LAPORAN PENDAHULUAN MORBUS HANSEN (KUSTA)
A. PENGERTIAN
Morbus Hansen (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi mycobacterium leprae (Kapita Selekta Kedokteran UI, 2000)
Penyakit Morbus Hansen adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya (Departeman Kesehatan, Dit. Jen PPM & PL, 2002)
Jadi, Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Myrobacterium Lepra yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
B. ETIOLOGI
Mycrobacterium Lepra yang merupakan bakteri tahan asam, bersifat obligat intraseluler yang ditemukan oleh G. A. Hansen. Masa membelah diri Mycrobacterium leprae memerlukan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 1221 hari masa tunasnya antara 40 hari sampai dengan 40 tahun. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta Multibasiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung, melalui saluran pennapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung dengan penderita yang lama dan erat). Kuman tersebut dapat ditemukan di f olikel rambut, kelenjar keringat,septum dan air susu ibu.
Faktor Yang Menyebabkan Timbulnya Penyakit Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti, namun hal ini tergantung pada beberapa faktor, yaitu 1. Patogenesis kuman Mycobacterium leprae, kuman Kusta tersebut masih utuh bentuknya maka memiliki kemungkinan penularan lebih besar daripada bentuk kuman yang telah ibat pengobatan. hancur ak ibat
2. Cara penularan, melalui kontak langsung dengan daerah yang terdapat lesi basah, berganti-gantian baju, handuk, melalui sekret serta udara. 1
3. Keadaan sosial ekonomi yang terbatas sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidup seperti makanan yang bergizi, tempat tinggal yang kumuh. 4. Higiene dan sanitasi berhubungan dengan keadaan sosial juga dimana orang-orang yang mengalami keadaan sosial rendah tidak bisa memenuhi kebutuhan hygienenya seperti membeli sabun, kebersihan air tidak terjamin akibat permukiman padat penduduk, ventilasi rumah yang tidak bagus, pencahayaan yang 5. Daya tahan tubuh, imun tubuh juga mempengaruhi dalam masuk dan berkembangnya virus M.Leprae.
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Kulit dengan bercak putih atau kemerahan dengan mati rasa
2. Penebalan pada saraf tepi disertai kelainan fungsinya berupa mati rasa dan kelemahan
pada otot tangan, kaki dan mata.
3. Adanya kuman tahan asam (BTA positif) pada pemeriksaan kerokan kulit
D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme
penularan
penyakit Morbus
Hansen
diawali
dari
kuman
. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel serta M ycobacter i um L eprea mempunyai sifat tahan asam ( BTA) . Kuman Morbus Hansen ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat. Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan 2
seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan. Kerusakan saraf pada pasien M orbus Hansen diakibatkan M.Leprae yang
memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindungi di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang makrofag
bekerja terus-
menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF(Growht Factor) yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenal bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional.
Akibatnya akan mengalami
gangguan fungsi saraf tepi seperti sensorik, motorik dan otonom. Serangan terhadap fungsi sensorik akan menyebabkan terjadinya luka pada tangan atau kaki, yang selanjutnya akan mati rasa (anestasi). Kerusakan fungsi motorik akan mengakibatkan lemah atau lumpuhnya otot kaki atau tangan, jari-jari tangan atau kaki menjadi bengkok. Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan pecah-pecah yang pada akhirnya akan membuat si penderita cacat seumur hidup. Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa hipopigmentasi (semacam panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan kulit) dan nodul (benjolan). Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Penyakit ini dapat menimbulkan ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis. Pada kornea mata akan terjadi kelumpuhan pada otot mata mengakibatkan kurang atau hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran dan benda benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan. Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, 3
mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan
Pathway:
Infeksi Myobakterium leprae
Morbus hansen
Saraf tepi
kulit
Bercak hipopigmentasi / kemerahan
Penebalan dan anestesi
motorik
N fasialis
N ulnaris & N medianus
N tibia posterior
Paralisis jari tangan
Paralisis jari kaki
otonom
sensorik
Gg kelenjar keringat dan minyak
Penebalan saraf
legoptalmus Gatal gatal
ulcerasi
Kemampuan berkedip << Claw hand & claw finger
Port de entri luka
resiko infeksi
Kulit kering dan bersisik
Terjadi luka
Claw toes
Epitell mata kering
gg persepsi sensori penglihatan
anastesia
Kerusakan integritas kulit
resiko cidera
intoleransi aktifitas
gangguan citra diri
4
E. KLASIFIKASI LEPRA
1. Tipe Tuberkuloid (TT) Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta. 2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT) Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal. 3. Tipe Mid Borderline (BB) Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas. 4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL) Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. 5. Tipe Lepromatous Leprosy Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak 5
penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
F.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul, dan tertawa
untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis). 2. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba), jarum
pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu). 3. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. auricularis magnus, n.
ulanaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba. 4. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi
akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta. Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler menurut P2MPLP
Kelainan kulit dan hasil
Tipe Pause Basiler
Tipe Multi Basiler
a. Jumlah
1-5
Banyak
b. Ukuran
Kecil dan besar
Kecil-kecil
c. Distribusi
Unilateral
pemeriksaan bakteriologis 1. Bercak (makula)
atau
bilateral Bilateral, simetris
asimetris d. Permukaan
Kering dan kasar
Halus, berkilat
e. Batas
Tegas
Kurang tegas
f. Gangguan
Selalu ada dan jelas
Biasanya tidak jelas, jika
sensitibilitas
ada, terjadi pada yang
6
sudah lanjut g. Kehilangan
Bertcak tidak berkeringat, Bercak masih berkeringat,
kemampuan
ada
berkeringat,
bulu
rontok
pada bulu tidak rontok
bulu bercak
rontok pada bercak 2. Infiltrat a. Kulit
Tidak ada
Ada, kadang-kadang tidak ada
b. Membrana (hidung
mukosa Tidak pernah ada
Ada, kadang-kadang tidak
tersumbat
pendarahan
ada
di
hidung) 3. Nodulus
Tidak ada
Kadang-kadang ada
4. Penebalan syaraf tepi
Lebih sering terjadi dini,
Terjadi pada yang lanjut,
asimetris
biasanya lebih dari satu dan simetris
5. Deformitas (cacat)
Biasanya asimetris terjadi Terjadi pada usia lanjut dini
6. Sediaan apus
BTA negatif
7. ciri-ciri khusus
Central
BTA positif healing punched
penyembuhan di tengah
Dikutip dan dimodifikasi dari Buku Panduan Pemberantasan Kusta Depkes (1999)
Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler berdasarkan WHO (1995) Tipe Pause Basiler
Lesi kulit
Tipe Multi Basiler
1-5 lesi
>5
(macula datar, papul
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi
yang meninggi, nodus)
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi yang
lebih
simetris
Hilangnya sensasi
Banyak cabang saraf
jelas
Kerusakan saraf
Hanya satu cabang saraf
(menyebabkan 7
hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)
Dikutip dan dimodifikasi dari WHO (1995)
5. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif
Kulit muka sebaiknya dihindari karena lalasan kosmetik, kecuali tidak ditemukan lesi di tempat lain
Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul
Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. leprae ialah : a.
Cuping telinga kiri/kanan
b.
Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain
Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindari karena : a.
Tidak menyenangkan pasien
b.
Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c.
Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput lendir hidung apabila sediaan apus kulit negative
d.
Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lender hidung lebih dahulu negative daripada sediaan kulit ditempat lain
Indikasi pengambilan sediaan apus kulit : a.
Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b.
Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
c.
Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat
d.
Semua pasien Multi Basiler setiap satu tahun sekali
Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu Ziehl Neelsen atau Kinyoun-gabett.
Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah/ seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin 8
ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granular (granulates), globus, dan clamps. 6. Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus, IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut : 0
bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
+1
Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
+2
Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
+3
Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+4
Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+5
Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+6
Bila > 1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
7. Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat. Contoh menghitung IB dan IM sebagai berikut :
Lokasi pengambilan
Kepadatan
Solid
Fragmented/granulated
Daun telinga kiri
5+
5
95
Daun telinga kanan
4+
6
94
Paha kiri
4+
3
97
Bokong kanan
4+
4
96
17 +
18
382
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin dan DDs dmluai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. 9
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai berikut
Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuki orang dewasa : 1) Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas 2) Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah 3) DDS 100 mg/hari diminum di rumah Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam wktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteti positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
Dosis untuk anak
Klofazimin : Umur <10 tahun
: Bulanan 100 mg/bulan Harian 50 mg/2 kali/minggu
Umur 11-14 tahun : Bulanan 100 mg/bulan Harian 50 mg/3 kali/minggu DDS : 1-2 mg/jkg berat badan Rifampisin :10-15 mg/kg berat badan
Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta tipe Pause Basiler dengan lesi hanya satu cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg, dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe Pause Basiler dengan lesi 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe Multi Basiler diberikan sebagai obat alternative dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.
