BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Profesi keperawatan bersifat luwes dan mencakup segala kondisi, dimana perawat tidak hanya terbatas pada pemberian asuhan dirumah sakit saja melainkan juga dituntut mampu bekerja dalam kondisi siaga tanggap bencana. Situasi penanganan antara keadaan siaga dan keadaan normal memang sangat berbeda, sehingga perawat harus mampu secara skill dan teknik dalam menghadapi kondisi seperti ini. Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan siaga bencana dapat dilakukan oleh proesi keperawatan. Berbekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga bencana dalam berbagai bentuk. Dalam penulisan makalah ini akan dijelaskan pentingnya peran perawat dalam situasi tanggap bencana, bentuk dan peran yang bisa dilakukan perawat dalam keadaan tanggap bencana. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu: 1. Bagaimana Bencana? 2. Bagaimana Fase-fase bencana? 3. Bagaimana Kelompok rentan Bencana? 4. Bagaimana Paradigma penanggulangan Bencana? 5. Bagaimana Pengurangan Risiko Bencana? 6. Bagaimana Peran perawat Dalam tanggap Bencana? 7. Bagaimana Jenis Kegiatan siaga Bencana? 8. Bagaimana Managemen Bencana? 9. Bagaimana peran perawat dalam managemen Bencana? 1.3 Tujuan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Mahasiswa dapat mengetahui Bencana. 2. Mahasiswa dapat mengetahui Fase-fase bencana. 3. Mahasiswa dapat mengetahui Kelompok rentan Bencana. 4. Mahasiswa dapat mengetahui Paradigma penanggulangan Bencana. 5. Mahasiswa dapat mengetahui Pengurangan Risiko Bencana.
6. Mahasiswa dapat mengetahui Peran perawat Dalam tanggap Bencana. 7. Mahasiswa dapat mengetahui Jenis Kegiatan siaga Bencana. 8. Mahasiswa dapat mengetahui Managemen Bencana. 9. Mahasiswa dapat mengetahui peran perawat dalam managemen Bencana.
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Bencana Definisi Bencana menurut WHO (2002) adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan dalam skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat dan wilayah yang terkena. Bencana dapat juga didefinisikan sebagai situasi dankondisi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Jenis-jenis bencana:
1. Bencana alam (natural disaster), yaitu kejadian-kejadian alami seperti banjir, genangan, gempa bumi, gunung meletus dan lain sebagainya. 2. Bencana ulah manusia (man-made disaster), yaiut kejadian-kejadian karena perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan, kebakaran, ledakan, sabotase dan lainnya. Bencana berdasarkan cakupan wilayahnya terdiri atas: 1. Bencan Lokal, bencana ini memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang berdekatan, misalnya kebakaran, ledakan, kebocoran kimia dan lainnya. 2. Bencana regional, jenis bencan ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis yang cukup luas dan biasanya disebabkan leh faktor alam seperti alam, banjir, letusan gunung dan lainnya. 2.2 Fase-fase bencana Menurut Barbara santamaria (1995),ada tiga fase dapat terjadinya suatu bencana yaitu fase pre impact,impact,dan post impact 1.
Fase pre impact merupakan warning phase,tahap awal dari bencana.Informasi
didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca.Seharusnya pada fase inilah segala persiapan dilakukan dengan baik oleh pemerintah,lembaga dan masyarakat. 2.
Fase impact Merupakan fase terjadinya klimaks bencana.inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup.fase impact ini terus berlanjut hingga tejadi kerusakan dan bantuan-bantuan yang darurat dilakukan. 3.
Fase post impact merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase
darurat.Juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi kualitas normal.Secara umum pada fase post impact para korban akan mengalami tahap respons fisiologi mulai dari penolakan (denial),marah (angry),tawar –menawar (bargaing),depresi (depression),hingga penerimaan (acceptance). Permasalahan dalam penanggulangan bencana Secara umum masyarakat Indonesia
termasuk aparat pemerintah didaerah memiliki
keterbatasan pengetahuan tentang bencana seperti berikut : 1. 2. 3. 4.
Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya Sikap atau prilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan ketidaksiapan Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya
2.3 Kelompok rentan bencana Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman dari potensi bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya tertentu.
Kerentanan terbagi atas: 1. Kerentanan fisik, kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya tertentu, misalnya kekuatan rumah bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempa. 2. Kerentanan ekonomi, kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam pengalokasian sumber daya untuk pencegahan serta penanggulangan bencana. 3. Kerentanan social, kondisi social masyarakat dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang ancaman bahaya dan rsiko bencana. 4. Kerentanan lingkungan, keadaan disekitar masyarakat tinggal. Misalnya masyarakat yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor. 2.4 Paradigma Penanggulanngan Bencana Konsep penanggulangan bencana telah mengalami pergeseran paradigm dari konfensional yakni anggapan bahwa bencana merupakan kejadian yang tak terelakan dan korban harus segera mendapatkan pertolongan, ke paradigm pendekatan holistic yakni menampakkan bencana dalam tatak rangka menejerial yang dikenali dari bahaya, kerentanan serta kemampuan masyarakat. Pada konsep ini dipersepsikan bahwa bencana merupakan kejadian yang tak dapat dihindari, namun resiko atau akibat kejadian bencana dapat diminimalisasi dengan mengurangi kerentanan masyarakat yang ada dilokasi rawan bencan serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pencegahan dan penangan bencana. 2.5 Pengurangan Risiko Bencana Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: 1. Pra bencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan peletahihan
serta
penentuan
persyaratan
standar
teknis
penanggulangan
bencana
(kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana). 2. Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap loksi, kerusakan dan sumber daya; penentuan status keadan darurat; penyelamatan dan evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar; pelayanan psikososial dan kesehatan. 3. Paska bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah bencana, prasaranan dan saran umum, bantuan perbaikan rumah, social, psikologis, pelayanan kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan rekonstruksi (pembangunan, pembangkitan dan peningkatan sarana prasarana termasuk fungsi pelayanan kesehatan. 2.6 Perawat sebagai profesi Perawat adalah salah satu profesi di bidang kesehatan , sesuai dengan makna dari profesi maka seseorang yang telah mengikuti pendidikan profesi keperawatan seyogyanya
mempunyai kemampuan untuk memberikan pelayanan yang etikal dan sesuai standar profesi serta sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya baik melalui pendidikan formal maupun informal, serta mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan yang dilakukannya (Nurachmah, E 2004) Perry & Potter (2001), mendifinisikan bahwa seorang perawat dalam tugasnya harus berperan sebagai:kolaborator, pendidik, konselor,change agent dan peneliti. Keperawatan mempunyai karakteristik profesi yaitu memiliki body of knowledge yang berbeda dengan profesi lain, altruistik, memiliki wadah profesi, mempunyai standar dan etika profesi, akontabilitas, otonomi dan kesejawatan (Leddy & Pepper, 1993 dalam Nurachmah, E, 2004) Berdasarkan karakteristik di atas maka pelayanan keperawatan merupakan pelayanan profesional yang manusiawi untuk memenuhi kebutuhan klien yang unik dan individualistik diberikan oleh tenaga keperawatan yang telah dipersiapkan melalui pendidikan lama dan pengalaman klinik yang memadai. Perawat harus memiliki karakteristik sikap caring yaitu competence,confidence, compassion, conscience and commitment (ANA, 1995 dalam Nurachmah, 2004). Pelayanan keperawatan yang optimal dapat dicapai jika perawat sudah profesional. Peran perawat Peran adalah seperangkat perilaku yang diharapkan secara sosial yang berhubungan dengan fungsi individu pada berbagai kelompok sosial. Tiap individu mempunyai berbagai peran yang terintegrasi dalam pola fungsi individu. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap kedudukannya dalam sistem ( Zaidin Ali , 2002,). Menurut Gaffar (1995) peran perawat adalah segenap kewenangan yang dimiliki oleh perawat untuk menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. 2.7 Peran Perawat Dalam Tanggap Bencana Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit saja. Tetapi, pelayanan keperawatan tersebut juga sangat dibutuhkan dalam situasi tanggap bencana. Perawat tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan dasar praktek keperawatan saja, Lebih dari itu, kemampuan tanggap bencana juga sangat di butuhkan saaat keadaan darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal bagi perawat untuk bisa terjun memberikan pertolongan dalam situasi bencana. Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda, kita lebih banyak melihat tenaga relawan dan LSM lain yang memberikan pertolongan lebih dahulu dibandingkan dengan perawat, walaupun ada itu sudah terkesan lambat.
