BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Nilai moral pada dasarnya adalah mengupayakan anak mempunyai kesadaran dan berprilaku taat moral yang secara otonom berasal dari dalam diri sendiri. Dasar otonomi nilai moral adalah identifikasi dan orientasi diri. Pola hidup keluarga (ayah dan ibu) merupakan ”model ideal” bagi peniruan dan pengidentifikasian perilaku dirinya. Otomisasi nilai moral dan anak berlangsung dalam dua tahap, yaitu pembiasaan diri dan pengidentifikasian diri. Merujuk pada sistem moral Spranger, nilai-nilai moral yang diupayakan bagi kepemilikan dan perkembangan dasar-dasar disiplin diri mencakup lima nilai, yaitu nilai-nilai ekonomis, sosial politis, ilmiah, estetis dan agama. Dalam nilai Spranger, nilai etik tidak berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian integral dari nilai religi. Hubungan antara disiplin diri dengan nilai ini merupakan nilai konsep moral yang memungkinkan orang tua untuk membantu anak dalam memiliki dasar disiplin diri.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apakah pengertian nilai, moral, dan sikap pada remaja? 2) Bagaimana keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap, serta pengaruhnya terhadap tingkah laku? 3) Bagaimana karakteristik nilai, moral, dan sikap pada remaja? 4) Faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral, dan sikap pada remaja? 5) Apa saja perbedaan individu dalam perkembangan nilai, moral, dan sikap? 6) Bagaimana contoh upaya-upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap remaja dalam penyelenggaraan pendidikan?
1
1.3 Tujuan Penulisan Penulisan
Secara umum tujuan penulisan ini adalah untuk menjawab masalah-masalah penulisan yaitu : 1) Mengetahui pengertian nilai, moral, dan sikap pada remaja 2) Mengetahui keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap, serta pengaruhnya terhadap tingkah laku 3) Mengetahui karakteristik nilai, moral, dan sikap pada remaja 4) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral, dan sikap 5) Mengetahui perbedaan individu dalam perkembangan nilai, moral, dan sikap pada remaja 6) Mengetahui contoh upaya-upaya pengembangan nilai, moral dan sikap remaja dalam penyelenggaraan pendidikan
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Nilai, Moral, dan Sikap Pada Remaja
Nilai merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya. Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai (Harrock, 1976 dalam Hartono, Agung dan Sunarto 2008 ). Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Nilai merupakan standar konseptual yang relatif stabil yang secara eksplisit atau implisit membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya. Dinamika maupun perkembangan remaja sebagai individu maupun sebagai suatu komunitas masyarakat, tergantung pada kelompok masyarakat tradisional ataukah modern para remaja tersebut berkembang. Dengan demikian, nilai adalah suatu tatanan t atanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tert entu. Istilah moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan (Gunarsa, 1986 dalam Hartono, Agung dan Sunarto 2008). Sedangkan pengertian moralitas berhubungan dengan keadaan nilai-nilai moral yang berlaku dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat. Jadi, suatu tingkah laku di katakan bermoral jika tingkah laku itu sesusai dengan nilainilai moral yang berlaku dalam kelompok sosial di mana seseorang itu berada. Nilai moral ini tidak sama dalam setiap masyarakat. Karena pada umumnya nilai moral ini di pengaruhi oleh kebudayaan dari kelompok atau masyarakat itu sendiri. Apa yang di anggap baik oleh suatu kelompok atau masyarakat belum tentu baik untuk kelompok atau masyarakat yang lain. Tetapi apa yang di anggap tidak baik oleh suatu kelompok di lakukan oleh seseorang dalam kelompok tersebut, maka tingkah laku orang tersebut di katakan tidak bermoral. Jadi, moral
3
merupakan ajaran tentang baik, buruk, perbuatan dan kelakuan, akhlak dan sebagainya. Sikap merupakan salah satu aspek psikologis individu yang sangat penting karena sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun jenisnya sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek sikap dalam kehidupan individu, mendorong para psikolog untuk mengembangkan teknik dan instrumen untuk mengukur sikap manusia. Sikap tidak identik dengan respons dalam bentuk perilaku, tidak diamati secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari konsistensi per ilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respons reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau situasi (Horocks, 1976 dalam Hartono, Agung dan Sunarto, 2008). Dengan demikian, sikap adalah predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus untuk bertingkah laku atau bereaksi dengan suatu cara tertentu terhadap orang lain, objek, lembaga, atau persoalan tertentu.
