UNITED NATION FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE DAN KYOTO PROTOKOL
Oleh:
"Cynthia Yukiko "1006708680 "
"Ivan Satrio Lalamentik "1006709172 "
"Muhammad Iqbal "1006709494 "
"Puti Gadih Dasilta "1006709815 "
"Putu Krisna Yutatama "1006709821 "
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2012
UNFCCC
Pengertian UNFCCC
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC atau FCCC)
adalah perjanjian internasional yang dibentuk oleh United Nation Conference
on Environment and Development (UNCED), yang dikenal juga dengan nama Earth
Summit yang diadakan pada tanggal 3 hingga 14 Juni 1992.[1]
Dalam UNFCCC itu sendiri tidak dicantumkan batas yang jelas mengenai
seberapa banyak emisi dan GHG yang bisa dihasilkan oleh suatu negara. Maka
dari itu bisa dikatakan bahwa UNFCCC, tidak mengikat dan tidak memiliki
kekuatan untuk memaksa negara dalam membatasi gas emisi yang dihasilkan.
Namun walaupun demikian, UNFCCC memberikan informasi secara berkala dalam
rangka mengurangi penghasilan gas emisi yang disebut juga sebagai protokol.
UNFCCC dibuka untuk ditandatangani mulai pada tanggal 9 Mei 1992, setelah
diadakannya negosiasi antar negara yang menghasilkan kerangka konvensi
sebagai hasil dari pertemuan yang diadakan yang diadakan di New York dari
tanggal 30 April 1992 sampai 9 Mei 1992. Dan mulai terbentuk pada tanggal
21 Maret 1994. Dan pada bulan Mei 2011 ini sudah beranggotakan 194 negara.
Struktur UNFCCC
UNFCCC merupakan lembaga independen dan bukan merupakan bagian dari PBB.
Otoritas tertinggi UNFCCC dipegang oleh pertemuan anggota yang dilakukan
setiap tahunnya yang dikenal dengan nama Conference of Parties (COP)
semenjak tahun 1995. COP dipimpin oleh seorang presiden yang secara
bergantian dipimpin oleh perwakilan masing-masing kawasan atau regional PBB
yaitu Afrika, Asia, Amerika Latin dan Karibia, Eropa Bagian Timur dan
Tengah, Eropa barat dan daerah lainnya.
UNFCCC memiliki dua badan permanen yang masing-masing menangani urusan
tertentu. Badan pertama yaitu penasehat sains dan teknologi atau Subsidiary
Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA). Badan ini memiliki
tanggung jawab memberi masukan atau saran pada COP dalam bidang ilmiah,
teknologi dan metodologi. Adapun tugas utamanya adalah mempromosikan
pengembangan dan transfer teknologi yang ramah lingkungan dan melakukan
pekerjaan teknis untuk meningkatkan pedoman dalam menyiapkan komunikasi
nasional dan inventarisasi emisi. Bidang ini juga melakukan metodologi
dalam bidang-bidang tertentu seperti LULUCF, HFC dan PFC. Selain itu SBSTA
juga memainkan peranan penting sebagai penghubung antara informasi ilmiah
yang disediakan oleh para ahli di IPCC dan kebijakan yang berorientasi
terhadap kebutuhan COP. Badan ini juga kerap meminta informasi ilmiah
lainnya kepada IPCC dan juga melakukan kerjasama dengan organisasi-
organisasi internasional yang relevan lainnya untuk berbagi informasi
mengenai pembangunan berkelanjutan.
Badan yang kedua yaitu badan pelaksana atau Subsidiary Body for
Implementation (SBI). SBI bertanggung jawab dalam hal memberikan memberikan
saran kepada COP dalam segala hal yang berkaitan dengan penerapan konvensi.
Tugas utamanya adalah untuk menguji informasi dari inventarisasi komunikasi
nasional dan inventarisasi emisi yang dikeluarkan oleh negara anggota
dengan tujuan untuk menaksir efektifitas konvensi secara menyeluruh. SBI
memeriksa bantuan dana yang diberikan kepada negara non-Annex 1 (kelompok
negara berkembang dan sedang berkembang) oleh Negara Annex (kelompok negara
maju dan negara industri) untuk membantu dalam penerapan komitmen konvensi
dan menyediakan saran bagi COP dalam hal panduan mekanisme finansial (yang
dioperasikan oleh GEF). SBI juga mmberikan masukan kepada COP dalam urusan
penerapan anggaran dan urusan administrasi.
Latar Belakang lahirnya UNFCCC
UNFCCC dibentuk karena negara-negara di dunia mulai memikirkan cara untuk
bekerjasama secara global untuk membatasi rata-rata kenaikan suhu dunia dan
mengurangi dampak dari perubahan iklim yang terjadi sudah sekian lama.
Perubahan iklim, yang didominasi oleh kegiatan manusia, yang menyebabkan
peningkatan gas emisi dan efek rumah kaca yang bisa menyebabkan gangguan di
lapisan-lapisan atmosfir, terutama pada bagian biosfer yaitu lapisan dimana
manusia hidup.[2]
Dengan pertimbangan juga bahwa pembuatan UNFCCC ini juga di latar belakangi
dengan konvesi-konvensi yang dibentuk oleh PBB sebelumnya, misalnya
Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment,
Montreal Protocol, Vienna Convention, dan lain sebagainya. Namun tetap
aspek yang paling mempengaruhi dari pembutan kanvonsi ini adalah
kekhawatiran masyarakat internasional atas perubahan iklim. Namun dalam
UNFCCC hanya lebih ditegaskan kepada pengurangan efek gas rumah kaca dan
pengurangan emisi oleh negara-negara peserta, terutama bagi negara industri
dan negara maju yang mempunyai pendapatan ekonomi yang berasal dari
industri.[3]
Pada tanggal 12 juni 1992, 154 negara menandatangani UNFCCC, yaitu untuk
bekerjasama secara sukarela meratifikasi konvesi tersebut untuk mengurangi
efek dari gas rumah kaca, dan dengan tujuan mencegah terganggunya sistem
iklim dunia. Tujuan utama dari peratifikasian tersebut adalah bagi negara
industri untuk menstabilkan tingkat gas emisi yang mereka hasilkan seperti
pada tahun 1990 pada tahun 2000 dan tanggung jawab lainnya yang juga
dimiliki oleh negara-negara peserta lain. Setiap negara yang menyetujui hal
tersebut juga harus menerapkan prisip "common but differentiated
responsibilities", dengan tanggung jawab yang besar untuk mengurangi gas
rumah kaca yang juga dilakukan oleh negara maju dan negara industri.
Ditegaskan dengan prinsip "common but differentiated responsibilities and
respective capabilities". Dalam prinsip tersebut dapat diberikan kesimpulan
bahwa pertama adalah permasalahan mengenai lingkungan bukan lagi menjadi
masalah dari negara masing-masing, namun juga menjadi masalah bersama
secara global.[4] Kemudian, bahwa kontribusi masing-masing negara dalam
menangani masalah lingkungan dunia ini dipastikan berbeda, sesuai dengan
kemampuan finansial dan teknologi negara masing-masing. Namun dari kedua
arti dari prinsip tersebut dipastikan bahwa setiap negara diimbau untuk
memberikan sebisa mungkin partisipasinya dalam melindungi lingkungan,
memiliki tanggung jawab yang besar dalam melindungi lingkungan, dan dengan
keharusan dalam menghormati negara lainnya dalam caranya untuk mengatasi
pemasalahan lingkuan ini terutama untuk pengurangan gas emisi dan efek dari
gas rumah kaca.
Ruang Lingkup UNFCCC
1. Penelitian dan observasi sistematis mengenai gas rumah kaca dan gas
emisi.
2. Pendidikan, pelatihan, dan kampanye mengenai efek dari rumah kaca dan
gas emisi.
3. Pengembangan teknologi demi membantu mengurangi dampak dari efek rumah
kaca dan gas emisi
4. Membantu penerapan teknologi untuk pengurangan efek rumah kaca dan
emisi di negara-negara peserta.
5. Penyediaan sarana finansial bagi negara-negara yang membutuhkan
bantuan ekonomi dalam pengurangan efek rumah kaca dan gas emisi.
6. Cara-cara penyelesaian masalah yang terjadi jika ada dua negara atau
lebih yang memiliki sengketa dalam kerjasama mengurangi efek rumah
kaca dan juga gas emisi.
Komitmen, Hak dan Kewajiban di dalam UNFCC
Anggota UNFCCC memiliki sejumlah komitmen di bawah konvensi, termasuk:
1. Menyerahkan inventarisasi nasional emisi dan penyerapan gas rumah
kaca.
2. Melaksanakan program nasional untuk mengurangi perubahan iklim
dan beradaptasi terhadap dampak yang ditimbulkannya.
