Penerapan Teori Kritis, Teori Habermas dan Teori Foucault
Dalam Proses Kebijakan Publik di Indonesia
Niki Stenly Kondo
NIM: 14/375828/SMU/01028
Program Doktor Studi Kebijakan UGM
Pendahuluan
Makna kebijakan publik (public policy) sebagai hasil dari suatu proses keilmuan, selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa sejalan dengan perubahan sudut pandang dan obyek kajian yang dilakukan oleh para ilmuwan. Untuk memperoleh kejelasan pengertian yang lebih mendalam, perlu dikemukakan beberapa pendapat para ilmuwan yang merumuskan policy. Anderson (1979:3) menyebutkan, bahwa policy adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang atau sekelompok orang pelaku, guna memecahkan masalah tertentu.
Selanjutnya, Anderson (1979:3) menyebutkan bahwa kebijakan publik (public policy) adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah (public policies are those policies developed by developmental bodies and officials). Batasan ini lebih ditekankan pada pengembangan inisiatif, dan peranan pejabat, serta lembaga-lembaga pemerintah. Sedangkan Dye (1978:3) mengemukakan bahwa kebijakan publik (public policy) adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan (public policy is whatever governments choose to do or notto do). Definisi tersebut tampaknya hanya bersifat aspirasi sepihak, yakni hanya merupakan keinginan pemerintah saja tanpa memperhatikan tuntutan-tuntutan dari masyarakat.
Dewasa ini, tatanan sosial masyarakat telah berubah sedemikian pesat. Cara-cara tradisional untuk mengerjakan tugas-tugas kehidupan telah mulai ditinggalkan, Seiring berjalannya waktu, ilmu pengetahuan semakin meluas, perubahan demi perubahan pun terjadi. Dalam ranah kebijakan, pembaharuan-pembaharuan pun perlu dilakukan agar kebijakan publik senantiasa relevan dengan keadaan zaman dan dinamika sosial. Perkembangan teori sosial dari waktu ke waktu telah mempengaruhi dan mengambil peran penting dalam proses dan implementasi kebijakan publik di setiap negara. Studi tentang policy, mencakup pertanyaan: what, why, who, when, how, dan where. Semua pertanyaan tersebut menyangkut masalah yang dihadapi lembaga-lembaga yang mengambil keputusan, yang menyangkut: isi, cara atau prosedur yang ditentukan, strategi, waktu keputusan itu diambil dan dilaksanakan.
Tulisan ini mengambil objek studi pemikiran Mahzab Frankfurt, Habermas, dan Faucault dalam proses dan imlementasi kebijakan publik di Indonesia. Kelompok pemikir ini mengembangkan 'Teori Kritis', Teori komunikasi dan emansipatoris, serta Teori Wacana. Fase awal intelektual kelompok pemikir ini ditandai dengan kritik deras terhadap positivisasi ilmu-ilmu sosial (teori tradisional). Teori Tradisional ini didasarkan pada pola pikir postivisme logis yang membatasi ilmu pengetahuan pada fakta-fakta dan mengesampingkan pernyataan-pernyataan yang bersifat irasional. Teori Kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta obyektif, yang umumnya dianut oleh aliran positivistik. Teori kritis berusaha menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi yang bersifat trasendental yang melampaui data empiris.
Kecenderungan di Indonesia saat ini, masalah publik hanya dilihat sebatas pada fakta-fakta empiris yang ada tanpa mengupas fenomena di balik fakta-fakta tersebut. Hal ini berakibat pada kebijakan-kebijakan yang diambil untuk mengatasi masalah publik lebih bersifat pragmatis, yang kemudian menjadi sekedar mengatasi satu masalah dan menimbulkan masalah baru sebagai dampak dari suatu kebijakan, dan memunculkan kebijakan tambal sulam berikutnya.
Pembahasan
Teori kritis Mazhab Frankurt (Frankurter Schule)
Mazhab Frankurt berawal dari ketidakpuasan terhadap penggunaan teori-teori Marx yang telah menyimpang dari pemikiran/pandangan asli Karl Marx. Teori Marx mulanya mengkritik ideologi borjuis dan buruh terasing, mengulas sejarah materialisme, sejarah perjuangan kelas dan eksploitasi tenaga kerja dalam berbagai modus produksi, sistem analisis kapitalisme sebagai ekstraksi surplus tenaga kerja melalui kerja bebas di pasar bebas; penyatuan teori dan praktis; analisis konflik demi perubahan yang revolusioner, menggagas demokrasi sosialis, menuju masyarakat tanpa kelas. Kemudian terjadi transisi dari kapital dalam skala kecil ke monopoli kapitalis dan imperialism. Muncul pergerakan kaum buruh sosialis; kaum reformis, munculnya perang/kesejahteraan negara, revolusi Rusia dan lahirnya komunisme, periode neoteknik, munculnya media massa dan budaya media, seni 'modern', serta lahirnya nazisme. Kondisi inilah yang mendorong para pemikir Mazhab Frankurt antara lain Max Horkheimer untuk memodifikasi paham Marxisme untuk menjawab tantangan perubahan zaman.
Max Horkheimer dalam esainya tahun 1937 Tradisional dan Teori Kritis: mengemukakan teori kritis adalah sebagai teori sosial yang berorientasi pada mengkritisi dan mengubah masyarakat secara keseluruhan, berbeda dengan teori tradisional yang berorientasi hanya untuk memahami atau menjelaskan suatu hal. Horkheimer ingin membedakan teori kritis sebagai bentuk emansipatoris radikal teori Marxis, mengkritisi kedua model ilmu pengetahuan yang diajukan oleh positivisme logis dan apa yang ia dan rekan-rekannya lihat sebagai positivisme rahasia dan otoritarianisme dari Marxisme ortodoks dan Komunisme. Teori kritis dibangun sebagai program metodologis jangka panjang yang selalu diperbaiki dan dilengkapi dengan wawasan baru, dan pengembangan teori ini bertujuan untuk mengaitkan rasio dan kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori dan praktis. Dengan singkat bisa dikatakan, bahwa teori kritik disusun dengan maksud praktis.
