PENDAHULUAN
Kematian khalifah Utsman ibn Affan secara tragis melalui tangan para perusuh tahun 35 H telah menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa yang mengguncang tubuh umat Islam. Salah satu di antaranya adalah perang Shiffin, 2 tahun setelah Ali ibn Abi Thalib dibai'at jadi khalifah menggantikan Utsman.
Perang besar antara kubu Ali dengan kubu Mu'awiyah ibn Abi Sufyan itu, tidak hanya mengoyak umat Islam menjadi dua kubu besar secara politis, tetapi juga melahirkan dua aliran pemikiran yang secara ekstrim selalu bertentangan yaitu Khawarij dan Syi'ah. Misalnya Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah Ali setelah peristiwa, sementara Syi'ah belakangan mengkultuskan Ali demikian rupa sehingga seolah-olah Ali adalah manusia tanpa cacat. Lain pula dengan kelompok Murjiah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya "kafir mengkafirkan" terhadap orang yang melakukan dosa besar. Sekalipun demikian aliran-aliran tersebut bersifat politik tapi kemudian untuk mendukung pandangan dan pendirian politik masing-masing, mereka memasuki kawasan pemikiran agama. Makalah ini membahas secara singkat tentang tiga aliran tersebut. Pembahasannya terfokus pada pengertian, sejarah munculnya, ajaran serta perkembangannya.
PEMBAHASAN
Arti dan sejarah timbulnya Khawarij, Syi'ah dan Murjiah
1. Pengertian
Secara etimologi[1] kata Khawarij berasal dari bahasa Arab yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul atau memberontak. Sedangkan menurut terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase, dalam perang Siffin pada tahun 37 H/648M, dengan kubu Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khalifah.[2]
Syi'ah berasal dari kata Arab Syi'ah yang secara etimologis berarti pengikut, kelompok, golongan dan pendukung.[3] Sedangkan secara terminologis, Syi'ah berarti orang atau kelompok yang mengangkat kepemimpinan Ali dan Keluarganya.[4] Mereka itu anatara lain adalah : Jabir ibnu Abdillah, Huzaifah ibnul Yaman, Abu Dzar al Ghiffari dan lainnya.
Nama Murjiah diambil dari kata irja atau arja'a yang bermakna penundaan, penangguhan, pengharapan.[5] Kata arja'a juga mengandung arti harapan, yakni memberikan harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah.
2. sejarah timbulnya Khawarij, Syi'ah dan Murjiah
Aliran-aliran ini lahir bersamaan dengan lahirnya Syi'ah yakni pada masa Ali bin Abi Thalib r.a. Orang-orang Khawarij dulunya adalah pendukung Ali, meskipun demikian Syi'ah datang lebih dahulu dari pemikiran Khawarij.[6] Timbulnya aliran ini adalah akibat dari peristiwa tahkim (arbitrase), Khawarij menghukum para peserta tahkim sebagai orang-orang yang telah menjadi kafir.
Pada mulanya kelompok Khawarij memandang Ali bin Abi Thalib dan pasukannya berada di pihak yang benar karena merupakan khalifah yang sah dan telah dibai'at oleh ummat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah.
Dalam peperangan Siffin tersebut pihak Muawiyah sudah terdesak, menyadari hal itu maka pihak Muawiyah minta untuk berdamai, namun pihak Ali juga menyadari bahwa ajakan damai tersebut adalah strategi licik Muawiyah akan tetapi karena desakan sebagian pengikutnya terutama ahli qurra seperti Al-Asy'ats bin Qais, Mas'ud bin Fudaki At-tamimi dan Zaid bin Husein Ath-Tha'i, dengan terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar selaku komandan pasukan untuk menghentikan peperangan.
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi untuk tahkim, namun orang Khawarij menolaknya dan mengusulkan Abu Musa Al-Asy'ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitabullah. Tetapi keputusan tahkim bahwa Ali diturunkan dari khalifah dan Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sehingga orang Khawarij sangat kecewa dengan keputusan tersebut, maka mereka membelot dengan mengatakan, " Mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum selain hukum yang ada disisi Allah." Imam Ali menjawab, " Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru." pada saat itulah mereka keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura.[7]
Aliran Murjiah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya "kafir mengkafirkan" terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij.
Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin dihadapan mereka.[8]
C. Pemikiran Khawarij, Syi'ah dan Murjiah
1. Khawarij
Secara umum ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir, orang-orang yang terlibat pada perang Jamal (perang antara Aisyah, Thalhah dan Zubair dengan Ali bin Abi Thalib) dan para pelaku tahkim (termasuk yang menerima dan membenarkannya) dihukumkan kafir dan khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.
Begitu pula dengan doktrin-doktrin pokok yang ditanamkan antara lain: [9]
1) Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh ummat Islam.
2) Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab, setiap orang muslim berhak menjadi khalifah bila memenuhi syarat.
3) seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
4) Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh.
5) Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka bila tidak maka ia wajib di bunuh.
6) Adanya wa'ad dan wa'id.
7) Amar makruf nahi munkar.
8) Memalingkan ayat-ayat Al-qur'an yang mutasyabihat.
9) Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan
Dari doktrin di atas dapat kita simpulkan bahwa doktrin kaum Khawarij dapat dikategorikan dalam tiga kategori yaitu :
a. Doktrin politik, dimana membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kenegaraan khususnya tentang kepala negara atau khalifah.
b. Doktrin teologi, dimana membicarakan tentang dosa besar. Doktrin teologi Khawarij yang radikal pada dasarnya merupakan imbas dari doktrin sentralnya yaitu doktrin politik. Radikalitas itu sangat dipengaruhi oleh sisi budaya mereka yang juga radikal serta asal usul mereka yang berasal dari masyarakat badawi dan pengembara padang pasir yang tandus.
c. Doktrin sosial, dimana doktrin ini memperlihatkan kesalehan asli kelompok Khawarij.
2. Syi'ah
Sementara kaum Syi'ah mempunyai 5 (lima ) prinsip utama dalam pemikirannya yaitu : Al Tauhid (ke Esaan Tuhan), Al 'adl (keadilan), Nubuwwah (Kenabian), Imamah (Kepemimpinan) dan Ma'ad (Kiamat).
1) Al Tauhid
Kaum Syi'ah, khususnya aliran Istna Asyariyyah yang dipelopori Hisyam bin al Hakam memandang bahwa eksistensi Allah dapat dijelaskan melalui keberadaan manusia beserta sifat yang ada dalam diri manusia itu, pandangan ini dikenal dengan paham al Tajsim dan Tasybih ( meng antromorfis kan Allah ), namun pada generasi berikutnya paham tersebut ditinggalkan dan menganut paham al Tanzih wa al Tajrid yaitu me Maha suci-kan dan me Maha abstrakkan Allah, paham dari generasi ini dipelopori al Syeikh al Mufid.[10] Paham yang pertama yaitu al Tajsim wa Tasybih digunakan kaum Syi'ah untuk menentang kaum Mu'tazilah yang menentang dan menolak teori imamah versi Syi'ah, namun akhirnya atas prakarsa Bani Buwaihi, kedua kaum ini dipersatukan dengan menganut paham kedua yaitu al Tanzih dan al Tajrid.
Berbeda dengan aliran Istna Asyariyyah, aliran Ismailiyyah, filsafat ketuhanannya berlandaskan pada prinsip bahwa akal manusia tidak mampu mempersepsi zat ilahi, zat ini mempunyai sifat-sifat dan sifat-sifat itu hanya dituangkan pada akal pertama yang diciptakan Allah. Artinya kita hanya mengetahui al aql al-mubtada' (akal yang dicipta) tetapi tidak bisa mengetahui al Bari al Mubdi (pencipta yaitu Allah).[11] Dalam teori emanasi (al Faid wa al Sudur), kaum ini menjelaskan bahwa bermula dari akal beremanasi al Nafs al kulliyyah (jiwa universal), dari jiwa itu beremanasilah materi ini. Dari persatuan akal, jiwa materi, waktu dan ruang beremanasilah gerakan segala falak dan alam.[12] Begitu pun dengan wahyu, bahwa ia tidak terputus karena wahyu merupakan pancaran dari al Natiq kepada al Was-yu dan para imam.
Mengenai masalah yang berhubungan dengan ketuhanan, kaum Zaidiyah pada awalnya lebih dekat kepada kaum salaf, walaupun imam mereka berguru pada washil bin Atha'. Mereka berpandangan bahwa Allah SWT adalah sesuatu yang tidak seperti sesuatu yang lain, tidak serupa dengan segala sesuatu yang ada. Ia Maha mengetahui, Maha kuasa, karena sifat Maha mengetahui dan Maha Kuasa bukanlah ia juga bukan selain ia.[13]
2) Al Adl
Al Adl maksudnya adalah bahwa Allah tidak berbuat dzalim kepada seseorang dan tidak melakukan sesuatu yang buruk menurut akal sehat. Akal yang mengatakan bahwa buruk bagi Allah itu mustahil maka kaum Syi'ah menetapkan sifat Al adl hanya pantas dipunyai atau bagi Allah sedangkan Syara' hanya memperkuat dan memberi tanda-tandanya saja, bahkan akal tanpa bantuan syara' tidak dapat menentukan baik buruk.[14]
3) Nubuwwah
Kaum Syi'ah meyakini bahwa semua Nabi yang disebutkan dalam Al Qur'an adalah utusan Allah dan hamba-hambaNya yang mulia. Mereka ditugaskan untuk mengajak manusia kepada yang Al Haq atau Allah. Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir dan pemimpin para rasul. Hal terpenting dalam keyakinan mereka tentang kenabian adalah permasalahan 'Ishamah (ma'shum). Mereka meyakini tentang kesempurnaan sifat-sifat Nabi. Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi adalah mukjizat, begitupun juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan kenabian dan al Qur'an adalah mukjizat Nabi Muhammad dan kitab suci umat Islam.[15]
4) Imamah
Mengenai masalah ini, kaum Syi'ah berpandangan bahwa imamah bukanlah masalah kemaslahatan umum, melainkan merupakan suatu rukun agama dan pokok agama Islam yang tidak boleh dilalaikan oleh Nabi atau diserahkan oleh rakyat, artinya rakyat tidak mempunyai hak untuk memberikan pertimbangan dan menunjuk seorang imam melainkan hanya Nabi yang berkewajiban menunjuk imam yang akan memimpin rakyat sepeninggal beliau. Dan setiap imam wajib pula menunjuk imam yang akan menggantikannya.[16] Kaum Syi'ah berpandangan bahwa dalam agama Islam tidak ada sesuatu yang lebih penting dari pada masalah penunjukan imam, apabila imam tersebut telah menunjuk penggantinya maka ia akan dapat meninggal dunia dengan perasaan lega dan tidak merasa kuatir atas kepentingan rakyat.
Oleh karena Nabi mempunyai kewajiban untuk menunjuk imam yang akan mengurus kepentingan kaum muslimin sesudah beliau wafat, maka beliau telah melaksanakan kewajiban itu yaitu telah menunjuk Ali, dan penunjukannya dilakukan dengan nash yang jelas bukan secara sindiran. Peristiwa ini terjadi di suatu tempat yang disebut ghadir kham. Sabda Nabi yang dimaksud berbunyi : " Ali adalah teman bagi orang yang saya menjadi temannya. Ya Allah tolonglah siapa yang menolongnya, dan musuhilah siapa yang memusuhi, menangkanlah siapa yang memenangkannya, dan kalahkanlah siapa yang megalahkannya. Jadikanlah kebenaran itu besertanya selama-lamanya semoga aku telah menyampaikan apa yang wajib kusampaikan" Dan penunjukan itu terjadi setelah turunnya firman Allah:
ياايها الرسول بلغ ما انزل اليك من ربك، وان لم تفعل. فما بلغت رسالته والله يعصمك من الناس. Hai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepada mu dari Tuhanmu, dan jika engkau belum melakukannya berarti engkau tidak menyampaikan pesanNya, dan Allah akan melindungimu dari kejahatan manusia"(Q.S. Al Maidah: 67).[17]
Yang disuruh menyampaikannya dalam ayat itu, menurut tafsiran kaum Syi'ah adalah penunjukan Ali sebagai imam. Oleh sebab itu setelah penunjukan itu selesai turunlah firman Allah :
اليوم اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الاسلام دينا
Pada hari ini telah Ku sempurnakan agamamu dan telah Ku lengkapkan nikmat Ku untukmu, dan aku telah rela agama Islam menjadi agamamu"(Q.S. Al Maidah: 3)[18]
Bahwa imamah itu adalah khusus untuk Ali dan anak cucunya dari isterinya yaitu Fatimah. Mereka adalah ahlulbait, dan pohon rindang yang beroleh berkah, yang karenanya Allah senang kepada seluruh manusia. Orang selain mereka tidak berhak untuk menduduki jabatan imamah itu sampai Allah mewarisi bumi ini dan semua orang yang berada diatasnya. Dan selain itu, mereka itu adalah ma'shum yakni terhindar dari perbuatan dosa dan tidak pernah salah ataupun lupa.
5) Ma'ad
Dalam pandangan kaum Syi'ah, Ma'ad yang dimaksud setara dengan doktrin Raj'ah yaitu keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT di muka bumi bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi.
Keyakinan itu didasarkan pada al Qur'an surat al Mukmin ayat 11:
"Mereka menjawab, Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali pula, lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adalah suatu jalan bagi kami untuk keluar "[19]
3. Murjiah
Faham aliran Murjiah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam "Murjiah" dan dalam sikap netralnya. Pandangan "netral" tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata "arja'a", yang berarti "orang yang menangguhkan", mengakhirkan dan "memberi pengharapan". Menangguhkan berarti "menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya. Istilah "memberi harapan" mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka "berharap" bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.
Berdasarkan itu, maka inti faham Murjiah adalah Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak mengenal bahwa "tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya", ia mukmin sekalipun melakukan dosa. Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya.
Faham ini menurut al-Asy'ari identik dengan faham golongan moderat. Faham yang sama juga diberikan oleh al-Baghdadi ketika ia menerangkan bahwa ada tiga macam iman:
a. Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka, yaitu mengakui Tuhan, Kitab, Rasul-rasul, kadar baik dan buruk serta sifat-sifat Tuhan
b. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fasik dari seseorang serta yang melepaskannya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar
c. Iman yang membuat seseorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga tanpa perhitungan, yaitu mengerjakan yang wajib serta sunnah dan menjauhi segala dosa.[20]
D. Perkembangan aliran Khawarij, Syi'ah dan Murjiah
1) Khawarij
Semakin lama kelompok yang memisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat sungai Tigris. Ali berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah ke-Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah pimpinan Abbdullah ibn Wahab ar-Rasibi. Semula Ali tidak menanggapi secara serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita tentang kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak mendukung pendapat mereka. Di antara yang menjadi korban adalah Abdullah ibn Khabbab, salah seorang putera sahabat Nabi.
Ali kemudian mengirim utusan membujuk dan menyadarkan mereka. Ali menawarkan kepada mereka untuk kembali bergabung dengannya bersama-sama menuju Syria, atau pulang ke kampung masig-masing. Sebagian memenuhi anjuran Ali, ada yang bergabung kembali dan ada yang pulang kampung serta ada yang menyingkir ke daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang. Mereka menyerang pasukan Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran Nahrawan yang mengenaskan itu. Hampir semua mereka mati terbunuh. Hanya delapan orang saja yang selamat.
Sejak peristiwa Nahrawan itulah kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan. Memang karena peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi fisik Ali dapat menumpas habis semua Khawarij yang berada di situ, telah mengakibatkan Ali tidak pernah bisa berangkat ke Syria. Antara tahun 39 dan 40 H berulangkali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras Ali untuk menghadapinya. Mu'awiyah pun, yang setelah Ali wafat menjabat kedudukan Amirul Mu'minin dan terkenal hilm (lemah lembut dan arif), selama pemerintahannya yang 20 tahun itu tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij.
Dalam perkembangan selanjutnya Khawarij terpecah menjadi beberapa kelompok, Para sejarawan berbeda pendapat tentang jumlah kelompok-kelompok pecahan Khawarij, tapi mereka sepakat jumlahnya tidak kurang dari dua puluh kelompok, sebagian ushûl dan yang lain furû'. Yang termasuk ushul menurut Abu Hasan Al-Asy'ary adalah : Al-Azariqah, al-Ibadiyah, an-Najdiyah dan ash-Shufriyah. Sementara menurut Syahrastani yang masuk ushûl adalah al-Muhakkimah al-Ula, al-Azariqah, an-Najdat, al-Baihasiyah, al-'Ajaridah, ats-TsaAlibah, al-Ibadhiyah dan ash-Shufriyah. Yang termasuk furu' banyak sekali, tidak relevan kita sebutkan semuanya dalam makalah ini, di antaranya adalah al-'Athawiyah, al-Fadikiyah dan al-'Ajaridah.
Harun Nasution mengidentifikasikan beberapa indikasi aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran Khawarij, yaitu:[21]
1. Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun orang tersebut Islam
2. Islam yang benar adalah Islam yang mereka fahami dan amalkan sedangkan Islam yang difami oleh kelompok lainya tidak benar
3. Orang-orang Islam yang tersesat dan kafir perlu dibawa kembali ke Islam yang benar yaitu Islam yang mereka fahami
4. Pemerintah dan ulama yang tidak sefaham dengan mereka diangap sesat
5. mereka bersifat fanatik dalam faham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka.
