PENGANTAR Implementasi otonomi daerah sebagai format kebijakan bidang pemerintahan diharapkan mampu memecahkan krisis keuangan pemerintah pusat. Sebelum era otonomi daerah diberlakukan, sumber daya keuangan pemerintahan pe merintahan lokal lok al ataupun daerah tergantung t ergantung pada kemampuan kemamp uankeuangan pusat yang dialokasikan dalam wujud tunjangan tunjangan dan bantuan bantuan keuangan untuk daerah guna membiayai pengembangan dan jabatan dalam pemerintahan daerah. Otonomi daerah bertanggug jawab dan luas diarahkan untuk memberi penyisihan dana untuk pemerintahan daerah guna mengembangkan dan mengatur daerah mereka sendiri. Dengan otonomi daerah. Diharapkan pemerintahan daerah harus lebih bebas dalam mengelola keuangan mereka sendiri dan lebih efisien lagi di dalam mengatu sumber daya keuangan mereka. Dilihat dari studi kasus yang ada, terdapat perbedaan perbedaan penting dalam pencapaian kinerja keuangan sebelum dan sesudah otonomi. Kinerja keuangan yang diukur lewat desentralisasi fiskal, upaya fisk al, dan tingkat kemampuan pembiayaan pembia yaan memiliki perbedaan perbeda an perbedaan, namun na mun untuk tingkat efisiensi penggunaan anggaran tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada awal tahun 1996 dan mencapai puncaknya tahun 1997. Mendorong kenginan kuat dari pemerintah pusat untuk melepaskan sebahagian wewenang pengelolaan keuangan kepada daerah dan diharapkan daerah dapat membiayai kegiatan pembangunan dan pelayanan masyarakat atas dasar kemampuan keuangan sendiri. Dengan kata lain, penurunan penerimaan negara secara simultan telah mendorong timbulnya inisiatif pemberian status otonomi kepada daerah otonom sebagaimana yang telah diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1974 sebagai sebutan bagi Pemerintahan Provinsi/Kabupaten Kota di era sebelum otonomi daerah. Untuk merealisasikan keinginandesentralisasi guna mengurangi ketergantungan daerah kepada pemerintahan pusat, maka melalui Undang undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sampai dengan UU No 24 Tahun 2005, pemerintahan Republik Indonesia secara resmi memberlakukan status otonomi daerah kepada daerah otonom dan mencabut UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok pokok Pemerintahan Pemerintahan Daerah diharapkan akan lebih memberi peluang pada perubahan kehidupan pemerintah daerah yang demokratis yang pada gilirannya akan meningkatkan meningkatkan kesejahte k esejahteraan raan rakyat secara keseluruhan. Adapun yang menjadi tujuan dari pengembangan otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat, mandiri dalam pembiayaan pembangunan dan meningkatkan peran serta masyarakat serta peningkatan pelayanan terhadap masyarakat. Selain itu bahwa otonomi daerah hadir tidak terlepas dari adanya beberapa kelemahan sistem sentralisasi kewenangan yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974. Kelemahan Kele mahan yang signifikan signifi kan tersebut ters ebut antara lain lai n tidak tercapa inya sistem tem pembiayaan yang adil dan merata kepada daerah daerah, terdapat perbedaan yang tinggi dalam kondisi dan kemampuan keuangan antar daerah dan mengurangi insiatif daerah dalam pengembangan potensi sumber daya alamnya.
Otonomi daerah sebagai suatu kebijakan publik dari pemerintahan pusat dalam bentuk regulasi bukanlah suatu cara yang menjamin adanya peningkatan kemampuan pembiayaan daerah dan tingkat desentralisasi fiscal serta menjamin adanya kehematan dalam pegelolaan belanja bila regulasi yang dikeluarkan tidak secara tegas dan transaparan mampu mengatur seluruh aspek pengelolaan keuangan. Otonomi diartikan pula sebagai suatu sistem dimana bagian-bagian tugas negara diserahkan penyelenggaraanya kepada organ mandiri. Organ mandiri ini wajib atau berwewenang melakukan tugasnya atas inisiatif dan kebijakan sendiri. Ciri yang penting bagi organ yang di desentralisasi ialah, mempunyai sumber sumber keuangan sendiri untuk membiayai pelaksanaan tugasnya.
GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN ERA SEBELUM OTONOMI DAERAH
Sejak Repelita Tahun 1967 sampai dengan pertengahan Repelita IV Tahun 1999, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Indonesia disusun menurut tahun anggaran yang dimulai pada tanggal 1 April dan berakhir 31 Maret tahun berikutnya. Bentuk dan susunan APBD yang ada sama dengan bentuk dan susunan APBN hanya saja sebutan untuk pos-posan pendapatan dan belanja berbeda. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, sumber pembiayaan daerah sangat didominasi oleh bantuan keuangan dari pemerintahan pusat. Bantuan keuangan dimaksud dengan dapat dibagi dalam dua kategori yaitu pendapatan yang diserahkan kepada pemerintahan daerah dan subsidi kepada pemerintahan daerah. Dalam pasal 55 undang undang tersebut disebutkan tentang sumber pendapatan daerah otonom yaitu : 1. Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) yang terdiri dari beberapa pos pendapatan yaitu pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan lain-lain pendapatan yang sah. 2. Pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintahan pusat yang terdiri dari sumbngan pemerintahan pusat serta subsidi rutin dan pembangunan. Istilah subsidi daerah otonom sebagai bagian dari bantuan pemerintahan pusat terus mengalami perubahan istilah disesuaikan dengan sasaran pemberian bantuan. Erakhir sebelum otonomi daerah digunakan istilah Dana Rutin Daerah dan Dana Pembangunan Daerah. 3. Lain lain penerimaan yang sah. 4. Penerimaan pembangunan sebagai kpmpoen penerimaan yang bersumber dari pinjaman yang dilakukan pemerintahan daerah. 5. Dana sektoral, jenis dana ini tidak termuat dalam APBD namun masih merupakan jenis penerimaan daerah dalam bentuk bantuan dari pemerintahan pusat untuk membantu pembangunan sarana dan prasarana yang pelaksanaannya dilakukan oleh dinas provinsi Dari uraian diatas, diketahui bahwa sebelum adanya UU Otonomi Daerah yang ditandai dengan hadirnya UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, ternyata sistem penatausahaan pembiayaa daerah sudah menerapkan konsep perimbngan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah tetapi belum didasarkan pada kontribusi setiap daerah dalam hal pendapatanyang diperoleh dari sumber daya alam yang dieksploitasi.
GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN ERA SETELAH OTONOMI DAERAH
REFORMASI KEUANGAN DAERAH Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggran daerah. Dalam upaya pemberdayaan pemerintahan daerah, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah di masa otonomi daerah dan anggaran daerah adalah : 1. Pengelolaan keauangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik, hal n i i tidak saja terlihat dari besarnya porsi penganggaran untuk kepentingan publik, tetapi pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah. 2. Kejelasan tentang misi pengelolaan daerah dan anggaran daerah pada khususnya. 3. Desentralisasi pengelolaan keuang dan kejelasan peran serta partisipasi yang terkait dengan pengelolaan anggaran seperti DPRD, Kepala Daerah, Sekretariat Daerah Lainnya. 4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar. 5. Kejelasan aturan tentang pengeluaran operasional lain lain yang tidak jelas akuntabilitas 6. Prinsip anggaran dan kejelasan larangan pengaturan lokasi anggaran diluar yang ditetapkan dalam strategi dan prioritas APBD. PUBLIC FINANCING REFORM Hadirnya otonomi daerah yang dimulai dengan hadirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentunya membawa konsekuensi terhadap pembiayaan daerah. Sebelum era otonomi daerah, hampir sebagian besar pemerintahan provinsi, Kabupaten dan Kota se-Indonesia memperoleh sumbersumber pendapatan yang berasal dari bagi hasil Pemerintahan Pusat. Dengan otonomi terdapat dua aspek kinerja keuangan yang dituntut agar lebih baik dibanding dengan era sebelum otonomi daerah. Aspek pertama adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus pembiayaan daerah dengan kekuatan utama pada kemampuan Pendapatan Asli Dearah(PAD). Kehadiran UU nomor 34 Tahun 2000 tentang Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah serta peraturan pelaksanaanya adalah momentum
dimulainya
pengelolaan
sumber-sumber
pendapatan
daerah
secara
penuh(desentralisasi fiskal) yang sekarang telah diperbarui lagi dengan UU nomor 28 tahun 2009. Aspek kedua yaitu disisi pengelolaan keuangan daerah harus lebih akuntabel dan transparan tentunya menuntut daerah agar lebih efisien dan efektif dalam pengeluaran daerah. Kedua aspek tersebut dapat disebut sebagai Reformasi Pembiayaan.
