Nilai-Nilai Tasawuf dalam Qasidah Karya KH. Zaini Mun’im Zaimatus Sa’diyah1 Abstrak This paper aims to describe the values of Sufism contained in qasidah written by Zaini Abdul Mun‟im, one of the ulama’ who has an important role in teaching values of Sufism in East Java, especially in the city of Probolinggo and surrounding. Through Pesantren; an educational institution, Zaini Abdul Mun'im teaches values of Sufism as an effort to get closer to God that has been widely taught and practiced in Indonesian society. Zaini Abdul Mun'im chooses akhlaqi sufism or sunni sufism which more emphasis on behavior improvement and cultivation of moral values practical. The values of akhlaqi sufism practiced in the community is not explicitly referred to the practice of Sufism, but implicitly contains the teachings and values of Sufism such as: the teaching of zuhud, taubah, wara’, patient, al-faqr, tawakkal and ridla which are really the maqaamaat should be taken by a Sufi to achieve a closeness with God. To make it easier to convey the values of sufism, Zaini Abdul Mun'im prepared qasidah that is read in every lesson he gives. It contains six values of sufism; 1. Loving the prophet Muhammad PBUH towards the love of God, 2. Doctrine of taubah, 3. Teachings to always accomplish worship and acknowledge self weakness, 4. Doctrine to invoke the protection of the faith, 5. Doctrine to make religion as a field of struggle, and 6. Teachings to always invoke husnul khatimah. All the teachings above are series of tahalli-oriented process which aims in planting positive values and morality in a person. All of this tahalli process will transmit the person to the goal of akhlaqi sufism, namely tajalli. Key words: Qasidah, Tasawuf Akhlaqi, Tahalli, Tajalli Pendahuluan Memahami tasawuf tentu akan lebih mudah dimulai dengan memahami makna yang terkandung dalam terma ini baik dari sisi etimologis maupun terminologis. Ada beberapa versi dan pendapat ulama terkait dengan perumusan makna etimologis dari terma ini.(Anwar & Solihin, 2000: 9-11) Salah satunya adalah yang berpendapat bahwa kemunculan terma tasawuf tidak bisa dilepaskan dari keberadaan “ahlu ash-shuffah” إٔو اىصفحyang merupakan sekelompok orang yang hidup pada masa rasulullah SAW dan banyak berdiam diri di serambi-serambi mesjid untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengabdi kepadaNya. Pendapat kedua menyatakan bahwa terma tasawuf berasal dari kata "shafa" صفاءyang berarti bersih dan suci. Hal ini sejalan dengan spirit yang terdapat dalam tasawuf sebagai sebuah usaha untuk membersihkan diri dari dosa dengan mendekatkan diri kepada Allah. pendapat
1
Penulis adalah Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus. Email:
[email protected]
ketiga menyatakan bahwa terma tasawuf berasal dari kata “shaf” ًّ صَفyang merujuk pada orang-orang yang selalu berada di barisan terdepan saat shalat. Ada pula yang menyatakan bahwa terma tasawuf merujuk pada orang-orang yang berasal dari Bani Shufah. Selain keempat pendapat di atas, ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa terma tasawuf merujuk pada sebuah kata dalam bahasa yunani; ٚ سَ٘فyang berarti kebijaksanaan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa terma tasawuf berasal dari kata “shuf” صُ٘فyang berarti bulu domba atau kata “shaufanah” ص٘فْحyang berarti buah-buahan kecil yang berbulu dan banyak tumbuh di gurun pasir. Kedua pendapat ini tidak bisa lepaas dari kebiasaan para ahli sufi yang menggunakan pakaian berbulu dari kulit domba. Terlepas dari perbedaan pendapat asal muasal terma tasawuf secara etimologis, satu hal tidak bisa dipungkiri adalah bahwa terma ini merupakan bentuk nomina dari verba -ذص٘ف رص٘فٝ yang mempunyai makna berpindah dari kehidupan biasa menuju kehidupan sufi. Artinya seseorang yang memasuki dunia tasawuf dia akan mencoba untuk menyesuaikan diri daengan tata cara yang selama ini sudah dibangun oleh para pendahulu dalam kesederhanaan penampilan, kedekatan dengan Allah dan kecintaan pada akhirat. Tidak hanya perdebatan dalam perumusan makna tasawuf secara terminologis, perdebatan dalam perumusan makna tasawuf secara etimologis juga terjadi. Namun demikian, ada tiga kelompok besar dalam definisi tasawuf ini. (Anwar, 2009:15-16, Nata, 2003: 180) A. Definisi yang mendasarkan pada fitrah dasar manusia sebagai makhluk yang serba terbatas Definisi ini menegaskan bahwa manusia sebagai makhluk yang serba terbatas dengan fitrahnya tidak akan menguasai semua hakikat, karena dibalik semua hakikat itu ada hakikat yang paling agung. Karenanya dengan fitrahnya ini manusia dituntun untuk mendekati Sang Pemilik hakikat yang Maha Agung. Berdasarkan pendapat pertama ini, sebagian ulama seperti Abu Husain An-Nuri (w. 272 H) dan Al-Junaidi (w. 296 H) mendefinisikan tasawuf sebagai usaha untuk membersihkan hati dari segala keburukan, dan segala penyakit hati melenyapkan sifat kemanusiaan dan menjauhi segala bentuk nafsu sehingga mereka layak mendapatkan kedudukan yang tinggi di mata Allah.
