JURNAL SAINS DAN DAN PRAKTIK PSIKOLOGI PSIKOLOGI © 2013 Magister Psikologi UMM, ISSN: 2303-2936 Volume I (1), 48 - 62
Kualitas hidup orang dengan HIV / AIDS AIDS yang mengikuti terapi antiretroviral Suhardiana Rachmawati Universitas Muhammadiyah Malang 1
Abstrak
Menjadi ODHA merupakan suatu yang berat dalam hidup, dimana permasalahan yang kompleks selalu dihadapi setiap hari, bukan hanya berurusan dengan kondisi penyakit, tetapi kondisi penyakit yang disertai dengan stigma sosial yang sangat diskriminatif. Stigma dan diskriminasi ini seringkali menyebabkan menurunnya semangat hidup ODHA yang kemudian membawa membawa efek dominan menurunnya kualitas hidup ODHA. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap secara mendalam kualitas kualita s hidup ODHA yang mengikuti terapi terap i ARV dilihat dari segi fsik, fsik , psikologis, psikologis , sosial, dan spiritual. spiritu al. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dalam bentuk studi kasus. Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah Orang dengan HIV H IV AIDS yang mengikuti terapi te rapi Antiretroviral. Antiretroviral.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara tidak berstruktur dan observasi nonpartisipan. Sedangkan alat bantu pengumpulan data penelitian menggunakan wawancara, observasi, alat perekam dan alat tulis. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi ARV ARV dalam aspek fsik adalah baik karena ketiga subjek menyadari pentingnya menjaga kesehatan fsik sebagai s ebagai ODHA dengan minum obat Antiretroviral tepat waktu sehingga tidak ada infeksi oppor opportunistik tunistik yang muncul, sedangkan kualitas hidup ODHA secara emosional, sosial, dan spiritual adalah rendah dimana pada hasil penelitian menunjukkan bahwa ODHA kurang mengembangkan hubungan sosial dan kehidupan spiritualnya serta kurang memperoleh dukungan sosial baik dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya ya ng menggambarkan bahwa stigma dan diskriminasi masih banyak yang dialami oleh ODHA.
Kata kunci
Kualitas Hidup, Orang dengan HIV AIDS (ODHA), Terapi Antiretroviral
Pendahuluan Masalah HIV/AIDS (Human Immunodeciency Virus/Acquired Immune Deciency Syndrome) dapat mengancam seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kelas ekonomi, usia maupun jenis kelamin. Situasi yang dihadapi penderita HIV/AIDS sangat kompleks, selain harus menghadapi penyakitnya sendiri, mereka juga menghadapi stigma dan diskriminasi, sehingga mengalami masalah pada sik, psikis, dan sososial yang memerlukan intervensi komprehensif meliputi medikamentosa, nutrisi, dukungan sosial maupun psikoterapi/konseling (Effendy, 2008). Stigma dan diskriminasi pada ODHA dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, hal ini terutama dikarenakan stigma negatif yang 1
dilekatkan pada ODHA, misalnya sampah masyarakat, pengguna narkotika, dan pelanggan lokalisasi (Weber, 1993). Bentuk lain dari stigma berkembang melalui internalisasi oleh ODHA dengan persepsi negatif tentang diri mereka sendiri. Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologi yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri mereka sendiri, hal ini bisa mendorong terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri dan keputusasaan, sesuai dengan hasil penelitian Wagner et al. (2010) bahwa kondisi psikologis yang berat dihubungkan dengan adanya stigma terhadap penyakit HIV. Stigma dan diskriminasi ini seringkali menyebabkan menurunnya semangat hidup ODHA yang kemudian membawa efek dominan menurunnya kualitas hidup ODHA.
Korespondensi ditujukan kepada Suhardiana Rachmawati,
[email protected],
[email protected], telepon: 085234140274
48
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62
Secara awam, kualitas hidup berkaitan dengan pencapaian kehidupan manusia yang ideal atau sesuai dengan yang diinginkan (Diener & Suh, dalam Kahneman, Diener dan Schwarz, 1999). Menurut Molnar (2009) dengan melihat kualitas hidup suatu individu dapat diketahui posisi individu tersebut dalam hubungannya dengan kondisi yang diinginkan/ideal. Lingkup dari konsep dan pengukuran kualitas hidup harus berpusat pada persepsi subjektif individual mengenai kualitas hidup dari kehidupannya sendiri sebagai ODHA (Mendlowicz & Murray, 2000). Selain itu Carr et al. (2001) mengatakan bahwa kualitas merupakan konstruk individual dan hal ini sebaliknya menjadi pertimbangan dalam pengukuran kualitas hidup yang tepat. Kualitas hidup didenisikan sebagai persepsi individu tentang posisinya dalam kehidupan, dalam hubungannya dengan sistem budaya dan nilai setempat dan berhubungan dengan cita-cita, pengharapan, dan pandangan-pandangannya, yang merupakan pengukuran multidimensi, tidak terbatas hanya pada efek sik maupun psikologis pengobatan (Gill & Feinstein, 1994). Infeksi HIV saat ini belum ditemukan pengobatannya, sehingga sangat memungkinkan seseorang yang menderita AIDS sering mengalami masalah-masalah psikologis, terutama kecemasan, depresi, rasa bersalah akibat perilaku seks dan penyalahgunaan obat, marah dan timbulnya dorongan untuk bunuh diri (Hutapea, 1995). Perasaan depresi juga dapat menekan sistem imun sehingga individu lebih rentan terhadap penyakit dan kesakitan (National Safety Council, 2003). Dampak yang diakibatkan dari suatu penyakit tersebut berdasar pada pemahaman penderita terhadap penyakit dan terapi yang dilakukan yang ternyata berdampak terhadap fungsi dan kondisi sehat dari sudut pandang penderita (Wang et al. 2000). Penilaian tersebut dikenal sebagai kualitas hidup dan dianjurkan sebagai pencerminan bagaimana penderita tersebut merespon suatu penyakitnya atau tindakan medis berdasar kondisi yang dialami penderita. Secara siologis HIV menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya dan jika ditambah dengan stress psikososial spiritual yang berkepanjangan akan mempercepat terjadinya AIDS, bahkan meningkatkan angka kematian. AIDS memang tidak bisa disembuhkan, tetapi usia harapan hidup ODHA bisa diperpanjang dengan pengobatan ARV (antiretroviral ). Pe-
ngobatan ini dapat meningkatkan kekebalan tubuh ODHA sehingga kualitas hidupnya pun meningkat (Yayasan Spiritia, 2006). Terapi ARV sangat bermanfaat dalam menurunkan jumlah HIV dalam tubuh sehingga penurunan limfosit CD4 (cluster of differentia - tion 4 ) dapat dicegah. Setelah pemberian obat antiretroviral selama 6 bulan biasanya dapat dicapai jumlah virus yang tak terdeteksi dan jumlah limfosit CD4 meningkat. Akibatnya resiko terjadinya infeksi oportunistik menurun dan kualitas hidup penderita meningkat (Djauzi & Djoerban, 2002). Orang yang tertular HIV sering dihinggapi perasaan menjelang maut, rasa bersalah akan perilaku yang membuatnya terkena infeksi dan rasa diasingkan oleh orang lain. Stres akan turut melemahkan sistem imun yang sudah dilumpuhkan oleh HIV terlebih dahulu. Banyak orang yang tertular HIV/AIDS juga ditinggalkan oleh teman dan orang-orang terdekat mereka. Stres yang disebabkan kehilangan ini pun akan turut melemahkan sistem imun mereka (Hutapea, 1995). Daya tahan tubuh penderita HIV/AIDS sangat rentan jika mengalami gangguan psikis atau mentalnya, sehingga perlu meningkatkan kualitas hidupnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Effendy (2007) bahwa penderita HIV/AIDS juga perlu diarahkan untuk mengembangkan diri dengan transformasi kesadaran agar nantinya dapat m engelola emosinya secara mandiri sehingga dapat melakukan aktivitas seperti layaknya orang sehat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Penelitian yang dilakukan Natalya (2006) tentang mekanisme dan coping strategy orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menghadapi stres akibat penyakitnya, menunjukkan bahwa ODHA mengalami stres saat pertama kali mengetahui diagnosis penyakitnya. Sebagian besar dari mereka tidak mempercayai status penyakitnya saat itu. Sumber stres terbesar pada ODHA adalah kematian, efek samping obat, diskriminasi, ditinggal oleh orang yang disayang dan diketahuinya status HIV/AIDS oleh orang-orang terdekat. Mekanisme koping yang digunakan adalah reaksi yang berorientasi pada ego, sebagian besar partisipan melakukan denial, projeksi, displacement, isolasi dan menyembunyikan status. Reaksi yang berorientasi pada verbal yang banyak dilakukan adalah meremas dan diam, sedangkan reaksi yang berorientasi pada masalah partisipan lebih banyak mencari tahu tentang HIV/AIDS dengan membaca buku atau
49
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62
menanyakan pada orang yang lebih tahu tentang HIV/AIDS. Dengan demikian menjadi ODHA merupakan suatu yang berat dalam hidup, dimana permasalahan yang kompleks selalu dihadapi setiap hari, bukan hanya berurusan dengan kondisi penyakit, tetapi kondisi penyakit yang disertai dengan stigma sosial yang sangat diskriminatif. Seseorang akan merasa bahwa dirinya tidak berguna, tidak ada harapan, takut, sedih, marah dan muncul perasaan lainnya. Bagi orang yang dinyatakan positif HIV pasti akan mengalami atau menghadapi isu-isu kompleks seperti permasalahan bio, psiko, sosial, dan spiritual. Dari berbagai latar belakang itulah mengapa peneliti tertarik meneliti tentang kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi antiretroviral, yang mana kualitas hidup merupakan masalah yang penting dalam pengalaman para penderita penyakit yang telah berhasil mengendalikan penyakitnya dan memperpanjang masa hidup yang dilaluinya Ersek et al. (1997) dalam Murtiwi et al. (2005). Berdasar pada latar belakang penelitian maka tujuan penelitian ini adalah mengungkap secara mendalam kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi ARV dilihat dari segi sik, psikologis, sosial, dan spiritual.