Selain itu, kritik juga dilontarkan oleh Mahzab Frakfurt terhadap masyarakat modern. Kritik terutama diarahkan terhadap rasio instrumental yang telah mendominasi masyarakat modern. Rasio instrumental adalah suatu pemikiran yang memandang segala sesuatu hal yang lain dalam kerangka manipulasi bagi kepentingan seseorang, contoh pembangunan kamp-kamp konsentrasi nazi, peredaman potensi revolusi kaum proletar oleh kaum borjuis di Amerika. Teori kritis bersifat komprehensif, dan membantu menuju masyarakat yang rasional, manusiawi, demokratis, dan sosialis. Konsep inti teori kritis dalam ilmu sosial diarahkan pada totalitas masyarakat dalam kekhususan sejarah (yaitu bagaimana ia datang untuk dikonfigurasi pada titik spesifik di waktu tertentu), dan meningkatkan pemahaman tentang masyarakat dengan mengintegrasikan semua ilmu-ilmu sosial utama, termasuk geografi, ekonomi, sosiologi, sejarah, ilmu politik, antropologi, dan psikologi.
Teori Habermas
Jurgen Habermas adalah penerus dari Teori Kritis yang ditawarkan oleh generasi pertama Mahzab Frankurt. Habermas membangkitkan kembali teori itu dengan paradigma baru. Fase awal intelektual Habermas juga ditandai dengan kritik derasnya terhadap positivisasi ilmu-ilmu sosial. Teori Kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta obyektif, yang umumnya dianut oleh aliran positivistik. Teori kritis berusaha menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi yang bersifat trasendental yang melampaui data empiris.
Pemikiran Habermas bertolak dari karyanya The Structural Transformation of the Public Sphere (1961), yang mengisahkan sejarah perkembangan ruang publik borjuis pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 serta kemundurannya kemudian. Habermas mencatat dua fase perubahan didalamnya yaitu dari masyarakat monarkis feodal (monarchical feudal status society) menjadi masyarakat liberal (liberal bourgeois public sphere) dan selanjutnya menjadi masyarakat modern dalam negara kesejahteraan (modern mass social welfare state). Dalam dua karyanya The Logic of Social Sciences (1963) dan Knowledge and Human Interests (1967), Habermas, dengan menerapkan teknik psikoanalisis terhadap pengetahuan di masyarakat, berhasil mengungkapkan tiga kepentingan utama dibalik pengetahuan yang ada. Kepentingan- kepentingan itu adalah pengetahuan yang didorong oleh kepentingan bersifat teknis, praktis, dan emansipatoris. Ketiganya dapat dipahami berhubungan dengan tiga anasir eksistensi manusia secara sosial yaitu kerja, komunikasi, dan kekuasaan. Kepentingan pertama terkait dengan kebutuhan untuk kelestarian diri manusia akan menghasilkan satu pengetahuan yang bersifat teknis dengan rasio instrumental guna pengendalian alam bagi kepentingan manusia. Pengetahuan kedua terkait dengan kebutuhan sosial manusia untuk saling memahami dalam lingkungan masyarakatnya dan menghasilkan satu pengetahuan yang bersifat sosial-hermeneutis. Pengetahuan ketiga terkait dengan kepentingan pengembangan tanggung jawab sebagai manusia dan menghasilkan pengetahuan yang kritis dan emansipatoris demi tercapainya kedaulatan manusia itu sendiri. Pengetahuan jenis ketiga ini dapat mentransendensikan kedua pengetahuan sebelumnya.
Gagasan Habermas tentang pembedaan kepentingan selaras dengan pembedaan rasionalitas yang telah digagas sebelumnya oleh Kant. Kant dalam pemikiran filsafatnya membedakan rasio ke dalam tiga kelompok utama. Pertama adalah rasio murni yang terkait rasio pengkalkulasi berhubungan dengan permasalahan ilmu pengetahuan dimana patokan validasinya adalah kebenaran (truth). Rasio kedua adalah rasio praktis yang terkait dengan masalah normatifitas yang akan berhubungan dengan moralitas dan politik dengan patokan validitasnya adalah kebenaran normative (normative rightness). Rasio ketiga adalah rasio estetis terkait dengan keindahan atau seni yang akan berhubungan dengan masalah estetika dimana patokan validitasnya hanyalah kejujuran (truthfulness).
Keberhasilan ilmu-ilmu alam dalam menaklukan alam dan memenuhi kebutuhan manusia membawa popularitas baginya sehingga memunculkan gagasan akan penggunaan metodenya bagi seluruh ilmu pengetahuan. Dengan demikian, jenis pengetahuan lain tenggelam dalam metode ilmu-ilmu alam. Celakanya, orang lupa bahwa kepentingan utama yang melandasi ilmu alam tersebut adalah kepentingan manipulasi bagi kepentingan manusia. Apabila hal tersebut digunakan guna menyelidiki manusia lain maka yang terjadi adalah ilmu-ilmu tersebut rentan untuk diselewengkan guna kepentingan tertentu seperti kepentingan pemilik modal misalnya. Akan terjadi satu manipulasi oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya. Selain itu, adanya jarak yang diambil oleh peneliti dengan subyek hanya akan menghasilkan satu pengetahuan yang afirmatif atau mengamini kekuasaan yang ada (status quo). Perkembangan kapitalisme yang dahsyat dengan segala penghisapannya yang terjadi diduga banyak memanfaatkan ilmu-ilmu dengan karakter seperti ini.
Dominasi rasio instrumental dalam peradaban modern inilah yang mengakibatkan banyak problematika. Suatu patologi dalam modernitas menurut istilah Habermas. Jurgen Habermas menambahkan konsep komunikasi di dalam Teori Kritis. Cara mengatasi masalah tersebut adalah dengan memunculkan kembali rasio komunikatif dalam percaturan ilmu-ilmu sosial. Penyelidikan Habermas kemudian beralih kepada tindak komunikasi yang akan menghasilkan teori tindak komunikatif, salah satu gagasan orisinil utamanya. Disini Habermas banyak berhutang pada teori tindak komunikatif dari para filsuf analitik bahasa seperti Wittgenstein dan J L Austin. Konsep language games Wittgenstein adalah satu penjelasan dalam teori tindak komunikasi yang diusung Habermas. Tindak komunikasi, sebagai satu unsur utama kebudayaan, adalah satu sistem penyampaian makna melalui tindakan dan praktek komunikasi. Apa yang gagal tersampaikan dalam praktek komunikasi dilengkapi dengan tindakan, sedangkan apa yang menjadi maksud tindakan disampaikan melalui praktek komunikasi. Dengan demikian, terwujudlah satu jalinan interpretasi hingga maknanya dapat tersampaikan. Dalam tindak komunikasi di masyarakat terjadilah interaksi tersebut antar individu di masyarakat sehingga mencapai satu obyektivitas yang berasal dari intersubyektivitas. Habermas membedakan antara riset/penelitian dan komunikasi (interaksi). Penelitian merupakan tindakan instrumental, jadi sebuah tindakan yang bertujuan untuk mencapai sesuatu. Sedangkan komunikasi adalah tindakan saling pengertian. Bagi Habermas suatu tindak komunikasi haruslah bersifat partisipatif dan emansipatif sehingga tercapai tujuannya yaitu solidaritas dan keadilan. Partisipatif dalam artian menuntut peran serta aktif semua subyek didalamnya. Emansipatif dalam artian menghilangkan unsur-unsur represif dalam tindak komunikasi.
