah sesungguhnya yang paling berpengaruh),13 menafsirkan kata nafs wāhidah dalam ayat tersebut dengan Adam dan kata zaujaha dengan Hawwa, sehingga ayat tersebut diartikan dengan: “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dari nafs wāhidah (Adam) dan darinya (Adam) [yaitu dari tulang rusuk Adam] Allah menciptakan zaujaha (Hawwa).” Menafsirkan kata nafs wāhidah dengan Adam dan kata ganti hā pada minhā dengan dari bagian tubuh Adam (sehingga kemudia dipahami Hawwa diciptakan dari bagian tubuh Adam), menurut hemat penulis, kurang tepat. Kata nafs wāhidah lebih sesuai apabila diterjemahkan dengan “jenis yang satu” atau “jenis yang sama”, sehingga zaujaha (pasangannya) diciptakan dari jenis yang sama dengan penciptaan Adam. Penafsiran kata nafs dengan “jenis” ini sesuai dengan penunjukan ayat-ayat yang lain, misalnya ayat: wallāhu ja‟ala lakum min anfusikum azwājan (Allah menjadikan bagi kalian istriistri dari jenis kalian sendiri), wmin āyātihi an khalaqa lakum min anfusikum azājan (diantara sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya, dia menciptakan bagi kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri), dan laqad jā‟akum rasūlan min anfusikum (sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari jenis kalian sendiri).14 Dengan demikian, apabila ada pemahaman yang menyatakan bahwa Hawwa diciptakan dari tulang rusuk Adam, jelas tidak sesuai dengan ayat-ayat al-Qur‟an. Disamping itu, dalam kenyataannya hadits yang mengarah pada pemahaman seperti itu diriwayatkan dengan matan yang berbde-beda. Matan hadits yang berbeda-beda tersebut yang secara garis besar memiliki dua arti, yaitu perempuan diciptakan dari tulang rusuk dan perempuan seperti tulang rusuk sulit untuk ditentukan mana yang lebih kuat (rājih) karena sanadnya sama-sama shahih dan sama-sama kuat. Hadits yang memiliki matan yang berbeda-beda dan sulit untuk ditetapkan mana yang benar, disebut sebagai hadits yang mudtarib al-matan. Hadis mudtarib pada dasarnya masuk dalam kategori hadis da‟īf, karena tidak dapat dipastikan mana yang benar, padahal kepastian tersebut merupakan salah satu syarat bagi keshahihan suatu hadits. Namun sebagian ulama menyebut sebuah hadits sebagai hadits 13
Cerita-cerita isra‟iliyyat yang banyak dikutip antara lain menceritakan bahwa Hawwa diciptakan dari tulang rusuk yang paling pendek dari bagian belakang tubuh Adam. Ketika itu Adam sedang tidur, kemudian setelah dia bangun dan melihat ada perempuan di sampingnya ia terkejut dan merasa terkagum-kagum, dan pada akhirnya keduanya saling menyenangi. Lihat misalnya Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Azim, I: 448. 14 Lihat Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Matba‟ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1974), III: 177.