Dengsn demikian, manusia yang serba terbatas ini melalui tasawuf berupaya untuk mensucikan jiwa dengan menjauhkan diri dari pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya pada Allah. B. Definisi yang mendasarkan pada kesungguhan Definisi ini merujuk pada usaha sungguh sungguh yang dilakukan oleh para sufi berupa amalan-amalan dalam rangka mendekatkan diri pada Sang Khaliq. Berdasarkan hal ini, AnNuri menyatakan bahwa tasawuf merupakan akhlak yang hanya dapat dicapai dengan kesungguhan. Selain itu Sahal bin Abdillah menyatakan bahwa tasawuf adalah menyedikitkan makan, bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menjahui manusia. Definisi-definisi ini menunjukkan bahwa tasawuf membutuhkan usaha dan konsistensi yang tidak ringan. C. Derfinisi yang mendasarkan posisi manusia sebagai makhluk yang bertuhan Dari sudut pandang definisi ini, menyatakan bahwa seseorang yang sudah mendalami tasawuf harus mampu menguasai jiwanya serta mengarahkannya pada amalan-amalan yang mendekatkan diri pada Allah dan menjadikannya mampu merasakan kenikmatan saat bertaqarrub pada Allah. Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa pada intinya, tasawuf merupakan upaya dalam rangka melatih jiwa untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan dari godaan duniawi yang tercermin dalam kesalihan yang sempurna baik kesalihan spiritual maupun kesalihan social. Tasawuf sebagai salah satu upaya mendekatkan diri pada Allah sudah banyak diajarkan dan dipraktekkan di tengah masyarakat Indonesia. Ajaran tasawuf yang lebih mudah diterapkan untuk masyarakat awam adalah tasawuf akhlaqi atau tasawuf sunni yaitu ajaran tasawuf yang lebih menekankan pada perbaikan prilaku dan penanaman nilai-nilai moral praktis. Dalam tasawuf akhlaqi ini setiap pribadi diajak untuk menjalin hubungan yang erat dengan Allah, hubungan yang dilandasi atas rasa cinta yang tulus sehingga seorang hamba mampu merasakan keberadaan Tuhan dalam setiap detak jantungnya. Dengan demikian, hubungan yang terjalin ini akan memunculkan rasa bahagia dan kenikmatan yang tak terhingga saat ia bertemu dengan Tuhannya. (Anwar & Sholihin, 2000: 55).
Penanaman nilai-nilai tasawuf akhlaqi di tengah masyarakat telah banyak dilakukan oleh para tokoh masyarakat dan ulama‟. Meskipun nilai-nilai tersebut tidak secara gamblang disebut sebagai amalan tasawuf, namun secara implisit mengandung ajaran-ajaran tasawuf seperti ajaran akan zuhud, taubat, wara’, sabar, al-faqr, tawakkal dan ridla yang sesungguhnya merupakan maqaamaat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk mencapai kedekatan dengan Allah. (Anwar & Solihin, 2005:182, 2000: 56-62, Nata, 2003: 194, Anwar, 2009:78) Profil KH. Zaini Mun‟im Salah satu ulama yang cukup berperan dalam mengajarkan nilai-nilai tasawuf di Jawa Timur adalah KH. Zaini Abdul Mun‟im, Pengasuh pertama yang juga merupakan pendiri pesantren Nurul Jadid di Paiton probolinggo. Beliau merupakan putera pertama dari pasangan KH. Abdul Mun'im dan Ny. Hj. Hamidah yang lahir pada tahun 1906 di desa Galis Madura. Sejak kelahirannya, masyarakat Galis berharap banyak pada dirinya. Sebab dalam tubuhnya telah tergabung antara darah bangsawan dengan darah ulama yang mempunyai komitmen pada nilai nilai ajaran Islam, baik dari ayahanda maupun dari ibunda. Lebih-lebih, jika diruntut, silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui Bindere Sa'ud Bendoro Saud alias Temenggung Tirtonegoro, adipati Sumenep yang juga keturunan Pangeran Ketandur atau cucu dari Sunan Kudus. Sedang dari jalur ibunda, Lora Mughni adalah keturunan para Raja Pamekasan melalui jalur KH. Bujuk Azhar (Ratoh Sidabulangan), penguasa Kraton Pamekasan Madura. Ibunda Lora Mughni berasal dari Desa Palesanggar, Kecamatan Pegantenan Pamekasan Madura. Kehidupan keluarganya terkenal sebagai keluarga santri. Sejak usia dini, Zaini muda telah mendapatkan pendidikan agama dari kedua orang tuanya, Nyai Hj. Hamidah dan KH. Abdul Mun‟im, serta KH. Shanhaji, yang populer dengan sebutan Kiai Anom (saudara sepupu Kiai Abdul Mun‟im). Menginjak usia 11 tahun, pada masa penjajahan Belanda, Zaini muda masuk sekolah Wolk School (Sekolah Rakyat) selama empat tahun (1917-1921). Selanjutnya, beliau memperdalam Al-Qur‟an beserta tajwidnya kepada KH. M. Kholil dan KH. Muntaha, (menantu Kiai Kholil) di Pondok Pesantren Pademangan Bangkalan Madura. Pada usianya yang ke-16 ini Lora Zaini telah menghafal AlFiyah. Setelah itu, pada tahun 1922 beliau melanjutkan proses belajarnya ke Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan yang diasuh oleh KH. R. Abdul Hamid dan puteranya KH. Abdul Madjid. Selama tiga setengah tahun di pesantren ini, Lora Zaini semakin terlihat
kecerdasannya. Terbukti dengan kemampuannya dalam bidang tafsir, mengarang (tulismenulis) atau memberi I‟tibar (komentar) pada kitab-kitab yang dibacanya. Pada pertengahan tahun 1928, bersama dengan nenek, ibu dan adik kandungnya, Zaini muda berangkat ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan menetap di Sifirlain (atau dikenal dengan Pasar Seng) untuk menuntut ilmu. Beliau belajar di Makkah selama lima tahun. Adapun para ulama yang menjadi guru beliau antara lain: KH. M. Baqir (berasal dari Yogyakarta), Syekh Umar Hamdani AI Maghribi, Syekh Alwi Al Maliki (mufti Maliki di Makkah), Syekh Sa‟id Al-Yamani (mufti Syafi‟i di Makkah), Syekh Umar Bayunid (mufti Syafi‟i di Makkah), Syekh Yahya Sangkurah (berasal dari Malaysia), dan Syekh Syarif Muhammad bin Ghulam As-Singkiti. Ketika beliau menetap di Makkah, beliau menjadi pimpinan Lajnah Masa‟il bersama dengan KH. Hannan Tanggul Jember dan KH. Hazin Baladu Probolinggo. Sebelum pulang ke tanah air, beliau sempat mukim di Madinah selama enam bulan. Di sini beliau mengikuti berbagai pengajian di Masjid Nabawi dari beberapa ulama terkemuka saat itu, di antaranya dari Syekh lbrahim Al-Barry. Pada tahun 1934, Zaini muda pulang ke tanah air dan langsung menetap di Madura. Sejak tahun itu beliau akrab dipanggil KH. Zaini Mun‟im, Pengasuh Pondok Pesantren Panggung Galis Pamekasan. Kepribadiannya yang bersahaja, jujur, ikhlas, berdedikasi tinggi serta kepiawaiannya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul di tengah masyarakat
menjadikan
sosok
Zaini
muda
pada
masa
itu
sangat
dikagumi.