2.2
Keterkaitan Antara Nilai, Moral, dan Sikap, Serta Pengaruhnya Terhadap Tingkah Laku
Perubahan pengetahuan individu tentang objek atau sekumpulan objek akan menimbulkan perubahan perasaan individu yang bersangkutan mengenai objek atau
sekumpulan
objek
tersebut
dan
selanjutnya
akan
memengaruhi
kecenderungannya untuk bertindak terhadap objek atau sekumpulan objek tersebut. Dalam kaitannya dengan pengamalan nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup dan tenggang rasa. Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk melakukan sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predisposisi atau kecenderungan individu untuk merespons terhadap suatu objek atau sekumpulan objek sebagai perwujudan dari
4
sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral t ersebut. Dengan sistem nilai yang dimiliki, individu akan menentukan perilaku mana yang harus dilakukan dan yang harus dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap dan perilaku nyata sebagai perwujudan sistem siste m nilai dan moral yang mendasarinya. Menurut Gerung, sikap secara umum di artikan sebagai kesediaan bereaksi individu terhadap satu hal (Mapire, 1982 : 58 dalam Hartono, Agung dan Sunarto, 2008). Sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa kecendrungan tingkah laku. Jadi, sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut. Dengan demikian, keterkaitan antara nilai, moral, sikap, dan tingkah laku akan tampak dalam pengamalan nilai-nilai. Dengan kata lain nilai-nilai perlu di kenal lebih dulu, kemudian di hayati dan di dorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang di maksud.
2.3 Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Pada Remaja
Nilai-nilai kehidupan perlu diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh para remaja tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun saja, namun juga seperangkat nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, misalnya nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan, dalam bentuk sesuai dengan perkembangan remaja. Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang di harapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian bersedia membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial atau masyarakat tanpa terus di bimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak. Michel meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus di lakukan oleh remaja (Hurlock alih bahasa
5
Istiwidayanti dan kawan-kawan, 1980 : 225 dalam Hartono, Agung dan Sunarto 2008) sebagai berikut : 1) Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak. 2) Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan. 3) Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya. 4) Penilaian moral menjadi kurang egosentris. ego sentris. 5) Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi. Perkembangan moralitas perlu di tinjau mulai dari waktu anak di lahirkan, untuk dapat memahami mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang sangat penting. Dari hasil penyelidikan-penyelidikannya Kohlberg mengemukakan tiga tingkatan yang di bagi menjadi enam stadium perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam urutan tert entu, sebagai berikut : 1) Prakonvensional 2) Konvensional 3) Post-konvensional Masing-masing tingkat terdiri dari dua tahap, sehingga keseluruhan ada enam tahap (stadium) yang berkembang secara bertingkat dengan urutan yang tetap. Tidak semua orang bisa mencapai tahap terakhir perke mbangan moral. moral. Dalam stadium nol, anak menganggap baik apa yang sesuai dengan permintaan dan keinginannya. Sesudah stadium ini dat anglah :
Tingkat I : Prakonvensional, yang terdiri dari stadium 1 dan 2 Pada stadium 1 , anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak menganggap buruk atau baik atas dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui bahwa aturan oleh suatu kekuasaan yang tidak bisa di ganggu gugat dan ia harus menurut.
6
Pada stadium 2 , berlaku prinsip Relativistik-Hedonism. Pada tahap ini, anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang terkandung di dalam dunia luarnya, atau di tentukan oleh orang lain, mereka menyadari bahwa setaip kejadian mempunyai beberapa segi, ada relativisme yang artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan seseorang.
Tingkat II : Konvensional, yang terdiri dari stadium 3 dan 4 Pada stadium 3 , menyangkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini anak memasuki umur belasan tahun, di mana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat di nilai baik atau tidak baik oleh orang lain.
Pada stadium 4 , yaitu tahap mempertahankan norma-norma yang sosial dan ortoritas. Pada tahap ini perbuatan baik yang di perlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat di terima oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan-aturan atau norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada agar tidak timbul kekacauan.