Habermas berpendirian kritik hanya dapat maju dengan rasio komunikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikatif atau tindakan komunikatif. Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui revolusi atau kekerasan, tetapi melalui argumentasi. Kemudian Habermas membedakan dua macam argumentasi, yaitu: perbincangan atau diskursus dan kritik. Habermas menawarkan demokrasi deliberatif memiliki makna yang tersirat yaitu diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur. Teori demokrasi deliberatif tidak memfokuskan pandangannya dengan aturan-aturan tertentu yang mengatur warga, tetapi sebuah prosedur yang menghasilkan aturan-aturan itu.Teori ini membantu untuk bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi bagaimanakah aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga warganegara mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Dengan kata lain, demokrasi deliberatif meminati kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu. Secara tidak langsung, opini-opini publik di sini dapat mengklaim keputusan-keputusan yang membuat warga mematuhinya. Di dalam demokrasi deliberatif, kedaulatan rakyat dapat mengkontrol keputusan-keputusan mayoritas. Kita sebagai rakyat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh orang-orang yang memegang mandat.
Gagasannya tentang tindak komunikasi dan etika emansipatoris pada dasarnya adalah kelanjutan semangat humanisme dari Marx guna membebaskan manusia dari keterasingan dan secara lebih luas membebaskan modernitas dari patologi yang dideritanya. Habermas lebih memilih menyelesaikan modernitas ketimbang meninggalkannya sebagaimana yang dilakukan seteru intelektualnya, kaum posmodern. Habermas percaya manusia masih memerlukan satu landasan normatif etik yang dapat digapai dengan satu tindak komunikatif yang partisipatif dan emansipatif dalam satu situasi ideal. Arti penting gagasan Habermas adalah dukungannya terhadap demokrasi di dalam peradaban global, suatu demokrasi dalam arti sesungguhnya dimana masing-masing subyek didalamnya bebas dalam melakukan tindak komunikasi dengan rasionalitasnya.
Demokrasi deliberatif
Istilah deliberasi berasal dari kata Latin deliberatio yang lalu dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah ini berarti 'konsultasi', 'menimbang-nimbang', atau kita telah meiliki kosa kata politis 'musyawarah'.. penggabungannya dengan istilah demikrasi memberi makna khusus pada konsep demokrasi itu sendiri. Istilah demokrasi deliberatif sudah tersirat di dalam apa yang telah dibicarakan Habermas; diskursus praktis, formulasi opini dan aspirasi politis politische Meinungs-und Willenbildung), proseduralisme atau kedaulatan rakyat sebagai prosedur (Volksouveranitat als Verfahren). Teori demokrasi deliberatif tidak memusatkan diri pada penyusunan daftar aturan-aturan tertentu yang menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh warga negara, melainkan pada prosedur untuk menghasilkan aturan-aturan itu. Teori ini melontarkan pertanyaan, bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi-kondisi manakah aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikan rupa sehingga para warganegara mematuhi aturan-aturan itu. Dengan kata lain, model meminati persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu. Menurut Hardiman (2009: 129) model ini dapat secara memadai menjelaskan arti kontrol demokrasi melalui opini publik. Opini-opini publik bisa jadi merupakan opini-opini mayoritas yang mengklaim legitimasi mereka. Opini-opini itu juga dapat memiliki suatu bentuk yang logis dan koheren yang dianggap sahih secara universal dan rasional. Akan tetapi, opini-opini mayoritas tidak niscaya identik dengan opini-opini yang benar. Bagi model demokrasi deliberatif adalah jauh lebih penting memastikan dengan cara manakah opini-opini mayoritas itu terbentuk sedemikian rupa sehingga seluruh warganegara dapat mematuhinya.
Demokrasi deliberatif muncul sebagai salah satu varian dari teori normatif demokrasi yang bertentangan dengan teori-teori agregatif demokrasi ( Shapiro 2002). Berbeda dengan teori agregatif, yang terutama difokuskan pada masalah agregasi preferensi individu dan kelompok, demokrasi deliberatif percaya dalam diskusi wajar warga, dengan memproduksi argumen yang dapat diterima bersama secara wajar, preferensi awal berubah dan keputusan konsensus kolektif dicapai. Teori demokrasi deliberatif datang dalam berbagai varian yang berbeda. Dari perspektif abstrak teori politik, Joshua Cohen menawarkan model normatif demokrasi deliberatif sebagai "asosiasi yang mana urusan publik diatur oleh musyawarah anggotanya" (Cohen 1989, 17). Ini adalah sebuah asosiasi independen dan permanen di mana anggota bebas dan sama membuat keputusan melalui musyawarah yang wajar, sesuai dengan seperangkat aturan tertentu. Benjamin Barber, dalam kerangka tuntutan republiknya untuk "demokrasi yang kuat", mengembangkan konsepsi pengamatan publik, penilaian politik dan bicara politik-demokrasi, dan membuat saran untuk reformasi bagunan kelembagaan (untuk Amerika Serikat, tetapi mereka dapat dibaca sebagai rekomendasi umum untuk demokrasi kontemporer juga). Dalam konsepsinya, masyarakat sipil harus memperkuat rasionalitas dunia kehidupan dan mengekang penyalahgunaan kekuasaan administratif dan ekses logika pasar. Modelnya tidak menuntut penataan lembaga-lembaga politik yang ada sesuai dengan tuntutan formal deliberatif ideal, namun memungkinkan komunikasi rasional menyebar dalam ruang publik masyarakat demokratis-liberal yang ada (Habermas 1998). Rasionalitas hasil deliberasi politis seperti yang dikatakan oleh Habermas berdasarkan " pada arti normatif prosedur demokratis yang seharusnya menjamin bahwa semua persoalan yang relevan bagi masyarakat dijadikan tema." Di dalam demokrasi deliberatif semua tipe diskursus praktis beroperasi di dalam formasi opini dan aspirasi secara demokratis untuk secara publik diuji alasan-alasan pengusulan peraturan politis. Penentuan legitimasi melalui diskursifitas merupakan gagasan inti demokrasi deliberatif. Forst (1994) merumuskan model ini sebagai berikut:
"Demokrasi deliberatif berarti bahwa bukanlah jumlah kehendak-kehendak individual dan juga bukan sebuah 'kehendak umum' yang merupakan sumber legitimasi, melainkan sumber legitimasi itu adalah proses formasi deliberatif, argumentatif-diskursif suatu keputusan politis yang ditimbang bersama-sama yang senantiasa bersifat sementara dan terbuka atas revisi."