Tinjauan Pustaka Konsep kualitas hidup Kualitas hidup didenisikan sebagai persepsi individu tentang posisinya dalam kehidupan, dalam hubungannya dengan sistem budaya dan nilai setempat dan berhubungan dengan cita-cita, pengharapan, dan pandangan-pandangannya, yang merupakan pe-ngukuran multidimensi, tidak terbatas hanya pada efek sik maupun psikologis pengobatan (Gill & Feinstein, 1994). Kualitas hidup merupakan suatu bentuk multidimensional, terdapat tiga konsep kualitas hidup yaitu menunjukan suatu konsep multidimensional, yang berarti bahwa informasi yang dibutuhkan mempunyai rentang area kehidupan dari penderita itu, seperti kese jahteraan sik, kemampuan fungsional, dan kesejahteraan emosi atau sosial (Ware, 1984), menilai celah antara keinginan atau harapan dengan kemampuan yang dapat dikerjakan dan terakhir bahwa kualitas hidup ini dinamis atau dapat berubah sesuai dengan derajat beratnya penyakit dan terapi yang didapat.
50
Testa dan Simonson (1996) membuat batasan kualitas hidup didasarkan pada denisi sehat WHO yang berisi dimensi sehat sik, jiwa, dan sosial yang untuk tiap-tiap orang berbeda-beda karena dipengaruhi oleh pengalaman, kepercayaan, keinginan, dan persepsi seseorang. Keempat komponen ini disebut sebagai persepsi sehat (perception of health). Tiap-tiap dimensi tersebut dapat diukur dengan penilaian yang objektif status fungsional atau status kesehatannya dan penilaian yang subjektif terhadap persepsi kesehatannya. Walaupun penilaian dimensi objektif ini penting untuk dapat melihat derajat kesehatan seseorang, tetapi persepsi dan keinginan subjektif dapat diubah menjadi penilaian yang objektif sehingga menjadi suatu pengalaman kualitas hidupnya. Keinginan untuk sehat dan kemampuan menanggulangi keterbatasan dan ketidakmampuan dapat mempengaruhi persepsi sehat dan kepuasan terhadap hidup (life satisfaction ) seseorang, sehingga dua orang dengan status kesehatan yang sama mungkin dapat berbeda kualitas hidupnya (Testa & Simonson, 1996). Kualitas hidup adalah tingkatan yang menggambarkan keunggulan seorang individu yang dapat dinilai dari kehidupan mereka. Keunggulan individu tersebut biasa-nya dapat dinilai dari tujuan hidupnya, kontrol pribadin ya, hubungan interpersonal, perkembangan pribadi, intelektual dan kondisi materi (Sarano, 1994).
Konsep keinginan dan pengalaman menurut Calman Konsep ini difokuskan pada tiga hal yaitu kualitas hidup adalah multidimensional, tiap dimensi dapat berubah seiring waktu, dan perasaan penderita dipahami dengan sunguhsungguh. Kualitas hidup merupakan celah antara keinginan (expectation ) dengan pengalaman (experience ) atau yang didapatkan penderita selama ini, sehingga konsep ini dikenal dengan Calman’s gap . Semakin sempit celah berarti seseorang mempunyai kualitas hidup yang tinggi, sebaliknya penderita yang sedikit kemampuannya untuk merealisasikan keinginannya berarti mempunyai kualitas hidup yang buruk (Calman, 1984). Calman mengatakan bahwa celah antara keinginan dan pengalaman tersebut dapat bervariasi menurut waktu tergantung pada perbaikan dan memburuknya kesehatan penderita, hal ini berhubungan dengan hasil guna pengo-
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62
batan dan progresitas suatu penyakit. Pada saat individu diberitahu mengenai suatu diagnosis penyakitnya, maka dampak dari penyakit dapat dirasakan bervariasi tergantung dari persepsi individu terhadap kualitas hidupnya. Penderita dengan keinginan yang berbeda akan melaporkan kualitas hidup yang berbeda, padahal pada keadaan klinis yang serupa. Penderita yang mempunyai perubahan kesehatan dapat melaporkan tingkat kualitas hidup yang sama bila diukur secara berulang kali. Sebagai makhluk bio psiko sosial ODHA merupakan suatu kesatuan yang utuh diharapkan memiliki coping strategy untuk beradaptasi terhadap lingkungan dengan berespon terhadap kebutuhan siologis, konsep diri yang positif, mampu memelihara integritas diri, dan selalu berada pada rentang sehat sakit untuk memelihara proses adaptasi. Koping melibatkan usaha aktif untuk mengatasi tuntutan yang membuat stres. Salah satu cara untuk mengatasi stress itu adalah dengan memfokuskan diri untuk menyelesaikan masalah ( problem focused coping ) dan tidak memfokuskan diri hanya dengan melampiaskan emosi-emosi yang disebabkan oleh masalah (emotion focused coping ). Cara ketiga adalah dengan memikirkan kembali masalah, melalui penilaian kembali (reappraisal ) belajar dan menemukan arti dari pengalaman dan perbandingan sosial dengan orang lain yang lebih buruk keadaannya atau yang dapat menyediakan contoh-contoh yang memberikan inspirasi bagaimana mengatasi masalah (Wade & Tavris, 2007). Menurut Taylor (1991) ada dua sumber yang mempengaruhi perilaku koping, yaitu sumber internal dan eksternal. Termasuk dalam sumber internal adalah faktor kepribadian atau perbedaan-perbedaan yang terdapat pada masing-masing individu. Sedangkan sumber eksternal meliputi uang, waktu, dukungan sosial, standar kehidupan dan lain-lain. HIV menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan tubuh sehingga individu rentan terhadap serangan infeksi opportunistik. Antiretroviral (ARV) bisa diberikan pada klien untuk menghentikan aktivitas virus, memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi opportunistik, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kecacatan. ARV tidak menyembuhkan klien HIV, namun bisa memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia harapan hidup klien HIV/AIDS. Gambaran klinik yang berat, yang mencerminkan krite-
ria AIDS, baru timbul sesudah jumlah CD-4 kurang dari 200/mm3 dalam darah (Yayasan Spiritia, 2006). Kondisi umum pada ODHA adalah kelelahan baik secara sik ataupun psikologis. Stres yang tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau lama dapat memperburuk kondisi kesehatan dan menyebabkan penyakit. Tetapi dengan adanya dukungan sosial yang diterima oleh individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan individu. Kondisi ini dijelaskan oleh Sarano (2006) bahwa berinteraksi dengan orang lain dapat memodikasi atau mengubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut, dan ini akan mengurangi potensi munculnya stress baru atau . stress yang berkepanjangan. .
Kerangka Pemikiran Dalam menjalani . kehidupan sebagai ODHA akan mempengaruhi status fungsional, dukungan psikologis dan sosial yang diperoleh sehingga menimbulkan persepsi tentang kesehatan secara . sik, mental, sosial dan spiritual. Keinginan untuk sehat dan kemampuan menanggulangi keterbatasan dan ketidakmampuan dapat mempengaruhi persepsi sehat dan kepuasan terhadap hidup (life satisfaction ) seorang ODHA yang akan mengambarkan kuali. tas kehidupan yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal serta status kesehatan ODHA sendiri. Secara ringkas bisa dilihat pada Gambar 1. . :
Faktor Eksternal
(Sosial Budaya, Ekonomi Politik, Lingkungan, Perawatan Kesehatan)
ODHA yang mengikuti terapi ARV
Status Kesehatan ODHA
(Gejala, Fungsi Tubuh, Persepsi kesehatan, Kesempatan)
Kualitas Hidup ODHA
Faktor Internal
(Aspek biologis dan pengalaman hidup, gaya hidup dan perilaku sehat, kepribadian dan motivasi, nilainilai kepercayaan)
. Gambar 1. Bagan kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi ARV
51
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62
Metode Penelitian Prosedur penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang menggunakan metode studi kasus. Subjek penelitian adalah tiga ODHA yang mengikuti terapi ARV di kota Malang. Sesuai dengan fokus penelitian, maka yang dijadikan subyek penelitian adalah ODHA yang mengikuti terapi Antiretroviral. Untuk mendapatkan data tersebut peneliti meminta bantuan pada seorang relawan yang terlibat dalam salah satu Yayasan yang bergerak dalam penyakit HIV AIDS yang ada di kota Malang untuk memperoleh ODHA yang besedia menjadi partisipan dalam penelitian. Tiga ODHA bersedia untuk mengisi Informed Consent sebagai subjek penelitian.