2.8 Peran Perawat Dalam Manajemen Kejadian Bencana Seorang perawat, khususnya perawat komunitas memiliki tanggung jawab peran dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap preimpact, impact/emergency, dan postimpact. Dalam melakukan tugasnya tentu perawat tidak bisa berjalan sendiri. Koordinasi dan persiapan yang baik mulai dari pemerintah atas hingga ke cabang-cabang di bawahnya mutlak diperlukan. Dimulai dari pusat studi bencana, badan meteorologi, pemerintah pusat dan daerah, para teknisi, departemen kesehatan, palang merah nasional, tenaga-tenaga kesehatan, departemen penerangan, dinas transportasi hingga dinas kebakaran dan lembagalembaga swadaya masyarakat, semua ikut terlibat dalam perencanaan persiapan penanggulangan bencana. Peran perawat disini bisa dikatakan multiple, ialah sebagai bagian dari penyusun rencana, pendidik, pemberi asuhan keperawatan, dan bagian dari tim pengkajian kejadian bencana. Tujuan utama dari tindakan keperawatan bencana ini adalah untuk mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana tersebut. Jika seorang perawat berada di pusat area bencana, ia akan dibutuhkan untuk ikut mengevakuasi dan memberi pertolongan pertama pada korban Sedangkan di lokasi-lokasi penampungan seorang perawat bertanggung jawab pada evaluasi kondisi korban, melakukan tindakan keperawatan berkelanjutan, dan mengkondisikan lingkungan terhadap perawatan korban-korban dengan penyakit menular. 1). Peran dalam Pencegahan Primer Ada 2 hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana ini, antara lain: a.
Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana untuk tiap fasenya (preimpact, impact, postimpact). b.
Para perawat ini, khususnya perawat komunitas mendapat pelatihan tentang berbagai
tindakan dalam penanggulan ancaman dan dampak bencana. Misalnya mengenali instruksi ancaman bahaya; mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency (makanan, air, obat-obatan, pakaian dan selimut, serta tenda) dan mengikuti pelatihan penanganan pertama korban bencana.
Perawat ikut terlibat bersama berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang merah nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat. EDUCATION Program promosi kesehatan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapai bencana seharusnya merupakan bagian dari perencanaan perawat komunitas. Penyuluhan atau usaha edukasi publik harus meliputi: a.
Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut)
b.
Keluarga
c.
Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga
dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan, dan pertolongan pertama luka bakar. Pelatihan ini akan lebih baik jika keluarga juga diberikan informasi mengenai perlengkapan kesehatan (first aid kit) yang seharusnya ada di rumah seperti obat-obat penurun panas (parasetamol), tablet antasida, obat antidiare, alkohol antiseptik, laksatif, pencuci mata, termometer, perban, plester, bidai, dan sarung tangan. d.
Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan membawa persediaan
makanan, penggunaan air yang aman. e.
Perawat juga dapat memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti
dinas kebakaran, RS dan ambulans. f.
Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa (misal pakaian
seperlunya, portable radio, senter, baterai). g.
Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau posko-posko
bencana. 2.9 Jenis Kegiatan Siaga Bencana Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda dibandingkan pertolongan medis dalam keadaan normal lainnya. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian penting. Berikut beberapa tnidakan yang bisa dilakukan oleh perawat dalam situasi tanggap bencana: 1. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan korban dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka, kerusakan fasilitas pribadi dan umum, yang mungkin akan menyebabkan isolasi tempat, sehingga sulit dijangkau oleh para
relawan. Hal yang paling urgen dibutuhkan oleh korban saat itu adalah pengobatan dari tenaga kesehatan. Perawat bisa turut andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi dengan tenaga perawat atau pun tenaga kesehatan profesional, ataupun juga melakukan pengobatan bersama perawat lainnya secara cepat, menyeluruh dan merata di tempat bencana. Pengobatan yang dilakukan pun bisa beragam, mulai dari pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan lainnya sesuai dengan profesi keperawatan. 2. Pemberian bantuan Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana, dengan menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk, seperti makanan, obat obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya. Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan langsung oleh perawat secara langsung di lokasi bencana dengan memdirikan posko bantuan. Selain itu, Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini adalah pemerataan bantuan di tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan oleh para korban saat itu, sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak mendapatkan bantuan tersebut dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak tepat sasaran. 3. Pemulihan kesehatan mental Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma psikologis akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa kesedihan yang mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam massa pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka akan mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para korban bencana. Hal yang dibutukan dalam penanganan situasi seperti ini adalah pemulihan kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh perawat. Pada orang dewasa, pemulihannya bisa dilakukan dengan sharing dan mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara yang efektif adalah dengan mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehinnga kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia kala. 4. Pemberdayaan masyarakat Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca bencana biasanya akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat memburuknya keaadaan pasca bencana., akibat kehilangan harta benda yang mereka miliki. sehinnga banyak diantara mereka yang patah arah dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong membangkitkan keadaan
tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat. Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal bagi mereka kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia miliki. Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang perawat, diantaranya: 1. Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik. Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam penanaganan bencana, haruslah mumpunyai skill keperawatan, dengan bekal tersebut perawat akan mampu memberikan pertolongan medis yang baik dan maksimal. 2. Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian. Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap elemen masyarakat termasuk perawat, kepedulian tersebut tercemin dari rasa empati dan mau berkontribusi secara maksimal dalam segala situasi bencana. Sehingga dengan jiwa dan semangat kepedulian tersebut akan mampu meringankan beban penderitaan korban bencana. 3. Perawatan harus memahami managemen siaga bencana Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang berbeda, segal hal yang terkait harus didasarkan pada managemen yang baik, mengingat bencana datang secara tak terduga banyak hal yang harus dipersiapkan dengan matang, jangan sampai tindakan yang dilakukan salah dan sia sia. Dalam melakukan tindakan di daerah bencana, perawat dituntut untuk mampu memilki kesiapan dalam situasi apapun jika terjadi bencana alam. Segala hal yang berhubungan dengan peralatan bantuan dan pertolongan medis harus bisa dikoordinir dengan baik dalam waktu yang mendesak. Oleh karena itu, perawat harus mengerti konsep siaga bencana. 2.10 Managemen Bencana Ada 3 aspek mendasar dalam management bencana, yaitu: 1. Respons terhadap bencana 2. Kesiapsiagaan menghadapi bencana 3. Mitigasi efek bencana Managemen siaga bencana membutuhkan kajian yang matang dalam setiap tindakan yang akan dilakukan sebelum dan setelah terjun kelapangan. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman, yaitu: 1. Mempersiapkan bentuk kegiatan yang akan dilakukan