mudtarib hanya apabila idtirāb (kekacauan, kerancauan) tersebut terjadi pada sanad. Apabila kerancauan tersebut terjadi pada matan, maka menurut mereka hal itu menjadi tugas para ulama dan sarjana untuk memecahkan dan menyelesaikannya. Karena itu, bisa jadi suatu hadits itu shahih atau hasan tetepi merupakan hadits mudtarib, seperti yang terjadi pada hadits al-Bukhari dan Muslim. Dengan demikian suatu hadits dapat disebut sebagai hadīsun shahīhun mudtaribun.15 Disamping itu, dalam matan hadits yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, tidak dijelaskan sama sekali siapa perempuan yang dimaksud dan diciptakan dari tulang rusuk siapa. Apalagi ditambah dengan matan hadits yang mengguanakan kata “perempuan” dalam bentuk plural “an-Nisā‟” (kaum perempuan), yang berarti seluruh kaum perempuan, tidak hanya perempuan pertama (Hawwa), diciptakan dari tulang rusuk. Ini jelas bertentangan dengan ayat-ayat yang berbicara mengenai proses reproduksi kejadian manusia.16 Apabila dicermati konteks hadits-hadits ini, sebenarnya berisi anjuran, atau bahkan perintah Nabi kepada orang laki-laki waktu itu supaya saling menasehati satu sama lain untuk berbuat baik kepada istri-istri mereka atau kaum perempuan secara umum (bandingkan bunyi hadits: man kāna yu‟minu billāhi wa al-yaumi al-āhir falā yu‟zī jārahu wa istausū bi an-nisā‟ hkairan). Nabi kemudia mengibaratkan perempuan seperti tulang rusuk yang tidak dapat diubah-ubah seenaknya mengikuti kemauan laki-laki. Perempuan yang dikemukakan Nabi tersebut mengisyaratkan laki-laki tidak boleh kasar atau melakukan kekerasan terhadap perempuan, karena dengan tanpa menggunakan kekerasan laki-laki justru akan dapat saling mengisi dan hidup berdampingan secara baik dengan perempuan (bandingkan bunyi hadits: al-mar‟atu ka ad-dila‟I wa fīhā „iwajun). Sabda Nabi tersebut hanya ditunjukkan kepada kaum laki-laki, ini sesuai dengan konteks masyarakat Arab ketika itu. Sabda Nabi ini secara inplisit menunjukkan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan ketika itu (bahkan sampai sekarang) sangat kuat sehingga Nabi merasa perlu untuk memerintahkan kaum laki-laki agar memperlakukan kaum perempuan secara baik dan bijaksana. Dengan demikian, dominasi laki-laki dan budaya ptriarkhi
15
inilah sesungguhnya yang hendak
Lihat Mahmud at-Tahhan, Tafsir Mustalah al-Hadits, (Beirut: Dar as-Saqafah al-Islamiyah, t.t.), hlm. 112-114. Muhammad „Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits, hlm. 344-345. Fatchur Rahman, Ihtisar Mustalahul Hadits, (Bandung: PT. alMa‟arif, 1987), hlm. 163-165. 16 Lihat misalnya Q.S. al-Mu‟minun (23): 12-14.
dihilangkan oleh Nabi dengan memerintahkan kaum laki-laki supaya memandang perempuan sebagai mitra yang sejajar. Pandangan ini diperkuat bahwa para penulis kitab hadits menempatkan hadits-hadits ini pada pembahasan mengenai anjuran untuk berbuat baik kepada istri, bukan pada pembahasan mengenai awal penciptaan manusia. Al-Bukhari, disamping pada kitāb ahādīs al-anbiyā‟ (yang hanya satu hadits), menempatkan hadits-hadits ini pada kitāb an-nikāh, bāb al-mudārah ma‟a an-nisā‟ (bab berbuat sopan dan lembut kepada kaum perempuan) dan bāb al-wus āt bi an-nisā‟ (bab wasiat mengenai kaum perempuan).17 An-Nawawi dalam Syarah muslim-nya menempatkan hadits-hadits ini pada bāb al-wasiyyah bi annisā‟ (bab wasiat mengenai kaum perempuan). Dalam penjelasannya an-Nawawi antara lain menyatakan bahwa hadits ini merupakan anjuran untuk berlaku lembut terhadap kaum perempuan.18 Sementara itu, as-Syaukani menempatkan pada bāb ihsān al-„isyrah wa bayān haqq az-zaujain (bab berlaku baik dalam pergaulan (suami istri) dan keterangan mengenai hak suami istri),19 dan demikian pula kitab-kitab hadits lainnya.20 Dengan demikian hadits-hadits itu tidak sesuai apabila dipahami sebagai informasi bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Hadits-hadits tersebut sebenarnya berisi anjuran kepada kaum laki-laki untuk berlaku baik dan bijaksana terhadap perempuan hanya saja kemudian dalam perkembangannya matan hadits tersebut mengalami perubahan sehingga muncul matan yang berbedabeda. Karena itu, Ibnu Hajar antara lain menerangkan bahwa secara umum hadits-hadits itu dapat diartikan dengan: saya (Nabi) berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada perempuan, maka terimalah wasiatku ini mengenai kaum perempuan dan laksanakanlah wasiatku ini, berlaku lembutlah kepada mereka dan bergaullah kepada mereka dengan baik.21
17
Abu Abdillah Muhammad Ibnu Isma‟il al-Bukhari, Matan al-Bukhari bi Hasiyah al-Sindi, (Beirut: Dar al-Kitab alIslami, t.t.), III: 256-257. 18 An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarah an-Nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), X: 57-58. 19 Muhammad Ibnu Ali asy-Syaukani , Nail al-Autar, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1961), V: 217. 20 Misalnya, Abu al-Ali al-Mubarakafuri , Tuhfat al-Ahwazi bi Syarah Jami‟ al-Tirmizi, (ttp.: Dar al-Ittihad al-„Arabi li at-Taba‟ah, 1965), IV: 367. 21 Ibnu Hajar al-Asyqalani, Fath al-Bari bi Syarah al-Bukhari, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1959), XI: 162 dan 177.