STRUKTUR KEUANGAN DAERAH Dimulai sejak tahun anggaran 2001 sampai saat ini, Pendapatan dan Belanja Daerah di Indonesia disusun menurut tahun anggaran yang dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir 31 Desember. Bentuk dan susunan APBD yang ada berbeda dengan susunan APBD dalam era sebelum otonomi daerah. Akan tetapi perubahan komposisi dan struktur APBD tidak merubah maksud dari unsur APBD itu sama sekali. Di bidang Penerimaan Daerah, menurut UU Nomor 25 tahun 1999 dan UU nomor 28 tahun 2009, sumber penerimaan daerah yaitu : 1. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari beberapa pos pendapatn yaitu pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan lain-lain pendapatn yang sah 2. Dana perimbangan antara pemerintah Pusat dan Daerah yang mencakup Pendapatan Bagi Hasil Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. 3. Pinjaman Daerah dan Bagian Sisa Perhitungan APBD Tahun Lalu yang dahulu merupakan bagian komponen Penerimaan Daerah maka dalam regulasi di era otonom hal tersebut bukan merupakan bagiam Penerimaan Daerah melainkan bagian dari Pembiayaan Daerah. 4. Lain-lain penerimaan yang sah 5. Besarnya Dana Perimbangan sangat ditentukan dari potensi sumber daya alam hasil pertambngan dan hasil hutan lainnya 6. Pendapatan Asli daerah berupa pajak pemanfaatan air permukaan dan air bawah tanah yang semula penerimaan daerah tingkat II maka setelah otonomi daerah, pajak ini diserahkan kembali kepada tingkat I Dalam pebahasan ini, lingkup dari regulasi pengelolaan penerimaan daerah mencakup UU Nomor 34 Tahun 2000 sebagai pengganti UU Nomor 18 Tahun 1997 dan Peraturan Pelaksana berupa PP No 65 dan 66 Tahun 2001 serta UU No 25 Tahun 1999 yang kini diperbaharui kembali dengan adanya UU 28 Tahun 2009. Secara umum, maksud regulasi tersebut disusun/ditetapkan dan dilaksanakan adalah : 1. Agar terjadi peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan. Permintaan adanya pembagian Sumber Daya Alam yang lebih adil sesuai potensi daerah dan mengurangi upaya monopoli pusat terhadap pembagian sumber daya alam daerah menyebabkan lahirnya UU 22 Tahun 1999 yang diikuti dengan UU No 25 Tahun 1999 2. Jumlah pendapatn yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap smber pendapatan. Penerimaan daerah adalah semua komponen pendapatan menurut sturktur APBD yang terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain lain penerimaan daerah yang sah. Bahwa besarnya target yang akan dicapai merupakan hasil aalisa dan kajian yang mendalam dari setiap potensi pajak dan retribusi dengan memperhatikan tingkat kemampuan pembiayaan dalam pengelolaan pendapat dimaksud serta kesiapan perngakat daerah yang mengelola pendapatan (upaya fiskal) 3. Desentralisasi fiskal sebagai wujud dari hadirya regulasi tadi nantinya diharapkan akan lebih menumbuh kembangkan penerimaan daerah
4. UU Nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, menghendaki pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya dan dijabarkan dalam konteks kemampuan
untuk
menggali,
mengelola
dan
mengalokasikan
serta