Setelah mengetahui sebuah kejadian bencana alam beserta situasi di tempat kejadian, hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah memilih bentuk kegiatan yang akan diangkatkan, seperti melakukan pertolongan medis, pemberian bantuan kebutuhan korban, atau menjadi tenaga relawan. Setelah ditentukan, kemudian baru dilakukan persiapan mengenai alat alat, tenaga, dan juga keperluan yang akan dibawa disesuaikan dengan alur dan kondisi masyarakat serta medan yang akan ditempuh. 2. Melakukan tindakan yang telah direncanakan sebelumnya. Hal ini merupakan pokok kegiatan siaga bencana yang dilakukan, segala hal yang dipersiapkan sebelumnya, dilakukan dalam tahap ini, sampai jangka waktu yang disepakati. 3. Evaluasi kegiatan Setiap selesai melakukan kegiatan, perlu adanya suatu evaluasi kegiatan yang dilakukan, evaluasi bisa dijadikan acuan, introspeksi, dan pedoman melakukan kegiatan selanjutnya. Alhasil setiap kegiatan yang dilakukan akan berjalan lebih baik lagi dari sebelumnya. 2.11 Peran perawat dalam managemen bencana 1. Peran perawat dalam fase pre-impect a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam penanggulangan ancaman bencana. b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga pemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana. c. Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat dalam mengahdapi bencana. 2. Peran perawat dalam fase impact a. Bertindak cepat b. Don’t promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan pasti dengan maksud memberikan harapan yang besar pada korban yang selamat. c. Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan d. Kordinasi dan menciptakan kepemimpinan e. Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang tarkait dapat mendiskusikan dan merancang master plan of revitalizing, biasanya untuk jangka waktu 30 bulan pertama. 3. Peran perawat dalam fase post impact a. Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, fisikologi korban b. Stress fisikologi yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi post traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom dengan 3 kriteria utama. Pertama, gejala trauma
pasti dapat dikenali. Kedua, individu tersebut mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback, mimpi, ataupun peristiwa-peristiwa yang memacuhnya. Ketiga, individu akan menunjukan gangguan fisik. Selain itu, individu dengan PTSD dapat mengalami penurunan konsentrasi, perasaan bersalah dan gangguan memori. c. Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerja sama dengan unsure lintas sektor menangani maslah keehatan masyarakat paska gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan (recovery) menuju keadaan sehat dan aman. 2.12 Epidemiologi Bencana
Seperti yang tertulis, bahwa bencana itu bisa murni sebagai kejadian alam ( gempa bumi, topan, volcano, badai, banjir ) bisa juga karena perbuatan dan kelalaian manusia seperti kebakaran, perang, kecelakaan transportasi. Agen primer termasuk angin, air, lumpur, asap, dan panas. Sedangkan agen sekunder termasuk bakteri dan virus yang menkontaminasi/ menginfeksi akibat yang ditimbulkan oleh agen primer tersebut.Faktor-faktor host (manusia) juga mempengaruhi efek dari bencana tersebut, sebut saja usia, status kesehatan, status imunisasi, tingkat mobilisasi, dan kondisi psikologis. Secara langsung maupun tidak langsung bencana ikut dipengaruhi oleh agen-agen lingkungan yang sifatnya fisik, kimia, biologi maupun sosial. Secara fisik bencana dipengaruhi oleh kondisi cuaca, ketersediaan makanan dan air. Secara kimia termasuk kebocoran zat kimia ke dalam air, udara, dan ke dalam suplai makanan. Secara biologi termasuk kontaminasi pada makanan dan air, pembuangan akhir dan pengelolaan sampah yang tidak layak, dan penyimpanan makanan yang tidak sesuai. Faktor sosial termasuklah perbedaan pendapat tentang keyakinan, fanatisme, strata sosial dan lainnya.
BAB III GAMBARAN KASUS NYATA Sekitar 929 Orang Terdampak Banjir di Kalimantan Selatan Abraham Utama , CNN Indonesia Rabu, 18/05/2016 10:20 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Banjir bandang yang menerjang tiga desa di Kecamatan Pamukan Barat, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, memaksa 929 orang mengungsi. Hingga Rabu (18/5) pagi, banjir itu juga menyebabkan tiga korban meninggal. Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kotabaru, Ahmad Muslim, mengatakan, seluruh korban banjir itu berasal dari 254 keluarga. "Mereka berasal dari tiga desa, yakni, Desa Batuah, Mangka dan Sengayam, Kecamatan Pamukan Barat," ujarnya, seperti dilansir Antara. Tiga korban tewas adalah Jali (21 tahun), Uti (25) dan seorang nenek berusia 67 tahun. Ahmad menuturkan, banjir bandang yang sudah terjadi lebih dari satu pekan itu juga merusak
254 rumah. Sebanyak 22 rumah di antaranya rusak berat, sementara sisanya rusak ringan. Di Desa Mangka, kata Ahmad, terdapat 15 rumah yang terendam banjir hingga bagian atap. Ahmad berkata, lembaganya menyiapkan dapur umum untuk menyuplai konsumsi para korban banjir. Dapur tersebut juga menjadi titik kumpul korban. Sebelumnya, Kepala Polsek Pamukan Barat dan Pamukan Utara, Inspektur Satu Boni Fasius, mengatakan, hujan deras yang turun selama dua jam, Selasa (10/5), menyebabkan Sungai Samihin meluap hingga empat meter. Air sungai yang meluap, kata Boni, meruntuhkan Jembatan Samihin. Ia berkata, peristiwa itulah yang menyebabkan Uti kehilangan nyawa. "Pengendara sepeda motor itu terjatuh dan meninggal dunia," ujarnya. Jembatan Samihin merupakan penghubung antara Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Untuk sementara, pemerintah setempat membangun jembatan darurat dengan material kayu dan bambu. Menurut catatan, banjir memang kerap melanda Kotabaru. Badan Perencanaan Pembangunan di kabupaten tersebut telah mencatat kecenderungan itu sejak awal dekade 2000-an. "Setiap tahun, Kotabaru selalu menghadapi persoalan banjir di musim hujan serta kekurangan air dan kekeringan di musim kemarau," demikian tertuang pada dokumen Survey dan Desain Penanggulangan Banjir Kotabaru tahun 2003.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160518102044-20-131550/sekitar-929-orangterdampak-banjir-di-kalimantan-selatan/
BAB IV PEMBAHASAN KASUS 4.1 Bencana Banjir 4.1.1 Definisi Bencana Banjir Menurut Undang-undang No.24 Tahun 2007, bencana didefinisikan sebagai peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat. Bencana dapat disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Banjir didefinisikan sebagai tergenangnya suatu tempat akibat meluapnya air yang melebihi kapasitas pembuangan air disuatu wilayah dan menimbulkan kerugian fisik, sosial dan ekonomi (Rahayu dkk, 2009). Banjir adalah ancaman musiman yang terjadi apabila meluapnya tubuh air dari saluran yang ada dan menggenangi wilayah sekitarnya. Banjir adalah ancaman alam yang paling sering terjadi dan paling banyak merugikan, baik dari segi kemanusiaan maupun ekonomi (IDEP, 2007). 4.1.2 Kategori Banjir Kategori atau jenis banjir terbagi berdasarkan lokasi sumber aliran permukaannya dan berdasarkan mekanisme terjadinya banjir : 1. Berdasarkan lokasi sumber aliran permukaannya, terdiri dari : a. Banjir kiriman (banjir bandang) yaitu banjir yang diakibatkan oleh tingginya curah hujan didaerah hulu sungai.
b. Banjir lokal yaitu banjir yang terjadi karena volume hujan setempat yang melebihi kapasitas pembuangan disuatu wilayah. 2. Berdasarkan mekanisme terjadinya banjir yaitu a. Regular flood yaitu banjir yang diakibatkan oleh hujan. b. Irregular flood yaitu banjir yang diakibatkan oleh selain hujan, seperti tsunami, gelombang pasang, dan hancurnya bendungan.