2) Syi'ah
Setiap mazhab memiliki ajaran-ajaran pokok sebagai pondasi mazhab tersebut. Dengan bergulirnya masa, akan ditemukan beberapa ajaran baru yang berbeda dengan dengan ajaran-ajaran tersebut dari segi kurus dan gemuknya. Sebagai contoh, satu mazhab meyakini bahwa harus ada sistem imamah yang ditentukan oleh pembawa Syari'at sebagai penerus keberlangsungan dakwah Rasulullah SAW. Ini adalah sebuah ajaran pokok yang harus dimiliki oleh mazhabnya. Akan tetapi, kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat di antara para pemeluknya dalam menentukan siapakah yang berhak menjadi imam sebagai penerusnya. Dengan demikian, akan muncul aliran baru yang merupakan cabang dari mazhab itu. Mayoritas agama langit seperti agama Yahudi, Kristen, Majusi dan Islam mengalami realita tersebut di atas.
Mazhab Syi'ah pun tidak terkecualikan dari realita ini. Pada masa hidupnya Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husein tidak terjadi perpecahan dalam tubuh mazhab Syi'ah. Setelah Imam Husein syahid, mayoritas pengikut Syi'ah menjadikan Imam Ali As-Sajjad sebagai imam keempat dan kelompok minoritas yang dikenal dengan sebutan "Kaisaniyah" menjadikan putra ketiga Imam Ali yang bernama Muhammad bin Hanafiah sebagai imam keempat dan mereka meyakini bahwa ia adalah Imam Mahdi yang ghaib di gunung Ridhawi. Di akhir zaman ia akan muncul kembali.
Kitab Yanabi'ul Mawaddah juga mengakui bahawa Imam Mahdi mereka adalah imam yang ghaib kerana terdapat sebuah hadis yang menyebutkan demikian. Hadis tersebut terjemahannya berbunyi kira-kira begini:
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, beliau bertanya, "Wahai Rasulullah, adakah Al-Qaim dari anak cucumu akan ghaib?" Rasulullah SAW menjawab, "Ya." Lalu baginda SAW bersabda, "Wahai Jabir, ini adalah salah satu urusan dari urusan Allah, dan salah satu rahsia dari rahsia-rahsia Allah. Engkau jauhilah daripada syak kerana syak pada urusan Allah adalah kufur." (Yanabi'ul Mawaddah, hal. 489)[22]
Ahlus Sunnah juga mempercayai bahawa Imam Mahdi adalah iman yang ghaib, tetapi tidak semua yang mempercayainya. Konsep imam yang ghaib ini hanya dipercayai oleh kalangan ahli tasawuf dan para pengikut mereka sahaja, tidak dibawa kepada orang awam. Ahli-ahli tasawuf ini mendasarkan kepercayaan mereka itu kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Konsep imam ghaib Ahlus Sunnah ini nyata jauh berbeda daripada konsep imam ghaib bagi golongan Syi'ah, yang secara jelas menyatakan bahwa siapa yang tidak mempercayai keghaiban imam mereka, dihukumkan kufur. Ini jelas diambil dari maksud zahir hadis yang diriwayatkan oleh mereka. Maknanya, mempercayai Imam Mahdi sebagai ghaib adalah merupakan salah satu cabang rukun iman yang wajib diketahui, diyakini dan disampaikan bagi sekalian pengikut mazhab Syi'ah.
Setelah Imam Sajjad syahid, mayoritas pengikut Syi'ah mengakui Imam Baqir, putranya sebagai imam Syi'ah dan kelompok minoritas meyakini Zaid, putranya yang lain sebagai penggantinya. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama Syi'ah Zaidiyah.
Pasca syahadah Imam Baqir, para pengikut Syi'ah menjadikan Imam Ja'far Ash-Shadiq, putranya sebagai imam keenam Syi'ah. Dan setelah Imam Shadiq syahid, para pengikut Syi'ah terpecah menjadi lima golongan:[23]
a. Mayoritas pengikut Syi'ah yang meyakini Imam Musa Al-Kazhim, putranya sebagai imam Syi'ah yang ketujuh.
b. Kelompok kedua menjadikan putra sulungnya yang bernama Ismail sebagai imam Syi'ah yang ketujuh. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama "Syi'ah Ismailiyah".
c. Kelompok ketiga menjadikan putranya yang bernama Abdullah Al-Afthah sebagai imam Syi'ah yang ketujuh. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama "Syi'ah Fathahiyah".
d. Kelompok keempat menjadikan putranya yang bernama Muhammad sebagai imam Syi'ah yang ketujuh.
e. Kelompok kelima menganggap bahwa Imam Shadiq adalah imam Syi'ah terakhir dan tidak ada imam lagi sepeningalnya.
Setelah Imam Musa Al-Kazhim syahid, mayoritas pengikut Syi'ah meyakini Imam Ridha, putranya sebagai imam Syi'ah yang kedelapan dan kelompok minoritas dari mereka mengingkari imamahnya dan menjadikan Imam Kazhim sebagai imam Syi'ah terakhir. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama "Syi'ah Waqifiyah".
Setelah Imam Ridha syahid hingga lahirnya Imam Mahdi, di dalam tubuh Syi'ah tidak terjadi perpecahan yang berarti. Jika terjadi perpecahan pun, itu hanya berlangsung beberapa hari dan setelah itu sirna dengan sendirinya. Seperti peristiwa Ja'far bin Imam Ali Al-Hadi, saudara Imam Hasan Al-Askari yang mengaku dirinya sebagai imam Syi'ah setelah saudaranya syahid.
Semua kelompok dan aliran cabang di atas telah sirna dengan bergulirnya masa kecuali tiga aliran yang hingga sekarang masih memiliki pengikut yang tidak sedikit. Tiga aliran Syi'ah tersebut adalah Syi'ah Itsna 'Asyariyah, Syi'ah Ismailiyah dan Syi'ah Zaidiyah.
1.Syiah Itsna Asyariyyah :
Kaum Syiah aliran ini mendominasi Iran dan menjadi mayoritas pada masyarakat Syiah di Irak, Azerbeijan, Bahrain dan pada masyarakat Muslim Lebanon.[24] Aliran ini meyakini bahwa silsilah Imam berlanjut dari keturunan Imam yang ke empat yaitu Zainal Al Abidin Al Sajjad kepada puteranya Muhammad Al Baqir sebagai Imam ke lima dan Ja'far Al Shadiq yang merupakan Imam ke enam sampai kepada Imam ke dua belas yaitu Muhammad Al Muntazar ( Al Mahdi ), yang dipercaya oleh aliran ini diberikan Tuhan sebuah kehidupan panjang sampai akhir dunia tetapi berada dalam alam ghaib. Imam Mahdi tetap menjadi pemimpin di dunia yang tersembunyi dan dapat muncul atau memperlihatkan diri kepada orang-orang yang memiliki kondisi spiritual tertentu. Dan akan muncul secara terbuka sebelum akhir waktu, yaitu ketika ketidak adilan dan penindasan telah menyeluruh dan akan membangun kembali keadilan dan perdamaian di muka bumi serta akan mempersiapkan dan mengkondisikan kedatangan Isa dari surga.
Selain dari pada itu kaum Syiah aliran ini mempercayai ke dua belas Imam tersebut sebagai pemberi petunjuk yang menggantikan Rasulullah Muhammad sebagai pemimpin umat dalam maslah-masalah agama dan kemasyarakatan. Skema Imam dua belas adalah sebagai berikut :
1.Ali Ibn Abi Thalib
2. Al Hasan
5. Muhammad Al Baqir
6. Ja'far Al Shadiq
7. Musa Al Kazhim
8. Ali Al Ridha
9. Muhammad Al Jawwad
10. Ali Al Hadi
111. Al Hasan Al Askari
12. Muhammad Al Muntazar (Al Mahdi )
Zaid
3. Al Husein
4. Al Zain Al Abidin
Ismail
Pada Muhammad Al Muntazar terhenti rangkaian Imam-imam nyata, karena ia tidak meninggalkan keturunan. Dan sewaktu kecil, ia hilang dalam gua yang terletak di Masjid Samarra Irak sehingga diyakini oleh kaum Syiah bahwa Imam ke dua belas ini menghilang untuk sementara waktu dan akan kembali lagi sebagai Al Mahdi (yang dinanti)[25]untuk langsung memimpin umat manusia.
2. Syiah Ismailliyah :
Aliran ini memisahkan dari mayoritas kaum Syiah karena perdebatan disekitar identitas Imam ketujuh. Seperti diketahui bahwa menurut keyakinan kaum Syiah , Imam ke enam, Ja'far Al Shadiq telah memilih puteranya , Ismail berdasarkan ilham dari Tuhan menjadi Imam ketujuh. Akan tetapi, Ismail meninggal dunia ketika bapaknya masih hidup. Berikutnya Imam Al Kazim dipilih sebagai Imam ke tujuh, tetapi sejumlah orang di dalam
masyarakat Syiah menolak untuk menerima penganugerahan itu dan tetap berpandangan bahwa Ismail yang dikenal dengan sebutan Muhammad al Maktum adalah Imam ke tujuh bagi mereka, sehingga mereka dinamakan aliran Ismailliyah.
Selama beberapa waktu , Imam-imam mereka tidak muncul secara terbuka sampai tiba-tiba pada abad ke 10, penganut aliran ini , di Tunisia menyatakan diri sebagai penguasa dan memperluas kekuasaannya sampai ke Mesir dan hampir ke seluruh Negara Afrika Utara dan Suriah. Dan bahkan mereka mampu mendirikan kekhalifahan Fatimiyyah yang menyaingi dan menantang kekhalifahan Sunni Abbasiyyah yang ber ibukota di Baghdad.Kekhalifahan Fatimiyyah menjadikan Kairo sebagai ibu kota dan membangun kota itu sehingga menjadi pusat ilmu dan seni, yaitu dengan telah didirikan Universitas Al Azhar dan sekarang menjadi institusi pendidikan paling penting bagi umat Islam dunia.Walaupun jumlah mereka jelas lebih kecil disbanding dengan pengikut Itsna Asyariyah tapi sumbangannya sangat besar dalam keseluruhan sejarah Islam secara intelektual, seni dan politik sehingga mereka telah mengambil tempat yang sangat penting dalam spectrum Islam.
3. Syiah Zaidiyyah :
Syiah Zaidiyyah adalah para pengikut Zaid bin Ali Husein bin Ali bin Abi Thalib. Aliran kelompok Syiah ini menginginkan bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah Husein bin Ali adalah puteranya yaitu Zaid bin Husein. Dalam masalah Imamah mereka menyatakan bahwa Imam tidaklah ditentukan oleh Nabi SAW, siapa orangnya tetapi hanya sifat-sifatnya. Tegasnya Nabi SAW tidak menyatakan bahwa Ali lah yang akan menjadi imam setelah beliau wafat, namun Nabi hanya menyebut sifat-sifat imam yang akan menggantikan beliau, Ali ditetapkan sebagai imam , karena sifat itu terdapat dalam diri Ali, sifat-sifat yang dimaksud adalah Takwa, berilmu, kemurahan hati, dan keberanian, sedangkan untuk imam sesudah Ali ditambah sifat keturunan Fatimah.
Aliran Syiah Zaidiyyah pada abad ke 10 memiliki banyak pengikut di Persia dan Arab bagian timur tapi berangsur-angsur mereka mereka pindah ke Yaman, yang akhirnya mereka mengisi setengah dari jumlah penduduk negara tersebut dan menjadi penguasa selama ribuan tahun sampai pada 1962.[26]
Aliran Syiah ini mempunyai pendiria bahwa siapa saja yang taat beragama, berilmu pengetahuan akan dapat mempertahankan negara dan memelihara perdamaian keamanan maka siapa saja yang mempunyai kualifikasi tersebut dapat diangkat menjadi imam dan memimpin, sehingga dapat dikatakan bahwa Syiah Zaidiyyah ini lebih moderat dibanding dengan Syiah Ismailiyyah. Walaupun jumlah pengikut aliran ini hanya beberapa juta, namun sejarah penyebarannya selalu terkait dengan aktivitas dan institusi politik, hal ini lah yang menyebabkan aliran Syiah ini berkuasa selama ribuan tahun.
3) Murjiah
Kaum Murjiah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murjiah terbagi kepada dua golongan besar, yakni "golongan moderat" dan "golongan ekstrim". Golongan Murjiah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan. Sedangkan Murjiah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibn Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
Ada beberapa kelompok Murjiah lainnya yang ekstrim yaitu:[27]
1. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Salat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahu Tuhan.
2. Yunusiah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan meksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam man, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dkerjakan tidaklah merugikan orang yan bersangkutan.
Jadi dapat kita sampaikan bahwa aliran Khawarij adalah salah satu dari tiga aliran awal dalam pemikiran Islam yang muncul pada saat terjadinya pertentangan politik (imamah) antara pengikut Mu'awiyah dan pengikut Ali, yang kemudian berujung dengan digelarnya upaya perdamaian (Majlis Tahkim). Yang dipertentangkan itu adalah tentang siapakah yang berhak menggantikan khalifah setelah khalifah Utsman bin Affan meninggal. Dua aliran lainnya adalah aliran Murjiah dan Syi'ah. Aliran Syi'ah adalah gerakan politik dan pemikiran yang setia terhadap Ali bin Abi Thalib, yang memiliki pandangan teologis bahwa "yang berhak menggantikan kursi kekhalifahan setelah Rasul wafat adalah Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya". Sedangkan, aliran Murj'iah adalah gerakan pemikiran dan politik yang memiliki sikap dan pandangan yang moderat. Yang dimaksud kemoderatan di sini adalah bahwa mereka tidak memihak kepada kelompok Ali maupun Muawiyah, sehingga tidak memutuskan siapa yang "benar" dan "salah", semuanya diserahkan kepada keputusan Allah. Adapun aliran Khawarij adalah gerakan pemikiran dan politik yang menentang adanya majlis tahkim termasuk semua hasil yang diputuskannya. Mereka menganggap, bahwa orang-orang yang mengikuti bahkan menyepakati hasil majlis tahkim itu telah menyimpamg dari ajaran Islam (dosa besar), dan bahkan dihukumkan kafir. Sebenarnya, para pengikut Khawarij adalah pengikut setia Ali bin Abi thalib. "Mereka keluar" (Khawarij) dari barisan Ali, karena persoalan majlis tahkim itu. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kemunculan aliran Khawarij dengan segala gerakan, sikap, dan pandangannya menjadi tanda atau indikasi kemunculan radikalisme pemikiran dalam Islam yang diakibatkan oleh faktor politik, fanatisme, dan pemahaman yang literal terhadap ajaran Islam.
Jika dihubungkan dengan pemikiran Islam dewasa ini, maka ciri-ciri radikalisme, ternyata telah muncul dan berkembang disebagian umat Islam, dengan indikasi:
Pertama; dalam memahami ajaran Islam (Alquran dan As-Sunnah) berdasarkan kepentingan kelompok atau golongannya. Sehingga, simbol-simbol agama dijadikan sebagai 'alat politik' untuk mendapatkan dukungan dan simpati masyarakat. Tidak menutup kemungkinan pula, akibat dari pemahaman yang liberal, mementingkan kelompoknya sendiri, dan sikap-sikap yang radikal itu, menyebabkan mereka menjadi kelompok Muslim yang marjinal (eksklusif), dan bahkan bisa memunculkan aliran-aliran sesat.
Kedua; faktor "Barat". Kemunculan radikalisme dalam pemikiran Islam pada masa modern dan kontemporer sekarang ini tidak lepas dari faktor "Barat" pada umumnya. Faktor inilah yang ikut mendorong bagi upaya-upaya pembaharuan di kalangan kaum muslimin, yang pada gilirannya muncul dalam bentuk "modernisme" dan "reformisme". Bagi kaum reformis dan modernis, bahwa untuk mengangkat kaum muslimin dari kemunduran dan keterbelakangan, dalam segi-segi tertentu, perlu dilakukan adopsi pemikiran dan kelembagaan Barat. Namun sebaliknya, bagi kaum radikal dan ekstrim, justru Barat menjadi faktor kemunduran umat Islam. Bagi mereka, Barat tidak hanya menjajah wilayah muslim (dar-al-Islam), tetapi juga telah merusak dan menghancurkan sistem nilai, budaya, sosial, ekonomi, dan intelektualitas Islam. Mana mungkin mengikuti kaum Barat yang secara keimanan dan moral telah mengalami kebobrokan.
Kesan Dari Pertikaian Ali-Muawiyah, Lahirnya Perbahasan Bersifat Falsafah
-->
BBB, 02 Ramadhan 1434 = 11 Julai 2013 (Khamis):
Kesan dari pertikaian Ali-Muawiyah bukan terhad kepada penguasaan kerusi Khalifah, tetapi akibat daripadanya melahirkan penentangan, penyimpangan dan pendapat yang bersifat `Prinsip` yang darinya mencambah aliran-aliran yang bersifat doktrin. Daripadanya juga melahirkan budaya politik yang asalnya bersifat Qabilah kepada politik pemerintahan.
Rasulullah s.a.w. telah berjaya menanamkan prinsip Ketuhanan, kenegaraan Islam dan pengganti pemerintahan (Khalifah) secara pemilihan. Keadaan ini dapat dikekalkan hingga kepada pemerintahan Khalifah Umar al-Khattab dan bila tiba kepada pemerintahan `Uthman, cara pemerintahannya mula dipersoalkan. Ali yang datang menyambung pemerintahan Khulafaur-Rashidin secara pemilihan menghadapi gugatan dari Muawiyah – juga Aishah-Talhah-al-Zubayr. Konflik antara Ali-Muawiyah melahirkan golongan Khawarij yang berpisah diri (Keluar dari memberi sokongan kedua pihak) dan menegakkan prinsip `Tiada Hukum Melainkan Hukum Allah` - Kembali kepada al-Qur`an.
Golongan Khawarij adalah satu golongan radikal dan lantang menentang apa yang mereka sifatkan sebagai penyelewengan dan menuntut kembali kepada prinsip al-Qur`an.