mempertanggungjawabkan secara sungguh-sungguh semua sumber daya daerah khususnya dana publik 5. Penyerahan kembali beberapa jenis pajak yang pernah menjadi komponen pendapatn kabupaten/kota saat UU No 18 Tahun 1997 berlaku dan sebelum diganti dengan UU No 34 Tahun 2000, akan mendorong Pemerintahan Kabupaten/kota untuk menggali potensi Pendapatan Asli Daerah menutupi penyerahan beberapa pajak darah yang diseahkan ke Provinsi. Di samping itu, hadirnya regulasi tadi akan berimplikasi terutama terhadap kinerja di bidang keuangan daerah. Berikut diuraikan beberapa pengaturan dalam otonomi daerah yang terkait dengan peningkatan kinerja keuangan. KINERJA KEUANGAN PEMERINTAHAN DAERAH Kinerja (performance) dapat diartikan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan. Performance measuremenet atau pengukuran kinerja menurut kamus yang sama diartikan sebagai suatu indikator keuangan atau non keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu aktivitas, suatu proses atau suatu unit organisasi. Tabel parameter kinerja No
Parameter kinerja
Pokok-pokok aturan keuangan daerah setelah otonomi daerah
1
Desentralisasi fiscal
2
Upaya Fiskal
3
Kemampuan Pembiayaan
1. Pengaturan adanya tambahan penerimaan daerah dari PPh orang pribadi kepada Daerah lebih memperbesar peluang bertambahnya penerimaan daerah 2. Adanya kenaikanpersentase dan penetapan batasan terendah atas Penerimaan Bagi Hasil Pajak yang merupakan hak Kabupaten/Kota yang dikelola Provinsi 3. Besarnya Dana Alokasi Umum sebagai bagian dari Dana Perimbangan yang diterima daerah ditentukan dengan memperhatikan potensi daerah seperti PAD, PBB, dan BPHTB Ketegasan cakupan wilayah objek paak yang dapat membantu pemda dalam menentukan potensi riil penerimaan pajak dan menghindari sengketa objek pajak dengan pemda lainnya 1. Undang undang 34 Tahun 2000 mendukung eksistens Pendapatn Asli Daerah sebagai sumber pendapatan daerah yang bersumber dari wilayah daerah sendiri dan dipungut di daerah sendiri 2. Pengertian wajib pajak badan dalam UU ini lebih luas dari sekedar yang diatur sebelumnya termasuk organisasi massa dan organisasi sosial politik akan memperbesar penggalian potensi penerimaan pajak bagi pemerintahan daerah 3. Peralihan sebagian jenis parkir dari retribusi menjadi pajak sehingga penetapan lebih jelas 4. Jasa dalam retribusi daerah merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
4
Efisiensi Anggaran
Penggunaan
5. Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial 6. Perizinan dalam retribusi termasuk kewenangan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi 1. Jumlah belanja daerah yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap belanja 2. Daerah dapat membentuk dana cadangan dari pinjaman daerah, kecuali dana alokasi khusus dan pinjaman daerah 3. Pemda dapat menempatkan dana dalam bentuk deposito sepanjang tidak mengganggu likuiditas pengeluaran daerah
Menurut studi kasus thesis yang dilakukan oleh Muhammad Karya Satya Azhar, terdapat perbedaan kinerja keuangan pemerintahan daerah untuk periode sebelum dan s etelah dilakukannya otonomi daerah. Data dan informasi yang ia gunakan yaitu keuangan daerah pada 5 tahun anggaran yaitu tahun 2001 sampai dengan tahun 2005. Perbedaan yang timbul lebih banyak kearah negatif, atau dengan kata lain telah terjadi penurunan kinerja keuangan sebelum dan setelah otonomi diberlakukan. Analisis menunjukkan bahwasanya satu faktor yang mengakibatkan turunnya tingkat kinerja tersebut adalah timbulnya kabupaten/kota baru akibat pemekaran kabupaten/kota. Hal ini mengakibatkan turunnya kinerja karena kinerja menjadi lebih kecil akibat makin kecilnya wilayah kabupaten kota tersebut. Dan juga masih terdapat faktor pendukung lainnya seperti : 1. Kewenangan daerah. Secara empiris banyak terjadi masalah dan ketegangan antar tingkatan pemerintahan berkaitan dengan kewenangan tersebut. Ada tiga jenis masalah yaitu : masalah antara pusat dan daerah, masalah antar daerah provinsi dengan kabupaten/kota, dan masalah antar daerah kabupaten/kota sendiri. 