3. Penguatan penelitian ilmiah dan teknis dan
observasi sistematis terkait dengan sistem iklim atau cuaca,
dan mempromosikan pengembangan dan penyebarluasan teknologi yang
relevan.
4. Mempromosikan program pendidikan dan kesadaran masyarakat
tentang perubahan iklim dan dampaknya kemungkinan nya.
5. Secara berkala menyampaikan Komunikasi Nasional yang komprehensif
tentang kegiatan untuk melaksanakan komitmen berdasarkan Konvensi.
Banyak negara yang rentan terhadap dampak negatif dari perubahan iklim
sebagian besar karena mereka tidak memiliki sumber daya dalam negeri untuk
mendukung proyek-proyek dan inovasi yang akan, misalnya, membantu mencegah
bencana pertanian atau memudahkan transisi ke ekonomi energi
bersih. Dukungan finansial, teknis, dan lainnya ke negara-negara yang
perekonomiannya sedang mengembangkan atau dalam transisi adalah penting
untuk membantu mereka mengatasi masalah adaptasi dan mitigasi diakui dalam
Konvensi. Besarnya kebutuhan membutuhkan kerjasama erat antara negara
berkembang dan maju, seperti yang dinyatakan di bagian Komitmen Konvensi,
yang dicantumkan di dalam pasal-pasal dibawah ini:
Article 4
Commitments
1. All Parties, taking into account their common but differentiated
responsibilities and their specific national and regional development
priorities, objectives and circumstances, shall:
(a) Develop, periodically update, publish and make available to the
Conference of the Parties, in accordance with Article 12, national
inventories of anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of
all greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol, using
comparable methodologies to be agreed upon by the Conference of the
Parties;
(b) Formulate, implement, publish and regularly update national and, where
appropriate, regional programmes containing measures to mitigate climate
change by addressing anthropogenic emissions by sources and removals by
sinks of all greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol, and
measures to facilitate adequate adaptation to climate change;
(c) Promote and cooperate in the development, application and diffusion,
including transfer, of technologies, practices and processes that control,
reduce or prevent anthropogenic emissions of greenhouse gases not
controlled by the Montreal Protocol in all relevant sectors, including the
energy, transport, industry, agriculture, forestry and waste management
sectors;
(d) Promote sustainable management, and promote and cooperate in the
conservation and enhancement, as appropriate, of sinks and reservoirs of
all greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol, including
biomass, forests and oceans as well as other terrestrial, coastal and
marine ecosystems;
(e) Cooperate in preparing for adaptation to the impacts of climate change;
develop and elaborate appropriate and integrated plans for coastal zone
management, water resources and agriculture, and for the protection and
rehabilitation of areas, particularly in Africa, affected by drought and
desertification, as well as floods;
(f) Take climate change considerations into account, to the extent
feasible, in their relevant social, economic and environmental policies and
actions, and employ appropriate methods, for example impact assessments,
formulated and determined nationally, with a view to minimizing adverse
effects on the economy, on public health and on the quality of the
environment, of projects or measures undertaken by them to mitigate or
adapt to climate change;
(g) Promote and cooperate in scientific, technological, technical, socio-
economic and other research, systematic observation and development of data
archives related to the climate system and intended to further the
understanding and to reduce or eliminate the remaining uncertainties
regarding the causes, effects, magnitude and timing of climate change and
the economic and social consequences of various response strategies;
(h) Promote and cooperate in the full, open and prompt exchange of relevant
scientific, technological, technical, socio-economic and legal information
related to the climate system and climate change, and to the economic and
social consequences of various response strategies;
(i) Promote and cooperate in education, training and public awareness
related to climate change and encourage the widest participation in this
process, including that of non- governmental organizations; and
(j) Communicate to the Conference of the Parties information related to
implementation, in accordance with Article 12.
2. The developed country Parties and other Parties included in Annex I
commit themselves specifically as provided for in the following:
(a) Each of these Parties shall adopt national1 policies and take
corresponding measures on the mitigation of climate change, by limiting its
anthropogenic emissions of greenhouse gases and protecting and enhancing
its greenhouse gas sinks and reservoirs. These policies and measures will
demonstrate that developed countries are taking the lead in modifying
longer-term trends in anthropogenic emissions consistent with the objective
of the Convention, recognizing that the return by the end of the present
decade to earlier levels of anthropogenic emissions of carbon dioxide and
other greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol would
contribute to such modification, and taking into account the differences in
these Parties' starting points and approaches, economic structures and
resource bases, the need to maintain strong and sustainable economic
growth, available technologies and other individual circumstances, as well
as the need for equitable and appropriate contributions by each of these
Parties to the global effort regarding that objective. These Parties may
implement such policies and measures jointly with other Parties and may
assist other Parties in contributing to the achievement of the objective of
the Convention and, in particular, that of this subparagraph;
(b) In order to promote progress to this end, each of these Parties shall
communicate, within six months of the entry into force of the Convention
for it and periodically thereafter, and in accordance with Article 12,
detailed information on its policies and measures referred to in
subparagraph (a) above, as well as on its resulting projected anthropogenic
emissions by sources and removals by sinks of greenhouse gases not
controlled by the Montreal Protocol for the period referred to in
subparagraph (a), with the aim of returning individually or jointly to
their 1990 levels these anthropogenic emissions of carbon dioxide and other
greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol. This information
will be reviewed by the Conference of the Parties, at its first session and
periodically thereafter, in accordance with Article 7;
(c) Calculations of emissions by sources and removals by sinks of
greenhouse gases for the purposes of subparagraph (b) above should take
into account the best available scientific knowledge, including of the
effective capacity of sinks and the respective contributions of such gases
to climate change. The Conference of the Parties shall consider and agree
on methodologies for these calculations at its first session and review
them regularly thereafter;
(d) The Conference of the Parties shall, at its first session, review the
adequacy of subparagraphs (a) and (b) above. Such review shall be carried
out in the light of the best available scientific information and
assessment on climate change and its impacts, as well as relevant
technical, social and economic information. Based on this review, the
Conference of the Parties shall take appropriate action, which may include
the adoption of amendments to the commitments in subparagraphs (a) and (b)
above. The Conference of the Parties, at its first session, shall also take
decisions regarding criteria for joint implementation as indicated in
subparagraph (a) above. A second review of subparagraphs (a) and (b) shall
take place not later than 31 December 1998, and thereafter at regular
intervals determined by the Conference of the Parties, until the objective
of the Convention is met;
(e) Each of these Parties shall :
i) Coordinate as appropriate with other such Parties, relevant economic and
administrative instruments developed to achieve the objective of the
Convention; and
(ii) Identify and periodically review its own policies and practices which
encourage activities that lead to greater levels of anthropogenic emissions
of greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol than would
otherwise occur;
(f) The Conference of the Parties shall review, not later than 31 December
1998, available information with a view to taking decisions regarding such
amendments to the lists in Annexes I and II as may be appropriate, with the
approval of the Party concerned;
(g) Any Party not included in Annex I may, in its instrument of
ratification, acceptance, approval or accession, or at any time thereafter,
notify the Depositary that it intends to be bound by subparagraphs (a) and
(b) above. The Depositary shall inform the other signatories and Parties of
any such notification.
3. The developed country Parties and other developed Parties included in
Annex II shall provide new and additional financial resources to meet the
agreed full costs incurred by developing country Parties in complying with
their obligations under Article 12, paragraph 1. They shall also provide
such financial resources, including for the transfer of technology, needed
by the developing country Parties to meet the agreed full incremental costs
of implementing measures that are covered by paragraph 1 of this Article
and that are agreed between a developing country Party and the
international entity or entities referred to in Article 11, in accordance
with that Article. The implementation of these commitments shall take into
account the need for adequacy and predictability in the flow of funds and
the importance of appropriate burden sharing among the developed country
Parties.
4. The developed country Parties and other developed Parties included in
Annex II shall also assist the developing country Parties that are
particularly vulnerable to the adverse effects of climate change in meeting
costs of adaptation to those adverse effects.
5. The developed country Parties and other developed Parties included in
Annex II shall take all practicable steps to promote, facilitate and
finance, as appropriate, the transfer of, or access to, environmentally
sound technologies and know-how to other Parties, particularly developing
country Parties, to enable them to implement the provisions of the
Convention. In this process, the developed country Parties shall support
the development and enhancement of endogenous capacities and technologies
of developing country Parties. Other Parties and organizations in a
position to do so may also assist in facilitating the transfer of such
technologies.
6. In the implementation of their commitments under paragraph 2 above, a
certain degree of flexibility shall be allowed by the Conference of the
Parties to the Parties included in Annex I undergoing the process of
transition to a market economy, in order to enhance the ability of these
Parties to address climate change, including with regard to the historical
level of anthropogenic emissions of greenhouse gases not controlled by the
Montreal Protocol chosen as a reference.