Putus Obat
Pada pasien kusta tipe Pause Basiler yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe Multi Basiler dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
H. INDIKASI RUJUKAN
a. Memastikan diagnosis penyakit kusta 10
b. Neuritis akut dan subakut c. Reaksi reversal berat d. Reaksi ENL berat e. Komplikasi pada mata f. Reaksi terhadap antikusta g. Tersangka resisten terhadap antikusta h. Pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi medic i.
Pasien dengan keadaan umum buruk atau darurat
j.
Pasien kusta yang membutuhkan latihan fisioterapi
k. Pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi l.
Luka lebar dan dalam pada anggota gerak
m. Pasien kusta yang menbutuhkan tindakan bedah septic n. Pasien yang memerlukan protese o. Indikasi social
I.
KOMPLIKASI
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.
J.
REHABILITASI
Usaha-usaha rehabilisasi meliputi medis, okupasi, kejiwaan, dan social. Usaha medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Terapi kejiwaan berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis. Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social ekonomi pasien sehingga menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan social dan peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha pasien.
11
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN (KUSTA)
A. Pengkajian
1.Identitas klien Kusta sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan, status ekonomi rendah dengan status gizi buruk, banyak terjadi pada usia produktif antara 12-14 tahun 2.Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung dan alergi 3.Pengkajian persistem 1. B1(pernafasan). Adanya sesak, irama nafas tidak teratur, takipneu 2. B2(kardiovaskuler). Tidak ada nyeri dada, irama jantung normal, suara jantung normal, CRT ≥ 2 detik, akral hangat kering merah, JVP normal 3. B3(Persyarafan) GCS = 456, terdapat gangguan tidur, mata lagopthalmus, terdapat gangguan pendengaran, bentuk hidung saddle nose, penebalan saraf tepi (nervus facialis, suralis, auricularius magnus, ulnarius, radius, medianus, proneus, tibialis posterior) 4. B4(Perkemihan). Tidak terdapat masalah 5. B5(Pencernaan). Terdapat nodul pada bibir, mukosa stomatitis, nodul pada uvula, ada mual, penurunan nafsu makan, porsi makan tidak habis 6. B6(Integumen). Pergerakan sendi terbatas, kelainan ekstremitas, terdapat claw hand, claw thumb, drop foot, absorbsi, deformitas, atropi radialis cutaneus, kulit hiperpigmentasi, kering dan bersisik B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman: nyeri akut b.d inflamasi pada syaraf 2. Kerusakan integritas kulit b.d perubahan status metabolik akibat infeksi M.Leprae pada saraf tepi 3. Gangguan konsep diri b.d perubahan bentuk tubuh, warna kulit dan adanya luka pada tangan dan kaki sekunder terhadap proses penyakit leprae 4. Koping individu inefektif b.d kurangnya informasi tentang efek samping pengobatan MDT 12
C. Intervensi Keperawatan 1) Gangguan rasa nyaman: nyeri akut b.d inflamasi pada syaraf
Tujuan
: Nyeri berkurang atau hilang dalam waktu 3 X 24 jam
Kriteria Hasil
:
a.
Ungkapan tidak ada nyeri
b. Wajah tidak tampak menyeringai menahan sakit c. Skala nyeri berkurang menjadi berskala antara rentang 0-3 d. RR: 16-24x/menit e. Tekanan darah dalam batas normal (rentang 120/80 mmHg) f. Pasien dapat menggunakan medikasi analgesik yang diresepkan dengan benar g. Pasien dapat menggunakan strategi nyeri nonfarmakologis dengan dibantu keluarga Intervensi
Rasional
1. Identifikasi intensitas/skala nyeri (0- 1. Menentukan intervensi yang tepat 10),
karakteristik
nyeri
:
letak,
durasi, irama dan kualitas, faktor-
dan
mengevaluasi
keberhasilan
intervensi
faktor yang menyebabkan nyeri 2. Lakukan
kompres
dingin
untuk
menekan nyeri.