Golongan ini disifatkan sebagai permulaan kepada kelahiran Ilmu al-Kalam. Daripada tahun 770M. lahir apa yang dinisbahkan kepada Theologi Khawarij. Antara mereka yang dinisbahkan kepada teologi ini ialah al-Yaman ibn Ribab yang menulis buku dan pendapatnya dirujuk oleh al-Ash`ari. Selain dari al-Yaman ialah Tha`labi, Bayhasi, Yahya ibn Abi al-Kamil. Mereka dikatakan terlibat di dalam perbahasan ilmu al-Kalam dan menentang pendirian Mu`tazilah.
Antara pendukung penting faham Khawarij ini ialah Ibn al-Arzaq. Ibn al-Arzaq menubuhkan satu kumpulan meneliti tentang prinsip-prinsip di dalam al-Qur`an dan menganjur hidup berdasarkan al-Qur`an. Pemimpin Khawarij yang lain ialah Najda ibn `Amir . Antara mereka penentang kuat terhadap karajaan Umayyah seperti Salih ibn al-Musarrah yang meninggal (695M.) dalam peperangan yang dianggap pahlawan bagi Khawarij. Satu kumpulan sederhana dari segi pendirian berbanding dengan kumpulan al-Arzaq ialah Abu Bilal Mirdas ibn Udayya al-Tamimi, Ubaydillah bin Ziyad bertempat di Basrah dan kelompok yang dinisbahkan kepada Ibadiyyah Sufriyyah dan Bayhasiyyah. (Watt, W. Montgomery, The Formative Period of Islamic Thought, Edinburgh University Press, Edinburgh, 1973: 12 – 26).
Antara perkara asas bagi perkembangan Khawarij ialah:
a) Panduan bagi masyarakat Islam ialah al-Qur`an. Bagi mereka yang melakukan dosa besar terkeluar dari komuniti mereka.
b) Pendapat Khawarij ditujukan kepada yang bersifat masyarakat dan bukan kepada perseorangan.
c) Khawarij menekankan kepada peningkatan karisma dalam komuniti
(Watt, W. Montgomery, 1973: 34-37).
Dari Khawarij berkembang kepada perbahasan yang bersifat falsafah dengan kelahiran Mu`tazilah, Asy`ariyyah, Maturidiyyah dan lain-lain'
(A.Hanafi, Theology Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1974: 40 – 70).
Dilihat dari segi politik, kenaikan Mu`awiyah membuka ruang pada perkembalian kepada semangat kabilah dan keturunan zaman Jahililiah. Islam yang datang meletakkan asas kepimpinan pada kelayakan dan pemilihan berubah dengan Muawiyah sebagai pengasas dinasti pemerintahan keturunan Umayyah, kata Hamka,
``Setelah teguh kekuatannya, diubahnyalah dasar pemilihan Khalifah yang berdasarkan Shura itu, menjadi hak keturunannya, sehingga lebih layak dinamakan raja daripada khalifah.``
Pemerintahan Kerajaan Umawiyyah kekal memerintah sehingga satu kurun lamanya (32 – 132H.) yang pemerintah antaranya Yazid, Muawiyah II Ibn Yazid,, Marwan Ibn Hakam, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Sulaiman Ibn Abdul Malik, `Umar bin Abdul Aziz, Yazid bin Abdul Malik, Hisham Ibn Abdil Malik, Al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik, Yazid bin Al-Walid bin Abdul Malik, Marwan bin Muhammad bin Marwan bin Hakam.
Kerajaan Umawiyah disifatkan sebagai kerajaan yang menegakkan nilai dan ciri-ciri budaya Arab yang tidak mementingkan corak pemerintahan berasaskan Islam. Kedudukan Kerajaan Umawiyyah tidak lepas dari penentangan. Kaum Khawarij masih menentang kerajaan Umawiyyah. Misalnya pada peringkat akhir pemerintahan kerajaan Umawiyyah di bawah pemerintahan Marwan bin Muhammad kaum Khawarij yang diketuai oleh Dihak bin Qais memerangi Kufah dan menawannya dari Walinya Abdullah bin Umar bin Abdil Aziz. Dihak juga turut menguasai Mausul. Kaum Khawarij turut melemahkan pada peringkat akhir pemerintahan Marwan yang kemudian dikalahkan oleh Abu Muslim al-Khurasani pahlawan yang membantu menaikkan kerajaan Abbasiyyah pada tahun 132H.
(Hamka, Sejarah Umat Islam, Pustaka Antara, Kuala Lumpur, 1965: 157 – 167).
Sebenarnya elemen yang bersifat turunan ini juga berlaku kepada Sayyiduna Ali bin Abi Talib. Setelah kematiannya dilantik anaknya Hasan dan kemudian Hussein yang terkorban di Karbala di tangan musuhnya pada zaman Yazid bin Muawiyah. Kematian Hussain secara tragis ditangisi pendukung yang melihat bukan saja Hussain teranianya, tetapi melihat bahawa Ali yang berhak menjadi Khalifah, tetapi dirampas oleh Muawiyah. Pendukung-pendukung Ali dan turunannya tidak saja berbeza dari segi pendapat tentang kepimpinan politik, tetapi membentuk satu kefahaman mazhab Shiah di samping Ahlul Sunnah, Wahabi dan sebagainya, tetapi akhirnya Shiah menjadi satu pegangan yang berlainan sama sekali yang dilihat pada satu peringkat menyimpang dari Islam. Pendukung Shiah paling utama ialah di Iran, sebuah Negara utama yang mendukung Shiah, di samping terdapat di Iraq, Syria dan beberapa Negara yang lain. (Gibb, H.A.R & Kreamers, J.H. Shorter Encyclopaedia of Islam, E.J. Brill, Leiden, 1974: 534 – 541)
Demikianlah pertikaian politik telah menggoncang tapak binaan Islam yang diasas dan ditegak oleh Rasulullah s.a.w. dari Makkah membawa ke Madinah secara lengkap. Prinsip panduan berasaskan al-Qur`an dan huraian melalui Hadith dan pembawaan baginda diteladani para sahabat. Madinah adalah Negara yang menjadi model panduan pemerintahan. Namun tercetusnya perbalahan antara Ali-Muawiyah menyebabkan berlakunya sanggahan, pengolahan, penyimpangan, penentangan bahkan kelainan.
Di atas prinsip, variasi dan kelainan umat tetap bergerak yang diharap dapat membina keutuhan dan kesatuan umat.
Khawarij : Pemikiran Islam radikal
Aliran Khawarij adalah salahsatu dari tiga aliran awal dalam pemikiran Islam yang muncul pada saat terjadinya pertentangan politik (imamah) antara pengikut Mu'awiyah dan pengikut Ali, yang kemudian berujung dengan digelarnya upaya perdamaian (Majlis Tahkim). Yang dipertentangkan itu adalah tentang siapakah yang berhak menggantikan khalifah setelah khalifah Utsman bin Affan meninggal. Dua aliran lainnya adalah aliran Murji'ah dan Syi'ah. Aliran Syi'ah adalah gerakan politik dan pemikiran yang setia terhadap Ali bin Abi Thalib, yang memiliki pandangan teologis bahwa "yang berhak menggantikan kursi kekhalifahan setelah Rasul wafat adalah Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya". Sedangkan, aliran Murj'iah adalah gerakan pemikiran dan politik yang memiliki sikap dan pandangan yang moderat. Yang dimaksud kemoderatan di sini adalah bahwa mereka tidak memihak kepada kelompok Ali maupun Muawiyah, sehingga tidak memutuskan siapa yang "benar" dan "salah", semuanya diserahkan kepada keputusan Allah. Adapun aliran Khawarij adalah gerakan pemikiran dan politik yang menentang adanya majlis tahkim termasuk semua hasil yang diputuskannya. Mereka menganggap, bahwa orang-orang yang mengikuti bahkan menyepakati hasil majlis tahkim itu telah menyimpamg dari ajaran Islam (dosa besar), dan bahkan dihukumkan kafir. Sebenarnya, para pengikut Khawarij adalah pengikut setia Ali bin Abi thalib. "Mereka keluar" (khawarij) dari barisan Ali, karena persoalan majlis tahkim itu. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kemunculan aliran Khawarij dengan segala gerakan, sikap, dan pandangannya menjadi tanda atau indikasi kemunculan radikalisme pemikiran dalam Islam yang diakibatkan oleh faktor politik, fanatisme, dan pemahaman yang literal terhadap ajaran Islam.
Jika dihubungkan dengan pemikiran Islam dewasa ini, maka ciri-ciri radikalisme, ternyata telah muncul dan berkembang disebagian umat Islam, dengan indikasi : Pertama;. dalam memahami ajaran Islam (Alquran dan As-Sunnah) berdasarkan kepentingan kelompok atau golongannya. Sehingga, simbol-simbol agama dijadikan sebagai 'alat politik' untuk mendapatkan dukungan dan simpati masyarakat. Tidak menutup kemungkinan pula, akibat dari pemahaman yang literal, mementingkan kelompoknya sendiri, dan sikap-sikap yang radikal itu, menyebabkan mereka menjadi kelompok Muslim yang marjinal (eksklusif), dan bahkan bisa memunculkan aliran-aliran sesat. Kedua; faktor "Barat". Kemunculan radikalisme dalam pemikiran Islam pada masa modern dan kontemporer sekarang ini tidak lepas dari faktor "Barat" pada umumnya. Faktor inilah yang ikut mendorong bagi upaya-upaya pembaruan di kalangan kaum muslimin, yang pada gilirannya muncul dalam bentuk "modernisme" dan "reformisme". Bagi kaum reformis dan modernis, bahwa untuk mengangkat kaum muslimin dari kemunduran dan keterbelakangan, dalam segi-segi tertentu, perlu dilakukan adopsi pemikiran dan kelembagaan Barat. Namun sebaliknya, bagi kaum radikal dan ekstrim, justru Barat menjadi faktor kemunduran umat Islam. Bagi mereka, Barat tidak hanya menjajah wilayah muslim (dar-al-Islam), tetapi juga telah merusak dan menghancurkan sistem nilai, budaya, sosial, ekonomi, dan intelektualitas Islam. Mana mungkin mengikuti kaum Barat yang secara keimanan dan moral telah mengalami kebobrokan.
Golongan Khawarij
Khawārij (Arab: خوارج baca Khowaarij, secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar") ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah.
Disebut atau dinamakan Khowarij disebabkan karena keluarnya mereka dari dinul Islam dan pemimpin kaum muslimin.
Awal keluarnya mereka dari pemimpin kaum muslimin yaitu pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib ketika terjadi (musyawarah) dua utusan. Mereka berkumpul disuatu tempat yang disebut Khouro (satu tempat di daerah Kufah). Oleh sebab itulah mereka juga disebut Al Khoruriyyah.
Asal Khawarij
Setelah Utsman bin Affan dibunuh oleh orang-orang khawarij, kaum muslimin mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, setelah beberapa hari kaum muslimin hidup tanpa seorang khalifah. Kabar kematian 'Ustman kemudian terdengar oleh Mu'awiyyah, yang mana beliau masih memiliki hubungan kekerabatan dengan 'Ustman bin Affan.
Sesuai dengan syariat Islam, Mu'awiyyah berhak menuntut balas atas kematian 'Ustman. Mendengar berita ini, orang-orang Khawarij pun ketakutan, kemudian menyusup ke pasukan Ali bin Abi Thalib. Mu'awiyyah berpendapat bahwa semua orang yang terlibat dalam pembunuhan 'Ustman harus dibunuh, sedangkan Ali berpendapat yang dibunuh hanya yang membunuh 'Ustman saja karena tidak semua yang terlibat pembunuhan diketahui identitasnya.kkk Akhirnya terjadilah perang shiffin karena perbedaan dua pendapat tadi. Kemudian masing-masing pihak mengirim utusan untuk berunding, dan terjadilah perdamaian antara kedua belah pihak. Melihat hal ini, orang-orang khawarijpun menunjukkan jati dirinya dengan keluar dari pasukan Ali bin abi Thalib. Mereka (Khawarij) merencanakan untuk membunuh Mu'awiyyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib, tapi yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib.
Ajaran
Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah:
Kaum muslimin yang melakukan dosa besar adalah kafir.
Kaum muslimin yang terlibat dalam perang Jamal, yakni perang antara Aisyah, Thalhah, dan Zubair melawan 'Ali ibn Abi Thalib dan pelaku arbitrase (termasuk yang menerima dan membenarkannya) dihukumi kafir.
Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar .
Tokoh-tokoh utama Khawarij antara lain:
Urwah bin Hudair
Mustarid bin Sa'ad
Hausarah al-Asadi
Quraib bin Maruah
Nafi' bin al-Azraq
'Abdullah bin Basyir
Akibat perbedaan pendapat di antara tokoh-tokohnya, Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte, antara lain:
Sekte Muhakkimah, yang merupakan sekte pertama, yakni golongan yang memisahkan diri dari 'Ali bin Abi Thalib.
Sekte Azariqoh yang lebih radikal, sebab orang yang tidak sepaham dengan mereka dibunuh.
Sekte Najdat yang merupakan pecahan dari sekte Azariqoh.
Sekte al-Ajaridah yang dipimpin 'Abd Karim bin Ajrad, yang dalam perkembangannya terpecah menjadi beberapa kelompok kecil seperti Syu'aibiyyah, Hamziyyah, Hazimiyyah, Maimuniyyah, dll.
Perpecahan itulah yang menghancurkan aliran Khawarij. Satu-satunya yang masih ada, Ibadi dari Oman, Zanzibar, dan Maghreb menganggap dirinya berbeda dari yang lain dan menolak disebut Khawarij.
Dalam sejarah perkembangan Islam sejak dahulu kala telah terjadi perpecahan yang merupakan satu perwujudan dari sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
Akan terpecah umat ini menjadi 73 golongan semuanya di neraka kecuali satu, lalu ditanyakan: siapakah mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Mereka adalah jama`ah (HSR At Tirmidzy) dan juga satu bukti akan kebenaran risalah kenabian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Khawarij merupakan satu kelompok yang besar dari kelompok-kelompok sempalan yang menyimpang dari Islam dalam permasalahan aqidah dan mereka tergambarkan sebagai satu gerakan revolusi berdarah dalam sejarah Islam yang cukup banyak menyibukkan negeri-negeri Islam dalam tempo waktu yang lama untuk memadamkannya, kemudian merekapun sempat berhasil menebar kekuasaan politik mereka pada wilayah-wilayah yang luas dari negeri-negeri Islam di timur dan barat, khususnya di Omaan, Hadromaut, Zanzibar (Tanzania) dan sekitarnya dari wilayah Afrika dan Maghrib Arab (Maroko, Aljazair, Tunis dan Libia) dan sampai sekarang mereka masih memiliki tsaqafah yang terwakii oleh sekte Al Ibadhiyah yang tersebar di wilayah-wilayah tersebut, sampai masih memiliki satu kesultanan yaitu kesultanan Omaan.
Kemudian tidak diragukan kembali, bahwa sebagian pemikiran dan aqidah mereka -Khususnya Al Azaariqah yang berhubungan dengan pengkafiran pelaku kemaksiatan- sampai saat ini masih berkembang dan tampak jelas serta mereka masih memiliki pengikut yang menampakkan kekerasan dan kefanatikan mereka,sehingga membuat pembahasan tentang mereka ini menjadi penting dalam rangka menjelaskan pemikiran-pemikiran mereka yang menyimpang kepada umat dan menyelamatkan mereka dari perangkap dan kesesatan kelompok ini, akan tetapi penting untuk diketahui bahwa hampir-hampir hilang semua referensi dari mereka kecuali referensi sekte Al Ibadhiyah, sehingga dalam pembahasan ini saya merujuk kepada tulisan-tulisan para ulama ahli Sunnah wal Jama`ah seputar mereka, dan dibagi dalam pokok-pokok sebagai berikut:
Definisi Khawarij.
1.a.Secara Etimologi Bahasa Arab
Khawarij adalah bentuk jama` dari khoorij dan khoorij adalah kata turunan darikhuruj sedangkan khuruj secara etimologi Arab mengandung beberapa makna, diantaranya:
a.Hari Kiamat
Berkata Abu Ubadah dalam menafsirkan firman Allah :
(Yaitu) pada hari mereka mendengar teriakan dengan sebenar-benarnya itulah hari keluar (dari kubur). (QS. 50:42)
khuruj adalah nama dari nama-nama hari qiamat
b. Kebangkitan dari kubur pada hari qiamat
Sebagaimana dalam firman Allah :
Sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan (QS. 54:7)
c. Lawan dari masuk, yaitu keluar
d. Jihad di jalan Allah.
Sebagaimana firman Allah :
Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: Tinggallah kamu bersama orang-oang yang tinggal itu. (QS. 9:46) dan:
Maka jika Allah mengembalikanmu kepada satu golongan dari mereka, kemudian mereka meminta ijin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah:Kamu tidak boleh keluar bersama-samaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu duduklah (tinggallah) bersama orang-orang yang tidak ikut berperang. (QS. 9:83)
e. Hijroh
Sebagaimana firman Allah :
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4:100)
Akan tetapi para ahli bahasa arab memasukkan makna lain yaitu satu kelompok dari ahlil hawa yang menyempal dari agama atau Imam Ali bin Abi Tholib.
Berkata Al Azhary :dan Al Khawarij adalah satu kaum dari ahlil hawa yang memiliki pemikiran-pemikiran tertentu.
Berkata Az Zubaidy: dan mereka adalah Al Haruriyah, dan Al Kharijah adalah satu dari mereka, jumlah mereka tujuh kelompok. Mereka dinamakan demikian karena mereka menyempal dari manusia atau dari agama atau dari kebenaran atau dari Ali setelah perang shiffin.