7. The extent to which developing country Parties will effectively
implement their commitments under the Convention will depend on the
effective implementation by developed country Parties of their commitments
under the Convention related to financial resources and transfer of
technology and will take fully into account that economic and social
development and poverty eradication are the first and overriding priorities
of the developing country Parties.
8. In the implementation of the commitments in this Article, the Parties
shall give full consideration to what actions are necessary under the
Convention, including actions related to funding, insurance and the
transfer of technology, to meet the specific needs and concerns of
developing country Parties arising from the adverse effects of climate
change and/or the impact of the implementation of response measures,
especially on:
(a) Small island countries;
(b) Countries with low-lying coastal areas;
(c) Countries with arid and semi-arid areas, forested areas and areas
liable to forest decay;
(d) Countries with areas prone to natural disasters;
(e) Countries with areas liable to drought and desertification;
(f) Countries with areas of high urban atmospheric pollution;
(g) Countries with areas with fragile ecosystems, including mountainous
ecosystems;
(h) Countries whose economies are highly dependent on income generated from
the production, processing and export, and/or on consumption of fossil
fuels and associated energy-intensive products; and
(i) Land-locked and transit countries.
Further, the Conference of the Parties may take actions, as appropriate,
with respect to this paragraph.
9. The Parties shall take full account of the specific needs and special
situations of the least developed countries in their actions with regard to
funding and transfer of technology.
10. The Parties shall, in accordance with Article 10, take into
consideration in the implementation of the commitments of the Convention
the situation of Parties, particularly developing country Parties, with
economies that are vulnerable to the adverse effects of the implementation
of measures to respond to climate change. This applies notably to Parties
with economies that are highly dependent on income generated from the
production, processing and export, and/or consumption of fossil fuels and
associated energy-intensive products and/or the use of fossil fuels for
which such Parties have serious difficulties in switching to alternatives.
KYOTO PROTOCOL
Pengertian Kyoto Protokol
Kyoto Protokol dibentuk di Kyoto, Jepang, pada tanggal 11 Desember 1997,
dan kemudian baru mulai berlaku pada tanggal 16 Februari 2005.
Kyoto Protokol adalah sebuah perjanjian yang terhubung dengan konvesi
UNFCCC. Perbedaan yang mendasar antara UNFCCC dan Kyoto Protokol ialah
apabila UNFCCC hanya mengajak negara-negara industri untuk mengurangi emisi
gas GHG, sedangkan Kyoto Protokol mengikat negara-negara yang
meratifikasinya untuk mengurangi emisi gas GHG.
Kyoto Protokol mengikat bagi seluruh negara yang meratifikasi perjanjian
ini untuk mengurangi emisi dari gas penyebab rumah kaca yang menyebabkan
pemanasan global atau biasa disebut dengan Greenhouse Gas (GHG). Beberapa
GHG antara lain ialah karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitro oksida
(N2O), dan lain sebagainya. Kyoto Protokol memiliki target 37 negara
industrial dan negara-negara Eropa untuk mengurangi emisi yang menyebabkan
rumah kaca.
Latar Belakang Terbentuknya Kyoto Protokol
Pemerintah pertama kali aktif dalam pembahasan lingkungan pada saat ketika
mereka berkumpul di Stockholm tahun 1972 untuk berpartisipasi dalam
konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (The United Nations
Conference On Human Environment). Masalah yang dibahas dalam konferensi
tersebut ialah mengenai masalah yang sedang dihadapi oleh lingkungan di
bumi.
Konferensi berikutnya dilaksanakan pada tahun 1992 di Rio de Janerio.
Konferensi ini membahas tentang hal yang lebih luas, yaitu hubungan antara
lingkungan dan pembangunan tingkat nasional dan internasional. Konferensi
ini menghasilkan sebuah perjanjian yang disebut dengan konvensi Rio.
Mengingat bahwa negara-negara maju merupakan yang paling bertanggung jawab
atas emisi gas GHG terbesar di atmosfir sebagai hasil dari 150 tahun
aktivitas industri, Kyoto Protocol memberikan beban tanggung jawab lebih
besar kepada negara-negara berkembang atas prinsip "common but
differentiated responsibilites", yaitu prinsip yang apabila dikaitkan
dengan masalah emisi ini, bahwa setiap negara memiliki tanggung jawab yang
sama atas permasalahan emisi gas GHG yang ada di atmosfir, namun tanggung
jawab tiap negara berbeda-beda sebesar kemampuan dan kontribusinya atas
emisi gas GHG di atmosfir.
Ruang Lingkup Kyoto Protocol
Pembatasan permasalahan yang dibahas dalam Protokol Kyoto ini adalah
mengenai pembatasan emisi yang terlampir dalam Anex A Protokol Kyoto
sebagai berikut.
Annex A
Gas yang termasuk di dalam GHG
Carbon dioxide (CO2)
Methane (CH4)
Nitrous oxide (N2O)
Hydrofluorocarbons (HFCs)
Perfluorocarbons (PFCs)
Sulphur hexafluoride (SF6)
Sectors/source categories
Energi
Pembakaran bahan bakar
Energi industri
Industri manufaktur dan konstruksi
Transportasi
Emisi yang dicari dari bahan bakar
Bahan bakar padat
Minyak dan gas alam
Industri proses
Produk mineral
Industri kimia
Produksi logam
Produksi halocarbons dan belerang heksafluorida
Konsumsi halocarbons dan belerang heksafluorida
Pelarut dan penggunaan produk
Pertanian
Fermentasi enterik
Manajemen pupuk
Pembudidayaan padi
Pertanian tanah
Pembakaran sabana yang ditetapkan
Bidang pembakaran residu pertanian
Limbah
Pembuangan limbah padat di darat
Penanganan limbah
Limbah pembakaran
Hak dan Kewajiban Negara dalam Kyoto Protocol
Hak dan kewajiban dalam kyoto protocol dinyatakan dalam bentuk komitmen
dari partisipan, atau yang disebut dengan Parties. Hak dan kewajiban negara
secara garis besar yang disebutkan di dalam Kyoto Protocol di dalam pasal-
pasal berikut ini:
Pasal 2 ayat (1)
Setiap partisipan, termasuk Annex I, untuk tujuan pembangunan
berkelanjutan, diharuskan:
a. Mengimplementasikan dan/atau menerapkan kebijakan dalam hukum positif
negaranya seperti:
Menyempurnakan efisiensi energi di berbagai sektor ekonomi
nasional.
Melindungi dan menyempurnakan sinks dan reservoir dari gas rumah
kaca.
Formasi berkelanjutan dari agrikultur mengingat perubahan iklim.
Riset dalam meningkatkan inovasi teknologi suara ramah
lingkungan.
Mempertimbangkan kebijakan ekonomi (terutama dalam hal pajak dan
subsidi) dari industri di sektor yang mengeluarkan emisi gas
rumah kaca.
Memberi dorongan di berbagai sektor untuk bertujuan mengurangi
emisi gas rumah kaca.
Mengatur langkah-langkah melimitasi dan/atau mengurangi emisi di
sektor transportasi.
Mengatur langkah-langkah melimitasi dan/atau mengurangi emisi
metana melalui restorasi dan penggunaan manajemen pembuangan
(waste management).
b. Membagi pengalaman dari tiap partisipan dan bertukar informasi seperti
kebijakan dan langkah-langkah, termasuk cara-cara meningkatkan
komparatif, transparansi, dan efektivitas mereka.
Pasal 2 ayat (2)
Setiap partisipan, termasuk Annex I, diharuskan mengejar limitasi atau
pengurangan emisi dari sektor penerbangan dan bahan bakar bunker laut.
Pasal 3 ayat (1)
Setiap partisipan, termasuk Annex I, berkewajiban untuk menurunkan emisi
sekitar 5 % di bawah emisi negara partisipan pada tahun 1990 di dalam
komitmen pada periode tahun 2008 – 2012. Negara berkembang dibebaskan
dari kewajiban ini.
Pasal 3 ayat (2)
Di tahun 2005, negara-negara tersebut melaporkan progress report dalam
mencapai komitmen dibawah protokol ini.
Pasal 3 (3)
Perubahan diverifikasi dalam carbon stock diukur dari emisi gas rumah
kaca dan pembuangan yang diserap oleh tindakan-tindakan manusia sejak
tahun 1990. Aktifitas diatas harus dilaporkan secara transparan dan dapat
dibuktikan.
Pasal 3 ayat (4)
Negara-negara tersebut diharuskan memberikan data-data untuk ditentukan
level dari carbon stocks di tahun 1990 dan untuk memungkinkan membuat
perkiraan perubahan dari carbon stocks di tahun berikutnya.
Pasal 3 ayat (10)
Setiap emission reduction units (ERU) atau bagian dari assigned amount
units(AAU) yang didapat dari negara lain, harus dimasukkan ke dalam
jumlah dari jatah negara pemberi.