4.1.3 Penyebab Banjir Penyebab banjir antara lain : 1. Hujan, dimana dalam jangka waktu yang panjang atau besarnya hujan selama berhari-hari. 2. Erosi tanah, dimana menyisakan batuan yang menyebabkan air hujan mengalir deras diatas permukaan tanah tanpa terjadi resapan. 3. Buruknya penanganan sampah yaitu menyumbatnya saluran-saluran air sehingga tubuh air meluap dan membanjiri daerah sekitarnya. 4. Pembangunan tempat pemukiman dimana tanah kosong diubah menjadi jalan atau tempat parkir yang menyebabkan hilangnya daya serap air hujan. Pembangunan tempat pemukiman bisa menyebabkan meningkatnya risiko banjir sampai 6 kali lipat dibandingkan tanah terbuka yang biasanya mempunyai daya serap tinggi. 5. Keadaan tanah dan tanaman dimana tanah yang ditumbuhi banyak tanaman mempunyai daya serap air yang besar. (IDEP, 2007) 4.1.4 Dampak Banjir Banjir akan terjadi gangguan-gangguan pada beberapa aspek berikut : 1. Aspek penduduk, antara lain berupa korban jiwa/meninggal, hanyut, tenggelam, luka-luka, korban hilang, pengungsian, berjangkitnya penyakit seperti penyakit kulit, demam berdarah, malaria, influenza, gangguan pencernaan dan penduduk terisolasi. 2. Aspek pemerintahan, antara lain berupa kerusakan atau hilangnya dokumen, arsip, peralatan, perlengkapan kantor dan terganggunya jalannya pemerintahan. 3. Aspek ekonomi, antara lain berupa hilangnya mata pencaharian, tidak berfungsinya pasar tradisional, kerusakan atau hilangnya harta benda, ternak dan terganggunya perekonomian masyarakat. 4. Aspek sarana/prasarana, antara lain berupa kerusakan rumah penduduk, jembatan, jalan, bangunan gedung perkantoran, fasilitas sosial dan fasilitas umum, instalasi listrik, air minum dan jaringan komunikasi. 5. Aspek lingkungan, antara lain berupa kerusakan ekosistem, objek wisata, persawahan/lahan pertanian, sumber air bersih dan kerusakan tanggul/jaringan irigasi (Mistra, 2007; Rahayu dkk, 2009).
4.2 Kesiapsiagaan 4.2.1 Definisi Kesiapsiagaan Menurut Undang-undang No. 24 tahun 2007, kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan
yang
dilakukan
sebagai
upaya
untuk
mengantisipasi
bencana
melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Menurut Ditjen Binkesmas Depkes (2005), kesiapsiagaan (preparedness) adalah upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat guna dan berdayaguna. Menurut FEMA dalam Haddow dan Bullock (2006), kesiapsiagaan dalam wilayah manajemen darurat dapat dinyatakan sebagai pernyataan kesediaan untuk berespon terhadap suatu bencana, krisis atau tipe situasi emergensi lainnya. Kesiapsiagaan bukan hanya pernyataan kesiapan tetapi juga suatu topik dimana didalamnya terdapat banyak aspek-aspek manajemen darurat. Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana dan didalam konsep pengelolaan bencana yang berkembang saat ini, peningkatan kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengurangan risiko bencana yang bersifat pro-aktif, sebelum terjadi bencana. Konsep kesiapsiagaan yang digunakan lebih ditekankan pada kemampuan untuk melakukan tindakan persiapan menghadapi kondisi darurat bencana secara cepat dan tepat (LIPI-UNESCO/ISDR, 2006). 4.2.2 Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan Puskesmas Menghadapi Bencana Banjir Manajemen bencana merupakan suatu proses terencana yang dilakukan untuk mengelola bencana dengan baik dan aman melalui 3 (tiga) tahapan : (1) pra bencana, (2) saat bencana, (3) pasca bencana (Ramli, 2010). Kesiapsiagaan sebagai kegiatan pra bencana yang dilakukan di Puskesmas melakukan ketiga fungsi Puskesmas yaitu : Universitas Sumatera Utara 1. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan bertujuan agar semua bidang pembangunan diwilayah kerja puskesmas selalu mempertimbangkan aspek kesehatan. Pembangunan yang dilaksanakan di kecamatan, seyogyanya yang berdampak positif terhadap lingkungan sehat dan perilaku sehat, yang muaranya adalah peningkatan kesehatan masyarakat (Trihono, 2005). Puskesmas harus melaksanakan fungsi penanggulangan bencana melalui kegiatan :
a. Surveilans kesehatan Menurut WHO dalam Kemenkes RI Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/2003, surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Menurut PKK-Kemenkes (2011), surveilans penyakit dan faktor resiko pada umumnya merupakan suatu upaya untuk menyediakan informasi kebutuhan pelayanan kesehatan dilokasi bencana dan pengungsian sebagai bahan untuk tindakan kesehatan segera. Kegiatan ini meliputi : 1) Melakukan analisis mengenai dampak kesehatan, dimana skala sederhananya berupa penilaian apakah tatanan diwilayah kerja Puskesmas tergolong rawan/beresiko bencana banjir (Trihono, 2005 dan Ditjen Binkesmas Depkes, 2005) 2) Melakukan pembuatan peta wilayah kerja yang menjadi tanggungjawab Puskesmas meliputi peta rawan bencana, peta sumber daya kesehatan diwilayah kerja, peta resiko bencana, peta elemen-elemen masyarakat yang kemungkinan menjadi korban bencana, dan peta potensi masyarakat dan lingkungan (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005 dan Sea Defence Consultants, 2009) 3) Mengartikan rambu-rambu bencana meliputi : • Warna : orange untuk tempat rawan, hijau untuk tempat aman • Anak panah (kearah kanan/kiri) untuk jalur evakuasi • Lokasi pemasangan rambu adalah dilokasi rawan bencana, lokasi aman/tempat evakuasi,jalur/jalan menuju tempat aman/evakuasi (IOM, 2011) 4)
Memperhatikan
sistem
peringatan
dini/isyarat-isyarat
dini
sebagai
pertanda
kemungkinan bencana akan terjadi. Sistem peringatan dini adalah sistem (rangkaian proses) pengumpulan dan analisis data serta penyebaran informasi tentang keadaan darurat atau kedaruratan. Sumber informasi dini berasal dari dua instansi yaitu BMKG yang mengeluarkan potensi cuaca ekstrim dan Dinas PU yang mengeluarkan data tinggi muka air. Di tingkat masyarakat, media untuk system peringatan dini yang sesuai dengan kearifan budaya setempat misalnya kentongan, pengumuman melalui mesjid ataupun membuat sistem peringatan dini dengan ketinggian air, mulut ke mulut/lisan, dan juga peralatan komunikasi elektronik (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005; Promise, 2009; IOM, 2011; LIPI-UNESCO/ISDR,2006)