Metode pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan pada bulan September - Oktober 2011. Dalam upaya menjamin keakuratan data, hasil wawancara semiterstruktur dan observasi segera dianalisis setelah pengumpulan data selesai dilakukan. Wawancara digunakan peneliti untuk mendapatkan data atau informasi tentang masalahmasalah yang diteliti dengan cara berdialog. Untuk dapat bertemu dengan ODHA peneliti mendatangi ke rumahnya. Adapun wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semiterstruktur untuk mengungkap beberapa hal antara lain aktivitas ODHA yang dilakukan sehari-hari, keadaan sik yang dialami sejak menderita HIV AIDS sampai sekarang, perasaan apa saja yang dirasakan selama menjalani kehidupan dengan status sebagai ODHA, bagaimana menjalani kehidupan sosial sebagai ODHA, dan bagaimana kehidupan spiritual sebagai ODHA. Observasi dilakukan peneliti selama satu bulan dalam masing-masing ODHA. Hal ini dilakukan untuk mengamati fenomena yang benar-benar tampak. Kejadian-kejadian dan
peristiwa-peristiwa diamati secara tajam oleh peneliti dan ditulis dalam buku catatan. Dalam hal ini, observasi yang dilakukan oleh peneliti meliputi:: aktivitas ODHA dalam kehidupan sehari-hari dan interaksi ODHA dengan lingkungan sekitar.
Analisis data Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif yang bersifat umum yaitu teknik analisis tematik. Teknik analisis ini adalah analisis makna berdasar Kualitas Hidup Orang dengan HIV-AIDS yang mengikuti Terapi ARV. Prosedur yang dilakukan terkait dengan teknik analisis ini adalah melakukan transkripsi data, pembuatan klasikasi data dan kategori berdasar tema- tema yang teridentikasi dalam data yang telah terkumpul. Setelah pembuatan kategori maka kemudian pada setiap kategori diberi kode untuk menunjukkan identitas setiap kategori sehingga pembuatan interpretasi dan kesimpulan dari penelitian bisa dilakukan (Hanurawan, 2012). Validasi kesimpulan dilakukan melalui triangulasi data dengan menggunakan sumber-sumber data yang berbeda melalui wawancara terhadap beberapa informan yang bersedia memberikan informasi tentang sub jek (Poerwandari, 1998). Sumber data yang diperoleh berasal dari tetangga, relawan dari Yayasan HIV AIDS dan teman ODHA yang ikut dalam Kelompok Dukungan Sebaya.
Hasil Dan Pembahasan Deskripsi subjek penelitian Pemilihan subjek dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan kesediaan ODHA ikut dalam penelitian. Deskripsi subjek dalam penelitian secara lengkap bisa dilihat pada Tabel 1. Subjek pertama ODHA adalah Ny.U berusia 62 tahun, beragama Islam, berpendidikan SMP, aktivitas sehari-hari mengamen, belum menikah dan sudah 11 tahun mengikuti terapi
Tabel 1 Daftar Identitas Subjek Penelitian Subjek
Usia
Ny. U Ny. T
62 tahun 32 tahun
Ny. N
25 tahun
52
Status perkawinan
Agama
Pendidikan
Aktivitas
Belum menikah Menikah
Islam Islam
SMP SMA
Menikah
Islam
SMA
Mengamen Buruh pabrik konveksi, aktif di yayasan HIV AIDS Ibu Rumah Tangga, aktif di yayasan HIV AIDS
Lama terapi 11 tahun 5 tahun
4 tahun
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62
ARV. Subjek ODHA kedua adalah Ny.T berusia 32 tahun, beragama Islam, berpendidikan SMA, sebagai ibu rumah tangga dengan satu anak, memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja di pabrik konveksi dan sudah 5 tahun mengikuti terapi ARV serta aktif dalam yayasan yang bergerak dalam bidang AIDS. Subjek ODHA yang ketiga adalah Ny.U berusia 25 tahun, beragama Islam, berpendidikan SMA, sebagai ibu rumah tangga dengan satu anak dan mengikuti ARV selama 4 tahun serta aktif dalam yayasan yang bergerak dalam bidang AIDS.
Kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi ARV Berdasar pada hasil pengumpulan data melalui wawancara semiterstruktur dan observasi non partisipan maka hasil penelitian kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi ARV dapat dirangkum berdasar empat aspek yaitu sik, emosional, sosial, dan spiritual.
Aspek fsik ODHA yang mengikuti terapi ARV Setelah Intervensi, secara sik Ny.U tidak pernah muncul infeksi opportunistik meskipun Ny.U sudah 11 tahun menderita AIDS. Perilaku yang dilakukan Ny.U tetap menjaga kesehatan diri dan kebersihan serta bersyukur bahwa dirinya tidak seperti ODHA lain yang tidak menghargai diri mereka sendiri sebagai ODHA dengan melakukan hal-hal yang bisa membuat mereka menjadi ODHA yang tidak layak, seperti sering keluar malam, tidak menjaga kebersihan, tidak rutin minum obat ARV dan tidak pernah kontrol ke rumah sakit. Sampai saat ini berat badan Ny.U tetap stabil 40 kg dan tidak pernah drop. Kesehatan bagi Ny.U adalah hal yang penting dan bila kesehatan seorang ODHA tidak terjaga maka akan mudah jatuh dalam kondisi drop sehingga menyebabkan kematian. Ny.U bersungguh-sungguh melakukan hal tersebut dengan tepat waktu meminum obat ARV dan rutin kontrol ke rumah sakit sampai saat ini untuk memantau kondisi siknya serta memperoleh obat ARV. Kesehatan sik sangat diperhatikan oleh Ny.U dengan minum obat ARV tepat waktu 2x/hari, rutin kontrol tiap bulan ke Rumah Sakit, makan teratur 3x/hari, minum sesuai dengan kebutuhan tubuh serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Dibandingkan dengan kesehatan Ny.U secara sik Ny.T sering mengalami batuk pilek yang sembuhnya lama walaupun sudah minum
obat. Berat badan Ny.T sejak terkena HIV-AIDS sampai sekarang tetap stabil 57 kg dan sampai saat ini infeksi opportunistik tidak pernah muncul. Kesehatan bagi Ny.T juga sangat penting karena hal ini adalah dasar bagi dirinya sebagai ODHA agar tetap sehat dan jangan sampai kesehatannya turun sehingga infeksi opportunistik akan muncul di dalam dirinya. Hal lain yang ditakuti oleh Ny.T adalah kondisi tubuh yang akan menurun dan jatuh sakit sehingga akan muncul infeksi opportunistik yang menyebabkan datangnya kematian lebih cepat bagi ODHA. Kondisi kesehatan benar-benar dijaga oleh Ny.T dengan minum obat ARV tepat waktu dan rutin kontrol ke rumah sakit setiap bulan untuk memantau kesehatannya dan memperoleh obat ARV. Sampai saat ini Ny.N juga tidak pernah mengalami infeksi opportunistik. Kondisi sik dan kesehatan Ny.N cukup baik, sejak di diag nosa menderita HIV AIDS sampai dengan sekarang, berat badan Ny.N tetap stabil 55 kg hanya mengalami sakit batuk pilek dan sakit gigi. Minum obat ARV dilakukan Ny.N dengan tepat waktu 2x/hari, tidak pernah tidur terlalu malam, tidak pernah keluar malam dan tidak telat makan serta menjaga agar tubuhnya tidak terlalu capek jika mengikuti kegiatan di yayasan dan senantiasa menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan mandi 2x/hari, makan 3x/hari dan istirahat yang cukup. Kesehatan adalah sesuatu yang sudah biasa, hanya dipikirkan bila sakit atau ketika gangguan kesehatan menganggu aktivitas sehari-hari seseorang. Konsep sehat dan sakit dalam pandangan ODHA dipersepsikan secara berbeda dan merupakan hal yang bersifat sub-
Tabel 2 Hasil temuan dimensi fsik ODHA yang mengikuti terapi ARV Subjek
Deskripsi
Ny.U
Kesehatan cukup terjaga dan selama tidak pernah sakit. Berat badan Ny.U tetap stabil 40 kg. Kebersihan badan cukup terjaga dan tidak ada infeksi opportunistik yang muncul.
Ny.T
Sering mengalami batuk-batuk tapi tidak mengganggu aktivitasnya sehari-hari, berat badan juga berada dalam kondisi stabil 57 kg, tidak ada infeksi opportunistik.
Ny.N
Pernah mengalami penyakit batuk pilek ketika kecapekan. Infeksi opportunistik tidak pernah muncul dan berat badan tetap stabil 55 kg.