Pasal 3 ayat (11)
Setiap emission reduction units (ERU) atau bagian dari assigned amount
units(AAU) yang diserahkan dari negara lain, harus dikurangi dari jumlah
dari jatah negara yang menyerahkan.
Pasal 3 ayat (12)
Setiap certified emission reduction (CER) yang negara peroleh dari negara
lain, harus dimasukan ke dalam jumlah dari jatah negara pemberi.
Pasal 4 ayat (5)
Dalam hal kegagalan negara untuk mencapai jumlah kombinasi level dari
pengurangan emisi, setiap negara di dalam perjanjian itu harus
bertanggungjawab atas leve dari emisi mereka masing-masing seperti yang
telah diperjanjikan sebelumnya.
Pasal 6 ayat (1)
Dalam rangka untuk mengakomodir dari komitmen di pasal 3, setiap
partisipan, termasuk Annex I dapat menyerahkan ke, atau mendapatkan dari,
setiap emission reduction unit negara yang dihasilkan dari proyek-proyek
untuk mengurangi emisi anthropogenic atau meningkatkan pembuangan
anthropogenic dengan penyerapan dari gas rumah kaca di berbagai sektor
ekonomi, asalkan:
Setiap proyek tersebut mendapat persetujuan dari negara-negara yang
terlibat;
Setiap proyek tersebut menyediakan pengurangan emisi atau
meningkatkan pembuangan dengan penyerapan;
Tidak memperoleh emission reduction units (ERU) apabila itu tidak
memenuhi kewajiban dalam pasal 5 dan 7;
Perolehan dari emission reduction units (ERU) harus ditambahkan ke
tindakan lokal untuk tujuan dari tercapainya komitmen dalam pasal
3.
Pasal 6 ayat (3)
Setiap partisipan, termasuk Annex I, diperbolehkan mengizinkan legal
entities untuk berpartisipasi, dalam tanggungjawab negaranya, dalam
tindakan penyerahan atau perolehan dibawah pasal emission reduction
units (ERU) ini.
Pasal 11 ayat (2)
Negara maju (partisipan) dan negara maju lain yang termasuk ke dalam
Annex II, diharuskan:
Memberikan sumber dana baru dan tambahan untuk dapat memenuhi biaya
penuh yang disetujui di dalam negara berkembang (partisipan) agar
dapat mengimplementasikan kewajibannya.
Juga memberikan sumber finansial, termasuk juga transfer of
technology, yang dibutuhkan oleh negara berkembang.
Implementasi dari kewajiban ini harus memperhitungkan kebutuhan
untuk kecukupan dan prediktabilitas dalam aliran dana dan
pentingnya appropriate burden sharing diantara negara-negara maju.
Pasal 12 ayat (1)
Clean Development Mechanism (CDM) diperkenalkan dalam protokol ini.
Pasal 12 ayat (2)
Tujuan dari clean development mechanism ialah untuk membantu negara-
negara yang tidak termasuk ke dalam Annex I dalam mencapai pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) dan membantu negara-negara yang
termasuk ke dalam Annex I dalam mencapai kesepakatan batas emisi
terhitung.
Pasal 12 ayat (3) huruf (a)
Negara-negara yang tidak termasuk ke dalam Annex I mendapat keuntungan
dari aktifitas kegiatan yang menghasilkan certified emission reduction
(CER).
Pasal 12 ayat 3 huruf (b)
Negara-negara yang termasuk ke dalam Annex I diperbolehkan menggunakan
certified emission reduction (CER) yang diperoleh dari aktifitas
kegiatan dalam kontribusi untuk mencapai kesepakatan dengan bagian dari
batas emisi terhitung negara tersebut.
Pasal 12 ayat (6)
Clean development mechanism (CDM) harus membantu dalam merencanakan
pendanaan dari aktifitas kegiatan jika diperlukan.
Pasal 12 ayat (9)
Partisipasi dalam clean development mechanism (CDM) diperbolehkan
mengikutsertakan badan hukum privat atau publik.
Pasal 12 ayat (10)
Certified emission reduction (CER) yang diperoleh dalam periode tahun
2000 keatas dapat digunakan untuk membantu mencapai pemenuhan
kesepakatan komitmen periode pertama.
Mekanisme Pemenuhan Komitmen Kyoto Protocol
Seluruh negara partisipan dalam kyoto protocol, berdasarkan hak dan
kewajiban yang telah dijabarkan diatas secara garis besar, terdapat 3
(tiga) mekanisme pemenuhan komitmen, yaitu:
1. Emission Trading (ET)
"emission trading is a market-based approach used to control pollution by
providing economic incentives for achieving reductions in the emissions of
pollutants."[5]
Istilah emission trading seringkali disebut sebagai "carbon trading" atau
"carbon market", karena sejak karbon dioksida (CO2) merupakan gas rumah
kaca yang paling dikenal, masyarakat lebih mengenal dengan istilah
pertukaran karbon (carbon trading).
"carbon is now tracked and traded like any other commodity, this is known
as the carbon market."[6]
Dasar hukum dari Emission Trading dalam Pasal 17 Kyoto Protocol
memperbolehkan negara-negara yang memiliki cadangan unit untuk emisi
menjual emisi tersebut kepada negara yang telah melampaui target.
Pasal 17 Kyoto Protocol
"The Conference of the Parties shall define the relevant principles,
modalities, rules and guidelines, in particular for verification,
reporting and accountability for emissions trading. The Parties
included in Annex B may participate in emissions trading for the
purposes of fulfilling the commitments under Article 3. Any such
trading shall be supplemental to domestic actions for the purpose of
meeting quantified emission limitation and reduction commitments under
that article."
Pasal 3 Kyoto Protocol yang dimaksud dalam pasal di atas ialah:
Ayat (10)
"Any emission reduction units, or any part of an assigned amount,
which a Party acquires from another Party in accordance with the
provisions of Article 6 or of Article 17 shall be added to the
assigned amount for the acquiring Party."
Ayat (11)
"Any emission reduction units, or any part of an assigned amount,
which a Party transfers to another Party in accordance with the
provisions of Article 6 or of Article 17 shall be subtracted from the
assigned amount for the transferring Party."
Dalam melaksanakan emission trading ini, pemerintah pusat dari suatu negara
memberikan limitasi atau disebut juga dengan cap dari jumlah polusi yang
mungkin dikeluarkan. Limitasi atau cap dialokasikan atau dijual ke pihak
(negara) dalam bentuk izin emisi (assigned amount units/AAUs) yang
merepresentasi hak untuk mengeluarkan atau mengurangi emisi tertentu. Pihak
negara diharuskan memegang beberapa izin emisi (atau carbon credits) yang
sama dengan emisi mereka. Pihak negara yang menginginkan penambahan izin
emisi harus membeli izin emisi dari pihak yang memiliki izin emisi yang
lebih sedikit. Proses penyerahan atau transfer dari izin emisi biasa
disebut juga dengan trade. Sebagai implikasi dari proses ini, pembeli
membayar biaya untuk mencemari (mengeluarkan polusi/emisi) disaat penjual
diberi penghargaan dalam mengurangi emisinya.
"in theory, those who can reduce emisions most cheaply will do so,
achieving the pollution at the lowest cost to society" [7]
Secara overall, tujuan dari rencana emission trading ini ialah untuk
meminimalisir biaya untuk memenuhi limitasi target emisi. Cap atau limitasi
merupakan batas dari emisi yang diturunkan seiring dengan tahun ke tahun,
yang bertujuan menurunkan target emisi nasional. Di beberapa sistem cap-and-
trade, organisasi yang tidak mencemarkan polusi dapat juga turut serta
berpartisipasi.[8]
Terdapat beberapa syarat dalam emission trading ini, yaitu:
a. Partisipan ialah sesama negara-negara yang tergabung di dalam
Annex I.
b. Pembeli boleh bebas membeli komoditas, namun untuk menjual tidak
bebas, karena setiap negara harus menyimpan cadangan emisi yang
jumlahnya tidak boleh lebih rendah dari 90% dari Initial
Assigned Amount, cadangan ini disebut dengan commitment period
reserve (CPR)
Komoditas yang diperdagangkan dalam Emission Trading ialah Assigned
Amount Units (AAUs) yang dikonversikan menjadi Certified Emission
Reduction (CER).
2. Joint Implementation (JI)
Mekanisme dari joint implementation ini dicantumkan di pasal 6 kyoto
protocol, memperbolehkan kepada negara yang memiliki pengurangan emisi atau
komitmen untuk melimitasi emisi dibawah negara-negara Annex B dalam kyoto
protocol untuk mendapatkan emission reduction units (ERU) dari pengurangan
emisi atau aktivitas pengurangan emisi di negara Annex B lainnya, yang sama
dengan 1 (satu) ton karbon dioksida (CO2), yang dapat dihitung untuk
memenuhi target dari kyoto protocol. Joint implementation menawarkan setiap
negara sebuah pilihan fleksibel dan efisiensi biaya dalam memenuhi bagian
dari komitmen negara mereka, sementara keuntungan negara penyelenggara
didapat dari investasi luar negeri dan technology transfer. Investasi ini
akan menghasilkan Emission Reduction Unit (ERU).