Para pendukung analisis kebijakan deliberatif mencoba untuk membangun forum untuk analisis dan menciptakan kebijakan sesuai dengan model didasarkan pada teori demokrasi deliberatif. Bahkan, mereka ingin menggantikan model klasik analisis kebijakan dengan demokrasi deliberatif untuk mendemokratisasikan proses pembuatan kebijakan publik. Menurut peneliti, hal tersebut hanyalah sebagai dimensi politik dari analisis kebijakan interpretif, kontras dengan dimensi analitis sebagaimana telah diuraikan Petkovic pada bagian 1-3 tulisannya yang berjudul Interpretive Policy Analysis and Deliberative Democracy: Must We Politicize Analysis?
. Analisis kebijakan bukannya harus mempromosikan inklusi politik dan emansipasi warga (Fischer 2000, 14, 32). Meskipun Fischer tidak menganjurkan penghapusan keahlian, ia menyatakan bahwa para ahli memiliki pengaruh terlalu besar dan tidak terkendali pada pengambilan keputusan dan bahwa "warga negara dan para ahli dapat mencapai keseimbangan yang lebih demokratis antara pengetahuan dan partisipasi" (Fischer 2000, 40). Dalam pemahaman peneliti, posisi seperti Fischer mengandung kecenderungan menyamakan analisis kebijakan interpretif dengan program politik demokrasi deliberatif. Mereka menganjurkan penggantinya analisis otonom ahli dengan musyawarah egaliter ahli dan warga yang menganalisis dan membuat kebijakan bersama-sama. Alih-alih bentuk politik untuk pengambilan keputusan kolektif, musyawarah di sini menjadi model untuk membentuk analisis demokratis yang mendelegitimasi penelitian otonom kebijakan dan analisis yang dilakukan oleh para ahli sendiri. Tidak ada masalah dalam menyarankan (kebijakan) musyawarah sebagai program politik khusus, yang kemudian dapat diperkirakan sesuai dengan kelebihan dan kekurangannya. Namun, masalah muncul jika dinyatakan bahwa analisis kebijakan deliberatif sebenarnya satu-satunya pendekatan yang sah untuk analisis dan pembuatan kebijakan, dan bahwa tujuan utama dari analisis kebijakan adalah politisasi warga pasif, dan mendorong secara berlebihan masyarakat dan para ahli untuk menciptakan demokrasi yang kuat (Fischer 2000: 2).
Selain pertimbangan teoritis umum, demokrasi deliberatif, dan ini mungkin lebih penting untuk penelitian ini, termasuk desain rangka deliberatif, seperti konferensi konsensus, jajak pendapat musyawarah dan emulasi kontemporer pertemuan kota bersejarah (Gastil dan Levine 2005). Para pendukung analisis kebijakan deliberatif mencoba untuk membangun forum untuk analisis dan menciptakan kebijakan sesuai dengan model seperti mini-publik di mana warga, menurut seperangkat aturan, kebijakan yang disengaja dan mencapai solusi konsensus untuk masalah kebijakan. Model analisis dan pembuatan kebijakan mereka didasarkan pada teori demokrasi deliberatif.
Metode Arkeologi-Genealogi dan Kuasa Wacana Michel Foucault
Pemikiran Foucault tentang metode arkeologi, genealogi, dan analisis wacana sebenarnya juga dekonstruksi, akan tetapi mengambil strategi yang berbeda dengan Derrida. Jika Derrida dengan metode dekonstruksinya menjungkirbalikkan gagasan strukturalisme dan asumsi ilmu pengetahuan modern, khususnya pada bidang bahasa dan sastra, Foucault memilih jalan arkeologis yang kemudian setelah tahun 1970-an istilah itu berubah menjadi genealogi. Genealogi adalah metode yang digunakan Foulcault untuk menjelaskan sejarah ilmu pengetahuan dan bagaimana konstruksi ilmu atau wacana ilmiah (konsep dan teori) yang berbeda pada setiap era bisa terjadi.
Istilah arkeologi (archeology) diambil Foucault dari filsafat Yunani kuno yakni "arche", yakni berkaitan dengan pencarian asal-mula alam. Selanjutnya, Foucault lebih sering menggunakan istilah genealogi (genealogy) untuk makna yang relatif sama; asal-usul (genesis). Foucault mengembangkan konsep dan cara kerja metode arkeologi-genealogi ini berdasarkan pemikiran Nietzsche, yakni dengan melakukan penelitian historis tentang asal-usul 'sesuatu' dan perkembangannya dari masa ke masa. Foucault menampilkan metafora ilmu pengetahuan manusia laksana lukisan di pasir pantai yang disapu ombak. Maksudnya ialah konsep manusia modern berubah mengikuti gelombang perubahan jaman yang memunculkan paradigma baru ilmu pengetahuan.