2. Kepegawaian Pemda (SDM) Terbatasnya jumlah PNS yang sarjana dan profesional, terutama untuk bidang bidang teknis penganggaran, akuntansi dan pengelolaan keuangan merupakan tantangan yang berat, terutama dalam menerapkan peraturan yang didasari ide-ide yang kompleks( misalnya PBK, akuntansi berbasis akrual). Perubahan peraturan tentang keuangan daerah tidak dapat disikapi secara langsung oleh SDM-nya, ini dapat dilihat dari lamanya penyusunan laporan anggaran realisasi dari jadwal yang ditetapkan. 3. Keuangan Daerah Tertundanya pengesahan APBD juga merupakan hal yang sangat lazim terjadi, akibat prosesnya sendiri yang seringkali berjalan tidak sesuai dengan kalender anggaran yang telah ditetapkan. Beberapa tahap yang seharusnya dilakukan secara beruntun, seperti misalnya penyusunan kebijakan umum anggaran dan instruksi anggaran bagi dinas, pada k enyataannya dilakukan secara bersamaan. Kadang rancangan anggaran sudah dalam tahap review sementara kebijakan umum anggaran belum lagi disahkan. Meskipun menurut peraturan, anggaran harus sudah disahkan pada akhir desember untuk tahun anggaran yang dimulai bulan januari, kadang eksekutif baru mengajukan rancangan
anggaran kepada DPRD pada bulan Februari. Sementara DPRD membutuhkan paling tidak dua bulan untuk review rancangan anggaran tersebut untuk memastikan anggaran telah mencerminkan kebutuhan dan prioritas masyarakat. Konsekuensi tidak dapat disahkannya anggaran sesuai jadwa, berarti pemerintah daerah tidak dapat mendanai proyek-proyek di luar belanja rutin seperti gaji pegawai negeri. Kualitas beberapa proyek menjadi jauh berkurang jika keterlambatan pengesahan anggaran menyebabkan tidka tersedianya waktu yang memadai untuk merencanakan dan melakukan proyek yang bersangkutan. 4. Pengawasan Kurangnya pengawasan dari Gubernur kepada daerah. Hal ini disebabkan karena daerah menganggap bahwa hubungan propinsi dengan kabupaten bersifat hirarkhis sehingga gubernur tidak berhak lagi mengawasi kabupaten/kota di wilayahnya. Kurangnya sanksi terhadap pelanggaran peraturan banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pemda khususnya yang berkaitan dengan alokasi anggaran yang tidak ada sanksinya Kurangnya supervisi, sosialisasi ke daerah banyak penyimpangan yang terjadi di daerah disebabkan oleh karena kurangnya kegiatan supervisi. Penyimpangan juga terjadi karena kurangnya sosialisasi ke daerah sehingga daerah melakukan berbagai inisiatif yang kadang tidak sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. 5. politik kinerja pemerintahan pada era otonomi daerah juga dipengaruhi oleh suasana politik di Indonesia. Dimana garis birokrasi yang diharapkan menjadi lebih singkat namun menjadi lebih panjang dan bahkan rumit. Salah satu contohnya adalah rumitnya dan lamanya pengesahan APBD oleh DPRD kabupaten/kota tersebut. Sehingga kinerja yang diharapkan tidak dapat sesuai dengan apa yang direncakan semula