1.b.Secara Terminologi
Adapun ditinjau dari istilah para ulama maka didapatkan sebagian ulama mendefinisikannya dengan definisi politik secara umum dan sebagian yang lainnya mendefinisikannya dengan kenyataan yang ada ketika munculnya kelompok ini.
Berkata As Syahrostaany: Setiap orang yang memberontak terhadap Imam yang benar yang telah bersepakat atasnya jamaah [muslimin] dinamai khawarij, baik memberontak di masa-masa shahabat terhadap pemimpin-pemimpin yang baik [imam-imam rasyidin] atatu yang setelah mereka terhadap para Tabiin [yang mengikuti shahabat] dengan baik dan pemimpin-pemimpin [imam-imam] di setiap zaman.
Berkata Abu Hasan Al-Asy`ari: Dan sebab penamaannya dengan khawarij adalah pemberontakan mereka terhadap Ali bin Abi Thalib.
Kemudian Ibnu Hazm menambahkan difinisi ini dengan perkataannya: Dan yang menyepakati khawarij dari pengingkaran [keabsahan] At-tahkim, pengkafiran pelaku dosa besar, pendapat [wajibnya] memberontak terhadap imam yang jahat dan pelaku dosa besar kekal di dalam neraka serta imamah boleh diangkat selain dari Quraisy - maka dia khawarij -.
Dan berkata Abu Ishaq: Al-khawarij adalah beberapa kelompok dari manusia di zaman tabiin dan tabiut-tabiin yang dikepalai oleh Nafi` bin Al-Azrah, Najdah bin Amir, Muhammad bin Ash-Shafaar dan para pendukungnya.
2. Hadits-hadits tentang Khawarij
Dari Abi Said Al-Khudri berkata: Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan pada saat itu beliau sedang membagi beberapa bagian. Datanglah kepada beliau Dzul Khuaishirah, orang dari Bani Tamim, dia berkata: `Wahai Rasulullah, berlaku adil-lah`. Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: `Celakalah engkau, siapakah yang akan berlaku adil jika aku tidak adil, dosalah aku dan merugilah jika aku tidak berbuat adil`. Maka berkata Umar bin Al-Khaththab : `Wahai Rasulullah ijinkanlah aku untuk memenggal lehernya`. Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: `Biarkanlah dia, karena dia mempunyai teman-teman yang salah seorang di antara kalian akan diremehkan [merasa remah] shalatnya jika dibandingkan dengan shalat mereka, dan puasanya jika dibandingkan dengan puasa mereka. Mereka membaca Alquran tidak melebihi kerongkongan mereka, terlepas dari Islam seperti terlepasnya anak panah dari busurnya. (H.R. Bukhari VI/617, no. 3610, VII/97 no. 4351; Muslim II/743,744 no. 1064; Ahmad III/4,5,33,224)
Setelah perang Hunain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan bagian kepada manusia. Beliau memberikan bagian kepada Al-Aqra` bin Habis 100 ekor onta, memberikan kepada Uyainah semisal itu dan memberikan kepada orang-orang pemuka Arab, beliau lebihkan pada hari itu atas mereka bagiannya. Kemudian berkata salah seorang: `Demi Allah, pembagian ini sungguh adil dan tidak dikendaki di sana wajah Allah.` (H.R. Muslim II/739 no. 1062; Ahmad.IV/421)
Sesungguhnya akan keluar dari keturunan laki-laki ini, suatu kaum yang membaca Alquran tidak melebihi kerongkongan mereka. membunuh pemeluk Islam dan membiarkan penyembah berhala. Terlepas dari Islam seperti terlepasnya anak panah dari busurnya. Seandainya aku menemui mereka, sunggguh akan aku bunuh mereka seperti dibunuhnya kaum `Aad (H.R. Bukhari VI/376 no. 3644; Muslim II/742 no. 1064)
Akan keluar padda akhir zaman suatu kaum, umumnya masih muda, rusak akalnya, mereka mengatakan dari sebaik-baik perkataan makhluk. Membaca Alquran tidak melebihi kerongkongannya. Terlepas dari agama seperti terlepasnya anak panah dari busurnya (H.R. Bukhari VI/618 no. 3611; Muslim II/746 no 1066)
Akan keluar suatu kaum dari umatku yang membaca Alquran, mereka menyangka bahwasanya untuk mereka padahal atas mereka. Shalat mereka tidak melampuai tenggorokannya. (H.R. Muslim II/748 no. 1066)
Membaguskan perkataan tetapi buruk perbuatannya - mengajak kepada kitab Allah, tetapi tidaklah mereka termasuk di dalamnya sedikitpun. (H.R. Ahmad III/224)
Dari Abi Barzah, ia ditanya: `Apakah engkau mendengar Rasulullah menyebut tentang khawarij? Ia menjawab: `Ya, aku mendengar Rasulullah dengan telingaku dan aku meliatnya dengan mataku.` Rasulullah datang dengan membawa harta, lalu beliau membagikannya. Maka beliau memberi kepada orang-orang yang berada di sebelah kanan dan kirinya dan tidak memberi kepada orang-orang yang di belakang beliau sedikitpun. Berdirilah seseorang yang berada di belakang beliau seraya berkata: `Wahai Muhammad, engkau tidak adil dalam pembagian.` Dia adalah seorang laki-laki yang berkulit hitam dengan rambut yang dicukur gundul dan memakai dua baju putih. Rasulullah marah dengan kemarahan yang besar, kemudian bersabda: `Demi Allah, kalian tidak mendapati seseorang setelahku yang lebih adil daripada aku.` Kemudian beliau bersabda lagi: `Akan muncul pada akhir zaman suatu kaum, seolah-olah ia dari mereka. Mereka membaca Alquran tidak melebihi tenggorokannya, terlepas dari Islam seperti terlepasnya anak panah dari busurnya, ciri-ciri mereka adalah bercukur gundul, tidak henti-hentinya mereka keluar hingga akan keluar orang-orang terakhir mereka bersama Al-Masih Ad-Dajjal. Jika kalian menemuinya, bunuhlah mereka. mereka seburuk-buruk makhluk dan ciptaan.` (H.R. An-Nasai VII/119-121 no. 4104; Ahmad IV/425)
3. Nama dan Laqob-laqobnya
a. Khawarij
Nama ini adalah nama yang paling masyhur dan yang paling banyak dipakai dan dalam nama ini terkandung pujian dan celaan.
Nama ini - menurut mereka [khawarij] - diambil dari firman Allah,:
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah.. (QS. 4:100)
Maka penamaan ini adalah pujian, dan mereka menamai diri mereka dengan nama tersebut didasarkan atas makna ini. Sebagaimana perkataan Nuruddin As-Saalimy: Karena banyaknya mereka mengorbankan jiwanya dalam keridhaaan Rabb mereka dan mereka telah keluar berjihad, maka mereka dinamai khawarij, dan ia adalah jamak dari kharijah yaitu kelompok yang keluar [berjihad] di jalan Allah. Dan berkata Muhammad bin Abdullah As-Saalimy: Dan nama khawarij pada zaman permulaan adalah pujian karena dia adalah jamak dari khaarijah yaitu kelompok yang keluar berperang di jalan Allah, Allah berfirman :
Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu,
Sedangkan selain mereka dari para ulama dan intelektual Islam berpendapat bahwa nama ini diambil dari makna penyempalan atau pemberontakan dari para pemimpin atau manusia atau agama atau Ali bin Abi Thalib, dan ini tentu saja bermakna celaan terhadap mereka, walaupun pada hakikatnya mereka tidak menolak hal ini karena menurut mereka, pemberontakan terhadap para pemimpin tersebut adalah kebenaran, dan hanyalah mereka menolak makna ini ditinjau dari anggapan bahwa hal itu adalah penyimpang.
KHAWARIJ; EMBRIO GERAKAN ISLAM PURITAN
Selama dua puluh tiga tahun, dengan segala kharisma dan kehebatan yang dimilikinya, Nabi Muhammad mampu meredam dan merubah kefanatikan kabilah menjadi kefanatikan agama. Awalnya, masyarakat arab bangga dengan nama suku yang disandangnya, namun mereka merasa malu menggunakan gelar kesukuannya setelah Nabi merubah pandangan dunia (weltanschauung) dengan nuansa persatuan islam (Ummah Wa>hidah). Seperti gelar kesukuan al-Tamimy, al-'Ady, al-Zahry, di masa Nabi mereka merasa malu menggukannya dan bangga dengan sebutan al-S}iddi>q, al-Faru>q, al-Murtada>.
Dalam rentetan skenario sejarah, Perang siffin [18/07/657 M.] menjadi puncak dari konflik panjang yang terjadi antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah yang sejak awal ingin merebut kekuasaan. Terlihat begitu kuat sukuisme yang sangat memengaruhi pola pemikiran saat itu. Lebih dari itu, perang siffin menjadi awal sejarah yang membidani munculnya beberapa sekte yang hadir dalam tubuh islam.
Adalah gerekan radikal Khawarij, sekte pertama yang muncul dalam merespon pertikaian politik pada masa Ali bin Abi Thalib. Kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari rentetan sejarah yang membentuk mainstreampola pikir Khawarij yang puritan. Dan hampir semua sekte yang tumbuh setelah Khawarij juga merupakan didikan zamannya. Karena kekerasan yang dianggap ampuh dalam mengoprasikan pola pikirnya, Khawarij mencatat sejarah buram dalam peradaban islam.
Kini, Khawarij telah hangus terbakar oleh api sejarah. Namun pola gerakannya banyak menginspirasi gerakan-gerakan puritan hari ini. Adakah keterkaitan? Semoga tulisan ini mewakili atas jawaban dari pertanyaan tersebut. Amin.
KHAWARIJ; EMBRIO GERAKAN ISLAM PURITAN
Lahirnya Khawarij dalam islam tidak luput dari tekanan politik yang berkembang saat itu. Khawarij adalah kelompok Ali yang memiliki loyalitas tinggi terhadap Ali, dan pernah berperang bersama Ali saat melawan tentara Aisyah pada perang jamal, serta saling bahu membahu dalam menjalankan keperintahan Ali. Namun Loyalitas itu meredup dan bahkan mereka membuat kelompok sparatis melawan Ali sehingga membentuk sebuah organisasi politik yang berdampak pada hari ini.
A. Khawarij; Dari Gerakan Ke Pemikiran
Kaum Khawarij kebanyakan dari suku badui yang memiliki watak keras. Mereka adalah kaum imigran nomad yang berdatangan ke Irak untuk melancarkan aksi penaklukan yang pada akhirnya mendapat kemenangan dramatis. Nama Khawarij datang setelah gerakan ini muncul dipermukaan. Nomenklatur ini mengundang banyak perdebatan di antara pakar teolog muslim. Namun pada titik tertentu mereka sepakat pada sebuah definisi yang menyatakan bahwa Khawarij adalah kelompok yang tidak sepakat terhadap proses arbitrase yang dilakukan oleh Imam Ali serta mengkafirkan beberapa sahabat Nabi termasuk Ali, Usman, Mua'awiyah dan sahabat yang menerima arbitrase. Sebenarnya banyak istilah mengenai kelompok Khawarij yang tidak mungkin tertuang seluruhnya dalam makalah ini dan juga rentetan sejarah yang terlewati demi lebih memfokuskan pada aspek kajian pemikiran gerakan Khawarij.
Alasan yang berkembang dalam beberapa literatur terkait dengan hengkannya kelompok ini dari barisan Ali adalah karena Ali menerima hukum manusia, sedangkan prinsip yang mereka pahami adalah hukum hanya dimiliki oleh Allah semata, dengan semboyannya "la hukma illa Allah". Pada tataran ini, mucul beberapa pertanyaan teologis. Bagaimana hukum keputusan manusia? Bagaimana pelaku dosa besar? Namun kalau ditinjau lebih kritis persoalan terbentuknya gerakan Khawarij tidak hanya dibidani oleh pemikiran yang bernuansa teologis an sich, melainkan kaum Khawarij juga terprovokasi oleh dominasi kesukuan yang dikuasai oleh suku Quraish lebih dari dua puluh lima tahun. Lebih dari itu, kelompok Khawarij yang didominasi suku nomad tidak memiliki sikap mental politik yang baik. Mereka memiliki kecenderungan eksklusif, skriptualis dalam memahami agama, dan lebih mementingkan suku atau klannya sendiri. Barangkali terpengaruh oleh sifat kebaduihannya, kaum Khawarij juga memiliki fanatisme yang sangat ekstrim atas ajaran yang diyakini. Pemahaman teologi Khawarij ini, yang menganggap dirinya adalah pemegang otoritas kebenaran dan sekte diluar dirinya dianggap sebagai menyimpang dari ajaran agama sebenarnya, datang dalam kondisi politik dan sosial yang sangat labil.
Sekian lama melihat percaturan politik dalam tubuh islam semakin menampilkan wajah yang suram dari sejak terbunuhnya Umar hingga politisasi yang terjadi antara Ali dan Muawiyah memunculkan ide untuk membangun arus gerakan politik sendiri. Dengan terpilihnya Abdullah bin Wahb Al-Rashibi mengindikasikan gerakan Khawarij semakin terorganisir dengan baik.
Dua tahun setelah peristiwa arbitrase, Pada tahun 659 M., gerakan Khawarij muncul dengan kekuatan sebesar 4000 pasukan dibawah pimpinan Abdullah Ibnu Wahhab Al-Rashibi untuk menyerang kekuasaan Ali. Kemudian Ali membalas serangan tersebut di tepi kanal nahrawan dan hampir memusnahkan mereka. Walaupun pasukan Ali mampu memporakporandakan kelompok Khawarij, namun ideologinya telah memengaruhi banyak individu. Salah satunya adalah Abdurrahman bin Muljam yang menghunus dahi Ali dengan pedang beracunnya saat ia dalam perjalanan menuju masjid kufah. Dalam beberapa riwayat, Saat membunuh Abdurrahman mengatakan "al-hukmu li Allah, la> laka ya> aly>, wala> li asha>bika" (yang memiliki otoritas hukum itu hanya Allah, bukan kamu dan sahabatmu).
Dari penjelasan di atas, ada sebagian pakar berpendapat bahwa sekte Khawarij adalah sekelompok politik yang membawa nama agama dalam sebuah pemerintahan. Tidak dapat disalahkan sepenuhnya bagi pendapat ini, sebab keberadaan Khawarij pada awalnya tidak berkaitan dengan masalah agama, apalagi teks keagamaan. Setelah terdapat ketegangan politik antara Ali dengan Mu'awiyyah, secara instan kelompok ini muncul di permukaan. Dengan kata lain, kemunculan mereka berangkat dari realitas politik, bukan dari teks keagamaan.
***
Konsep Kepemimpinan Khawarij
Sebagai kelompok sparatis, Khawarij memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi-ideologi yang berkembang saat itu, baik dalam kepemimpinan, pelaku dosa besar, dan pemahaman terhadap teks al-Quran. Kelompok ini melawan konsep yang telah pakem tentang kepemimpinan. Menurutnya, kepemimpinan dalam islam tidak harus dari suku Quraish, bahkan orang diluar suku Quraish juga memiliki hak untuk menjadi pemimpin. Selama seseorang berpredikat muslim yang adil, memiliki integritas, baik ilmu dan agamanya, dan mampu melaksanakan tanggung jawab sebagai pemimpin, berhak menjadi pemimpin. Bagi pemimpin Negara yang mencedarai jabatannya, kelompok ini menganggapnya telah keluar dari islam dan harus digulingkan atas nama reformasi. Khawarij seolah ingin melepas diri dari belenggu hegemoni kekuasaan Quraish yang sejak lama berkembang, dari masa ke khalifahan Abu Bakar sampai pada akhir abad ke 4 H, dimana pada waktu itu al-Mawardi hidup. Dari sisi inilah Khawarij terlihat lebih demokratis dari kelompok islam yang berkembang di zamannya—terlepas dari kedok tendensi pribadi mereka yang anti-pemerintah saat itu.
Khawarij, seperti sekte-sekte islam yang muncul belakangan, menganggap perlu terhadap kepemimpinan dalam islam. Hanya saja kepemimpinan dalam pandangan Khawarij adalah merupakan tangan panjang Tuhan yang harus menerapkan al-Quran dan al-Sunnah dalam sebuah negara. Mereka menolak segala tindakan yang bersumber hasil keputusan manusia. Atas dasar ini khawarij keluar dari barisan Ali dalam pereang Siffin dan menghukumi Ali kafir karena telah keluar dari ajaran agama
****
Konsep Pelaku Dosa Besar (al-Kaba>i>r) dan Pengkafiran (Takfi>r)
Iman adalah hal mendasar dalam agama islam yang secara definitif diartikan dengan sebuah pengakuan seseorang terhadap Allah sebagai Tuhan secara verbal yang disertai oleh kemantapan hati serta melaksanakan perintahnya sebagai konsekwensi dari pengakuan tersebut. Iman adalah dasar dari segala bentuk perilaku seorang muslim dalam menjalankan agama. Bahkan sebagian pendapat mengatakan perbuatan baik yang tidak didasari oleh iman kepada Allah adalah sia-sia. Begitu juga sebaliknya, beriman kepada Allah namun tidak melaksanakan kewajiban yang menjadi konsekwensi dari iman tersebut adalah Fasiq, bahkan kafir dalam pandangan Khawarij.
Dalam pandangan Khawarij, amal perbuatan manusia merupakan bagian dari iman. Dari pandangan ini dapat dipahami juga bahwa seorang muslim yang meninggalkan kewajiban atau melakukan larangan Allah, maka ia telah meninggalkan imannya. Iman—masih dalam pandangan Khawarij—tidak bisa dipisahkan dari perbuatan seorang muslim. Seseorang dalam keadaan mukmin ketika tindakannya tidak dipengaruhi oleh perbuatan kufur, munafik, dan perbuatan jahiliyah. Begitu juga seorang muslim, ia bisa jadi dikatakan kafir dan mushrik saat dalam dirinya tidak ada lagi iman yang tercermin dalam perbuatannya.