Banyak pemikir dan metode yang memengaruhi dan membentuk pemikiran Foucault antara lain: positivisme ilmiah, strukturalisme, hermeneutika, dan fenomenologi. Pemikiran Marx serta semangat "dekonstruksi" Nietzsche menjiwai hampir semua tulisan Foucault dan pemikir post-strukturalis dan postmodernis lainnya. Pengaruh Marx misalnya terlihat seperti hubungan antara kuasa dan ilmu pengetahuan serta kritik tajamnya terhadap subyek transendental (esensialisme) yang sangat dominan pada filsafat modern. Foucault menolak konsep Kant (juga Descartes dan Husserl) tentang subyek yang transendental, subyek yang tetap (esensialisme) dengan mengajukan konsep subyek yang dikonstruksi secara sosial-budaya, khususnya melalui wacana. Foucault menyatakan bahwa subyek adalah produk sejarah, produk wacana yang berbeda dari satu era ke era lainnya (diskontinuitas), sehingga individu berubah. Demikian pula halnya pandangan/konsep tentang kegilaan, seksualitas, atau normal dan tidak normal selalu berubah dari satu era ke era lainnya.
Dalam penelusuran historic-epistemologique, Foucault mengadopsi pemikiran Canguilheim yang fokus pada pembahasan filsafat ilmu pengetahuan, metodologi dan estetika. Canguilheim merupakan epistemolog yang membahas problem sosiologi pengetahuan (ilmiah); melihat keterkaitan ilmu pengetahuan dengan konteks sosial-historis (budaya). Salah satu tujuan arkelogi-genealoginya Foucault adalah "menyingkap pembentukan pandangan tentang tubuh dan dekonstruksi tentang tubuh" itu yang tersurat dalam sejarah.
Pada analisis wacana Foucault (metode), penelitian tentang wacana berfokus pada tiga asumsi penting. Pertama, ilmu pengetahuan yang mengontruksi subyek dan yang kemudian menjadi obyek penelitian. Kedua, teknologi diri (tubuh) sebagai alat individu untuk mengubah dirinya sebagai subyek. Ketiga, sebagai praktik "pemisah" atau "pembeda" yang membedakan antara wacana normal dan tidak normal, antara penjahat dengan orang yang patuh hukum, antara kawan dan lawan. Teknologi pendisiplinan yang tumbuh di berbagai tempat: rumah sakit, sekolah, penjara, menghasilkan apa yang disebut Foucault dengan "tubuh yang patuh". Pengetahuan, aturan-aturan melahirkan tubuh yang patuh, menundukkan sehingga digunakan sebagai alat untuk perubahan (Foucault, 1977: 198; Baker, 2004: 230).
Menurut Foucault ilmu pengetahuan (savoir) dapat dijadikan sebagai alat yang ampuh untuk pendisiplinan dan pelatihan dan untuk menaklukkan dan membuat orang patuh. Jika savoir berkaitan dengan pengetahuan formal dan gagasan-gagasan filosofis dan institusi formal yang mengawasi kegiatan ilmiah, maka connaissance adalah badan-badan pengetahuan formal seperti: buku-buku, jurnal ilmiah, teori-teori filosofis, serta norma-norma religius. Dengan kata lain, connaissance berupa setiap badan pengetahuan khusus seperti fisika nuklir, biologi evolusioner, atau psikoanalisis Freudian, sementara savoir adalah sebagai kondisi-kondisi diskursif yang diperlukan bagi pengembangan connaissance (Gutting, 1989: 251; Denzin, 2011: 222).
Melalui metode arkeologisnya, Foucault menunjukkan adanya seperangkat perubahan savoir yaitu perubahan konseptual, praktik, prosedur, institusi, dan norma-norma keilmiahan yang memungkinan sebuah keilmiahan formal (connaissance) baru muncul dan menggantikan yang lama. Dengan demikian, istilah arkeologi Foucault difokuskan pada kajian tentang savoir, yaitu "kondisi yang memungkinkan" bagi lahirnya ilmu pengetahuan formal (connaissance) (Foucault, 1994a: 262). Dari analisis genealogis, Foucault membuktikan bahwa hanya dengan munculnya kliniklah yang membuka kemungkinan berkembangnya wacana medis. Selanjutnya, menurut Foucault, wacana adalah pusat aktivitas manusia. Bahasa tidak mengkopi atau mencerminkan realitas, akan tetapi membentuk dan menciptakan. Bahasa memiliki potensi yang terbuka dan berkembang. Ketidakstabilan makna memungkinkan kita untuk mendefinisikan ulang, memaknai ulang tentang; demokrasi, hak asasi, perempuan, gender, kolonialisme, kesejahteraan, dan lain-lain.
Arkeologi pada Foucault adalah kondisi historis, perkembangan konsep ilmiah, dan perubahan institusi dalam rentang sejarah yang relatif panjang. Sedangkan genealogi menjelaskan bagaimana hubungan jaringan dan proses diskursus (wacana) terjadi. Pembahasan Foucault tentang wacana merupakan perkembangan pemikirannya yang bergeser dari strukturalisme ke post-strukturalisme. Ia meneliti bagaimana kondisi-kondisi dasar yang memungkinkan terbentukan wacana ilmiah. Foucault menolak kepastian, obyektivitas dan universalitas teori (wacana ilmiah) berdasarkan argumen perbedaan episteme setiap era dan keterkaitan faktor sosial-budaya dengan episteme yang digunakan. Menurutnya, pandangan tentang "tubuh", tentang normal dan tidak normal, misalnya, senantiasa berbeda sesuai perkembangan sosial-budaya. Rasionalitas suatu wacana seperti: normal dan tidak normal, benar dan salah, bermoral dan tidak bermoral berkaitan dengan dimensi sosial-historis suatu masyarakat. Foucault mengkritik pandangan ilmiah modern yang menganggap klaim ilmu (pengetahuan) sebagai kebenaran obyektif-universal, karena menurutnya kita hanya mengetahui yang benar dan semu (salah) sebagai pengaruh wacana tertentu terhadap pikiran kita. Karena itu, pengetahuan tidaklah niscaya bersifat obyektif dan pasti (final).