53
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62
jektif yang dipengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar dan pengetahuannnya. Sesuai dengan penelitian Bing et al. (2000) bahwa status kesehatan dipengaruhi banyak aspek dari HIV dan penurunan kesehatan sebagai perkembangan penyakit. Tingkat kesadaran Ny.U dalam menjaga kebersihan lebih tinggi dibandingkan Ny.T dan Ny.U, dapat dilihat dari hasil observasi yang telah dilakukan terhadap lingkungan ruangan kontrakkan Ny.U lebih bersih dibandingkan dengan lingkungan sekitar yang dihuni oleh orang lain, berbeda dengan lingkungan rumah Ny.T dan Ny.N yang kurang bersih. Bagi Ny.U menjaga kebersihan diri dan lingkungan adalah hal penting yang harus dilakukan oleh seorang ODHA. Tingkat kesadaran dalam menjaga kebersihan yang dimiliki oleh semua ODHA berbeda karena hal ini bisa dipengaruhi oleh persepsi sehat masing-masing ODHA dalam menilai kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup ODHA secara sik dalam penelitian ini adalah baik, didukung dengan tidak pernah munculnya infeksi opportunistik dalam diri ODHA dan mereka mengetahui akibat yang muncul bila tidak minum obat tepat waktu serta selalu menjaga kesehatan sik agar tidak mudah drop yang bisa menimbulkan infeksi opportunistik sehingga menyebabkan kematian yang lebih cepat. Dengan kesadaran yang dimiliki oleh semua ODHA untuk menjaga kesehatan sik, maka hal ini bisa memotivasi ODHA agar minum obat ARV dengan tepat waktu, rutin kontrol ke rumah sakit dan menjaga kebersihan diri serta lingkungan. Bagi semua ODHA kesehatan sik adalah hal penting yang harus dijaga karena infeksi opportunistik akan muncul bila kesehatan seorang ODHA tidak terjaga.
alam masyarakat yaitu mudah menular dan berbahaya. Penyakit AIDS menurut subjek adalah penyakit yang tidak bisa sembuh dan bisa menyebabkan datangnya kematian lebih cepat, sesuai dengan penelitian yang dilakukan Andaru (2005) bahwa ODHA harus menghadapi reaksi individu lain terutama masyarakat umum sehubungan dengan stigma dan diskriminasi yang berlaku terhadap sindrom HIV/ AIDS yang diderita, sehingga semua ODHA dalam penelitian ini menyembunyikan status mereka agar orang lain tidak mengetahuinya. Hidup dengan HIV AIDS menyebabkan ODHA dalam penelitian ini membuat jarak dengan orang lain dan memiliki persepsi negatif dalam berhubungan sosial terkait dengan stigma masyarakat terhadap ODHA dan hal inilah yang harus dihadapi oleh ODHA dalam kehidupannya sehari-hari (Stewart et al. 2008). Hal ini sesuai dengan apa yang didapatkan oleh Vanable et al. (2006) bahwa diagnosis HIV menimbulkan masalah terkait dengan penyakit yang berhubungan dengan koping, menurunkan harga diri, mengisolasi diri dan keadaan emosional yang buruk. Saat ini Ny.U sudah mulai menerima kenyataan bahwa dia adalah ODHA, perasaan menyesal, kecewa, sedih dan khawatir yang pernah dirasakan Ny.U kini sudah mulai berkurang dengan mulai menerima kenyataan dan yakin bahwa ini adalah yang terbaik bagi
Tabel 3 Hasil temuan dimensi emosional ODHA yang mengikuti terapi ARV Subjek Ny.U
Sabar dalam menjalani kehidupan. Perasaan sedih masih terasa sampai saat ini bila teringat orang tua dan saudara-saudaranya, karena sudah lama tidak bertemu. Rasa kecewa, tidak percaya, dan penyesalan karena menderita HIV AIDS sudah berkurang dan digantikan dengan semangat menjalani kehidupan.
Ny.T
Masih menyimpan rasa marah pada suaminya karena menyebabkannya tertular HIV AIDS. Masih ada rasa tidak percaya bila telah tertular HIV AIDS.
Ny.N
Rasa tidak percaya bahwa tertular HIV AIDS masih dirasakan tetapi Ny.N merasa statusnya sebagai Odha tidak perlu disesali karena hal ini memang sudah menjadi jalannya, sehingga Ny.T merasa biasa-biasa saja.
Aspek emosional ODHA yang mengikuti terapi ARV Setelah Intervensi, dapat diketahui bahwa pada diri semua ODHA muncul perasaan tidak bisa menerima kenyataan ketika mengetahui bahwa dirinya tertular penyakit AIDS. Mereka yang sebenarnya tidak menginginkan penyakit ini harus terus menjalani hidup walaupun dengan kondisi yang sulit dengan status mereka sebagai ODHA. Ketika pertama kali mengetahui bahwa mereka tertular HIV-AIDS dalam hal ini sub jek belum bisa menerima kenyataan kalau sekarang dirinya tertular HIV-AIDS karena penyakit tersebut memiliki kesan negatif di d
54
Deskripsi
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62
dirinya serta berharap suatu saat Ny.U akan sembuh dari AIDS. Hal yang sama dirasakan secara emosional ketika Ny.T mengetahui dirinya positif sebagai ODHA pada tahun 2007 merasa terkejut dan tidak percaya bahwa dia tertular HIV-AIDS karena Ny.T merasa tidak pernah melakukan halhal yang bisa mengakibatkan penyakit tersebut. Kondisi ini merupakan situasi yang sulit bagi dirinya, terutama ketika mengetahui tertular HIV-AIDS dari suaminya yang juga positif sebagai ODHA. Rasa marah, dendam, kecewa dan sedih dirasakan Ny.T ketika sadar bahwa suaminya yang membawa penyakit ini. Sampai saat ini Ny.T tetap membenci suaminya karena menyebabkan tertular penyakit HIV-AIDS sehingga mereka berpisah, tidak pernah terpikirkan oleh Ny.T akan tertular penyakit berbahaya ini dan bagaimana kehidupannya nanti. Belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya adalah ODHA juga masih dirasakan Ny.T sampai saat ini karena Ny.T mengatakan tidak pernah melakukan hal-hal yang bisa menyebabkan tertular HIV AIDS. Perasaan menyesal kenapa menerima kehadiran suami yang telah lama bekerja jauh dari dirinya sehingga menyebabkan tertular HIV AIDS juga masih dirasakan. Menurut Ny.T perasaan-perasaan tersebut sangat sulit untuk dihilangkan apalagi AIDS itu adalah penyakit yang memiliki kesan negatif di masyarakat dan bisa mendatangkan kematian lebih cepat. Berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Ny.N, secara emosi Ny.N bisa menghadapi hal ini dengan tenang walaupun belum bisa menerima kenyataan bahwa dia adalah ODHA dan tetap menjalani hidup. Rasa kemarahan, kebencian Ny.N terhadap suami yang menularkan HIV-AIDS yang pernah dirasakan sudah berkurang sedikit demi sedikit dan mulai menerima kenyataan bahwa dirinya adalah ODHA. Ny.N positif tertular AIDS pada waktu hamil setelah tiga bulan menikah pada tahun 2006. Pada suatu waktu suami Ny.N disarankan untuk memeriksakan diri karena suami Ny.N memiliki riwayat menggunakan narkoba. Dari hasil pemeriksaan ternyata suami Ny.N positif HIV-AIDS dan akhirnya suaminya disarankan untuk minum obat ARV dua kali perhari. Karena suami Ny.N positif terkena HIVAIDS akhirnya Ny.N juga disarankan untuk diperiksa juga. Hasil pemeriksaan menyebutkan bahwa Ny.N tertular AIDS tetapi Ny.N tidak merasakan gejala-gejala tertular HIV-AIDS karena pada waktu itu Ny.N sedang hamil.
Ketika melakukan pemeriksaan, Ny.N sudah bisa menduga akan tertular penyakit HIV-AIDS dari suaminya sampai benar-benar dibuktikan dari hasil pemeriksaan Ny.N yang hasilnya positif tertular HV-AIDS. sebenarnya Ny.N pada waktu itu tidak menginginkan tertular HIV-AIDS karena sedang hamil dan takut anaknya akan terkena HIV-AIDS juga, tetapi setelah mengetahui hasil pemeriksaan yang menyatakan positif sebagai ODHA, Ny.N hanya bisa bertanya ”mengapa harus saya?” . Sampai saat ini Ny.N belum bisa menerima dan berharap pada hasil pemeriksaan yang rutin dilakukan setiap 6 bulan sekali hasilnya negatif HIV-AIDS. Dapat diketahui bahwa kondisi emosional dari ketiga ODHA belum menerima sepenuhnya kondisi mereka sebagai ODHA dan mereka juga berharap agar suatu saat bisa sembuh dari penyakit AIDS walaupun mereka tahu sampai saat ini penyakit AIDS belum ada obatnya.
Aspek sosial ODHA yang mengikuti terapi ARV Menjalani kehidupan sebagai ODHA tentu berbeda dengan kehidupan orang lain. Rasa takut, khawatir, dan malu akan dirasakan bila status mereka sebagai ODHA diketahui oleh orang lain. Setelah Intervensi, dapat diketahui bahwa ODHA masih memiliki kekhawatiran bila orang
Tabel 4 Hasil temuan dimensi sosial ODHA yan g mengikuti terapi ARV Subjek
Deskripsi
Ny.U
Membatasi pergaulan dengan orang lain. Hal ini dilakukan agar orang lain tidak tahu statusnya sebagai Odha, tetapi Ny.U tetap mengikuti kegiatan seperti arisan, pengajian dan kegiatan yang bersifat sosial di lingkungannya.