b. Penyuluhan kesehatan Penyuluhan kesehatan kepada masyarakat mengenai kesiapsiagaan menghadapi banjir (DitjenBinkesmas Depkes, 2005 dan PROMISE, 2009) c. Kerjasama lintas sektoral Koordinasi lintas sektoral ditingkat kecamatan bertujuan untuk menggalang kerjasama dan berbagi tugas sesuai dengan peran dari tiap sektor. Bentuk kerjasama tersebut antara lain dalam bentuk tim penanggulangan bencana ditingkat kecamatan yang ditetapkan dengan surat keputusan camat (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005). Kerjasama dapat juga dilakukan kepada LSM, tokoh masyarakat, organisasi profesi, dan dunia usaha. 2. Pusat pemberdayaan masyarakat Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitasi yang bersifat non-instruktif guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan dan melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat dan fasilitas yang ada, baik dari instansi lintas sektoral maupun LSM dan tokoh masyarakat (Trihono, 2005). Sebagai pusat pemberdayaan masyarakat, Puskesmas dapat melibatkan peran aktif masyarakat dalam setiap kegiatan penanggulangan bencana baik perorangan, kelompok masyarakat maupun masyarakat secara umum (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005). Fungsi pemberdayaan masyarakat dibidang kesehatan dilakukan dengan cara: a. Memotivasi, memfasilitasi, menggali partisipasi aktif masyarakat dibidang kesehatan, yang antara lain ditandai dengan pengembangan berbagai bentuk upaya kesehatan berbasis masyarakat (Trihono, 2005). Bentuk UKBM yang didanai oleh bantuan operasional kesehatan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat menghadapi bencana adalah Poskesdes. Bentuk UKBM lainnya dapat berupa Dasipena (Pemuda Siaga Peduli Bencana) (Kemenkes, 2012). Didalam wadah UKBM, tenaga kesehatan melatih masyarakat untuk menjadi kader terlatih dalam rangka agar kader terlatih dapat membantu petugas kesehatan dalam memberikan pertolongan awal kasus gawat darurat dan dapat melayani sesama anggota masyarakat dalam menghadapi kemungkinan munculnya bencana. Pelatihan yang diberikan mencakup : kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular, promosi kesehatan mengenai perilaku hidup bersih dan sehat, penanganan gawat darurat untuk awam, penanganan gizi, dan penanganan kesehatan jiwa, kesehatan reproduksi (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005)
b. Kemitraan dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi kemasyarakatan lainnya. c. Kemitraan dengan konkes (konsil kesehatan) atau BPKM (Badan Peduli Kesehatan Masyarakat) atau BP (Badan Penyantun Puskesmas). Konsil kesehatan atau badan peduli kesehatan masyarakat (BPKM), atau badan penyantun Puskesmas (BPP) adalah suatu organisasi masyarakat yang merupakan mitra kerja Puskesmas yang berfungsi
sebagai
Konkes/BPKM/BPP
penyantun
dan
beranggotakan
pemberi tokoh
masukan
masyarakat
kepada yang
Puskesmas.
peduli
kepada
pembangunan kesehatan diwilayahnya (Trihono, 2005) d. Puskesmas peduli keluarga Puskesmas peduli keluarga adalah puskesmas yang proaktif mendeteksi, memantau dan meningkatkan kesehatan tiap keluarga diwilayah kerjanya dan memberlakukan keluarga sebagai mitra pembangunan kesehatan. Tujuan umum dari puskesmas peduli keluarga adalah meningkatnya jumlah keluarga sehat diwilayah kerja Puskesmas (Trihono, 2005) 3. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan adalah pelayanan kesehatan dasar yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan sangat strategis dalam upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat secara umum (Trihono, 2005). Pelayanan yang dilakukan sebagai pusat pelayanan kesehatan strata pertama mencakup Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). a. Upaya Kesehatan Perorangan Pelayanan kesehatan perorangan yang lebih mengutamakan pelayanan kuratif dan rehabilitatif dengan pendekatan individu. Pengobatan merupakan wujud dari pelayanan kesehatan perorangan di puskesmas (Trihono, 2005). Upaya pelayanan gawat darurat sehari-hari merupakan bentuk awal kesiapsiagaan pelayanan gawat darurat dalam bencana. Kesiapsiagaan sehari-hari mencakup penerapan protap penanganan korban gawat darurat dan rujukannya, kesiapsiagaan sarana dan prasarana pelayanan gawat darurat yang dimiliki, dan peningkatan kapasitas tenaga puskesmas dalam teknisi medis, latihan kesiapsiagaan protap penanggulangan bencana (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005).
b. Upaya Kesehatan Masyarakat Pelayanan yang bersifat publik (public good) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat minimal yang bisa dilakukan meliputi upaya kesehatan wajib, yaitu : promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi, pemberantasan penyakit menular (Trihono, 2005). Pelayanan lain yang erat kaitannya peran tenaga kesehatan pada pasca bencana adalah pelayanan kesehatan jiwa (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005) Menurut Ditjen Binkesmas Depkes (2005) , kesiapan Puskesmas dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Sehari-hari (SPGDT-S) disuatu wilayah akan menentukan kemampuan wilayah tersebut pada penanganan gawat darurat bencana. Puskesmas sebagai lini terdepan yang berperan pada pertolongan pertama pada korban, mempersiapkan masyarakat dalam upaya pencegahan terjadinya kasus gawat darurat maupun memberikan ketrampilan dalam memberikan pertolongan sesuai dengan kemampuan. Apabila Puskesmas tidak sanggup melakukan pertolongan, perlu dilakukan rujukan ke RS Kabupaten/Kota, Propinsi atau Rumah Sakit Regional maupun swasta. Peran Puskesmas dalam penanggulangan bencana berdasarkan tahapan bencana. 1. Pra Bencana a. Pemetaan Kesehatan (Geo Mapping) Merupakan kegiatan pembuatan peta wilayah kerja yang menjadi tanggungjawab Puskesmas, yang didalamnyan terdapat : a) Peta rawan bencana (Hazard Map) yaitu gambaran wilayah kerja yang berisikan jenis bencana dan karakteristik ancaman bencana. b) Peta Sumber Daya Kesehatan diwilayah kerjanya yaitu gambaran distribusi jenis sumber daya kesehatan (tenaga medis, perawat, sanitarian, gizi, alat kesehatan, ambulans, dan lain-lain) dan lokasinya c) Peta Resiko Bencana (Risk Map) yaitu peta rawan bencana yang dilengkapi resiko yang mungkin terjadi termasuk kejadian penyakit menular diwilayah tersebut. d) Peta elemen-elemen masyarakat yang memiliki kemungkinan mengalami/menjadi korban akibat peristiwa.