Model dan pendekatan dalam proses kebijakan publik di Indonesia
Teori-teori yang digagas Mazhab Frankurt, Habermas, dan Foucault mendorong penggunaan pendekatan-pendekatan baru dalam pengambilan keputusan/kebijakan antara lain, pendekatan fenomologik, pendekatan partisipatoris, dan pendekatan historis. Dalam pendekatan fenomologik para analis (secara metodologik) memperlakukan setiap potongan dari fenomena sosial sebagai suatu peristiwa yang unik, dengan indeks etnografik dan indeks kualitatif menjadi lebih penting. Pandangan alternatif ini dideskripsikan oleh kepeduliannya dengan pemahaman, ketimbang prediksi, dengan hipotesis-hipotesis kerja, ketimbang dengan pengujian hipotesis yang ketat, dan dengan hubungan timbal balik antara peneliti dengan obyek studi, ketimbang observasi yang terpisah dari para pihak analis. Untuk mengumpulkan 'bukti' pendekatan ini lebih memanfaatkan penggunaan studi-studi kasus secara berkelanjutan, ketimbang menggunakan teknik-teknik analisis yang canggih. Pendekatan partisipatoris, menurut pandangan DeLeon (1988) mempunyai kaitan erat dengan tantangan postpositivist, dan mecakup inklusi perhatian yang besar dan nilai-nilai dari berbagai stakeholders dalam proses pembuatan keputusan kebijakan. Pendekatan historis menekankan analis dapat memperoleh perspektif yang jauh lebih baik tentang pola-pola pembuatan kebijakan publik melalui titik pandang kurun waktu yang panjang untuk melihat evolusi kebijakan dari waktu ke waktu. (Winarno, 2014: 66-69)
Proses kebijakan publik pada dasarnya merupakan suatu proses pemecahan masalah secara kolektif. Proses ini untuk sebagian dapat dipahami sebagai proses politik, karena melibatkan banyak aktor dalam setiap tahap proses kebijakan. Sebagai proses politik, pada setiap tahap berlangsung negosiasi dan kompromi dari masing-masing aktor yang terlibat, dengan pertimbangan politik masing-masing. Proses kebijakan, juga dapat dipahami sebagai proses rasional, karena sejumlah aktor secara rasional berusaha memecahkan masalah publik melalui prosedur pengambilan keputusan secara rasional. Di Indonesia tampak bahwa pembuatan kebijakan secara rasional, bukan seperti rasionalitas yang dimaksud oleh kelompok mazhab frankurt, habermas dan faocault, yang membangun rasionalitas berdasarkan penalaran dan pemahaman yang mendalam terhadap suatu kejadian (masalah publik). Pembuatan kebijakan di Indonesia masih didasari pada teori atau model kebijakan yang dikembangkan seperti model elitis, model pluralis, teori rasional komprehensif (The Rational Comprehensive Theory), teori inkremental (Incremental Theory), dan Teori pandangan sekilas campuran (Mixed Scanning).
Model elitis
Model ini berkembang pesat di Indonesia pada era orde baru. Teori elite mengatakan bahwa semua lembaga politik dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya didominasi oleh sekelompok individu yang sangat kuat, yang memanipulasi instrumen-instrumen kekuasaan bagi kepentingan mereka. Kebijakan publik merupakan produk elite, yang merefleksikan nilai-nilai mereka untuk penguatan kepentingan-kepentingan mereka. Para elite membentuk opini masyarakat luas mengenai persoalan-persoalan kebijakan, dan bukan masyarakat luas yang membentuk opini elite. Dengan demikian, para pejabat publik dan birokrat hanya sekedar menjalankan kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh para elite. Kebijakan-kebijakan publik mengalir "ke arah bawah", artinya tidak berasal dari tuntutan-tuntutan masyarakat. (Winarno, 2014: 45)
Model ini bertentangan dengan apa yang digagas oleh Habermas, yaitu, dengan adanya status quo kekuasaan (elite, kaum kapitalis), akan terus terjadi manipulasi oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya.
Model pluralis
Model ini lebih percaya pada peran subsistem-subsistem yang berada dalam sistem demokrasi. Di Indonesia yang juga merupakan negara demokrasi, model ini tidak secara jelas dijalankan, karena bentuk demokrasi kita yang tidak terlalu plural sebagaimana di Amerika Serikat misalnya. Sistem demokrasi perwakilan dan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia membatasi partisipan dalam proses pengambilan kebijakan; eksekutif (presiden dan kabinetnya), legislatif, kelompok kepentingan, partai politik. Warga negara memiliki peran serta yang sangat rendah.
Model Sistem
Menurut model sistem, kebijakan publik merupakan hasil dari suatu sistem politik. Konsep 'sistem' itu sendiri menunjuk pada seperangkat lembaga dan kegiatan yang dapat diidentifikasi dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan-tuntutan (demands) menjadi keputusan-keputusan yang otoritatif. Contoh: kebijakan moratorium perizinan usaha tangkap ikan untuk kapal asing di perairan Indonesia dengan kapasitas kapal di atas 30 GT (Gross Ton) yang diterapkan sejak awal bulan November 2014 lalu.
Model rasional komprehensif
Model ini secara umum berlandaskan pada teori kritis yang bersifat komprehensif dan mengandalkan pembuatan keputusan secara rasional. Anderson (1979:8) secara ringkas menguraikan teori rasional komprehensif sebagai berikut:
pengambil keputusan dihadapkan kepada suatu masalah tertentu yang terpisah dari masalah-masalah lainnya, atau paling tidak, dapat diperbandingkan dengan masalah-masalah lainnya;
Tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan target-target diperjelas, dan disusun secara berurutan sesuai dengan derajat pentingnya;
Pelbagai alternatif untuk memecahkan masalah, diuji;
Seluruh konsekuensi (biaya dan manfaat) dari setiap pilihan alternatif, dicari;
Setiap alternatif beserta konsekuensinya, diperbandingkan dengan alternatif-alternatif lainnya; dan
Pengambil keputusan memilih alternatif yang dapat memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai dan target.
Keseluruhan proses tersebut akan menghasilkan suatu keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu yang diinginkan. Meskipun demikian, model ini menuai kritik karena dianggap kurang realistis dan tidak mampu membatasi diri pada masalah konkrit. Dalam banyak kasus, pengambil kebijakan dihadapkan pada persoalan yang kompleks, yang dapat didefinisikan secara bermacam-macam.
Contoh kasus Bank Century: ketika dilakukan penalangan (bail-out) yang semula hanya sebesar Rp. 650 milyar, kemudian berkembang menjadi Rp. 6,7 trilyun, berbagai kemungkinan definisi masalah dapat diberikan: (1) talangan kepada Bank Century harus dilakukan, karena jika tidak, akan berdampak sistemik sebagai akibat krisis moneter yang terjadi di Amerika Serikat; (2) talangan kepada Bank Century harus dilakukan sebagai antisipasi terhadap kemungkinan terulangnya krisis moneter tahun 1997 yang pernah menimpa Indonesia, yang berdampak sistemik terhadap 16 (enam belas) bank dilikuidasi; (3) talangan yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan, bukan uang negara; (4) talangan yang diberikan kepada Bank Century (sekarang telah berganti nama menjadi Bank Mutiara) tidak merugikan negara; (5) Bank Century yang telah berganti nama menjadi Bank Mutiara jika dijual, tidak rugi, bahkan memperoleh untung; (6) Bank Century gagal bayar, karena dimanipulasi pemiliknya; dan (7) atau kombinasi dari semua definisi masalah tadi. Masing-masing mempunyai implikasi terhadap kebijakan, dan kebijakan apa yang seharusnya diambil oleh pemerintah.