"In this way countries can lower the costs of complying with their Kyoto
targets by investing in greenhouse gas reductions in an Annex I country
where reductions are cheaper, and then applying the credit for those
reductions towards their commitment goal."[9]
Hampir seluruh proyek joint implementation diekspektasi mengambil bagian di
negara yang sedang dalam "economies in transition", dilihat di negara-
negara dalam Annex B kyoto protocol.
3. Clean Development Mechanism (CDM)
Mekanisme dari clean development mechanism dicantumkan di dalam pasal
12 kyoto protocol, yang memperbolehkan negara dengan pengurangan emisi
atau komitmen limitasi emisi didalam negara-negara Annex B untuk
mengimplementasikan proyek pengurangan emisi di negara-negara
berkembang. Seperti proyek-proyek yang dapat menghasilkan kredit
certified emission reduction (CER), yang satuannya sama dengan 1
(satu) ton karbon dioksida (CO2), yang dapat dihitung untuk memenuhi
target kyoto protocol. Negara Annex I dapat melakukan investasi di
negara non-Annex I yang meliputi investasi pada proyek2 pengurangan
emisi di negara non-Annex I, aforestasi (penghijauan di lahan bekas
hutan yang telah mengalami deforestasi selama lebih dari 50 tahun),
dan reforestasi (penghijauan untuk hutan yang mengalami deforestasi
pada kurun waktu kurang dari 50 tahun).
Clean Development Mechanism pada sektor land-use, land-use change and
forestry (LULUCF) maksimum 1% dari total limitasi emisi tiap negara.
Certified emission reduction (CER) dapat dikonversi menjadi assigned
amount units (AAUs), sehingga dapat diperjualbelikan dalam mekanisme
emission trading (ET).
Cara penghitungan CER:
Total emisi 2008 s/d. 2012 + emisi dari LULUCF - RMU - emisi yang diperoleh
dari CER atau ERU atau ET + emisi yang dijual = TIDAK BOLEH LEBIH BESAR
DARI Jatah emisi awal untuk 2008 s.d. 2012
Contoh:
Emisi jepang pada thn 1990 adalah: 1,272 Gton
Jatah jepang tiap tahun adalah 94% dari 1990 = 1,272 x 0,94 = 1,196 Gt.
Selama 5 tahun berarti 1,196 x 5 = 5,98 Gt
Total emisi Jepang tahun 2006 (termasuk emissions/ removals dari LULUCF) =
1,249 Gt. Asumsikan bahwa emisi Jepang per tahun tetap, maka selama 5
tahun emisi total Jepang adalah 1,249 x 5 = 6,245 Gt.
Jika lebih maka:
Pengurangan jatah emisi sebesar 1,3 kali kelebihan emisi.
Misalnya: 1,196 – {(1,249 - 1,196)1,3} Gt = 1,127 Gt per
tahunnya. Selama 5 tahun, jatah emisi Jepang turun sebanyak:
(6,245 - 5,98) x 1,3 = 0.3445 Gt
Pembuatan rencana penurunan emisi negara.
Penangguhan keabsahan untuk melakukan pemindahan AAUs ke periode
berikutnya.
Gambar menunjukan banyaknya negara yang memiliki certified emission
reductions
Gambar menunjukkan main buyers of offsets
Dalam pelaksanaan clean development mechanism (CDM) ini, tidak selalu
berjalan dengan semestinya, terdapat beberapa kesulitan dalam
mengimplementasikan mekanisme ini, beberapa diantaranya adalah:
Carbon leakage
Secara teori, leakage (kebocoran dalam bahasa Indonesia) dapat
dikurangangi dengan crediting mechnisms.[10] Tetapi di dalam
prakteknya, jumlah dari bagian kebocoran tergantung kepada garis
dasar dari credits yang diberikan. Pendekatan CDM terakhir sudah
menggabungkan kebocoran ini. Dengan demikian, pengurangan dalam
kebocoran terhadap CDM dapat diminimalisir atau bahkan tidak ada
sama sekali.
Additionality, transaction costs and bottlenecks
Dengan tujuan untuk memelihara keefektifan lingkungan di dalam
kyoto protocol, simpanan emisi dari CDM harus menjadi suatu
penambahan (additional).[11] Terdapat pengiriman biaya besar
yang membentuk suatu penambahan. Dalam menilai suatu penambahan,
membuat suatu efek bottlenectks karena adanya ketertundaan dalam
menerima proyek-proyek CDM. Menurut world bank (2010), terdapat
hambatan yang signifikan untuk melanjutkan pertumbuhan dari CDM
untuk mendukung pengurangan emisi di negara berkembang.
Incentives
CDM memberikan rewards kepada pengurangan emisi, namun tidak
menghukum penambahan emisi.[12] Hal itu tidak akan menjadi
penurunan subsidi dari emisi. Ini dapat membuat insentif yang
tidak wajar kepada pihak yang ingin menaikan emisi mereka dalam
jangka-pendek, dengan tujuan untuk mendapatkan credits untuk
mengurangi emisi dalam jangka-panjang. Hambatan lainnya ialah
CDM dapat mengurangi insentif kepada negara-negara non-Annex I
untuk melimitasi (cap) emisi mereka. Hal ini dikarenakan banyak
dari negara berkembang mendapat untung lebih dari mekanisme
kredit yang berfungsi dengan baik, daripada emission trading
scheme (ETS), yang dimana emisi mereka dilimitasi (capped). Ini
benar-benar menjadi pengecualian yang dimana alokasi dari hak
emisi dalam ETS sangat menguntungkan untuk negara-negara
berkembang.
Perkembangan dari negara-negara yang tergabung dalam Kyoto Protocol.
Negara-negara yang tergabung ke dalam Kyoto Protocol berjumlah 37 negara
(Annex I), tetapi karena Amerika Serikat tidak meratifikasi protocol ini
(hanya menandatangani protocol), maka jumlah dari negara-negara yang
tergabung dan berkomitmen dalam kyoto protocol berjumlah 36 negara, yaitu:
1. Australia
2. Austria
3. Belgia
4. Bulgraia
5. Kanada
6. Kroasia
7. Republik Ceko
8. Denmark
9. Estonia
10. Finlandia
11. Prancis
12. Jerman
13. Yunani
14. Hungaria
15. Eslandia
16. Irlandia
17. Italia
18. Jepang
19. Latvia
20. Lithuania
21. Luxemburg
22. Belanda
23. Selandia Baru
24. Norwegia
25. Monako
26. Polandia
27. Portugal
28. Romania
29. Russia
30. Republik Slovakia
31. Slovenia
32. Spanyol
33. Swedia
34. Swiss
35. Ukraina
36. Inggris
Gambar diatas mengilustrasikan negara Annex I yang meratifikasi dan tidak
meratifikasi.[13]
Dari 36 negara yang tergabung ini, masing-masing memiliki komitmen dalam
melimitasi batas emisi yang diperkenankan di dalam kyoto protocol,
sebagaimana dicantumkan di dalam lampiran Annex B Kyoto Protocol, yaitu :
"Negara "Limitasi emisi atau komitmen "
" "mengurangi emisi (persentasi tiap "
" "tahun atau periode) "
"Australia "108 "
"Austria "92 "
"Belgia "92 "
"Bulgaria* "92 "
"Kanada "94 "
"Kroasia* "95 "
"Republik Ceko* "92 "
"Denmark "92 "
"Estonia* "92 "
"Komunitas Eropa "92 "
"Finlandia "92 "
"Prancis "92 "
"Jerman "92 "
"Yunani "92 "
"Hungaria* "94 "
"Eslandia "110 "
"Irlandia "92 "
"Italia "92 "
"Jepang "94 "
"Latvia* "92 "
"Liechtenstein "92 "
"Lithuania* "92 "
"Luxembourg "92 "
"Monaco "92 "
"Belanda "92 "
"Selandia baru "100 "
"Norwegia "101 "
"Polandia* "94 "
"Portugal "92 "
"Romania* "92 "
"Russia* "100 "
"Slovakia* "92 "
"Slovenia* "92 "
"Spanyol "92 "
"Swedia "92 "
"Swiss "92 "
"Ukraina* "100 "
"United Kingdom "92 "
"United state of America "93 "
*Negara yang masih dalam proses transisi ke ekonomi berbasis pasar.[14]
Negara-negara tersebut membentuk suatu kesepakatan dalam komitmen yang
terjabarkan di dalam dua ilustrasi dibawah ini:
Tabel diatas memperlihatkan komitmen dari negara-negara yang tergabung
dalam kyoto protocol.[15]
Dikarenakan komitmen pengurangan dari GHG tidak memiliki kekuatan yang
mengikat, kyoto protocol diadopsi di 3rd conference of parties di Kyoto,
yang memiliki efek dimulai pada 16 Februari 2005. Dibawah kyoto protocol,
negara-negara yang memiliki tanggungjawab secara historis kepada emisi GHG
harus mengurangi GHG sebanyak 5.2% dari rata-rata selama periode komitmen
pertama (2008 s/d 2012). Beberapa perkembangan secara garis besar ialah
sebagai berikut[16]:
- Korea meratifikasi kyoto protocol di tahun 2002, yang membuat terdapat
sejumlah 184 negara menandatangani protokol dan 76 negara meratifikasi
protokol tersebut.