Ny.T
Tinggal di lingkungan perkampungan, tetangga dan masyarakat sekitar tidak mengetahui kalau Ny.T adalah Odha, Ny.T juga takut jika ada yang mengetahuinya sebagai Odha. Interaksi dan komunikasi dengan tetangga juga seperlunya.
Ny.N
Tetap bergaul dengan masyarakat sekitar karena mereka sudah mengetahui kalau Ny.N adalah Odha, tidk ada pembatasan pergaulan dengan orang lain, tetapi Ny.N merasa lebih nyaman berada dengan orang-orang yang berada di yayasan yang bergerak di bidang AIDS karena mereka merasakan apa yang juga dirasakan oleh Ny.N
55
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62
lain mengetahui statusnya sebagai ODHA. Hal ini dirasakan Ny.U sampai saat ini, sehingga Ny.U membatasi untuk berinteraksi dengan orang lain. Hubungan sosial yang dijalani hanya seperlunya saja dan tidak terlalu banyak untuk berbicara dengan orang lain. Tetangga sekitar tidak ada yang mengetahui status Ny.U sebagai ODHA, karena menurut mereka Ny.U jarang berinteraksi dengan tetangga dan lebih banyak didalam kamar setelah pulang dari bekerja. Kekhawatiran diketahuinya status ODHA oleh orang lain sangat dirasakan oleh Ny.U terbukti dari penjelasan Ny.U yang mengatakan bahwa dirinya tidak bisa bekerja dengan orang lain sehingga Ny.U bekerja sendiri tanpa orang lain. Kehidupan yang sekarang merupakan kesempatan dari Tuhan untuk memperbaiki hidupnya dan bertobat atas perbuatan dosa yang pernah dilakukan. Untuk menjalani kehidupan sebagai ODHA Ny.U mengatakan dirinya harus mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. Semua anggota keluarga sampai sekarang tidak tahu dimana keberadaan Ny.U, kadang-kadang Ny.U yang menghubungi mereka melalui telepon. Sebagai ODHA yang mandiri Ny.U mencoba untuk berdiri sendiri dan tidak tergantung pada orang lain termasuk keluarga. Sebagai ODHA Ny.U merasa dirinya sendiri yang harus bertanggung jawab terhadap kehidupannya. Secara tidak langsung Ny.U memperoleh dukungan sosial melalui kegiatan memberikan pengalaman sebagai ODHA pada ODHA lain dan ketika melakukan konsultasi dengan tenaga medis ketika Ny.U kontrol ke rumah sakit. Menghadapi kehidupan yang penuh dengan permasalahan dihadapi Ny.U sendiri tanpa ada dukungan sosial dari keluarga karena Ny.U sengaja meninggalkan keluarga untuk men jadi ODHA yang mandiri dan tidak ada yang mengetahui keberadaannya sampai sekarang. Seperti Ny.U, Ny.T juga mengkhawatirkan apabila tetangga sekitarnya mengetahui kalau dia adalah ODHA tentu mereka akan mengucilkan dirinya. Sampai saat ini Ny.T tetap menyimpan statusnya sebagai ODHA dari tetangga sekitar sehingga tidak ada yang mengetahui tentang statusnya, Ny.T juga tetap bekerja pada sebuah pabrik konveksi setiap hari senin sampai jumat. Hubungan sosial dengan tetangga sekitar tetap dijalani seperti sebelum sakit dan hanya berbicara seperlunya, sehingga ada batasan untuk berinteraksi sosial dengan orang lain, karena Ny.T tidak ingin orang lain ada yang tahu tentang statusnya. Ny.T tinggal
56
di lingkungan perkampungan dimana letak rumah sangat berdekatan satu sama lain sehingga Ny.T berhati-hati agar tetangga tidak ada yang mengetahui status Ny.T sebagai ODHA. Berbeda dengan Ny.U, sebagai ODHA Ny.T merasa bahwa dia tidak sendiri, ketika pertama kali mengantar suaminya periksa ke rumah sakit ternyata banyak yang bernasib sama dengan dirinya. Sejak saat itulah Ny.T merasa bahwa masih banyak yang bisa dilakukan oleh seorang ODHA, mulai mencari tahu apa dan bagaimana HIV-AIDS itu dan aktivitas apa yang bisa dilakukan oleh seorang ODHA. Se-hingga pada suatu saat Ny.T bergabung dengan yayasan yang bergerak dalam bidang HIV-AIDS sampai sekarang. Di yayasan tersebut Ny.T merasa bahwa dia dibutuhkan untuk memberikan dukungan psikologis kepada sesama ODHA, banyak aktivitas yang bisa dilakukan dalam yayasan tersebut mulai dari kunjungan ke rumah sakit, kunjungan ke rumah-rumah ODHA, membuat Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) dan mengikuti pelatihan-pelatihan yang terkait dengan ODHA. Dukungan dari keluarga juga tidak pernah diperoleh Ny.T, karena Ny.T hanya tinggal dengan anaknya dan berpisah dari suaminya, keluarga yang lain tinggalnya juga jauh dari Ny. T, sehingga dukungan sosial yang diterima Ny.T hanya dari sesama ODHA. Berbeda dengan Ny.U dan Ny.T yang menyembunyikan statusnya dari orang lain, status Ny.N sebagai ODHA sudah diketahui oleh orang tua dan tetangga sekitar. Tetapi perlakuan yang diterima oleh Ny.N lebih memandang negatif Ny.N sebagai ODHA, terbukti ketika orang tua menyarankan Ny.N agar tinggal di rumah selama satu bulan lalu tinggal di rumah mertua satu bulan begitu seterusnya karena selama ini Ny.N belum memiliki rumah sendiri sehingga harus tinggal bersama orang tua. Ternyata orang tua sendiri juga belum bisa menerima status Ny.N sebagai ODHA walaupun mereka telah mengetahui status Ny.N. Sejak saat itu Ny.N tetap berusaha sabar dan tenang karena pada waktu Ny.N sedang hamil dan hal itu dilalui sampai melahirkan anaknya. Setelah melahirkan anaknya ibu Ny.N melarang Ny.N untuk merawat anaknya, sehingga anak Ny.N dirawat oleh ibunya. Untuk menghadapi kenyataan hidup seperti itu Ny.N memang harus bersabar. Tetangga sekitar juga mengetahui tentang kondisi Ny.N sebagai ODHA dan Ny.N sendiri tetap bersikap baik terhadap mereka walaupun kadang-kadang ada tetangga yang mem-
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62
bicarakan dirinya, tapi Ny.N tidak memperdulikan semua itu meskipun sebenarnya Ny.N merasa sedih dan terkadang sampai menangis. Dengan tetangga sekitar Ny.N tetap berusaha bersikap seperti biasa dan mengikuti beberapa kegiatan seperti acara pengajian dan kegiatan PKK. Ketika pertama kali mengikuti kegiatan di masyarakat memang ada beberapa tetangga yang tidak mendukung ketika Ny.N ikut dalam kegiatan, tetapi hal itu tidak terlalu diperhatikan oleh Ny.N karena Ny.N sudah terbiasa dengan kondisi dimana orang lain menganggap dirinya berbeda karena statusnya sebagai ODHA. Sehingga saat ini Ny.N hanya aktif dalam kegiatan di yayasan ODHA dan berinteraksi seperlunya dengan orang lain. Meskipun status Ny.N sudah diketahui oleh orang tua dan tetangga sekitar, tetapi Ny.N tidak pernah memperoleh dukungan sosial dari mereka dan sebaliknya ada diskriminasi oleh orang tua dan tetangga terhadap Ny.N, sehingga menyebabkan Ny.N menjauh dari mereka dan merasa nyaman jika bersama sesama ODHA untuk saling memberikan dukungan sosial. Meskipun status Ny.N sudah diketahui oleh orang tua dan tetangga sekitar, tetapi Ny.N tidak pernah memperoleh dukungan sosial dari mereka dan sebaliknya ada diskriminasi oleh orang tua dan tetangga terhadap Ny.N, sehingga menyebabkan Ny.N menjauh dari mereka dan merasa nyaman jika bersama sesama ODHA untuk saling memberikan dukungan sosial. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ny.N, sebagai ODHA Ny.N harus menjalani hidupnya sendiri dan mulai mencari informasi tentang HIV-AIDS dengan bergabung pada yayasan yang bergerak dalam bidang HIV-AIDS. Di dalam yayasan Ny.N memiliki tugas untuk memberikan motivasi pada ODHA lain yang dirawat di rumah sakit ataupun yang ada di dalam Kelompok Dukungan Sebaya sehingga Ny.N bisa mengetahui secara langsung kondisi sik, psikologis, emosi, sosial dan spiritual dari ODHA tersebut. Berbagai kegiatan yang terkait dengan HIV-AIDS di yayasan diikuti oleh Ny.N karena ingin tahu tentang penyakit HIV-AIDS, mulai dari pelatihan tentang HIV-AIDS sampai pemberian support kepada ODHA yang lain. Meskipun tidak memperoleh dukungan dari keluarga tetapi hal ini tidak membuat ketiga subjek berputus asa dengan kondisi mereka, dukungan dan semangat terkadang diperoleh ketika bertemu dengan sesama ODHA. Sesuai dengan penelitian Ciambrone (2002)