Hadits-hadits tersebut pada dasarnya selaras dengan hadits-hadits lain dan ayat-ayat al-Qur‟an yang berisi anjuran kepada para suami untuk bergaul secara baik dengan para istri mereka. Untuk menyebutkan sebagian ayat dan hadits yang senada dengan hadits-hadits tersebut adalah Q.S. an-Nisa‟ (4) ayat 19 wa āsirūhunna bi al-ma‟rūf (pergaulilah istri-istri kamu secara baik), Q.S. at-Talaq (65) ayat 6 wa I‟tamirū bainakum bi ma‟rūf (musyawarahlah diantara kalian suami istri (tentang segala sesuatu), dengan cara yang baik), dan hadits akmal al-mu‟minīn īmānan ahsanuhum khuluqan, wa khiyārukum li nisāihim (mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan orang-orang yang paling baik di antara kalian adalah orang-orang yang paling baik terhadap istri-istrinya).22 Anjuran dan perintah untuk berlaku baik tersebut ditujukan kepada kaum laki-laki karena memang, sebagaimana dikemukakan, konstruksi budaya Arab ketika itu (atau bahkan sampai dengan sekarang) menempatkan kaum laki-laki lebih dominan dan kaum perempuannya tersubordinasi, bahkan dapat dikatakan dalam keadaan tertindas. Karenanya Nabi berusaha merombak budaya semacam itu dan berupaya meningkatkan derajat dan martabat kaum perempuan__dengan memerintahkan kaum laki-laki untuk berlaku baik, adil dan bijaksana kepada kaum perempuan. Perjuangan Nabi demi memperjuangkan hak-hak dan martabat perempuan ini terlihat dari sikap para sahabat yang masih mewarisi budaya patriarkhi ketika itu untuk menahan diri dan tidak banyak bicara mengenai hal-hal yang menyangkut hak-hak dan kewajiban istri-istri mereka, karena mereka khawatir akan turun wahyu atau sabda Nabi yang akan memberatkan mereka. Hal ini tergambar dari ungkapan Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sebagai penutup hadits-hadits yang menganjurkan untuk saling berpesan supaya berlaku baik kepada kaum perempuan. Ucapan Ibnu Umar itu adalah:23 “Kami pada masa Nabi saw menghindari untuk banyak berbicara dan membahas tentang istriistri kami karena kami khawatir akan turun sesuatu (wahyu yang memberatkan) kepada kami. Ketika Nabi saw wafat baru kami membicarakan dan membahas secara panjang lebar (mengenai istri-istri kami).”
22
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi dari Abu Hurairah. Dikutib oleh Wahhab az-Zuhaili, al-Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), VII: 329. Lihat juga A.J. Wensick, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz alHadits an-Nabawi, (Leiden: E.J. Brill, 1943), VI: 65. 23 Lihat al-Bukhari, Matan al-Bukhari, III: 257. Ibnu Hajar al-„Asyqalani, Fath al Bari, XI: 163.