e) Peta potensi masyarakat dan lingkungan yaitu gambaran atau informasi lebih rinci tentang masyarakat dan lingkungan suatu area. b. Melakukan koordinasi dengan lintas sektoral Koordinasi lintas sektor ditingkat kecamatan untuk menggalang kerjasama dan berbagi tugas sesuai dengan peran dari tiap sektor. c. Pelayanan gawat darurat sehari-hari Kesiapsiagaan sehari-hari mencakup penerapan protap penanganan korban gawat darurat dan rujukannya, kesiapsiagaan sarana prasarana pelayanan gawat darurat yang dimiliki, dan peningkatan kapasitas tenaga puskesmas didalam teknis medis. d. Pemberdayaan masyarakat Penyuluhan/pelatihan pada masyarakat merupakan upaya pemberdayaan masyarakat agar masyarakat dapat melayani sesama anggota masyarakat dalam menghadapi kemungkinan munculnya bencana. Pelatihan yang diberikan mencakup : 1) Kesehatan lingkungan, 2) Pemberantasan penyakit menular, penanggulangan DBD, 3) Promosi kesehatan untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, 4) Penanganan gawat darurat bagi awam, 5) Penanganan gizi, 6) Penanganan kesehatan jiwa, kesehatan reproduksi. e. Latihan kesiapsiagaan/gladi Latihan kesiapsiagaan dilakukan melalui simulasi protap-protap yang telah disusun oleh tim penanggulangan bencana maupun simulasi tim kesehatan Puskesmas agar mampu memberikan pelayanan gawat darurat. f. Melakukan pemantauan (Surveilens) Pemantauan lokasi-lokasi rawan bencana, melalui kegiatan surveilens secara rutin diwilayah kerja Puskesmas. Pada kondisi tertentu bersama sektor terkait dan masyarakat perlu memperhatikan isyarat-isyarat dini sebagai pertanda kemungkinan bencana akan terjadi.
2. Saat Bencana Pada saat terjadinya bencana disuatu wilayah, Puskesmas harus segera memberi informasi awal ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kegiatan mencakup :
a. Operasi pertolongan terhadap korban berdasarkan triase Operasi pertolongan pertama dilakukan oleh tim Puskesmas bersama masyarakat yang sudah terlatih dalam penanganan gawat darurat. Pertolongan awal pada korban dilakukan dilokasi kejadian bila kondisi memungkinkan (lokasi aman, tidak ada bahaya susulan, tidak dalam komando Polri/TNI). Pertolongan ynag diberikan berupa pertolongan bantuan hidup dasar yaitu resusitasi jantung paru (RJP). Bila tidak memungkinkan dengan bantuan masyarakat, tim SAR, polisi dan aparat setempat, korban dipindahkan kearea yang dianggap aman disekitar lokasi atau langsung ke Puskesmas terdekat untuk dilakukan pertolongan pertama. Pertolongan pertama korban dilapangan didasarkan pada triase yang bertujuan seleksi korban dan jenis pertolongan yang diperlukan berdasarkan tingkat keparahan, kedaruratan dan kemugkinan korban untuk hidup. Korban akibat bencana dapat diseleksi menjadi : 1) Kelompok Label Merah (Gawat Darurat) Kelompok korban gawat darurat yang memerlukan pertolongan stabilisasi segera, antara lain korban dengan syok, gangguan pernapasan, trauma kepala dengan pupil anisokor, perdarahan eksternal masif untuk mencegah kematian dan kecacatan. Pembebasan jalan nafas (airway), pemberian nafas buatan (breathing), mengatasi syok (circulation) dan mencegah kecacatan (disability) dengan prioritas pada korban yang kemungkinan hidup lebih besar. Stabilisasi dilakukan sambil menunggu pertolongan tim gabungan. Pada kondisi korban perlu dirujuk dan keadaan memungkinkan, Puskesmas dapat segera melakukan rujukan dengan tepat melakukan stabilisasi selama perjalanan ke sarana yang lebih mampu (RS). 2) Kelompok Label Kuning
Kelompok
korban
yang
memerlukan
pengawasan
ketat
tetapi
perawatan/pengobatan dapat ditunda sementara. Yang termasuk kategori ini adalah korban dengan resiko syok, fraktur multipel, fraktur femur/pelvis, luka bakar luas,
gangguan kesadasaran/trauma kepala, korban dengan status tidak jelas. Korban pada kelompok ini, harus diberikan cairan infus, dan pengawasan ketat terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi dan diberikan perawatan sesegera mungkin. 3) Kelompok Label Hijau
Kelompok korban yang tidak memerlukan pengobatan atau perawatan segera. Kelompok ini mencakup korban dengan fraktur minor, luka minor, trauma psikis. Kadang korban memerlukan pembidaian dan atau pembalutan sebelum dipindahkan. 4) Kelompok Label Hitam Merupakan kelompok korban yang tidak memerlukan pertolongan medis karena sudah meninggal. Korban perlu dikelompokkan tersendiri untuk dilakukan evaluasi dan identifikasi oleh aparat yang berwenang. Upaya pertolongan korban melalui triase oleh tim Puskesmas dilaksanakan dengan menggunakan obat dan perbekalan kesehatan yang tersedia diPuskesmas. Pengumpulan 1. Lokasi terdekat dan aman untuk pertolongan pertama kasus gawat darurat 2. Bawa korban ke area perawatan melalui triase Triase 1. Temukan kegawatan korban 2. Gunakan label yang disepakati 3. Tulis diagnose & instruksi untuk tindakan dalam stabilisasi korban Kejadian 1. Nilai apakah mungkin pertolongan pertama dilakukan dilokasi 2. Bila mungkin lakukan RJP 3. Pindahkan korban ke area pengumpulan yang aman
Perawatan 1. Lakukan pemeriksaaan ulang & prioritaskan kasus dengan kegawatan 2. Lakukan tindakan stabilisasi 3. Lakukan komunikasi untuk rujukan 4. Tentukan alat & petugas untuk evakuasi korban 5. Buat pengelompokkan untuk perawatan sementara Transportasi 1.Kelompokkan ambulan & kru sesuai fasilitas 2.Letakkan ambulan gadar didekat area perawatan 3.Atur tujuan evakuasi b. Penilaian Awal secara Cepat (Initial Rapid Health Assessment) Kegiatan ini bertujuan untuk menilai suatu kejadian awal dari bencana yang terjadi diwilayah kerja. Penilaian awal tersebut dilakukan sesegera mungkin dan mencakup : 1) jenis kejadian bencana, 2) sumber bencana, 3) siapa yang terkena dampak, 4) berapa besar dampak yang ditimbulkan (jumlah korban), 5) kemampuan respon oleh puskesmas, 6) resiko potensial tambahan, 7) bantuan yang diperlukan. Penilaian awal kejadian bencana merupakan tanggungjawab Puskesmas dan harus segera dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk dilakukan penilaian cepat lanjutan dan pemberian bantuan.
c. Survailans Penyakit Menular dan Gizi Pengamatan terhadap suatupenyakit yang potensial menimbulkan terjadinya kejadian luar biasa (KLB) dan Gizi, dilakukan mulai terjadinya bencana dengan mengintensifkan kegiatan survailans rutin.
d. Bergabung dengan Satgas Kesehatan di Pos Lapangan Adanya peningkatan/eskalasi SPGDT-S menjadi SPGDT-B maka pelayanan gawat darurat dalam penanggulangan bencana diambil alih oleh Satgas Kesehatan dibawah koordinasi Satlak PBP di Pos Medis Lapangan. Pos Medis Lapangan dapat memanfaatkan gedung Puskesmas, tenda darurat atau bangunan lain. e. Pemberdayaan Masyarakat Pada tahap bencana peran serta aktif masyarakat ditujukan untuk membantu petugas kesehatan melalui kader-kader yang sudah terlatih dalam kegawatdaruratan. Kader terlatih sebagai komponen SPGDT diharapkan bersma Puskesmas dapat memberikan pertolongan awal kasus gawat darurat sambil menunggu bantuan tim Kabupaten/Kota, dan selanjutnya bergabung dengan tim kesehatan bencana dipos medis lapangan, membantu tim gabungan dalam memberi bantuan darurat yaitu pangan, sandang, tempat tinggal, kebutuhan air bersih, sanitasi.