(http://www.nuruljadid.net/biografi-kh-zaini-munim.html) Setelah menikah dengan Nyai Nafi‟ah pada tahun 1937 beliau dikaruniai enam orang putra dan satu orang putri. Pasca berhijrah dan menetap di desa Tanjung Paiton probolinggo, pada tahun 60 an beliau mendirikan lembaga pendidikan yang hingga saat ini masih berdiri dan berkembang pesat di bawah kepemimpinan putra-putra dan putrid beliau secara berkelanjutan. Pesantren yang terkenal dengan nama pesantren Nurul Jadid ini hingga saat ini telah memiliki lembaga pendidikan dari jenjang pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Bahkan termasuk salah satu dari sepuluh pesantren terbesar di Indonesia versi situs dunia pesantren. Nilai-Nilai Tasawuf dalam Qasidah Karya KH. Zaini Mun‟im
Banyak karya-karya yang sudah ditulis KH. Zaini Mun‟im semasa hidupnya, diantaranya adalah kitab Taysirul Ushul fi Ilmil Ushul, Tafsirul Qur’an bil Imla’, Nazhmu Syu’abil Iman, Nazhmu Safinatun Najah, serta buku Beberapa Problematika Dakwah Islamiyah. Selain itu ada nadzam qasidah yang juga ditulis oleh KH. Zaini Mun‟im yang mengandung ajaran-ajaran tasawuf. Nadzam tersebut merupakan nadzam tawashshul yang biasa dibaca oleh santriwan dan santriwati pada saat menunggu waktu shalat atau menunggu waktu mengaji kitab. berikut ini adalah nadzam qasidah yang juga berisikan doa untuk memohon kekuatan iman dan islam pada diri pembacanya. شَٕاَٞاُ ٗ اإلسالً ٗ غِٝ ىق٘ج اإلٞذ اىَشسيٞذج اىر٘سو سٞقص سشاٜ اىقية حثٚ ٍِ ىٔ ف# ٙش اى٘سٞا خٝ ذ اىشسوٞس اىنشاٚ فٚع األح٘اه حرَٞ جٚ ف# ٌ حضشذنٚ إىٚ ش٘قٚقذ طغ ٙ ىزج ٍا قذ أسْٜرعش سٗحٞ ف# ْٜٞأذٝ فا ٍْلٞعو ط ٙ اىثشٚ فَّٜ٘ا تعذ مٞ ٗ ف# ٜاذٞ حٚ فٜ ٗ ٍْائٜا سجائٝ ٙ تعث اى٘سٚا ٗ فّٞ اىذٚ تل ف# ْٜجَعٝ ُ اىشحَِ أٚا عسٝ ٙ ٍِ مو ٕ٘ه طشٚ ٗ ّْج# ًً٘ اىضحاٝ ٚ أُ ذشفع ىٚٗ عس اىفضع األمثشْٜٞ ىرْج#
َاٞ شفعْٔ سٜٖا إىٝ
اىْاس قذ سعشاٚة فٖٞ ٗ ى# إر راك ٍِ ط٘ه اىحسابّْٜج قذ أقثشاَٜ ب إرا ٍا جس# اى٘حشح ذحد اىرشاْٜٗ ق ا ذشاٝ ٌٌٞ أٗ جحٞ ىْع# اىَ٘خ قذ رٕثدٚ فِٜ سٗحٝأ آٍو أُ ذغفشاّٜش أٞ غ# ذْٖذ ٍْٖا اىجثاهٜفزّ٘ت ٙ ٗ س٘ء ٍا قذ جشٜ ٍِ رّ٘ت# ل قثو اى٘فاجٞٗ ٍراتا إى اىَْنشاٜ ٗ إلصالح فعي# ىٔ قثو اىف٘اخْٜسب ٗفق األمثشاٜٖ إىٙ٘ ٗ ترق# ٙ تاىٖذِْٜ قس٘ج قيثٞى
ٗ شناّ ٜإىٞل ٍِ مسي ٗ # ٜقص٘س ٛعِ فعاه أخٞشا ٗاّنثات ٜف ٚاىزّ٘ب اىر # ٚتيغرْ ٜمو رً أغثشا ٗ ٍِ اىذاء الصٍا دائَا #مْد ٍْٔ ف ٚعَي ٜقاصشا فثجآ اىَصطف ٚخٞش اى٘س # ٙأعط قيثٕ ٜذاك اىْٞشا ٗ أعطٍْ ٜا ٕٗثد األٗىٞاء ٍ ٍِ #قاٍاخ اىٞق ِٞاألّ٘سا ٗاسقْ ٍِ ٜحَٞاء اىصفا #دائَا ٗدك سب األمثشا ّجْ ٍِ ٜمو داء ٗ تال ٍِ ٗ #اىششك فؤاد ٛطٖشا ٗ تأٝاذل اىخ٘اسق أٝذ ّٜ #إلحٞاء ٍيرل األصٕشا ٗ إلحٞاء ّٖضٔ اىعيَاء ٗ #ىحضب اإلسالً حقا أظٖشا ٗ أعط ْٔٞف ٚاىثالد دٗىح ّ #ا فزا أحناٍٖا مو اى٘سٙ ٗ أقَٔ عي ٚاىششٝعح ٗ اىسْح ٗ #اجعو حنََٖا ظإشا ٗ تحسِ اىخراً فاخرٌ حٞاذ ٗ # ٜسضا ٍْل إىٖ ٜأمثشا ٗ صالج اهلل عي ٚسٞذ اىشط - #ه تٖا اشَو عرشذٔ اىطٖشا ٗ جَٞع اىصحة ٗ أذثاعٌٖ #حرّ٘ ٚاف ٚاىثعث ٗ اىَحششا Nilai-nilai tasawuf dalam nadzam qasidah Mencintai Rasulullah sebagai wasilah menuju cinta Allah
1.