- 1st Conference of Parties (COP/MOP1) diadakan di Montreal, Kanada pada
November 2005.
- Bali roadmap diadopsi di saat 3rd Conference of Parties (COP/MOP3)
Perkembangan negara-negara yang dikaitkan dengan beberapa komitmen dalam
kyoto protocol:
Clean Development Mechanism
" "Rata-rata CER* "Ekspetasi CER s/d "
" "pertahun "2012 "
"3974 yang telah "579,056,563 "2,130,000,000 "
"registrasi " " "
"82 menunggu "6,976,150 "0 "
"registrasi " " "
*Certified Emission Reduction
Joint Implementation
Setelah dilakukannya sesi ketiga Bali Roadmap, negara-negara
yang tergabung dalam konferensi dari kyoto protocol meminta "the
secretariat, inter alia, with a view to establishing an overview
of all joint implementation projects, to develop a web-based
interface that shall be used by deignated focal points of
parties that have provided information in accordance with
paragraph of the joint implementation guidelines and host joint
implementation projects to:
a. Memberikan akses yang transparan kepada publikasi informasi
proyek.
b. Memberikan informasi kepada transaksi internasional dalam
membuat proyek joint implementation.
c. Mendapat identifikasi proyek atau proyek joint implementation
yang dikeluarkan oleh sistem informasi joint implementation.
Penerapan UNFCCC dan Kyoto Protocol di Indonesia
Kemudian implikasi penerapan UNFCCC dan Kyoto Protocol di Indonesia, sektor
kehutanan di Indonesia tidak hanya berkontribusi dalam pembangunan
nasional melainkan juga berperan signifikan dalam menjaga keseimbangan
iklim dan ekosistem di Bumi. Terjadinya perubahan iklim yang telah terjadi
saat ini telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Musim kemarau yang semakin
panjang serta musim penghujan yang relatif pendek dengan intensitas hujan
yang tinggi merupakan bukti nyata adanya perubahan iklim. Hal ini berdampak
pada berbagai aspek kehidupan manusia seperti kekeringan yang
berkepanjangan, gagal panen, krisis pangan, air bersih, meningkatnya muka
laut serta banjir dan longsor.
Upaya untuk memerangi dampak perubahan iklim ini secara global telah
dimulai sejak diadakannya KTT Bumi di Rio De Janeiro tahun 1992. Pertemuan
tersebut menyepakati dibentuknya United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC). Indonesia menandatangani UNFCCC pada tanggal 5
Juni 1992, dan mengeluarkan Undang-Undang No. 6/1994 tentang Pengesahan
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Indonesia sangat
mendukung tujuan dari UNFCCC yaitu untuk mencegah peningkatan konsentrasi
gas rumah kaca di atmosfer agar tidak membahayakan kehidupan manusia di
bumi. Sejak tahun 1995, para pihak yang meratifikasi UNFCCC bertemu setiap
tahun melalui Konferensi Para Pihak/CoP (Conference on Parties, CoP) guna
menerapkan dan mengimplementasikan kerangka kerja tersebut.
Secara Khusus Pemerintah Indonesia melalui Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada pertemuan negara G-20 di Amerika Serikat di tahun 2009 juga
telah mengutarakan tekad Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
sebesar 26% pada tahun 2020 dari tingkat emisi berdasarkan data BAU
(business as usual) atau kegiatan pembangunan yang dilakukan tanpa tindakan
pengurangan emisi sebesar 2,9 Gton CO2e di tahun 2020.
Konferensi Para Pihak ke 13/CoP-13 Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC)
tahun 2007 di Bali, telah menghasilkan keputusan tentang pendekatan untuk
mendorong aksi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan
(Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation /REDD) di
negara berkembang. REDD juga merupakan bagian penting dari aksi mitigasi
perubahan iklim dalam "Bali Action Plan". Pembangunan Demonstration
Activities (DA)–REDD merupakan salah satu bentuk pelaksanaan amanah
Keputusan COP-13 di Bali tentang REDD. Sesuai Keputusan COP-13 negara
berkembang dan negara maju didorong untuk bekerjasama dalam upaya
pengurangan emisi dan degradasi hutan di negara berkembang, termasuk di
dalamnya dukungan finansial, pengembangan kapasitas dan transfer teknologi
dari negara maju.
Kemudian implikasi Protokol Kyoto terhadap negara berkembang sudah banyak
dibicarakan di Indonesia. Namun, masih mengalami hambatan dalam hal
pemahaman masyarakat terhadap proses Kyoto, isi, dan maksud Protokol Kyoto.
Hal ini dikarenakan rendahnya prioritas lingkungan dalam agenda pembangunan
dan terbatasnya sumberdaya yang tersedia. Implikasi Protokol Kyoto bagi
negara berkembang khususnya Indonesia dikategorikan ke dalam tiga aspek,
yaitu politik dan hukum, bisnis, serta kelembagaan dan SDM.
Pada aspek politik dan hukum, pengesahan Protokol Kyoto bagi Indonesia akan
menguntungkan dalam menjalankan hubungan Intenasional dengan negara-negara
lain terutama ASEAN. Selain itu, pengesahan tersebut menunjukkan kepedulian
akan masalah global tanpa mengorbankan kepentingan nasionalnya. Dengan
dasar hukum yang sudah tetap yaitu Undang-Undang No.17 tahun 2004 yang
memberikan pengesahan ratifikasi Protokol Kyoto. Dalam hal ini, Indonesia
memiliki kewajiban untuk menjalankan Protokol tersebut agar mampu mencapai
tujuan seperti yang diharapkan Protokol Kyoto.
Pada aspek bisnis, dalam pencapaian target penurunan emisi gas negara-
negara industri dapat dilakukan secara domestik walaupun akan membutuhkan
biaya yang sangat mahal. Oleh karena itu, negara industri akan beralih ke
pasar karbon global melalui proyek-proyek investasi baru di berbagai sektor
(energi, industri, transportasi, kehutanan, pertanian, dan limbah domestik)
dengan menggunakan mekanisme Kyoto (JI, CDM, dan ET). Sebagai negara
berkembang, Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisinya,
tetapi dapat berpartisipasi melalui CDM. Dari segi investasinya, peluang
Indonesia dalam pasar karbon global hanya 2% atau sekitar 25 juta ton
CO2/tahun. Sector energi dan transportasi Indonesia memiliki peluang yang
besar untuk mempromosikan energi terbarukan dan efisiensi energi dengan
mengaplikasikan CDM.
Dari segi kehutanan, Hutan Indonesia merupakan paru-paru dunia yang
mensuplai mayoritas Oksigen di dunia karena wilayah hutan Indonesia
merupakan terbesar kedua setelah Brazil. Kelestarian hutan di Indonesia
sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi.
Ratifikasi Protokol Kyoto berdampak pada keikutsertaan Indonesia sebagai
negara pendukung program pengurangan polusi lingkungan hidup dan emisi
karbon. Salah satu program yang penting dan telah diterapkan oleh
Indonesia adalah alih teknologi dan koordinasi dalam penerapan biofuel
untuk mengurangi emisi karbon. Selain itu, hutan dan sumber daya alam milik
Indonesia juga merupakan lahan investasi, eksplorasi, dan eksploitasi modal
negara-negara maju. Indonesia mendapatkan manfaat dari solusi-solusi yang
ditawarkan oleh PK dengan meratifikasi Protokol Kyoto. Namun, pasca
pelaksanaannya tercatat bahwa tingkat kerusakan atau kehilangan hutan
Indonesia menjadi 2,8 juta ha/tahun pada tahun 2006-2007. Selain itu,
Indonesia tidak perlu lagi merusak hutan yang memang sudah rusak untuk
memperoleh pendapatan untuk kesejahteraan masyarakatnya karena akan
mendapat kompensasi dari negara-negara penghasil emisi karbon
Pada sektor pertanian, program ketahanan pangan yang terus dilanjutkan
dapat berpartisipasi dalam penurunan emisi metana (CH4) dari budidaya padi
sawah dan pengaturan pakan ruminansia. Terdapat suatu hal yang sangat
penting, yaitu partisipasi dari masyarakat sangat diharapkan terjadi baik
pada sektor publik maupun swasta. Partisipasi masyarakat tidak hanya
terpaku pada satu sektor saja namun dapat pula berlaku pada sektor yang
lainnya. Partisipasi masyarakat diharapkan akan menjamin keberlanjutan
(sustainability) proyek terutama proyek yang jangka panjang.