Tingkat III : Pasca-Konvensional, yang terdiri dari stadium 5 dan 6 Pada stadium 5 , merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial, dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan tuntuan norma-norma sosial karena sebaliknya, lingkungan sosial atau masyarakat juga akan memberikan perlindungan kepadanya. , tahap ini disebut Prinsip universal . Pada tahap ini ada norma Stadium 6 etik di samping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang dengan masyarakatnya ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak baik. Subjektivisme ini berarti ada perbedaan penilaian antara seseorang dengan orang lain. Dalam hal ini, unsur etika menentukan apa yang boleh dan baik di lakukan atau sebaliknya. Remaja
7
mengadakan penginternalisasian moral, yaitu remaja melakukan tingkah lakutingkah laku moral yang di kemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri.
2.4 Faktor-Faktor Faktor-Fakto r yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap Pada Remaja
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang di anggapnya sebagai model. Bagi anak-anak usia 12 dan 16 tahun, gambaran-gambaran ideal yang diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orangorang terkenal, dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri. Bagi para ahli psikoanalitis perkembangan moral dipandang sebagai proses internalisasi norma-norma masyarakat dan dipandang sebagai kematangan dari sudut organik biologis. Menurut psikoanalisis moral dan nilai menyatu dalam konsep superego. Superego dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar (khususnya orang tua) sedemikian rupa sehingga akhirnya terpencar dalam diri sendiri. Karena itu, orang-orang yang tak mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar tidak mampu mengembangkan superego yang cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma masyarakat. Teori-teori lain yang non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan anakorang tua bukan satu-satunya sarana pembentuk moral. Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya control dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat pelanggar-pelanggarnya. (Sarlito, 1992 : 92 dalam Hartono, Agung dan Sunarto, 2008) Di dalam usaha pembentukan tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan memegang peranan penting. Di antara segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung di kenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tert entu. Dalam hal ini lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang berfungsi
8
sebagai pendidik dan pembina. Makin jelas sikap dan sifat lingkungan terhadap nilai hidup tertentu dan moral makin kuat pula pengaruhnya untuk membentuk tingkah laku yang sesuai. Kohlberg menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nilai kebudayaan. Anak memang berkembang melalui interaksi sosial, tetapi faktor si anak dalam membentuk aktivitas juga berperan penting dalam perkembangan ini. Perkembangan dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang, maka makin tinggi pula tingkat moral orang tersebut.
2.5 Perbedaan Individu dalam Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Pemahaman tentang moral dan nilai pada anak-anak akan bebeda dengan pemahaman pada orang yang lebih dewasa, seorang anak akan menganggap suatu nilai atau moral itu pasti, dalam artian tidak dapat di ubah. Lain halnya dengan pemahaman pada orang yang lebih dewasa dengan pola pikir yang sudah berkembang maka seorang dewasa akan memahami bahwa nilai itu bisa di tawar atau minta di ubah kalau di setujui oleh semua orang. Dalam kenyataan sehari-hari selalu saja ada gradasi dalam intensitas penghayatan dan pengamalan individu mengenai nilai-nilai tertentu. Misalnya pemahaman konsep dari nilai tenggang rasa, bila dibandingkan dengan sikap serta tingkah lakunya dalam kaitannya dengan tenggang rasa, memungkinkan kita menempatkan individu dalam satu kontinum.