سٞذ اىشسو ٝا خٞش اى٘س ٍِ # ٙىٔ ف ٚاىقية حث ٜسشا Wahai Penghulu para Rasul, manusia terpilih # Yang merenggut cinta terindahku قذ طغ ٚش٘ق ٚإى ٚحضشذنٌ #ف ٚجَٞع األح٘اه حر ٚف ٚاىنشا Rasa rinduku padamu sudah memuncak #Menderaku setiap saat bahkan sampai mati
ٙ ىزج ٍا قذ أسْٜرعش سٗحٞ ف# ْٜٞأذٝ فا ٍْلٞعو ط Rindu itu terbawa hingga dirmu (Rasul SAW) datang dalam mimpi #Akupun
merasakan
kebahagiaan dan kenikmatan atas itu Bait-bait syair di atas menunjukkan betapa seorang yang ingin menjaga iman dan islamnya harus selalu menumbuhkan rasa cinta yang tak terhingga pada kekasih pilihan Allah, yaitu Muhammad SAW. Kecintaan yang menimbulkan rasa nyaman dan kenikmatan tersendiri saat menyebut dan mengingat sang kekasih. Kecintaan yang tidak terbatas pada pribadi Muhammad namun juga berimbas pada harapan agar Muhammad sang kekasih mampu mengantarkannya pada cinta sejati dari sang Maha Cinta. Dalam syair di atas disebutkan bahwa rasa rindu yang mendera KH. Zaini Mun‟im pada Muhammad SAW tidak lagi bisa dibendung, rindu yang muncul karena rasa cinta yang senantiasa terasa bahkan saat jasad telah terpisah dari ruh dan dimasukkan ke dalam liang lahat. Tentu saja rasa rindu yang demikian dahsyat tidak akan muncul kecuali dari jiwa yang mencintai dengan tulus dan ikhlas. Rindu yang sangat menggelisahkan tidak hanya menderanya saat terjaga namun juga terbawa dalam mimpi. Dalam mimpi itu sosok sang kekasih yang dirindukan muncul dan mampu mengobati kerinduan. Dalam bait ini, KH. Zaini Mun‟im ingin mengajarkan pada setiap santrinya untuk betul-betul bisa membangun rasa cinta pada baginda Nabi Muhammad SAW, rasa cinta yang betul-betul tulus dan mampu membawa mereka pada cinta hakiki dari Allah. Rasa cinta ini membawa pada harapan yang sangat besar agar kelak dapat bertemu dengan sang kekasih hati; Muhammad SAW di hari akhir. Hal ini dapat terlihat dalam syair selanjutnya: ٙ اىثشٚ فَّٜ٘ا تعذ مٞ ٗ ف# ٜاذٞ حٚ فٜ ٗ ٍْائٜا سجائٝ Betapa aku berharap dan berangan-angan
#
Tidak hanya untuk saat ini, namun juga
ketika aku sudah terkubur dalam tanah ٙ تعث اى٘سٚا ٗ فّٞ اىذٚ تل ف# ْٜجَعٝ ُ اىشحَِ أٚا عسٝ Semoga Dzat yang maha Pengasih mempertemukanku denganmu (wahai Rasul) # dunia dan di hari dibangkitkannya umat manusia
di
ٙ ٍِ مو ٕ٘ه طشٚ ٗ ّْج# ًً٘ اىضحاٝ ٚ أُ ذشفع ىٚٗ عس Dan semoga engkau (Rasul) memberiku syafa‟at pada hari hiruk-pikuk
#
dan
membantuku untuk selamat dari segala kejadian dan ujian pada hari itu اىفضع األمثشْٜٞ ىرْج#
Ya Allah Tuhanku, berilah pertolongan padanya (Rasul)
#
َاٞ شفعْٔ سٜٖا إىٝ
agar ia bisa membantuku
selamat dari hari kiamat اىْاس قذ سعشاٚة فٖٞ ٗ ى# إر راك ٍِ ط٘ه اىحسابّْٜج Selamatkanlah aku pada hari itu dari perhitungan amal yang panjang
#
dan
dari
api neraka yang sudah dinyalakan. Bait-bait syair di atas menunjukkan betapa rasa cinta sang mursyid (KH. Zaini Mun‟im) pada Rasulullah SAW melebihi cintanya pada diri sendiri. Hal ini dilandasi pada satu keyakinan bahwa cinta yang tulus pasti akan berbalas dengan ketulusan pula. Dapat kita lihat bahwa KH. Zaini Mun‟im memohon pada dengan tulus agar Allah berkenan memberi pertolongan pada Muhammad di hari akhir, karena dengan demikian diharapkan Muhammad sang Rasul kekasih hati akan memberikan pertolongan pada dirinya. Meski Rasulullah SAW adalah sosok yang ma‟shum yang terjaga dari pelbagai dosa dan khilaf namun sebagai bentuk rasa cinta kepadanya, semua ummatnya diajarkan untuk selalu membaca doa atas Rasul SAW dalam bentuk bacaan shalawat. 2.