3. Pasca Bencana Penanganan masalah kesehatan yang terkait kegiatan paska bencana Puskesmas merupakan bagian dari Satgas Kesehatan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap pasca bencana meliputi : a. Surveilans Penyakit Potensial Kejadian Luar Biasa Lanjutan Rusaknya lingkungan akibat bencana dapat berpengaruh pada kesehatan masyarakat seperti rusaknya sarana air bersih, sarana jamban, munculnya bangkai dan vektor penyebar penyakit yang merupakan potensi menimbulkan kejadian luar biasa. Untuk mencegah terjadinya terjadinya KLB maka Puskesmas bersama Satgas Kesehatan melakukan pemantauan terhadap kejadian beberapa kasus penyakit seperti Diare, Malaria, ISPA, Kholera, keracunana makanan melalui hasil kegiatan pelayanan kesehatan, faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan masalah penyakit antara lain vektor penyakit (nyamuk, lalat, tikus), kecukupan air bersih, sarana jamban, sarana pembuangan air limbah dan status gizi penduduk rentan (bayi, anak, balita ibu hamil, ibu bersalin)
b. Pemantauan Sanitasi Lingkungan Kegiatan pemantauan sanitasi lingkungan paska bencana ditujukan terhadap kecukupan air bersih, kualitas air bersih, ketersediaan dan sanitasi sarana mandi, cuci kakus, sarana pembuangan air limbah termasuk sampah dilokasi pemukiman korban bencana. Pemantauan juga dilakukan terhadap vektor penyebab penyakit c. Upaya Pemulihan Masalah Kesehatan Jiwa dan Masalah Gizi pada Kelompok Rentan Stress paska trauma yang banyak dialami oleh korban bencana dapat diatasi melalui konseling dan intervensi psikologis lainnya, agar tidak berkembang menjadi gangguan stress paska trauma. Masalah gizi pada kelompok rentan (Balita, ibu hamil dan ibu menyusui serta usia lanjut) memerlukan pemantauan dan pemulihan melalui pemberian makanan tambahan yang sesuai dengan kelompok umur untuk menghindari terjadinya kondisi yang lebih buruk.
d. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat paska bencana yang dilakukan oleh Puskesmas ditujukan agar masyarakat tahu apa yang harus dilakukan untuk menolong diri sendiri, keluarga dan masyarakat terhadap kemungkinan timbulnya masalah kesehatan. Upaya pemberdayaan tersebut mencakup : 1) Perilaku hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari dipenampungan darurat/pengungsian 2) Pertolongan pertama pada kecelakaan dan penyakit yang timbul paska bencana 3) Perbaikan kualitas air dengan penjernihan dan kaporisasi sumber daya air yang tersedia 4) Membantu pengendalian vector penyakit menular dalam rangka system kewaspadaan dini KLB. (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005) Dukungan tenaga kesehatan dalam penanggulangan bencana di Puskesmas mencakup penyediaan tenaga kesehatan yang kompeten dalam penanggulangan bencana melalui pelatihan-pelatihan : a. Tenaga dokter dengan pelatihan minimal PPGD bagi dokter
b. Tenaga perawat dengan pelatihan minimal PPGD bagi perawat c. Tenaga perawat/sanitarian dengan pelatihan surveilans d. Tenaga bidan dengan pelatihan PPGD Bidan e. Tenaga gizi dengan pelatihan penanganan gizi pengungsian f. Tenaga dokter/perawat dengan kompetensi konselor kesehatan jiwa (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005) Jumlah minimal sumber daya manusia (SDM) kesehatan untuk penanganan korban bencana berdasarkan : 1. Untuk jumlah penduduk/pengungsi antara 10.000 – 20.000 orang meliputi dokter umum 4 orang, perawat 10-20 orang, bidan 8-16 orang, apoteker 2 orang, asisten apoteker 4 orang, pranata laboratorium 2 orang, epidemilogi 2 orang, entomology 2 orang, sanitarian 4 -8 orang, ahli gizi 2 -4 orang. 2. Untuk jumlah penduduk /pengungsi 5000 orang dibutuhkan : • Bagi pelayanan kesehatan 24 jam dibutuhkan dokter 2 orang, perawat 6 orang, bidan 2 orang, sanitarian 1 orang, gizi 1 orang, asisten apoteker 2 orang dan administrasi 1 orang. • Bagi pelayanan kesehatan 8 jam dibutuhkan dokter 1 orang, perawat 2 orang, bidan 1 orang, sanitarian 1 orang dan gizi 1 orang. (Depkes RI, 2007) Dukungan obat dan perbekalan kesehatan dalam penanggulangan bencana di Puskesmas mencakup obat, bahan habis pakai, bahan sanitasi, MP-ASI, sediaan farmasi untuk gawat darurat dan perbekalan kesehatan lain. Dukungan obat dan perbekalan tersebut meliputi : a. Kebutuhan untuk triase (tanda pengenal, kartu dan label triase, peralatan administrasi, tandu, alat penerangan) b. Peralatan resusitasi jalan nafas (oksigen tabung, peralatan intubasi, peralatan trakeostomi, ambubag) c. Peralatan resusitasi jantung (infuse set, cairan infuse RL, NaCL, Dektrose, obat-obatan penatalaksanaan syok)
d. Perlengkapan perawatan luka (kapas, verban elastik, sarung tangan, minor surgery set, antiseptik, bidai/spalk, collar neck, selimut) e. Alat evakuasi (alat penerangan, tandu) f. Peralatan pelayanan pengobatan (tensimeter, stetoskop, lampu senter, minor surgery set) g. Dukungan sarana komunikasi, transportasi (radio komunikasi, ambulans), dan identitas petugas h. Obat-obatan pelayanan pengobatan (antibiotik, analgetik, antipiretik, antasida, antialergi, antiradang, obat kulit, obat mata, oralit, obat batuk, obat-obat psikofarmaka sederhana, dan lain-lain sesuai kebutuhan) i. Dukungan logistik untuk pemberian makanan tambahan pada sasaran rentan (ibu hamil, ibu bersalin, bayi, balita) (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005) 2.3 Teori Pembentukan Kesiapsiagaan Menurut Citizen Corps (2006), perilaku kesiapsiagaan dapat diuji dengan menggunakan Transtheoritical Model dari Perilaku Berubah, yang juga disebut sebagai tahap-tahap model perubahan. Pada model ini, individu mendemonstrasikan berbagai tingkat kesiapan untuk berubah atau berbagai tingkat aktifitas saat ini. Model ini menempatkan individu dalam 5 (lima) tahap yang mengindikasikan kesiapan untuk mengupayakan, membuat atau mendukung perubahan perilaku. Kelima tahap tersebut adalah : 1. Precontemplation (Pra Renungan), dimana pada tahap ini individu tidak berniat untuk berubah atau bahkan berfikir tentang perubahan dalam waktu dekat (biasanya diukur 6 bulan berikutnya) 2. Contemplation (Renungan), dimana individu belum dipersiapkan untuk mengambil tindakan pada saat ini, tetapi berniat untuk mengambil tindakan dalam jara kenam bulan kedepan. 3. Preparation (Persiapan), dimana individu secara aktif mempertimbangkan untuk mengubah perilakunya kedepan dengan segera 4. Action (Tindakan), dimana individu benar-benar membuat suatu perubahan perilakunya beberapa waktu yang lalu, namun perubahan tersebut belum dipertahankan dengan baik (dipertahankan 6 bulan atau kurang).