Agar Indonesia dapat berpartisipasi dalam kegiatan pada Protokol Kyoto,
maka terlebih dahulu adalah melakukan pengesahan Protokol Kyoto. Oleh
Karena itu peraturan sangat dibutuhkan sebagai landasan hukum dalam
mengambil tindakan. Kesadaran publik mengenai Protokol Kyoto sangat
diperlukan agar implementasinya berlangsung dengan cepat. Selain itu,
stakeholder dan kelembagaan menjadi landasan yang sangat baik dalam
mencapai tujuan penurunan emisi karbon di dunia. Kelembagaan yang
dibutuhkan adalah kelembagaan yang dirancang secara lintas sektor dan multi-
stakeholder sehingga mampu mengimplementasikan Protokol Kyoto secara
efektif.
Peluang Indonesia untuk berpartisipasi dalam mereduksi emisi gas rumah kaca
dan ikut dalam perdagangan karbon terbuka lebar. Mengingat peran signifikan
Indonesia dalam Protokol Kyoto sebagai negara yang memiliki kekayaan hutan
terbesar sudah sepantasnya kita menjaga hutan kita sebagai pereduksi emisi
karbon. Di sinilah paradigma pembangunan berkelanjutan perlu terus
dikampanyekan dan diimplementasikan dalam setiap kegiatan pembangunan.
Saatnya kebijakan yang lebih sistematis mengenai keberlanjutan ekologi
harus diwujudkan sebagai tempat hidup kita. Hal itu dapat terlaksana
melalui upaya penyelamatan keutuhan hutan dan lingkungan yang ada dan
mempertahankan keanekaragaman hayati yang masih ada di alam.
Kasus-Kasus yang terkait dengan UNFCCC dan Kyoto Protocol
Kasus I: "Jepang Jajaki Perdagangan Karbon"[17]
Dua perusahaan asal Jepang, Taiju Research Institute dan Kanematsu
Corporation, menjajaki perdagangan karbon dari hutan di Provinsi Gorontalo.
Kedua perusahaan itu dan Pemerintah Provinsi Gorontalo, telah
menandatangani nota kesepahaman menyangkut kerja sama perdagangan karbon.
Hutan di Gorontalo berpotensi menyerap karbon sebanyak 175 juta ton per
tahun.
Penandatanganan nota kesepahaman (MOU) perdagangan karbon itu dilaksanakan
Selasa/31 Mei 2011 di Kantor Gubernur Gorontalo antara Gubernur Gusnar
Ismail dan perwakilan kedua perusahaan, Masuhiro Yamaguchi dan Kuno
Shigenori. Realisasi dari MOU itu baru akan dilaksanakan pada 2012.
Menurut Badan Investasi Daerah Provinsi Gorontalo Rusthamrin, dari 1,2 juta
hektar hutan di Gorontalo, 800.000 hektar hutan tersebut terdapat sekitar
55,5 juta pohon berdiameter diatas 30 sentimeter. Padahal, satu pohon mampu
menyerap gas karbon sebanyak 2,6 juta ton per tahun.
"Jadi, Jika dikonversikan, Gorontalo memiliki potensi penyerapan karbon 175
juta ton per tahun. Hutan – hutan itu adalah hutan konservasi, hutan
lindung, dan hutan produksi terbatas" kata Rusthamrin.
Sejauh ini belum ada kesepakatan soal harga karbon, sedangkan uang
kompensasi yang diterima dari kerja sama ini akan dimanfaaatkan untuk
pelestarian hutan serta pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan.
Kono Shigenori mengatakan, realisasi pertama dari penandatanganan MOU
adalah studi kelayakan hutan oleh perusahaan Jepang itu dengan Pemerintah
Provinsi Gorontalo menyangkut kualitas hutan dan peluang hutan menyerap
emisi karbon.
Aktivis lingkungan dari Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam
Gorontalo – Muhammad Djufryhard meminta pemerintah menyosialisasikan dulu
kerja sama itu sebelum dilaksanakan. Dia mengingatkan, menjaga hutan tidak
harus menunggu kompensasi dari skema perdagangan karbon. Ia juga khawatir
pemerintah tidak bisa konsisten dalam skema perdagangan karbon, seperti
halnya mempertahankan hutan lindung.
Kasus II: "Norwegia: offering its little finger to help, while using its
fist to destroy"[18]
Di tahun 2007, norwegia mengumumkan akan memberikan 500 juta dollar per
tahun untuk mensupport REDD (Reduction of Emission from Deforestation and
Degradation). Tetapi dilain pihak, Norway juga menginvestasikan 13,7 miliar
dollar di 73 perusahaan yang bergerak di sektor yang merusak hutan,
termasuk kelapa sawit, minyak dan gas, pertambangan, kertas, dan
sebagainya.
Lars Lovold, direktur dari Rainforest Foundation Norway, menjabarkan
permasalahannya:
"Whilst Norway has become famous internationally for its initiative to
protect the rainforest, the truth is that the country invests far more in
industries responsible for massive forest destruction. The Norwegian
Government is offering its little finger to help, while using its fist to
destroy. This incoherence in the Norwegian approach to the rainforests is
serious. The placements done by the Norwegian government are in fact
undermining the much needed international effort to save the rainforest."
Norway's Government Pension Fund- yang mengatur aset global sebanyak 553
miliar dollar yang membuatnya menjadi lembaga pengelola dana pensiun
terbesar di dunia. Lembaga tersebut menginvestasikian dana yang didapat
dari sektor minyak dan gas Norwegia. Investasi tersebut dikelola oleh Bank
Sentral Norwegia melalui Norges Bank Investment Management, dibawah
tanggung jawab Menteri Keuangan.
Dewan Kode Etik memberikan mandat kepada Menteri Keuangan untuk memberikan
rekomendasi yang berisi perusahaan tunggal harus tidak dimasukkan dari dana
investasi. Tetapi lebih dari 8.005 perusahaan, telah ditemukan sebanyak 54
perusahaan yang bermasalah. Darisini, hanya 6 perusahaan yang tidak
memasukkan karena kerusakan yang telah mereka lakukan di kawasan hutan
hujan (tropis).
REDD-Monitor telah melaporkan beberapa contoh dari pendekatan kontradiktif
Norwegia di Indonesia, diantaranya Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan
Tengah di sektor pertambangan.
Di tahun 2010, Perdana Menteri Norwegia, Jen Stoltberg menyatakan bahwa
proteksi terhadap hutan hujan adalah "hal yang paling penting untuk
dilakukan di dunia". Tetapi laporannya, "Beauty and the Beast", terlihat
bagaimana investasi Norwegia merusak proteksi hutan hujan, dengan
menginvestasikan di sektor deforestation.
Dua contoh kasus dari perusahaan yang di investasikan oleh Norwegia dapat
menggambarkan permasalahannya: Wilmar, trader minyak kelapa sawit terbesar
di Indonesia; dan Chevron, salah satu perusahaan minyak terbesar di
Ekuador.
Pada Agustus 2011, anak perusahaan dari Wilmar, PT. Asiatic Persada, ikut
berpartisipasi dalam penggusuran tempat tinggal warga lokal di Jambi,
Sumatra. Polisi menembak ke udara disaat buldozer perusahaan menggusur
rumah dari 83 keluarga. Terdapat beberapa konflik tanah sejak PT. Asiatic
Persada memulai bekerja di Jambi di 1987. Situasi semakin memburuk di tahun
2006, ketika Wilmar mengambil kendali dari perusahaan. Investigasi terkini
oleh HuMa, menemukan bahwa sebanyak 1.359 warga lokal ditinggalkan dengan
hanya 241 hektar untuk tinggal.
Texaco memulai drilling minyak di hutan Amazon Ekuador pada tahun 1960an.
Mereka meninggalkan hampir seribu lahan terbuka, lubang-lubang terbiarkan,
yang terus menimbulkan limbah yang dibuang sebanyak 18,5 juta galon ke
sungai. Menghancurkan sebagian besar area hutan. texaco mengabaikan tambang
minyaknya di Ekuador pada tahun 1992. 10 dari 1000 orang terinfeksi
penyakit dari limbah tersebut. Polusi tanah dan sungai membuat pertumbuhan
pangan menjadi sulit, dan lebih dari 1400 orang mati karena kangker yang
dihubungkan dengan kontaminasi minyak di daerah tersebut.