tentang pentingnya pemberian dukungan informal pada penderita penyakit kronik penting sekali untuk memahami secara mendalam kebutuhan dan dampak pada wanita dengan HIV AIDS yang dikemas melalui jaringan kerja informal. Sedangkan Ny.U rutin kontrol ke rumah sakit dan waktu itu juga Ny.U diminta memberikan dukungan dan contoh dari dirinya sebagai ODHA kepada ODHA yang lain, sehingga hal itu merupakan suatu hal yang bisa memberikan semangat bagi Ny.U walaupun tidak ada dukungan dan semangat dari keluarganya. Dalam penelitian ini dukungan yang diperoleh ODHA sebagian besar berasal dari orang lain dan bukan dari keluarga sesuai dengan hasil penelitian Yadav (2009) yang menyebutkan bahwa dukungan sosial dari orang lain yang diperoleh ODHA lebih besar dibandingkan dukungan dari keluarga. Hal ini juga terjadi pada Ny.N dan Ny.T yang juga aktif di yayasan yang bergerak di bidang Aids sehingga Ny.N dan Ny.T yang memberikan dukungan dan semangat pada ODHA yang lain dan itulah yang bisa menjadi dukungan bagi Ny.N dan Ny.T untuk lebih semangat lagi menghadapi hidup sebagai ODHA. Dengan begitu maka harapan Ny. T dan Ny.N ikut aktif dalam yayasan yang bergerak dalam bidang AIDS juga untuk mendapatkan pengetahuan tentang AIDS dan dukungan sosial dari sesama penderita AIDS. Hal ini juga seperti yang didapatkan dalam penelitian Moosa et al. (2009) bahwa penderita AIDS bergabung dalam yayasan yang bergerak dalam AIDS untuk memperoleh pengetahuan tentang AIDS dan berharap memperoleh dukungan sosial dari sesama ODHA. Hal yang sama juga diungkapkan dalam penelitian Diehl et al. (1996) didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan penggunaan strategi koping dari beberapa rentang usia, lan jut usia umumnya menggunakan kombinasi strategi koping pertahanan diri dan penilaian positif pada situasi konik, sedangkan pada dewasa muda menggunakan koping aktif (koping adaptif). Hal senada juga diungkapkan dari hasil penelitian Vosvick et al. (2003) sebagian besar responden menggunakan koping adaptif yaitu pengalihan perhatian pada halhal yang bermanfaat. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ny.T dan Ny.N dengan statusnya sebagai ODHA membuat mereka merasa ingin tahu tentang HIV/AIDS dan untuk memenuhi keinginannya mereka bergabung di dalam yayasan yang
57
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62
bergerak di bidang Aids. Banyak kegiatan yang dilakukan oleh Ny.T didalam yayasan antara lain memberikan dukungan dan m otivasi kepada ODHA yang layak, mengadakan kelompok dukungan sebaya (KDS) dimana anggotanya adalah para ODHA dan rutin kontrol setiap bulan ke Rumah Sakit. Begitu banyak aktivitas yang bisa dilakukan ODHA secara bebas untuk mengembangkan dirinya tetapi hal ini kurang dikembangkan dalam berhubungan sosial dengan orang lain yang bukan ODHA sehingga ada hambatan dalam memahami kehidupan dengan status sebagai ODHA karena masih ada rasa tidak bisa menerima kenyataan yang harus dijalani dan merasa berbeda bila status mereka diketahui orang lain. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Felton dan Revenson (1987) yang menyatakan bahwa responden dewasa menggunakan koping mencari informasi tentang penyakitnya sedang lansia lebih banyak menggunakan koping berpikir positif, dan mengembangkan harapan. Begitu banyak permasalahan yang harus dihadapi ODHA dalam kehidupan sehari-hari dan hal itu tidak mudah bagi mereka yang sebenarnya tidak menginginkan penyakit itu ada pada dirinya. Hal itu menunjukkan bahwa mereka mengalami stress pada saat itu. Sumber stress pada ODHA yang terutama yaitu bila orang lain tahu tentang statusnya tentu mereka akan merasa malu dan dikucilkan oleh orang lain, sehingga mereka membatasi interaksi dengan orang lain. Dengan rasa malu sebagai ODHA akan mempengaruhi dalam hubungan sosial dengan orang lain sehingga ODHA dalam penelitian ini memilih untuk membatasi interaksi dengan orang lain (Stinson et al., 2008). Dalam penelitian ini hanya satu partisipan yang statusnya sebagai ODHA diketahui oleh orang tua dan masyarakat sekitar yaitu Ny.N, sebagai ODHA Ny.N merasa diasingkan oleh orang tua karena setelah mengetahui status Ny.N sebagai ODHA, orang tua menyarankan untuk tinggal selama sebulan di rumah orang tuanya dan sebulan di rumah mertuanya begitu seterusnya bergantian. Sesuai dengan hasil penelitian Hudson et al., (2001) ODHA perempuan membatasi interaksi sosial dengan teman dan keluarga seiring dengan kurangnya dukungan sosial dari mereka. Keadaan Ny.N berbeda dengan kedua partisipan sebelumnya, kedua orang tua dan tetangga sekitar mengetahui tentang status Ny.T sebagai ODHA tetapi tidak mereka tidak
58
pernah memberikan dukungan pada Ny.T sebaliknya mereka terkesan menjauh dari Ny.N dan membatasi interaksi. Keadaan ini menggambarkan bahwa kondisi psikologis ODHA dipengaruhi oleh dukungan psikologis yang mereka dapatkan sesuai dengan hasil penelitian Gordillo et al. (2009) yang menyatakan bahwa kesulitan perempuan dalam menerima dukungan psikologis berpengaruh buruk pada kesehatan psikologis. Berbeda dengan Ny.U yang memang sengaja meninggalkan dan menyembunyikan statusnya dari keluarga, Ny.T juga menyembunyikan statusnya dari keluarga dan masyarakat sekitar. Hal itu dilakukan karena Ny.T khawatir akan dikucilkan jika masyarakat tahu bahwa dirinya adalah seorang ODHA. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Hutapea (1995) bahwa orang yang tertular HIV/AIDS juga ditinggalkan oleh teman dan orang terdekat mereka. Stress yang disebabkan kehilangan ini pun turut melemahkan sistem imun mereka. Ny.U mengalami denial ketika pertama kali mengetahui statusnya sebagai ODHA sehingga yang dilakukan oleh Ny.U menyembunyikan statusnya dari orang lain dan membuat jarak dengan orang lain. Begitu juga dengan Ny.T yang denial ketika mengetahui bahwa dirinya tertular HIV/AIDS dari suaminya sehingga Ny.T menyembunyikan statusnya sebagai ODHA dan membatasi hubungan sosial dengan masyarakat. ODHA ketiga dalam penelitian ini yaitu Ny.N juga mengalami denial pada waktu mengetahui statusnya sebagai ODHA dan membatasi interaksi dengan orang lain. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fleishman et al. (2003) bahwa strategi koping individu yang menghindar, menarik diri, dan melakukan koping yang berfokus pada emosi didapatkan pada ODHA yang mengalami masalah psikologis. Sedangkan bentuk koping yang aktif, koping yang berfokus pada masalah, dan penerimaan yang positif didapatkan pada ODHA yang sedikit mengalami masalah psikologis. Dalam penelitian ini semua ODHA menghadapi stigma sebagai penderita AIDS sehingga mereka menyembunyikan status mereka dari orang lain sesuai dengan penelitian Wingwood et al. (2007) bahwa ODHA perempuan menghadapi stigma yang lebih besar dan menurut Derlega et al. (2002) stigma tersebut mempertahankan ODHA menyembunyikan statusnya. Ketidakterbukaan ODHA akan statusnya ini menjadi penghalang mereka untuk meneri-
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62
ma dukungan yang mereka butuhkan untuk menghadapi penyakitnya seperti yang didapatkan dalam penelitian Serovich et al. (2000). Dengan demikian dapat diketahui bahwa status sebagai ODHA mempengaruhi hubungan sosial dan keadaan emosional ODHA yang sesuai dengan hasil penelitian Imam et al. (2011) bahwa mayoritas dari responden menggambarkan nilai Quality of Life yang rendah dalam hubungan sosial dan diikuti oleh keadaan psikologis responden. Dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup dalam aspek sosial ketiga ODHA sama-sama buruk dimana mereka membatasi interaksi dengan orang lain, tidak memperoleh dukungan sosial dari keluarga dan menyembunyikan status mereka dari orang lain karena mereka menganggap bahwa mereka sama dengan orang lain yang tidak sakit HIV AIDS.