5. Maitenance (Pemeliharaan), dimana individu telah berubah perilakunya, telah dipertahankan lebih dari 6 bulan, dan sedang bekerja untuk menjaga perubahannya. Menurut Merriam-Webster, kesiapan dapat didefinisikan sebagai persiapan secara mental dan fisik pada suatu pengalaman atau tindakan. Antonovsky (1987), Bandura (1977), Rosenbaum (1988), Meichenbaum & Cameron (1983), seorang individu dindikasikan siap untuk berubah mencakup kemampuan untuk berkoping, menyelesaikan masalah, dan ditunjukkan dengan perilaku yang baik/sehat (Walinga, 2008) Menurut Mc.Kiernan et al (2005), teori perkembangan evolusi dari kesiapsiagaan dan plastisitas Brunswikian menyatakan bahwa perilaku berhubungan antara terbentuknya kebiasaan dan punahnya kebiasaan. Perilaku tersebut disebabkan tampilan domain independen dan domain dependen. Domain independen berada pada dalam prinsip pengorganisasian yang digunakan untuk mengolah berbagai bentuk indikator data yang masih terdapat ketidaksesuaian/kekeliruan. Sedangkan domain dependen berada antara pemberlakuan lingkungan yang unik dan pemanfaatan indikator fungsi dari lingkungan tersbut. 2.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan Menghadapi Bencana Menurut Transtheoretical Model of Behaviour Change yang dinyatakan oleh Citizen Corps (2006), faktor-faktor yang memengaruhi kesiapsiagaan terhadap bencana adalah 1) external motivasi meliputi kebijakan, pendidikan dan latihan, dana, 2) pengetahuan, 3) sikap, 4) keahlian. Menurut Sutton dan Tierney (2006), kegiatan kesiapsiagaan hendaknya didasarkan kepada pengetahuan tentang potensial dampak bahaya bencana dalam kesehatan dan keselamatan, kegiatan pemerintahan, fasilitas dan infrastruktur, pemberian pelayanan, kondisi lingkungan ekonomi, serta dalam peraturan dan kebijakan. Menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006) parameter pertama faktor kritis kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam adalah pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana. Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat memengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap siaga menghadapi bencana. a. Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni : indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni: 1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. 2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi ril (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atua penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 4. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagianbagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Menurut Transtheoretical Model of Behaviour Change yang dinyatakan oleh Citizen Corps, 2006, pengetahuan yang dimaksud adalah dimana individu memiliki pengetahuan tentang tindakan kesiapsiagaan yang direkomendasikan. b. Sikap Menurut Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood dalam Azwar (2011), sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seorang terhadap suatu objek adalah
perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Menurut Notoatmodjo (2007), sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka. Sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2007), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni : a) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. b) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek. c) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni : 1. Menerima (Receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2. Merespon (Responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. 3. Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. 4. Bertanggungjawab (Responsible) Bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Menurut Transtheoretical Model of Behaviour Change yang dinyatakan oleh Citizen Corps (2006), sikap diartikan individu meyakini bahwa mampu untuk mengambil tindakantindakan kesiapsiagaan, meyakini dalam efektifitas dan penggunaan tindakan kesiapsiagaan, meyakini bahwa tindakan-tindakan kesiapsiagaan sebanding dengan investasi waktu dan sumber daya. Menurut Maarif (2011), setiap orang yang bekerja dalam penanggulangan bencana atau agen membutuhkan sikap kepemimpinan dan 3 (tiga) kriteria atau nilai yang melekat pada
dirinya. Ketiga kriteria itu adalah skill , social responsibility, dan spirit of corp. Melalui kepemimpinan yang melihat penanggulangan bencana secara komprehensif, niscaya penanggulangan bencana tersebut dapat menempatkan para korban atau masyarakat terdampak sebagai manusia bermartabat.
BAB V PENUTUP 3.1 Simpulan Bencana alam merupakan sebuah musibah yang tidak dapat diprediksi kapan datangnya. Apabila bencana tersebut telah datang maka akan menimbulkan kerugian dan kerusakan yang membutuhkan upaya pertolongan melalui tindakan tanggap bencana yang dapat dilakukan oleh perawat. 3.2 Saran Sebagai seorang calon perawat diharapkan bisa turut andil dalam melakukan kegiatan tanggap bencana. Sekarang tidak hanya dituntut mampu memiliki kemampuan intelektual namun harus memilki jiwa kemanusiaan melalui aksi siaga bencana.
DAFTAR PUSTAKA 1. Efendi,Ferry.2009.Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan praktik dalam keperawatan.Jakarta.Penerbit Salemba Medika 2. Mepsa,Putra.2012.Peran
Mahasiswa
Keperawatan
Dalam
Tanggap
Bencana.20http://fkep.unand.ac.id/images/peran_mahasiswa_keperawatan_dalam_tan ggap_bencana.docx. Diakses tanggal 2 Juni 2017
3. Kholid, Ahmad S.Kep, Ns. 2015.Prosedur Tetap Pelayanan Medik Penanggulangan Bencana.Jakarta:Salemba Medika 4. http://dc126.4shared.com/doc/ZPBNsmp_/preview.html. Diakses tanggal 2 Juni 2017
5. Mursalin.2011.Peran Perawat Dalam Kaitannya Mengatasi Bencana. Diakses tanggal 2 Juni 2017 Bencana, Pujiono. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana Paragdima Penanggulangan.
Blogspot. (2010). Bencana. http://keperawatankomunitas.blogspot.com/2010/04/bencana.html.Diakses Pada Tanggal 21 Maret 2012. Pukul 08.45 WIB.
Fendi,
Ferry.
(2007). Konsep
Bencana
Disaster.www.ferryefendi.blogspot.com/2007/12/konsep-bencana-disaster.html. Diakses Pada Tanggal 21 Maret 2012. Pukul 08.00 WIB.
Munawar.
(2011). Pengertian
Dan
Istilah-istilah
Bencana.www.kangmunawar.com/bencana/pengertian-dan-istilah-istilah-bencana.
Diakses
Pada Tanggal 21 Maret 2012. Pukul 08.15 WIB.
Weenbee.
(2011). Peran
Perawat
Dalam
Manajemen
Bencana.http://weenbee.wordpress.com/2011/08/23/peran-perawat-dalam-manajemenbencana/#more-94. Diakses Pada Tanggal 21 Maret 2012. Pukul 09.00 WIB.
1. Wikipedia.
Tanggal
(2011). Bencana. www.id.wikipedia.org/wiki/bencana. 21
Maret
2012.
Pukul
Diakses
08.30
Pada WIB.