Ajaran untuk Bertaubat قذ أقثشاَٜ ب إرا ٍا جس# اى٘حشح ذحد اىرشاْٜٗ ق
Lindungilah aku dari segala siksaan #
saat jasadku sudah terkubur ا ذشاٝ ٌٌٞ أٗ جحٞ ىْع# اىَ٘خ قذ رٕثدٚ فِٜ سٗحٝأ
Ah… kemanakah kelak jiwaku akan pergi
#
ke surga ataukah ke neraka آٍو أُ ذغفشاّٜش أٞ غ# ذْٖذ ٍْٖا اىجثاهٜفزّ٘ت
Dosaku sudah bertumpuk setinggi gunung
#
namun aku tetap mengharap ampunanMu
ٙ ٗ س٘ء ٍا قذ جشٜ ٍِ رّ٘ت# ل قثو اى٘فاجٞٗ ٍراتا إى padaMu aku bertaubat sebelum kematian
#
Dari dosaku dan segala kesalahanku اىَْنشاٜ ٗ إلصالح فعي# ىٔ قثو اىف٘اخْٜسب ٗفق
Tuhan… berikanlah taufiqMu untukku agar aku bisa bertaubat sebelum semua terlambat # dan berikan aku kesempatan untuk memperbaiki kemunkaran yang telah kuperbuat Taubat merupakan komitmen diri untuk kembali pada ajaran agama. Komitmen ini tentu saja diawali dengan pengakuan atas segala kesalahan yang sudah dilakukan, penyesalan yang mendalan dan diiringi dengan niat yang kuat untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut. Taubat harus terus dilakukan oleh setiap muslim sebagai bentuk pengakuan atas kekurangan diri. Taubat sebagai sebuah proses tentu tidak hanya dilakukan sekali dua kali, namun harus dilakukan secara konstan dan konsisten atau yang disebut dengan taubatan nashuaa. Secara etimologis, taubat berarti kembali. Kembali pada ajaran dan tuntunan agama. Hal ini berkaitan dengan sosok manusia yang diciptakan oleh Allah dengan kelemahan dan juga kelebihan. Godaan-godaan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia hanya bisa dihindari dengan kekuatan benteng keimanan seseorang. Namun ada kalanya seseorang terjebak pada kesalahan baik yang disengaja maupun tidak. Dalam kondisi seperti ini, saat seseorang menyadari kesalahan yang dilakukannya, maka sebaiknya dia segera bertaubat atau kembali pada ajaran agama. Taubat tidak hanya dianjurkan untuk menyesali dosa-dosa besar saja, namun juga dosa-dosa kecil yang dilakukan. Oleh karenanya Islam mengajarkan setiap pribadi muslim untuk senantiasa membaca istighfar. Istighfar merupakan salah satu kalimah thayyibah yang mengandung arti penyesalan seorang hamba atas segala kesalahan yang telah dilakukan, dan Allah yang Maha Pengampun sangat senang mendengar istighfar dan taubat yang dialkukan oleh hambaNya. Begitu dahsyatnya kekuatan istighfar sehingga dalam beberapa ayat Al-quran Allah menjanjika balasan yang luar biasa atas istighfar yang senantiasa dilantunkan oleh seorang hamba. Diantara janji tersebut adalah bahwa Allah akan memberi kenikmatan dan menambah keutamaan bagi mereka yang sanantiasa beristighfar. (Q.S. Hud: 2)
Taubat merupakan salah satu rangkaian amalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin memperoleh cinta hakiki. Bahkan taubat merupakan langkah awal yang harus dilakukan seorang hamba dalam rangka menempuh proses tahalli yang berorientasi pada penanaman nilai-nilai positif dan akhlaq terpuji pada diri seseorang . Proses ini dilakukan setelah proses takhalli yang berorientasi pada pensucian diri dari dari prilaku tercela. Begitu pentingnya taubat ini sehingga rangkaian proses tahalli tidak akan bisa ditempuh dengan sempurna jika tidak dimulai dengan taubat. Karena taubat merupakan landasan utama yang berlandaskan kesadaran untuk memulai pola hidup baru yang lebih baik. 3.
Ajaran untuk selalu menyempurnakan ibadah dan mengakui kekurangan diri األمثشاٜٖ إىٙ٘ ٗ ترق# ٙ تاىٖذِْٜ قس٘ج قيثٞى
Lunakkanlah kerasnya hatiku dengan petunjukMu #
dan juga dengan taqwa wahai
Tuhanku yang maha besar شاٞ عِ فعاه أخٛ ٗ قص٘س# ٜل ٍِ مسيٞ إىّٜٗ شنا Kuadukan padaMu kemalasanku
#
dan ketidaksempurnaanku dalam melaksanakan
kewajiban مو رً أغثشاْٜ تيغر# ٚ اىزّ٘ب اىرٚ فٜٗاّنثات (aku juga mengadukan) dosaku yang bertumpuk
#
yang menjadikanku pantas untuk
dicela قاصشاٜ عَيٚ مْد ٍْٔ ف# ٗ ٍِ اىذاء الصٍا دائَا Dan dari penyakit yang melandaku
#
yang menyebabkanku amalku tidak sempurna
Dalam bait-bait di atas terlihat bahwa KH Zaini Mun‟im mengajarkan kerendahan hati dengan mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukan terutama yang terkait dengan kelalaian dalam melakukan ibadah-ibadah, baik yang wajib maupun sunnah. Sikap rendah diri ini akan berbuah pada usaha untuk terus meningkatkan kwalitas ibadah seseorang. Pengakuan atas dosa juga merupakan satu cara untuk terus memperbaiki diri. Semakin besar
perasaan berdosa seseorang tentu penyesalannya semakin mendalam dan tentunya diharapkan mampu memberi efek positif pada perbaikan diri. Bisa jadi KH. Zaini Mun‟im terinspirasi syair Abu nuwas yang tentunya juga menginspirasi banyak orang untuk terus menanamkan kesadaran atas keterbatasan diri, ketidaksempurnaan dan rendahnya kwalitas keimanan. Dengan menanamkan kesadaran ini akan muncul semangat untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kwalitas ibadah dan keimanan seseorang. Dalam bait syair di atas, KH. Zaini Mun‟im juga mengadukan penyakit atau kebiasaan buruk yang seringkali dilakukannya dalam beribadah, sehingga menjadikan kwalitas ibadahnya tidak sempurna. Hal ini juga merupakan pengakuan atas kelemahan diri sebagai seorang hamba di hadapan Allah Tuhan yang disembah. Pengakuan ini menunjukkan tingginya tingkat tawadlu‟ dan sekaligus pertanda tidak adanya kesombongan dalam diri seseorang. karena sesungguhnya kesombongan hanyalah milik Allah. Ajaran ini juga merupakan rangkaian dari proses tahalli seorang hamba yang ingin menuju cinta hakiki pada Allah SWT. Dengan mengakui segala kelemahan yang dimiliki serta ketidaksempurnaan ibadah yang selama ini sudah dilakukan. 4.