Aspek ARV
spiritual ODHA yang mengikuti terapi
Setelah Intervensi, dapat diketahui bahwa Ny.U mulai menerima kenyataan bahwa dirinya adalah ODHA dan kehidupan beragama Ny.U juga tidak mengalami perubahan dengan adanya kenyataan yang harus diterima bahwa hidup sebagai ODHA tidaklah mudah, karena setiap orang pasti mengetahui bahwa penyakit AIDS memiliki nilai negatif di masyarakat. Ny.U tidak mengingkari bahwa dirinya adalah ODHA, karena ini adalah akibat dari perbuatannya sendiri. Dibesarkan dalam keluarga yang beragama tentu saja membuat Ny.U menyerahkan semuanya pada Tuhan YME dengan lebih rajin beribadah dan mendekatkan diri pada-Nya dengan menjalankan sholat sebagai seorang muslim. Dengan statusnya sebagai ODHA tidak membuat Ny.U menyalahkan Tuhan dan sebaliknya Ny.U memahami bahwa hal ini adalah akibat perbuatannya sehingga membuat Ny.U menjadi lebih mendekatkan diri pada Tuhan serta menerima bahwa ini adalah cobaan yang diberikan pada dirinya. Sebagai seorang muslim Ny.U menjadi sering beribadah, mendekatkan diri kepada Tuhan YME dan tidak pernah menyalahkan orang lain atau Tuhan atas apa yang terjadi padanya, sebaliknya Ny.U merasa bahwa Tuhan masih sayang pada dirinya karena telah memberi cobaan sehingga banyak hikmah yang bisa diambil. Status sebagai ODHA membuat Ny.U bersyukur bahwa masih diberikan kesempatan untuk bertaubat dan membantu memberikan motivasi kepada ODHA yang lain agar mereka
Tabel 5 Hasil temuan dimensi spiritual ODHA yang mengikuti terapi ARV Subjek
Deskripsi
Ny.U
Ny.U mulai bisa menerima kenyataan bahwa dirinya sebagai ODHA dan sebagai seorang muslim Ny.U sudah pasrah menjalani kehidupan ini dan merasa ini adalah sebuah kesempatan baginya untuk lebih mendekatkan dan beribadah pada Tuhan. Ny.U tidak pernah melupakan sholat lima waktu dan puasa.
Ny.T
Ny.T masih belum bisa menerima sepenuhnya bahwa dirinya tertular HIV AIDS dan menganggap Tuhan tidak adil pada dirinya, sebagai seorang muslim Ny.T jarang melakukan ibadah karena Ny.T merasa dia menanggung akibatnya sendiri sebagai ODHA .
Ny.N
Belum bisa menerimasepenuhnya atas statusnya sebagai ODHA juga dialami oleh Ny.N, tapi mau tidak mau Ny.N juga tidak bisa merubah kenyataan bahwa dia adalah ODHA dan sebagai seorang muslim Ny.N mengatakan beribadah ketika ingat saja, dan jarang mengikuti pengajian.
menjalani kehidupannya. Hal itu juga sesuai dengan penelitian Litwinczuk et al. (2007) yang menunjukkan bahwa kehidupan spiritual bisa berpengaruh pada kesehatan mental dan sik sebagai ODHA. Aspek spiritual seperti kedamaian, tujuan dan makna hidup membantu ODHA pada kesejahteraan psikologis (Coleman et al. 1999). Berbeda dengan Ny.U, karena Ny.T merasakan kekecewaan tertular HIV-AIDS membuat Ny.T jarang melakukan ibadah sebagai seorang muslim karena Ny.T merasa bahwa Tuhan tidak adil terhadap dirinya, kenapa dirinya bisa terkena AIDS padahal Ny.T tidak pernah melakukan pergaulan seks bebas, tidak pernah memakai narkoba dan tidak pernah menjalani kehidupan malam. Apalagi setelah terkena AIDS Ny.T harus menanggung sendiri akibatnya dan Ny.T tahu dirinya tidak akan pernah sembuh dari AIDS. Hal inilah yang menyebabkan Ny.T jarang beribadah. Untuk menjalani kehidupan sebagai ODHA memang bukan hal yang mudah bagi Ny.T, pernah merasakan putus asa akan kenyataan yang harus dihadapi membuat Ny.T merasa bahwa Tuhan tidak adil pada dirinya, sehingga kehidupan spiritual sudah mulai ditinggalkan. Sebagai seorang muslim Ny.T tidak
59
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62
pernah terlihat beribadah selama observasi dalam penelitian. Untuk orientasi religiusitas Ny.U lebih baik dari Ny.T dan Ny.N sejak kecil Ny.U hidup didalam lingkungan religius sehingga bisa menerima segalanya dengan ikhlas dan mengambil hikmah serta menentukan tindakan yang akan dilakukan. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Hanurawan (2001) bahwa religiusitas sebagai salah satu bagian dari cerminan kehidupan keberagamaan seseorang, secara logis akan memiliki pengaruh pada aktivitas seseorang dalam menjalani kehidupan dan sekaligus menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap masalah-masalah kehidupan. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Kremer et al. (2009) bahwa kegiatan ibadah merupakan sebagai koping yang efektif terhadap timbulnya beberapa gejala efek samping dari terapi ARV sedangkan keyakinan spiritual merupakan motivator yang penting terhadap kepatuhan terapi. Seperti Ny.T yang jarang beribadah, sebagai seorang muslim Ny.N hanya melakukan ibadah ketika ingat saja. Rasa tidak bisa menerima kenapa Ny.N tertular HIV-AIDS sampai saat ini juga masih dirasakan, sehingga Ny.N tidak pernah melakukan ibadah. Ny.N beragama Islam, tapi selama observasi Ny.N tidak pernah terlihat beribadah. Tidak ada satu orang pun yang menginginkan tertular HIV-AIDS, sehingga sampai sekarang dalam hati kecil Ny.N masih belum bisa menerima akan statusnya sebagai ODHA meskipun perilaku Ny.N terlihat biasa saja dalam menyikapi dirinya yang sebagai ODHA. Akan tetapi Ny.N juga berdoa agar dirinya bisa sembuh dari HIV-AIDS. Kehidupan spiritual dari ODHA yang benar-benar telah menerima kondisinya dikatakan tidak terganggu, tetapi berbeda dengan ODHA yang belum bisa menerima keadaannya kehidupan spiritual kadang terganggu karena merasa bahwa Tuhan tidak adil pada dirinya. Dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup ODHA dalam aspek spiritual juga rendah, karena sebagian besar ODHA masih belum bisa menerima kenyataan tentang statusnya dan masih ada rasa bahwa Tuhan tidak adil pada mereka. Secara umum dari ketiga ODHA tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup masing-masing ODHA berbeda dalam menghadapi penyakit AIDS yang dideritanya karena masing-masing ODHA memiliki persepsi yang berbeda dalam menilai posisi dan keadaannya
60
sekarang. Menerima kenyataan bahwa mereka adalah ODHA merupakan hal terpenting yang harus dilakukan oleh ODHA, sehingga mereka bisa memahami kondisi dirinya. Status sebagai ODHA merupakan hal baru yang dialami oleh semua partisipan dalam penelitian ini dan itu merupakan tuntutantuntutan yang penuh dengan tekanan atau membangkitkan emosi sehingga cara yang digunakan untuk menghadapinya lebih banyak dengan melampiaskan emosi-emosi yang disebabkan oleh masalah (Wade & Tavris, 2007). Hal ini sesuai dengan penelitian Hasanah et al. (2010) yang menyebutkan bahwa penderita HIV lebih terganggu dalam aspek sosial daripada aspek sik karena itu penderita HIV harus menerima pendidikan psikologis dan intervensi untuk aspek psikologis lebih baik.
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi ARV dalam aspek sik adalah baik karena ketiga subjek menyadari pentingnya menjaga kesehatan sik sebagai ODHA dengan minum obat ARV tepat waktu sehingga tidak ada infeksi opportunistik yang muncul, sedangkan kualitas hidup ODHA secara emosional, sosial, dan spiritual adalah rendah dimana pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ODHA kurang mengembangkan hubungan sosial dan kehidupan spiritualnya serta kurang memperoleh dukungan sosial baik dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya menggambarkan bahwa stigma dan diskriminasi masih banyak yang dialami oleh ODHA. Pengukuran kualitas hidup dalam penelitian ini dapat digunakan perbandingan beberapa alternatif pengelolaan, data penelitian klinis, penilaian manfaat suatu intervensi klinis, mengindentikasikasi ODHA yang membutuhkan tindakan perbaikan secara medis ataupun bantuan konseling, juga dapat dipakai untuk pengenalan dini terhadap ODHA sehingga dapat diberikan intervensi tambahan. Penelitian ini hanya mengkaji kualitas hidup ODHA perempuan yang mengikuti terapi ARV secara kualitatif . Tentu masih banyak keterbatasan dalam penelitian ini, oleh karena itu diharapkan bagi para peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan cakupan yang lebih luas, terutama dikaitkan dengan jenis kelamin, umur, ataupun variabel lain yang mempengaruhi kualitas hidup ODHA.