F. Penutup Hadits yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau perempuan bagaikan tulang rusuk dari segi sanadnya bernilai shahih, namun ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan sarjana menyangkut matannya, khususnya matan yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dsri tulang rusuk. Diantara mereka ada yang menerima dan ada yang menolak. Pada kelompok yang menerima, ada dua pendapat: yang pertama mengartikannya secara tekstual, bahkan digunakan untuk menafsirkan QS. An-Nisa‟ (4) ayat 1 tentang penciptaan awal manusia, sehingga menurut mereka Hawwa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Sementara yang kedua mengartikan hadits tersebut secara metaforis, bahwa kaum laki-laki harus berlaku baik dan bijaksana dalam menghadapi perempuan. Sementara kelompok yang menolak hadits itu berargumen bahwa hadits tersebut harus ditolak karena isinya tidak sesuai dengan ayat-ayat al-Qur‟an. Hadits tersebut walaupun sanadnya shahih, tetapi memiliki matan yang berbeda-beda dan sulit untuk ditentukan mana matan yang benar, sehingga hadits tersebut termasuk hadits mudtarib (almatan). Namun demikian, bila ditempatkan pada konteksnya secara tepat dan dipahami secara utuh dan keseluruhan matan yang ada, tidak hanya parsial kalimat per kalimat atau matan per matan, maka hadits-hadits tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan penciptaan awal perempuan. Hadits-hadits itu berisi pesan Nabi kepada kaum laki-laki waktu itu untuk berlaku baik kepada istri-istri mereka atau kepada kaum perempuan secara umum. Pesan Nabi tersebut merupakan salah satu manifestasi dari semangat ajaran Islam yang hendak menempatkan laki-laki dan perempuan secara sederajat. Wallahu a‟lam.
DAFTAR PUSTAKA
A.J. Wensick, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadits an-Nabawi, (Leiden: E.J. Brill, jilid VI, 1943. Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ahmad al-Qurtubi, al-Jãmi‟ li Ahkãm al-Qur‟ãn, (Kairo: Dar al-Katib alArabi li at-Taba‟ah wa an-Nasyr), jilid I dan V, 1967. Abu Abdillah Muhammad Ibnu Isma‟il al-Bukhari, Matan al-Bukhari bi Hasiyah al-Sindi, (Beirut: Dar alKitab al-Islami, jilid III, t.t. Abu al-Ali al-Mubarakafuri , Tuhfat al-Ahwazi bi Syarah Jami‟ al-Tirmizi, (ttp.: Dar al-Ittihad al-„Arabi li at-Taba‟ah, IV, 1965. Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Matba‟ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh), jilid III, 1974. Al-Bukhari, Matan al-Bukhari, jilid III. An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarah an-Nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr, jilid X, 1972. Fatchur Rahman, Ihtisar Mustalahul Hadits, (Bandung: PT. al-Ma‟arif), 1987. Ibn Hajar al-Asqalani, Tahzîb (T. pt.: Dar al-Fikr), 1984. Ibnu Hajar al-„Asyqalani, Fath al Bari, XI. Ibnu Hajar al-Asyqalani, Fath al-Bari bi Syarah al-Bukhari, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, XI, 1959. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Azim, I: 448. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Azim, (Ttp.: Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakah), jilid I. t.t. M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan), 1997. Mahmud at-Tahhan, Tafsir Mustalah al-Hadits, (Beirut: Dar as-Saqafah al-Islamiyah), t.t. Muhammad „Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits. Muhammad „Ajjaj al-Khatib, Ūsul al-Hadits: „Ulūmuh wa mustalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr), 1989. Muhammad Ibnu Ali asy-Syaukani , Nail al-Autar, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, jilid V, 1961.
Riffat Hassan, “Isu Kesetaraan Laki-laki-Perempuan dalam Tradisi Islam” dalam Fatimah Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Dihadapan Allah, Terj. Tim LSPPA, (Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa), 1995. Wahhab az-Zuhaili, al-Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, jilid VII, 1989. Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra), 1989. Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam al-Qur‟an, (Yogyakarta: LKiS), 1999.