Pendapat Khawarij tentang eksistensi iman ini memeroleh beberapa kritik dari sekte-sekte islam setelahnya. Seperti sekte Murji'ah yang menegasikan iman terhadap keislaman seseorang, sebab iman menurutnya ada dihati, dan tidak memengaruhi terhadap perbuatan dosa seorang muslim. Sementara sekte yang lebih moderat, yang mampu mengombinasikan beberapa pendapat sekte sebelumnya dengan baik, adalah al-Ash'ary (w. 330 H.).
Pandangan Khawarij di atas menjadi tolak ukur untuk mengkafirkan paham keagamaan di luar kelompoknya. Setidaknya ada dua alasan pengkafiran tersebut. Pertama, karena Khawarij menganggap seorang muslim telah kafir apabila telah melakukan dosa besar, atau dosa kecil yang berturut-turut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Kedua, pemahamannya terhadap ayat yang berbunyi:Waman Lam Yahkum Bima> Anzala Alla>h Faula>ika Hum Al-Kafiru>n (barang siapa yang tidak melaksanakan hukum Allah, maka kafir). Khawarij berpendapat setiap kelompok yang berbeda dengannya telah menyalahi hukum Allah, mereka yakin kelompoknya adalah kelompok yang paling benar.
*****
Konsepsi Khawarij Menyikapi Teks keagamaan
al-Qur'an dalam menyampaikan pesan ketuhanan kepada manusia tidak jarang menggunakan bahasa general-metaforis, yang dibutuhkan beberapa penafsiran untuk memahaminya—meskipun tidak semuanya. Di samping itu, Teks al-Qur'an tidak bisa dilepaskan dari ruang waktu dan sosio-Historis yang melingkupinya (Asba>b al-Nuzu>l). Oleh karenanya, Perbedaan para penafsir al-Qur'an dari abad ke 2 H sampai hari ini dalam melakukan interpretasi terhadap al-Qur'an adalah merupakan bukti konkrit bahwa al-Quran memiliki multi penafsiran yang tetap aktual dalam setiap zaman (S}a>lih Likulli Maka>n Wa Zama>n).
Penafsiran dengan mempertimbangkan teks kebahasaan dan konteks saat al-Quran turun tidak diterima oleh kelompok Khawarij sebagai sekte yang—meminjam bahasanya Nasr Hamid—menuhankan teks. al-Qur'an dan sunnah harus dipahami sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan makna dibalik sebuah teks (magza>). Dalam pandangannya, menafsirkan teks al-Quran dan hadis dianggap sebagai keinginan hawa nafsu. Selain menganggap bahwa makna literal al-Qur'an sebagai nilai-nilai agama yang sebenarnya, kelompok ini juga menutup pemikiran di luar kelompoknya.
*****
Pengaruh Teologi Khawarij; Wacana Neo-Khawarij
Secara struktural, memang tidak ada hubungannya antara Khawarij dengan gerakan islam puritan yang telah menjamur di dunia islam. Gerakan islam puritan bahkan menolak dirinya dianggap sebagai propaganda dari golongan Khawarij. Islam puritan, seperti Wahhabi dan kelompok puritan lain, lebih suka dirinya disebut sebagai kelompok salafi yang pernah ada pada masa lalu islam. Semangat ingin mengembalikan era keemasaan seperti pada masa sahabat, pengikut sahabat, dan generasi yang shalih (Salafuna> Al-Sa>lih) menjadi orientasi hampir setiap gerakan islam puritan.
Gerakan Wahhabi, aliran puritan yang menjadi contoh dalam kajian ini, adalah gerakan yang didirikan oleh seorang fanatik abad ke 18, yaitu Muhammad bin Abd al-Wahab (w. 1792 M.). Gagasan utama Abd al-Wahhab adalah bahwa umat islam telah melakukan kesalahan dengan menyipang dari jalan islam yang benar, dan hanya kembali kepada agama yang benar akan diterima oleh Allah. Semangat puritan inilah yang menjadi dasar ajaran wahhabi untuk membersihkan islam dari faktor-faktor di luar islam.
Pada masa abd al-Wahhab hidup, modernitas telah merebah ke dunia islam yang memperkenalkan relativitas dan subjektivitas semua pengetahuan manusia yang pada puncaknya modernitas menambah kompleksitas tatanan sosial dan ekonomi, sehingga masyarakat tradisional berjuang dan berusaha untuk mengimbangi menjadi masyarakat modern dan berkembang. Pada tataran ini, masyarakat islam berbeda-beda dalam merepon modernitas, sebagian kelompok menyelaraskan ajaran islam dengan modernitas sebagaimana yang telah dilakukan oleh Muhammad Abduh (w. 1905 M.), Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M.) dan para tokoh pembaharuan abad ke-19. Sebagian yang lain merespon dengan keras menolak modernitas sebagaimana Abd al-Wahhab.
Menurut Wahhabi, masyarakat muslim harus kembali kepada ajaran fundamental islam dengan mengimplementasikan perintah dan sunnah Nabi secara literal, dan dengan secara ketat menaati ritual yang benar. Wahhabi menyikapi teks-teks keagamaan sebagai satu instruksi manual untuk menggapai model yang sebenarnya dari Negara kota madinah yang telah dibangun oleh Nabi. Jika masyarakat muslim mengembalikan segala persoalan kepada al-Qur'an, umat islam tidak akan mengalami keterbelakangan kolektif.
Disamping sikap literalis, Wahhabi cenderung menolak praktik mazhab hukum yang sudah lama terbangun dan berlangsung dalam dunia islam. Mereka menganggap bahwa menerima keberagaman pendapat yang sama-sama dianggap sebagai pendapat yang legal dan benar merupakan awal dari perpecahan umat islam. Tidak heran jika kaum Wahhabi mengumbar ungkapan teroris para ahli hukum terkemuka yang dinilainya bid'ah. Selain itu, kaum Wahhabi menganggap bid'ah segala bentuk yang tidak pernah ada pada masa rasul, terlebih sesuatu yang datang dari barat walaupun pada hakikatnya baik dan tidak menyalahi prinsip agama. Hubungan harmonis antara agama dan Negara, terutama terbentuknya lembaga atau institusi yang berlabelkan islam seperti ilusi Negara islam dan formalsasi syariat, menjadi agenda besar dari gerakan wahhabi.
Ada beberapa karakter yang dapat terlihat dari beberapa patformyang menjadi ciri bagi gerakan wahhabi, bahkan kelompok islam puritan diluar wahhabi. Pertama, mereka cenderung melakukan interpretasi literal terhadap teks-teks keagamaa. Menolak pemahaman kontekstual atas teks agama. Sebab, pemahaman seperti ini dianggap akan mereduksi kesucian agama. Kedua, menolak pluralism dan relativisme, karena dianggap sebagai pemahaman yang telah mendistorsi agama. Ketiga, monopoli kebenaran atas teks agama. Islam puritan menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas kebenaran, dan kelompok di luarnya dianggap telah melakukan penyelewengan dalam agama. Keempat, mereka membangun semua ajaran itu dengan penuh sikap fanatisme, eksklusifisme, intoleran, dan militanisme. Bentuk perlawanan terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agamanya menjadi ciri khas dari aksi dan tindakan mereka.
Gerekan islam puritan lambat laun semakin membuat getir masyarakat islam. Nama-nama seperti Shalih Saraya (diekskusi pada 1975), Syukri Musthafa (diekskusi pada 1978), dan Muhammad Abd Salam Faraj (diekskusi pada 1982) menjadi momok bagi masyarakat mesir saat mereka mengumbar teror terhadap pelaku bid'ah. Dalam hal ini, Anwar Sadad (w. 1981) yang menjadi korban ideologi mereka yang dianggap telah melakukan praktik bid'ah. Terutama Faraj yang menjadi otak dari pembunuhan tersebut. Risalah Faraj yang berjudul "al-Faridah al-Ghaybah" menyerukan digelarnya operasi militer secara inten terhadap penguasa seluruh Negara muslim yang melakukan bid'ah.
Wacana neo-Khawarij yang secara implisit ditujukan kepada islam puritan menjadi bahan perbincangan para tokoh agama sejak tragedi 11 september 2001. Walaupun sacara struktural tidak ada pernyataan yang ekplisit atau matarantai yang jelas antara islam puritan dan Khawarij, kemiripan praktik dan tindakan kedua gerakan tersebut menjadi isu yang dikait-kaitkan oleh beberapa kalangan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pendahuluan, bahwa pemikiran atau gerakan sekte-sekte islam merupakan didikan zamannya. Mereka lahir dalam segala aspek yang melingkupinya, sosio-historis, politik, dan budaya yang relatif akan berubah sesuai dengan akslerasi kehidupan manusia. Sebagai ilustrasi, seseorang mungkin akan menganggap haram mengunjungi makam jika budaya yang berkembang saat itu adalah pengkultusan (baca: penghambaan) terhadap makam. Namun, jika pandangan dunia (word view) tersebut telah berubah, tentu asumsi yang muncul tidak seperti itu. Ini juga mungkin yang diistilahkan oleh Foucault dengan The Discountinuity of History sebagai cara pandang dalam menganalisis sejarah
sunni merupakan nama bagi aliran Asy'ariyah dan Maturidiah yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu'tazilah
Kaum Sunni masih berpegang teguh kepada empat mazhab yang diyakini sebagai mazhab yang shahih, diantaranya, Mazhab Syafi'I, Mazhab Hambali, Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki dalam syariah.
Aspek ajaran Ahl as-Sunnah (Sunni) yang terpenting, terutama bila dibandingkan dengan ajaran Syi'ah, adalah teori politiknya. Semua kalangan Sunni mengakui otoritas keempat khalifah yang pertama, Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, sebagai penerus tugas Nabi yang menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga mereka disebut al-Khulafa al-Rasyidun. Setelah berdirinya Dinasti Umayyah nama lembaga khilafah tetap dipertahankan dalam pemerintahan, tetapi sesungguhnya khilafah Islam tersebut telah berubah menjadi kerajaan Arab. Sebab itu ahli-ahli hukum (fiqih) Sunni yang selanjutnya, menganggap bahwa hanya pemerintahan keempat khalifah (al-Khulafa al-Rasyidun) itulah yang menjadi lambang pemerintahan Ideal
.
Dalam sejarah pemikiran Sunni, meskipun terdapat perbedaan yang umum di antara madzhab-madzhab fiqih mereka, ahli fiqih Sunni secara tradisional mendukung sebuah teori pemerintahan yang spesifik yang dikenal sebagai teori khalifah, sebuah doktrin baik sebagai teori politik maupun sebagai realitas historis yang signifikan. Teori tersebut telah mendominasi komunitas Islam untuk waktu yang cukup lama.
Pemikiran di bidang politik sebagai cikal bakal diskursus konsep negara baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah. Karya-karya intelektual muslim (Sunni) sebelumnya lebih terfokus pada persoalan fiqh, kalam, dan hadis. Hal ini terjadi karena meskipun faktor yang menyebabkan munculnya kelompok-kelompok atau aliran-aliran dalam Islam adalah persoalan politik, tetapi wacana intelektual yang mengemuka lebih awal adalah masalah teologi yang kemudian diikuti masalah hukum. Ada dua faktor yang menyebabkan terabaikannya disiplin ilmu politik pada periode ini.
sunni tidak memiliki preferensi terhadap sistem politik yang mapan untuk menetukan bentuk legal-formal negara yang ideal. Islam hanya memiliki seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan negara yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Persoalan politik (negara) lebih merupakan urusan kreatifitas manusia, atau kerangka wilayah fiqh yang perlu dilakukan ijtihad. Sebagai wilayah fiqh maka setiap rumusan dan interpretasi yang dihasilkan tentu berbeda, karena paradigma yang digunakan pun juga berbeda.
Ahli fiqih Sunni yang pertama dan paling signifikan berupaya mensistematikakan doktrin khalifah dalam kerangka hukum fiqih Islam adalah Abu al-Hasan al-Mawardi (979-1058 M) dalam bukunya yang terkenal al-Ahkaam as-Sulthaaniyyah (Hukum Tentang Pemerintahan). Al-Mawardi berupaya untuk mengabsahkan otoritas pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sekaligus berusaha membenarkan penggunaan pemaksaan sebagai implementasi pelaksanaan pemerintahan. Dia berpendapat bahwa khalifah secara Ilahiyah telah diberi otoritas baik untuk urusan politik maupun agama
Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam
Pemikir lainnya dari Sunni 'Abbasiyah adalah Ahmad ibn Yusuf, dia menulis surat yang terkenal yaitu Risala al-Khamis yang dipersembahkan kepada khalifah al-Ma'mun yang berisikan propaganda 'Abbasiyah, yang berisikan pernyataan yang berusaha meyakinkan khalifah bahwa memang yang berhak mewarisi kepemimpinan rasul adalah keturunan 'Abbasiyah. Hingga puncak pemikiran Sunni 'Abbasiyah adalah dituliskannya Kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah oleh al-Mawardi pada masa Buwayhid yang merebut Baghdad dari kekuasaan al-Qadir yang berisikan tentang konsep imamah, suksesi, kepangkatan dan keistimawaan, tugas dan fungsi imam, turun tahta dan teori tentang pemberontakan.
Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa institusi imamah adalah kebutuhan yang didasarkan pada syariah agama bukan hanya pertimbangan rasio belaka. Pengangkatan seorang imam harus melalui konsesus ummat. Al-Mawardi merinci bahwa idealnya seorang imam harus memiliki 7 kriteria, diantaranya adalah bahwa ia harus keturunan suku Quraysh, perlunya pembentukan lembaga pemilihan umum dan kualifikasi para pengelolanya, hak suara harus diberikan kepada seluruh umat Islam, tidak hanya yang berada dalam kota-kota besar, seorang imam bisa dipilih dengan 2 cara, lewat lembaga pemilihan umum dan lewat penunjukan imam yang sedang berkuasa. Al-Mawardi berpendapat bahwa seorang khalifah pada dasarnya cukup di pilih seorang saja. Pendapat ini didasarkan fakta sejarah bahwa Abu Bakr dan Uthman hanya dipilih oleh 5 orang dan juga tradisi dari 'Abbas. 'Abbas pernah berkata kepada 'Ali:
"Angkat tanganmu, aku akan bersumpah setia padeamu, dan ketika semua orang tahu bahwa paman nabi telah bersumpah setia kepada keponakannya, maka tidak akan ada seorangpun yang akan keberatan terhadap kepemimpinanmu".
Aspek ajaran Ahlu as-Sunnah (Sunni) yang terpenting adalah jika dibandingkan dengan ajaran Syi'ah adalah teori politiknya. Semua kalangan Sunni mengakui otoritas keempat khalifah yang pertama, Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalin, sebagai penerus tugas Nabi yang menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga mereka disebut al-Khulafa al-Rasyidin
sunni memiliki suatu keyakinan bahwa sesungguhnya Allah Swt, telah memilih para sahabat sebagai penerus risalah Islam (dakwah) sekaligus penjaga dan pengajar kepada generasi umat selanjutnya setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Keyakinan ini didasarkan pada satu anggapan bahwa para sahabat nabi telah memiliki tingkat ketakwaan dan kesalehan yang luar biasa, yang tidak boleh diragukan lagi. Sehingga setiap apa yang dinisbatkan kepada para sahabat tersebut adalah merupakan sebuah kebenaran yang lahir dari sifat "keadilah" mereka atas apa yang mereka terima dari sisi Nabi Muhammad Saw. Mayoritas Jumlah umat Islam dewasa ini adalah dari kelompok Sunni.
kalangan Sunni berpendapat bahwa format khilafah tidaklah memiliki perwajahan yang paten/baku. Melainkan yang paten/baku hanyalah nilai-nilai yang melandasi terbentuknya struktur khilafah tersebut. Menurut mereka preseden historis membenarkan asumsi ini, sekiranya terdapat penamaan yang berbeda-beda bagi seorang pemimpin Negara Islam, terkadang ia dipanggil Khalífah, terkadang Amirul Mukminin
Hal ini diperkuat pula, dengan tidak adanya keterangan nash (teks) yang tegas dalam menyebut ketentuan khusus (baku) bagi sebuah formasi kepemimpinan politik ini. Al-Ghazali berkomentar: "ketahuilah bahwa masalah kepemimpinan bukanlah suatu hal yang usuliy, dan bukan pula sesuatu yang masuk ke ranah akidah, melainkan ia bagian dari fikih (ijtihadiyah)".(Asad Syahab, Sayyid Muhammad, As-Syi'atu fi Indunisiya, Muassatu al-Muammal al-Tsaqafiyyah, tanpa tahun)
Ungkapan ini mengandung pengertian, bahwa ranah khilafah adalah ranah ijtihad yang sepenuhnya diserahkan kepada umat Islam untuk meng-create- nya.Sedang untuk terwujudnya sebuah legalitas kepemimpinan politik tersebut, menurut Sunni mutlak diperlukan dua hal, yang pertama: pencalonan seorang yang kapabel untuk duduk sebagai khalifah, melalui prosesi syura (musyawarah). Dan kedua: pengangkatan orang yang terpilih tadi harus terlebih dahulu mendapatkan pengakuan atau legalitas publik melalui cara baiat (persetujuan umum) secara suka rela (tanpa paksaan). Dengan dua modal ini, barulah seorang khalifah menjadi terikat dalam "kontrak sosial"; melalui kewajibannya sebagai khalifah untuk mengelola urusan publik (umat), dan kewajiban taat bagi seluruh orang yang ia pimpin.