Ajaran untuk memohon perlindungan atas ketetapan iman شاْٞ ٕذاك اىٜ أعط قيث# ٙش اى٘سٞ خٚفثجآ اىَصطف
Dengan kemuliaan Muhammad manusia pilihan
#
berikan
petunjukMu
yang
senantiasa menerangi hatiku ِ األّ٘ساٞقٞ ٍِ ٍقاٍاخ اى# اءٞ ٍا ٕٗثد األٗىْٜٗ أعط Dan limpahkanlah kepadaku (kemuliaan) yang Kau berikan pada para kekasihMu
#
berupa keyakinan yang menjadi penerang jiwa دائَا ٗدك سب األمثشا# اء اىصفاَٞ ٍِ حْٜٗاسق Dan siramilah hatiku dari telagaMu yang jernih
#
dengan cintamu wahai Tuhan
yang Maha besar طٖشاٛ ٗ ٍِ اىششك فؤاد# ٍِ مو داء ٗ تالّْٜج
Selamatkan aku dari segala penyakit hati dan cobaan
#
dan
sucikanlah
hatiku
dari mempersekutukanMu Iman yang bersemayam dalam hati manusia mengikuti ritme semangat dan ghirah setiap orang. Ada kalanya skala keimanan itu meningkat dan ada kalanya pula menurun. Semua tergantung pada banyak faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang muncul dalam diri seorang mukmin ataupun faktor ekternal berupa lingkungan, situasi dan kondisi yang dialaminya. Karena sifatnya yang fluktuatif ini maka setiap mukmin diajarkan untuk memohon perlindungan kepada Allah dari kelemahan iman dan memohon ketetapan iman kepada Allah. Selain ajaran untuk memohon perlindungan atas iman, setiap mukmin juga dianjurkan untuk melakukan ikhtiar untuk menjaga keimanan. Dalam sebuah syair yang populer di tengah masyarakat, sunan bonang mengajarkan beberapa hal yang bisa menjadi obat dari penyakit hati. Penyakit-penyakit hati tersebut tidak lain adalah hal-hal yang bisa menodai kwalitas keimanan seseorang. Dalam syair tombo ati ini, sunan Bonang menyebutkan ada lima hal yang bisa menjaga hati dan berimbas pada ketetapan iman seseorang. Kelima hal tersebut adalah; 1. Membaca alqur’an disertai dengan usaha untuk memahami setiap makna yang terkandung di dalamnya. Anjuran ini menyadarkan setiap orang bahwa alquran selain mempunyai keistimewaan pada setiap huruf yang ada di dalamnya juga merupakan petunjuk bagi setiap ummat manusia, utamanya orang-orang yang beriman. Oleh karenanya membaca setiap ayat-ayatnya saja tidak akan cukup mengantarkan pada pemahaman yang komprehensif. Dan alqur‟an mempunyai keistimewaan yang tidak tertandingi. Membaca al-qur‟an tanpa memahami maknanya sudah mampu memberikan kedamaian hati baik pada yang membaca maupun yang mendengarkan, apalagi pembacaan ini disertai dengan pemahaman atas setiap makna yang terkandung di dalamnya, maka akan semakin terasa deep impact yang diperoleh oleh pembacanya. Abdullah Nasih „Ulwan menyatakan bahwa jika seseorang rutin membaca al-quran dengan tartil, disertai dengan hati yang khusyu‟ dan tunduk maka akan terbuka pintu hatinya dan terpancar cahaya keimanan dalam dirinya. (1994:236) 2. Membiasakan shalat malam. Shalat malam merupakan amalan yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan Allah menjanjikan kemuliaan bagi orang-orang yang mau mendekatkan diri pada Allah di sepertiga malam. Keistimewaan ini tentu saja bukan tanpa alasan, karena hanya orang-orang yang benar-benar mencintai Allah saja yang mampu mengalahkan segala godaan dan gangguan rasa kantuk di malam hari untuk mendirikan shalat malam. Keheningan malam yang sunyi
mampu memberikan ketenangan dan kekuatan batin bagi siapapun yang melaksanakan shalat malam, oleh karenanya penyakit-penyakit hati akan dengan mudah diminimalisir. 3. Bergaul dengan orang-orang shalih. Sebagai makhluk sosial, manusia tentu membutuhkan lingkungan untuk bersosialisasi. Kepribadian yang matang dan terasah akan menjadikan kehidupan sosial seseorang menjadi mudah dilalui. Namun menjadi pribadi yang matang tentu membutuhkan proses yang tidak sebentar. Lingkungan sekitar baik dari keluarga, sekolah dan masyarakat sekitar mempunyai peran yang sangat besar dalam pembentukan kepriabadian seseorang. Maka jika seseorang menginginkan untuk menjaga kualitas keimanan dan menjaga kebersihan hatinya dia harus pandai-pandai memilih lingkungan yang mendukungnya untuk mencapai keinginan itu. Tidak salah jika kemudian sunan bonang mengemukakan dalam syair tombo ati ini bahwa berteman dengan orang shalih merupakan salah satu cara dan ikhtiar untuk menjaga hati dan keimanan seseorang. 4. Berpuasa secara rutin. Salah satu makna filosofis dari kewajiban berpuasa adalah untuk melatih kesabaran, memupuk empati serta meneguhkan kekuatan imam seseorang. Maka tidak heran jika kemudian berpuasa merupakan salah satu tiang utama kesempurnaan islam seseorang. Tentu saja yang dimaksud dengan puasa di sini tidak hanya puasa wajib pada bulan ramdahan saja, namun juga dilengkapi dengan puasa-puasa sunnah yang dilakukan secara rutin. Melaksanakan puasa secara rutin tidak hanya berdampak pada kesehatan mental namun juga mempunyai peran yang signifikan dalam menjaga kesehatan fisik. 5. Memperbanyak dzikir malam. Melaksanakan shalat malam di sepertiga malam akan semakin sempurna jika diikuti dengan dzikir. Dzikir merupakan aktifitas mendekatkan diri pada Allah melalui bacaanbacaan kalimah thayyibah atau bacaan al-quran. Dzikir yang dilakukan oleh seseorang akan benar-benar memberikan rasa tenang dan kebahagiaan jika dilakukan dengan penuh ketundukan dan kesadaran bahwa Allah adalah pemilik hakiki dari dirinya. Usaha-usaha untuk menjaga ketetapan iman dan kesucian hati tentu saja harus dilakukan secara terus menerus dan dilandasi dengan keyakinan serta kerendahan hati di hadapan Allah. Sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW bahwa inti dari setiap amal perbuatan adalah istiqamah atau konsistensinya. 5.