Chevron membeli Texaco di tahun 2001. 18 tahun terakhir, komunitas lokal
dan warga lokal telah menuntut texaco lalu chevron untuk kerusakan yang
telah dilakukannya. Di februari 2011, pengadilan Ekuador telah memutuskan
bahwa chevron telah bersalah atas kerusakan yang ditimbulkannya sebanyak 18
juta dollar. Chevron menolak untuk menyetujui keputusan tersebut. Sementara
itu, Pemerintahan Norwegia telah memberikan investasikan kepada chevron
sebanyak 1,4 juta dollar.
Investasi Norwegia dalam keadaan industri yang berisiko tinggi dengan 13,7
juta dollar diinvestasikan ke 73 perusahaan di sektor yang berisiko tinggi.
Dari 2010 sampai dengan 2011 diasumsikan telah meningkat sebanyak 13,6%.
Laporan dari Friends of Earth (NGO) terkait dengan perkembangan pelaksanaan
Offsetting[19]
1. Penyeimbangan (offsetting) gas emisi menawarkan pengurangan gas rumah
kaca yang lebih besar daripada yang disediakan oleh badan penelitian untuk
mengurangi efek dari perubahan iklim.
Intergovernmental Panel on Climate Change(IPCC) yaitu penyedia
informasi mengenai perubahan iklim secara ilmiah, teknikal, dan sosial-
ekonomis. IPCC mengatakan bahwa negara- negara harus mengurangi gas
rumah kaca secara besar-besaran dan untuk membantu negara-negara
berkembang diharuskan mengurangi gas emisi ke batas yang telah
ditentukan. Tapi sebenarnya penyeimbangan yang dibuat oleh negara-
negara berkembang dalam rangka mengurangi gas emisi harus
diseimbangkan dengan pengurangan yang dilakukan oleh negara-negara
maju juga. Dan kemudian dapat dikatakan bahwa penyeimbangan adalah ide
untuk menginstitusikan ide mengenai pengurangan gas emisi, hanya di
negara maju ataupun hanya di negara berkembang. Dengan jelas bahwa
IPCC dan kajian ilmiah mengatakan bahwa pengurangan gas emisi perlu
dilakukan baik oleh negara maju maupun negara berkembang.
2. Penyeimbangan tidak dapat menjamin penyamaan tingkat karbon yang
dihasilkan, baik oleh negara maju maupun negara berkembang.
I. Hampir tidaklah mungkin untuk membuktikan bahwa penyeimbangan ini
berhasil tanpa adanya bantuan keuangan. Pemerintah Amerika Serikat
mengeluarkan pendapat pada tahun 2008 mengenai proses penyeimbangan
emisi ini, yaitu tidaklah mungkin menghitung proses penyeimbangan gas
emisi ini tidak lagi memerlukan biaya tambahan dan proyek tambahan.
Tanpa adanya kepastian ini akan sangat dimungkinkan gas emisi akan
meningkat karena kriteria CDM memungkinkan negara-negara berkembang
untuk terus mengeluarkan polusi.
II.Bahkan jika proyek tambahan untuk menyeimbangkan tingkat emisi, bahwa
penghitungan zat karbon yang dihemat. Ini karena hasil yang dihitung
adalah seperti menghitung hasil yang bertentangan dengan hasil
hipotetik dari masa depan, sama dengan menghitung suatu hal yang belum
terjadi.
3. Penyeimbangan menunda pengembangan yang diperlukan bagi negara
berkembang.
Hal ini melemahkan badan-badan yang mempunyai niat untuk menerapkan
peraturan keras tentang iklim di negara-negara, atau mencegah produksi
atau penumpukan karbon yang lebih tinggi. Untuk mengurangi karbon,
negara-negara maju dituntut untuk memberikan inveastasinya dalam waktu
sepuluh tahun kedepan. Dan kembali pada arti dari penyeimbangan itu
sendiri, seperti misalnya negara-negara di Uni Eropa bisa menunda
pengambilan yang kuat megenai pengurangan emisi hingga tahun 2020. Hal
ini dikarenakan jika penyeimbangan dilakukan secara tiba-tiba maka
akan menyebabkan melemahnya ekonomi dari negara-negara maju.
4. Penyeimbangan tidak membantu negara-negara berkembang.
I. Di banyak kasus penyeimbangan gas emisi tidak membantu pengurangan
gas emisi di negara-negara berkembang. Faktanya adalah bahwa pemasukan
terbesar CDM (Clean Development Mechanism) adalah berasal dari
industri yang menghasilkan banyak karbon atau perusahaan-perusahaan
energi fosil.
II. CDM dapat menghasilkan pemasukan yang lebih bai negara-negara
berkembang untuk tidak menetapkan suatu aturan yang kuat mengenai
pencegahan perubahan iklim. Hal ini terjadi karena proyek-proyek yang
tidak diperlukan oleh peraturan, dikategorikan sebagai proyek CDM
III. Bantuan finansial yang disediakan nyatanya snagat minim dari biaya
yang dibutuhkan untuk membatu menurunkan kadar emisi dan mendukung
pembangunan yang bebas emisi. Negara-negara berkembang seharusnya
mmemberikan kontribusi yang amat besar bukan hanya memiliki peran yang
kecil, namun karena banyaknya hutang yang dimiliki negara-negara
berkembang kepada negara-negara maju malah menjadikan krisis iklim ini
bertambah buruk. Dan penyeimbangan ini bukanlah alat yang tepat untuk
mengurangi gas emisi.
IV. Akan ada dampak yang serius bagi negara berkembang jika
penyeimbangan emisi menjadi bagian dari target mereka. Penyeimbangan
emisi memperdalam ketidaksetaraan dalam konsumsi per kapita karbon
antara negara-negara maju dan berkembang.
Jadi kesimpulannya adalah CDM dan berbagai jenis penyeimbangan kadar
gas emisi tidaklah efektif dalam menyelesaikan masalah perubahan
iklim. Hal-hal tersebut hanyalah pengalihan dari bisnis untuk
memasukan penjualan karbon ke dalam ekonomi dunia.
Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?
1. Menyutujui bahwa seharusnya negara-negara maju mengurangi kadar gas
emisi setidaknya sebesar 40% hingga tahun 2020, dan hal tersebut tidak
termasuk penyeimbangan.
2. Menolak setiap bentuk penyeimbangan gas emisi. Penwaran mengenai
penyeimbangan kadar gas emisi harusnya ditolak dan cara-cara
penyeimbangan gas emisi yang telah ada sekarang, dibuat ulang kembali.
3. Menolak penawaran cara-cara penyeimbangan gas emisi oleh REDD, dan
kemudian menegosiasikan mekanisma untuk melindungi hutan di bumi yang
tidak melibatkan penyeimbangan emisi.
4. Menegosiasikan mekanisme pembiayaan baru dibawah kewenangan UNFCCC
untuk memastikan dana mengalir ke negara-negara berkembang demi
mendukung negara-negara berkembang menjadi negara-negara yang
menghasilkan sedikit karbon di masa depan.
-----------------------
[1] Lihat:
http://unfccc.int/essential_background/convention/background/items/1353.php
[2] Lihat: http://www.climate-leaders.org/climate-change-resources/india-at-
cop-15/unfccc-cop
[3] Lihat: http://unfccc.int/essential_background/items/6031.php
[4] Lihat: http://unfccc.int/cooperation_and_support/items/2664.php
[5] Stavins, Robert N. (November 2001). "Experience with Market-Based
Environmental Policy Instruments". Discussion Paper 01-58 (Washington,
D.C.: Resources for the Future).
[6] Lihat
http://unfccc.int/kyoto_protocol/mechanisms/emissions_trading/items/2731.php
[7] Montgomery, W.D. "Markets in Licenses and Efficient Pollution Control
Programs". Journal of Economic Theory 5 (December 1972):395-418
[8] Cap and Trade 101, Center for American Progress, January 16, 2008
[9] Lihat
http://unfccc.int/kyoto_protocol/mechanisms/joint_implementation/items/1674.
php
[10] Burniaux et al., 2009, p. 38
[11] World Bank, 2010, p. 265
[12] Burniaux et al., 2009, p. 41
[13]Lihat: http://www.env.go.jp/en/aboutus/pamph/html/00pan080.html
[14] Lampiran Kyoto Protocol: Annex B
[15] Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Kyoto_Protocol
[16] Lihat :
http://eng.me.go.kr/content.do?method=moveContent&menuCode=pol_cha_cli_cou_i
nt_kyoto
[17]Lihat:
http://nasional.kompas.com/read/2011/06/01/04555657/jepang.jajaki.perdaganga
n.karbon
[18] Lihat: www.redd-monitor.org/2012/01/26/can-redd-save-the-forest-of-
muara-tae-in-east-kalimantan-indonesia/
[19] Bullock,Simon, et.al. A Dangerous Distraction: why offsetting is
failing the climate and people: the evidence.hal:5