Demikianlah secara tegas dinyatakan oleh kalangan Sunni ini, bahwa perkara "khilafah" atau "imamah" adalah ranahijtihadiyah, di mana hal yang terkait dengan bentuk sistem kekhilafahan dan siapa yang akan menduduki sistem tersebut, tidak dipatok dalam teks secara tegas; ia dapat diduduki oleh siapapun (dengan kualifikasi tertentu), mulai dari para sahabat yang bukan ahlul bait, sampai terus kepada umat Islam secara estafet. Selama prosesnya tidak meninggalkan spirit ayat, "Dan perkara mereka dipecahkan secara syuro di antara mereka"
Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah yang berkuasa.Pemikiran – pemikiran dari ahli – ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan.Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan , namun atas pendapat ini Mujar Ibnu Syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini dipresentasikan bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat.
Pada periode Abbasiyah, otoritas imamah berasal dari legitimasi ilahi. Hal ini mementahkan teori al-Baqillani, al-Baghdadi (ummah adalah sumber legitimasi kekuasaan imam), dan al-Juwaini (ahl hal wa al-aqd sebagai sumber legitimiasi). Bahkan, Ibn Taymiyah menyebut penguasa sebagai "bayangan tuhan di bumi" dan kedaulatannya adalah refleksi kemahakuasaan Tuhan.
Melemahnya kekuasaan Abbasiyah, membuat pemikir politik seperti al-Mawardi, menegaskan keniscayaan kepemimpinan imam, memulihkan legitimasi kekhalifahan Abbasiyah. Disintegrasi Abbasiyah, yang memunculkan sejumlah penguasa lokal, seperti Dinasti Saljuk Turki dan Buwaihiyah yang membutuhkan legitimasi. Al-Ghazali berperan di sini. Menurutnya, kekuasaan temporal dan spiritual dapat dipisahkan dan tidak mesti bernaung dalam satu kekuasaan tunggal. Jika dua sisi, penguasa temporal dan spiritual, tidak mungkin terhimpun pada satu orang, maka perlu bisa dipisahkan. Al-Ghazali pun tidak terlalu percaya pada rakyat kebanyakan, sedangkan Ibn Taymiyah mengedepankan musyawarah.
Setelah kekhalifahan betul-betul runtuh, terjadi modifikasi teori politiki yang memungkinkan transfer kepemimpinan umat dari khalifah ke penguasa temporal (sultan) selama sang sultan mengakui universalitas syariah. Bahkan, umat tidak boleh berontak kepada kekuasaan meski memiliki akhlak yang buruk. Tentang masalah ini, Mu'tazilah dan Khawarij (termasuk Syiah Zaidiyah) berpandangan: seorang yang bukan terbaik dalam memenuhi persyaratan kepemimpinan (mafdhul ) diperbolehkan menjadi pemimpin jika situasi tidak memungkinkan orang yang terbaik (afdhal) menempati jabatan tersebut.
Dari "pandangan burung' tentang pemikiran politik Sunni ini, tampak pergeseran dari ujung ekstem yang satu ke ujung ekstrem lainnya, yakni dari konsep khilafah sebagai pemimpin ideal yang menempatkan pemimpin sebagai "pilihan Allah" dengan segenap keunggulannya, hingga konsep imamah yang memberi jabatan kepemimpinan umat kepada sekedar seorang yang berhasil merebut kekuasaan (dengan kekuataan militer, misalnya), yang akhirnya melahirkan kekecewaan terhadap realitas politik sepanjang sejarah dimana pemimpin yang jauh dari ideal—dikembalikan kepada model ideal filosofis a la al-Farabi dan dibatasi hanya pada empat khalifah pertama (Khulafa al-Rasyidin), kembali ditawarkan sebagai alternatif.
Awal mula munculnya teori politik kaum Sunni yaitu ketika masa dinasti bani Umayah. Dalam sejarah pemikiran kaum Sunni, meskipun ada perbedaan dalam setiap mazhab yang diyakini, tetapi secara tradisional, kaum Sunni mendukung sebuah teori pemerintahan yang spesifik yang dikenal dengan teori Khalifah, berbeda dengan istilah dalam kaum Syiah yang memakai istilah Imamah. Secara esensi, khalifah berarti pemimpin dalam artian yang meneruskan kepemimpinan, tetapi tidak hanya terbatas dalam hal politik saja tapi juga dalam berbagai hal karena sudah mendapat kewenangan dari orang-orang yang telah memilihnya sebagai khalifah. Awal mulanya telah dipraktekan ketika masa pemilihan Abu Bakar menjadi khalifah setelah Nabi wafat dan kemudian diteruskan kepada Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, seperti kita kenal dengan istilah Khulafa Ar-Rasyidin.
Otoritas Sunni awal, menganggap khilafah sebagai lembaga poltik yang sah dalam masyarakat Islam, maka secara ideal hanya ada satu orang khalifah dalam melindiungi umat serta mengawasi peraturan yang berlaku. Untuk memahami lebih dalam tentang teori politik kaum Sunni bisa kita lihat sejak pemerintah khalifah pertama dan kedua, yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khatab, dalam pemerintahan kedua khalifah ini lebih menekankan kepada tiga prinsip, yaitu musyawarah, kontrak penguasa rakyat dan sumpah setia (bai'at). Namun tiga prinsip tersebut menghilang sejak berdirinya dinasti Umayah yang semi aristokrasi.
Ahli fiqih kaum Sunni yakni Abu al-Hasan Al-Mawardi (979-1058 M) yang paling signifikan dalam mengsistematikan teori khalifah ke dalam kerangka hukum fiqih Islam. Didalam bukunya yang berjudul al-Ahkam as-Sulthaaniyyah (Hukum Tentang Pemerintahan). Al-Mawardi berupaya untuk mengabsahkan otoritas pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sekaligus berusaha membenarkan penggunaan pemaksaan sebagai implementasi pelaksana pemerintahan.
——————————————————–
jawaban kami dari pihak syi'ah :
Syarifuddin al Mussawi, yang mengakui bahwa tiada suatu penyebab di antara umat Islam yang lebih hebat dari pada perbedaan pendapat yang berhubungan dengan soal imamah. Tiada bentrokan dalam Islam demi suatu prinsip agama, yang lebih parah daripada yang terjadi di sekitar persoalan ini. Persoalan imamah menurut al-Mussawi, adalah penyebab utama yang secara langsung menimbulkan perpecahan selama ini. Generasi demi generasi yang mempertengkarkan soal imamah telah menjadi demikian gandrung dan terbiasa dengan sikap fanatik dalam kelompoknya masing-masing tanpa mau mengkaji dengan kepala dingin.
boleh dibilang perbedaan yang amat fundamental antara dua aliran ini adalah pada ketidaksamaan sudut pandang mereka atas persoalan khilafah atau imamah (otoritas kepemimpinan politik setelah Rasul wafat)..Jika kalangan Sunni berpandangan bahwa tugas penerus risalah Islam setelah wafatnya Rasul adalah para sahabat secara umum sebagaimana yang tertulis di atas, kalangan Syi'ah berpandangan bahwa tugas ini tidak bisa diemban oleh sembarang sahabat, melainkan mereka harus berasal dari ahlul bait (keluarga Nabi Muhammad). Sebab mereka yakin bahwa hanya ahlul bait lah yang memiliki "karakteristik khusus" yang telah ditetapkan oleh nash (teks) al-Quran juga hadist, seperti keunggulan ilmu dan kebersihan jiwa serta hati mereka dari segala kekurangan dan dosa yang tidak dimiliki oleh para sahabat nabi lainnya.
Adapun pengikut aliran Syia'h ini tidak kurang dari seperlima pemeluk agama Islam di seluruh dunia.. Kalangan Sunni menyebut politik dengan konsep "khilafah", sedangkan Syi'ah menamakannya dengan konsep "Imamah"
bagi kalangan Syi'ah; permasalahan kepemimpinan (imamah/khilafah) lebih merupakan pokok agama ketimbangijtihadiyah, sebagaimana yang dianut oleh Sunni. Sebab imamah bagi mereka adalah sebuah penjelmaan kepemimpinan Tuhan di muka bumi ini dengan sebuah misi suci menggantikan tugas-tugas kenabian dalam memberikan petunjuk kepada manusia untuk suatu maksud pencapaian kebahagiaan dunia-akherat
Dengannya, status imamah adalah satu profesi (mihnah) yang bernilai reliji (ketuhanan), karena sumbernya yang langsung berasal dari Allah, serta merupakan estafeta misi kenabian, dengan satu pengecualian; munculnya transmisi wahyu kembali atas sang Imam tersebut. Profesi imamah jauh lebih agung dari sekedar kepemimpinan politik atau hukum an sich, yang proses pencapaiannya cukup dapat melalui pemilihan atau pakem syura seperti anggapan kalangan Sunni. Bagi Syi'ah proses imamah harus tercipta melalui ketentuan yang jelas dari tangan Allah langsung melalui interfensi wahyu-Nya, yang secara implisit telah menyebut siapakah gerangan yang bakal memegang kepemimpinan setelah wafatnya Rasulullah. Sehingga penafsiran perintah melakukan bermusyawarah dalam ayat Al-Syura di atas, baru berlaku pada kasus-kasus yang tidak mendapatkan penjelasan langsung dari Allah maupun Rasul-Nya (tidak dalam kasus imamah ini).
Perbedaan dengan Sunni lagi, bahwa persoalan imamah bagi Syi'ah menempati posisi akidah (ushul), yang memiliki konsekuensi cukup jauh; bahwa sempurna dan tidaknya kadar keimanan seseorang menjadi tergantung kepada yakin atau tidaknya seseorang pada adanya ketentuan Tuhan terhadap personifikasi yang berhak atas kepemimpinan politik (imamah) ini. Logika yang banyak digunakan Syi'ah untuk menjabarkan asumsi ini, bahwa sejatinya umat Islam tidak memiliki kemampuan sebanding dengan Rasulullah Saw, untuk betul-betul mampu meneruskan amanat risalah Islam setelah wafatnya, sehingga Tuhan merasa "perlu" mendelegasikan beberapa orang khusus untuk menyebarkan ajaran-ajaran otentik-Nya.
Di samping itu, masa keberadaan Rasulullah di tengah-tengah sahabat terlalu singkat untuk dapat dikatakan, bahwa sepeninggalnya beliau kondisi umat telah betul-betul mapan dan siap untuk selalu berada pada track yang dikehendaki Rasul. Sederetan nama-nama sahabat yang baru terdetik memeluk Islam setelah Fath Makkah, boleh jadi dikarenakan faktor kondisional (keterpaksaan) saat itu, merupakan alasan masih lemahnya kesiapan mental mereka untuk mengemban misi agama ini. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, masa dakwah Rasulullah di Mekah lebih lama yaitu 13 tahun, sedang seruan hanya terbatas pada penanaman tauhid dan etika, dan itu pun hanya sekelompok kecil yang menyatakan beriman. Sedang pada fase Madinah 10 tahun barulah syariat dikenalkan, namun saat itu, kondisi umat selalu disibukkan untuk melakukan pertahanan (jihad) menangkis serangan musuh-musuh dakwah.
Lagi-lagi hal ini menjadi alasan kuat bagi Syi'ah, bahwa sangat tidak mungkin dalam kondisi yang serba "emergency"di atas, Rasul membiarkan (baca; tidak menegaskan) siapa yang akan menggantikan kepemimpinan politik (imamah)setelahnya. Tentunya penegasan ini, berdasarkan bimbingan wahyu yang qat'iy. Sehingga dengan demikian bagi Syi'ah, mengimani kepemimpinan orang khusus yang ditentukan dalam wahyu itu, adalah sebuah kewajiban agama, sedang mengingkarinya adalah sebuah pelecehan atas agama. Dan dengan otoritas wahyu itulah sebagian besar Syi'ah berpendapat orang khusus tersebut memiliki derajat kemaksuman (bebas dosa) sebagaimana halnya para nabi dan rasul.
Seperti banyak diketahui oleh kalangan umat muslim dunia, bahwa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW akan banyak sekali golongan-golongan dalam umat muslim. Maka dari itu kita harus bisa memilah dan memilih mana yang menurut kita yang paling baik dan bisa dijadikan pedoman dalam menjalani hidup.
kaum Syiah adalah para pengikut setia dari Khalifah Ali bin Abi Thalib. Keyakinan mereka yang sangat tinggi kepada Khalifah Ali membawa keyakinan bahwa Khalifah Ali adalah Khalifah terpilih dari Nabi Muhammad SAW, Karena ia dianggap sebagai sahabat terbaik diantara sahabat-sahabat Nabi
kaum Syi'ah Dua Belas mengakui adanya 12 Imam, diantaranya yaitu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Ali, Al-Husein bin Ali, Ali Zain Abidin, Ja'far al-Shadiq, Ali al-Rida bin Musa al-Kazim, Muhammad al-Jawwad bin Ali al-Rida, Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawwad, Al-Hasan al-Askari bin Ali al-Hadi, dan Muhammad al-Muntazhar bin Al-Hasan al-Askari. Golongan ini hanya membatasi 12 Imam, karena menurut pemahaman kaum Syi'ah Imam ke 12 tidak meninggalkan keturunan. Kaum Syi'ah sendiri meyakini bahwa ia menghilang untuk sementara dan akan kembali suatu saat nanti yang belum diketahui kapan pastinya.
Paradigma pemikiran Syi'ah Imamiyah tentang Imamah adalah imamah bukan urusan yang bersifat umum yang diserahkan kepada umat dan menentukan orang yang memegang jabatan kekuasaan. Sebab masalah imamah termasuk rukun agama dan kaidah Islam. Untuk melegitimasi keyakinan ini, kaum Syi'ah mengemukakan nash (bukti tekstual) dari Nabi yang menetapkan Ali dan keturunannya untuk menjadi Imam atau khalifah yang menggantikan Nabi setelah beliau wafat. Nash yang mereka kemukakan adalah:
"Barang siapa menganggapku pemimpinnya maka Ali juga adalah pemimimpinya"
Mereka kaum Syi'ah meyakini kebenaran hadits dan kesahihan sanadnya. Hadits-hadits itulah yang menjadi dasar keyakinan kaum Syi'ah bahwa Nabi Muhammad SAW, sebelum ia wafat, telah menetapkan Ali sebagai pengganti beliau. Kedudukan Ali dalam hal ini adalah sebagai washi Nabi Muhammad, yang menerima wasiat beliau. Dengan demikian kepemimpian dan kekuasaan di bidang agama dan politik dan sifat kesucian yang ada pada Nabi diwariskan kepada Ali dan berlanjut kepada imam-imam yang berikutnya. Perbedaanya terletak pada Nabi menerima wahyu, sedangkan imam tidak.
Karena itu kaum syiah menetapkan bahwa seorang Imam, pertama, harus ma'shum (terpelihara) dari berbuat salah, lupa, dan maksiat. Menurut Al-Syarif al-Murtadha, seorang Imam wajib 'ishmah (terpelihara dari dosa)
PERBEDAAN SUNNI DAN SYIAH
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa dalam sistem politik yang dimiliki oleh Syiah dan Sunni ada beberapa perbedaan dalam system politik antara Syiah dan Sunni. Diantaranya adalah:
Ø Menurut Syiah seorang pemimpin atau khalifah haruslah keturunan nabi. Sedangkan menurut Sunni seorang pemimpin itu harus ditunjuk dari hasil musyawarah yang telah disepakati.. Dalam konsep Sunni adalah musyawarah, kontrak penguasa rakyat dan sumpah setia (bai'at).
Ø Dalam Syiah khalifah harus ma'shum, onsep yang dipakai oleh Syiah dalam Imamah adalah seorang Imam wajib'ishmah (terpelihara dari dosa) karena jika dia tidak maksum maka SANG PEDOMAN bisa benar bisa salah
Ulama Syi'ah lain yaitu Thabathaba'i, menulis bahwa orang-orang Syi'ah memang muncul karena kritik dan terhadap dua masalah dasar dalam agama Islam, kendati tidak berkeberatan terhadap cara-cara keagamaan yang melalui perintah-perintah Nabi merata di kalangan kaum Muslimin sekarang. Dengan kata lain, di luar kedua masalah itu, tidak ada perbedaan secara prinsipil antara Sunni dan Syi'ah. Kedua masalah itu adalah berkenaan dengan Pemerintahan Islam dan kewenangan dalam pengetahuan keagamaan, yang menurut kalangan Syi'ah menjadi hak istimewa ahl al-bayt. Tetapi pendapat Syi'ah seperti itu ditolak oleh kalangan Sunni yang meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak mewariskan kepemimpinan dan juga tidak menunjuk seseorang pengganti, tetapi ia membiarkan masalah kepemimpinan sepeninggalnya diserahkan kepada ummat
Ayatullah Imam Khomeini, pemimpin besar revolusi Islam juga mengemukakan pandangannya mengenai paham dan aliran Syi'ah, menurutnya:
"Sejak awal mula sejarahnya, aliran syi'ah, yang merupakan aliran yang lazim dianut di Iran, telah memiliki ciri khas tertentu, jika beberapa aliran lain menganjurkan kepatuhan terhadap penguasa (meskipun mereka curang dengan bersifat menekan), maka Syi'ahisme menganjurkan perlawanan terhadap para penguasa seperti itu dan mencela mereka sebagai penguasa yang tidak sah. Sejak dulu orang Syi'ah selalu menentang pemerintahan yang menekan".
Salah satu perbedaan yang juga mencolok antara golongan Sunni dan Syi'ah adalah sifat oposisi dan perlawanan yang ditunjukan oleh paham ini terhadap penguasa tiran, seperti yang juga dikatakan oleh Imam Khomeini:
"Banyak orang Sunni mungkin menilai pemberontakan menentang pemerintahan tiran ini sebagai upaya yang tidak sesuai dengan Islam. Hal ini terjadi karena adanya pandangan yang menyatakan bahwa seorang penguasa tiran pun harus dipatuhi. Pandangan ini didasari penafsiran keliru terhadap ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan ikhwal kepatuhan".