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62
Daftar Pustaka Andaru, G.S., 2005. Peranan faktor internal dan eksternal dalam pemilihan strategi koping stres odha dewasa muda. Jakarta; FKUI. http//www.digilib.ui.ac.id Bing, E. G., Hays, R. D., Jacobson, L. P., Chen, B., Gange, S. J., Kass, N. E., Chmiel, J. S., & Zucconi, S. L., 2000. Health related quality of life among people with HIV disease: Results from the Multicenter AIDS Cohort Study . Quality of Life Research, 9 , 77–84.
port and gender in people living with HIV: effects on psychological well being. Juornal Behaviour Medicine, 32 (6), 523-531. Hanurawan, F., 2001. Kontroversi Pendekatan Kuantitatif dan Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Cet.I. Malang: Universitas Negeri Malang Hanurawan, F., 2012. Metode Penelitian Kualitatif dalam Ilmu Psikologi. Malang: Universitas Negeri Malang. Hasanah, C.I., Zaliha, A.R., & Mahiran, M., 2010. Factors inuencing the quality of life in patients with HIV in
Browne, J.P., O’Boyle, C.A., McGee, H.M., Joyce, C.R., Mc-
Malaysia. Qualitative Life Research. 2011 Feb; 20 (1),
Donald, N.J., O’Malley, K., Hiltbrunner, B., 1994. In-
91-100. Epub 2010 Aug 26 http://www.ncbi.nlm.nih.
dividual quality of life in the healthy elderly. Quality of Life Research, 3 (4): 235-244. http://ncbi.nlm.nih. gov/pubmed/7812276 Calman, K.C., 1984. Quality of life in cancer patients a hypothesis. Journal of Medicine Ethics,10 , 124-127. Carr, J.A., Gibson, B., Robinson, Peter, G., 2001. Measuring Quality of Life. British Medical Journal, 322 , 12401243. Ciambrone, D., 2002. Informal Networks among Women with HIV/AIDS: Present Support and Future Prospects. Qualitative Health Research, 12 (7), 876-896.
gov/pubmed/20737215. Diakses 18 Januari 2012. Hudson, A. L., Lee, K. A., Miramontes, H., & Portillo, C. J., 2001. Social interactions, perceived support, and level of distress in HIV positive women. Journal of the As - sociation of Nurses in AIDS Care, 12 (4), 68-76. Hutapea-Ronald., 1995. AIDS & PMS dan Perkosaan . Jakarta: Rineka Cipta. Imam, M.H., Karim, M.R., Ferdous, C., & Akhter, S., 2011. Health related quality of life among the people living with HIV. Bangladesh: Bangladesh Med Res Counc. Kremer, H., Ironson, G., & Porr, M., 2009. Spiritual and
Coleman, C.L., & Holzemer, W.L., 1999. Spirituality: Symp-
Mind Body as Barriers and Motivators to HIV treat-
toms and psychological well being for african ameri-
ment Decision Making and Medication Adherence?
cans living with hiv disease. Journal of the Association
Qualitative Studi AIDS PATIENT CARE STDS, 23 (2),
of Nurses in AIDS CARE, 10 (1), 42-50.
127-134.
Derlega, V. J., Winstead, B. A., Greene, K., Serovich, J., &
Litwinczuk, K., & Carla, J., 2007 . The relationship between
Elwood, W. N., 2002. Perceived HIV related stigma and
spirituality, purpose in life, and well being in HIV posi-
HIV disclosure to relationship partners after nding
tive persons. Journal of The Association Of Nurses In
out about the seropositive diagnosis. Journal of Health Psychology, 7 , 415-432. Djauzi, S., & Djoerban, Z., 2002. Penatalaksanaan HIV/ AIDS di Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: FKUI. Diehl, M., Coyle, N., Labouvie, V., & Gisela., 1996. Age and
Aids Care, 18 (3), 13-22. Mendlowicz-Mauro, V., & Stein., M.B., 2000. Quality of life in individuals with anxiety disorders. American Jour - nal Psychiatry, 157 , 669-682. Molnar, Pal., 2009. Some aspect of the measurement and
sex differences in strategies of coping and defense
improvement of quality
across the life span. Psychology and Aging, 11 (1),
2012.
127-139. Diener, E.D., & Suh, E.M., 1999. National differences in
of life. Diakses 1 Agustus
Moosa, M.Y.H., Jonsson, G., Jeenah, F.Y., & De Wee L., 2009. Support Groups For Hiv Positive Mentally Ill Pa-
subjective well being. Dalam Kahneman, D., Diener,
tients. International Journal of Psychology and Coun -
E., & Scwarz, N. Well Being: The Foundations of He -
seling, 1 (9), 147-153.
donic Psychology. New York: Russel Sage Foundation.
Murtiwi, Nurachmah, E., Nuraini, T., 2005. Kualitas Hidup
Effendy, N., 2007. Peran Psikologi Transpersonal dalam
Klien Kanker Yang Menerima Pelayanaan Hospis/
meningkatkan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS di Indonesia. Anima: Indonesian Psychological Journal, 24 (1), 1-16. Felton, B., & Revenson, T.A., 1987. Age differences in coping with chronic illness. Psychology and Aging, 2 (2), 164-170. http://psycnet.apa.org. Diakses 15 Maret 2012.
Homecare: Suatu Analisis Kuantitatif . Jakarta: FKUI. Natalya, W., 2006. Mekanisme dan Strategi Koping Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam Menghadapi Stres akibat Penyakitnya di Yogyakarta . Jakarta: FKUI. http//www. digilib.ui.ac.id National Safety Council. 2003. Manajemen Stres . Jakarta: EGC. HIV/AIDS . Jakarta: Salemba Medika.
Gill, T.M., & Feinstein, A.R., 1994. A critical appraisal of
Prastowo-Andi., 2011. Metode Penelitian Kualitatif dalam
the quality of life measurement. Journal American
Perspektif Rancangan Penelitian. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Medicine Association, 272 , 619-26.
Media.
Gordillo, V., Fekete, E.M., Platteau, T., Antoni, M.H., Sch-
Poerwandari, E., Kristi., 1998. Pendekatan Kualitatif dalam
neiderman, N., & Nostlinger, C., 2009. Emotional sup-
Penelitian Psikologi . Cet. 1. Jakarta: Lembaga Pengem-
61
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62
bangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.
Fleishman, J.A., Sherbourne, C.D., Cleary, P.D., Wu, A.W., Crystal, S., & Hays, R.D., 2003. Patterns of coping
Sarano, E. P., 1994. Healthy psychology . 2nd ed. New York: John Wiley n Sons. Sarano, E.P., 2006. Health Psychology : Biopsychosocial Interactions . 5th . New York: John Wiley & Sons, Inc.
among persons with HIV infection: Congurations, correlates, and change. American Journal of Commu - nity Psychology, 32 (1-2), 187-204. Vosvick, M., Felton, C. G., Krumbolitz, J., & Spiegel, D.,
Serovich, J. M., Brucker, P. S., & Kimberly, J. A., 2000 .
2003. Relationship of Functional Quality of Life to
Barriers to social support for persons living with HIV/
Strategies for Coping With the Stress of Living With
AIDS. AIDS care, 12 , 651–662.
HIV/AIDS: The Academy of Psychosomatic Medicine .
Stewart, W. T., Herek, G. M., Ramakrishna, J., Chandy, S., Wrubel, J., & Elstrand, M. L., 2008 . HIV related stigma: adapting atheoretical framework for the use in India. Social Science and Medicine, 67 , 1225-1235. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Diakses tanggal 20 Februari 2012.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Diakses tanggal 20 Februari 2012. Weber, J., 1993. AIDS dan Anda.
Apa yang Perlu Anda
Ketahui . Jakarta: Arcan. Wade, C., & Tavris, C., 2007. Psikologi Edisi 9 jilid 2 . Jakarta: Erlangga.
Stinson, D. A., Logel, C., Zanna, M., Holmes, J., Cameron,
Wagner, A.C., Hart, T.A., Mohammed, S., Ivanova, E.,
J., & Wood, J., 2008. The cost of lower self esteem:
Wong, J., & Loutfy, M.R., 2010. Correlates of HIV stig-
Testing a selfand social bonds model of health. Journal
ma in HIV positive women. Archives Womens Mental
of Personality and Social Psychology, 94 , 412–428 Taylor, S.E., 1991. Health Psychology . New York: Mc Graw Hill Companies Inc. England Journal of Medicine,
334, 835-840. Universitas Muhammadiyah Malang. Pedoman Penulisan Tesis . Program PascaSarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Vanable, P. A., Blair, D. C., & Littelwood, R. A., 2006. Impact of HIV related stigma on health behaviors and psychological adjustment among HIV positive men
62
Wang, P.C., Nadol, J.B., Austin, E., Merchant, S., & Gliklich, R.E., 2000. Validation of outcomes survey for
Testa, M.A., & Simonson, D.C., 1996. Assessment of Quality of Life Outcomes.
Health 13 , 207-214.
adults with chronic suppurative otitis media. Ann Otol Rhinol Laryngol, 10 (9), 249-254. Ware, J.E., 1984. Conceptualizing Disease Impact and Treatment Outcomes. Cancer, 53 , 2316-2323. Wingwood, G. M., Hardin, J. W., DiClemente, R. J., Peterson, S. H., Mikhail, I., & Hook, E. W., 2007. HIV discrimination and the health of women living with HIV. Women & Health, 4 , 99-112. Yadav, S., 2009. Perceived Social Support, Hope, And Qual -
and women. AIDS and Behavior 10 , 473-482. http://
ity Of Life Of Persons Living With HIV/AIDS: A Case
www.ncbi.nlm.nih.gov. Diakses tanggal 20 Februari
Study from Nepal. Springer Science Business Media
2012.
B.V.