2. Suhu
dingin
vasokonstriksi
mengakibatkan pembuluh
darah
sehingga mengurangi nyeri 3. Lakukan dan ajarkan pasien strategi pereda nyeri : nafas dalam, distraksi,
3. Mengubah sensasi nyeri dan persepsi nyeri
imajinasi terbimbing dan relaksasi 4. Kolaborasi : Berikan analgesik dan antibiotik
4. Mengurangi nyeri atau tidak nyaman dan menurunkan demam
2) Kerusakan integritas kulit b.d perubahan status metabolik akibat infeksi M.Leprae pada saraf tepi
Tujuan : Tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan 3 X 24 jam Kriteria Hasil : a. Menunjukkan penyembuhan luka b. Nutrisi adekuat c. Adanya partisipasi pasien dan keluarga untuk penyembuhan luka 13
Intervensi
Rasional
1. Lakukan rawat luka dengan teknik aseptik
1. Terjadi penyembuhan luka, teknik aseptik mencegah terjadinya luka yang
lebih
parah(tidak
terjadi
infeksi) 2. Pertahankan linen pasien tetap rapi dan bersih
2. Mencegah terjadinya infeksi yang dapat
memperlama
proses
penyembuhan luka 3. Tingkatkan masukan protein dan karbohidrat
3. Meningkatkan
kemampuan
tubuh
untuk melakukan penyembuhan luka
4. Anjurkan klien untuk beraktifitas secara bertahap
4. mencegah
luka
semakin
parah,
sehingga dapat meningkatkan proses penyembuhan luka
3) Gangguan konsep diri b.d perubahan bentuk tubuh, warna kulit dan adanya luka pada tangan dan kaki sekunder terhadap proses penyakit leprae
Tujuan : Dalam waktu 7 x 24 jam masa perawatan klien tidak mengalami gangguan body image Kriteria Hasil : 1. Klien dapat menerima kondisi tubuhnya dengan lapang 2. Klien dapat menunjukkan koping yang positif terhadap masalah yang dialami 3. Klien dapat bersosialisasi dengan teman dan lingkungan sekitar secara maksimal Intervensi
Rasional
1. Berikan kesempatan pada klien untuk
1. Meningkatkan percaya diri klien
mengexpresikan perasaannya 2. Berikan penkes pada klien bahwa kulitnya
yang
menghitam
akan
2. Meningkatkan sehingga
pengetahuan
pasien
tidak
pasien terlalu
menghilang secara bertahap setelah
merisaukan yang berlebihan tentang
klien menyelesaikan pengobatan
penyakitnya
3. Berikan dukungan psikologis dengan cara mengajak klien berkomunikasi
3. Meningkatkan rasa percaya diri dan meningkatkan koping klien
dan melibatkan klien dalam setiap kegiatan 14
4. Dorong klien untuk bersosialisasi dan saling berbagi pengalaman dengan
4. Meningkatkan rasa percaya diri dan berbagi perasaan
pasien lain 5. Berikan motivasi pada klien untuk tetap
bersemangat
membangkitkan
dan
harapan-harapan
5. Meningkatkan rasa percaya diri dan koping individu dalam menghadapi masalah
baru
4) Koping individu inefektif b.d kurangnya informasi tentang efek samping pengobatan MDT
Tujuan: Klien dapat memahami, mengerti dan mampu menampilkan bentuk koping yang positif terhadap pengobatan MDT dalam waktu 7 x 24 jam Kriteria Hasil: 1. Klien tidak gelisah 2. Klien kooperatif dalam pengobatan 3. Klien dapat memahami tentang pengobatan dan efek samping obat 4. Klien dapat mengungkapkan secara verbal tentang keinginan untuk sembuh dengan mematuhi program pengobatan Intervensi 1. Berikan
Rasional informasi
aktual
tentang
1. Dengan informasi aktual yang
proses penyakit, pengobatan dan efek
dialami
pasien,perawat
samping pengobatan
bekerjasama
dalam
dapat proses
penyembuhan penyakit pasien 2. Anjurkan
klien
melakukan
teknik
relaksasi
2. Teknik relaksasi dapat membantu pasien koping
dalam dalam
meningkatkan mengatasi
efek
samping dari MDT 3. Dukung klien untuk terlibat dalam perencanaan aktivitas perawatan
3. Melibatkan
pasien
dapat
membuat pasien merasa ikut andil dalam
menentukan
perawatan
untuk dirinya 4. Dukung
klien
dalam
penggunaan
4. Pengungkapan
secara verbal tentang perasaan dan
verbal
dapat
ketakutan
koping individu
perasaan
secara
meningkatkan
15
5. Ajarkan klien cara mengolah koping
5. Mengolah
koping
secara positif dengan bersosialisasi
mempercepat
dan
penyembuhan pasien
berbagi
pengalaman
dengan
dapat proses
pasien lain
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, adhi. 2000. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Cet. 2, Ed.3 . Jakarta : FKUI.
Price, Sylvia Anderson.2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC.
Rahariyani, Loetfia Dwi. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Integumen Cet. 1. Jakarta : EGC. Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3 . Jakarta : EGC.
16