"Sebaliknya, kita orang Syi'ah yang mendasari penahaman kita terhadap Islam melalui sumber yang berasal dari Ali dan keturunannya, menilai hanya para Imam atau orang yang mereka tunjuk yang berhak sebagai pemegang kekuasaan. Pandangan ini sesuai dengan penafsiaran ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan ikhwal kekuasaan. Penafsiran tersebut dibuat oleh Rasulullah sendiri."
"Akar permasalahan sebenarnya terletak pada kenyataan ini: negara-negara yang didiami Sunni membenarkan kepatuhan terhadap para penguasa mereka; sebaliknya, orang Syi'ah selalu yakin akan kebenaran pemberontakan-kadangkala mereka mampu melawan pada kesempatan lain mereka terpaksa harus diam".
Perlawanan Husein terhadap Yazid dan kematiannya di Karbala merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah muslim. Tindakan Husein merupakan bentuk perlawanan terhadap penguasa yang menyimpang dari konsep ideal Islam. Menurut Akbar S. Ahmed, dalam kepercayaan SyiÃh pertentangan antara Husein dan Yazid tersebut, merupakan pertentangan klasik antara kebaikan dan keburukan. Husein mewakili kebaikan yang dapat ditemukan dalam Islam, sedangkan Yazid merupakan lambang depotisme, dinasti, dan kekuasaan sementara. Peristiwa tersebut memungkinkan golongan Syi'ah menjadi sekte terbesar setelah Sunni dengan kekhususannya sendiri.
Dari sekian banyak doktrin di atas, doktrin Imamah menempati kedudukan sentral dalam aspirasi politik Syi'ah. Doktrin itu antara lain: Pertama, tentang Imamah, yang menurut mereka merupakan salah satu rukun agama. Karenanya pemilihannya tidak boleh diserahkan kepada ummat, melainkan Nabi-lah yang menetapkan seseorang Imam dengan jelas. Kedua, Seorang Imam haruslah seorang maksum. Pengertian maksum ini menurut anggapan mereka yaitu seorang yang suci, terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, dan ia tidak boleh berbuat suatu kesalahan. Semua yang bersumber dari dirinya, berupa ucapan atau tindakan adalah hak dan benar belaka. Ketiga, kaum Syi'ah menganggap bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah Imam yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh Nabi sepeninggalnya dengan ketetapan nash yang jelas. Keempat, setiap Imam yang baru harus ditunjuk dan ditetapkan dengan nash oleh pendahulunya. Mereka berpegangan bahwa jabatan itu tidak dibenarkan pelaksanaannya di tangan ummat. Kelima, sekte-sekte Syi'ah bersepakat jabatan Imamah hanyalah hak Ali dan keturunannya. Dari kelima doktrin yang dipegang Syi'ah itu, jika ditelusuri secara mendalam, doktrin Imamah Inilah yang mewarnai Perjuangan mereka dalam melawan otoritas Sunni. Bagi kaum Syi'ah, Ali Ibn Abi Thalib dan sebelas keturunannya (ahl al-bayt) adalah yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi.
Dilihat dari aspek sejarahnya pun, Syi'ah memang lahir karena faktor politik, yakni menyangkut masalah siapa yang berhak menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sepeninggal beliau. Masalah politik (kekuasaan) dalam Islam inilah yang menjadi sumber "perpecahan" antara Sunni dan Syi'ah.
Menurut Ayatullah Khomeini, Islam bukan sekedar agama etika (ethical religion) tetapi di dalam Islam terkandung seluruh hukum dan prinsip-prinsip yang diperlukan bagi pemerintahan dan administrasi sosial. Karena itu, pemerintahan Islam yang benar adalah sebuah pemerintahan konstitusional dengan Qur'an dan Hadis sebagai undang-undangnya. Kendati tidak ada aturan khusus di dalam Qur'an dan Hadis bagi ditegakkannya suatu pemerintahan selama kegaiban Imam al-Mahdi, tetapi tatanan sosial tetap diperlukan bagi pelaksanaan syari'at.
Sebagai pemegang kekuasaan para imam, maka para faqih memiliki tanggung jawab dan tugas melanjutkan misi kenabian, sebagaimana tugas yang diemban oleh para imam. Aspek terpenting secara politis di sini adalah bagaimana mengatakan pemerintahan yang adil berdasarkan hukum Tuhan. Atas dasar itu, maka dalam pemerintahan Wilayat al-Faqih tidak dikenal pemisahan antara agama dan politik. Karena secara subtansial, keduanya sama-sama mengandung misi dan tujuan yang sama, yaitu menciptakan tatanan yang adil berdasarkan hukum Tuhan
.
Menurut Ayatullah Khomeini, pemisahan agama dan politik serta adanya tuntutan bahwa ulama tidak boleh ikut campur dalam masalah-masalah sosial politik merupakan bagian dari propaganda imperialisme. Ia mengecam para ulama yang enggan melibatkan diri dalam masalah sosial-politik. Mereka itu oleh Imam Khomeini dinilai sebagai orang-orang yang menolak kewajiban dan misi yang didelegasikan kepada mereka oleh para imam
.
Jika tonggak utama politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan yang adil berdasarkan hukum Tuhan, maka misi meraih kekuasaan menjadi sesuatu yang wajib dan jika cita-cita untuk menegakkan hukum Tuhan tersebut hanya bisa dilakukan dengan sarana politik, maka upaya untuk merebut wilayah politik menjadi wajib adanya. Dalam pandangan Hamid Enayat, kekuasaan merupakan sarana pokok utama untuk mencapai cita-cita tersebut. Al-Qur'an menyeru orang-orang beriman untuk mengikuti teladan Nabi Muhammad, yang dijuluki sebagai "paradigma mulia". Karena pencapaian utama Muhammad adalah keberhasilannnya meletakkan landasan sebuah negara yang berdasarkan pada ajaran-ajaran Islam, maka kaum Muslimin juga berkewajiban untuk mengikuti suri tauladan tersebut.
————————-
Ketika para imam tersebut telah wafat, maka misi ini kemudian dilanjutkan oleh para faqih, yaitu orang yang ahli dalam hukum Islam. karena pengetahuan mereka tentang agama yang melebihi dari orang-orang lain pada umumnya, maka tugas berat tersebut dibebankan di pundak mereka. Dengan demikian secara de jure mereka adalah pengganti para imam dalam hal menegakkan hukum Tuhan.
Manakala cita-cita tersebut tidak bisa dicapai tanpa adanya kekuatan yaitu kekuatan untuk memaksa dan memerintah, maka mau tidak mau para faqih tersebut merasa terpanggil untuk merebut kekuasaan politik itu. Dalam konteks ini, kekuasaan politik bukanlah tujuan yang utama, melainkan sekedar sarana untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu memberlakukan kehidupan di dunia berdasarkan hukum Tuhan
.
Ada alasan yang lebih sederhana mengapa kaum Muslimin harus peduli dengan politik, yaitu bahwa sejumlah "fardlu kifayah" kaum Muslimin, di mana yang terpenting di antaranya adalah "amar ma'ruf nahyi munkar" dan mempertahankan wilayah Islam (dar a-Islam), dan hal itu hanya bisa dilaksanakan di dalam suatu negara yang sepenuhnya terikat pada Islam, paling tidak bersimpati terhadap tujuan-tujuan Islam. Dengan alasan ini, seorang Muslim yang hidup di bawah suatu rejim yang mengabdi atau bahkan hanya menunjang kepada Islam wajib aktif bekerja demi keberlangsungan rejim tersebut, sebaliknya seorang Muslim yang hidup di bawah suatu rejim yang memusuhi Islam wajib berjuang untuk menggulingkannya manakala hal itu dimungkinkan. Terakhir, jika pertanyaan mengenai "siapa yang harus berkuasa" dan mengapa kita harus taat kepada penguasa" adalah persoalan politik, maka tak seorang pun Muslim yang sadar dapat mengkaji sejarah Islam, sekalipun secara dangkal, tanpa terdorong untuk menanyakan kedua pertanyaan tersebut dan mendiskusikannya dengan sesama penganut agamanya. Dorongan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut akan jauh lebih kuat lagi manakala kaum Muslimin dipaksa tunduk kepada penguasa-penguasa asing atau antek-anteknya, sebagaimana yang dialami oleh sebagian besar negara mereka selama empat abad terakhir ini
.
Bahkan apabila dirunut ke belakang sejarah awal datangnya Islam, ia selalu tidak terlepas dari persoalan politik. Sebagaimana diketahui, bahwa sejak pertama misi keagamaan yang disampaikan Nabi Muhammad adalah ditunjukkan kepeda "qaum" atau "ummah", suatu lembaga politik yang modelnya lebih dikenal oleh orang-orang Arab. Islam, sejak awal mulanya telah memiliki relevansi dengan organisasi sosial politik di masyarakat, dan kepemimpinan negara dalam Islam adalah dimaksudkan untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur urusan dunia.
Dengan dasar-dasar argumentasi semacam itu, kaum Syi'ah pada umumnya memandang bahwa politik merupakan lahan yang sangat vital untuk digunakan sebagai alat perealisasian hukum-hukum Tuhan. Di dunia modern, di mana kecenderungan di sebagian negara-negara Muslim untuk melakukan sekularisasi (pemisahan agama dan politik) berkembang begitu kuat, yang pada gilirannnya diikuti dengan adanya merginalisasi syari'ah dalam pranata hukum, maka hal ini semakin memperkuat alasan bagi Syi'isme untuk kembali mempertimbangkan signifikansi politik bagi kepentingan agama. Apabila memberlakukan hukum syari'ah adalah wajib, sementara hal itu hanya bisa direalisasikan jika didukung oleh kekuatan politik (kekuasaan), maka menjadi jelas bahwa meraih kekuasaan politik juga menjadi wajib hukumnya
.
Kedudukan Wilayat al-Faqih
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa dalam sistem pemerintahan Wilayat al-Faqih, kaum ulama (para faqih) menduduki posisi, baik sebagai pengawal, penafsir, maupun pelaksana hukum-hukum Tuhan. Sedangkan kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang) sepenuhnya menjadi hak Tuhan. Dengan demikian, pemerintahan Islam yang didasarkan pada konsep Wilayat al-Faqih juga bisa disebut "pemerintahan hukum Tuhan atas manusia"
.
Posisi para faqih ini mirip sekali dengan posisi para imam. Namun ini bukan berarti bahwa kedudukan para faqih sederajat dengan kedudukan para imam. Dalam konteks ini, posisi para faqih hanyalah mengisi kekosongan kekuasaan ketika Imam al-Mahdi yang ditunggu-tunggu itu belum datang, namun jika Imam al-Mahddi sudah kembali, maka para faqih secara otomatis tidak memiliki kekuasaan lagi, karena kekuasaan keagamaan dan politik akan dipegang oleh Imam al-Mahdi
.
Dengan demikian, jika para imam bertugas membimbing umat setelah berakhirnya "siklus wahyu", dengan satu perbedaan, jika para imam memiliki atribut keistimewaan, seperti memiliki sifat ma'shum, sementara para faqih tidak memilikinya.
Pertanyaan yang seringkali muncul adalah, mengapa hanya para faqih atau ulama saja yang berhak memegang jabatan kekuasaan tertinggi? Jawaban yang dikemukakan adalah karena hanya para faqih sejalan sesungguhnya yang paling memahami dan mengerti hukum-hukum Tuhan dan dapat dipercaya untuk menjaga kemurniannya. Atas dasar pertimbangan inilah, maka dalam konsep Wilayat al-Faqih ulama memegang peranan penting dalam kepemimpinan Islam
.
Praktek pemerintahan dalam sistem Wilayat al-Faqih yang berlaku di Republik Islam Iran, sebagaimana ditulis oleh Jalaluddin Rahmat, dikenal tiga pemilu, yaitu: pemilihan presiden, pemilihan Majelis Syura dan pemilihan Majelis Khubregan (Dewan Ahli). Ketiga lembaga ini dipilih oleh rakyat.
Tugas presiden adalah menjalankan roda pemerintahan, terutama di bidang politik. Majelis Syura mengajukan perundang-undangan untuk dilaksanakan oleh presiden. Sedangkan Majelis Khubregan adalah bertugas memilih Rahbar (pemimpin revolusi atau pemimpin tertinggi). Karena posisi Majelis Khubregan sangat penting, maka hanya orang-orang yang sudah mencapai tingkatan ulama mujtahid sajalah yang dapat mencalonkan diri, yakni dengan cara melalui tes tertulis dan wawancara yang dilakukan oleh Asosiasi Guru Besar Ilmu-Ilmu Islam (Jami'yat-e Modarresen-e Hawzeh-ye Ilmiyeh). Sementara untuk jabatan Rahbar tidak dibatasi oleh waktu, melainkan sejauhmana ia mampu menjaga kualifikasi-kualifikasi yang dimiliki. Sebagai catatan, salah satu kualifikasi Rahbar adalah hidup sederhana. Jadi, begitu ia kelihatan hidup mewah, ia segera diturunkan.
Pada masa pemerintahan Islam Iran sejak tahun 1979, sampai saat ini baru dua orang yang pernah menduduki jabatan Rahbar: yang pertama adalah Ayatullah Khomeini dan setelah beliau wafat, putranya, yang bernama Ali Khamenei terpilih untuk menduduki jabatan Rahbar menggantikan ayahnya
.
Fungsi dan Bentuk Pemerintahan dalam Wilayat Al-Faqih
Pemerintahan Islam adalah pemerintahan rakyat dengan berpegang pada hukum Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya pembuat undang-undang. Selama kegaiban al-Mahdi, pemerintahan tetap diperlukan bagi pelaksanaan syari'at. Pemerintahan Islam haruslah adil (yang berarti harus bertindak sesuai dengan syari'at) dan karenanya dibutuhkan pengetahuan yang luas mengenai syari'at di mana semua tindakan harus sesuai dengannya. Syarat-syarat ini hanya bisa dipenuhi oleh para faqih, ahli di bidang hukum Islam. Karenanya faqih merupakan figur yang paling siap untuk memerintah masyarakat Islam. Inilah sebenarnya gagasan inti Wilayat al-Faqih. Sebagai penguasa, faqih memiliki otoritas yang sama dan dapat menjalankan fungsi sebagai imam, walaupun ia tidak dengan sendirinya sama dengan imam.
Sebagaimana sudah disinggung di muka, bahwa dalam pandangan Ayatullah Khomeini, selama gaibnya Imam al-Mahdi, kepemimpinan dalam pemerintahan Islam menjadi hak para faqih (ulama). Sekali seorang faqih berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan para faqih lain wajib mengikutinya. Karena ia akan memiliki kekuasaan dan otoritas pemerintahan yang sama sebagaimana yang dimiliki Nabi SAW dan para imam terdahulu. Tetapi, menurut Khomeini, tidak setiap faqih qualified sebagai pemimpin
.
Sekurang-kurangnya ada delapan persyaratan yang harus dipenuhi seorang faqih untuk bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam, yaitu: (1) mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam, (2) harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlak yang tinggi, (3) dapat dipercaya dan berbudi luhur, (4) jenius atau cerdas, (5) memiliki kemampuan administratif, (6) bebas dari segala pengaruh asing, (7) mampu mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas territorial tanah Islam, sekalipun harus dibayar dengan nyawa dan (8) hidup sederhana.
Menurut Ayatullah Khomeini, banyak ahli hukum pada zaman kita ini yang memiliki kualitas yang dibutuhkan itu, yaitu orang yang pandai dan sederhana serta menguasai ilmu hukum Tuhan. Mengklaim kekuatan politik yang dimiliki Nabi SAW dan Ali bukan berarti bahwa orang itu menyatakan dirinya sama dengan mereka dalam hal kesucian ruhaninya, sebab kesucian mereka bukanlah merupakan jaminan bagi mereka untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar daripada yang telah ditetapkan bagi semua pemerintah oleh hukum Tuhan. Masing-masing imam itu di masa hidup mereka memiliki kekuasaan atas diri orang lain, termasuk pewaris mereka, maka para ahli hukum itu tidak bisa memiliki "hak pengawasan mutlak" atas ahli hukum lain, dia pun tidak bisa memilih atau memecat mereka. Tidak ada hirarki di antara mereka. Ahli hukum itu boleh membentuk pemerintahan sendiri-sendiri atau bersama-sama. Jika seseorang ahli hukum melanggar hukum, berarti dia melakukan tindakan yang salah dan dengan sendirinya dapat didiskualifikasi
.
Ayatullah Khomeini menegaskan, bahwa Islam itu bersifat politik, jika tidak, maka agama hanyalah omong kosong belaka. Qur'an memuat seratus kali lebih banyak ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial daripada soal-soal ibadah. Dari lima puluh buku hadis, barangkali hanya ada tiga atau empat yang mempermasalahkan soal sembahyang atau kewajiban manusia terhadap Tuhan, sebagian kecil mengenai moralitas dan selebihnya selalu ada sangkut pautnya dengan masalah kemasyarakatan, ekonomi, hukum, politik dan negara. Ayatullah Khomeini menyatakan: "jangan sekali-kali mengatakan bahwa Islam itu hanya terdiri dari satu pengertian kecil; yang cuma menyangkut hubungan antara Tuhan dengan makhluk-makhluk-Nya. Masjid itu bukan gereja. Hukum Tuhan menyangkut seluruh kehidupan sejak manusia diciptakan di dalam kandungan sampai dia masuk liang kubur. Hukum Islam itu bersifat progresif, perfeksional dan universal"
.