Kelemahan lain dari teori ini, yaitu pada asumsi bahwa keputusan dibuat oleh pengambil keputusan tunggal. Dalam kenyataan, pengambil keputusan dilakukan secara kolektif, masing-masing membawa kepentingannya sendiri-sendiri; sering terjadi konflik diantara mereka, baik menyangkut definisi masalah, tujuan yang hendak dicapai, nilai yang mendasarinya, ataupun alternatif yang akan dipilih. Konflik demikian, tidak sepenuhnya rasional, dan karena itu sulit dilakukan pembobotan, misalnya dalam menyusun prioritas pilihan kebijakan. Konflik antar pengambil keputusan ini diabaikan dalam teori rasional komprehensif.
Model inkremental
Charles E. Lindblom menawarkan alternatif teori lain, yaitu teori inkremental. Teori ini dikenalkan melalui karya tulisnya "The Science of Muddling Throught", untuk mengatasi kelemahan yang disandang oleh teori rasional komprehensif, dengan berusaha lebih realistik terhadap keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh para pembuat kebijakan. Secara ringkas oleh Hartle (1980:129) karakteristik teori inkremental disimpulkan sebagai berikut:
Melakukan seleksi terhadap tujuan-tujuan dan target-target diantara tujuan-tujuan dan target-target tersebut, dan analisis empiris tentang tindakan yang perlu diambil untuk mencapai tujuan-tujuan atau target-target yang saling berkaitan;
Pengambil keputusan hanya mempertimbangkan, berapa alternatif kebijakan yang berbeda secara inkremental atau marginal dengan kebijakan yang sedang berjalan;
Untuk setiap alternatif, hanya sejumlah konsekuensi penting yang dievaluasi;
Masalah yang dihadapi pengambil kebijakan selalu didefinisikan kembali. Model inkremental ini menyarankan adanya penyusunan yang terus menerus antara tujuan dan cara secara timbal balik, yang membuat masalah lebih dapat dipecahkan;
Tidak ada keputusan tunggal, atau pemecahan yang benar terhadap setiap masalah. Pilihan kebijakan diambil didasarkan pada kesepakatan diantara para analis, bahwa keputusan itu merupakan keputusan yang terbaik;
Pengambilan keputusan secara inkremental, pada dasarnya bersifat perbaikan secara tambal sulam dari ketidak-sempurnaan yang dapat dikenali, bukan pencapaian tujuan-tujuan sosial secara ambisius (tujuan-tujuan sosial yang besar di masa depan).
Menurut Lindblom, model ini lebih cocok diterapkan di masyarakat yang majemuk (pluralistic societies), karena kompromi-kompromi, negosiasi, saling memberi dan menerima, selalu terjadi antara para pelaku dalam pengambilan keputusan. Artinya, keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan merupakan hasil kegiatan memberi dan menerima diantara sejumlah besar pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan. Model ini bersifat pragmatis, tidak bermaksud mencari pilihan kebijakan yang terbaik, melainkan sekedar mencari alternatif yang dapat dilaksanakan.
Pragmatisme yang mendasari teori inkremental mengatasi kelemahan yang disandang oleh teori rasional komprehensif. Namun, teori ini bukan berarti terlepas sama sekali dari kelemahan, bila dipraktekkan. Adalah benar, bahwa dalam banyak kasus, pengambil keputusan enggan melakukan perombakan total terhadap kebijakan yang sedang berjalan, tetapi juga berbahaya bila selalu menyarankan kepada perubahan inkremental, ketika secara keseluruhan kebijakan yang tengah berjalan, tidak dapat dipertahankan lagi. Perubahan secara mendasar ini, acapkali justru menjadi tuntutan dari pengambil kebijakan, terutama ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan. Walaupun tidak dalam pergantian rezim, perombakan total perlu dilakukan ketika kebijakan yang sedang berjalan tidak mungkin dipertahankan.
Contoh kasus: Salah satu wujud reformasi birokrasi pada rejim Soesilo Bambang Yudhoyono jilid 2, yaitu kebijakan remunerasi. Dengan menaikkan remunerasi (gaji) pegawai negeri sipil, kesejahteraan pegawai negeri sipil tercukupi, etos kerjanya meningkat bagus, dan tidak melakukan tindak korupsi. Terbongkarnya kasus korupsi yang dilakukan pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Gayus H Tambunan, ternyata melibatkan banyak pihak di luar Kementerian Keuangan (seperti Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan lain-lain), tentunya tidak cukup diatasi dengan kebijakan tambal sulam, tetapi mungkin memerlukan pemecahan yang lebih menyeluruh.
Contoh lain misalnya kebijakan pangan nasional. Masalah defisit pangan coba dipecahkan pemerintah melalui peningkatan produktifitas pertanian dan produksi padi. Jika terjadi defisit pangan, pemerintah segera melakukan impor beras. Kebijakan ini kurang efektif karena bersifat sementara. Selain itu, impor beras berdampak pada naik turunnya harga beras secara ekstrim yang tidak berdampak bagi perbaikan kesejahteraan hidup petani. Disamping itu, faktor lain seperti perubahan kependudukan juga sangat mempengaruhi produksi pangan, yang mana banyak penduduk desa yang meninggalkan desa untuk mencari lapangan pekerjaan lain diluar sektor pertanian, termasuk jumlah lonjakan jumlah penduduk yang memengaruhi konsumsi pangan beras nasional. Dinamika sosial menuntut adanya inovasi kebijakan seperti diversifikasi produksi pertanian atau program yang sama sekali baru.