2.6 Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja Serta Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Apa yang terjadi di dalam diri pribadi seseorang hanya dapat di dekati melalui cara-cara tidak langsung, yakni dengan mempelajari gejala dan tingkah laku seseorang tersebut, maupun membandingkannya dengan gejala serta tingkah laku orang lain. Di antara proses kejiwaan yang sulit untuk dipahami adalah proses terjadinya dan terjelmanya nilai-nilai hidup dalam diri individu, yang
9
mungkin didahului oleh pengenalan nilai secara intelektual, disusul oleh penghayatan nilai tersebut, dan yang kemudian tumbuh di dalam diri seseorang sedemikian rupa kuatnya sehingga seluruh jalan pikiran, tingkah lakunya, serta sikapnya terhadap segala sesuatu di luar dirinya, bukan saja diwarnai tetapi juga dijiwai oleh nilai tersebut. Karena itu, ada kemungkinan bahwa ada individu yang tahu tentang sesuatu nilai tetap menjadi pengetahuan. Tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan moral seperti yang diharapkan, maka kita dihadapkan dengan masalah pembinaan. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral, dan sikap remaja adalah :
a. Menciptakan Komunikasi Dalam komunikasi didahului dengan pemberian infornmasi tentang nilai-nilai dan moral. Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa bagaimana seseorang harus bertingkah laku sesuai dengan norma dan nilai-nilai moral, tetapi anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya untuk mengikutsertakan remaja dalam beberapa pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok. Nilai-nilai hidup yang dipelajari memerlukan satu kesempatan untuk diterima dan diresapkan sebelum menjadi bagian integral dari tingkah laku seseorang. Dan, nilai-nilai hidup yang dipelajari baru betul-betul berkembang apabila telah dikaitkan dalam da lam konteks kehidupan bersama.
b. Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu dan moral, kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagaimana pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan yang secara positif, jujur, dan konsekuen senantiasa mendukung bentuk tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup tersebut. Ini berarti antara lain, bahwa usaha pengembangan tingkah laku nilai hidup hendaknya tidak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan pendekatan-pendekatan intelektual intelekt ual
10
semata-mata tetapi juga mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif di mana faktor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan penjelmaan yang konkret dari nilai-nilai hidup tersebut. Karena lingkungan merupakan faktor yang cukup luas dan sangat bervariasi, maka tampaknya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan sosial terdekat terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina yaitu orang tua dan guru.
Nilai-nilai keagamaan perlu mendapat perhatian, karena agama juga mengajarkan tingkah laku yang baik dan buruk, sehingga secara psikologis berpedoman kepada agama termasuk dalam final. Per lu juga diperhatikan bahwa satu lingkungan yang lebih banyak bersifat mengajak, mengundang, atau memberi kesempatan, akan lebih efektif daripada lingkungan yang ditandai dengan larangan-larangan dan peraturan-peraturan peraturan-peratura n yang serba membatasi.
11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai merupakan suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Moral merupakan ajaran tentang baik, buruk, perbuatan dan kelakuan, akhlak dan sebagainya. Sedangkan sikap adalah predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus untuk bertingkah laku atau bereaksi dengan suatu cara tertentu terhadap orang lain, objek, lembaga, atau persoalan t ertentu. Keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap tampak dalam pengalaman sehari-hari. Hal ini akan tampak dalam pengamalan nilai-nilai di dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai perlu di kenal lebih dulu, kemudian di hayati dan di dorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai denga n nilai-nilai yang di d i maksud. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan nilai, moral, dan sikap remaja adalah menciptakan komunikasi di samping memberi informasi dan remaja diberi kesempatan untuk berpartisipasi untuk aspek moral, serta menciptakan sistem lingkungan yang serasi a tau kondusif. Hal ini akan menambah tingkat nalar seseorang sehingga dia dengan sendirinya mampu untuk mengembangkan dan menelaah nilai-nilai yang berkembang pada lingkungan tempat hidupnya, kondisi seperti inilah yang diharapkan mampu menanamkan pemahaman tetang nilai moral yang baik.
3.2 Saran
Melalui makalah ini, diharapakan dapat menambah pengetahuan tentang nilai, moral, dan sikap pada remaja. Sebagaimana kita ketahui remaja memegang peranan penting dalam kemajuan suata bangsa pada masa yang akan datang. Nilai, moral, dan sikap pada remaja perlu dipahami oleh calon pendidik, sehingga dapat mengarahkan peserta didik dalam bersosialisasi dengan orang lain. Dalam
12
pengutipan materi pada makalah ini belumlah sempurna dalam penyusunannya. Oleh karena itu, kami sebagai penyusun mengharapakan saran dan masukan yang bersifat membangun agar dalam penyusunan makalah pada masa mendatang dapat lebih optimal.
DAFTAR RUJUKAN
Hartono, Agung. dan Sunarto. 2008. Perkembangan Peserta Didik . Jakarta: Rineka Cipta. Ali, Muhammad. dan Asrori Muhammad. 2008. Psikologi Remaja . Jakarta: Bumi Aksara.
13