Negara Islam adalah negara hukum. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan konstitusional. Namun menurut Ayatullah Khomeini, pengertian konstitusional di sini berbeda dengan apa yang selama ini dikenal. Pengertian konstitusional yang merujuk pada "hukum yang disesuaikan dengan pendapat mayoritas", tidak dikenal dalam sistem pemerintahan Islam. Karena dalam pemerintahan Islam hukum sudah ada, yaitu hukum Tuhan. Dengan kata lain, Tuhanlah pemegang kekuasaan legislatif dan sepenuhnya menjadi hak-Nya. Oleh sebab itu, pemerintahan Islam juga bisa disebut sebagai "pemerintahan hukum Tuhan atas manusia". Tetapi bukan berarti tidak diperlukan parlemen. Parlemen (majelis) diperlukan guna 'menyusun program untuk berbagai kementerian berdasarkan ajaran Islam dan menentukan bentuk pelayanan pemerintahan di seluruh negeri.
Sesuai dengan tujuan dan misinya, pemerintah Islam dalam konsep Wilayat al-Faqih memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: (1) mempertahankan lembaga-lembaga dan hukum Islam; (2) melaksanakan hukum Islam; (3) membangun tatanan yang adil; (4) memungut dan memanfaatkan pajak sesuai dengan ajaran Islam; (5) menentang segala bentuk agresi, mempertahankan kemerdekaan dan integrasi teritorial tanah Islam; (6) memajukan pendidikan; (7) memberantas korupsi dan segala jenis penyakit sosial lainnya; (8) memberikan perlakuan yang sama kepada semua warga tanpa diskriminasi; (9) memecahkan masalah kemiskinan dan (10) memberikan pelayanan kemanusiaan secara umum.
Berdasarkan tujuan dan misi pemerintahan semacam itu, maka cita-cita untuk menciptakan tatanan sosial yang adil sesuai dengan ketentuan syari'at akan bisa direalisasikan. Cita-cita keadilan berdasarkan syari'at sebagaimana telah diuraikan di atas, merupakan cita-cita ideal bagi suatu pemerintahan Islam di bawah sistem Wilayat al-Faqih
.
Tujuan Pemerintahan Dalam Wilayat al-Faqih
Esensi dari tujuan pemerintahan Islam yang diakui secara umum adalah merealisaiskan pelaksanaan syari'ah dalam pemerintahan. Tujuan umum ini secara praktis dapat diterjemahkan sebagai upaya menegakkan keadilan di muka bumi. Tentu saja, keadilan yang dimaksudkan di sini adalah keadilan berdasarkan syari'at
.
Lalu apa sebenarnya keadilan itu ? Murtadha Muttahhari mendefinisikan dalam empat hal:
Pertama, keadilan adalah keadaan sesuatu yang seimbang. Apabila kita melihat kelompok tertentu yang di dalamnya terdapat bagian-bagian yang beragam yang menunjukkan satu tujuan tertentu, maka di situ pasti terdapat banyak syarat, dari segi kadar yang dimiliki oleh setiap bagian tersebut. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok tersebut dapat bertahan dan dapat memberikan pengaruh yang dikehendaki darinya, serta dapat menentukan tugas yang diletakkan untuknya.
Kedua, yang dimaksud keadilan adalah persamaan dan penafikan terhadap perbedaan apapun. Ketika dikatakan bahwa "si fulan adalah orang adil", maka yang dimaksudkan adalah bahwa fulan tersebut memandang sama setiap individu tanpa melakukan perbedaan.
Ketiga, keadilan adalah memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya dan menjaga dari kedzaliman. Pengertian keadilan seperti ini, yaitu keadilan sosial, adalah keadilan yang harus dihormati di dalam hukum manusia dan setiap individu benar-benar diperintahkan untuk menegakkannya
.
Keempat, pengertian keadilan ialah memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi dan tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan peralihan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk eksis dan melakukan transformasi.
Uraian di atas menunjukkan bahwa keadilan merupakan konsep yang relatif. Apabila seseorang menyatakan apa yang dianggapnya adil, maka itu harus relevan dengan tatanan sosial yang mapan, di bawah tatanan inilah diakui suatu skala keadilan tertentu. Skala keadilan berbeda dari budaya keadilan budaya dan masing-masing skala didefinisikan dan pada akhirnya ditentukan oleh masing-masing masyarakat berdasarkan tatanan sosialnya. Tetapi bagaimanapun skala-skala itu berbeda satu sama lain, nampaknya kesemuanya itu mempunyai beberapa unsur yang sama, yang disebut sebagai watak objektif universal kebijakan moral
.
Aspek terpenting bimbingan Ilahiyah adalah membuat manusia mencapai tujuan diciptakan dirinya, yakni untuk mencapai kemakmuran,
Allah telah menganugerahkan manusia intuisi dan kehendak untuk meningkatkan pemahamannya tentang mengapa dirinya diciptakan dan untuk mewujudkannya dengan mempergunakan pengetahuan mereka. Melalui bimbingan ini manusia diharapkan mengembangkan kemampuan untuk menilai tindakan-tindakannya dan untuk memilih mana yang tepat menuntun mereka keadilan dimensi keadilan. Betapapun hal ini bukan merupakan spiritual, namun harus terus tetap berusaha untuk direalisasikan mengingat kelemahan-kelemahan mendasar manusia.
Dalam konteks inilah bimbingan Ilahiyah yang mewujudkan dengan diri para Imam melalui "penunjukan" Nabi SAW, seringkali divisualisasikan sebagai mewakili transendensi Tuhan di muka bumi. Nabi Muhammad, dalam pandangan Syi'ah merupakan seorang pemimpin kharismatik sebagai manifestasi dari karakter politik-religius keselamatan Islam. Dengan demikian, otoritas kenabiannya meliputi kekuasaan untuk menafsirkan Qur'an guna menciptakan tatanan sosial yang adil dan setelah beliau wafat untuk meneruskan fungsinya menciptakan tatanan sosial yang adil, umat membutuhkan seorang pemimpin yang dapat memenuhi peran spiritual dan temporal (duniawi) mereka
.
Dengan kata lain, hanya seorang pemimpin kharismatik yang mendapat bimbingan langsung dari Tuhan inilah yang dapat menciptakan suatu tatanan masyarakat yang adil. Orang yang paling memenuhi syarat untuk tugas tersebut tidak ada lain kecuali anggota keluarga beliau (Ahlul Bait). Gagasan mengenai pemuliaan terhadap keluarga Nabi ini pada gilirannya menghasilkan suatu konsep yang kuat mengenai kepemimpinan "mesianis" (sang juru selamat) di kalangan Syi'isme, suatu keyakinan akan datangnya sang juru selamat dan penegak keadilan di zaman kelak yang lebih populer dengan sebutan Imam al-Mahdi
.
Implementasi Perundang-undangan dalam pemerintahan Wilayat al-Faqih
Konstitusi Republik Islam Iran merupakan satu-satunya undang-undang dasar di dunia yang secara eksplisit mencantumkan konsep Wilayat al-Faqih-nya Ayatullah Khomeini
.
Pada bagian Pembukaan Konstitusi 1979, antara lain tertulis: "Rencana Pemerintahan Islam yang berdasarkan Wilayat al-Faqih yang diwakili oleh Imam Khomeini…" Juga disebutkan bahwa, "Berdasarkan prinsip-prinsip Wilayat al-Faqih dan kepemimpinan yang terus-menerus (imamah), maka konstitusi mempersiapkan lahan bagi terwujudnya kepemimpinan oleh faqih…"
Atas dasar suatu "reinterpretasi revolusioner" dari setiap konsep Wilayat al-amr dan konsep imamah sebagai suatu prinsip kesinambungan (musiamar) kepemimpinan teokratis, maka ulama yang memegang tampuk kekuasaan diidentifikasikan sebagai wali al-amr (yang memiliki kekuasaan) dan jabatan tertingginya didefinisikan sebagai "kepemimpinan" (rahbani). Pasal 2 Konstitusi 1979 misalnya, menyebutkan Republik Islam sebagai suatu tatanan yang berdasarkan keyakinan pada: (1) tauhid, kemahakuasaan-Nya dan syari'at-Nya…(5) imamah dan kelanjutan kepemimpinan, serta peranan fundamentalnya demi kelanggengan revolusi Islam
.
Oleh karena itu, sebagai realisasi dari pasal-pasal tersebut, langkah Islamisasi masyarakat Iran mencanangkan penghapusan unsur-unsur yang tidak Islami dan pelaksanaan secara optimal tatanan Islam. Perubahan besar dalam personal dan komite revolusi diikuti dengan penerapan hukum dan kebijakan-kebijakan baru untuk mendidik dan memelihara masyarakat Islam. Dewan Penyeru Kebajikan dan Pencegah Dosa dibentuk untuk memantau kerusakan moral dalam masyarakat. Musik dan tarian di depan umum dilarang, klab malam dan bar ditutup. Begitu juga alkohol, perjudian yang cepat dan hukuman yang berat diterapkan oleh pengadilan-pengadilan revolusi. Pelacuran, perdagangan obat terlarang dan bentuk-bentuk kemaksiatan lain dijatuhi hukuman mati. Masjid-masjid dan media massa dimanfaatkan untuk menyebar tuntunan dan ideologi Islami negara
.
Draf pertama Konstitusi Republik Islam Iran disusun pada Juni 1979 oleh Majelis Muassisan (Majelis Konstitusi) yang dibentuk berdasarkan dekrit Ayatullah Khomeini. Para anggota Majelis Muassisan, yang kemudian diubah menjadi Majelis-i Khubregan (Majelis Ahli) ini dipilih oleh rakyat. Ketika bersidang untuk membahas konstitusi itu, para anggota majelis dari Partai Republik Islam memperkenalkan pembaharuan penting yang mengubah sifat dasar konstitusi secara fundamental dengan memasukkan pasal 5 mengenai Wilayat al-Faqih. Pasal itu berbunyi sebagai berikut:
Sepanjang keweajiban Imam segala zaman (semoga Tuhan mempercepat penjelmaannya yang diperbaharui), perintah dan kepemimpinan bangsa ada di tangan faqih yang adil dan alim, paham tentang keadaan zamannya, berani, bijak dan memiliki kemampuan administratif. Pada saat tidak ada faqih yang sangat dikenal oleh mayoritas, maka suatu dewan kepemimpinan yang terdiri dari fuqaha yang memiliki kecekapan seperti tersebut di atas akan memikul tanggung jawab sesuai pasal 107
.
Pasal 107 Konstitusi 1979 pada prinsipnya mensahkan Ayatullah Khomeini sebagai Wilayat al-Faqih, marja' al-Iqlid yang terkemuka dan pemimpin revolusi. Kecakapan khusus pemimpin atau Dewan Kepemimpinan menurut pasal 109 adalah: (1) memenuhi persyaratan dalam hal keilmuan dan kebijakan yang esensial bagi kepemimpinan agama dan pengeluaran fatwa: (2) berwawasan sosial, berani, berkemampuan dan mempunyai cukup keahlian dalam pemerintahan
.
Wilayat al-Faqih, menurut pasal 110 Konstitusi diberi tugas dan kekuasaan untuk menunjuk fuqaha pada Dewan Perwalian (Shuraye Nigabhan), wewenang pengadilan yang tertinggi, untuk mengangkat dan memberhentikan penglima tertinggi angkatan bersenjata dan panglima tertinggi pasukan pengawal revolusi Islam, untuk mengangkat keadaan perang dan damai, untuk menyetujui kelayakan calon-calon presiden dan untuk memberikan "presiden republik berdasarkan pada rasa hormat terhadap kepentingan negara". Oleh karena itu Konstitusi 1979 memberikan wewenang negara yang tertinggi dan berakhir kepada Wilayat al-Faqih (atau Dewan Fuqaha bila tidak ada Wilayat al-Faqih)
.
Dari sedikit gambaran tentang konsep Wilayat al-Faqih dalam Konstitusi 1979 Iran, maka nampak jelas bahwa ia tetap didasarkan pada prinsip imamah yang menjadi salah satu "rukun iman" dalam mazhab Syi'ah Imamiyah. Bisa juga dikatakan bahwa Wilayat al-Faqih dimaksudkan untuk "mengisi kekosongan politik selama masa gaibnya Imam kedua belas (Imam al-Mahdi). Pada masa kegaiban itu, faqih yang memenuhi syarat berperan selaku wakil Imam al-Mahdi, guna membimbing umat, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun sosial-politik. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep Wilayat al-Faqih, keberadaan sebuah pemerintahan Islam merupakan suatu keharusan spiritual maupun historis
.
Pada ulama Syi'ah menjunjung tinggi aspek asasiah doktrin imamah, dengan tetap berpegang pada keyakinan bahwa "hanya imam yang ditunjuk secara eksplisitlah yang berhak membuat keputusan mengikat dalam masalah yang mempengaruhi kesejahteraan umat manusia. Karena Imam itu ma'shum dan penafsir otoritatif wahyu Islami, maka ia adalah satu-satunya otoritas absah yang dapat menegakkan negara dan pemerintahan Islam. Namun, di bawah pengaruh kuat keadaan historis, imamah menjadi terbagi keadilan dalam temporal dan spiritual. Otoritas temporal Imam dipandang sebagai telah direbut oleh dinasti yang berkuasa, namun otoritas spiritual tetap dimiliki oleh Imam yang dipandang sebagai hujjah Tuhan mengenai kemahakuasaan-Nya, yang diberi kuasa untuk memandu kehidupan spiritual pada pengikutnya sebagai "Imam sejati". Tetapi dengan berdirinya Republik Islam Iran yang didasarkan pada konsep Wilayat al-Faqih, maka untuk sementara waktu otoritas temporal dan spiritual itu dapat dipadukan dalam diri para faqih
.
Salah satu kritik yang muncul berkenaan dengan konsep Wilayat al-Faqih adalah soal kriteria faqih yang bisa diangkat sebagai pemimpin. Jelas tidak mudah (bahkan sangat sulit) menemukan seorang faqih yang bisa memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi 1979 Iran di atas. Hal ini juga terlihat di Iran sesudah wafatnya Ayatullah Khomeini. Kendati proses pemilihan Ayatullah Ali Khomeini sebagai pengganti Ayatullah Khomeini berjalan cukup mulus, namun banyak kalangan yang berpendapat bahwa "kelas" Ali Khomeini masih "jauh di bawah"tokoh yang digantikannya itu.
Evaluasi atas pengalaman Iran sebagai sebuah Republik Islam sangat bervariasi, tetapi hanya sedikit yang meragukan bahwa perubahan-perubahan besar telah terjadi. Ketika menilai perubahan-perubahan selama ini setelah satu dasawarsa kepemimpinan Khomeini, Fouad Ajmi, seorang analis yang kritis mengenai struktur negara Timur Tengah, menyatakan: "Iran yang telah lahir setelah terjadinya pergeseran kekuasaan politik …oleh para teokrat dan kelompok mereka…Jika kita nilai catatanya sela satu dasawarsa, Iran merupakan sebuah negara yang mampu mengorganisasikan kampaye-kampaye besar yang mungkin dan tidak mungkin".
Negara yang tercipta melalui revolusi mempunyai kekuatan populis yang istimewa. Para faqih mampu memimpin negara jauh lebih mantap daripada sistem sebelumnya. Republik teokratis itu telah menutup kesenjangan yang melumpuhkan antara negara dan masyarakat yang sebelumnya menjadi ciri kehidupan politik Persia. Apakah upaya menjembatani kesenjangan antara negara dan masyarakat ini menandai adanya gerakan menuju sistem politik yang lebih demokratis atau tidak, hal ini masih diperdebatkan. Namun, ia telah memberikan landasan yang lebih memungkinkan terjadinya transisi yang sukses menuju era baru yang lebih baik
.
Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik di sini.
1. Di dalam pandangan kaum Syi'ah Imamiyah, terdapat kaitan yang sangan erat antara konsep imamah dan konsep Wilayat al-Faqih. Kedua-duanya merupakan pelanjut bagi misi kenabian guna memlihara agama dan mengatur urusan dunia. Jika para imam berkewajiban membimbing umat setelah berakhirnya "siklus wahyu", artinya setelah wafatnya Rasulullah saw, maka para faqih bertugas membimbing umat setelah berakhirnya "siklus imamah", dengan satu perbedaan, jika para imam memiliki sifah ma"shum, maka para faqih tidaklah memiliki sifat ishmah atau atribut-atribut istimewa lainnya sebagaimana yang dimiliki para imam
.
2. Implementasi perundang-undangan dalam pemerintahan Wilayat al-Faqih, adalah, jika kekuasaan eksekutif dan yudikatif ada pada faqih yang menjalankan fungsi selaku wakil para imam, maka kekuasaan legislatif sepenuhnya menjadi hak Tuhan. Oleh sebab itu, pemerintahan dalam Wilayat al-Faqih juga bisa disebut sebagai "pemerintahan hukum Tuhan atas manusia". Tetapi, ini bukan berarti tidak diperlukan adanya parlemen. Parlemen (majelis) diperlukan guna menyusun program untuk berbagai kementrian berdasarkan ajaran Islam dan menentukan bentuk pelayanan pemerintahan di seluruh negeri. Hal ini secara jelas dapat dilihat dalam konstitusi di Republik Islam Iran
.
3. Dengan demikian, dalam sistem Wilayat al-Faqih, kaum ulama menduduki posisi, baik sebagai pengawal, penafsir maupun pelaksana hukum-hukum Tuhan. Kedudukan dan fungsi yang sangat spesifik dan istimewa ini adalah bertujuan agar cita-cita menegakkan keadilan di muka bumi berdasarkan hukum Tuhan dapat direalisasikan secara baik dan benar.