Model pandangan sekilas campuran
Amitai Etzioni menawarkan teori lain yang mencoba menegahi kedua kecenderungan ekstrem tadi, dengan teori pandangan sekilas campuran (Mixed Scanning Theory). Secara garis besar, teori ini bermaksud menyarankan pengambilan keputusan secara rasional komprehensif atau inkremental, sesuai dengan keadaan. Keadaan tertentu, cara pertama (rasional komprehensif) perlu ditempuh, sedangkan pada keadaan lain, cukup ditetapkan dengan cara kedua (inkremental). Dalam penyelidikan campran, para pembuat keputusan dapat memanfaatkan teori-teori rasional komprehensif dan inkremental dalam situasi yang berbeda-beda. Dalam beberapa hal, mungkin pendekatan inkrementalisme telah cukup memadai, namun dalam situasi masalah yang dihadapi berbeda, pendekatan yang lebih cermat dengan menggunakan rasional komprehensif mungkin lebih memadai. Menurut Etzioni, bila bidang cakupan penyelidikan campuran semakin besar, maka akan semakin efektif pembuatan keputusan tersebut. Dengan demikian, penyelidikan campuran merupakan suatu bentuk pendekatan 'kompromi' yang menggabungkan penggabungan inkrementalisme dan rasionalisme sekaligus. (Winarno, 2014: 115-117).
Contoh: Interseksionalitas dalam Keputusan Presiden tentang Rancangan Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak tahun 2002. RAN Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak telah menjelaskan betapa rumitnya hubungan antar masalah yang pada ujungnya membuat perempuan dan anak menjadi korban perdagangan manusia; interseksi diskriminasi jender dan kelas ekonomi. Strategi dalam RAN tersebut menunjukan perspektif interseksional yang mengupayakan perlindungan hukum bagi perempuan dan anak yang potensial menjadi korban perdagangan manusia karena diskriminasi jender dan kelas ekonomi.
Simpulan
Sebenarnya pendekatan Mazhab Frankurt (Teori Kritis), Habermas, dan Faucault cukup relevan untuk masyarakat Indonesia yang masih terus mencari orientasi bagi strategi modernitasnya, tetapi belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan. Teori-teori mereka mendorong pelibatan publik dalam mengambil keputusan yang menyangkut kehidupan bersama untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari penindasan, yang memiliki kuasa untuk berkomunikasi dan melakukan wacana dengan sudut pandang tertentu dalam memandang realitas sosial.
Demokrasi deliberatif seperti yang dibicarakan Habermas yakni diskursus praktis, formulasi opini dan aspirasi politis, proseduralisme atau kedaulatan rakyat sebagai prosedur belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Sistem demokrasi perwakilan dan pemerintahan presidensial masih memusatkan diri pada penyusunan daftar aturan-aturan tertentu yang menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh warga negara, bukan pada prosedur untuk menghasilkan aturan-aturan itu. Kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu perlu digugat untuk memastikan dengan cara manakah opini-opini mayoritas itu terbentuk sedemikian rupa sehingga seluruh warganegara dapat mematuhinya.
Model kebijakan yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah model sistem dan model inkremental. Model rasional komprehensif sering juga diterapkan tetapi masih menghadapi hambatan-hambatan seperti: kurangnya waktu mengumpulkan informasi dan melakukan perhitungan masa depan karena desakan masalah yan membutuhkan penanganan sesegera mungkin; terdapat konflik kepentingan; rendahnya political will yang baik dari para pembuat keputusan; lemahnya analisis biaya dan manfaat.
Proses kebijakan di Indonesia lebih banyak melibatkan peran analis; publik hanya dijadikan obyek bukan subyek. Secara tidak langsung, mereka yang menentukan kebijakan, tetapi rekomendasi yang mereka hasilkan melalui aplikasi teknik-teknik analisis yang rasional mempengaruhi pembuatan kebijakan. Dalam keadaan demikian, mekanisme kebijakan yang semula mengandalkan kepada popularitas, yakni tuntutan yang datang dari masyarakat, menjadi lebih elitis, yaitu lebih mengandalkan jasa para ahli. Keterlibatan analis dalam proses kebijakan, berpengaruh positif terhadap mutu kebijakan yang dihasilkan dalam proses kebijakan. Akan tetapi, dominasi kaum analis dalam proses kebijakan mempunyai dampak negatif yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Analis belum tentu obyektif dalam memberikan rekomendasinya. Mereka manusia biasa, yang bagaimanapun obyektifnya, tentu memiliki asumsi-asumsi tertentu yang bersifat subyektif dalam memandang setiap persoalan, atau dalam memecahkan suatu masalah kebijakan. Misalnya, analis yang berpandangan liberal, tentu berbeda dalam mendekati suatu masalah yang hendak dipecahkan dibanding dengan analis yang berpandangan konservatif.
Dalam praktek, analis cenderung bekerja untuk kepentingan kelompok-kelompok politik tertentu, dan cenderung memberikan saran-saran kebijakan yang sesuai dengan selera politik dari politisi atau pengambil kebijakan yang memberinya pekerjaan. Selain itu, dominasi analis dalam proses kebijakan cenderung membuat proses kebijakan mengalir dari atas ke bawah (top down). Arus kebijakan dari arah sebaliknya (bottom up), kurang diperhatikan. Kebijakan demikian cenderung meletakkan masyarakat sebagai pihak yang pasif. Aspirasi rakyat sering kurang tersalur, jika proses kebijakan berlangsung secara rasional, atau jika analis mendominasi proses kebijakan. Jika demikian yang terjadi, dapat memunculkan akuntabilitas, yakni seberapa jauh proses kebijakan secara rasional ini dapat sejalan dengan aspirasi masyarakat dan dapat dipertanggung-jawabkan di mata publik.
Referensi:
Anderson, J.E., 1979, Public Policy Making, Holt, Rinehart and Winston, New York.
Hardiman, F. B., 2009, Demokrasi Deliberatif, PT. Kanisius, Yogyakarta
Petković, K., Interpretive Policy Analysis and Deliberative Democracy: Must We Politicize Analysis?
Lubis, A. Y., 2014, Postmodernisme: Teori dan Metode, Edisi Pertama Cetakan Ke-2, Rajawali Pers, Jakarta.
Winarno, B., 2014, Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus, Edisi Revisi Terbaru, CAPS, Jakarta.
https://en.wikipedia.org/wiki/Gy%C3%B6rgy_Luk%C3%A1cs
https://id.wikipedia.org/wiki/J%C3%BCrgen_Habermas
https://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Mazhab_Frankfurt
http://www.academia.edu/4751412/Etika_Emansipatoris_Jurgen_Habermas