Ajaran untuk menjadikan agama sebagai ladang untuk berjuang اء ٍيرل األصٕشاٞ إلحّٜ # ذٝاذل اىخ٘اسق أٝٗ تأ
Dan dengan ayat-ayatMu yang melampaui batas kemampuan manusia
#
Kuatkanlah aku untuk menjaga agamaMu yang indah ini ٗ ىحضب اإلسالً حقا أظٖشا# اء ّٖضٔ اىعيَاءٞٗ إلح Dan untuk menghidupkan jamiyah Nahdlatul Ulama
#
dan
berikanlah
pertolongan pada Islam dalam pemerintahan negri ini ٙ ّا فزا أحناٍٖا مو اى٘س# اىثالد دٗىحْٚٔ فٞٗ أعط Jadikanlah Islam bermartabat di negri ini
#
(ajaran-ajarannya)
terpantul
dalam
prilaku setiap penduduknya ٗاجعو حنََٖا ظإشا# عح ٗ اىسْحٝ اىششٚٗ أقَٔ عي Berikanlah kemampuan pada negri ini untuk
#
menegakkan syariah dan sunnah
nabiMu Dalam bait-bait di atas terlihat jelas semangat perjuangan yang tertanam dalam diri KH. Zaini Mun‟im, perjuangan untuk menegakkan ajaran Islam di bumi pertiwi. Perjuangan yang tidak hanya dilandasi oleh semangat spiritual namun juga totalitas material. Dunia pendidikan dan perniagaan menjadi pilihan jalan perjuangan KH. Zaini Mun‟im. Ya, latar belakang dan pola pendidikan keluarga yang sudah tertanam sejak kecil menjadikan zaini tumbuh sebagai sosok yang tangguh dan kuat secara fisik dan mental. Pengembaraan ilmiyah yang dilakukan baik di pesantren-pesantren di Jawa maupun di Saudi Arabia menjadikan KH. Zaini Mun‟im pribadi yang siap untuk terjun dan berjuang untuk agama. Berjuang untuk agama melalui jalur pendidikan merupakan pilihan tepat, hal ini terbukti dengan semakin berkembangnya pesantren yang dulu dirintisnya. Tentu saja perjuangan yang dilakukan dan dijalaninya membutuhkan keteguhan niat dan kesiapan moral dan material yang tidak sedikit. Meski tidak tersurat, ajaran untuk hidup zuhud tampak jelas tertanam dalam diajarkan oleh KH. Zaini mun‟im kepada para santrinya. Hal ini terlihat dalam ajakan untuk berjuang demi agama secara total, mengedepankan kepentingan agama dari kepentingan pribadi.
Jika bukan karena kesederhanaan dan kecintaan pada kepentingan agama serta terkuburnya kecintaan pada dunia, maka perjuangan KH. Zaini Mun‟im tidak akan pernah terwujud. Tercatat dalam sejarah, bagaimana beliau turun secara langsung dalam mengurus perdagangan dan pertanian yang hasilnya digunakan untuk mengabdi pada dunia pendidikan. Ketika KH. Zaini Mun‟im mencapai usia 22 tahun, beliau dipercaya untuk mengendalikan dan mengembangkan usaha pertanian dan perdagangan ayahandanya. Yang menarik adalah bahwa hasil yang diperoleh dari usaha ini dipergunakan untuk menuntut ilmu ke beberapa pesantren baik di Madura maupun di Jawa. Terutama di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy'ari (Pendiri Organisasi Nahdlatul Ulama). Di pesantren ini, beliau mempertajam ilmu agama dan ilmu bahasa Arab pada tingkatan yang lebih atas lagi, baik kepada Kiai Hasyim, KH. Maksum bin Kuaron Seblak (menantu Kiai Hasyim) maupun kepada KH. Wahid Hasyim (Putera Kiai Hasyim). KH. Zaini Munim juga menyempatkan untuk mengikuti pengajian kitab Tasawwuf yang diasuh KH. Hazim di Pondok Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, Jawa Timur. Selain itu, kecintaannya pada ilmu juga terlihat pada semangat untuk terus mengikuti pengajian KH. Abdul Madjid di Pondok Pesantren Banyuanyar, di sela-sela kesibukannya untuk mengurus pesantren dan usahanya. serta mengikuti pengajian kitab Tasawwuf yang diasuh KH. Hazim di Pondok Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, Jawa Timur. Andai saja tidak tertanam sikap zuhud pada diri KH. Zaini mun‟im, maka bukan tidak mungkin beliau tidak memilih berjuang menegakkan ajaran agama islam melalui jalur pendidikan. 6.
Ajaran untuk selalu memohon husnul Khatimah أمثشاٜٖ ٗ سضا ٍْل إى# ٜاذٞٗ تحسِ اىخراً فاخرٌ ح
Ya Allah, ku mohon berikan kepadaku akhir hayat yang indah
#
yang
Engkau
ridlai wahai Tuhanku yang Maha Besar ه تٖا اشَو عرشذٔ اىطٖشا- # ذ اىشطٞ سٚٗ صالج اهلل عي Semoga shalawat selalu tercurahkan atas penghulu pala rasul
#
dan
seluruh
keluarganya serta keturunannya yang suci اىثعث ٗ اىَحششاٚ ّ٘افٚ حر# ٌٖع اىصحة ٗ أذثاعَٞٗ ج
Dan juga seluruh sahabat dan pengikutnya
#
hingga hari kebangkitan
Syair-syair di atas merupakan penghujung dari qasidah karya KH. Zaini mun‟im. Di penghujung qasidah ini ada satu permintaan dan harapan yang dipanjatkan oleh KH. Zaini Mun‟im yang tentunya juga merupakan harapan utama dari setiap muslim. Harapan untuk mencapai husnul khatimah. Sebagaimana diketahui bahwa dunia merupakan ladang ibadah bagi setiap muslim. Semakin banyak kebaikan yang ditanam maka akan semakin banyak pula pahala yang disiapkan Allah di akhirat, demikian sebaliknya. Namun rentang waktu yang diberikan Allah pada setiap hambanya dari awal penciptaan hingga akhir hayatnya di dunia akan sangat bergantung pada akhir dari kehidupannya di dunia. Oleh karena itu setiap muslim dianjurkan untuk selalu memohon kebaikan di penghujung hidupnya atau disebut dengan husnul khatimah. Karena husnul khatimah merupakan perlambang akan kebaikan kehidupan di akhirat, demikian juga sebaliknya, su’ul khatimah merupakan perlambang keburukan kehidupan di akhirat. Selain mengharapkan husnul khatimah, dalam syair ini KH. Zaini Mun‟im juga memohon keridlaan Allah SWT yang merupakan kunci dari setiap langkah kehidupan. Apalah arti dari setiap usaha dan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang jika ternyata tidak bertepatan dengan ridla dari Allah SWT, semuanya akan menjadi sia-sia belaka. Tentu ridla Allah merupakan hak prerogatif dari Allah. Tidak ada seorangpun yang tahu apakah amalannya diridlai Allah ataupun tidak. Namun Islam sudah mengajarkan tata cara untuk mencapai keridlaan tersebut, yaitu dengan melaksanakan setiap amalan sesuai dengan ajaran dan tuntunan yang ditetapkan. Selebihnya tentu doa untuk mencapai husnul khatimah ini harus terus dilantunkan, sehingga ikhtiyar yang dilakukan tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban namun juga dibarengi dengan pendekatan doa. Penutup Keenam ajaran yang disampaikan KH. Zaini Mun‟im dalam bait-bait qasidah ini mengajak pada satu muara; penguatan iman dan taqwa. Kekuatan iman dan taqwa pada diri seseorang akan mampu membawanya pada pencapaian yang hakiki atas ridla dan cinta dari Allah Sang Maha Cinta. Kehidupan manusia sejatinya adalah pengembaraan menuju satu tujuan utama. Dan tidak ada tujuan yang lebih utama selain menggapai ridla dan cinta dari Allah SWT. Dan keenam ajaran di atas merupakan media untuk menuju ridla dan cinta hakiki itu.
Ajaran-ajaran di atas merupakan rangkaian proses tahalli yang berorientasi pada penanaman nilai-nilai positif dan akhlaq terpuji pada diri seseorang. sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf akhlaqi ada beberapa tahap yang harus ditempuh oleh seseorang untuk bisa mencapai tujuan utama prilaku tasawuf; yaitu menjalin hubungan yang erat dengan Allah Sang pencipta dengan dilandasi rasa cinta yang tulus untuk mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Tahap pertama adalah takhalli, yaitu proses pengosongan diri dari berbagai kekurangan berupa akhlaq tercela, kelalaian dalam beribadah. Dalam tahap ini seorang hamba diajak untuk membersihkan diri dari berbagai kekurangan dan kekhilafan yang selama ini sering dilakukan baik secara sadar dan disengaja maupun tidak. Proses ini merupakan titik tolak fundamental sebelum menuju pada proses pembiasaan diri dengan niali-nilai kebaikan (tahalli) yang bisa menggantikan kesalahan-kesalahan yang sudah diminimalisir dan ditinggalkan pada tahap sebelumnya. Tahap selanjutnya adalah tahap puncak dimana seorang hamba mampu menyingkap nur ghaib yang ditandai dengan kecintaan yang tak terhingga yang dapat dirasakan oleh seorang hamba dalam setiap detak jantungnya. Seorang hamba yang telah mencapai tahapan ini akan benar-benar menjadi khalifah dalam arti yang sesungguhnya. Hamba yang benar-benar mampu menjadikan setiap tingkah lakunya adalah cermin dari ajaran-ajaran yang ditetapkan oleh Allah. tidak ada perkataan yang menyakitkan, perbuatan yang tercela, perasaan dengki, kesombongan, keserakahan dan keburukan-keburukan yang lain yang muncul dari dirinya, karena setiap prilaku yang muncul selalu bertepatan dengan keridlaan Allah SWT. Para sufi berpendapat bahwa untuk mencapai tingkat tertinggi dalam rangkaian tasawuf akhlaqi ini hanya ada satu cara yang bisa ditempuh, yaitu memupuk rasa cinta yang mendalam pada allah SWT. (Anwar & Solihin, 2000: 62) Rasa cinta ini tentu saja tidak hanya sekedar ungkapan verbal namun diimplementasikan dalam bentuk yang lebih luas melalui amalan-amalan kebaikan fisik maupun mental. Setelah melakukan analisis atas nilai-nilai tasawuf dalam qasidah di atas, ada satu hal menarik bisa disimpulan. Yang pertama adalah bahwa ajaran tasawuf yang terdapat dalam kasidah karya KH Zaini Mun‟im ini merupakan ajaran tasawuf akhlaqi. Hal ini tidak lepas dari posisi dan tanggung jawab beliau sebagai seorang tokoh agama di tengah masyarakat yang membutuhkan siraman-siraman rohani yang bersifat praktis dan mudah difahami. Kedua, sebagaimana judul yang diberikan pada bait qasidah ini yaitu qasidah tawassul untuk kekuatan iman dan islam, maka ajaran-ajaran tasawuf yang terkandung dalam bait
qasidah ini bermuara pada pengharapan akan kekuatan iman dan islam melalui pengakuan akan kelemahan diri, kekurangan dalam ibadah, ajakan bertaubat yang diperkuat dengan doadoa. Kesemua proses tahalli ini akan mengantarkan pada muara utama tujuan tasawuf akhlaqi yaitu tajalli. Wallahu A‟lam Bahan Bacaan Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2009 -------------------- & Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2000 -------------------- Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2009 Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 Sholihin, M dan Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika, dan Makna hidup, Bandung: Penerbit Nuansa, 2005 Ulwan, Abdullah Nasih, Asy-syabab al-muslim fi Muwajahati at-tahaddiyyat, Damaskus: Dar el-Qalam, Beirut: Ad-Dar Asy-Syamiyah, 1994 http://www.nuruljadid.net/biografi-kh-zaini-munim.html, terakhir diunduh 20 Oktober 2015.